Gea
Gea
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Diare Akut
Usus halus dan kolon secara normal terlibat dalam proses absorpsi dan
sekresi cairan dan ion dalam proses defekasi. Absorpsi makanan dan cairan terjadi
di usus halus dan terjadi sebelum proses sekresi. Absorpsi cairan di usus halus dan
kolon sangatlah penting dan efisien. Usus halus dapat menyerap cairan sebanyak
10 liter/hari yang berasal dari asupan makanan atau minuman, salivasi, sekresi
lambung, pankreas, dan empedu. Kolon mereabsorpsi cairan yang tersisa dari
proses absorpsi usus halus. Kolon dapat mereabsorpsi cairan sebanyak 4-5
liter/hari dan hanya menyisakan 100 ml cairan yang tertinggal bersama feses
(Lung, 2003).
Melalui penyerapan garam dan air di kolon, terbentuklah massa feses yang
padat. Dari 500 ml bahan yang masuk ke kolon setiap harinya, kolon dalam
keadaan normal dapat menyerap sekitar 350 ml, meninggalkan 150 gram feses
untuk dikeluarkan dari tubuh setiap harinya. Bahan feses ini biasanya terdiri dari
100 gram air dan 50 gram bahan padat yang terdiri dari selulosa, bilirubin, bakteri,
dan sejumlah kecil garam. Produk-produk sisa utama yang diekskresikan di feses
adalah bilirubin. Konstituen feses lainnya adalah residu makanan yang tidak
diserap dan bakteri-bakteri yang pada dasarnya tidak pernah menjadi bagian dari
tubuh (Sherwood, 2001).
Banyak orang yang percaya frekuensi normal defekasi adalah satu kali
sehari, tetapi pada kenyataannya hal tersebut tidaklah benar. Tidak ada aturan
frekuensi defekasi yang normal, tetapi pada umumnya frekuensi normal defekasi
adalah berkisar tiga kali sehari sampai tiga kali dalam seminggu. Seseorang
dengan frekuensi defekasi kurang dari tiga kali dalam seminggu dikatakan
mengalami konstipasi dan lebih dari tiga kali sehari dengan konsistensi feses yang
cair dikatakan mengalami diare (Tresca, 2009).
adanya ketidakseimbangan proses fisiologis usus halus dan usus besar dalam
absorsi ion, substansi organik, dan air itu sendiri.
Walaupun istilah gastroenteritis akut sering digunakan sebagai sinonim
dari diare akut, sebenarnya penggunaan istilah ini tidak cocok. Istilah
gastroenteritis menyatakan adanya proses inflamasi pada lambung dan usus. Oleh
sebab itu, istilah diare akut lebih baik daripada gastroenteritis akut (Guandalini,
2009).
Campylobacter,
menyebabkan
tiroiditis
Enterohemorrhagic
Shigella,
autoimun,
seperti
E.coli
dan
Yersinia.
perikarditis,
dan
Shigella
dan
Yersiniosis
dapat
glomerulonefritis.
dapat
menyebabkan
hemolyticuremic syndrome dengan angka kematian yang tinggi. Diare akut dapat
menjadi gejala utama dari beberapa penyakit infeksi sistemik seperti viral
hepatitis, listeriosis, legionellosis, dan toxic shock syndrome (Ahlquist dan
Camilleri, 2005).
Efek samping obat merupakan penyebab terbanyak diare akut yang
noninfeksius. Walaupun banyak sekali obat-obatan yang dapat menyebabkan
diare, ada beberapa obat yang sering menyebabkan diare seperti antibiotik,
antidisritmia jantung, antihipertensi, NSAIDs, antidepresan, obat kemoterapi,
bronkodilator, antasida, dan laksatif. Iskemia kolitis baik oklusif maupun nonoklusif yang terjadi pada dewasa di atas 50 tahun sering menderita nyeri abdomen
bawah akut yang didahului watery diarrhea kemudian diare yang disertai darah
dan merupakan akibat inflamasi akut pada sigmoid atau kolon sebelah kiri. Diare
akut dapat disertai colonic diverticulitis dan graft-versus-host disease. Diare akut
juga sering berhubungan dengan systemic compromise yang dapat diikuti dengan
2.2. Vitamin C
Penyakit scurvy telah dikenal sejak abad ke-15, yaitu penyakit yang
banyak diderita oleh pelaut yang berlayar selama berbulan-bulan serta bertahan
dengan makanan yang dikeringkan dan biskuit. Penyakit ini menyebabkan pucat,
rasa lelah berkepanjangan diikuti oleh perdarahan gusi, perdarahan di bawah kulit,
edema, tukak, dan pada akhirnya kematian (Almatsier, 2004).
Pada tahun 1750, Lind, seorang dokter dari Skotlandia menemukan bahwa
scurvy dapat dicegah dan diobati dengan memakan jeruk. Baru pada tahun 1932,
Szent-Gyrgyi dan C. Glenn King berhasil mengisolasi zat antiskorbut dari
jaringan adrenal, jeruk, dan kol yang dinamakan vitamin C. Zat ini kemudian
berhasil disintesis pada tahun 1933 oleh Haworth dan Hirst sebagai asam askorbat
(Almatsier, 2004).
Menurut Sizer dan Whitney (2006), asam askorbat berarti asam
antiskorbut atau no-scurvy acid. Menurut Wardlaw, Hampl, dan DiSilvestro
(2004), asam askorbat dibutuhkan oleh seluruh makhluk hidup tetapi semua
tumbuhan dan kebanyakan hewan dapat membuat asam askorbat sendiri. Jadi,
asam askorbat adalah vitamin yang hanya dibutuhkan oleh manusia dan beberapa
hewan lainnya seperti primata, marmut, kelelawar buah, beberapa burung dan
ikan. Istilah vitamin C sebenarnya tidak hanya digunakan untuk asam askorbat
tetapi juga bentuk teroksidasinya, dehydroascorbic acid. Kedua bentuk ini
ditemukan di dalam makanan yang kita makan.
protein fibrosa yang mempengaruhi integritas jaringan ikat yang terdapat pada
tulang dan pembuluh darah. Kolagen juga berperan penting dalam penyembuhan
luka (Wardlaw, Hampl, dan DiSilvestro, 2004).
bebas serta untuk proses fagositosis bakteri, jaringan yang rusak, dan sel-sel
autoimun (Wardlaw, Hampl, dan DiSilvestro, 2004).
Vitamin C mereduksi besi feri menjadi fero dalam usus halus sehingga
mudah diabsorpsi. Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar
dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan. Absorpsi besi dalam
bentuk nonhem meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C. Vitamin C
berperan dalam memindahkan besi dari transferin di dalam plasma ke feritin hati.
Vitamin C juga membantu absorpsi kalsium dengan menjaga agar kalsium berada
dalam bentuk larutan (Almatsier, 2004).
Karnitin merupakan bahan transpor yang memindahkan asam lemak dari
sitoplasma ke mitokondria untuk produksi energi. Vitamin C berperan dalam 2
tahap yang terpisah pada biosintesis karnitin. Biosintesis hormon dan
neurotransmitter norepinefrin dan epinefrin tergantung pada donor elektron dari
vitamin C. Konversi asam amino esensial triptofan menjadi neurotransmitter
serotonin membutuhkan vitamin C. Vitamin C penting dalam biosintesis tiroksin
(hormon tiroid) dan sebagian besar komponen sistem saraf lainnya. Vitamin C
juga terlibat dalam biosintesis kortikosteroid dan aldosteron, konversi kolesterol
menjadi asam empedu, dan metabolisme tirosin (Wardlaw, Hampl, dan
DiSilvestro, 2004).
Vitamin C meningkatkan daya tahan terhadap infeksi, kemungkinan
karena pemeliharaan terhadap membran mukosa atau pengaruh terhadap fungsi
kekebalan. Pauling (1970) pernah mendapat hadiah nobel dengan bukunya
Vitamin C and the Common Cold, di mana ia mengemukakan bahwa dosis tinggi
vitamin C dapat mencegah dan menyembuhkan pilek. Namun, pembuktian
pendapat ini oleh para ahli lain hingga sekarang belum memperoleh kesepakatan.
Masyarakat luas sudah terlanjur percaya bahwa vitamin C dalam jumlah jauh
melebihi angka kecukupan sehari diperlukan untuk pemeliharaan kesehatan.
Konsumsi vitamin C dosis tinggi secara rutin tidak dianjurkan (Almatsier, 2004).
Vitamin C dikatakan dapat mencegah dan menyembuhkan kanker,
kemungkinan karena vitamin C dapat mencegah pembentukan nitrosamin yang
bersifat karsinogenik. Di samping itu peranan vitamin C sebagai antioksidan
90
75
Kehamilan:
Wanita, usia 18 tahun
80
85
Menyusui:
Wanita, usia 18 tahun
115
120
manapun dapat berbahaya pada orang dengan kadar zat besi yang tinggi karena
vitamin C akan meningkatkan absorpsi zat besi dan melepaskan simpanan zat besi
(Sizer dan Whitney, 2006).
Konsumsi vitamin C berupa suplemen secara berlebihan tiap hari dapat
menimbulkan hiperoksaluria dan risiko lebih tinggi terhadap batu ginjal. Dengan
konsumsi 5-10 gram vitamin C baru sedikit asam askorbat dikeluarkan melalui
urin. Risiko batu oksalat dengan suplemen vitamin dosis tinggi dengan demikian
rendah, akan tetapi hal ini dapat menjadi berarti pada seseorang yang mempunyai
kecendrungan untuk pembentukan batu ginjal (Almatsier, 2004).
(comprehension)
secara
benar
tentang
diartikan
objek
sebagai
yang
suatu
diketahui,
kemampuan
dan
dapat