Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada milenium baru, 2.8% dari populasi dunia (171 juta) diperkirakan akan menderita
diabetes dan pada tahun 2030, diprediksikan 4.4% dari populasi dunia yaitu 366 juta akan
menderita diabetes. Perubahan demografi di seluruh dunia yang paling berperan dalam hal
meningkatnya penderita DM (diabetes melitus) adalah terus meningkatnya proporsi populasi
dengan usia diatas 65 tahun. Peningkatan proporsi populasi ini akan meningkat sebesar 134%
dalam periode 30 tahun sehingga penduduk yang berusia 65 tahun akan bertambah dari 25 juta
menjadi 48 juta di negara berkembang. (Strachan,dkk. 2008).
Dewasa ini telah banyak ditemukan kelainan-kelainan pada ginjal diantaranya gagal
ginjal, istilah ini digunakan untuk menunjukkan adanya kelainan pada ginjal karena fungsi
menurun. Penurunan fungsi ginjal yang berlangsung secara terus menerus disebut gagal ginjal
kronik. Gagal ginjal kronik biasanya cukup lanjut dan tidak bias pulih. Adanya penurunan fungsi
ginjal ini diketahui dari tes kliirens kreatinin (TKK) yang menunjukkan nilai kurang dari 25
ml/menit. Jika TKK kurang dari 10 ml/menit berarti ginjal yang tersisa sudah sangat kurang dan
disebut sebagai Gagal ginjal terminal. (Sue E. Huather)
Salah satu penyebab utama terjadinya gagal ginjal terminal adalah nefropati diabetic
akibat dari penyakit diabetes mellitus (DM) yang tidak terkontrol dan merupakan penyebab
kematian terbesar penderita DM.(Darmono.2002)
Nefropati diabetik merupakan salah satu komplikasi mikroangiopati diabetik pada ginjal,
yang dapat berakhir pada penyakit ginjal kronik. Nefropati diabetik didefinisikan sebagai
sindrom klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap ( >300
mg/24 jam atau 200 g/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai
6 bulan. Hal ini berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan penurunan LFG (laju filtrat
glomerulus), telah dilaporkan terjadi pada 25-40% orang dengan diabetes tipe 1 dan tipe 2.
Orang dengan diabetes, khusunya yang terlibat dengan ginjal juga terjadi peningkatan mortalitas
dan morbiditas oleh kardiovaskular. Oleh karena itu, identifikasi awal pada yang orang yang

berisiko tinggi dan dibutuhkan pengobatan awal untuk melindungi ginjal dan kardiovaskular
sangat penting.1,2
Diperkirakan satu pertiga pasien dengan diabetes mellitus (DM) tipe 1 dan satu per enam
pasien dengan DM tipe 2 akan berkembang menjadi nefropati diabetik. Ketika nefropati diabetik
telah terjadi, interval menuju end stage renal disease (ESRD) bervariasi dari 4 tahun pertama
pada penelitian awal hingga lebih dari 10 tahun pada penelitian baru-baru ini dan terjadi
kemiripan antara DM tipe 1 dan tipe 2. Meskipun DM tipe 2 merupakan penyebab ESRD yang
umum terjadi di negara Barat, orang dengan penyakit ginjal dan DM tipe 2 tidak mencapai
ESRD karena mortalitas kardiovaskular meningkat dua kali lipat-empat kali lipat pada adanya
masing-masing mikroalbuminuria atau nefropati.3
Faktor-faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada pasien nefropati diabetik adalah
kontrol gula darah, tekanan darah, dislipidemia dan merokok. Pada faktor-faktor risiko yang
tidak dapat dimodofikasi termasuk didalamnya jenis kelamin, lamanya diabetes, genetik keluarga
dan faktor etnik.3 Penelitian di Inggris membuktikan bahwa pada orang Asia jumlah penderita
nefropati diabetik lebih tinggi dibandingkan dengan orang barat. Hal ini disebabkan karena
penderita diabetes melitus tipe 2 orang Asia terjadi pada umur yang relatif lebih muda sehingga
berkesempatan mengalami nefropati diabetik lebih besar. Di Thailand prevalensi nefropati
diabetik dilaporkan sebesar 29,4%, di Filipina sebesar 20,8%, sedang di Hongkong 13,1%. Di
Indonesia terdapat angka yang bervariasi dari 2,0% sampai 39,3%.4
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas definisi, epidemiologi, faktor risiko, patogenesis, diagnosis dan
klasifikasi, evaluasi dan penatalaksanaan dan prognosis DM dan nefropati diabetik.
1.3 Tujuan Penulisan
1. Memahami definisi, epidemiologi, faktor risiko, patogenesis, diagnosis dan klasifikasi,
evaluasi dan penatalaksanaan dan prognosis nefropati diabetik .
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah kedokteran.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu kepada beberapa
literatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi, Klasifikasi dan Diagnosis Diabetes Melitus
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya, yang
menimnulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah.
Penyakit ini secara klinik sangat bervariasi yang ditandai dengan intoleransi glukosa,
diikuti komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler yang dapat menyerang seluruh organ dalam
tubuh antara lain ginjal.(Sidartawan S, 2000)
Berdasarkan penyebab dan terapi yang dibutuhkan Diabetes Melitus diklasifikasikan
sebagai berikut (Tjokroprawiro,1996):
1. Tipe 1, Insulin Dependent

Diabetes Mellitus (IDDM) disebebkan oleh penyakit

autoimun dan sangat membutuhkan insulin eksogen, prevalensi 10-15%.


2. Tipe 2, Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM), disebebkan oleh
defisiensi insulin atau resistensi insulin, terapi dengan diet dan OAD, prevalensi 7585 %.
3. Diabetes Mellitus karena sebab lain:

Malnutrition Related Diabetes Mellitus

Gestational Diabetes Mellitus (GDM=DM karena kehamilan)

DM karena penyakit/keadaan tertentu seperti misalnya: batu pancreas, penyakit


hormonal, intoksikasi obat/bahan kimia dll.

Diagnosis DM ditegakkan dengan mengadakan pemeriksaan kadar gula darah jika


penderita menunjukkan gejala-gejala klasik bertambahnya rasa haus dan jumlah volume urin,
penurunan berat badan yang tidak dapat diterangkan sebabnya atau mengantuk, koma, glikosuria
serta ketonuria yang nyata. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan
cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena, dan untuk pemantauan hasil pengobatan dapat
diperiksa bahan darah kapikler. Jika penderita tidak menunjukkan gejala atau gejala sangat
ringan dan kadar glukosa plasma atau darah puasa tidak tidak tegas terletak dalam kisaran
4

diagnostik pada table 1, harus dilakukan tes toleransi glukosa oral (OGTT). Kriteria diagnosis
DM menurut WHO tahun 1994 dan ADA tahun 1998 dapat dilihat pada table 2 dan table 3
dibawah ini (WHO,1994) (ADA,2002).

2.2. Patogenesis Diabetes Melitus


Apabila tubuh manusia mengalami defisiensi insulin, maka kadar gula dalam darah
menjadi sangat tinggi melebihi angka normal. Karena glukosa memiliki sifat menarik cairan,
maka penderita DM memiliki kecenderungan untuk banyak kencing (Poliuria). Tubuh yang
kehilangan banyak cairan melalui urin akan mengalami dehidrasi. Kondisi ini menyebabkan rasa
haus yang terus menerus sehingga selalu ingin minum (Polidipsia). Dikarenakan sesl-sel jaringan
tidak pernah/kurang mendapatkan suplai glukosa dari luar, maka volume dan massa sel-sel tubuh
menjadi menyusut serta mengirimkan sinyal terus ke otak untuk merangsang pusat lapar. Maka
penderita akan memiliki kecenderungan untuk makan terus (Polifagi). (Greene RJ,1993)
5

Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan yaitu:


1.

Rusaknya sel-sel pancreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia tertentu, dll)
ataupun dari dalam (penyakit autoimun);

2.

Desensitasi (Penurunan sensitivitas) reseptor glukosa pada kelenjar pancreas;

3.

Desensitasi/kerusakan

reseptor

insulin

(Down

regulation)

dijaringan

perifer.

(Tjokroprawiro,1996)

2.3 Diagnosis diabetes mellitus


Diagnosis DM biasanya diikuti dengan adanya gejala poliuria, polidipsia, polifagia dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Diagonosis DM dapat
dipastikan apabila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl dan hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 2.1 berikut ini.
Glukosa Plasma puasa
Normal
Diabetes

<100 mg/dl
126 mg/dl

Glukosa Plasma 2 jam setelah


makan
<140 mg/dl
200 mg/dl

2.4 Penatalaksanaan diabetes mellitus


Pada penatalaksanaan diabetes mellitus, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dalam langkah
pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasi dengan langkah
farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya
(Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

2.4.1 Terapi non farmakologi


2.4.1.1. Pengaturan diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak. Tujuan pengobatan diet pada diabetes adalah:
a. Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati kadar
normal.
b. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.
c. Mencegah komplikasi akut dan kronik.
d. Meningkatkan kualitas hidup.
Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien diabetes mellitus, yang
terpenting dari semua terapi nutrisi adalah pencapian hasil metabolis yang optimal
dan pencegahan serta perawatan komplikasi. Untuk pasien DM tipe 1, perhatian
utamanya pada regulasi administrasi insulin dengan diet seimbang untuk mencapai
dan memelihara berat badan yang sehat. Penurunan berat badan telah dibuktikan
dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel terhadap
stimulus glukosa.
2.4.1.2 Olah raga
Berolah secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap
normal. Prinsipya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan
secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi,
bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olah raga akan memperbanyak jumlah
dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2005).

2.4.2 Terapi farmakologi


2.4.2.1. Insulin
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel pankreas dalam merespon
glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino tersusun
dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30
asam amino. Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam
pengendalian metabolisme, efek kerja insulin adalah membantu transport
glukosa dari darah ke dalam sel.
2.4.2.1.1 Macam-macam sediaan insulin:
1. Insulin kerja singkat
Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah
setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin
Regular.
2. Insulin kerja panjang (long-acting)
Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di
cairan jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam
darah. Metoda yang digunakan adalah mencampurkan insulin dengan
protein atau seng atau mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard
Human.
3. Insulin kerja sedang (medium-acting)
Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan
mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan,
contoh: Mixtard 30 HM (Tjay dan Rahardja, 2002).
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian
akan memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya.
Untuk pasien yang sudah tidak dapat dikendalikan kadar glukosa
darahnya dengan kombinasi metformin dan sulfonilurea, langkah
selanjutnya yang mungkin diberikan adalah insulin (Waspadji, 2010).

2.4.2.2 Obat Antidiabetik Oral


Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien diabetes
mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan menggunakan
satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2005).
a. Golongan Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dikelenjar pankreas, oleh sebab
itu hanya efektif apabila sel-sel Langerhans pankreas masih dapat berproduksi
Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa
sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas.
Obat golongan ini merupakan pilihan untuk diabetes dewasa baru dengan berat badan
normal dan kurang serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya (Ditjen
Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

Sulfonilurea generasi pertama


Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme dalam hati. Masa
kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam (Katzung, 2002).
Dalam darah tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam hati obat ini diubah
men jadi karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal (Handoko dan Suharto,
1995).

Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi,


masa paruh plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh obat ini diubah menjadi 1hidroksilheksamid yang ternyata lebih kuat efek hipoglikemianya daripada
asetoheksamid sendiri. Selain itu itu 1-hidroksilheksamid juga memperlihatkan
masa paruh yang lebih panjang, kira-kira 4-5 jam (Handoko dan Suharto, 1995).
Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% dimetabolisme di dalam hati dan
metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah terikat albumin, masa
paruh kira-kira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat beberapa hari setelah
pengobatan dihentikan (Handoko dan Suharto, 1995).
Tolazamid diserap lebih lambat di usus daripada sulfonilurea lainnya dan
efeknya pada glukosa darah tidak segera tampak dalam beberapa jam setelah
pemberian. Waktu paruhnya sekitar 7 jam (Katzung, 2002).
9

Sulfonilurea generasi kedua


Gliburid (glibenklamid) khasiat hipoglikemisnya yang kira-kira 100 kali lebih
kuat daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana obat-obat lain tidak efektif
lagi, risiko hipoglikemia juga lebih besar dan sering terjadi. Pola kerjanya
berlainan dengan sulfonilurea yang lain yaitu dengan single-dose pagi hari
mampu menstimulasi sekresi insulin pada setiap pemasukan glukosa (selama
makan) (Tjay dan Rahardja, 2002). Obat ini dimetabolisme di hati, hanya 21%
metabolit diekresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan ginjal
(Handoko dan Suharto, 1995).
Glipizid memiliki waktu paruh 2-4 jam, 90% glipizid dimetabolisme dalam hati
menjadi produk yang aktif dan 10% diekskresikan tanpa perubahan melalui
ginjal (Katzung, 2002).
Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan dosis paling
rendah dari semua senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal besar 1 mg terbukti
efektif dan dosis harian maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. Glimepiride
mempunya waktu paruh 5 jam dan dimetabolisme secara lengkap oleh hati
menjadi produk yang tidak aktif (Katzung, 2002).

b. Golongan Biguanida
Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin menurunkan glukosa darah
melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular dan menurunkan
produksi gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan hingga berat badan tidak
meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita yang overweight (Ditjen Bina
Farmasi dan Alkes, 2005).

10

c. Golongan Tiazolidindion
Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan berupa
penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi
insulin dari otot, jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan glukosa ke
dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Tiazolidindion diharapkan dapat lebih tepat
bekerja pada sasaran kelainan yaitu resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia
dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel pankreas. Contoh: Pioglitazone,
Troglitazon.
d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa di dalam
saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia postprandrial. Obat ini
bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak
berpengaruh pada kadar insulin. Contoh: Acarbose (Tjay dan Rahardja, 2002).

2.5. Komplikasi Diabetes Melitus


2.5.1 Komplikasi Akut
Komplikasi akut yang paling sering dialami oleh penderita DM adalah gangguan
control gula darah. Gangguan tersebut adalah hiperglikemia/ketoasidosis dan
hipoglikemia.

Kondisi

hiperglikemia

akut

akan

menyebabkan

terjadinya

glukoneogenesis. Glukosa diproduksi intraseluler dari sumber lain seperti glikogen,


protein dan lemak. Produk antara glukoneogenesis ini adalah asam amino, asam
lemak, dan benda keton. Produk antara inilah yang kemudian menurunkan PH darah
sehingga terjadi asidosis bila tidak segera ditangani dengan baik, kondisi ini dapat
menyebabkan koma dan kematian.
Hipoglikemia merupakan simtom yang paling sering dialami oleh penderita DM.
penyebab hipoglikemia yang sering adalah sesaat setelah terapi insulin (biasanya Short
acting insulin) maupun OAD (biasanya golongan sulfonilurea). Factor lain misalnya
diet yang terlalu ketat, aktivitas fisik yang berlebihan, mengkonsumsi alcohol, dll.
11

Hipoglikemia menampakkan gejala yang khas, yaitu pada sistim saraf simpatis berupa
rasa lapar, hipersalivasi, tremor, berkeringat, palpitasi. Sedangkan system pusat,
glukopenia akan menimbulkan gejala seperti gemetar, disorientasi, bingung/linglung,
anxietas, agresi, berkelakuan seperti orang mabuk, kejang, koma, kerusakan otak,
kematian. (Greene RJ.1993)
2.5.2. Komplikasi kronis
Komplikasi kronis diabetes mellitus terutama disebabkan gangguan integritas
pembuluh darah. Komplikasi kronis yang berhubungan dengan DM adalah penyakit
mikrovaskuler dan makrovaskuler. Komplikasi tersebut kebanyakkan berhubungan
dengan perubahan-perubahan metabolic, terutama hiperglikemia. Penelitian Diabetes
Control and Complication Trial (DCCT) pada DM tipe 1 menunjukkan bahwa
pengendalian kadar glukosa darah yang ketat dapat menurunkan risiko terjadinya
komplikais mikroangiopati. (DCCT,1995).
Tiga kelainan metabolic yang berhubungan dengan hiperglikemi kronik yang
menyebabkan pathogenesis dari komplikasi diabetic adalah: glikosilasi non enzimatik,
perubahan glukosa pada jalur poliol, dan aktivitas protein kinase C. kerusakan
vaskuler merupakan gejala yang khas sebagai akibat dari DM, dan dikenal dengan
nama angiopati dibetik. Makroangiopati (kerusakan makro vaskuler) biasanya muncul
sebagai gejala klinik berupa penyakit jantung iskemik dan pembuluh darah perifer.
Adapun

mikroangiopati

(Kerusakan

mikrovaskuler)

memberikan

manifestasi

retinopati, nefropati, dan neuropati. Pathogenesis komplikasi diabetes kronis dapat


dijelaskan pada bagan 1 berikut. (WHO,1994)

12

2.6 Mikroangiopati Diabetik


Mikroangiopati diabetic yang menimbulkan berbagai perubahan pada pembuluhpembuluh darah kecil (Kapiler), pertama kali diperlihatkan oleh Paul Kimmelstiel seorang dokter
dari Hamburg. Ia menunjukkan gambar-gambar sediaan patologik anatomic ginjal seorang
penderita diabetes yang meninggal karena kegagalan fungsi ginjal. Pada sediaan-sediaan tersebut
tampak, perubahan pada glomerulus-glomerulus ginjal.
Kerusakan/penebalan membrane basalis pada pembuluh-pembuluh kapiler dan arteri,
penebalan selaput endothelial, thrombosis, adalah karakteristik dari mikroangiopati diabetic dan
mulai timbul setelah periode satu atau dua tahun menderita DM. kerusakkan-kerusakan tersebut
semakin Nampak sesuai dengan lamanya menderita DM dan tingginya kadar glukosa darah.
Hipoksia dan iskemia jaringan-jaringan tubuh dapat timbul akibat dari mikroangiopati khususnya
terjadi pada retini dan ginjal. (Moerdowo RM, 1998)
Mikroangiopati diabetic timbul akibat dari kadar glukosa yang tinggi menyebabkan
terjadinya glikosilasi protein pada membrane basalis, sehingga terjadi penebalan selaput
13

membrane basalis, dan terjadi pula penumpukan zat serupa glikoprotein membrane basais pada
mesangium sehingga lambat laun kapiler-kapiler glomerulus terdesak, dan aliran darah terganggu
yang dapat menyebabkan glomerulosklerosis dan hipertrofi nefron. Manifestasi mikroangiopati
pada ginjal adalah nefropati diabetik (ND), dimana akan terjadi gangguan faal ginjal yang
kemudian menjadi kegagalan faal ginjal menahun pada penderita yang telah lama menudap DM.
(Greene RJ,1993)
2.7. Nefropati Diabetik
2.7.1 Perjalanan Penyakit
Nefropati diabetik adalah sindrom klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai
dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun
waktu 3 sampai 6 bulan yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan penurunan
LFG (laju filtrat glomerulus).1,2
Pada DM tipe 1, peningkatan GFR, albuminuria dan pembesaran ginjal merupakan gejala
yang ditemukan hamper pada semua pasien di saat diagnosis diabetes ditegakkan. Gejala-gejala
ini bersifat sementara dan masih mungkin reversible bila kadar glukosa darah terkendali dengan
insulin. Setelah beberapa tahun timbulah perubahan structural pada jaringan ginjal berupa
penebalan membrane basalis dan ekspansi mesangium yang menopang glomerulus. Perubahan
ini menandai adanya permulaan nefropati (nefropati insipiens). Bila selama ini kadar glukosa
darah tetap tidak terkendali, hiperfiltrasi, mikroalbuminuria dan kenaikan tekanan darah akan
lebih jelas meskipun pasien tetap asimtomatik selama betrahun-tahun. Lama kelamaan jumlah
protein yang dikeluarkan ke dalam urin makin meningkat secara progresif, akhirnya 10-30 tahun
setelah menderita diabetes, proteinuria menjadi persisten. Pada saai ini diagnosis nefropati sudah
dapat ditegakkan sesuai dengan bertambah lamanya menderita diabetes, kerusakan glomerulus
berlanjut, menimbulkan gangguan faal ginjal yang ditandai dengan penurunan GFR, kemudian
kadar kreatinin meningkat dan akhirnya timbul gagal ginjal terminal (ESRD= end stage of renal
disease). (PERKENI,1998)
Berdasarkan lamanya menderita DM sampai munculnya nefropatik diabetic banyak
penelitian yang melaporkan. Diantaranya oleh Massary dan kawan-kawan yang melaporkan
14

untuk DM tipe 1 rata-rata 15,5 1,1 tahun dan pada DM tipe 2 rata-rata 12,8 0,8 tahun.
(Massary s,1979). Tjokroprawiro dan kawan-kawan mendapatkan lama menderita DM adalah
kira-kira 15 tahun. Dibawah ini bagan perjalanan penyakit pada nefrotik diabetic :

Dari bagan tersebut jelas bahwa nefropati merupakan komplikasi jangka panjang diabetes
yang sudah dimulai saat diabetes diketahui dan meningkat menjadi ESRD setelah 15-40 tahun.
Perjalanan penyakit ini memang untuk DM tipe 1, tetapi pada DM tipe 2 juga seperti ini hanya
bedanya timbul pada umur yang lebih tua. Periode antara awal DM tipe 2 dengan ESRD lebih
pendek, karena diagnosis sering ditegakkan jauh setelah penyakit itu timbul.
2.8. Epidemiologi
Insidens kumulatif mikroalbuminuria pada pasien DM tipe 1 adalah 12.6% berdasarkan
European Diabetes (EURODIAB) Prospective Complications Study Group selama lebih dari 7,3
tahun dan hampir 33% pada follow-up selama 18 tahun pada penelitian di Denmark. Pada pasien
dengan DM tipe 2, insidens mikroalbuminuria adalah 2% per tahun dan prevalensi selama 10
tahun setelah diagnosis adalah 25% di U.K. Prospective Diabetes Study (UKPDS). Proteinuria
terjadi pada 15-40% dari pasien dengan DM tipe 1, dengan puncak insidens sekitar 15-20 tahun
dari pasien diabetes. Pada pasien dengan DM tipe 2, prevalensi sangat berubah-ubah, berkisar
antara 5 sampai 20%.4,5
15

Nefropati diabetik lebih umum di antara orang Afrika-Amerika, Asia, dan Amerika asli
daripada orang Kaukasia. Di antara pasien yang memulai renal replacement therapy, insidens
nefropati diabetik dua kali lipat dari tahun 1991-2001. Rata-rata peningkatan menjadi semakin
menurun, mungkin karena pemakaian pada praktek klinis bermacam-macam langkah yang
berperan pada diagnosis awal dan pencegahan nefropati diabetik, yang dengan cara demikian
menurunkan perkembangan penyakit ginjal yang terjadi. Bagaimanapun, pelaksanaan langkahlangkah ini jauh dibawah tujuan yang diharapkan. Di Amerika dan Eropa, nefropati diabetik
merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal. Penderita diabetes melitus mempunyai
kecenderungan sebanyak 17 kali lebih mudah mengalami gagal ginjal dibandingkan populasi
normal. Angka kejadian nefropati diabetik pada diabetes melitus tipe 1 dan 2 sebanding, tetapi
insidens pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe 1. Di Indonesia sendiri mencatat bahwa
diabetes melitus menjadi penyebab gagal ginjal kedua terbanyak, setelah glomerulonefritis, yang
menjalani hemodialisis. 5
Penelitian di Inggris membuktikan bahwa pada orang Asia jumlah penderita nefropati
diabetik lebih tinggi dibandingkan dengan orang barat. Hal ini disebabkan karena penderita
diabetes melitus tipe 2 orang Asia terjadi pada umur yang relatif lebih muda sehingga
berkesempatan mengalami nefropati diabetik lebih besar. Di Thailand prevalensi nefropati
diabetik dilaporkan sebesar 29,4%, di Filipina sebesar 20,8%, sedang di Hongkong 13,1%. Di
Indonesia terdapat angka yang bervariasi dari 2,0% sampai 39,3%.4
2.9 Faktor risiko
Tidak semua pasien DM tipe I dan II berakhir dengan nefropati diabetik. Dari studi
perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor risiko antara lain:5,6,7
1. Kepekaan genetik
2. Hiperglikemia
3. Hipertensi
4. Dislipidemia
5. Hiperfiltrasi glomerular
6. Merokok

16

7. Tingkat proteinuria
8. Faktor diet seperti jumlah dan sumber protein dan lemak dalam makanan.
2.10 Patogenesis Nefropati diabetik
Berbagai teori tentang pathogenesis nefropati seperti peningkatan produk glikosilasi
dengan proses non enzimatik yang disebut AGEs (Advanced Glicosylation End Products),
peningkatan reaksi jalur poliol (poluol pathway), glukotoksisitas, dan protein kinase C
memberikan kontribusi pada kerusakan ginjal.
Kelainan glomerulus disebabkan oleh denaturasi protein karena tingginya kadar glukosa,
hiperhlikemia dan hipertensi intraglomerulus. Kelainan/perubahan terjadi pada membrane basalis
glomerulus dengan proliferasi dari sel-sel masangium. Keadaan ini akan menyebabkan
glomerulosklerosis dan berkurangnya aliran darah, sehingga terjadi perubahan-perubahan pada
pemeabilitas membrane basalis glomerulus yang ditandai dengan timbulnya albuminuria.
Glikosilasi non enzimatik adalah reaksi reversible pengikatan glukosa pada protein,
lemak dan asam nukleat tanpa aktivitas enzim. Dengan adanya hiperglikemia yang terus
menerus, glukosa akan menjadi ireversibel berikan dengan kolagen dan protein-protein lain
dalam dinidng pembuluh darah dan jaringan interstitial. Produk ini disebut AGEs (advanced
glycocylation end products). AGEs dapat menyebabkan kerusakan jaringan atau keadaan
patologis melalui beberapa mekanisme:
a.

Pengikatan protein seperti albumin, LDL (low-density lipoprotein), immunoglobulin dan


penebalan membrane basalis atau peningkatan permeabilitas pembuluh darah.

b.

Pengikatan pada reseptor-reseptor sel seperti makrofag-makrofag, menyebabkan pelepasan


cytokine dan hormone peryumbuhan yang dapat menstimulasi terjadinya proliferasi pada
glomerulus dan dinding sel otot polos pembuluh darah.

c.

Merangsang terjadinya oksidasi lemak dan oksigen radikal

d.

Inaktivitasi nitric oxide dengan peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi.

e.

Perubahan koagulasi pada sel-sel endothelial.

17

Kadar gula darah yang amat tinggi (> 400 mg/dl) dapat menimbulkan radikal-radikal
bebas yang sangat berbahaya melalui reaksi auto oksidasi glukosa. Auto oksidasi menunjukkan
kemampuan glukosa melakukan enolisasi dan menimbulkan molekul oksigen yang tereduksi.
Molekul oksigen yang tereduksi ini berupa anion superoksida, radikal hidroksil dan hydrogen
peroksida.

Hiperglikemia dapat meningkatkan diacylglycerol (DAG) dan kenaikan DAG akan


meningkatkan aktivitas protein kinase C (PKC). Aktivasi PKC menyebabkan perubahanperubahan fungsi sel vaskuler. Perubahan-perubahan yang terjadi berupa peningkatan vascular
endothelial growth factor (VEGH), ekspresi protein membrane basalis (plasminogen activator
inhibitor-I [PAI-1] dan fibronectin). Akibatnya terjadi perubahan membrane basalis, perubahan
pembeabilitas vaskuler dan hemodinamik.
Hasil penelitian tentang progresivitas penyakit ginjal pasien DM tipe 2 pada orang-orang
Pima Indian memperlihatkan karakteristik hiperfiltrasi glomerulus. Hiperfiltrasi akan
meningkatkan sekresi katekolamin yang akan merangsang reseptor pada apparatus juxta
glomerulus melepaskan rennin, kemudian angiotensin II menyebabkan konstriksi arteriol
efferent pada glomerulus yang mengakibatkan hipertensi glomerulus yang akan mempercepat
18

terjadinya kerusakann ginjal. Gangguan fungsi pada glomerulus tersebut menimbulkan


albuminuria dan peningkatan GFR. (Viberti G,1994)
2.11 Diagnosis dan Klasifikasi Nefropati diabetic
Diagnosis nefropati diabetik dimulai dari dikenalinya albuminuria pada pasien DM, baik
tipe 1 maupun tipe 2. Pemeriksaan mikroalbuminuria sebaiknya dilakukan dengan urin yang
ditampung selama 24 jam atau 12 jam. Kadar diatas 30 mg/24 jam atau 20 ug/menit
menunjukkan adanya mikroalbuminuria. Kadang-kadang agak sukar menampung urin 24 jam/12
jam. Dalam hal ini dapat juga diperiksa rasio albumin: kretinin. Dengan cara ini tidak perlu
penampungan urin, cukup dengan urin sewaktu. Angka normal untuk ratio ini adalah < 30 mg/g.
bila angka rasio itu normal pemeriksaan diulang satu tahun lagi. Bila angka diatas 30 nmg/g
pemeriksaan hatus diulang segera untuk konfirmasi. Angka 30-300 mg/g menunjukkan adanya
mikroalbuminuria atau nefropati insipiens, sedangkan angka diatas 300 mg/g menunjukkan
adanya nefropati. Perlu diperhatikan bahwa olahraga berat, infeksi saluran kemih, demam, gagal
jantung dapat menimbulkan proteinuria, oleh karena itu factor-faktor tersebut harus disingkirkan
dahulu sebelum pemeriksaan mikroalbuminuria.
Bagaimana batasan diagnosis proteinuria pada DM dapat dilihat pada table 4 berikut.

19

Mogensen membagi 5 tahapan nefropati diabetik, yaitu :1,2,5,8,9,10


a. Tahap 1
Terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakkan. Laju filtrasi glomerolus dan
laju ekskresi albumin dalam urin meningkat.
b. Tahap 2
Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, laju filtrasi glomerolus tetap meningkat,
ekskresi albumin dalam urin dan tekanan darah normal. Terdapat perubahan histologis awal
berupa penebalan membrana basalis yang tidak spesifik. Terdapat pula peningkatan mesangium
fraksional.
c. Tahap 3
Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria. Laju filtrasi glomerulus meningkat atau dapat
menurun sampai derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah 30-300 mg/24 jam.
Tekanan darah mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membrana
basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus.
d. Tahap 4
Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebih jelas, juga timbul
hipertensi pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering ditemukan pada tahap ini. Laju
filtrasi glomerulus menurun, sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini
berhubungan dengan tingginya tekanan darah.
e. Tahap 5
Timbulnya gagal ginjal terminal.

20

Table 2.1. Derajat Nefropati Diabetik: Cutoff Values dari Albumin Urin untuk Diagnosis dan
Karakteristik Klinis yang Utama5,7
Derajat
Mikroalbuminuria

cutoff values Albuminuria

Karakteristik Klinis
Nocturnal

20-199 g/mnt

Peningkatan
darah

tekanan

30-299 mg/24 jam

Peningkatan trigliserida,
kolesterol total, LDL, dan
asam lemak jenuh

30-299 mg/g*

Peningkatan
komponen
metabolik

jumlah
sindrom

Disfungsi endotel
Berhubungan
dengan
retinopati
diabetik,
amputasi, dan penyakit
kardiovaskuler
Peningkatan mortalitas
kardiovaskuler
LFG stabil
Macroalbuminuria

200 g/mnt

Hipertensi

300 mg/24 jam

Peningkatan trigliserida
kolesterol total dan LDL

>300 mg/g*

Asimptomatik
Iskemik miokardial
Penurunan

21

LFG

yang

progresif
* Sedikit sampel urin
Pengukuran proteinuria total (500 mg/24 jam atau 430 mg/l in sedikit sampel urin) dapat
juga digunakan untuk menetapkan derajat ini.
2.12 Evaluasi dan Penatalaksanaan
Pada saat diagnosa diabetes melitus ditegakkan, kemungkinan adanya penurunan fungsi
ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien sudah menjalani pengobatan rutin.1
Pemantauan yang dianjurkan oleh American Diabetes Association (ADA) adalah pemeriksaan
terhadap adanya mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin serum dan klirens kreatinin. Untuk
mempermudah evaluasi, perhitungan laju filtrasi glomerulus dengan menggunakan rumus dari
Cockroft-Gault yaitu :
LFG (ml/menit/1,73m2) = (140-umur) x Berat badan *)
72 x kreatinin serum
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Tabel 2.2. Pemantauan fungsi ginjal pada pasien diabetes 1,2,5,8
Derajat
Mikroalbuminuria

cutoff values Albuminuria

Karakteristik Klinis
Nocturnal

20-199 g/mnt

Peningkatan
darah

tekanan

30-299 mg/24 jam

Peningkatan trigliserida,
kolesterol total, LDL, dan
asam lemak jenuh

30-299 mg/g*

Peningkatan
komponen
22

jumlah
sindrom

metabolik
Disfungsi endotel
Berhubungan
dengan
retinopati
diabetik,
amputasi, dan penyakit
kardiovaskuler
Peningkatan mortalitas
kardiovaskuler
LFG stabil
Macroalbuminuria

200 g/mnt

Hipertensi

300 mg/24 jam

Peningkatan trigliserida
kolesterol total dan LDL

>300 mg/g*

Asimptomatik
Iskemik miokardial
Penurunan
progresif

LFG

yang

2.13 Obat-obat Nefrotoksik


Beberapa jenis obat-obat diketahui dapat mengakibatkan penurunan faal ginjal atau
kerusakan ginjal dengan berbagai mekanisme. Obat-obatan tersebut diistilahkan dengan
nefrotoksik. Nefrotoksisitas obat akan timbul berhubungan dengan kadar obat yang tinggi dalam
plasma. Obat-obat tersebut antara lain: golongan aminoglikosid, plimiksin, amfoteresin B dan
siklosporin.
Aminoglikosid merupakan jenis obat-obatan yang mempunyai efek antimikroba
(Antibiotik). Beberapa jenis aminoglikosid yang mempunyai efek nefrotoksik adalah (urutan

23

efek nefrotoksik terkuat sampai lemah): neomisin, kanamisin, gentamisin, amikasin, tobramisin,
streptomisin. Obat-obat tersebut dieleminasi dari tubuh terutama dengan ekskresi melalui ginjal.
Golongan polimiksin yaitu polimiksin B dan kolistin merupakan jenis obat-obatan yang
mempunyai efek antimikroba (antibakteri). Obat-obatan ini diekskresi melalui urin dan pada
gagal ginjal, kumulasi terjadi dengan cepat. Penggunaan secara sistemik atau parenteral sekarang
ini praktis sudah ditinggalkan karena mempunyai efek samping nefrotoksik yang kuat.
Amfoteresin B termasuk dalam golongan obat anti jamur sistemik. Ekskresi obat ini
melalui ginjal berlangsung lambat sekali, hanya 3 % dari jumlah yang diberikan pada 24 jam
sebelumnya ditemukan dalam urin. Penurunan faal ginjal terjadi pada lebih dari 80% penderita
yang menerima pengobatan amfoteresin B. keadaan ini akan kembali normal bila terapi
dihentikan, tetapi pada kebanyakan penderita yang mendapat dosisi penuh, terjadi penurunan
filtrasi glomerulus yang menetap.
Siklosporin A termasuk dalam golongan obat imunosupresan (penekan respon imun).
Efek toksik utama siklosporin adalah pada ginjal dan efek ini terjadi pada 25-75% penderita yang
diberikan obat ini. Efek toksik tergantung besarnya dosis yang diberikan dan sifatnya reversible,
biasanya dilakukan modifikasi dosis bila terjadi efek toksik. (Sulistia G,1995)

2.14. Penatalaksanaan
Tatalaksana nefropati diabetik tergantung pada tahapan-tahapan apakah masih
normoalbuminuria,

mikroalbuminuria

atau

makroalbuminuria.

Tetapi

pada

prinsipnya

pendekatan utama tatalaksana nefropati diabetik adalah melalui :1,2,6,7,8,9


1. Pengendalian gula darah. Dapat dilakukan dengan olahraga, diet dan obat anti diabetes. Pada
pasien ini diberikan diet DM 1700 kal/hari. Pemberian insulin diberikan untuk mengendalikan
kadar gula darah pasien. Pemberian anti diabetik oral tidak diberikan karena pasien telah
mengalami komplikasi berupa gangguan ginjal. Akibat dari gangguan fungsi ginjal apabila obat
oral diberikan tidak dapat diekskresikan, sehingga mengalami penumpukan akibatnya terjadi
hipoglikemia
24

2. Diet. Diet protein 0,6 /KgBB/hari dimaksudkan untuk mengurangi sindrom uremik dan
memperlambat penurunan GFR. Diet rendah garam dimaksudkan untuk mengurangi retensi
natrium yang dapat mengakibatkan hipertensi dan edema. Diet rendah kalium dimaksudkan
untuk mencegah terjadinya hiperkalemia yang dapat menimbulkan aritmia jantung yang fatal.
3. Diuretik. Diuretik diberikan untuk mengurangi cairan akibat dari retensi Na dan air. Pemberian
diuretik pada pasien ini dimaksudkan untuk mengurangi gejala sesak napas akibat edema paru .
Diuretik yang diberikan furosemid 40 mg 1 tab/hari. Selain itu diuretik juga digunakan untuk
menurunkan tekanan darah. Target tekanan darah yang dianjurkan adalah <130/80
4. Anti hipertensi. Pemberian antihipertensi diperlukan untuk mengurangi tekanan darah pada
pasien, karena hal ini dapat memperberat proses sklerosis glomerulus dan menambah beban
jantung sehingga jantung bekerja lebih berat lagi dan akhirnya menimbulkan dekompensasi
kordis. Target tekanan darah pada nefropati diabetik adalah <130/80 mmHg. Obat antihipertensi
yang dianjurkan adalah ACE-I atau ARB. Walaupun pasien diabetik nefopati memiliki tekanan
darah normal, penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pemberian ACE-I dan ARB dapat
mencegah laju penurunan fungsi ginjal. Diperkirakan bahwa efek ini dicapai akibat penurunan
tekanan darah, penurunan tekanan intraglomerulus, peningkatan aliran darah ginjal, penurunan
proteinuria, efek natriuretik serta pengurangan proliferasi sel, hipertrofi, ekspansi matriks, sitokin
dan sintesa growth factor, disamping hambatan aktivasi, proliferasi dan migrasi makrofag, serta
perbaikan sensitivitas terhadap insulin.1 Pada pasien-pasien yang penurunan fungsi ginjalnya
berjalan terus, maka saat laju filtrasi glomerulus mencapai 10-15 ml/menit dianjurkan untuk
memulai dialisis.3,4,7,11
5. Statin. Statin diberikan pada keadaan dislipidemia dengan target LDL kolestrol <100mg/dl
pada pasien DM dan <70 mg/dl bila sudah ada kelainan kardiovaskular. Pada pasien ini diberikan
simvastatin 10 gr, malam hari. 5. Terapi pengganti ginjal Terapi ini dilakukan pada penyakit
ginjal kronik stadium 5 yaitu pada LFG <15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut berupa
hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal. Pada pasien ini sudah dianjurkan untuk
melakukan hemodialisis, namun keluarga dan pasien menolak.1,3,5,6,7,9
Terapi non farmakologis nefropati diabetik berupa gaya hidup yang sehat meliputi olah
raga rutin, diet, menghentikan merokok serta membatasi konsumsi alkohol. Olahraga rutin yang
25

dianjurkan ADA adalah berjalan 3-5 km/hari dengan kecepatan 10-12 menit/km, 4-5 kali
seminggu. Pembatasan asupan garam 4-5 g/hari, serta asupan protein hingga 0,8 g/kg/berat
badan ideal/hari.1,2,4,5,6
2.15 Prognosis
Secara keseluruhan prevalensi dari mikroalbuminuria dan makroalbuminuria pada kedua
tipe diabetes melitus diperkirakan 30-35%. Nefropati diabetik jarang berkembang sebelum
sekurang-kurangnya 10 tahun pada pasien IDDM, dimana diperkirakan 3% dari pasien dengan
NIDDM yang baru didiagnosa menderita nefropati. Puncak rata-rata insidens (3%/th) biasanya
ditemukan pada orang yang menderita diabetes selama 10-20 tahun.9,10,11
Mikroalbuminuria sendiri memperkirakan morbiditas kardiovaskular, dan mikroalbuminuria dan
makroalbuminuria meningkatkan mortalitas dari bermacam-macam penyebab dalam diabetes
melitus. Mikroalbuminuria juga memperkirakan coronary and peripheral vascular disease dan
kematian dari penyakit kardiovaskular pada populasi umum nondiabetik. Pasien dengan
proteinuria yang tidak berkembang memiliki tingkat mortalitas yang relatif rendah dan stabil,
dimana pasien dengan proteinuria memiliki 40 kali lipat lebih tinggi tingkat relatif mortalitasnya.
Pasien dengan IDDM dan proteinuria memiliki karakteristik hubungan antara lamanya
diabetes /umur dan mortalitas relatif, dengan mortalitas relatif maksimal pada interval umur 3438 tahun (dilaporkan pada 110 wanita dan 80 pria)4,5,7.9,10,11
ESRD adalah penyebab utama kematian, 59-66% kematian pada pasien dengan IDDM
dan nefropati. Tingkat insidens kumulatif dari ESRD pada pasien dengan proteinuria dan IDDM
adalah 50%, 10 tahun setelah onset proteinuria, dibandingkan dengan 3-11%, 10 tahun setelah
onset proteinuria pada pasien Eropa dengan NIDDM. Penyakit kardiovaskular juga penyebab
utama kematian (15-25%) pada pasien dengan nefropati dan IDDM, meskipun terjadi pada usia
yang relatif muda.9,10.11

26

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
1. Nefropati diabetik ditandai oleh terjadinya albuminuria, hipertensi dan penurunan fungsi
ginjal.
2. Faktor-faktor etiologis timbulnya penyakit ginjal diabetik adalah:

Kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa >140-160 mg/dl [7,78,8 mmol/l]); AIC >7-8%

Faktor-faktor genetis

Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi


glomerulus, peningkatan tekanan intraglomerulus)

Hipertensi sistemik

Sindrom resistensi insulin (sindroma metabolik)

Keradangan

Perubahan permeabilitas pembuluh darah

Asupan protein berlebih

Gangguan metabolik (kelainan metabolisme polyol, pembentukan advanced


glycation end products, peningkatan produksi sitokin)

Pelepasan growth factors

Kelainan metabolisme karbohidrat/ lemak/ protein

Kelainan struktural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan


membrane basalis glomerulus)

Gangguan ion pumps (peningkatan Na+ -H+ pump dan penurunan Ca2+ATPasepump)

Hiperlipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia)

Aktivasi protein kinase C

27

3. Prinsip tatalaksana nefropati diabetik adalah melalui pengendalian gula darah, tekanan
darah, perbaikan fungsi ginjal dan pengendalian faktor komorbid.
3.2 Saran
1. Perlu dilakukan evaluasi pada pasien diabetes melitus untuk mengetahui adanya
penurunan fungsi ginjal.
2. Perlu dilaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai nefropati diabetik agar diketahui data
insidensi nefropati diabetik di Indonesia.

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Hendromartono. Nefropati Diabetik: dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007. 1898-1901.

2. Shaw KM, Cummings MH. Diabetes Chronic Complications. 2nd edition. 2005. West Sussex:
John Wiley and Sons,Ltd.

3. Boner G, Cooper ME. Management of Diabetic Nephropathy. 2005. London: Martin Dunitz,
Ltd.

4. Adam JMF. Komplikasi Kronik Diabetik Masalah Utama Penderita Diabetes dan Upaya
Pencegahan. Supl 26:3;2005. http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/medhas/9John%20Adam.pdf [Diakses 30 Mei 2011]

5. Gross JL, de Azevedo MJ, Silveiro SP, Canani LH, Caramori ML, Zelmanovitz T. Diabetic
Nephropathy: Diagnosis, Prevention, and Treatment: Stages, Clinical Features, and Clinical
Course. http:/medscape.com [Diakses 30 Mei 2011]

6. Brenner B, Brady HR, O'Meara YM. Nefropati Diabetik. In: Harrisons Principle of Internal
Medicine. 2001. New York: McGraw-Hill.

7. Kariadi SH. Diabetes? Siapa Takut!! Panduan Lengkap untuk Diabetisi, Keluarganya, dan
Profesional Medis. 2009. Bandung: Qanita.

8. Mitchell RN, Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins &
Cotran. Ed 7. 2006. Jakarta: EGC.

29

9. Soman SS. Diabetic Nephropathy. Henry


http:/emedicine.medscape.com [Diakses 30 Mei 2011]

Ford

Hospital.

Nov

19,

2009.

10. Dronavalli S, Duka I, Bakris GL. The Pathogenesis of Diabetic Nephropathy. 2008.
http:/cme.medscape.com [Diakses 30 Mei 2011]

11. National Kidney Foundation KDOQI Clinical Practice Guidelines and Clinical Practice
Recommendations
for
Diabetes
and
Chronic
Kidney
Disease.2007.http://www.kidney.org/Professionals/kdoqi/guideline_diabetes/guide1.htm
[Diakses 30 Mei 2011]
12. PERKENI, Konsensus pengelolaan diabetes mellitus di Indonesia, Denpasar, Bali:
Perkumpilan Endokrinologi Indonesia, 1998: 1-5
13. WHO, Prevention of diabetes mellitus, Technical Report Series, 1994: 11-31.
14. ADA, Report of the expert committee on the diagnosis and classification of diabetes
mellitus, Diabetes care, 2002: 25. Sup 1.1: S5-S20.
15. Greene RJ. Harris ND. GoodyerLI., Pathology and theurapeutics for pharmacists: A basic
for clinical pharmancy practice, Chapman and Hill, London 1993: 409-415.
16. DCCT (Diabetes Control and Complications Trial Resesarch Group), Effects of intensive
therapy on the development and progression trial, Kinney int, 1995.
17. Moerdowo RM, Spektrum Diabetes mellitus, Djambatan, Jakarta, 1998: 166-8.

30

Anda mungkin juga menyukai