Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Kerusakan jalan yang terjadi di berbagai daerah saat ini merupakan permasalah yang

sangat kompleks dan kerugian yangdiderita sungguh besar terutama bagi pengguna jalan,
seperti terjadinya waktu tempuh yang lama, kemacetan, kecelakaan lalu-lintas, dan lain-lain.
Kerugian secara individu tersebut akan menjadi akumulasi kerugian ekonomi global bagi
daerah tersebut.
Banyak kritik yang telah dikirimkan kepada institusi pemerintahan dalam upaya
penanganan dan pengelolaan jalan, agar berbagai kerusakan yang terjadi segera diatasi. Secara
umum penyebab kerusakan jalan ada berbagai sebab yakni umur rencana jalan yang telah
dilewati, genangan air pada permukaan jalan yang tidak dapat mengalir akibat drainase yang
kurang baik, beban lalu lintas berulang yang berebihan (overloaded) yang menyebabkan
umurpakai jalan lebih pendek dari perencanaan. Perencanaan yang tidaktepat, pengawasaan
yang kurang baik dan pelaksanaan yang tidaksesuai dengan rencana yang ada. Selain itu
minimnya biaya pemeliharaan, keterlambatan pengeluaran anggaran serta prioritas
penanganan yang kurang tepat juga menjadi penyebab. Panas dan suhu udara, air dan hujan,
serta mutu awal produk jalan yang jelek juga sangat mempengaruhi. Oleh sebab itu disamping
direncanakan secara tepat jalan harus dipelihara dengan baik agar dapat melayani
pertumbuhan lalulintas selama umur rencana.
Nilai kondisi jalan ini nantinya dijadikan acuan untuk menentukan jenis program
evaluasi yang harus dilakukan, apakah itu program peningkatan, pemeliharaan berkala, atau
pemeliharaan rutin.
Pemilihan bentuk pemeliharaan jalan yang tepat dilakukan dengan melakukan
penilaian terhadap kondisi permukaan jalan didasarkan pada jenisn kerusakan yang ditetapkan
secara visual. Ada beberapa metode pendekatan yang dapat digunakan dalam melakukan
penilaian kondisi jalan, dimana dua diantaranya adalah metode Bina Marga.

1.2.

Rumusan Masalah
Dengan latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan

adalah sebagai berikut :


1) Apa saja jenis kerusakan jalan pada Desa Banjarsari, Kecamatan Buduran,
Sidoarjo ?
2) Bagaimana keadaan drainase pada Desa Banjarsari, Kecamatan Buduran, Sidoarjo
?
3) Apa yang menyebabkan kerusakan jalan pada perkerasan lentur di ruas jalan Desa
Banjarsari, Kecamatan Buduran, Sidoarjo ?
4) Bagaimana cara perbaikannya berdasarkan kerusakan jalan yang terjadi ?
1.3.

Tujuan Masalah
Tujuan pengamatan ini adalah untuk :
1) Untuk mengidentifikasi jenis kerusakan yang terjadi .
2) Untuk mengidentifikasi keadaan drainase pada Desa Banjarsari, Kecamatan
Buduran, Sidoarjo ?
3) Untuk menganalisis faktor- faktor yang menyebabkan kerusakan jalan .
4) Untuk mencari alternatif penanganan kerusakan jalan dan pemeliharaan yang tepat

1.4 Manfaat
Tugas pengamatan ini diharapkan memberikan manfaat bagi :
Praktis :
1. Dapat memberikan masukan kepada perencana untuk memperhatikan kondisi
eksiting .
Teoritis :
1. Dapat memberikan wawasan baru kepada mahasiswa dalam bidang ilmu teknik
sipil .
2. Memperkaya literatur tentang faktor yang mempengaruhi kerusakan jalan raya .
1.5 Lokasi Studi
1) Lokasi survei yang akan dilakukan dalam penulisan ini Desa Banjarsari, Kecamatan
Buduran, Sidoarj
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1.

Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan


Perkerasan jalan adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang
digunakan untuk melayani beban lalu lintas. Agregat yang dipakai antara lain
adalah batu pecah, batu belah, batu kali dan hasil samping peleburan baja.
Sedangkan bahan ikat yang dipakai antara lain adalah aspal, semen dan tanah liat.
Berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi perkerasan jalan dapat
dibedakan atas :
a.

Konstruksi perkerasan lentur (Flexible Pavement), yaitu perkerasan yang


menggunakan

aspal

sebagai

bahan

pengikatnya.

Lapisan-lapisan

perkerasan bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah


dasar.
b. Konstruksi perkerasan kaku (Rigit Pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan semen (Portland Cement) sebagai bahan pengikatnya. Pelat
beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasat dengan
atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul
oleh pelat beton.
c.

Konstruksi perkerasan komposit (Composite Pavement), yaitu perkerasan


kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa
perkerasan lentur diatas perkerasan kaku atau perkerasan kaku diatas
perkerasan lentur.

Perbedaan utama antara perkerasan kaku dan lentur diberikan pada tabel 2.1 di
bawah ini.

Tabel 2.1. Perbedaan antara perkerasan lentur dan perkerasan kaku


1
2

Bahan pengikat
Repetisi beban

Perkerasan lentur
Aspal
Timbul Rutting (lendutan

Perkerasan kaku
Semen
Timbul retak-retak pada

Penurunan tanah

Jalan bergelombang

Bersifat sebagai balok

Perubahan

Modulus kekakuan

Modulus kekakuan tidak

temperatur

berubah.

berubah.

Sumber : Sukirman, S., (1992), Perkerasan Lentur Jalan Raya, Penerbit Nova,
Bandung
Sesuai dengan pembatasan masalah, maka untuk pembahasan selanjutnya hanya
akan dibahas tentang konstruksi perkerasan lentur saja.

2.2.

Konstruksi Perkerasan Lentur Jalan


Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), adalah perkerasan yang
menggunakan aspal sebagai bahan pengikat dan lapisan-lapisan perkerasannya
bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. Aspal itu
sendiri adalah material berwarna hitam atau coklat tua, pada temperatur ruang
berbentuk padat sampai agak padat. Jika aspal dipanaskan sampai suatu
temperatur tertentu, aspal dapat menjadi lunak / cair sehingga dapat membungkus
partikel agregat pada waktu pembuatan aspal beton. Jika temperatur mulai turun,
aspal akan mengeras dan mengikat agregat pada tempatnya (sifat termoplastis).
Sifat aspal berubah akibat panas dan umur, aspal akan menjadi kaku dan rapuh
sehingga daya adhesinya terhadap partikel agregat akan berkurang. Perubahan ini
dapat diatasi / dikurangi jika sifat-sifat aspal dikuasai dan dilakukan langkahlangkah yang baik dalam proses pelaksanaan.
Konstruksi perkerasan lentur terdiri atas lapisan-lapisan yang diletakkan diatas
tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi untuk

menerima beban lalu lintas dan menyebarkan ke lapisan yang ada dibawahnya,
sehingga beban yang diterima oleh tanah dasar lebih kecil dari beban yang
diterima oleh lapisan permukaan dan lebih kecil dari daya dukung tanah dasar.
Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari :

Gambar 2.1. Lapisan Konstruksi Perkerasan Lentur


a. Lapisan permukaan (Surface Course)
Lapis permukaan struktur pekerasan lentur terdiri atas campuran mineral
agregat dan bahan pengikat yang ditempatkan sebagai lapisan paling atas dan
biasanya terletak di atas lapis pondasi.
Fungsi lapis permukaan antara lain :

Sebagai bagian perkerasan untuk menahan beban roda.

Sebagai lapisan tidak tembus air untuk melindungi badan jalan dari kerusakan
akibat cuaca.

Sebagai lapisan aus (wearing course)

Bahan untuk lapis permukaan umumnya sama dengan bahan untuk lapis pondasi
dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan agar
lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan
bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap
beban

roda.

Pemilihan

bahan

untuk

lapis

permukaan

perlu

mempertimbangkan kegunaan, umur rencana serta pentahapan konstruksi agar


dicapai manfaat sebesar-besarnya dari biaya yang dikeluarkan.

b. Lapisan pondasi atas (Base Course)


Lapis pondasi adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak
langsung di bawah lapis permukaan. Lapis pondasi dibangun di atas lapis pondasi
bawah atau, jika tidak menggunakan lapis pondasi bawah, langsung di atas tanah
dasar.
Fungsi lapis pondasi antara lain :

Sebagai bagian konstruksi perkerasan yang menahan beban roda.

Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan.


Bahan-bahan untuk lapis pondasi harus cukup kuat dan awet sehingga dapat

menahan beban-beban roda. Sebelum menentukan suatu bahan untuk digunakan


sebagai bahan pondasi, hendaknya dilakukan penyelidikan dan pertimbangan
sebaik-baiknya sehubungan dengan persyaratan teknik. Bermacam-macam bahan
alam/setempat (CBR > 50%, PI < 4%) dapat digunakan sebagai bahan lapis
pondasi, antara lain : batu pecah, kerikil pecah yang distabilisasi dengan semen,
aspal, pozzolan, atau kapur.
c. Lapisan pondasi bawah (Sub Base Course)
Lapis pondasi bawah adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang
terletak antara tanah dasar dan lapis pondasi. Biasanya terdiri atas lapisan dari
material berbutir (granular material) yang dipadatkan, distabilisasi ataupun tidak,
atau lapisan tanah yang distabilisasi. Fungsi lapis pondasi bawah antara lain :
Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebar
beban roda.
Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisanlapisan di atasnya dapat dikurangi ketebalannya (penghematan biaya
konstruksi).

Mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi.

Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan konstruksi berjalan lancar.


Lapis pondasi bawah diperlukan sehubungan dengan terlalu lemahnya daya

dukung tanah dasar terhadap roda-roda alat berat (terutama pada saat pelaksanaan
konstruksi) atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup
tanah dasar dari pengaruh cuaca. Bermacam-macam jenis tanah setempat (CBR >
20%, PI < 10%) yang relatif lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan sebagai

bahan pondasi bawah. Campuran-campuran tanah setempat dengan kapur atau


semen portland, dalam beberapa hal sangat dianjurkan agar diperoleh bantuan
yang efektif terhadap kestabilan konstruksi perkerasan.
d. Lapisan tanah dasar (Subgrade)
Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung pada sifatsifat dan daya dukung tanah dasar. Dalam pedoman ini diperkenalkan modulus
resilien (MR) sebagai parameter tanah dasar yang digunakan dalam perencanaan
Modulus resilien (MR) tanah dasar juga dapat diperkirakan dari CBR standar dan
hasil atau nilai tes soil index. Korelasi Modulus Resilien dengan nilai CBR
(Heukelom & Klomp) berikut ini dapat digunakan untuk tanah berbutir halus
(fine-grained soil) dengan nilai CBR terendam 10 atau lebih kecil.
MR (psi) = 1.500 x CBR
Persoalan tanah dasar yang sering ditemui antara lain :
Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari jenis tanah tertentu
sebagai akibat beban lalu-lintas.
Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar
air.
Daya dukung tanah tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada
daerah dan jenis tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau
akibat pelaksanaan konstruksi.
Lendutan dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu-lintas
untuk jenis tanah tertentu.
Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu-lintas dan penurunan yang
diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir (granular soil) yang tidak
dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan konstruksi.

2.3.

Sifat Perkerasan Lentur Jalan


Aspal yang dipergunakan pada konstruksi perkerasan jalan berfungsi sebagai:
a. Bahan pengikat, memberikan ikatan yang kuat antara aspal dengan agregat

dan antara aspal itu sendiri.

b. Bahan pengisi, mengisi rongga antara butir-butir agregat dan pori-pori yang
ada dari agregat itu sendiri.
Dengan demikian, aspal haruslah memiliki daya tahan (tidak cepat rapuh)
terhadap cuaca, mempunyai adhesi dan kohesi yang baik dan memberikan sifat
elastis yang baik.
a. Daya tahan (durability)
Daya tahan aspal adalah kemampuan aspal mempertahankan sifat asalnya
akibat pengaruh cuaca selama masa pelayanan jalan. Sifat ini merupakan sifat dari
campuran aspal, jadi tergantung dari sifat agregat, campuran dengan aspal, faktor
pelaksanaan dan sebagainya.
b. Adhesi dan Kohesi
Adhesi adalah kemampuan aspal untuk mengikat agregat sehingga
dihasilkan ikatan yang baik antara agregat dengan aspal. Kohesi adalah
kemampuan aspal untuk tetap mempertahankan agregat tetap ditempatnya setelah
terjadi pengikatan.
c. Kepekaan terhadap temperatur
Aspal adalah material yang termoplastis, berarti akan menjadi keras atau
lebih kental jika temperatur berkurang dan akan lunak atau lebih cair jika
temperature bertambah. Sifat ini dinamakan kepekaan terhadap perubahan
temperatur. Kepekaan terhadap temperatur dari setiap hasil produksi aspal
berbeda-beda tergantung dari asalnya walaupun aspal tersebut mempunyai jenis
yang sama.
d. Kekerasan aspal
Aspal pada proses pencampuran dipanaskan dan dicampur dengan agregat sehingga
agregat dilapisi aspal atau aspal panas disiramkan ke permukaan agregat yang
telah disiapkan pada proses peleburan. Pada waktu proses pelaksanaan, terjadi
oksidasi yang menyebabkan aspal menjadi getas (viskositas bertambah tinggi).
Peristiwa perapuhan terus berlangsung setelah masa pelaksanaan selesai. Jadi
selama masa pelayanan, aspal mengalami oksidasi dan polimerisasi yang
besarnya dipengaruhi juga oleh ketebalan aspal yang menyelimuti agregat.
Semakin tipis lapisan aspal, semakin besar tingkat kerapuhan yang terjadi.

2.4.

Penyebab Kerusakan Perkerasan Lentur Jalan


Menurut Manual Pemeliharaan Jalan Bina Marga No: 03/MN/B/1983, kerusakan jalan
dapat dibedakan atas (Silvia Sukirman, 1993):
a. Lalu lintas, yang dapat berupa peningkatan beban, dan repetisi beban.
b. Air, yang dapat berasal dari air hujan, sistem drainase jalan yang tidak baik
dan naiknya air akibat kapilaritas.
c.

Material konstruksi perkerasan. Dalam hal ini dapat disebabkan oleh sifat
material itu sendiri atau dapat pula disebabkan oleh sistem pengolahan
bahan yang tidak baik.

d. Iklim, Indonesia beriklim tropis, dimana suhu udara dan curah hujan
umumnya tinggi, yang dapat merupakan salah satu penyebab kerusakan
jalan.
e. Kondisi tanah dasar yang tidak stabil. Kemungkinan disebabkan oleh
system pelaksanaan yang kurang baik, atau dapat juga disebabkan oleh sifat
tanah dasarnya yang memang kurang bagus.
f. Proses pemadatan lapisan di atas tanah dasar yang kurang baik.
Umumnya kerusakan-kerusakan yang timbul itu tidak disebabkan oleh satu faktor
saja, tetapi dapat merupakan gabungan penyebab yang saling berkaitan. Sebagai
contoh, retak pinggir, pada awalnya dapat diakibatkan oleh tidak baiknya
sokongan dari samping. Dengan terjadinya retak pinggir, memungkinkan air
meresap masuk ke lapis dibawahnya yang melemahkan ikatan antara aspal dengan
agregat,

hal

ini

dapat

menimbulkan

lubang-lubang

disamping

dan

melemahkan daya dukung lapisan dibawahnya.

2.5.

Jenis Kerusakan Perkerasan Lentur


Lapisan perkerasan sering mengalami kerusakan atau kegagalan sebelum
mencapai umur rencana. Kegagalan pada perkerasan dapat dilihat dari kondisi
kerusakan fungsional dan struktural.
Kerusakan fungsional adalah apabila perkerasan tidak dapat berfungsi lagi
sesuai dengan yang direncanakan. Sedangkan kerusakan struktural terjadi ditandai
dengan adanya rusak pada satu atau lebih bagian dari struktur perkerasan jalan.

Kegagalan fungsional pada dasarnya tergantung pada derajat atau tingkat


kekasaran permukaan, sedangkan kegagalan struktural disebabkan oleh lapisan
tanah dasar yang tidak stabil, beban lalu lintas, kelelahan permukaan, dan
pengaruh kondisi lingkungan sekitar.
2.5.1.

Jenis Kerusakan Perkerasan Berdasarkan Metode Bina Marga

Jenis Kerusakan Perkerasan Lentur dapat dibedakan atas:


1. Retak (cracking)
2. Distorsi (distortion)
3. Cacat permukaan (disintegration)
4. Pengausan ( polished aggegate)
5. Kegemukan (bleeding / flushing)
6. Penurunan pada bekas penanaman utilitas

a.

Retak (Cracking) dan penanganannya


Retak yang terjadi pada lapisan permukaan jalan dapat dibedakan atas :

1. Retak halus atau retak garis (hair cracking), lebar celah lebih kecil atau sama
dengan 3 mm, penyebab adalah bahan perkerasan yang kurang baik, tanah
dasar atau bagian perkerasan di bawah lapis permukaan kurang stabil. Retak
halus ini dapat meresapkan air ke dalam permukaan dan dapat menimbulkan
kerusakan yang lebih parah seperti retak kulit buaya bahkan kerusakan seperti
lubang dan amblas. Retak ini dapat berbentuk melintang dan memanjang,
dimana retak memanjang terjadi pada arah sejajar dengan sumbu jalan,
biasanya pada jalur roda kendaraan atau sepanjang tepi perkerasan atau
pelebaran, sedangkan untuk retak melintang terjadi pada arah memotong
sumbu jalan, dapat terjadi pada sebagian atau seluruh lebar jalan.
Metode pemeliharaan dan penanganan :
Untuk retak halus (< 2 mm) dan jarak antara retakan renggang,
dilakukan metode perbaikan P2 (laburan aspal setempat).
Untuk retak halus (< 2 mm) dan jarak antara retakan rapat, dilakukan
metode perbaikan P3 (penutupan retak).

Untuk lebar retakan (> 2 mm) lakukan perbaikan P4 (pengisian retak).

Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan perbaikan serta bahan dan peralatan


dapat dilihat pada lampiran A.

Gambar 2.2. Retak Halus


2. Retak kulit buaya (alligator crack), lebar celah lebih besar atau sama dengan
3 mm. Saling berangkai membentuk serangkaian kotak-kotak kecil yang
menyerupai kulit buaya. Retak ini disebabkan oleh bahan perkerasan yang
kurang baik, pelapukan permukaan, tanah dasar atau bagian perkerasan di
bawah lapisan permukaan kurang stabil, atau bahan pelapis pondasi dalam
keadaan jenuh air (air tanah naik). Umumnya daerah dimana terjadi retak
kulit buaya tidak luas. Jika daerah dimana terjadi retak kulit buaya luas,
mungkin hal ini disebabkan oleh repetisi beban lalu lintas yang melampaui
beban yang dapat dipikul oleh lapisan permukaan tersebut. Retak kulit buaya
dapat diresapi oleh air sehingga lama kelamaan akan menimbulkan lubanglubang akibat terlepasnya butir-but ir.
Untuk retak kulit buaya dilakukan metode perbaikan P2 (laburan aspal
setempat) dan P5 (penambalan lubang/patching) sesuai dengan tingkat
kerusakan retak yang terjadi. Urutan pelaksanaan serta bahan dan peralatan
dapat dilihat pada lampiran A.
Perbaikan juga harus disertai dengan perbaikan drainase disekitarnya,
sehingga nantinya air tidak tergenang di badan jalan yang dapat
mempengaruhi umur jalan.

Gambar 2.3. Retak Kulit Buaya


3. Retak pinggir (edge crack), retak memanjang jalan, dengan atau tanpa cabang
yang mengarah ke bahu dan terletak dekat bahu. Retak ini disebabkan oleh
tidak baiknya sokongan dari arah samping, drainase kurang baik, terjadinya
penyusutan tanah, atau terjadinya settlement di bawah daerah tersebut. Akar
tanaman yang tumbuh di tepi perkerasan dapat pula menjadi sebab terjadinya
retak pinggir ini. Di lokasi retak, air dapat meresap yang dapat semakin
merusak lapisan permukaan. Retak dapat diperbaiki dengan mengisi celah
dengan campuran aspal cair dan pasir. Perbaikan drainase harus dilakukan,
bahu diperlebar dan dipadatkan. Jika pinggir perkerasan mengalami
penurunan, elevasi dapat diperbaiki dengan mempergunakan hotmix. Retak
ini lama kelamaan akan bertambah besar disertai dengan terjadinya lubanglubang.

Gambar 2.4. Retak Pinggir


4. Retak sambungan bahu dan perkerasan (edge joint crack), retak memanjang,
umumnya terjadi pada sambungan bahu dengan perkerasan. Retak dapat
disebabkan oleh kondisi drainase di bawah bahu jalan lebih buruk daripada di
bawah perkerasan, terjadinya settlement di bahu jalan, penyusutan material

bahu atau perkerasan jalan, atau akibat lintasan truk / kendaraan berat dibahu
jalan. Perbaikan dapat dilakukan seperti perbaikan retak refleksi.

Gambar 2.5. Retak Sambungan Bahu dan Perkerasan


5. Retak sambungan jalan (lane joint cracks), retak memanjang, yang terjadi
pada sambungan 2 lajur lalu lintas. Hal ini disebabkan tidak baiknya ikatan
sambungan kedua lajur. Perbaikan dapat dilakukan dengan memasukkan
campuran aspal cair dan pasir ke dalam celah-celah yang terjadi. Jika tidak
diperbaiki, retak dapat berkembang menjadi lebar karena terlepasnya butirbut ir pada tepi retak dan meresapnya air ke dalam lapisan.
6. Retak sambungan pelebaran jalan (widening cracks), adalah retak memanjang
yang terjadi pada sambungan antara perkerasan lama dengan perkerasan
pelebaran. Hal ini disebabkan oleh perbedaan daya dukung di bawah bagian
pelebaran dan bagian jalan lama, dapat juga disebabkan oleh ikatan antara
sambungan tidak baik. Perbaikan dilakukan dengan mengisi celah-celah yang
timbul dengan campuran aspal cair dan pasir. Jika tidak diperbaiki, air dapat
meresap masuk ke dalam lapisan perkerasan melalui celah-celah, butir-but ir
dapat lepas dan retak dapat bertambah besar.

Gambar 2.6. Retak Sambungan Pelebaran Jalan

7. Retak refleksi (reflection cracks), retak memanjang, melintang, diagonal atau


membentuk

kotak.

Terjadi

pada

lapis

tambahan

(overlay)

yang

menggambarkan pola retakan dibawahnya. Retak refleksi dapat terjadi jika


retak pada perkerasan lama tidak diperbaiki secara baik sebelum pekerjaan
overlay dilakukan. Retak refleksi dapat pula terjadi jika terjadi gerakan
vertical / horizontal dibawah lapis tambahan sebagai akibat perubahan kadar
air pada jenis tanah yang ekspansif. Untuk retak memanjang, melintang dan
diagonal perbaikan dapat dilakukan dengan mengisi celah dengan campuran
aspal cair dan pasir. Untuk retak berbentuk kotak perbaikan dilakukan dengan
membongkar dan melapis kembali dengan bahan yang sesuai.

Gambar 2.7. Retak Refleksi


8. Retak susut (shrinkage cracks), retak yang saling bersambungan membentuk
kotak-kotak besar dengan susut tajam. Retak disebabkan oleh perubahan
volume pada lapisan pondasi dan tanah dasar. Perbaikan dapat dilakukan
dengan mengisi celah dengan campuran aspal cair dan pasir serta dilapisi
dengan burtu.

Gambar 2.8. Retak Susut

9. Retak slip (slippage cracks), retak yang bentuknya melengkung seperti bulan
sabit. Hal ini terjadi disebabkan oleh kurang baiknya ikatan antar lapis
permukaan dan lapis dibawahnya. Kurang baiknya ikatan dapat disebabkan
oleh adanya debu, minyak air, atau benda non adhesive lainnya, atau akibat
tidak diberinya tack coat sebagai bahan pengikat antar kedua lapisan. Retak
selip pun dapat terjadi akibat terlalu banyaknya pasir dalam campuran lapisan
permukaan, atau kurang baiknya pemadatan lapisan permukaan. Perbaikan
dapat dilakukan dengan membongkar bagian yang rusak dengan dan
menggantikannya dengan lapisan yang lebih baik.

Gambar 2.9. Retak Slip


b.

Distorsi (distortion)
Distorsi / perubahan bentuk dapat terjadi akibat lemahnya tanah dasar,

pemadatan yang kurang pada lapis pondasi, sehingga terjadi tambahan pemadatan
akibat beban lalu lintas. Sebelum perbaikan dilakukan sewajarnyalah ditentukan
terlebih dahulu jenis dan penyebab distorsi yang terjadi. Dengan demikian dapat
ditentukan jenis penanganan yang tepat.
Distorsi dapat dibedakan atas :
1. Alur (ruts), yang terjadi pada lintasan roda sejajar dengan as jalan. Alur dapat
merupakan tempat menggenangnya air hujan yang jatuh di atas permukaan
jalan, mengurangi tingkat kenyamanan, dan akhirnya dapat timbul retakretak. Terjadinya alur disebabkan oleh lapis perkerasan yang kurang padat,
dengan demikian terjadi tambahan pemadatan akibat repetisi beban lalu lintas
pada lintasan roda. Campuran aspal dengan stabilitas rendah dapat pula

menimbulkan deformasi plastis.


Perbaikan dapat dilakukan dengan melakukan metode perbaikan P6
(perataan) untuk kerusakan alur ringan. Untuk kerusakan alur yang cukup
parah dilakukan perbaikan P5 (penambalan lubang) yang pelaksanaan serta
bahan dan peralatannya dapat dilihat pada lampiran A.

Gambar 2.10. Alur


2. Keriting (corrugation), alur yang terjadi melintang jalan. Dengan timbulnya
lapisan permukaan yang berkeriting

ini pengemudi akan merasakan

ketidaknyamanan dalam

Penyebab kerusakan

mengemudi.

ini adalah

rendahnya stabilitas campuran yang dapat berasal dari terlalu tingginya kadar
aspal, terlalu banyak menggunakan agregat halus, agregat berbentuk butiran
dan berpermukaan licin, atau aspal yang dipergunakan mempunyai penetrasi
yang tinggi. Keriting dapat juga terjadi jika lalu lintas dibuka sebelum
perkerasan mantap (untuk perkerasan yang menggunakan aspal cair).
Perbaikan terhadap kerusakan ini dapat dilakukan dengan melakukan metode
perbaikan P6 (perataan) dan juga perbaikan P5 (penambalan lubang) jika
keriting juga disertai dengan timbulnya lubang-lubang pada permukaan jalan.
Kerusakan ini juga dapat diperbaiki dengan :
a. Jika lapis permukaan yang berkeriting itu memiliki lapisan pondasi
agregat, perbaikan yang tepat adalah dengan mengaruk kembali,
dicampur dengan lapis pondasi, dipadatkan kembali dan diberi lapis
permukaan baru.

b. Jika lapis permukaan dengan bahan pengikat memiliki ketebalan > 5 cm,
maka lapis tipis yang mengalami keriting tersebut diangkat dan diberi
lapis permukaan yang baru.

Gambar 2.11. Keriting


3. Sungkur (shoving), deformasi plastis yang terjadi setempat, ditempat
kendaraan sering berhenti, kelandaian curam, dan tikungan tajam. Kerusakan
terjadi dengan atau tanpa retak. Penyebab kerusakan sama dengan kerusakan
keriting. Perbaikan dapat dilakukan dengan cara perbaikan P6 (perataan) dan
perbaikan P5 (penambalan lubang). Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan
perbaikan serta bahan dan peralatan dapat dilihat pada lampiran A.

Gambar 2.12. Sungkur


4. Amblas (grade depressions), terjadi setempat, dengan atau tanpa retak.
Amblas dapat terdeteksi dengan adanya air yang tergenang. Air yang

tergenang ini dapat meresap ke dalam lapisan permukaan yang akhirnya


menimbulkan lobang. Penyebab amblas adalah beban kendaraan yang
melebihi apa yang direncanakan, pelaksanaan yang kurang baik, atau
penurunan bagian perkerasan dikarenakan tanah dasar mengalami settlement.
Perbaikan dapat dilakukan dengan :
a. Untuk amblas yang < 5cm, lakukan metode perbaikan P6 (perataan).
b. Untuk amblas yang > 5 cm, lakukan metode perbaikan P5 (penambalan
lubang).
c. Periksa dan perbaiki selokan dan gorong-gorong agar air lancar mengalir.
d. Periksa dan perbaiki bahu jalan yang mengalami kerusakan.
Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan perbaikan serta bahan dan peralatan
dapat dilihat pada lampiran A.

Gambar 2.13. Amblas


5. Jembul (upheaval), terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Hal ini terjadi
akibat adanya pengembangan tanah dasar pada tanah yang ekspansif.
Perbaikan dilakuka n dengan membongkar bagian yang rusak dan melapisnya
kembali.
c.

Cacat permukaan (disintegration)


Yang termasuk dalam cacat permukaan adalah :

1. Lubang (potholes), berupa mangkuk, ukuran bervariasi dari kecil sampai


besar. Lubang-lubang ini menampung dan meresapkan air ke dalam lapis
permukaan yang menyebabkan semakin parahnya kerusakan jalan.

Lubang dapat terjadi karena :


a. Campuran material lapis permukaan jelek, seperti :
- Kadar aspal rendah, sehingga film aspal tipis dan mudah lepas.
- Agregat kotor sehingga ikatan antara aspal dan agregat tidak baik.
- Temperatur campuran tidak memenuhi persyaratan.

b. Lapis permukaan tipis sehingga ikatan aspal dan agregat mudah lepas akibat
pengaruh cuaca.
c. Sistem drainase jelek, sehingga air banyak yang meresap dan mengumpul pada
lapis permukaan.
d. Retak-retak yang terjadi tidak segera ditangani sehingga air meresap masuk dan
mengakibatkan terjadinya lubang-lubang kecil.
Lubang-lubang tersebut diperbaiki dengan cara:

Untuk lubang yang dangkal ( < 20 mm ), lakukan metode perbaikan P6


(perataan).

Untuk lubang yang > 20 mm, lakukan metode perbaikan P5 (penambalan


lubang).

Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan perbaikan serta bahan dan peralatan dapat
dilihat pada lampiran A.

Gambar 2.14. Lubang

2. Pelepasan butir (raveling), dapat terjadi secara meluas dan mempunyai efek
serta disebabkan oleh hal yang sama dengan lubang. Dapat diperbaiki dengan
memberikan lapisan tambahan diatas lapisan yang mengalami pelepasan butir
setelah lapisan tersebut dibersihkan, dan dikeringkan.

Gambar 2.15. Pelepasan Butiran


3. Pengelupasan

lapisan

permukaan

(stripping),

dapat

disebabkan

oleh

kurangnya ikatan antar lapisan permukaan dan lapis dibawahnya, atau terlalu
tipisnya lapis permukaan. Dapat diperbaiki dengan cara digarus, diratakan
dan dipadatkan. Setelah itu dilapis dengan buras.
d.

Pengausan (polished aggregate)


Permukaan

menjadi

licin,

sehingga

membahayakan

kendaraan.

Pengausan terjadi karena agregat berasal dari material yang tidak tahan aus
terhadap roda kendaraan, atau agregat yang dipergunakan berbentuk bulat dan
licin, tidak berbentuk cubical. Dapat diatasi dengan menutup lapisan dengan
latasir, buras, atau latasbum.

Gambar 2.16. Pengausan


e.

Kegemukan (bleeding / flushing)


Permukaan jalan menjadi licin dan tampak lebih hitam. Pada temperatur

tinggi, aspal menjadi lunak dan akan terjadi jejak roda. Berbahaya bagi kendaraan
karena bila dibiarkan, akan menimbulkan lipatan-lipatan (keriting) dan lubang
pada permukaan jalan. Kegemukan (bleeding) dapat disebabkan pemakaian kadar
aspal yang tinggi pada campuran aspal, pemakaian terlalu banyak aspal pada
pekerjaan prime coat atau tack coat. Dapat diatasi dengan penanganan P1
(Penebaran Pasir) yaitu dengan menaburkan agregat panas dan kemudian
dipadatkan, atau lapis aspal diangkat dan kemudian diberi lapisan penutup.

Gambar 2.17. Kegemukan


f.

Penurunan pada bekas penanaman utilitas


Penurunan yang terjadi di sepanjang bekas penanaman utilitas. Hal ini

terjadi karena pemadatan yang tidak memenuhi syarat. Dapat diperbaiki dengan
dibongkar kembali dan diganti dengan lapis yang sesuai

Gambar 2.18. Penurunan pada bekas penanaman utilitas

2.6.

Jenis Pemeliharaan Jalan


Pemeliharaan jalan adalah penanganan jalan yang meliputi perawatan,
rehabilitasi, penunjangan, dan peningkatan. Adapun jenis pemeliharaan jalan
ditinjau dari waktu pelaksanaannya adalah :
1. Pemeliharaan rutin adalah penanganan yang diberikan hanya pada lapis
permukaan yang sifatnya untuk meningkatkan kualitas berkendara (Riding
Quality),

tanpa

meningkatkan

kekuatan

struktural,

dan

dilakukan

sepanjang tahun.
2. Pemeliharaan berkala adalah pemeliharaan yang dilakukan terhadap jalan
pada waktu-waktu tertentu (tidak menerus sepanjang tahun) dan sifatnya
meningkatkan kekuatan struktural.
3. Peningkatan jalan adalah penanganan jalan guna memperbaiki pelayanan
jalan yang berupa peningkatan struktural dan atau geometriknya guna
mencapai tingkat pelayanan yang direncanakan.
2.7.

Drainase
2.7.1 Umum
2.7.1.1 Pengertian Drainasi
Drainasi secara umum didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang
mempelajari usaha untuk mengalirkan air yang berlebih an dalam suatu konteks
pemanfaatan tertentu. Drainasi dapat dibedakan antara lain untuk daerah:
1. pemukiman
2. kawasan industri dan perdagangan
3. kampus dan sekolah
4. rumah sakit dan fasilitas umum
5. lapangan olah raga
6. lapangan parkir

7. instalasi militer,listrik, telekomunikasi


8. pelabuhan udara
2.7.1.2 Jenis Drainasi
1. Menurut sejarah terbentuknya :
a. Drainasi Alamiah : terbentuk secara alami, tidak ada unsur campur tangan
manusia
b. Drainasi buatan : dibentuk berdasarkan analisis ilmu drainasi, untuk
menentukan debit akibat hujan, dan demensi saluran
2. Menurut Letak saluran
a. Drainasi Muka Tanah
ditujukan untuk menghilangkan air hujan dari permukaan jalan sehingga
lalu lintas dapat melaju dengan aman dan efisien serta untuk
meminimalkan penetrasi air hujan ke dalam struktur jalan.
Fungsi utama:
1. Membawa air hujan dari permukaan jalan ke pembuangan air
2. Menampung air tanah (dari subdrain) dan air permukaan yang
mengalir menuju jalan
3. Membawa air menyeberang alinemen jalan secara terkendali
Fungsi 1 & 2 dikendalikan oleh komponen drainase MEMANJANG,
fungsi 3 memerlukan bangunan drainase MELINTANG.
b. Drainasi Bawah Muka Tanah
berfungsi untuk mencegah masuknya air dalam struktur jalan dan/atau
menangkap dan mengeluarkan air dari struktur jalan.

Gambar 2.23 Drainase Jalan Raya


3. Menurut Fungsi Drainasi
a. Single Purpose : saluran berfungsi mengalirkan satu jenis air buangan
saja
b. Multy purpose : Saluran berfungsi mengalirkan beberapa jenis buangan,
baik secara bercampur maupun bergantian
4. Menurut Konstruksi
a. Saluran terbuka : saluran untuk air hujan yang terletak di area yang cukup
luas. Juga untuk saluran air non hujan yang tidak mengganggu kesehatan
lingkungan.
b. Saluran tertutup : saluran untuk air kotor yang mengganggu kesehatan
lingkungan . Juga untuk saluran dalam kota.
2.7.1.3 Pola Jaringan Drainasi
a. Siku

b. Paralel

c. Alamiah

d. Radial

2.7.2

Drainase Jalan Raya


Drainase jalan raya dibedakan untuk perkotaan dan luar perkotaan umumnya

di perkotaan dan luar perkotaan , drainasi jalan raya selalu mempergunakan drainasi
muka tanah. Di perkotaan saluran muka tanah selalu ditutup sebagai bahu jalan atau
trotoar . walaupun juga sebagaimana di luar perkotaan , ada juga saluran drainasi muka
tanah tidak ditutup , terbuka lebar, dengan sisi atas saluran rata dengan muka jalan ,
sehingga air dapat masuk saluran dengan bebas. Drainase jalan raya di perkotaan ,
elevasi sisi atas saluran selalu lebih tinggi dari sisi atas muka jalan. Air masuk ke
saluran melalui inlet . inlet yang ada dapat berupa inlet tegak ataupun inlet horisontal.
2.7.3

Tata Letak Saluran


Untuk jalan raya yang lurus , kemungkinan letak saluran pada sisi kiri dan sisi

kanan jalan,. Untuk jalan raya yang lebar di mana selain terdapat trotoar atau bahu
jalan , juga terdapat pembatas di tengah tengah jalan sebagai pemisah juga antara dua
jalur jalan. Pembatas ini disebut sebagai median. Jika jalan ke arah lebar miring ke
arah tepi , maka saluran akan terdapat pada sisi tepi jalan atau pada bahu jalan ,
sedangkan jika kemiringan arah lebar ke arah median jalan , maka saluran akan
terdapat pada median jalan tersebut. Jika jalan tidak lurus , menikung, maka
kemiringan jalan satu arah . Kemiringan satu arah pada jalan menikung ini

menyebabkan saluran hanya pada satu sisi jalan, yaitu sisi yang rendah. Untuk
menyalurkan air dari saluran ini pada jarak tertentu, direncanakan adanya pipa riol
yang diposisikan di bawah badan jalan untuk mengalirkan air dari saluran.
Pada umumnya untuk drainasi jalan raya di dalam kota , untuk mengalirkan air
dari jalan raya akibat hujan , ke dalam saluran dipergunakan inlet. Inlet tegak
umumnya berbentuk empat persegi panjang dan inlet datar berbentuk empat persegi
panjang, bujur sangkar atau lingkaran. Inlet hasil produksi pabrik umumnya
mempunyai nilai efisiensi. Pada pendemensian inlet, terlebih dahulu dianalisis luas
lubang berdasarkan debit inlet rencana. Dari luas lubang tersebut akan didapatkan luas
inlet yang relatif selalu lebih luas dari luas lubang. Luas lubang besar sama dengan
jumlah luas lubang kecil dari inlet , luas menjadi lebih besar dari luas lubang karena
adanya tebal kisi-kisi inlet, sehingga luas inlet yang ada merupakan luas lubang
ditambah dengan luas tebal kisi-kisi inlet. Jarak antar dari inlet biasanya direncanakan
sekitar 10 meter sampai 30 meter.

4.7.1

Sistem Jaringan Drainase


Sistem jaringan drainase merupakan bagian dari infrastruktur pada suatu

kawasan, drainase masuk pada kelompok infrastruktur air pada pengelompokan


infrastruktur wilayah, selain itu ada kelompok jalan, kelompok sarana transportasi,
kelompok pengelolaan limbah, kelompok bangunan kota, kelompok energi dan
kelompok telekomunikasi ( Grigg 1988, dalam Suripin, 2004 ). Air hujan yang jatuh di
suatu kawasan perlu dialirkan atau dibuang, caranya dengan pembuatan saluran yang
dapat menampung air hujan yang mengalir di permukaan tanah tersebut. Sistem
saluran di atas selanjutnya dialirkan ke sistem yang lebih besar. Sistem yang paling
kecil juga dihubungkan denga saluran rumah tangga dan dan sistem saluran bangunan
infrastruktur lainnya, sehingga apabila cukup banyak limbah cair yang berada dalam
saluran tersebut perlu diolah ( treatment ). Seluruh proses tersebut di atas yang disebut
dengan sistem drainase ( Kodoatie, 2003 ). Bagian infrastruktur (sistem drainase )
dapat didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk
mengurangi dan /atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan,
sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Dirunut dari hulunya, bangunan
sistem drainase terdiri dari saluran penerima ( interseptor drain ), saluran pengumpul (
colector drain ), saluran pembawa ( conveyor drain ), saluran induk ( main drain ) dan
badan air penerima ( receiving waters). Di sepanjang sistem sering dijumpai bangunan

lainnya, seperti gorong-gorong, siphon, jembatan air ( aquaduct ), pelimpah, pintupintu air, bangunan terjun, kolam tando dan stasiun pompa. Pada system drainase yang
lengkap, sebelum masuk ke badan air penerima air diolah dahulu pada telah memliki
baku mutu tertentu yang dimasukkan ke dalam badan air penerima, biasanya sungai,
sehingga tidak merusak lingkungan ( Suripin, 2004 ).
4.7.2

Konsep Sistem Jaringan Drainase yang Berkelanjutan


Berdasarkan prinsip pengertian sistem drainase diatas yang bertujaun agar

tidak terjadi banjir di suatu kawasan, ternyata air juga merupakan sumber kehidupan.
Bertolak dari hal tersebut, maka konsep dasar pengembangan sistem drainase yang
berkelanjutan adalah meningkatkan daya guna air, meminimalkan kerugian, serta
memperbaiki dan konservasi lingkungan.Untuk itu diperlukan usaha-usaha yang
komprehensif dan integratif yang meliputi seluruh proses, baik yang bersifat struktural
maupun non struktural, untuk mencapai tujuan tersebut ( Suripin, 2004 ). Sampai saat
ini perancangan drainase didasarkan pada filosofi bahwa air secepatnya mengalir dan
seminimal mungkin menggenangi daerah layanan. Tapi dengan semakin timpangnya
perimbangan air ( pemakaian dan ketersedian ) maka diperlukan suatu perancangan
draianse yang berfilosofi bukan saja aman terhadap genangan tapi juga sekaligus
berasas pada konservasi air ( Sunjoto, 1987 ). Konsep Sistem Drainase yang
Berkelanjutan prioritas utama kegiatan harus ditujukan untuk mengelola limpasan
permukaan dengan cara mengembangkan fasilitas untuk menahan air hujan.
Berdasarkan fungsinya, fasilitas penahan air hujan dapat dikelompokkan menjadi dua
tipe, yaitu tipe penyimpanan dan tipe peresapan ( Suripin, 2004 ). Sedangkan menurut
Sunjoto, 1987, konsepsi perancangan drainase air hujan yang berasaskan pada
konsevasi air tanah pada hakekatnya adalah perancangan suatu system drainase yang
mana air hujan jatuh di atap / perkerasan, ditampung pada suatu system resapan air,
sedangkan hanya air dari halaman bukan perkerasan yang perlu ditampung oleh sistem
jaringan drainase. Pada tesis ini langkah struktural dengan menggunakan tipe
peresapan, Sumur Resapan Air Hujan ( RSAH ) seperti disajikan pada Gambar
dibawah ini

Gambar 2.24 Contoh Sumur Resapan Air Hujan ( Suripin, 2004 )

Gambar 2.25. Tata Letak Sumur Resapan Air Hujan ( Suripin, 2004 )

2.7.3 Penilaian Kapasitas dan Kerusakan Jaringan Drainase


Tingkat kapasitas dan kerusakan jaringan menunjukkan secara utuh tentang
kondisi fisik jaringan drainase, yaitu mengenai kapasitas dan kondisi fisik jaringan
yang dibagi menjadi beberapa komponen, yaitu terdiri dari saluran penerima
(interseptor drain), saluran pengumpul (collector drain), saluran pembawa (conveyor
drain), saluran induk (main drain) dan bangunan pelengkap lainnya seperti goronggorong, dan bangunan pertemuan (bak kontro). Setiap komponen memberikan
kontribusi terhadap kondisi fisik jaringan secara keseluruhan. Bobot setiap komponen
disusun atas besarnya pengaruh terhadap terjaminnya layanan pengaliran air genangan
(pedoman penilaian jaringan drainase).

BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Identifikasi Kerusakan Jalan


Kelompok kami menetapkan studi kasus pada ruas jalan di Desa Banjarsari,
Kecamatan Buduran, Sidoarjo sebagai lokasi dalam melakukan pengamatan. Berdasarkan
pengamatan pada ruas jalan tersebut terdapat kerusakan jalan sejauh 500 meter.
Konstruksi perkerasan jalan tersebut, yaitu konstruksi perkerasan lentur (Flexible
Pavement), perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya. Pada
pengamatan pada ruas jalan Desa Banjarsari terdapat kerusakan jalan seperti pada gambar
yang di foto langsung seperti di bawah ini :

Menurut gambar di atas dan kajian pustaka yang telah dibahas mengenai jenis
kerusakan perkerasan lentur, sehingga dapat di identifikasi tipe kerusakan jalan pada Desa
Banjarsari, Kecamatan Buduran, Sidoarjo adalah retak pinggir (edge crack), retak susut
(shrinkage cracks) dan lubang (potholes), yang merupakan bagian dari tipe kerusakan
cacat permukaan (disintegration).

3.2. Drainase
Kondisi drainase pada Desa Banjarsari, Kecamatan Buduran, Sidoarjo adalah tidak
terlalu baik karena masih terdapat sampah sampah yang menggenangi saluran tersebut dan
mampu menyumbat aliran air yang melintasi. Drainase termasuk dalam wilayah pemukiman,
merupakan drainase buatan bukan alamiah, pola jaringan yang terdapat pada saluran
drainasenya adalah pola siku ,menurut letak nya termasuk dalam drainase muka tanah dan
menurut fungsi termasuk single purpose yang berarti dapat mengalirkan satu jenis air
buangan saja

3.3. Penyebab Kerusakan Jalan


Berdasarkan pengamatan pada ruas jalan di Desa Banjarsari, Kecamatan Buduran,
Sidoarjo tersebut terdapat kerusakan jalan sejauh 500 meter. Dapat disimpulkan penyebab
kerusakan jalan sebagai berikut :
1. Penyebab retak pinggir (edge crack)
Retak ini disebabkan oleh tidak baiknya sokongan dari arah samping,
drainase kurang baik, terjadinya penyusutan tanah, atau terjadinya settlement di
bawah daerah tersebut. Akar tanaman yang tumbuh di tepi perkerasan dapat pula

menjadi sebab terjadinya retak pinggir ini. Di lokasi retak, air dapat meresap
yang dapat semakin merusak lapisan permukaan. Retak ini lama kelamaan akan
bertambah besar disertai dengan terjadinya lubang- lubang.
2. Retak susut (shrinkage cracks)
retak yang saling bersambungan membentuk kotak-kotak besar dengan susut
tajam. Retak disebabkan oleh perubahan volume pada lapisan pondasi dan
tanah dasar.
3. lubang (potholes)
Lubang (potholes) biasanya berukuran tidak begitu besar (diameter < 90 cm).
berbentuk seperti mangkuk yang tidak beraturan dengan pinggiran tajam.
pertumbuhan lubang semakin besar diakibatkan kondisi air yang tergenang pada
badan jalan. Lubang pada dasarnya bermula dari retak-retak yang semakin parah
akibat air meresap hingga ke lapisan jalan sehingga menyebabkan sifat saling
mengikat aggregat dalam lapisan menjadi berkurang.
3.4. Cara Perbaikan
Usulan perbaikan tersebut dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
1. Penutupan Retak (crack sealing),
Penutupan retak adalah proses pembersihan dan penutupan atau penutupan ulang retakan
dalam perkerasan aspal,yang dimaksudkan untuk memperbaiki kerusakan dengan
penutupan retakan yang meliputi: retak memanjang, retak melintang, retak diagonal, retak
reflektif, retak sambungan pelaksanaan, pelebaran retakan dan retak pinggir.
Menurut Asphalt Institute MS-16 mengenai penutupan retak, cara yang disarankan adalah:
a. Retak rambut (hairline crack): retak yang lebar celahnya kurang dari 6 mm dan terlalu
kecil untuk diisi secara efektif. Oleh karena itu, biasanya dibiarkan saja kecuali kalau
sudah meluas. Jika retak rambut dalam area perkerasan banyak, maka perawatan
permukaan semacam penutup larutan (slury seal)atau penutup keping (chip seal)dapat
digunakan.
b. Retak kecil (small crack): retak yang lebar celahnya antara 6 20 mm, dan biasanya
perbaikan dibuat kira-kira 3 mm lebih besar dari lebar rata-rata retakan, dan kemudian
Forum Teknik Sipil No. XVIII/3-September 2008 943 dibersihkan dan ditutup dengan

penutup larutan (slury seal). Jika kedalaman retakan lebih besar dari 20 mm, material
penyangga (backer rod) dapat dipasang untuk mengawetkan penutup.
c. Retak sedang (medium crack): retak yang lebar celahnya antara 20 25 mm, biasanya
hanya membutuhkan pembersihan dan penutupan dengan penutup larutan (slury seal).
Jika kedalaman retakan lebih besar dari 20 mm, material penyangga (backer rod) dapat
dipasang untuk mengawetkan penutup.
d. Retak besar (large crack): retak yang lebar celahnya lebih besar dari 25mm. Perbaikan
dilakukan dengan larutan aspal emulsi atau campuran aspal panas (HMA) bergradasi
halus.
Adapun prosedur penutupan retak adalah, sebagai berikut:
a. Retakan dibersihkan dengan menggunakan salah satu alat, seperti: alat semprot
bertekanan tinggi, ledakan pasir (sand blasting),sikat kawat, ledakan udara panas (hot
airblasting) atau air bertekanan tinggi.
b. Sesudah pembongkaran bahan penutup lama pada retakan, dan ataupembersihan
retakan, lalu diukur kedalamannya. Jika kedalamannya lebih dari 20 mm, dibutuhkan
material penyangga (backer road)untuk menutup. Material penyangga harus tidak
mudah mampat, tidak susut, tidak menyerap dengan titik leleh lebih besar dari titik
leleh bahan penutup.
c. Segera sesudah penutupan, periksa retakan untuk menyakinkan kebersihannya, kering
dan material penyangga telah terpasang dengan baik.
d. Penutupan harus dilakukan dari bawah keatas retakan untuk mencegah udara
terperangkap, supaya tidak terbentuk bagian yang lemah pada penutup. Untuk
mencegah adannya tanda bekas jejak roda, penutup harus dipasang 3-6 mm dibawah
puncak dari permukaan retakan.
2. Perawatan Permukaan (Surface Treatment)
Perawatan permukaan adalah istilah yang mencakup beberapa tipe penutup aspal dan ter
batu bara (coal tar)atau gabungan agregate aspal. Perawatan permukaan tebalnya umumnya
tidak lebih dari 25 mm, dan dapat diletakan pada sembarang permukaan perkerasan. Aspal
untuk perawatan permukaan terdiri dari lapis tipis beton aspal yang terbentuk dari
penerapan emulsi aspal, cut back atau pengikat aspal ditambah dengan agregate untuk
melindungi atau memulihkan kondisi permukaan perkerasan yang telah ada.
Tipe dan nama perawatan permukaan termasuk diantaranya adalah: penutup pasir (sand
seal), penutup keping (chip seal) atau kadang kadang disebut lapis penutup(seal coat).

Menurut lavin 2003, perawatan permukaan dapat dibagi kedalam sub kelompok: penutup
perkerasan (pavement sealer),keping penutup (chip seal) dan penutup larutan (slurry seal).
Beda dari ketiganya adalah, pavement sealer tidak mengandung agregate sedangkan chip
seal dan slurry seal berisi agregate dengan porsi yang signifikan.
a. Penutup Perkerasan (pavement sealer)
Penutup perkerasan dapat digunakan untuk pemeliharaan yang sifatnya pencegahan atau
perbaikan, seperti:
1)

Fog seal:Lapis penutup yangberupa fog seal adalah aspal emulsi tipis dengan tipe
ikatan lambat yang biasanya tanpa agregat penutup dan cocok digunakan untuk
memperbaharui permukaan aspal yang telah menjadi kering dan menjadi getas oleh
umur, mengisi retak kecil dan rongga permukaan serta melapisi permukaan partikel
aggregate agar tidak terjadi lepasnya butiran (raveling)

2)

Penutup aspal (asphalt sealers)dan ter batu bara (coal tar): Penutup aspal (asphalt
sealers) atau lapis penutup (seal coat)

terdiri dari material dasar seperti hasil

penyulingan ter batu bara (coal tar)atau semen aspal dan air. Lapisan ini tidak
menambah kekuatan struktur perkerasan dan umumnya digunakan untuk menutup
retak rambut, mengikat bersamasama permukaan yang mengalami butiran lepas
(raveling)ringan serta membuat oksidasi dan memperlambat penetrasi air.
b. Keping Penutup (chip seal)
Keping Penutup (chip seal) adalah perawatan aspal yang disemprotkan pada lapis
pengikat aspal, emulsi atau cutbackyang diikuti oleh penyebaran agregate diatasnya.
Istilah cheap menunjukan sifat ukuran tunggal dari agregate, yang umumnya berupa
agregate batu pecah. Chip seal ini cocok digunakan pada jalan raya dengan volume
rendah untuk penanganan kerusakan pada area luas dengan retakan kecil yang rapat
(aligator cracking), pelapukan (weathering)atau butiran lepas (raveling), agregate licin
(polished aggregate), dan retak block (block cracking)

c. Penutup Larutan (slurry seal)


Penutup Larutan (slurry seal)adalah perawatan yang dapat digunakan untuk
pemeliharaan yang sifatnya pencegahan atau perbaikan. Penutup larutan adalah suatu
campuran yang terdiri dari aspal emulsi ikatan lambat, agregate halus, mineral pengisi
dan air. Dalam kasus khusus, dalam larutannya ditambahkan material tambah (additive)
untuk memodifikasi karakteristik lamanya waktu perawatan. Material ini biasanya

dikombinasikan dalam mesin spesial yang dirancang untuk pencampuran dan peletakan
penutup larutan. Penghamparan larutan dilakukan satu tahap, dengan ketebalan antara 310 mm. Karena tipisnya, ukuran maksimum agregate umumnya tidak lebih dari 9-10
mm dan dapat sekecil 4.75 atu 5 mm. Penutup larutan berfungsi untuk: menutup retakan,
menghentikan pelepasan butiran, dan memperbaiki kekesatan permukaan.
3. Penambalan (patching)
Penambalan diseluruh kedalaman cocok untuk perbaikan permanen, sedangkan perbaikan
sementara cukup ditambal dikulit permukaan perkerasan saja. Penambalan cocok untuk
memperbaiki kerusakan:

Aligator cracking, pothole, patching, corrugation, shoving,

depression, slippage cracking, danrutting.


a. Penambalan Permukaan
Penambalan permukaan umumnya hanya bersifat sementara untuk memperbaiki
kerusakan, shoving, corrugation, depression, weathering and raveling

danalligator

cracking. Penambalan permukaan dapat dilakukan dengan tanpa melakukan penggalian


untuk menyamakan permukaan yang telah ada, atau dapat dilakukan dengan cara
mengupas sebagian atau seluruh campuran perkerasan aspal yang telah ada untuk
memperbaiki kerusakan. Penambalan permukaan dilakukan sebagai berikut:
1) Tandai area yang akan diperbaiki. Jika yang akan diperbaiki berupa kerusakan
depresion atau ruting, perbaikan harus dikerjakan sedemikian rupa sehingga
elevasi area perbaikan sama dengan perkerasan sekitarnya.
2) Jika penambalan dilakukan dengan cara membongkar perkerasan, kupas sampai
kedalaman yang cukup untuk membongkar material yang rusak.
3) Sesudah membongkar perkerasan, bersihkan area ini dengan semprotan bertekanan
udara tinggi, dan selanjutnya setelah kering, gunakan tack coat pada bagian pinggir
dan dasar dari area tambalan.
4) Setelah tack coat dilakukan, segera letakan aspal panas dalam area yang dibongkar
atau keseluruh area yang ditambal.
5) Untuk penambalan tanpa pengupasan pekerasan yang telah ada sebaiknya
menggunakan campuran aspal dan pasir halus
6) Padatkan aspal dengan alat pemadat yang disesuaikan dengan ukuran tambalan.
Hal penting yang harus diperhatikan tambalan harus diratakan sesuai dengan
permukaan perkerasan disekitarnya.

b. Penambalan Diseluruh Kedalaman


Penambalan diseluruh kedalaman dilakukan dengan cara membongkar seluruh material
yang berada diarea yang mengalami kerusakan dan digantikan dengan campuran aspal
yang masih segar. Perbaikan ini bertujuan untuk memperbaiki kerusakan struktural dan
material

yang

terkait

dengan

kerusakan

ruting,

alligator

cracking

dan

corrugation.Penambalan dilakukan sebagai berikut:


1) Area tambalan sebaiknya dilebihkan sekitar 15-30 cm diluar area yang rusak.
Perkerasan digali sesuai kebutuhan termasuk lapis pondasi granuler dan tanah
dasar untuk memperoleh Forum Teknik Sipil No. XVIII/3-September 2008 945
dukungan yang kuat. Untuk kerusakan seperti retak akibat penggelinciran
(slippage cracking)

perbaikan hanya dilakukan pada lapis aspal yang rusak

sedangkan untuk kerusakan alligator cracking perlu pembongkaran material


pondasi granuler atau tanah dasar yang lemah.
2) Setelah penggalian, singkirkan material dari area yang digali dan ratakan serta
padatkan pondasi granuler atau tanah dasar agar menciptakan pondasi yang kuat.
3) Hamparkan tack coat untuk tepi vertikal galian dan prime coat atautack coat untuk
dasar galian.
4) Urug galian dengan campuran aspal dan tuangkan campuran lebih dahulu pada tepi
galian. Hamparkan campuran dengan hati-hati untuk menghindari pemisahan
campuran. Material untuk menambal harus cukup, supaya setelah dipadatkan tidak
menghasilkan cekungan atau cembungan pada tambalan. Campuran aspal panas
harus diletakan perlapis, untuk menambah tahanan panas dan kepadatan yang
cukup.
5) Padatkan tiap lapis tambalan dengan baik dan setelah pemadatan, permukaan

tambalan harus pada elevasi yang sama dengan perkerasan. Urutan prioritas
penanganan kerusakan jalan dilaksanakan berdasarkan nilai PCI, dimana pada unit
penelitian yang memiliki nilai PCI terkecil memperoleh prioritas penanganan
terlebih dahulu. Seperti pada tabel 7 dan 8 Urutan prioritas pertama adalah nomor
unit penelitian 23B yang terletak pada jalur 1 lajur B Jalan Lingkar Selatan dengan
nilai PCI sebesar 22 (rating verry poor)

Anda mungkin juga menyukai