Anda di halaman 1dari 7

PENGELOLAAN PENDERITA REAKSI KUSTA

DI RSUD TUGUREJO SEMARANG


Dr. KHUNADI HUBAYA Sp.KK (K)
SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD TUGUREJO SEMARANG

I.

PENDAHULUAN
Pada penderita kusta dapat timbul reaksi kusta, dimana merupakan bagian dari

penyakit tersebut. Reaksi bukan merupakan efek samping dari MDT (Multi Drug Therapy),
tetapi respon dari tubuh terhadap kuman kusta dan bukan berarti penyakit menjadi makin
parah atau tidak efektifnya pengobatan yang diberikan. Reaksi kusta adalah suatu keadaan
timbulnya gejala dan tanda peradangan akut pada lesi penderita kusta yang merupakan suatu
gangguan keseimbangan immunologi akibat reaksi hiper sensitivitas terhadap antigen
Mycobacterium leprae. Reaksi merupakan penyebab yang terbanyak terjadinya kecacatan
pada penderita kusta. Tiga puluh persen (30%) penderita kusta yang diobati akan terjadi
reaksi.
Reaksi kusta terjadi pada saat timbulnya penyakit kusta, maupun dapat terjadi karena
perubahan immunologis akibat dari pengobatan antikusta yang diikuti penurunan jumlah
kuman. Tetapi bisa juga terjadi secara spontan sebagai akibat penyakit infeksi lain, misalnya
virus, malaria, anemia, stres mental dan fisik, pubertas, kehamilan, melahirkan atau tindakan
bedah. Pengobatan antikusta merupakan faktor pencetus yang paling sering terjadi.

II.

PEMBAGIAN REAKSI

Reaksi kusta dibagi menjadi :


a. Reaksi tipe 1 : Reaksi Reversal disebut juga upgrading reaction, borderline reaction,
tuberculoid reaction, nonlepromatous lepra reaction
Reaksi ini timbul pada kusta dengan klasifikasi Borderline (BT, BB, BL), dan muncul
dalam 6 bulan pertama pengobatan. Tetapi juga dapat terjadi 2 tahun sejak pengobatan
pertama atau pada yang belum mendapat terapi. Menurut Jopling reaksi lepra tipe 1
merupakan delayed hypersensitivity reaction seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV
menurut Coombs dan Gell. Antingen yang berasal dari basil yang telah mati (breaking down
leprosy bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan SIS yang cepat. Jadi pada
dasarnya reaksi tipe 1 terjadi akibat perubahan keseimbangan antar imunitas (SIS) dan basil.
Dengan demikian sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/reversal, apabila

Dipresentasikan pada Pertemuan Koordinasi dengan Dokter Spesialis Kulit & Kelamin di RS Se-Jateng
Gedung Bappeda Propinsi Jawa Tengah
Semarang, 23 Nopember 2005

menuju kearah bentuk tuberkuloid (terjadi peningkatan SIS) atau down grading, apabila
menuju ke bentuk lepromatosa (terjadi penurunan SIS).
Pada kenyataannya reaksi tipe 1 ini diartikan dengan reaksi reversal oleh karena paling
sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapat pengobatan, sedangkan down
grading reaction lebih jarang dijumpai oleh karena berjalan lebih lambat dan umumnya
dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat pengobatan.
Gambaran klinis dari reaksi reversal yang dijumpai berupa plakat eritem dan menonjol,
mengkilat, beberapa hari kemudian warnanya dapat berubah menjadi keunguan atau
kecoklatan. Tepi lesi berbatas tegas, bisa nyeri tekan atau bila diraba terasa panas. Bila reaksi
hebat dapat terjadi deskuamasi atau ulserasi akibat nekrosis. Dapat terjadi gangguan saraf
berupa neuritis pada saraf yang letaknya superficial. Neuritis ringan berupa pembesaran saraf
tanpa rasa nyeri, anestesi maupun paralysis. Pada kasus yang berat dijumpai pembesaran saraf
disertai nyeri spontan atau nyeri tekan, serta anestesi pada dermatom yang dipersarafi.
Gejala sistemik ringan berupa udem wajah dan kaki, sedangkan yang berat terjadi demam,
malaise, udem wajah, tangan dan kaki.
b.

Reaksi tipe 2 : Eritema Nodosum Leprosum disebut juga roseolar leprosy


Reaksi ini terjadi pada penderita tipe LL dan BL. Kasus ini terjadi pada 50% penderita

yang telah mendapatkan pengobatan, dan sekitar 5% dapat timbul spontan pada penderita yang
belum diobati. Beberapa faktor pencetus antara lain adanya infeksi yang kambuhan, luka,
operasi/pembedahan, stres fisik/mental, imunisasi, kehamilan, persalinan, dan anemia.
ENL disebut juga reaksi lepra tipe 2 merupakan suatu reaksi hipersensitifitas tipe III
menurut Coomb dan Gell. Antigen berasal dari produk kuman yang telah mati dan bereaksi
dengan antibody membentuk kompleks antigen-antibodi. Kompleks antigen-antibodi ini akan
mengaktivasi komplemen sehingga terjadi ENL. ENL merujpakan reaksi humoral yang
merupakan manifestasi sindrom kompleks imun. Apabila kompleks imun ini mengendap di
dinding pembuluh darah akan terjadi vaskulitis dan kalau terbawa aliran darah akan
membentuk ENL baru di tempat lain pada kulit dan organ-organ lainnya serta dapat
menimbulkan neuritis, iridosiklitis, arthritis, miositis dan orkitis.
ENL merupakan manifestasi dari reaksi lepra yang paling sering dijumpai, yaitu berupa
papul, nodul atau platkat eritem, batas tidak jelas, permukaan mengkilat, dan terasa nyeri,
letaknya pada dermis superficial atau lebih dalam, dapat mengalami supurasi atau ulserasi dan
bila berlangsung kronis akan terbentuk indurasi kecoklatan. Predileksi ENL pada umumnya
pada wajah dan permukaan ekstensor ekstremitas, akan tetapi dapat timbul di tempat lain
misalnya di badan. Gejala lainnya pada umumnya disertai demam, malaise, nyeri kepala,
artralgia, neuritis, dan arthritis.

Dipresentasikan pada Pertemuan Koordinasi dengan Dokter Spesialis Kulit & Kelamin di RS Se-Jateng
Gedung Bappeda Propinsi Jawa Tengah
Semarang, 23 Nopember 2005

Fenomena lucio atau reaksi kusta tipe 3 sebenarnya merupakan reaksi tipe 2 yang jarang
didapat, bersifat agresif dan nekrolitik fatal pada lepra tipe lepramatosa (LL) difus non
noduler. Gambaran klinis fenomena lucio berupa bula yang cepat menjadi ulserasi terutama
pada daerah bawah lutut. Dapat terasa nyeri atau kadang tanpa gejala yang khas. Lesi ulseratif
tersebut meninggalkan jaringan parut, ulserasi pada mukosa hidung (epitaksis), laring (serak),
iktiosis, kerontokan rambut dan kerusakan saraf sensorik secara luas. Basil terlihat pada
dinding pembuluh darah dan terjadi trombosis pada middermal pembuluh darah menyebabkan
kutaneus infark.

III.

PENANGANAN REAKSI KUSTA

Pada prinsipnya pengobatan reaksi kusta terutama ditujukan untuk :

Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi paralysis atau
kontraktur.

Secepatnya dilakukan tindakan agar tidak terjadi kebutaan bila mengenai mata

Membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas.

Mengatasi rasa nyeri.

IV.

PENGOBATAN

Prinsip pengobatan reaksi kusta :

Istirahat atau imobilisasi.

Eliminasi faktor pencetus

Obat antikusta diteruskan.

Analgetik, sedatif untuk mengatasi rasa nyeri.

Pemberian obat antireaksi.

Untuk semua tipe reaksi, bila tidak ada kontra indikasi, semua obat antikusta dosis penuh
harus tetap diberikan :

Untuk membunuh kuman agar penyakitnya tidak meluas.

Untuk mencegah timbulnya resistensi.

Dengan menghentikan obat-obat antikusta saat pengobatan reaksi, kadang-kadang


justru akan menimbulkan reaksi pada waktu obat antikusta tersebut diberikan kembali.

Reaksi Ringan
Nonmedikamentosa : istirahat, imobilisasi, berobat jalan.
Medikamentosa

: paracetamol, asam mefenamat, piroksikam, natrium diklofenak

Dipresentasikan pada Pertemuan Koordinasi dengan Dokter Spesialis Kulit & Kelamin di RS Se-Jateng
Gedung Bappeda Propinsi Jawa Tengah
Semarang, 23 Nopember 2005

Reaksi Berat
Penderita dirawat di rumah sakit

Perbaikan keadaan umum dengan memperbaiki keseimbangan cairan/elektrolit

Untuk reaksi tipe 1 harus segera diberikan kortikosteroid, sedangkan untuk reaksi tipe
2 dapat diberikan klofazimin, kortikosteroid sendiri-sendiri atau kombinasi.

Cara pemberian kortikosteroid :

Dimulai dengan dosis sedang

Gunakan prednison atau metilprednisolon

Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari

Dosis diturunkan setelah terjadi respons maksimal

Dosis steroid dapat dimulai antara 15-30 mg prednison/hari dan diturunkan 5-10 mg
tiap 2minggu untuk reaksi tipe 1, dan tiap 1minggu untuk reaksi tipe 2.

Dosis metilprednisolon 4mg setara dengan 5 mg prednison.

Klofazimin diberikan untuk kasus ENL yang tidak berespon dengan pengobatan
kortikosteroid, dengan dosis 300 mg/hari sampai 3 bulan dan diturunkan secara bertahap.
Fenomena lucio diberikan pengobatan rifampisin merupakan obat utama bagi pasien yang
belum pernah mendapat pengobatan antikusta. Pemberian kortikosteroid seperti pada
pengobatan ENL, dimana klofazimin tidak efektif.

V. KEPUSTAKAAN
Martodihardjo S, Susanto RSD. Reaksi Kusta dan Penanganannya. Dalam : Emmy SS, Sri L,
Srie PI, Hanny N. Kusta. Jakarta : 2003.
Pfaltzgraff RE, Ramu G. Clinical Leprosy. Dalam : Hasting RC eds. Leprosy. London : 1994.
Por A, Yong-KT, Ng S-K, Scow C-S. Fatal Lucios Phenomenon in Two Patients with
Previously Undiagnosed Leprosy. J Am Acad Derm : 2003.
Soewono JPH, Suparniati E. Pedoman Standar Pengobatan dan Pengelolaan Kusta di Rumah
Sakit. Tangerang : 2000.
Thangraj RH, Yawalkar SJ. Leprosy for medical practitioners and paramedical workers.
Switzerland : 1988.
World Health Organitzation. A Guide to Eliminating Leprosy as a Public Health Program.
Geneva : 1997.
World Health Organization. Guide to Eliminate Leprosy as a Public Health Problem, 1 st ed.
Geneva : 2000.
Dipresentasikan pada Pertemuan Koordinasi dengan Dokter Spesialis Kulit & Kelamin di RS Se-Jateng
Gedung Bappeda Propinsi Jawa Tengah
Semarang, 23 Nopember 2005

LAMPIRAN
Pengobatan yang dipakai di RSUD Tugurejo Semarang (pengobatan jangka pendek selama 3
bulan) untuk tipe MB maupun tipe PB :
1. Kombinasi

Rifampisin 600 mg/bulan

Ofloxasin 400 mg/hari

Untuk pasien kusta dewasa sehat (> 17 th), tidak hamil


2. Kombinasi
Rifampisin dan claritomisin untuk pasien dewasa dengan gangguan fungsi hati, ginjal,
jantung, anemia berat, psikosis, serta wanita hamil dan anak-anak (< 17 th).
Dosis Dewasa :

Rifampisin 600 mg/bulan

Claritomisin 2 x 250 mg/hari

Dosis untuk Anak-anak :

Rifampisin 10 15 mg/kg BB 1 bulan 1 kali

Claritomisin 15 mg/kg BB/hari dibagi 2 dosis pagi dan malam setiap hari.

Bagi penderita yang alergi Rifampisin, hanya diberikan Claritomisin.

Dipresentasikan pada Pertemuan Koordinasi dengan Dokter Spesialis Kulit & Kelamin di RS Se-Jateng
Gedung Bappeda Propinsi Jawa Tengah
Semarang, 23 Nopember 2005

Dipresentasikan pada Pertemuan Koordinasi dengan Dokter Spesialis Kulit & Kelamin di RS Se-Jateng
Gedung Bappeda Propinsi Jawa Tengah
Semarang, 23 Nopember 2005

Dipresentasikan pada Pertemuan Koordinasi dengan Dokter Spesialis Kulit & Kelamin di RS Se-Jateng
Gedung Bappeda Propinsi Jawa Tengah
Semarang, 23 Nopember 2005

Anda mungkin juga menyukai