Anda di halaman 1dari 7

kuliah kedokteranSKIP TO CONTENTHOMEAKUPUNKTURILMU BEDAHILMU

KESEHATAN ANAKILMU KESEHATAN JIWAILMU PENYAKIT DALAMILMU PENYAKIT


KULITILMU PENYAKIT MATAILMU PENYAKIT THTILMU SARAFOBSTETRI
GINEKOLOGIPATOLOGI KLINIKRADIOLOGIREQUEST ORDER Mola Hidatidosa /
Hamil AnggurGangguan Ekstrapiramidal AUGUST 23, 2013 12:15 PM Jump to
Comments
Ruptur uteri
Ruptura uteri pada kehamilan, merupakan salah satu dari komplikasi obstetri
yang sangat serius. Komplikasi ini berhubungan erat dengan angka kematian dan
angka kesakitan dari bayi dan ibu bersalin. Jika pasien dapat selamat, ada
kemungkinan fungsi reproduksinya berakhir dan proses penyembuhannya sering
kali memakan waktu yang cukup lama. Pada sebuah penelitian selama 10 tahun,
yaitu dari tahun 1987-1997 di Nova Scotia, Kanada, didapatkan 114.933
persalinan dengan 39 kasus ruptura uteri: 18 ruptura komplit dan 21 inkomplit
(dehisensi). 36 wanita memiliki riwayat seksio sesarea: 33 dengan insisi low
transverse, 2 insisi klasik, dan 1 dengan insisi low vertical. Dari 114.933
persalinan tersebut, sebanyak 11.585 (10%) adalah wanita sengan riwayat seksio
sesarea dan angka kejadian ruptura uteri komplit adalah sebanyak 2,4 per 1000
persalinan dan dehisensi sebanyak 2,4 per 1000 persalinan. Tidak terjadi
kematian maternal, namun terdapat 2 kematian perinatal pada ruptura uteri
komplit.
Di Indonesia sendiri frekuensi ruptura uteri di rumah
sakit-rumah sakit besar berkisar antara 1:92 sampai 1:294 persalinan. Angkaangka ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Sebagai
penyebab utama terjadinya ruptura uteri adalah trauma dorongan, yang
biasanya dilakukan oleh para dukun saat menolong persalinan. Hal ini sesuai
dengan kesimpulan dari Hassel pada penelitian tentang ruptura uteri di daerah
Jawa Tengah.
Berdasarkan kepustakaan yang ada beberapa faktor yang
merupakan penyebab terjadinya ruptura uteri di antaranya adalah : 1) parut
uterus (seksio sesaria, miomektomi, abortus sebelumnya), 2) trauma (kelahiran
operatif: versi, ekstraksi bokong, forceps perangsangan oksitosin yang
berlebihan, kecelakaan, pemasangan misoprostol yang berlebihan), 3) ruptura
uteri spontan yang tidak berparut (disproporsi kepala panggul, malpresentasi
janin, anomali janin, leiomioma uteri dan distosia bahu), 4) faktor-faktor lain
(plasenta akreta, inkreta,panyakit trofoblas invasif).
Dari beberapa
kepustakaan disebutkan bahwa multipara merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya ruptura uteri. Hal ini mungkin disebabkan karena pada
multipara dinding uterus sudah lemah, karena persalinan sebelumnya
menyebabkan luka-luka kecil sehingga di tengah-tengah miometrium terdapat
penambahan jaringan ikat yang mengakibatkan kekuatan dinding uterus menjadi
berkurang; akibat selanjutnya pada waktu terjadi regangan saat persalinan
berikutnya lebih mudah terjadi ruptura uteri.
Sebagai tindakan terapi
terdapat 2 pilihan yakni: histerektomi atau histerorafi. Yang lebih banyak
dikerjakan adalah histerektomi dibandingkan dengan histerorafi. Alasan dipilih
histerektomi adalah adanya kekhawatiran terjadinya ruptura uteri kembali pada
kehamilan berikutnya.I. DEFINISI
Ruptura uteri digolongkan menjadi
ruptura uteri lengkap dan ruptura uteri tidak lengkap, tergantung apakah laserasi

tersebut berhubungan dengan kavum peritonei (lengkap) atau dipisahkan dari


kavum tersebut oleh peritoneum viseralis uterus atau oleh ligamentum kardinale
(tidak lengkap). Ruptura uteri yang tidak lengkap bisa berubah menjadi
lengkap.
Harus juga dibedakan antara ruptura jaringan parut bekas seksio
sesarea dan dehisensi jaringan parut bekas seksio sesarea. Ruptura paling tidak
berarti pelepasan atau pemisahan luka insisi lama di sepanjang uterus dengan
robeknya selaput ketuban sehingga kavum uteri berhubungan langsung dengan
kavum peritoneum. Pada keadaan ini seluruh atau sebagian janin mengalami
ekstrusi ke dalam kavum peritoneum. Disamping itu, biasanya terjadi perdarahan
yang masif dari tepi jaringan parut atau dari perluasan robekan yang mencapai
bagian uterus yang tadinya tidak apa-apa. Sebaliknya, pada dehisensi jaringan
parut bekas seksio sesarea, selaput ketuban tidak pecah dan janin tidak
mengalami ekstruksi ke dalam kavum peritoneum. Ciri khas dari dehisensi adalah
pemisahan tersebut tidak mengenai seluruh jaringan parut yang sudah ada
sebelumnya pada uterus, sehingga peritoneum yang melapisi defek masih utuh
dan perdarahan minimal atau tidak ada.
II. ETIOLOGI A. Ruptur jaringan parut uterus
1. Jaringan parut seksio sesarea
( merupakan penyebab terbanyak)
2. Riwayat kuretase atau perforasi
uterus
3. Trauma abdomen B. Persalinan yang terhambat akibat disproporsi
cephalopelvik C. Stimulasi yang berlebihan pada uterus pada induksi persalinan
1. Pematangan serviks ( Misoprostol atau Dinoprostone)
2. Penggunaan
kokain pada masa kehamilan D. Faktor-faktor lain
1. Peregangan uterus
yang berlebihan
2. Neoplasia Trofoblastik Gestasional
3. Pelepasan
plasenta yang sulit secara manual E. Penemuan yang tidak berhubungan
dengan ruptura uteri
1. Infus oksitosin dengan dosis berlebihan
2.
Kontraksi 5x atau lebih dalam 10 menit
3. Kontraksi tetanik selama lebih dari
90 detik
III. KLASIFIKASI RUPTURA UTERIRUPTURA UTERI TANPA JARINGAN PARUTRuptur
SpontanYang dimaksudkan ialah ruptura uteri yang terjadi secara spontan pada
uterus yang utuh (tanpa parut). Faktor pokok di sini ialah bahwa persalinan tidak
maju karena rintangan, misalnya panggul sempit, hidrosefalus, janin dalam letak
lintang, dan sebagainya, sehingga segmen bawah uterus makin lama makin
diregangan. Pada suatu regangan yang terus bertambah melampaui batas
kekuatan jaringan miometrium sehingga terjadilah ruptura uteri.
Faktor
yang merupakan predisposisi terhadap terjadinya ruptura uteri ialah multiparitas;
di sini di tengah-tengah miometrium sudah terdapat banyak jaringan ikat yang
menyebabkan kekuatan dinding uterus menjadi kurang, sehingga regangan lebih
mudah menimbulkan robekan. Banyak juga dilaporkan bahwa kebiasaan yang
dilakukan oleh dukun-dukun memudahkan terjadinya ruptura uteri. Pada
persalinan yang kurang lancar, dukun-dukun itu biasanya melakukan tekanan
keras ke bawah terus menerus pada fundus uteri; hal ini dapat menambah
tekanan pada segmen bawah uterus yang regang dan mengakibatkan terjadinya
ruptura uteri. Pemberian oksitosin dalam dosis yang terlampau tinggi dan/atau
atas indikasi yang tidak tepat, bisa pula menyebabkan ruptura
uteri.
RUPTURA UTERI TRAUMATIK
Ruptura uteri yang disebabkan
oleh trauma dapat terjadi karena jatuh, kecelakaan seperti tabrakan dan

sebagainya. Robekan demikian itu yang bisa terjadi pada setiap saat dalam
kehamilan, jarang terjadi karena rupanya otot uterus cukup tahan terhadap
trauma dari luar. Yang lebih sering terjadi ialah ruptura uteri yang dinamakan
ruptura uteri violenta. Di sini karena distosia sudah ada regangan segmen bawah
uterus dan usaha vaginal untuk melahirkan janin mengakibatkan timbulnya
ruptura uteri. Hal ini misalnya terjadi pada versi ekstraksi pada letak lintang yang
dilakukan bertentangan dengan syarat-syarat untuk tindakan tersebut.
Kemungkinan besar yang lain ialah ketika melakukan embriotomi. Berhubungan
dengan itu, setelah tindakan-tindakan tersebut di atas dan juga setelah ekstraksi
dengan cunam yang sukar, perlu dilakukan pemeriksaan kavum uteri dengan
tangan untuk mengetahui apakah terjadi ruptura uteri. Gejala-gejala ruptura uteri
violenta tidak berbeda dengan ruptura uteri spontan.RUPTURA JARINGAN PARUT
SEKSIO SESAREAPada wanita yang memiliki riwayat seksio sesarea, ruptura
dapat terjadi di tempat parut luka lama. Banyak studi melaporkan bahwa wanita
yang memiliki riwayat seksio sesarea satu kali dengan insisi low-horizontal, risiko
terjadinya ruptura adalah 0.5 sampai 1.%. Wanita dengan riwayat seksio sesarea
lebih dari satu kali memiliki risiko ruptura yang sedikit lebih besar.Risk of Uterine
Rupture with Low Transverse Uterine Scars* Revised 10/14/2002Number of
Previous CesareansSuccessful VBACsRupture RatePerinatal
Mortality10,880 Planned VBACs with one prior
scar83%0.6%0.018%1,586 Planned VBACs with two prior
scars76%1.8%0.063%241 Planned VBACs with three prior scars79%1.2%0Source:
Miller, D. A., F. G. Diaz, and R. H. Paul.1994. Obstet Gynecol 84 (2): 255258Diantara parut-parut bekas seksio sesarea, parut yang telah terjadi sesudah
seksio sesarea klasik lebih sering menimbulkan ruptura uteri daripada parut
bekas seksio sesarea profunda. Perbandingannya ialah 4:1. Hal ini disebabkan
oleh karena luka pada segmen bawah uterus yang menyerupai daerah uterus
yang lebih tenang dapat masa nifas dapat sembuh dengan lebih baik, sehingga
parut lebih kuat. Ruptura uteri pada bekas parut seksio sesaria klasik juga lebih
sering terjadi pada kehamilan tua sebelum persalinan dimulai, sedang peristiwa
tersebut pada parut bekas seksio sesaria profunda umumnya terjadi pada waktu
persalinan. Ruptura uteri pasca seksio sesarea bisa menimbulkan gejala-gejala
seperti telah diuraikan lebih dahulu, akan tetapi bisa juga terjadi tanpa banyak
menimbulkan gejala. Dalam hal yang terakhir ini tidak terjadi robekan yang
mendadak, melainkan lambat laun jaringan di sekitar bekas luka menipis untuk
akhirnya terpisah sama sekali dan terjadilah ruptura uteri. Di sini biasanya
peritoneum tidak ikut serta, sehingga terdapat ruptura uteri inkompleta. Pada
peristiwa ini ada kemungkinan arteri besar terbuka dan timbul perdarahan yang
untuk sebagian berkumpul di ligamentum latum dan untuk sebagian keluar.
Biasanya janin masih tinggal dalam uterus dan his kadang-kadang masih
ada.
Sementara itu penderita merasa nyeri spontan atau nyeri pada
perabaan tempat bekas luka. Jika arteri besar terluka, gejala-gejala perdarahan
dengan anemia dan syok; janin dalam uterus meninggal pula.
Williams
(1921) beranggapan bahwa uterus sembuh melalu regenerasi serat-serat otot
dan bukan oleh pembentukan jaringan parut. Schwarz dkk. (1938) menyimpulkan
bahwa penyembuhan terjadi terutama melalui proliferasi fibroblas.
IV.
MEKANISME TERJADINYA RUPTURA UTERI
Mekanisme utama dari ruptura

uteri disebabkan oleh peregangan berlebihan dari uterus yang kadang disertai
pembentukan cincin retraksi patologis pada ruptura uteri. Bila disproporsi yang
terjadi sedemikian besar maka uterus menjadi sangat teregang dan kemudian
dapat menyebabkan ruptura. Walaupun jarang, dapat timbul konstriksi atau
cincin lokal uterus pada persalinan yang berkeapanjangan. Yang paling sering
adalah cincin retraksi patologis Bandl.Lingkaran Bandl ini dianggap fisiologik bila
dijumpai 2-3 jari di atas simfisis, bila meninggi maka kita harus waspada
terhadap kemungkinan adanya ruptura uteri iminens (RUI).Rumus mekanisme
terjadinya Ruptura Uteri:
R=H+O
dimana R = Ruptura
H = His kuat (tenaga)
O = Obstruksi (halangan)Pada waktu in partu, korpus uteri mengadakan
kontraksi sedang SBR tetap pasif dan serviks menjadi lembek (effacement dan
pembukaan). Bila oleh sesuatu sebab partus tidak dapat maju (obstruksi), sedang
korpus uteri berkontraksi terus dengan hebatnya (his kuat), maka SBR yang pasif
akan tertarik ke atas menjadi bertambah regang dan tipis- lingkaran Bandl ikut
meninggi, sehingga suatu waktu terjadilah robekan pada SBR tadi- Ruptura
Uteri.V. GEJALA RUPTURA UTERIGejala Ruptura Uteri IminensPartus telah lama
berlangsungPasien nampak gelisah, ketakutan, disertai dengan perasaan nyeri di
perut.Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan mengerang
kesakitan bahkan meminta supaya anaknya secepatnya dikeluarkan.Pernafasan
dan denyut nadi lebih cepat dari biasa.Ada tanda dehidrasi karena partus yang
lama (prolonged labor), yaitu mulut kering, lidah kering dan haus, badan panas
(demam).His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terusmenerus.Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik yang tegang, tebal
dan keras, terutama sebelah kiri atau keduanya.Pada waktu datang his, korpus
uteri teraba keras (hipertonik) sedangkan SBR teraba tipis dan nyeri kalau
ditekan.Di antara korpus dan SBR nampak lingkaran Bandl sebagai lekukan
melintang yang bertambah lama bertambah tinggi, menunjukkan SBR yang
semakin tipis dan teregang. Sering lingkaran Bandl ini dikelirukan dengan
kandung kemih yang penuh, untuk itu lakukan kateterisasi kandung kemih. Dapat
peregangan dan tipisnya SBR terjadi di dinding belakang sehingga tidak dapat
kita periksa, misalnya terjadi pada asinklitismus posterior atau letak tulang ubunubun belakang.Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik
dan teregang ke atas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih, maka
pada kateterisasi ada hematuri.Pada auskultasi terdengar denyut jantung janin
tidak teratur (asfiksia).Pada pemeriksaan dalam dapat dijumpai tanda-tanda
obstruksi seperti edema porsio, vagina, vulva dan kaput kepala janin yang
besar.
Bila ruptura uteri yang mengancam dibiarkan terus, maka suatu saat
akan terjadilah ruptura uteri.Penemuan Klinis Ruptura UteriA . Anamnesis dan
InspeksiPada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar
biasa, menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah,
takut, pucat, keluar keringat dingin sampai kolaps. Pernafasan jadi dangkal dan
cepat, kelihatan haus.Muntah-muntah karena perangsangan peritoneum. Syok,
nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tak terukur .Keluar perdarahan
pervaginam yang biasanya tak begitu banyak, lebih-lebih kalau bagian terdepan
atau kepala sudah jauh turun, dan menyumbat jalan lahir.Kadang-kadang ada
perasaan nyeri yang menjalar ke tungkai bawah dan di bahu.Kontraksi uterus

biasanya hilang.Terdapat defans muskuler dan kemudian menjadi kembung dan


meteorismus.B . PalpasiTeraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan
adanya emfisema subkutanBila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan
dari pintu atas panggul.Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada di
rongga perut maka teraba bagian-bagian janin langsung di bawah kulit perut,
dan di sampingnya kadang-kadang teraba uterus sebagai suatu bola keras
sebesar kelapa.Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek.C.
Auskultasi .Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi
beberapa menit setelah ruptura, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan
masuk ke rongga perut.D. Pemeriksaan Dalam.Kepala janin yang tadinya sudah
turun ke bawah, dengan mudah dapat didorong ke atas, dan ini disertai keluarnya
darah pervaginam yang agak banyak.Kalau rongga rahim sudah kosong dapat
diraba robekan pada dinding rahim dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui
robekan tadi, maka dapat diraba usus, omentum, dan bagian-bagian janin. Kalau
jari tangan kita yang di dalam kita temukan dengan jari luar, maka terasa seperti
dipisahkan oleh bagian yang tipis sekali dari dinding perut, juga dapat diraba
fundus uteri.E. Kateterisasi.
Hematuri hebat menandakan adanya
robekan kandung kemih.VI. DIAGNOSA BANDINGSolusio plasentaPlasenta
PreviaKlinisRuptura UteriSolutio PlasentaPlasenta PreviaTerjadinyaLebih sering
inpartuSewaktu hamil dan inpartuSewaktu hamilCara mulainyaDimulai dengan
RUITiba-tibaPerlahan-lahanPerdarahanBergantung pada pembuluh darah yang
pecahNon-recurrentRecurrentWarna darah
Merah terang
Merah
kehitaman
Merah terangPreeklamsi/eklamsi Bisa Ada

Nyeri perut
+di SBR

Palpasi
Defans muskuler
Uteri in-bois
Biasa
dan floatingHis
Hilang
Kuat
BiasaDJJ

+VT
Robekan
Ketuban tegang
Jaringan
plasentaPlasenta
Biasa
Tipis, cekung
Robek di
pinggir
VII. KOMPLIKASI Infeksi post operasiKerusakan ureterEmboli cairan
amnionDICKematian maternalKematian perinata
lIX. PENATALAKSANAAN
Pada kasus ruptura uteri harus dilakukan tindakan
segera. Jiwa wanita yang mengalami ruptura uteri paling sering tergantung dari
kecepatan dan efisiensi dalam mengoreksi keadaan hipovolemia dan
mengendalikan perdarahan. Perlu ditekankan bahwa syok hipovolemik mungkin
tidak bisa dipulihkan kembali dengan cepat sebelum perdarahan arteri dapat
dikendalikan, karena itu, dengan adanya alasan ini, keterlambatan dalam
tindakan pembedahan tidak bisa diterima. Sebaliknya, darah harus ditransfusi
dengan cepat dan seksio sesarea atau laparatomi segera dimulai. Malahan
penderita hendaknya dirawat 3 minggu sebelum jadwal persalinan. Dapat
dipertimbangkan pula untuk melakukan seksio sesarea sebelum jadwal
persalinan dimulai, asal kehamilannya benar-benar lebih dari 37 minggu.
Apabila sudah terjadi ruptura uteri, tindakan yang terbaik adalah laparatomi.
Janin dikeluarkan lebih dahulu dengan atau tanpa pembukaan uterus (hal yang
terakhir ini jika janin sudah tidak di dalam uterus lagi), kemudian dilakukan

histerektomi. Janin tidak dilahirkan pervaginam, kecuali janin masih terdapat


seluruhnya dalam uterus dengan kepala sudah turun jauh dalam jalan lahir dan
ada keragu-raguan terhadap diagnosis ruptura uteri. Dalam hal ini, setelah janin
dilahirkan, perlu diperiksa dengan satu tangan dalam uterus apakah ada ruptura
uteri. Pada umumnya pada ruptura uteri tidak dilakukan penjahitan luka dalam
usaha untuk mempertahankan uterus. Hanya dalam keadaan yang sangat
istimewa hal itu dilakukan; dua syarat dalam hal ini harus dipenuhi, yakni pinggir
luka harus rata seperti pada ruptura parut bekas seksio sesaria, dan tidak ada
tanda-tanda infeksi. Pengobatan untuk memerangi syok dan infeksi sangat
penting dalam penanganan penderita dengan ruptura uteri.
Pada kasuskasus yang perdarahannya hebat, tindakan kompresi aorta dapat membantu
mengurangi perdarahan. Pemberian oksitosin intravena dapat mencetuskan
kontraksi miometrium, dan selanjutnya vasokonstriksi sehingga mengurangi
perdarahan.
X. PROGNOSIS
Ruptura uteri merupakan peristiwa yang gawat bagi ibu
dan lebih-lebih bagi janin. Angka mortalitas yang ditemukan dalam berbagai
penelitian berkisar dari 50% hingga 75%. Janin umumnya meninggal pada
ruptura uteri. Tetapi, jika janin masih hidup pada saat peristiwa tersebut terjadi,
satu-satunya harapan untuk mempertahankan jiwa janin adalah dengan
persalinan segera, yang paling sering dilakukan adalh laparatomi. Kalau tidak,
keadaan hipoksia baik sebagai akibat terlepasnya plasenta maupun hipovolemia
maternal tidak akan terhindari. Jika tidak diambil tindakan, kebanyakan wanita
akan meninggal karena perdarahan atau mungkin pula karena infeksi yang
terjadi kemudian, kendati penyembuhan dapat terjadi spontan pernah pula
terjadi pada kasus yang luar biasa.
Diagnosis cepat, tindakan operasi
cepat, ketersediaan darah dalam jumlah besar dan terapi antibiotik sudah
menghasilkan perbaikan prognosis yang sangat besar bagi wanita dengan
ruptura uteri yang hamil.
Share this:
TwitterFacebook
Related
Perdarahan antepartumIn "Obstetri Ginekologi"PENANGANAN SEKSIO SESAREA
PADA PERSALINAN KALA II LAMAIn "Obstetri Ginekologi"Kehamilan EktopikIn
"Obstetri Ginekologi"Leave a commentFiled under Obstetri GinekologiTagged
as hipovolemia, kontraksi uterus, perdarahan,ruptur uteri, seksio caesar
Leave a Reply
Search for:
Blog Stats
93,185 hits
Categories

akupunktur (1)Ilmu Bedah (1)Ilmu Kesehatan Anak (13)Ilmu Penyakit


Dalam (2)ilmu penyakit kulit (4)Ilmu Penyakit Mata (4)ilmu penyakit THT (2)Ilmu
saraf (9)Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)(10)Obstetri
Ginekologi (17)Request order (2)tropikal infeksi (2)
Author
dr. sisca - Jakarta sisca_lioe@yahoo.com085298053635Jasa Pembuatan Referat
Kedokteran / Makalah / Artikel / Case Jurnal / Bahan Presentasi
Recent Posts
Kista OvariumPenanganan Persalinan NormalDermatofitosisKematian Perinatal
(IUFD)Dermatitis Kontak AlergiGuillain Barre SyndromeVERTIGOkuliah
kedokteran Jasa Pembuatan Referat kedokteran / Makalah / Artikel / Case Jurnal /
Bahan PresentasiBlog at WordPress.com. The Pilcrow Theme.Follow
Follow kuliah kedokteran
Get every new post delivered to your Inbox.Build a website with WordPress.com

Anda mungkin juga menyukai