Anda di halaman 1dari 20

ForumDiagnosticum

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE

PRODIA DIAGNOSTICS EDUCATIONAL SERVICES

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE


Rita Kurniasih dan Andi Wijaya
Laboratorium Kimia Klinik, FMIPA, Universitas Padjadjaran Bandung
Laboratorium Klinik Prodia

ABSTRAK

ISSN 0854-7173 | No. 5/2002

Telah lama diketahui bahwa penanda biokimiawi dapat digunakan untuk


mengetahui faktor risiko terhadap stroke, penelitian lain menunjukkan bahwa
berbagai penanda biokimiawi juga dapat digunakan untuk diagnosis dan deteksi
dini kerusakan serebral. Penanda biokimiawi tersebut terdiri dari protein S100B, Myelin Basic Protein (MBP) dan Neuron Spesific Enolase (NSE). Penanda
biokimiawi ini merupakan protein yang secara normal terdapat dalam otak dengan
fungsinya masing-masing. Dalam keadaan stroke, penanda biokimiawi ini ada
dalam sirkulasi disertai terjadinya peningkatan kadar. Penanda biokimiawi ini
sangat dibutuhkan untuk memperoleh terapi stroke yang optimal terutama untuk
stroke iskemik, mengingat stroke sebagai penyebab kematian tertinggi dari
kelompok penyakit saraf dan kecacatan yang terjadi terutama disebabkan oleh
stroke.

ENDAHULUAN

Stroke adalah salah satu penyebab kematian ke tiga di banyak negara dan penyebab utama terjadinya
disabilitas neurologikal pada orang dewasa. Dua pertiga penderita stroke mengalami disabilitas yang
meliputi paralisis, kehilangan kemampuan berbicara dan ingatan (1).
Walaupun stroke dapat menyebabkan suatu keadaan yang merugikan, tetapi metode diagnosis dan
pilihan dalam pengobatan masih terbatas. Salah satu obat yang biasa digunakan untuk terapi stroke
adalah rtPA (recombinant tissue plasminogen activator),suatu trombolisis untuk terapi stroke iskemik.
Terapi dengan rtPA akan memberikan efek yang menguntungkan jika diberikan dalam waktu 3 jam
setelah serangan stroke, sehingga apabila pasien mengalami stroke, pasien harus segera didiagnosis
dalam waktu tersebut (window time) untuk menjamin kualitas pengobatan dan harus dibedakan dulu
antara stroke hemoragik atau iskemik. Hal ini disebabkan rtPA memiliki efek negatif jika diberikan kepada
penderita stroke hemoragik (2).
Saat ini belum tersedia rapid test untuk diagnosis stroke. Untuk mendiagnosis dan membedakan tipe
stroke, klinisi masih menggunakan CT (computed tomography) dan MRI (magnetic resonance
imaging), yang membutuhkan waktu agak lama dan kadang-kadang kurang sensitif untuk membedakan
antara stroke hemoragik dan iskemik. MRI dapat mengidentifikasi daerah dan lokasi di otak yang
mengalami sumbatan, tetapi MRI tidak dapat mendiagnosis dengan baik pada tahap awal serangan
stroke (2).

LABORATORIUM KLINIK

Untuk mengatasi hal tersebut, para peneliti sudah menemukan beberapa protein yang akan dilepaskan
dalam sirkulasi dan kadarnya meningkat selama serangan stroke, yaitu S-100B, NSE (neuron spesific
enolase) dan MBP (myelin basic protein). Protein-protein tersebut dapat digunakan sebagai rapid
marker yang akan membantu diagnosis dan deteksi dini serta prognosis stroke termasuk tingkat keparahan
stroke (2).

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE

PATOFISIOLOGI STROKE
Penyakit serebrovaskular merupakan penyebab kematian ke
tiga di beberapa negara dan penyebab utama peningkatan
morbiditas, terutama pada orang usia pertengahan dan lanjut
usia. Pada penyakit serebrovaskular terjadi abnormalitas di
otak yang disebabkan adanya gangguan pada pembuluh
darah serebral dan stroke menunjukkan keadaan ini,
terutama apabila simptom mulai menjadi akut. Efek akhir
dari penyakit serebrovaskular adalah terjadinya penurunan
suplai oksigen ke serebral/otak yang menyebabkan sel otak
mengalami hipoksia (4,2).
Jaringan otak sangat rentan terhadap gangguan suplai
glukosa maupun oksigen. Otak membutuhkan sekitar 20%
dari pemakaian oksigen tubuh setiap hari. Selain itu, secara
normal, otak membutuhkan glukosa untuk menghasilkan
energi melalui proses glikolisis dan siklus Krebs serta
membutuhkan 4 x 1021 ATP per menit. Oksigen dan glukosa
tersebut diantarkan ke otak melalui aliran darah secara
konstan. Metabolisme ini merupakan proses yang tetap dan
berkesinambungan, tanpa ada periode istirahat (1,3).
Gambar 1. Stroke iskemik

Stroke merupakan suatu keadaan yang amat kompleks yang


menyangkut terjadinya iskemia serebral, perubahan aliran
darah serebral, inflamasi, peningkatan produksi radikal
bebas, nekrosis neuronal dan apoptosis serta disfungsi
neurologik. Stroke dapat terjadi secara tiba-tiba dan
berlangsung lama sekurang-kurangnya selama 24 jam,
sedangkan iskemia serebral terjadi apabila aliran darah
menurun sampai pada satu titik dimana substrat metabolik
yang tersedia gagal untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme normal pada serebral/otak (1,3,4,5,6) (Gambar
1).

Berdasarkan patogenesisnya, stroke dibagi menjadi dua yaitu


stroke iskemik dan hemoragik (5,7).
Stroke iskemik merupakan penyebab sebagian besar kasus
stroke ( 85%). Stroke iskemik disebabkan oleh trombosis
atau emboli pada pembuluh darah serebral. Proses yang
mendasari terjadinya trombosis atau emboli adalah
aterosklerosis pada arteri karotid kranial yang meliputi terminal arteri karotid internal, arteri basilar, middle cerebral
arteri, arteri pericallosal, dan arteri posterior serebral.
Aterosklerosis terjadi karena kerusakan sel endotel (disfungsi
endotel) vaskular yang disebabkan gangguan mekanik,
biokimia dan inflamasi. Beberapa penyebab disfungsi
endotel adalah peningkatan dan modifikasi LDL (low density lipoprotein); radikal bebas akibat merokok, hipertensi,
diabetes mellitus; perubahan genetik; peningkatan kadar
homosistein plasma; serta infeksi mikroorganisme seperti
virus herpes atau Chlamydia pneumoniae. Disfungsi endotel
berhubungan dengan peningkatan ekstravasasi sel inflamasi,
peningkatan adhesi trombosit, aktivitas prokoagulan dan
kegagalan fibrinolisis (6,8,9).

Insiden stroke akan meningkat sesuai dengan pertambahan


usia. Faktor risiko yang penting meliputi hipertensi,
hiperkolesterolemia, diabetes, hiperhomosisteinemia,
merokok, faktor inflamasi dan hemostatik. Stroke dapat
digolongkan sesuai dengan etiologi atau dasar perjalanan
penyakitnya. Sesuai dengan perjalanan penyakit tersebut,
stroke dapat dibagi menjadi tiga yaitu, stroke in evolution,
stroke lengkap dan transient iskemic attacks (TIA), suatu
gangguan neurologis fokal yang timbul secara tiba-tiba dan
menghilang dalam beberapa menit sampai beberapa jam
(kurang dari 24 jam). TIA adalah faktor risiko utama infark
serebral, dan sebagian besar disebabkan oleh penurunan
aliran darah otak yang terjadi sebagai akibat abnormalitas
irama jantung, tekanan darah atau spasme.

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE

Limfosit T bersama dengan makrofag terdapat dalam intima (fatty streak) selama perkembangan aterosklerosis.
Lekosit dan makrofag dapat mensekresi sitokin, kemokin
dan faktor pertumbuhan yang akan mengawali terjadinya
migrasi dan proliferasi sel otot polos (SMC). SMC dapat
mengekspresikan enzim yang akan mendegradasi elastin
dan kolagen sebagai respon terhadap stimulasi inflamasi.
Degradasi matriks ekstraselular ini menyebabkan penetrasi
sel otot polos melalui lamina elastik dan terjadi pembentukan
matriks kolagen yang akan menutupi ateroma yang
mengandung lekosit, lipid dan debris yang akan membentuk
inti nekrotik, selain itu juga terjadi akumulasi makrofag yang
dimediasi oleh MCSF, MCP-1, ox-LDL dan terbentuk
advanced, complicated lesi atherosclerotic (8,9).

Gambar 2. Disfungsi endotel

Tahap awal aterosklerosis adalah terjadinya adhesi lekosit


yaitu monosit dan limfosit T pada permukaan endotel yang
mengekspresikan molekul-molekul adhesi seperti : VCAM1 (vascular cell adhesion molecule),ICAM-1 (intracellular cell
adhesion molecule) serta E-selektin dan oleh protein
kemotaktik (MCP-1/monocyte chemoattractan protein-1) sel
lekosit tersebut akan masuk ke dalam intima. Mediator
inflamasi seperti M-CSF (macrophage colony stimulating
factor) dapat meningkatkan ekspresi reseptor scavenger
makrofag yang menyebabkan pengambilan partikel lipoprotein termodifikasi dan pembentukan sel busa. M-CSF dan
mediator lain yang dihasilkan dalam plak dapat mengawali
replikasi makrofag dalam intima (8,9).

Gambar 4. Pembentukan advanced, complicated lesi atherosclerotic

Pada akhirnya, mediator inflamasi dapat menghambat


sintesis kolagen dan menyebabkan ekspresi kolagenase
oleh sel busa dalam intima. Perubahan metabolisme matriks
ekstraselular menyebabkan fibrous cap menjadi tipis
sehingga mudah koyak. Penelitian menunjukkan bahwa
koyaknya plak, ulserasi dan hemoragik intraplak dimediasi
terutama oleh MMP-9 (matriks metalloproteinase). Cross
talk antara limfosit T dan makrofag dapat meningkatkan
ekspresi tissue factor / faktor pertumbuhan yang merupakan
prokoagulan yang kuat (8,9,11).

Gambar 3. Pembentukan fatty streak pada proses aterosklerosis

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE

Trombus dapat mengalami disolusi, organisasi-rekanalisasi,


mengoklusi lumen pembuluh darah yang menyebabkan
iskemia serebral serta sumber terbentuknya emboli. Emboli
yang terjadi di otak dapat berasal dari berbagai sumber.
Trombus mural kardiak adalah sumber utama emboli di otak.
Infark miokardial, penyakit valvular dan fibrilasi atrial adalah
faktor-faktor penting yang dapat menyebabkan terbentuknya
trombus mural kardiak (4,6,10).
Emboli dapat terdiri dari kolesterol, trombosit dan fibrin.
Bergantung kepada ukuran, komposisi, konsistensi dan
umurnya, emboli dapat mengalami lisis, fragmentasi atau
menetap dan mengoklusi arteri distal dan mungkin pula
mencetuskan terbentuknya trombosis anterograd dan
retrogard. Emboli arterial dapat menyebabkan gangguan
fungsi otak karena : sebagian besar bagian otak sangat
sensitif terhadap obstruksi aliran darah serebral dan emboli
dari jantung cenderung menuju ke arteri karotis dan
brakhiosefalik disebabkan pengaruh dari bentuk arkus aorta
serta pembuluh darah besar jantung (4,15).

Gambar 5. Koyaknya fibrous cap atau ulserasi fibrous plak yang dapat
menyebabkan trombosis

Perubahan tekanan pada intraluminal, irama vaskular,


perubahan pada derajat aliran, stenosis, fibrous cap yang
tipis, mengandung sedikit kolagen dan sel otot polos,
konstituen plak yang banyak mengandung lipid, makrofag
dan limfosit T, serta enzim kolagenase dan elastase yang
menguraikan matriks plak ekstraselular dapat menyebabkan
plak koyak. Koyaknya plak aterosklerosis akan merangsang
agregasi trombosit dan trombosis dengan mekanisme yang
berbeda dengan kejadian hemostasis biasa. Trombosit
teraktivasi akan mensekresikan senyawa-senyawa yang
meningkatkan respon trombogenik. Disfungsi endotel juga
akan mengekspresikan tissue factor yang akan mengaktivasi
proses koagulasi dan menyebabkan terbentuknya fibrin. Jadi
pada tahap awal akan terbentuknya mural trombus yang kaya
akan trombosit di dalam plak (12).

Infark serebral yang terjadi setelah oklusi arteri serebral dapat


dimediasi oleh berbagai faktor diantaranya mediator
inflamasi. Pada awalnya iskemia akan mencetuskan
ekspresi sitokin, yang dapat menarik lekosit ke tempat iskemik
dan menstimulasi molekul adhesi. Upregulasi mediator
inflamasi juga menyebabkan adhesi dan infiltrasi sel
inflamasi selama reperfusi. Akibatnya lekosit postiskemik
dapat meningkatkan kerusakan otak melalui obstruksi kapiler
secara fisik yang akan menurunkan aliran darah selama
reperfusi dan atau pelepasan produk sitotoksik ke dalam
parenkim otak (14).

Gambar 6. Hubungan antara koyaknya plak dengan trombosis

Gambar 7. Stroke hemoragik (A= hemoragik epidural, B= hemoragik subdural, C= hemoragik subarakhnoida, D= hemoragik intraserebral)

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE

Di otak juga dapat terjadi perdarahan yang disebabkan


pecahnya pembuluh darah serebral oleh berbagai faktor
penyebab. Perdarahan/hemoragik dalam parenkim dan
rongga subarakhnoida otak merupakan manifestasi dari
penyakit serebrovaskular (stroke) walaupun trauma kepala
juga dapat menyebabkan perdarahan di tempat ini (4).

Faktor hereditas juga berperan dalam terjadinya gangguan


tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko SAH
secara signifikan berhubungan dengan SAH positif pada
paternal dan maternal walaupun pengaruh yang terbesar
dari maternal. Aneurisma serebral akibat faktor hereditas
berasal dari gangguan mesenkimal yang mempengaruhi
dinding pembuluh darah serebral karena kerusakan pada
kromosom 16 (16,17,20). Peningkatan risiko terbentuknya
berry aneurisma juga terjadi pada penderita ginjal autosomal dominant polycystic, sindrom Ehlers-Danlos tipe IV, neurofibromatosis tipe 1, sindrom Marfan dan displasia
fibromuskular pada arteri ekstrakranial serta coarctation aorta
(4,20).

Lima belas persen kasus stroke terutama disebabkan oleh


hemoragik subarakhnoida dan intraserebral. Perdarahan
subarakhnoida (SAH/Subarachnoida hemorrhage) sebagian
besar disebabkan oleh koyaknya berry aneurisma pada
sirkulasi Wilisi. Penyebab lainnya adalah trauma kepala,
koyak hemoragik intraserebral hipertensi dalam sistem
ventrikular, malformasi vaskular, tumor dan gangguan
hemostasis (4,5).

Probabilitas koyaknya berry aneurisma akan meningkat


sesuai dengan ukuran lesi, di mana aneurisma dengan diameter lebih besar dari 10 mm akan meningkatkan risiko
perdarahan hingga 50% per tahun. Peningkatan usia,
perbedaan jenis kelamin (prevalensi perempuan lebih tinggi
pada laki-laki) serta wanita postmenopause dapat
meningkatkan risiko koyaknya berry aneurisma. Sedangkan
terapi hormon pengganti dapat menurunkan risiko
hemoragik. Risiko koyak lebih tinggi pada serebral posterior
atau vertebrobasilar dibandingkan lokasi lain, disebabkan
gangguan media tunica dinding arteri selain itu faktor
hemodinamik juga dapat mempengaruhi peningkatan risiko
koyak aneurisma melalui pengaruh peningkatan tekanan
darah, merokok, aktivitas fisik serta konsumsi alkohol
(4,17,20,23).

Beberapa penelitian menunjukkan faktor risiko SAH


difokuskan pada hipertensi, merokok, konsumsi alkohol dan
penggunaan kontrasepsi oral (15,16).
Walaupun patogenesis aneurisma serebral masih tetap
kontroversial, tetapi ada 3 hipotesis utama yang dapat
menjelaskan terbentuknya aneurisma serebral yaitu :
1. Aneurisma terjadi akibat defek kongenital pada lapisan
muskular arteri serebral (pendapat ini merupakan
pendapat yang paling populer). Sindroma akan muncul
setelah usia dewasa.
2. Perubahan degeneratif dalam dinding arteri
menyebabkan kerusakan membran elastik internal dan
terjadi dilatasi dinding arteri yang akan membentuk
aneurisma.
3. Aneurisma terjadi sebagai hasil dari interaksi defisiensi
kongenital dengan perubahan degeneratif (17).

Infiltrasi makrofag dalam dinding aneurisma berperan


penting dalam kerentanan koyaknya berry aneurisma.
Makrofag dan lekosit memproduksi berbagai senyawa
aktif biologik seperti protease. Cathepsin merupakan
salah satu jenis dari protease di mana makrofag
mensekresi cathepsin D dan lekosit menghasilkan
cathepsin G. Kedua senyawa tersebut dapat merusak
protein matriks ekstraselular pada dinding aneurisma.
Protease yang berasal dari sel inflamasi bersama
dengan aterosklerosis dapat mempengaruhi integritas
aneurisma yang akan menyebabkan koyaknya
aneurisma (18). Koyaknya berry aneurisma secara tibatiba dapat meningkatkan tekanan intrakranial yang akan
mengganggu aliran darah serebral dan secara umum
menyebabkan hilangnya kesadaran pada 50%
penderita stroke hemoragik subarakhnoida. Pada
penderita dengan perdarahan yang hebat, iskemia
serebral global dapat menyebabkan kerusakan otak dan
koma yang lama. Iskemia fokal yang terjadi kemudian,

Terjadinya defek pada media arteri serebral masih belum


jelas tetapi adanya penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
terbesar terjadinya berry aneurisma pada arteri di sirkulasi
Wilisi kemungkinan disebabkan oleh perbedaan jaringan
elastik dengan arteri lain. Sedangkan perubahan degeneratif
dan fragmentasi lamina elastik internal terutama disebabkan
oleh stress hemodinamik. Degenerasi dinding arterial
terutama dimediasi oleh iNOS (inducible Nitric Oxide
Synthase) yang dapat merusak dinding arterial. Merokok dan
konsumsi alkohol melalui mekanisme hipertensi serta
hipertensi dapat menginduksi pembentukan aneurisma
melalui peningkatan stress hemodinamik. Sel endotel
vaskular dan sel otot polos menghasilkan protein matriks
ekstraselular pada dinding aneurisma, yang dapat
mempertahankan integritas struktur aneurisma terhadap
stress hemodinamik (17,18,19,20,21).

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE

disebabkan oleh vasospasme arteri pada atau dekat


tempat terjadinya koyak. Pada hari-hari pertama dapat
terjadi hemoragik berulang dan menyebabkan
komplikasi fatal (5).

ventrikel dan pada beberapa kasus terjadi dalam


subarakhnoida. ICH merupakan penyebab kematian tertinggi
dibandingkan stroke iskemik maupun SAH. Berdasarkan atas
penyebabnya, ICH primer (penyebab 78-88% kasus ICH)
disebabkan koyaknya pembuluh darah kecil akibat hipertensi
atau amyloid angiopathy. ICH sekunder disebabkan oleh
abnormalitas vaskular (seperti malformasi arteriovena dan
aneurisma), tumor atau gangguan koagulasi. ICH lebih
banyak diderita oleh laki-laki dibandingkan perempuan
terutama dengan usia lebih dari 55 tahun (25).

Vasospasme terjadi pada hampir 45% penderita aneurisma


intrakranial dan merupakan penyebab utama mortalitas dan
morbiditas. Beberapa mediator yang terlibat dalam
patogenesis vasospasme adalah :
1. Mediator endotel (NO, radikal oksigen bebas, endotelin,
lipoksigenase dan siklooksigenase serta metabolitnya)
2. Mediator vaskular otot polos (inhibisi channel kalium,
aktivasi channel kalsium, reduksi second messenger
(cAMP dan cGMP) serta aktivasi PKC
3. Mediator proinflamasi yang melibatkan gangguan pada
sawar darah otak (serotonin, histamin, bradikinin), sitokin
(IL-1,TNF-a dan IL-6) serta adhesi molekul
4. Aktivasi stress induced gen (heat shock protein,
hemeoksigenase-1)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hipertensi


merupakan faktor risiko utama ICH. Konsumsi alkohol juga
dapat meningkatkan risiko ICH melalui gangguan koagulasi
yang secara langsung mempengaruhi integritas pembuluh
darah serebral. Selain itu, faktor genetik (mutasi gen pada
subunit a faktor XIII), penumpukan protein b-amyloid pada
pembuluh darah korteks serebral dan leptomeninges
terutama pada orang usia lanjut, juga merupakan faktor risiko
ICH (25).

Penelitian oleh Borel dkk. menunjukkan peran faktor


pertumbuhan (PDGF dan VEGF) pada vasospasme melalui
mekanisme sebagai berikut : koyaknya aneurisma
intrakranial akan melepaskan darah arterial ke dalam rongga
subarakhnoida. Faktor koagulasi subarakhnoida dapat
mengaktifkan trombosit yang akan melepaskan faktor
pertumbuhan pada dinding vaskular. Di antara faktor
pertumbuhan tersebut, PDGF dan TGF-b1 merupakan mitogen yang kuat untuk sel otot polos pada media vaskular
dan fibroblast pada adventisia, sedangkan VEGF akan
menstimulasi proliferasi endotel vaskular. Penelitian
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan faktor pertumbuhan
pada sampel CSF penderita SAH. Faktor pertumbuhan ini
dapat memediasi proliferasi sel vaskular pada arteri serebral
setelah SAH. Proliferasi sel dan peningkatan ketebalan
dinding pembuluh darah menyebabkan pengerasan vaskular
sehingga terjadi vasospasme serebral (24).

CH terutama terjadi pada lobus serebral, ganglia basal, thalamus, brain stem, serebelum. ICH disebabkan oleh koyaknya
small penetrating arteri pada arteri basiler atau anterior, middle
atau posterior arteri serebral. Perubahan degeneratif pada dinding
pembuluh darah yang diinduksi oleh hipertensi kronik dapat
meningkatkan risiko koyak. Perubahan degeneratif dinding arteriolar ditandai sebagai lipohyalinosis. Fisher menyatakan bahwa
ICH disebabkan oleh koyaknya satu atau dua arteri lipohyalinosis
yang disertai dengan koyaknya arteriol pada perifer yang dapat
memperluas hematoma. Sedangkan pada tahun 1868, Charcot-Bouchard menyatakan bahwa ICH disebabkan oleh koyaknya
mikroaneurisma (dilatasi dinding arteriol kecil) (25,26,27).
Russel menyatakan bahwa pada small cerebral arteri
penderita hipertensi, terjadinya penebalan pada dinding
pembuluh darah merupakan keadaan yang abnormal,
disebabkan oleh peningkatan jaringan konektif pada dinding
arterial disertai dengan terjadinya degenerasi pada jaringan
elastik serta muskular tetapi pada jaringan muskular tidak
terjadi hipertrofi. Peningkatan resistensi serebrovaskular pada
penderita hipertensi tersebut merupakan perubahan adaptif
otak terhadap tingginya tekanan intravaskular, sehingga
membuat otak lebih rentan terhadap iskemia, pada tekanan
darah yang rendah. Arteri serebral pada penderita hipertensi
mengalami kehilangan kemampuan dalam mendilatasi
peningkatan tension karbon dioksida (26).

Penelitian lain menunjukkan peroksidasi lipid dan


pembentukan radikal bebas ikut juga berperan dalam
patogenesis vasospasme. Pemecahan oksihemoglobin
menjadi methemoglobin akan melepaskan radikal
superoksida yang dapat bereaksi dengan NO menghasilkan
peroksinitrit. Nitrotirosin, adalah produk antara hasil reaksi
antara peroksinitrit dengan protein selular, yang akan
meningkat pada saat vasospasme setelah SAH (30).
CH (Intracerebral hemorrhage/perdarahan intraserebral)
adalah perdarahan yang terjadi dalam parenkim otak hingga

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE

Edema yang terjadi setelah ICH dapat meningkatkan tekanan


intrakranial dan menyebabkan herniasi, kompresi brain stem
dan kematian. Penelitian menunjukkan bahwa aktivasi
kaskade koagulasi menyebabkan pembentukan klot yang
merupakan tahap penting dalam pembentukan edema.
Beberapa tahap pembentukan edema meliputi :
1. Retraksi klot yang disertai dengan penurunan volume klot
dan peningkatan volume edema perihematomal selama
4 jam pertama sejak ICH
2. Ekstravasasi plasma protein yang bertindak sebagai
oncotically yang akan menginduksi perkembangan edema
perihematomal dengan cepat
3. Peningkatan imunoreaktif perihematomal terhadap fibrinogen yang menandai terjadinya koagulasi
ekstravaskular dan deposisi fibrin (28).
Peningkatan intrakranial yang terjadi setelah edema dapat
menurunkan tekanan perfusi serebral hingga dibawah 50
mmHg yang dapat menyebabkan iskemia otak (29).
Hubungan Antara Stroke-Kalsium dan Fungsi Sawar
Darah Otak
Sawar darah otak (blood brain barrier/BBB) terdapat pada
permukaan kapiler otak yang berfungsi dalam homeostasis
ion di sistem saraf pusat. Dalam keadaan normal, ion transporter pada sel endotelial pembuluh darah kecil mengatur
fluks ion melewati BBB. Dalam keadaan stroke, diabetes,
multiple sclerosis, penyakit Alzheimer dan inflamasi, terjadi
gangguan integritas BBB, yang disertai gangguan homeostasis ion dan fungsi transporter. Pada penderita stroke,
hilangnya regulasi ion disertai difusi pasif air menyebabkan
edema di otak.

Gambar 8. Hubungan antara stroke, kalsium dan fungsi sawar darah otak (1)

perkiraan pentingnya faktor risiko ini didasarkan atas


penelitian oleh Framingham dan penelitian epidemiologik
lain. Faktor risiko tersebut meliputi : peningkatan tekanan
darah, kadar lipid dalam darah, diabetes, hiperkoagulasi,
obesitas, penyakit jantung, ras, riwayat keluarga, homosistein
dan faktor inflamasi (32).

Hipoksia menyebabkan peningkatan sementara kadar


kalsium intraselular pada beberapa sel. Kalsium merupakan
second messenger di mana pengaturan kadar intraselular
diatur oleh channel membran calcium dan pompa kalsium
yang akan memindahkan kalsium dari sitoplasma dan
mengembalikannya ke ekstraselular atau disimpan dalam
intraselular (retikulum endoplasma). Aktivasi alur signal
kalsium terjadi setelah peningkatan kadar kalsium (lihat
gambar 8) (1).

Hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk stroke


trombotik dan stroke hemoragik. Penelitian menunjukkan
bahwa peningkatan tekanan darah merupakan stimulus
terjadinya inflamasi. Peningkatan tekanan darah mengawali
aterogenesis yang dimodulasi oleh stimulus biomekanikal
dari pulsasi aliran darah, seperti peningkatan tekanan
hidrostatik atau cyclic strain yang kemudian dapat
mempengaruhi ekspresi dan fungsi gen sel endotel. Cyclic
strain dapat meningkatkan ekspresi ICAM-1 yang
menyebabkan adhesi monosit semakin besar terhadap sel
endotel. Peningkatan cyclic strain juga mengatur ekspresi
mRNA dan sekresi MCP-1. MCP-1 berperan dalam
pengambilan monosit dan proses inflamasi pada
aterosklerosis. Selain itu, stimulus angiotensin II (Ang II), yang
merupakan kunci pengatur tekanan darah, menghasilkan
aktivasi inflamatori yang akan meningkatkan ekspresi dan
pelepasan IL-6. Hipertensi juga memiliki efek proinflamasi

FAKTOR RISIKO STROKE


Aterosklerosis dan trombosis sebagai pangkal mula
terjadinya stroke, mempunyai penyebab yang multifaktoral.
Identifikasi faktor risiko merupakan hal yang penting untuk
memudahkan pencegahan terjadinya stroke. Pada mulanya

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE

arch dan arteri di leher, tetapi fungsinya secara langsung


sebagai salah satu penyebab stroke iskemik masih menjadi
perdebatan. Hal ini antara lain dapat disebabkan oleh etiologi
stroke iskemik cukup heterogen dan proses aterosklerosis
di arteri intrakranial (terutama di arteri dan arteriol yang lebih
kecil) berbeda dengan aterosklerosis di arteri koroner yang
disebabkan oleh perbedaan kondisi hemodinamik di antara
arteri tersebut (33,34,35).
Obesitas dapat meningkatkan hipertensi, hiperlipidemia,
diabetes serta mengawali penyakit kardiovaskular yang
semuanya merupakan faktor risiko stroke (33). Penelitian
menunjukkan dengan ditemukan leptin, dapat
menghubungkan antara obesitas, resistensi insulin dan
peningkatan risiko penyakit vaskular. Leptin dapat
menurunkan asupan makanan dan meningkatkan
pengeluaran energi. Peningkatan kadar leptin merupakan
prediktor independen untuk stroke hemoragik (36).
Banyak penelitian menunjukkan bahwa aktivitas fisik dapat
menurunkan risiko stroke. Aktivitas fisik yang berlebihan tidak
terlalu bermanfaat untuk menurunkan risiko stroke yang
bermakna, justru aktivitas fisik yang moderat yang
menunjukkan penurunan yang bermakna. Mekanisme yang
mendasari efek proteksi aktivitas fisik terhadap stroke masih
belum jelas diketahui, tetapi diduga dapat meningkatkan
kolesterol HDL, menurunkan tekanan darah dan berat badan,
menurunkan agregasi trombosit dan koagulabilitas serta
meningkatkan sensitivitas insulin (38).

Gambar 9. Efek Ang II terhadap peningkatan tekanan darah, aterosklerosis


dan trombosis (22)

pada dinding arterial sebab terjadi peningkatan stress


oksidatif. Ang II berperan dalam pengaturan tekanan darah,
ekspresi IL-6 dan stimulus peningkatan ekspresi ICAM-1 (31).

Merokok dapat meningkatkan 2 - 3,5 kali risiko stroke.


Mekanisme yang mendasari efek negatif merokok terhadap
stroke masih belum jelas diketahui, tetapi diduga merokok
dapat meningkatkan kadar fibrinogen, hematokrit dan
agregasi trombosit, menurunkan aktivitas fibrinolitik dan aliran
darah serebral melalui vasokonstriksi arteri dan dalam jangka
panjang dapat menyebabkan disfungsi endotel (33,39).

Hipertensi juga merupakan penyebab utama koyaknya


mikroaneurisma maupun berry aneurisma pada stroke
hemoragik intraserebral dan subarakhnoida (13).
Penderita diabetes diketahui memiliki peningkatan
kerentanan terhadap aterosklerosis arteri serebral, koronari
dan femoral. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada
pasien diabetes diketahui mempunyai risiko infark serebral
lebih tinggi, tetapi risiko hemoragik subarakhnoida dan
hemoragik intraserebral tidak meningkat (32,33). Baik
hiperglikemia maupun hiperinsulinemia dapat
menyebabkan ateroma dan meningkatkan pertumbuhan sel
otot polos. Hiperinsulinemia dapat meningkatkan hialinosis
pada arteri kecil serebral yang selanjutnya dapat mengawali
penyakit pembuluh darah kecil serebral (arteriosklerosis
ensefalopati lakunar dan subkortikal) (33).

Alkohol merupakan salah satu faktor risiko stroke terutama


stroke hemoragik. Efek beracun dari alkohol terhadap sistem
koagulasi dan hipervolaemia disertai dengan hipertensi
merupakan mekanisme terjadinya perdarahan, sedangkan
peningkatan alkohol disertai dengan merokok secara tidak
langsung meningkatkan risiko stroke iskemik (33).
Banyak penelitian menunjukkan bahwa hiperhomosisteinemia
merupakan faktor risiko stroke iskemik. Homosistein tidak
terbentuk secara alami akan tetapi berasal dari metabolisme
asam amino esensial metionin, melalui siklus metilasi yang

Hiperlipidemia telah lama diketahui sebagai faktor risiko


utama untuk aterosklerosis dan aterotrombosis pada aortic

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE

merupakan satu-satunya sumber homosistein. Peningkatan


kadar homosistein dapat disebabkan mutasi pada gen
MTHFR (5,10-metilenetetrahidrofolat reduktase) dan enzim
CBS (Cystathionine b-synthase) serta defisiensi vitamin B12,
B6 dan asam folat. Beberapa mekanisme yang
menghubungkan antara homosistein dengan stroke adalah
gangguan pada fungsi endotel, oksidasi LDL, peningkatan
adhesi monosit pada dinding pembuluh darah, gangguan
pada respon NO dan proses trombosis yang dimediasi oleh
aktivasi faktor koagulasi. Selain itu, penelitian lain juga
menunjukkan bahwa homosistein merupakan faktor risiko
untuk recurrent stroke (33,42,43,44,45).
Infeksi oleh Chlamydia pneumoniae diketahui merupakan
faktor risiko stroke iskemik. Infeksi kronik oleh Chlamydia
pneumoniae, suatu patogen respiratory dapat menginfeksi
endotel, sel otot polos arterial, dan monosit. Penderita stroke
lebih rentan terhadap infeksi oleh Chlamydia pneumoniae
IgG (40,46). Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa
seropositivitas Helicobacter pylori merupakan faktor risiko
untuk penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular. H. pylori
ditemukan pada plak aterosklerotik dengan identifikasi
menggunakan PCR dan imunohistokimia. Adanya H. pylori
tersebut berhubungan dengan peningkatan ekspresi ICAM1 (41).

Gambar 10. Sistem antitrombosis dan tromboltik

Stroke iskemik berhubungan erat dengan terjadinya defek


pada sistem antikoagulan tersebut yang meliputi defisiensi
atau defek pada activated protein C, protein C, protein S dan
AT III baik karena faktor hereditas maupun dapatan
(46,47,49).
Pada tabel 1 ditunjukkan penderita stroke iskemik yang
memerlukan ujisaring koagulopati dan pada tabel 2
ditunjukkan pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan
untuk ujisaring koagulopati (49).

Dalam keadaan normal, sistem koagulasi akan mengatur


keseimbangan antara aliran darah dalam pembuluh darah
dan proses pembekuan apabila terjadi disrupsi dari integritas
pembuluh darah. Aktivasi faktor koagulasi dan trombosis
merupakan gambaran utama dari stroke iskemik. Hypercoagulable state meliputi aktivasi proses koagulasi,
peningkatan reaktivitas trombosit dan kegagalan fibrinolisis
(49). Pada gambar 10 ditunjukkan apabila terjadi luka pada
endotel, pembentukan klot disebabkan karena aktivasi
trombosit dan proses koagulasi yang diinisiasi oleh tissue
factor. Pemecahan fibrinogen menjadi fibrin oleh trombin
merupakan proses yang penting. Endotel dalam keadaan
normal dapat menghambat proses trombosis melalui
inaktivasi trombin, pelepasan prostasiklin (PGI2) dan tissue
plasminogen activator (tPA). Trombomodulin yang
diekspresikan pada permukaan endotel akan mengawali
aktivasi protein C (APC) melalui kompleks dengan trombin.
APC dengan protein S dapat menginaktivasi faktor V dan VIII.
Permukaan endotel juga mengekspresikan heparan yang
dapat mengikat dan meningkatkan fungsi antikoagulan AT
III. Kompleks AT III dengan heparan dapat menetralisir
trombin, faktor X dan serin protease (49).

Tabel 1. Ujisaring koagulopati untuk penderita stroke iskemik

Tabel 2. Pemeriksaan Laboratorium untuk ujisaring koagulopati

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE

Antiphospholipid Syndrome (APS) suatu sindrom yang


berhubungan dengan Antibody Antiphospholipid (aPL) yang
meliputi Lupus Anticoagulant (LA) dan atau Anticardiolipin
Antibody (ACA), dan disertai dengan salah satu dari
manifestasi sebagai berikut yaitu trombosis arterial dan atau
vena, trombositopenia, gangguan neurologis, recurrent fetal
loss (50).

Lipoprotein (a)/Lp(a) dapat menghambat proses fibrinolisis


secara in vitro dan efeknya secara in vivo diperkirakan sama.
Lp(a) memiliki kemiripan dengan LDL dan plasminogen
sehingga menandakan bahwa Lp(a) mempunyai kaitan
dengan aterosklerosis dan trombosis. Lp(a) dapat
menstimulasi pelepasan PAI-1 dari sel endotel dan
berkompetisi dengan plasminogen untuk berikatan dengan
fibrin maupun permukaan sel endotel sehingga dapat
menghambat fibrinolisis. Selain itu, Lp(a) dapat merangsang
proliferasi sel-sel otot polos melalui penghambatan
pembentukan TGF-b dan menyebabkan disfungsi endotel
(49).

aPL dapat menyebabkan stroke diduga melalui efeknya


pada trombosit, protein koagulasi dan sel endotel. aPL dapat
meningkatkan aktivasi dan agregasi trombosit yang dimediasi
melalui ikatan aPL dengan fosfatidilserin yang merupakan
fosfolipid yang paling umum ada pada membran sel atau
b2-glikoprotein 1. aPL dapat mempengaruhi alur protein C
melalui penghambatan pembentukan trombin, mengganggu
ekspresi trombomodulin dan menghambat degradasi APC
(51).

HUBUNGAN INFLAMASI DENGAN STROKE


Banyak penelitian menunjukkan bahwa inflamasi berperan
penting dalam perkembangan penyakit kardiovaskular dan
serebrovaskular. Peningkatan kadar ox-LDL dan kontributor
potensial kerusakan endotel lain, akan menginisiasi kaskade
inflamasi pada tahap awal aterogenesis, perkembangan
ateroma dan komplikasi trombotik (8,57). Lihat gambar 2-4
pada patofisiologi stroke.

Trombomodulin merupakan reseptor dengan afinitas yang


tinggi untuk trombin yang terdapat pada permukaan sel
endotel. Melalui ikatannya dengan trombin, trombomodulin
dapat mengubah aktivitas prokoagulan trombin dan bertindak
sebagai kofaktor untuk aktivitas protein C. Alur trombintrombomodulin merupakan salah satu mekanisme
antitrombotik utama pada sel endotel, sehingga membuat
trombomodulin merupakan regulator penting untuk
mempertahankan fluiditas sirkulasi darah. Down regulated
trombomodulin pada sel endotel menyebabkan proinflamasi
dinding pembuluh darah akan diaktifkan sehingga terjadi
proses trombosis (56).

Setelah terjadi kerusakan pada sistem saraf pusat (CNS),


sawar darah otak mengalami kebocoran yang memudahkan
masuknya sel imun teraktivasi dari sirkulasi ke dalam CNS
(58).
Respon inflamasi juga merupakan reaksi parenkim otak
terhadap iskemia dan reperfusi dimana secara histologikal
ditandai dengan perubahan reaksi lekosit pada microvessel.
Sebelum adhesi, lekosit akan mengalami rolling selanjutnya
bermigrasi ke dalam parenkim iskemik (57). Penelitian
menunjukkan bahwa lekosit berperan dalam perkembangan
kerusakan sekunder setelah infark iskemik akut.
Pengambilan lekosit pada daerah iskemik dapat terjadi
segera setelah iskemia dan reperfusi serebral. Akumulasi
lekosit yang disertai dengan akumulasi fibrin dan trombosit,
terlibat dalam vascular plugging. Pada manusia, peningkatan
hitung lekosit dalam tahap iskemik akut berhubungan dengan
outcome yang buruk. Induksi iskemia fokal serebral pada
saat lekosit dan endotel teraktivasi dapat dimediasi oleh
TNF-a (Tumor Necrosis Factor-a) dan IL-1 (Interleukin-1).
Blokade akumulasi lekosit dapat menurunkan kerusakan
jaringan serebral akibat iskemia. Pada saat reperfusi, lekosit
dapat mempercepat kerusakan jaringan baik melalui
obstruksi pembuluh darah dan pelepasan radikal bebas,
sitokin proinflamasi serta enzim sitolitik (37,58).

Homeostasis tergantung pada keseimbangan antara


pembentukan klot dan degradasi klot atau fibrinolisis. Sistem
fibrinolitik merupakan keseimbangan antara tissue plasminogen activator (t-PA) dan inhibitornya yaitu plasminogen
activator inhibitor-1 (PAI-1). Penurunan kadar tPA atau
peningkatan PAI-1 dapat menginhibisi fibrinolisis dan dapat
menyebabkan trombosis. Kedua mekanisme ini diduga
terjadi pada trombosis vena dan arteri pada penderita stroke
(48).
Banyak penelitian menunjukkan bahwa peningkatan fibrinogen merupakan faktor risiko independen untuk stroke melalui
aktivasi hemostasis, peningkatan viskositas darah,
penurunan aliran darah dan efeknya pada proses inflamasi.
Fibrinogen juga berperan dalam aktivasi trombosit melalui
ikatan fibrinogen dengan trombosit pada reseptor membran
glikoprotein IIb-IIIa (49).

10

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE

Peningkatan ekspresi molekul adhesi terjadi pada daerah


iskemik setelah oklusi arteri middle serebral baik yang
permanen maupun sementara. Penelitian pada tikus
menunjukkan bahwa kombinasi terapi molekul antibodi
antiadhesi dan tPA (suatu senyawa trombolitik) memberikan
hasil yang signifikan dengan penurunan volume infark dan
defisit neurologikal. Pada penelitian tersebut juga ditunjukkan
bahwa time window untuk terapi dengan trombolisis adalah
kurang dari 4 jam, di mana terapi tambahan dengan molekul
antibodi antiadhesi tidak saja dapat meningkatkan outcome
juga akan meningkatkan time window terapi stroke (60).

Respon inflamasi juga berhubungan dengan mediator


inflamasi seperti sitokin, kemokin dan molekul adhesi (8,57).
Molekul adhesi dapat digunakan sebagai penanda aktivasi
endotel dan inflamasi lokal maupun sistemik. Molekul adhesi
memediasi marginasi, adhesi, transmigrasi transendotelial
monosit dari aliran darah ke kompartemen ekstravaskular,
yang merupakan tahap penting dalam inisiasi dan
perkembangan plak aterosklerotik (59).
Tiga famili molekul adhesi terdiri dari selektin, superfamili
gen imunoglobulin dan integrin (tabel 3 ). Selektin memediasi
rolling lekosit pada endotel. Ada tiga selektin yaitu E-, P- dan
L-selektin. Superfamili gen imunoglobulin memediasi
perlekatan lekosit yang lebih kuat pada permukaan endotel
dan transmigrasi lekosit. Ada 5 gen imunoglobulin yang
diekspresikan oleh endotel yaitu intercellular adhesion
molecule-1 dan 2 (ICAM-1 dan ICAM-2), vascular cell
adhesion molecule-1 (VCAM-1), platelet endothelial cell
adhesion molecule-1 (PECAM-1) dan mucosal addresin
(MadCAM-1). Setelah mengalami rolling, lekosit pada
permukaan endotel akan tertahan pergerakannya, dimediasi
oleh integrin yang diaktivasi oleh kemokin, kemoatraktan dan
sitokin. Integrin merupakan protein permukaan
transmembran sel yang terdiri dari b1 dan b2 integrin (60).

Selain itu, beberapa penelitian (9 penelitian) menyatakan


bahwa adhesi molekul mengalami upregulasi pada
penderita iskemik tetapi memiliki variasi individu yang besar
sehingga belum dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin tetapi
hasil penelitian tersebut mendukung hipotesis yang
menyatakan bahwa inflamasi terlibat dalam proses
aterosklerosis (60).
Reaksi inflamasi juga dimediasi oleh sitokin, yaitu
glikoprotein yang diekspresikan oleh berbagai tipe sel
sebagai respon terhadap iskemia serebral akut. Pelepasan
sitokin dapat menyebabkan upregulasi molekul adhesi,
rekrutmen dan aktivasi lekosit, promosi interaksi lekosit

Tabel 3. Famili molekul adhesi

11

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE

dengan endotel dan perubahan fungsi endotelium menjadi


fungsi protrombotik. Sitokin juga dapat menginisiasi dan
mempotensiasi respon fasa akut (61).

hipoglikemia, asidosis dan pro-oksidan. Ada 3 jenis


polypeptida growth factor yaitu : bFGF (basic fibroblas growth
factor), VEGF (vascular endothelial growth factor, TGF-b1
(transforming growth factor-b) (65).

Penelitian menunjukkan peningkatan sitokin (IL-1b, TNF-a,


dan IL-6) dapat dideteksi pada korteks iskemik setelah oklusi
middle arteri cerebral artery (MCA) (58,61). Selain itu
ditunjukkan bahwa terjadi peningkatan ekspresi IL-17, IL-8
dan IL-1b pada penderita stroke iskemik. IL-17 dapat
menginduksi sekresi sitokin lain termasuk IL-8 dan
meningkatkan ekspresi ICAM-1 sedangkan IL-1b tidak
secara langsung terlibat dalam rekrutmen lekosit melalui
induksi peningkatan produksi IL-8 (58). TNF-a merupakan
sitokin proinflamasi yang kuat. Peningkatan kadar TNF-a
dan reseptor TNF-a terjadi pada penyakit autoimun,
neoplastik, infeksi, inflamasi (62).

Penelitian menunjukkan pemberian TGF-b1 dapat


menurunkan kerusakan otak akibat iskemia. Mekanisme
kerja TGF-b1 adalah memodulasi kaskade sitokin,
penghambatan proliferasi limfosit T dan B, sebagai
antioksidan dan memiliki efek antiapoptotik. TGF-b1
merupakan neuroprotektif terhadap iskemia dan reperfusi
serebral. TGF-b1 dapat menurunkan volume infark dan
ekspresi kemokin (57).
Pada proses inflamasi, infeksi maupun kerusakan jaringan
akan terjadi peningkatan kadar berbagai protein plasma
dalam sirkulasi yang dikenal sebagai protein fase akut. Protein ini, contohnya CRP dan amiloid A, terutama dihasilkan
oleh hepatosit dan ekspresinya diatur oleh sitokin. Protein
fase akut berperan ganda dalam etiologi aterosklerosis yaitu
terlibat dalam proses trombogenesis dan penghubung antara
inflamasi dengan aterosklerosis. Banyak penelitian
menunjukkan bahwa CRP merupakan faktor risiko terhadap
penyakit kardiovaskular maupun serebrovaskular. CRP
terlibat dalam pengambilan monosit pada aterogenesis dan
CRP dapat berikatan dengan monosit yang menyebabkan
ekspresi tissue factor pada permukaan monosit, sehingga
terjadi trombosis vaskular. Penelitian lain juga menunjukkan
bahwa peningkatan kadar
CRP pada 12-24 jam setelah
serangan stroke dapat memperkirakan unfavorable outcome
yang berhubungan dengan peningkatan insiden
serebrovaskular dan kardiovaskular. Kadar CRP dapat
menunjukkan tingkat keparahan stroke yang berhubungan
secara langsung dengan faktor inflamasi. Aterosklerosis
merupakan proses inflamasi kronik karena rekrutmen selsel inflamasi seperti monosit/makrofag, limfosit T, molekul
adhesi, sitokin dan faktor-faktor pertumbuhan terjadi secara
terus menerus (52,53,54)(Lihat Gambar 11).

IL-10 merupakan sitokin antiinflamasi yang berperan dalam


pengaturan sistem imun innate. IL-10 dapat mendeaktivasi
efek respon inflamasi dan menghambat produksi sitokin
proinflamasi. Penelitian menunjukkan bahwa defisiensi IL10 pada tikus dapat meningkatkan ukuran lesi stroke. IL-10
merupakan supresor kuat terhadap respon imun, yang
dihasilkan oleh sel T, sel B, monosit, makrofag dan mikroglia.
IL-10 dapat menghambat IL-6, TNF-a dan CRP. IL-10
merupakan senyawa terapi untuk penyakit inflamasi seperti
aterosklerosis dan stroke (63).
Selain molekul adhesi, faktor yang bertindak sebagai
kemoatraktan juga berperan penting dalam akumulasi lekosit
di daerah iskemik otak. Kemokin merupakan subgroup dari
famili sitokin yang memiliki aktivitas kemotaktik terhadap
selektif lekosit. Kemokin terdiri dari dua subfamili yaitu asubfamili (CXC) yang berinteraksi terhadap lekosit
polimorfonuklear (meliputi : IP-10, MIP-1, IL-8) dan bsubfamili (CC) yang berinteraksi pada limfosit dan monosit
(meliputi : MIP-1a, RANTES, MCP 1/2/3). IL-8 merupakan
salah satu anggota a-kemokin. Peningkatan kadar IL-8
terdeteksi pada otak dan serum setelah reperfusi serebral.
Pemberian senyawa antibodi terhadap IL-8 merupakan terapi
terhadap kerusakan otak postiskemik yang dimediasi oleh
lekosit polimorfonuklear. Produksi IL-8 juga dapat diinduksi
oleh sitokin IL-1 (58,63,64).

hs CRP merupakan metode pengukuran penanda


biokimiawi yang dapat digunakan untuk diagnosis inflamasi
kronik (52,53,54).

Polipeptida growth factor berperan penting dalam proses


penyembuhan luka dan pengembalian fungsi setelah terjadi
stroke iskemik akut. Kerusakan otak dapat menginduksi
ekspresi berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin, yang dapat
melindungi neuron terhadap eksitotoksisitas, hipoksia,

12

DIAGNOSIS STROKE
Dalam mendiagnosis stroke, harus dapat ditentukan
penyebab, perkiraan tingkat keparahan, kemungkinan
perkembangan atau kekambuhan serangan stroke serta

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE

Pada daerah-daerah tertentu terjadinya infark di otak seperti


posterior fossa lebih baik menggunakan MRI sebagai pilihan
diagnosis. Pada stroke ICH, diagnosis dengan CT scan dapat
mendeteksi ICH pada tahap awal. Apabila dari hasil CT scan
diduga temudian terjadi perdarahan akibat tumor atau
malformasi vaskular, maka diagnosis selanjutnya dilakukan
dengan MRI dan angiography. Sedangkan pada SAH, CT
scan lebih sensitif dibandingkan MRI untuk diagnosis SAH
(68,69).

Gambar 11. Beberapa penelitian risiko relatif stroke (55)

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK DIAGNOSIS


DAN MONITORING STROKE

menentukan terapi yang akan dilakukan terhadap penderita


stroke. Penderita juga harus dibedakan antara penderita
stroke dengan bukan stroke seperti tumor dan hematoma
subdural; stroke iskemik atau hemoragik serta identifikasi
patofisiologis spesifik subtipe infark serebral (66).

Telah diketahui bahwa stroke merupakan penyebab utama


disabilitas pada orang usia pertengahan (17%) dan orang
usia lanjut (50%). Tetapi pilihan pengobatan dan diagnosis
masih terbatas. Pemberian recombinant tissue plasminogen
activator (rtPA) memberikan efek yang menguntungkan
terhadap outcome neurologikal apabila diberikan dalam
waktu 3 jam (time window) setelah serangan stroke dan telah
mendapat persetujuan dari FDA (Food and Drug Administration). Terapi dengan rtPA terutama efektif untuk stroke
iskemik, sedangkan stroke hemoragik biasanya diterapi
melalui operasi (70).

Untuk menghindari kemungkinan bertambah buruk atau


kambuhnya kembali serangan stroke, dibutuhkan diagnosis
dini dan akurat sehingga dapat dilakukan terapi yang optimal. Hal ini disebabkan jam-jam pertama setelah serangan
stroke merupakan waktu yang kritis untuk intervensi terapi
optimal (66).
Metode diagnosis stroke yang sudah biasa dilakukan adalah
brain imaging, meliputi CT scan (computed tomography) dan
MRI (magnetic resonance imaging). Jika kedua alat tersebut
tidak tersedia, perkiraan terhadap faktor risiko dan klinik
memiliki peran yang besar walaupun tidak dapat
menggantikan brain imaging. Dengan menggunakan CT
scan, signal densitas tinggi menunjukkan terjadinya stroke
hemoragik sedangkan signal densitas rendah untuk stroke
iskemik, sedangkan MRI didasarkan atas densitas proton,
kontras T1 atau T2 untuk menunjukkan stroke hemoragik
atau iskemik (66,67).

Banyak penelitian menunjukkan bahwa restorasi aliran darah


yang dilakukan sejak dini dapat menyelamatkan keadaan
otak akibat iskemia. Penundaan reperfusi dapat
menyebabkan efek negatif seperti kerusakan sawar darah
otak, terjadinya perdarahan dan edema (71,72). Tetapi
penelitian lain menunjukkan bahwa reperfusi yang dilakukan
sedini mungkin selain memiliki efek menguntungkan karena
oksigen dan glukosa dapat segera dialirkan ke otak melalui
pembuluh darah serebral juga menyebabkan pembentukan
radikal bebas (71).
Pengaliran kembali oksigen (resirkulasi/reperfusi) ke dalam
jaringan otak iskemik selain dapat meningkatkan produksi
radikal bebas juga menyebabkan terjadi peningkatan
pengambilan netrofil dan makrofag serta pelepasan protease. Reperfusi dapat menyebabkan kerusakan sawar darah
otak. Radikal bebas, sitokin dan protease dapat memediasi
kerusakan pada kapiler serebral (71,72).

Infark serebral akan tampak 12 48 jam pada sebagian


kasus stroke yang didiagnosis dengan CT scan, sedangkan
dengan MRI infark akan tampak setelah 12 24 jam.
Walaupun infark hemoragik jarang terjadi pada jam-jam
pertama setelah terjadi stroke tetapi hal ini tetap tidak dapat
dipastikan. MRI lebih sensitif dibandingkan CT scan untuk
mendiagnosis infark hemoragik. MRI lebih unggul
dibandingkan CT scan untuk menunjukkan infark yang lebih
kecil pada otak dan brain stem (66,67).

Penelitian menunjukkan bahwa MMP-9 (matrix


metalloproteinase) berperan penting dalam disrupsi integritas
vaskular selama reperfusi. MMP-9 dapat mendegradasi

13

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE

Berdasarkan banyak penelitian, ditunjukkan pada penderita


stroke hemoragik maupun iskemik terjadi peningkatan kadar
beberapa protein neurospesifik yaitu Neuron Spesific Enolase (NSE), Protein S-100B dan Myelin Basic Protein (MBP).

basal lamina yang mengelilingi kapiler serebral seperti


kolagen V, fibronektin, laminin dan heparan sulfat yang dapat
membuat dinding pembuluh darah menjadi lemah sehingga
terjadi edema dan koyaknya pembuluh darah (hemoragik).
Mekanisme yang mendasari keterlibatan MMP-9 adalah :
klot emboli mengandung beberapa faktor koagulasi darah
seperti trombin yang dapat menstimulasi produksi MMP-9,
tPA dapat mempromosikan ekspresi MMP-9 pada jaringan
otak iskemik dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa
penundaan pemberian rtPA secara signifikan dapat
meningkatkan ekspresi MMP-9 pada jaringan otak iskemik
(71,72,73,74).

Protein S-100B
Protein S-100 adalah protein asidik yang berikatan dengan
Ca2+ membentuk ikatan tipe EF. Pada tahun 1965, protein ini
pertama kali ditemukan dan dinamakan S-100B karena
kelarutannya adalah 100% dalam amonium sulfat . Protein
S-100B sebagian besar terdapat dalam sel glial dan sistem
saraf periferal (terutama astrosit dan sel Schwann) dan juga
diekspresikan pada melanosit, adiposit dan chondrosit (77)

Pembentukan radikal bebas dihasilkan melalui reaksi xantin


oksidase dan aktivasi fosfolipase. Peningkatan radikal
superoksida dan NO (Nitric Oxide) memilki efek terhadap
fungsi mitokondria melalui penghambatan aktivitas aconitase atau inisiasi reaksi rantai yang akan menyebabkan
kerusakan sistem saraf pusat (75).

Protein S-100B secara intraselular terlibat dalam transduksi


signal melalui penghambatan fosforilasi protein, regulasi
aktivitas enzim dan homeostasis Ca2+. Protein S-100B juga
berfungsi dalam regulasi morfologi sel melalui interaksi
dengan elemen sitoskleton sitoplasmatik. Protein S-100B
juga memiliki efek ekstraselular yang secara aktif disekresi
melalui mekanisme yang belum diketahui. Sekresi protein
S-100B oleh sel glial dapat memiliki efek tropik ataupun
toksik, tergantung pada kadarnya. Pada kadar nanomolar
memiliki efek neurotrofik misalnya dapat menstimulasi
perkembangan neuronal, meningkatkan kelangsungan
hidup neuron selama dan setelah terjadinya kerusakan otak.
Sedangkan pada kadar mikromolar, protein S-100B memiliki
efek neurotoksik melalui induksi apoptosis kematian sel neuronal. Selain itu, efek neurotoksik ditunjukkan melalui
peningkatan kadar protein S-100B pada penderita Down
Syndrome atau Alzheimer (77).

Keadaan setelah iskemia/reperfusi berbeda dengan


keadaan normal di mana pada saat iskemia kaskade
eksotoksisitas dapat diinduksi. Pada saat iskemia terjadi
gangguan produksi energi dari mitokondria yang dapat
menyebabkan produksi radikal bebas, depolarisasi
membran serta aktivasi reseptor NMDA di neuron.
Peningkatan kadar Ca2+ akan menginisiasi sejumlah proses
seperti aktivasi proteinase dan pembentukan radikal bebas.
Produksi radikal superoksida terjadi pada sitosol neuron
melalui kaskade asam arakidonat atau alur xantin oksidase
pada saat awal reperfusi (75,76).
Diagnosis stroke dengan menggunakan CT scan maupun
MRI memiliki beberapa keterbatasan, antara lain waktu
terlihatnya daerah otak yang mengalami infark melalui
pengamatan dengan CT scan adalah 12-48 jam setelah
terjadi serangan stroke atau 12-24 jam setelah terjadi
serangan stroke dengan MRI, serta CT scan kurang sensitif
untuk membedakan antara stroke hemoragik dengan stroke
iskemik (66,67,68).
Oleh karenanya, untuk memperoleh efek optimal dari rtPA
dibutuhkan suatu rapid diagnosis yang memiliki sensitivitas
dan spesifisitas yang tinggi serta waktu diagnosis yang
singkat (< 3 jam) (70). Idealnya, penanda biokimiawi ini harus
cukup sensitif dan spesifik untuk identifikasi, diagnosis dan
prognosis kerusakan otak, kadarnya adequat dalam darah
atau serum serta memiliki waktu paruh yang panjang untuk
menentukan tingkat keparahan dan prognosis stroke (77).

Gambar 12 . Efek intraselular dan ekstraselular protein S-100b

14

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE

Penelitian menunjukkan bahwa protein S-100B dapat


digunakan untuk identifikasi, diagnosis dan prognosis stroke
hemoragik dan terutama untuk stroke iskemik serta
perkiraan kerusakan otak setelah operasi jantung.
Peningkatan kadar S-100B disebabkan lolosnya protein
tersebut dari sel glial nekrotik melalui sawar darah otak yang
sudah rusak lalu ke cairan serebrovaskular selanjutnya ke
sirkulasi darah (77,78,79,80,81).
Peningkatan kadar S100B merupakan respon pada kaskade
patofisiologik dan reaksi mikroglial terhadap iskemia. Baik
kerusakan sel nekrotik penumbra karena infark fokal maupun
rusaknya integritas membran karena edema sitotoksik dan
vasogenik akan menyebabkan lolosnya protein S-100B dari
sitosol ke ekstraselular (85).

Gambar 13.

Gambar 14. Korelasi antara kadar protein S-100B dengan ukuran infark

Gambar 15. Korelasi antara kadar protein S-100B dengan tingkat keparahan
stroke iskemik berdasarkan NIHSS score

Hasil pengukuran protein S-100B pada orang normal dan


penderita stroke

ditunjukkan bahwa kadar protein S-100B > 0,7 mg/l dari


sampel serum 24 jam setelah hipoksia serebral global
merupakan prediktor independent dan reliable untuk pasien
yang tidak menjadi siuman kembali dengan nilai prediktif
positif (PPV) 95% dan spesifisitas yang tinggi yaitu 96% (82).

Kadar protein S-100B yang dilepaskan secara signifikan


berhubungan dengan volume infark. Selain itu, adanya
hubungan antara S-100B dengan pengukuran derajat stroke
berdasarkan skala stroke Scandinavian. Pada penderita
dengan outcome neurologikal yang buruk ditunjukkan
melalui peningkatan kadar S-100B. Informasi ini dapat
digunakan sebagai surrogate awal untuk mengukur tingkat
keparahan rusaknya sel otak dan outcome pasien setelah
stroke iskemik (77).

NSE (Neuron Spesific Enolase)


Enolase adalah enzim glikolitik yang mengubah 2fosfogliserat menjadi fosfoenolpiruvat. Enzim ini ada dalam
bentuk 3 isoprotein yaitu ENO1,ENO2 dan ENO3. NSE
adalah isoform dari enzim enolase (ENO3) yang ditemukan
dalam sel neuron dan neuroendokrin (78).

Selain itu, protein S-100B dapat digunakan sebagai prediktor


outcome penderita hipoksia serebral global. Salah satu hal
penting pada penderita yang mengalami hipoksia serebral
global, apakah penderita tersebut akan menjadi siuman/
sadar kembali, sehingga Martens dkk. mengadakan
penelitian terhadap 64 pasien dalam keadaan tidak sadar/
unconscious hingga pasien tersebut menjadi sadar kembali,
meninggal atau pada tahap vegetatif. Dari hasil penelitian

Penelitian menunjukkan peningkatan kadar NSE digunakan


untuk identifikasi, diagnosis, dan prognosis stroke iskemik
dan terutama infark ringan dan TIA (Transient Ischemic Attacks) serta memiliki korelasi dengan tingkat keparahan
stroke iskemik (78,82,83,84).

15

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE

Gambar 18. Perbedaan NSE dalam waktu 72 jam (hari ketiga) setelah
restorasi sirkulasi secara spontan (ROSC) antara pasien
dengan outcome neurologikal yang baik dan buruk

MBP (Myelin Basic Protein)


MBP adalah protein spesifik otak yang terletak pada sheath
myelin dan 30% total protein myelin ada dalam bentuk MBP.
Myelin merupakan senyawa yang melapisi saraf dan
berfungsi sebagai insulator. Tanpa adanya insulator,
informasi dari sel saraf tidak dapat ditransmisikan secara
efisien sehingga menyebabkan hilangnya efek sensorik,
kelumpuhan atau disfungsi neurologik yang lain. Sintesis
myelin dikonduksi oleh oligodendrosit di sistem saraf pusat
dan sel Schwan di sistem saraf perifer (87,88). Penelitian
menunjukkan bahwa kadar MBP dapat digunakan untuk
identifikasi, diagnosis dan prognosis terutama untuk stroke
hemoragik serta tingkat keparahan dari stroke iskemik (89).

Gambar 16. Hasil pengukuran NSE, S-100B dan MBP pada penderita TIA

Penelitian menunjukkan bahwa kadar protein S100B dan


NSE memiliki hubungan yang signifikan dengan volume
infark dan NIHSS score. Penderita dengan outcome
neurologikal yang buruk memiliki kadar yang lebih tinggi
disertai dengan pelepasan yang lebih lama untuk kedua
penanda biokimiawi tersebut (85).

Gambar 17.

Koefisien korelasi antara NIHSS score dengan pelepasan protein S-100 B dan NSE (filled markers menunjukkan p<0,01)

Peningkatan kadar NSE pada hari ketiga (72 jam) setelah


serangan jantung merupakan indikator terbaik untuk outcome
neurologikal setelah serangan jantung. Selain itu, perbedaan
kadar NSE pada hari ketiga tersebut signifikan untuk
menunjukkan perbedaan antara outcome pasien yang buruk
dan baik (86).

16

Gambar 19. Peningkatan kadar MBP pada penderita stroke hemoragik


intraserebral setelah terjadi serangan stroke

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE

DAFTAR PUSTAKA
1. Brown RC, DavisTP, Calcium Modulation of Adherens and Tight
Junction Function. A potensial mechanism for blood brain barrier
disruption after stroke. Stroke. 2002; 33: 1706-1711.
2. Skye Pharma Tech Inc. Launching the first rapid diagnostic test for
stroke. 1998.
3. Kurniasih R, Wijaya A. Peran radikal bebas pada iskemia-reperfusi
serebral atau miokardium. Forum Diagnosticum Prodia. 2002;1:123.
4. Gerolami UD, Anthony DC, PF Matthew. Cerebrovascular Diseases in Pathologic Basis of Disease. Kumar, Ramzy, Collins. Philadelphia : WB Saunders, 1999, p. 1306-1313.
5. Messing RO. Nervous System Disorders in Pathophysiology of
Disease An Introduction to Clinical Medicine . Mc Phee, Lingappa,
Ganong, Lange. New York : Mc Graw Hill, 2000. 3rd ed. p. 124164.
6. Garcia JH, Ho KH, Pantoni L. Pathology in Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr, Stein, Yatsu.
Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed,p. 139-153.
7. Underwood. Cerebrovascular Disease in General and Systematic Pathology. Philadelphia : Churchill Livingstone. 2000. 3rd ed, p.
748-751.
8. Libby P, Ridker PM, Maseri A. Inflammation and Atherosclerosis.
Circulation. 2002; 105:1135-1143.
9. Ross R. Atherosclerosis An Inflammatory Disease. N Engl J
Med.1999 ; 340:115-126.
10. Wolf PA, Grota JC. Cerebrovascular Disease.Circulation.
2000;102:IV.75-IV.80.
11. Loftus IM, Naylor AR, Goodall S, Crowther M, Jones L, Bell P R F,
Thompson MM. Increased Matrix Metalloproteinase-9 Activity in
Unstable Carotid Plaques. Stroke.2000;31:40-47.
12. Yatsu FM, Cordova CV. Atherosclerosis in Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr, Stein, Yatsu.
Philladelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed,p. 29-39.
13. Sacco RL, Toni D, Mohr J P. Classification of Ischemic Stroke in
Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett,
Mohr, Stein, Yatsu. Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd
ed, p. 341-351.
14. Ding Y,Li J, Rafols JA, Philis JW, Diaz FG. Prereperfusion Saline
Infusion into Ischemic Territory Reduces Inflammatory Injury after
Transient Middle Cerebral Artery Occlusion in Rats. Stroke.2002;33
: 2492-2498.
15. Ohkuma H, Tabata H, Suzuki S,Islam S. Risk Factors for Aneurismal Subarachnoid Hemorrhage in Aomori, Japan.
Stroke.2003;34:96-100.
16. Okamoto K, Horisawa R, Kawamura T, Asai A, Ogino M, Takagi T,
Ohno Y. Family History and Risk of Subarachnoid
Hemorrhage.Stroke.2003;34:422-426.
17. Mohr JP, Kistler JP. Intracranial Aneurysms in Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr, Stein, Yatsu.
Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed,p. 701-710.
18. Kataoka K, Taneda M, Asai T, Kinoshita A, Ito M, Kuroda R. Structural Fragility and Inflammatory Response of Ruptured Cerebral
Aneurysms. Stroke. 1999;30:1396-1401.

Gambar 20. Peningkatan kadar MBP beberapa hari kemudian setelah


serangan stroke pada penderita stroke iskemik
Tabel 4.

Perbandingan sensitivitas pemeriksaan MBP dan S-100B pada


penderita stroke iskemik (AIS), stroke hemoragik (ICH) dan TIA
berdasarkan waktu sejak serangan stroke
Serum Marker Sensitivity

Int.
AIS
ICH
TIA
Other
Time
(hrs) MBP S100 T M MBP S100 T M MBP S100 T M MBP S100 T M
0-3
0-6
0 - 24

25
27
27

63
64
73

38
36
36

100
75
100

66
50
75

66
50
50

0
0
0

0
33
33

0
0
0

0
0
0

0
0
0

0
0
0

KESIMPULAN
Stroke merupakan penyebab kematian ke tiga di banyak
negara. Lebih dari dua pertiga penderita stroke mengalami
disabilitas. Penanda biokimiawi dapat digunakan untuk
membantu menentukan faktor risiko hingga diagnosis, prognosis dan tingkat keparahan stroke.
Selain itu, diagnosis stroke dengan penanda biokimiawi
dapat membantu memperoleh terapi yang optimal.
Berdasarkan penelitian penanda biokimiawi yang dapat
digunakan untuk diagnosis, prognosis dan tingkat keparahan
stroke adalah protein S 100 B, NSE dan MBP, Homosistein
maupun hsCRP, sedangkan pemeriksaan status antioksidan
total dapat digunakan untuk mengetahui status antioksidan
dalam tubuh sehubungan dengan terjadinya reperfusi
injury. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara
faktor inflamasi dengan insiden stroke.

17

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE


19. Hachinski V. Stroke : the next 30 year. Stroke. 2002; 33:1-4.
20. Iwamoto H, Kiyoshara Y, Fujishima M, Kato I, Nakayama, Sueishi
K et al. Prevalence of Intracranial Saccular Aneurysms in a Japanese Community Based on a Consecutive Autopsy Series During
a 30 Year Observation Period. The Hisayama Study. Stroke.
1999;30:1390-1395.
21. Fukuda S, Hashimoto N, Naritomi H, Nagata I, Nozaki K, Kondo S,
et al. Prevention of Rat Cerebral Aneursyms Formation by Inhibition of Nitric Oxide Synthase. Circulation. 2000;101:2535-2538.
22. Hankey G. Angiotensin-Concerting Enzyme Inhibitory for Stroke
Prevention. Stroke. 2003;34: 354-356.
23. Feigen VL, Anderson S ,Anderson E, Broad J, Pledger M, Bonita
R,et al . Is There a Temporal Pattern in the Occurrence of
Subarachnoi Hemorrhage in the Southern Hemisphere? Stroke.
2001;32:613-619.
24. Broel C, McKee A, Parra A, Haglund M,Solan A, Prabhakar V, et
al. Possible Role for Vascular Cell Proliferation in Cerebral Vasospasm after Subarachnoi Hemorrhage. Stroke. 2003;34:427-433.
25. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick J, Batjer H, Hondo H, Hanley D.
Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. N Engl J Med.
2001;344:1450-1460.
26. Dickinson JC. Why are strokes related to hypertension? Classic
studies and hypotheses revisited. J of Hypertension.2001;19:15151521.
27. Kase C, Mohr JP, Caplan LR. Intracerebral Hemorrhage in Stroke,
Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr,
Stein, Yatsu. Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed,p.
649-667.
28. Xi G, Wagner KR, Keep R, Hua Y, Myers G, Broderick JP. Role of
Blood Clot Formation on Early Edema Development after Experimental Intracerebral Hemorrhage. Stroke.1998; 29:2580-2586.
29. Wijman C A C, Kase CS. Intracerebral Hemorrhage in Stroke,
Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr,
Stein, Yatsu. Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed,p.
1359-1369
30. Mc Girt MJ, Parra A, Sheng H, Higuchi Y, Oury T, Laskowitz DT.
Attenuation of Cerebral Vasospasm after Subarachnoid Hemorrhage in Mice Overexpressing Extracellular Superoxide Dismutase.
Stroke. 2002;33:2317-2323.
31. Chae CU, Lee RT, Rifai N, Ridker PM. Blood pressure and inflammation in apparently healthy men. Hypertension. 2001;38:399405.
32. Wolf PA, D Agostino RB. Epidemiology of Stroke in Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr, Stein,
Yatsu. Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed,p. 3-28.
33. Ringelstein EB and Nabavi D. Long Term Prevention of Ischaemic
Stroke and Stroke Recurrence. Trombosis Research. 2000,V83V96.
34. Shahar E, Chambless LE, Rosamond WD, Boland LL, Ballanty
CM, McGovern PG, Sharrett AR. Plasma Lipids Profile and Incident Ischemic Stroke. Stroke. 2003;34:623-631.
35. Gorelick PB, Mazzone T. Plasma lipids and stroke. J of Cardiovascular Risk.1999; 6:217-221.
36. Soderberg S, Ahren B, Stegmayr B, Johnson O, Wiklund PG,
Weineball L, Hallmans G, Olsson T. Leptin is a Risk Marker for First
Ever Hemorrhage Stroke in a Population Based Cohort.
Stroke.1999;30:328-337.

18

37. Sharp FR, Swanson RA, Honkaniemi J, Kogure K, Massa SM.


Neurochemistry and Molecular Biology in Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr, Stein, Yatsu.
Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed,p. 51-63.
38. Wannamethee SG, Shaper AG. Physical activity and the prevention of stroke. J of Cardiovascular Risk. 1999;6:213-216.
39. Hankey GJ.Smoking and risk of stroke. J of Cardiovascular Risk.
1999;6:207-211.
40. Elkind M, Lin I F, Grayston J T, Sacco R L. Chlamydia pneumoniae
and the Risk of First Ischemic Stroke. Stroke. 2000; 31: 15211525.
41. Mayr M, Kiechl S, Mendall MA, Willeit J, Wick G, Xu Q. Increased
Risk of Atherosclerosis is Confined to CagA-Positive Helicobacter
pylori Strains. Stroke.2003;34:610-615.
42. Kristensen BK, Malm J, Nilsson T , Hultdin J, Carlberg B, Dahlen
G, Olsson T. Hyperhomocysteinemia and Hypofibrinolysis on Young
Adults with Ischemic Stroke.Stroke. 1999;30:974-980.
43. Perry IJ. Homocysteine and risk of stroke. J of Cardiovascular
Risk. 1999;6:235-240.
44. Boysen G, Brander T, Christensen H, Gideon R, Truelsen T.
Homocysteine and Risk of Recurrent Stroke. Stroke.2003;34:12581261.
45. Lentz SR. Does Homocysteine Promote Atherosclerosis?
Atheroscler Thromb Vasc Biol. 2001;21:1385-1386.
46. Liswati E. Factor Risiko Stroke. Forum Diagnosticum Prodia. 1999;
6: 1-11.
47. Shibata M, Kumar R, Amar A, Fernandez JA, Hofman F, Griffin JH,
Zlokovic BV. Anti-Inflammatory, Antithrombotic and Neuroprotective
Effects of Protein C in a Murine Model of Focal Ischemic Stroke.
Circulation. 2001; 103:1799-1805.
48. Johansson L, Jansson JH, Boman K, Nilsson T, Stegmayr B,
Hallmans G. Tissue Plasminogen Activator, Plasminogen Activator
Inhibitor-1 and Tissue Plasminogen Activator/Plasminogen Activator Inhibitor-1 Complex as Risk Factors for the Development of a
First Stroke. Stroke. 2000;31:26-32.
49. Coll BM, Loughery TG, Feinberg WM. Coagulation Abnormalities
in Stroke in Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr, Stein, Yatsu. Philadelphia : Churchill
Livingstone. 1998. 3rd ed,p.963-971.
50. Arnout J and Carreras L. The Antiphospholipid Syndrome in Cardiovascular Trombosis : Thrombocardiology and
Thromboneurology . Topol, Fuster and Verstraete. Philadelphia :
Lippincott-Raven. 1998. 2nd ed,p.759-779.
51. Brey RL, Stallworth CL, McGlasson DL, Wozniak MA, Wityk RJ,
Stern BJ, et al. Antiphospholipid Antibodies and Stroke in Young
Women. Stroke. 2002;33:2396-2401.
52. Winbeck K, Poppert H, Etgen T, Conrad B, Sander D. Prognostic
Relevance of Early Serial C-Reactive Protein Measurements after
First Ischemic Stroke. Stroke.2002;33:2459-2464.
53. Gussekloo J, Schaap MCL, Frolich M, Blauw GJ, Westendorp
RGJ. C-Reactive Protein is a Strong but Nonspecific Risk Factor of
Fatal Stroke in Fatal Stroke in Elderly Persons. Arterioscler Thromb
Vasc Biol. 2000;20:1047-1051.
54. Hashimoto H, Kitagawa K, Hougaku H, Shimizu Y, Sakaguchi M,
Nagai Y, et al. C-Reactive Protein is an Independent Predictor of
the Rate of Increase in Early Carotid Atherosclerosis. Circulation.
2001;104:63-67.

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE


55. Ridker PM. Inflammation, Biomarkers,Statin and the Risk of Stroke.
Circulation.2002;105:2583-2585.
56. Tohda G, Oida K, Okada Y, Kosaka S, Okada E, Takahashi S.
Expression of Thrombomodulin Atherosclerotic Lessions and Mitogenic Activity of Recombinant Thrombomodulin in Vascular Smooth
Muscle Cells. Arterioscler Thromb Vasc Biol.1998;18:1861-1869.
57. Pang Li, Ye W, Che XM, Roessler BJ, Betz AL, Yang GY. Reduction of Inflammatory Response in the Mouse Brain with Adenoviral
Mediated Transforming Growth Factor-b1 Expression. Stroke.
2001;32:544-552.
58. Kostulas N, Pelidou SH, Kivisakk P, Kostulas V, Link H. Increased
IL-1, IL-8, IL-17mRNA Expression in Blood Mononuclear Cells
Observed in a Prospective Ischemic Stroke Study. Stroke.
1999;30:2174-2179.
59. Tanne D, Haim M, Boyko V, Goldbourt U, Reshef T, Matetzky S,
Adler Y. Soluble Intercellular Adhesion Molecule-1 and Risk of
Future Ischemic Stroke. Stroke. 2002;33:2182-2186.
60. Frijns CJM, Kapple LJ. Inflammatory Cell Adhesion Molecules in
Ischemic Cerebrovascular Disease. Stroke. 2002;33:2115-2122.
61. Villa N, Castillo J, Davalos A, Chamorro A. Proinflammatory
Cytokines and Early Neurological Worsening in Ischemic
Stroke.Stroke. 2000;31:2325-2329.
62. Elkind MS, Cheng J, Albala BBA, Rundek T, Thomas J, Chen H.
Tumor Necrosis Factor Receptor Levels are Associated with Carotid Atherosclerosis. Stroke. 2002;33:31-38.
63. Exel EV, Gussekloo J, Craen AJM, Wiel A, Frolich M, Westendorp
RGJ. Inflammation and Stroke. Stroke.2002;33:1135-1138.
64. Kostulas N, Kivisakk P, Huang Y, Matusevicius D, Kostulas V, Link
H. Ischemic Stroke is Associated with a Systemic Increase of Blood
Mononuclear Cells Expressing Interleukin-8 mRNA. Stroke.
1998;29:462-466.
65. Slevinn M, Krupinski J, Slowik A, Kumar P, Szczudik A, Gaffney J.
Serial Measurement of Vascular Endothelial Growth Factor and
Transforming Growth Factor-b1 in Serum of Patients with Acute
Ischemic Stroke. Stroke. 2000;31:1863-1870.
66. Mohr JP, Donnan G. Overview of Laboratory Studies in Stroke,
Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr,
Stein, Yatsu. Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed,p.
189-193.
67. Gao JH, Zhong J, Fox PT. Functional Magnetic Resonance Imaging in Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management.
Barnett, Mohr, Stein, Yatsu. Philadelphia : Churchill Livingstone.
1998. 3rd ed,p. 121-125.
68. Savoiardo M, Grisoli M. Computed Tomography Scanning in
Stroke, Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett,
Mohr, Stein, Yatsu. Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd
ed,p. 195-226.
69. Delapaz RL, Mohr JP. Magnetic Resonance Scanning in Stroke,
Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Barnett, Mohr,
Stein, Yatsu. Philadelphia : Churchill Livingstone. 1998. 3rd ed,p.
227-256.
70. Ringleb PA, Schellinger PD, Schranz C, Hacke W. Thrombolytic
Theraphy within 3-6 hours after Onset of Ischemic Stroke Useful or
Harmful? Stroke. 2002;33:1437-1441.
71. Aoki T, Sumii T, Mori T, Wang X, Lo E H. Blood Brain Barrier
Disruption and Matrix Metalloproteinase-9 Expression During
Reperfusion Injury. Stroke.2002;33:2711-2717.

72. Rosenberg GA, Estrada EY, Dencoff JE. Matrix Metalloproteinase


and TIMPa are Associated with Blood Brain Barrier Opening after
Reperfusion in Rat Brain. Stroke.1998;29:2189-2195.
73. Lapchak PA, Chapman DF, Zivin JA. Metalloproteinase Inhibition
Reduces Thrombolytic- Induced Hemorrhage after Thromboembolic Stroke. Stroke.2000;31:3034-3040.
74. Sumii T, Lo EH. Involvement of Matrix Metalloproteinase in Thrombolysis-Associated Hemorrhagic Transformation after Embolic Focal Ischemia in Rats. Stroke. 2002;33:831-836.
75. Kim G, Kondo T, Noshita N. Manganese Superoxide Dismutase
Deficiency Exacerbates Cerebral Infarction after Focal Cerebral
Ischemia/Reperfusion in Mice. Stroke.2002;33:809-815.
76. Ozdemir Y G, Bolay H, Saribas O, Dalkara T. Role of Endothelial
Nitric Oxide Generation and Peroxynitrite Formation in Reperfusion
Injury after Focal Cerebral Ischemia. Stroke. 2000;31:1974-1981.
77. Raabe. Sangtec 100, A biochemical marker for diagnosis and
monitoring of brain damage. Sangtec Medical
78. Neuron Specific Enolase, Myelin Basic Protein and Brain S-100
Protein in Neuroscience Panel. 2002, p.15-20.
79. Rosen H, Rosengren L, Herlitz J, Blomstrand C, Increased Serum
Levels of the S-100 Protein are Associated with Hypoxic Brain
Damage after Cardiac Arrest. Stroke. 1998;29:473-477.
80. Bottiger BW, Mobes S, Glatzer R, Bauer H, Gries A, Bartsch P et
al. Astroglial Protein S-100 is an Early and Sensitive Marker of
Hypoxic Brain Damage and Outcome after Cardiac Arrest in Humans. Circulation, 2001;103:2694-2698.
81. Smart S-100. Skye
82. Martens P, Raabe A, Johnsson P. Serum S-100 and Neuron Specific Enolase for Prediction of Regaining Consciousness after Global Cerebral Ischemia. Stroke. 1998;29:2362-2366.
83. Smart NSE. Skye
84. Hill MD, Bayer N, Takahashi M, Jackowski G, Jaeschke R, Stanton
EB. Serum S-100 B and Neuron Spesific Enolase (NSE) in Acute
Ischemic Stroke : Pilot Study. Skye
85. Wunderlich M, Ebert A, Kratz T, Goertler M, Jost S, Herrmann M.
Early Neurobehavioral Outcome after Stroke is Related to Release
of Neurobiochemical Markers of Brain Damage. Stroke.
1999;30:1190-1195.
86. Schoerkhuber W, Kittler H, Sterz F, Behringer W, Holzer M, Frossard
M, Spitzauer S, Laggner A. Time Course of Serum Neuron Specific Enolase . Stroke. 1999;30:1598-1603.
87. CSF myelin basic protein. Http://www.accessatianta.com
88. Human Myelin Basic Protein. Http://homepages. Strath.ac.uk
89. Smart MBP. Skye
90. E Davies, Y Hong, A El-Badry, G Jackowski. Clinical Utility and
Performance of a Rapid and Sensitive Immunoassay for the Determination of Serum Myelin Basic Protein. Skye

19

PENANDA BIOKIMIAWI UNTUK STROKE

Forum
Diagnosticum
ISSN 0854-7173

Redaksi Kehormatan
Prof. DR.Dr. Marsetio Donosepoetro, Drs. Andi Wijaya
Prof. DR.Dr. FX Budhianto Suhadi, DR.Dr. Irwan Setiabudi
Ketua Dewan Redaksi/Penanggung Jawab
Dra. Marita Kaniawati
Anggota Dewan Redaksi
Dra. Dewi Muliaty, Dra. Ampi Retnowardani
Dra. Evy Liswati, Dra. Indriyanti RS
Dra. Lies Gantini
Faliawati Moeliandari S.Si.
Alamat Redaksi
Laboratorium Klinik Prodia
Jl.Wastukencana 38, Bandung 40116
Telepon: (022) 4202011, 4219392, 4219394, Fax : (022) 4236461
e-mail: prodia@indosat.net.id
website: www.prodia.co.id

Certificate Number: 403247


Certified to QMS

Agustus 2003-3480

20

Anda mungkin juga menyukai