Anda di halaman 1dari 35

BAB II

PEMBAHASAN
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit dengan morbiditas dan mortalitas
yang tinggi terutama di negara berkembang. Di Indonesia, TB masih
merupakan masalah utama kesehatan karena merupakan negara dengan pasien
TB terbanyak ke-1 di Asia Tenggara. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru
TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah
pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab
kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut
pada seluruh kalangan usia.
Penyakit tuberkulosis dapat diderita oleh setiap orang, tetapi terutama
mereka yang mempunyai daya tahan tubuh lemah, kurang gizi atau yang
tinggal satu rumah dan berdesak-desakan bersama penderita TB, penyakit
kronis, serta orang yang berusia lanjut dengan daya tahan tubuh melemah,
lingkungan yang lembab, gelap dan tidak memiliki ventilasi. Penyakit
Tuberkulosis dapat disembuhkan, namun akibat dari kurangnya memiliki
prevalensi yang besar.

A. Definisi
Tuberkulosis adalah infeksi penyakit menular yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis, suatu basil aerob tahan asam, yang ditularkan
melalui udara (airborne). Pada hampir semua kasus, infeksi tuberkulosis
didapat melalui inhalasi partikel kuman yang cukup kecil ( sekitar 1-5 m).
Droplet dikeluarkan selama batuk, tertawa atau bersin. Nukleus yang
terinfeksi kemudian terhirup oleh individu yang rentan (hospes). Sebelum
infeksi pulmonari terjadi, organisme yang tehirup terlebih dahulu harus
melawan mekanisme pertahanan dan masuk jaringan paru. (Asih, 2004).
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan basil
mycobacterium tuberkulosis yang tahan asam. Bila seseorang yang belum
pernah terpapar TB, menghirup cukup banyak basil TB ke dalam alveoli,

maka terjadilah infeksi tuberkulosis. Reaksi tubuh terhadap tuberkulosis ini


tergantung pada kerentanan orang tersebut (Jan Tambayong, 2000).
Tuberkulosis adalah suatu penyakit granulomatosa kronis menular yang
disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis (Kumar, et.all, 2007).
Maka dapat disimpulkan bahwa Tuberkulosis merupakan penyakit
granulomatosa kronik menular disebabkan M. Tuberkulosis yang tahan
asam.
B. Etiologi
Mikobakteri adalah organisme berbentuk batang langsing yang tahan
asam

(yaitu mengandung banyak lemak kompleks). Mycobacterium

tuberculosishominis

merupakan

penyebab

sebagian

besar

kasus

tuberkulosis, reservoar infeksi biasanya ditemukan pada manusia dengan


penyakit paru aktif. Penularan biasannya langsung melalui inhalasi
organisme di udara dalam aerosol yang dihasilkan oleh pajanan ke sekresi
pasien yang tercemar. Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman
berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm.
Sebagian besar komponen

mycobacterium

tuberculosis adalah berupa

lemak sehingga kuman mampu tahan terhadap asam / BTA serta sangat
tahan terhadap zat kimia. Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan
lembab. Oleh karena itu dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman
(tidur), tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes, 2006).

C. Manifestasi Gejala Penyakit TB


Adapun manifestasi gejala penyakit TB adalah sebagai berikut:
1. Batuk produktif yang berkepanjangan (lebih dari 3 minggu) kadang
disertai batuk darah
2. Demam hilang timbul, kadang menggigil
3. Keringat malam, walaupun tanpa aktifitas
4. Kelemahan dan malaise
5. Hilangnya nafsu makan dan penurunan berat badan
6. Keluhan sesak nafas, bila infiltrasi radang sampai setengah paru.
7. Nyeri dada dirasakan bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritis, tapi ini jarang ditemukan.

Prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap


orang yang datang ke UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) dengan gejala
tersebut, dianggap sebagai tersangka (suspek) pasien TB paru dan perlu
dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskospis langsung (Depkes,
2006).

D. Klasifikasi
Penentuan klasifikasi penyakit TB (DEPKES RI, 2006) meliputi empat hal ,
yaitu:
a. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru
Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan (parenkim) paru. Tidak termasuk pleura

(selaput paru) dan kelenjar pada hilus.


Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru,misalnya pleura, selaput otak, selaput
jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,persendian, kulit,

usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.


b. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis) : BTA
positif atau BTA negatif
Tuberkulosis paru BTA positif

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya

BTA positif.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks

dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.


1 spesi mendahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan

kuman TB positif.
1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3
spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya
BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian

antibiotika non OAT.


Tuberkulosis paru BTA negatif
- Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA

positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
o Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
negatif
o Foto toraks

abnormal

menunjukkan

gambaran

tuberkulosis.
o Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non
OAT.
o Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan.
c. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat
TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan
tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.
Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran
kerusakan paru yang luas (misalnya proses far advanced), dan
atau keadaan umum pasien buruk. Sedangkan TB ekstra-paru
dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:

TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis


eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi,
dan kelenjar adrenal.

TB ekstra-paruberat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,


peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang,
TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

d. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah


diobati.
E. Komplikasi
Menurut Depkes RI (2006), merupakan komplikasi yang dapat terjadi
pada penderita tuberculosis paru stadium lanjut yaitu :
1. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau karena
tersumbatnya jalan napas.
2. Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus
akibat retraksi bronchial.
3. Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif pada paru.
4. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan
ginjal.
F. Patofisiologi
Dalam Price dan Wilson (2006), tempat masuk kuman M. Tuberculose
adalah saluran pernapasan, pencernaan, dan luka terbuka pada kulit.
Kebanyakan infeksi TBC terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet
yang mengandung kuman basil tuberkel yang berasal darim orang yang
terinfeksi. Saluran pencernaan merupakan tempat masuk utama bagi jenis
bovin yang penyebarannya melalui susu yang terkontaminasi.
TBC adalah penyakit yang dikendalikan oleh respons imunitas
diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag dan limfosit (sel T). Tipe
imunitas ini biasanya lokal yang melibatkan makrofag yang diaktifkan di
tempat infeksi oleh limfosit dan limfokrinnya. Reaksi ini disebut sebagai
reaksi hipersensitivitas seluler/lambat.
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi
sebagai suatu unit yang terdiri dari 1-3 basil. Gumpalan basil yang lebih besar

tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus serta tidak menyebabkan
penyakit.setelah berada di bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas
lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit
PMN menfagosit bakteri namun tidak membunuhya. Setelah hari pertama,
leukosit diganti makrofag. Alveoli yang terserang akan konsolidasi dan
timbul pneumonia akut. Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan
sendirinya atau bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel.
Basil juga menyebar ke kelenjar getah bening (KGB). Makrofag yang
mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga
membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit.
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran relatif seperti keju
yang disebut nekrosis kaseosa. Jaringan granulasi menjadi lebih lebih fibrosa,
membentuk jaringan parut kolagenosa yang akhirnya akan membentuk kapsul
yang mengelilingi tuberkel. Lesi primer disebut fokus ghon dan gabungan
terserangnya KGB regional dan lesi primer disebut kompleks ghon. Respon
lainnya adalah pencairan, yaitu bahan cair lepas ke dalam bronkus yang
berhubungan dan menimbulkan kavitas. Bahan tuberkular yang dilepaskan
dari dinding kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakeobronkial.
Proses ini dapat berulang kembali di bagian lainnya atau basil dapat terbawa
sampai ke laring, telinga tengah atau usus.
TB dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah.
Kuman yang lolos akan mencapai aliran darah dan menimbulkan lesi.
Penyebaran ini disebut limfohematogen yang menyebabkan TB milier. Ini
terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak
organisme masuk ke dalam vaskuler dan tersebar ke organ tubuh.
Menurut Brunner dan Suddarth (2002), individu yang rentan
menghirup bakteri tuberkolusis dan menjadi terinfeksi. Bakteri dipindahkan
melalui jalan napas ke alveoli, tempat dimana mereka berkumpul dan mulai
untuk memperbanyak diri. Basil juga dipindahkan memlalui system limfe dan
aliran darah ke bagian tubuh lainnya (ginjal, tulang, korteks sereberi, dan
daerah paru lainnya yaitu lobus atas.

Sistem imun tubuh berespon dengan mengeluarkan reaksi inflamasi.


Fagosit (neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri, limfosit spesifiktuberkolusis menghancurkan basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini
mengakibatkan

penumpukan

eksudat

dalam

alveoli,

mengakibatkan

brokopneumonia. Infeksi awal biasanya terjadi dari 2 sampai 10 minggu


setelah pemajanan.
Masa jaringan baru, yang disebut granulomas, yang merupakan
gumpalan basil masih hidup dan yang sudah mati, dikelilingi mokrofag yang
membentuk dinding protektif, granulomas diubah menjadi massa fibrosa,
bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel Ghon. Bahan (bakteri
dan makrofag) menjadi nekrotik, membentuk massa seperti keju. Massa ini
dapat mengalami klasifikasi, membentuk skar kolgenosa. Bakteri menjadi
dorman tanpa perkembangan penyakit aktif.
Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu akan mengalami
penyakit aktif karena gangguan atau respon inadekuat dari respon sistem
imun. Penyakit aktif dapat juga terjadi dengan infeksi ulang dan aktifitas
bakteri dorman. Dalam kasus ini tuberkel Ghon memecah, melepaskan bahan
seperti keju ke bawah bronki. Bakteri kemudian menjadi tersebar di udara,
menyebabkan penyebaran penyakit lebih jauh. Tuberkel yang memecah
menyembuh, membentuk menjadi jaringan parut paru yang terinfeksi menjadi
lebih membengkak, mengakibatkan tetrjadinya brokopneumonia lebih lanjut,
pembentukan tuberkel, dan selanjutnya.
Apabila proses tersebut dapat dihentikan, penyebarannya dengan
lambat mengarah ke bawah paruparu dan meluas ke lobus sebelahnya.
Proses mungkin berkepanjangan dan ditandai oleh remisi lama ketika
penyakit dihentikan, hanya supaya diikuti dengan periode aktifitas yang
diperbaharui. Hanya sekitar 10% individu yang awalnya terinfeksi mengalami
penyakit aktif .
Berdasarkan perjalanan penyakit, tuberculosis dibedakan menjadi :
(Sudoyo, 2009)

1. Tuberkulosis primer : setelah kuman dibersinkan menjadi droplet nuclei


dalam udara dan masuk ke saluran napas, kuman akan menghadapi
netrofil dan makrofag. Bila kuman menetap di jaringan paru akan
berkembang biak dalam siplasma makrofag dan terbawa masuk ke organ
lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarng
tuberculosis pneumonia kecil (fokus ghon). Bila menjalar sampai ke
pleura akan terjadi efusi pleura. Bila masuk ke arteri pulmonalis akan
menjadi TB milier. Dari fokus ghon akan terjadi peradangan KGB
menuju hilus sehingga terjadi limfadenitis dan limfangitis (kompleks
primer). Kompleks primer selanjutnya dapat menjadi :
a. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.
b. Sembuh dengan sedikit meninggalkan bekas berupa garis fibrotik,
kalsifikasi di hilu, lesi pneumonia, reaktivasi lagi karena kuman yang
dorman.
c. Berkomplikasi dan menyebar secara kontinuitatum (ke sekitarnya),
bronkogen (paru tersebut ataupun sebelahnya), tertelan bersama
sputum dan ludah (ke usus), limfogen dan hematogen (ke organ
lainnya).
2. Tuberkulosis sekunder/pasca primer : kuman yang dormant akan muncul
bertahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa. Dimulai
dengan fokus ghon di regio atas paru. Invasinya adalah ke daerah
parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru. Fokus ghon mula-mula
berbentuk sarang pneumonia kecil, kemudian menjadi tuberkel yang
terdiri dari sel histiosit dan sel datia-langhans yang dikelilingi oleh sel
limfosit dan jaringan ikat. Fokus ghon dapat menjadi :
a. Direabsorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
b. Mula-mual meluas, tapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan
fibrosis. Ada yang membungkus menjadi keras menimbulkan
perkapuran. Fokus ghon yang meluas sebagai granuloma berkembang
menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan tengahnya mengalami
nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan
keju dibatukkan keluar akan terjadi kavitas. Kavitas ini awalnya

berdinding tipis, lama-lama menebal karena infiltrasi jaringan


fibroblast sehingga kavitas sklerotik.
c. Kavitas dapat :
Meluas dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas
masuk ke peredaran arteri akan terjadi TB bilier dan menjadi TB
usus bila ludahnya tertelan ke lambung. Bisa juga terjadi TB
endobronkial dan TB endotrakela atau empiema bila ruptur ke

pleura.
Memadat sehingga menjadi tuberkuloma.
Menjadi kronik dengan komplikasi kolonisasi oleh fungus

(aspergilus) dan kemudian menjadi mycetoma.


Bersih dan sembuh (open healed cavity).
Terbungkus dan menciut (stellate shaped).

Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang:


1. Sarang yang sudah sembuh: tidak perlu pengobatan lagi.
2. Sarang eksudat aktif: perlu pengobatan lengkap dan sempurna.
3. Sarang antara aktif dan sembuh: dapat sembuh spontan, tapi sebaiknya
diberi pengobatan sempurna juga.
G. Patologi Anatomi
1. Anatomi paru
Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi
utama sebagai alat respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik
memiliki peran untuk terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan karbon
dioksida (CO2). Pertukaran ini terjadi pada alveolus -alveolus di paru
melalui sistem kapiler. Paru terdiri atas 3 lobus pada paru sebelah kanan,
dan 2 lobus pada paru sebelah kiri. Pada paru kanan lobus-lobusnya
antara lain yakni lobus superior, lobus medius dan lobus inferior.
Sementara pada paru kiri hanya terdapat lobus superior dan lobus
inferior. Namun pada paru kiri terdapat satu bagian di lobus superior paru
kiri yang analog dengan lobus medius paru kanan, yakni disebut sebagai
lingula pulmonis. Di antara lobus lobus paru kanan terdapat dua fissura,
yakni fissura horizontalis dan fissura obliqua, sementara di antara lobus
superior dan lobus inferior paru kiri terdapat fissura obliqua. Paru sendiri

memiliki kemampuan recoil, yakni kemampuan untuk mengembang dan


mengempis dengan sendirinya. Elastisitas paru untuk mengembang dan
mengempis ini di sebabkan karena adanya surfactan yang dihasilkan oleh
sel alveolar tipe 2. Namun selain itu mengembang dan mengempisnya
paru juga sangat dibantu oleh otot otot dinding thoraks dan otot
pernafasan lainnya, serta tekanan negatif yang teradapat di dalam cavum
pleura.
2. Pemeriksaan Diagnostik berhubungan dengan Patologi anatomi
Sedangkan untuk pemeriksaan penunjang berikutnya adalah
bronkoskopi

dan

histopatologi.

Kegunaan

bonkoskopi

dalam

mendiagnosis TB adalah :
a. Bisa dilakukan pada penderita yang tidak dapat mengeluarkan dahak

secara spontan.
b. Merupakan cara mendapatkan diagnosis dengan cepat (melalui

hapusan langsung ataupun histopatologi).


Tetapi bronkoskopi juga mempunyai beberapa kelemahan yaitu
memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan dahak spontan dan
induksi, serta kemungkinan adanya penularan pada pekerja kesehatan
(operator bronkoskopi). Gambaran yang dijumpai pada TB yang dapat
dilihat melalui bronkoskopi adalah inflamasi endobronkial dan didapati
juga pembesaran kenjar limfe. Kelainan yang dijumpai bisa berupa
pembengkakkan

mukosa,

sekresi

purulen

atau

darah,

terkadang

granuloma, ulserasi pada percabangan bronkus atau segmen. Gambaran


inflamasi yang terjadi pada TB ini bisa kembali normal dengan kemoterapi
atau berubah menjadi jaringan parut (bronchial scarring) dan bisa pula
menjadi stenosis kontraktif. Gambaran patologi anatomi tuberkulosis paru
yang khas menunjukkan adanya nekrosis perkejuan yang dikelilingi sel
epiteloid dan sel datia Langhans.

H. Patologi Klinik
1. Pemeriksaan Radiologi
Secara patologis, gambaran TB Paru biasanya adalah suatu
kompleks kelenjar getah bening parenkim. Pada dewasa, segmen apeks
dan posterior lobus atas atau segmen superior lobus bawah merupakan
tempat tempat yang sering menimbulkan lesi sehingga terlihat
homogen dengan densitas yang lebih pekat. Dapat juga terlihat adanya
pembentukkan kavitas dan gambaran penyakit yang menyebar biasanya
bilateral. (Price dan Wilson, 2005). Kavitas bisa tunggal maupun ganda.
Bayangan berawan (pathcy) atau berbercak (nodular), adanya kalsifikasi,
adanya bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian
serta bayangan milier juga merupakan gambaran foto toraks yang
menunjang diagnosis TB. (Mansjoer dkk, 2009) Ketidaknormalan apa
pun pada foto toraks klien dengan HIV dapat mengindikasikan adanya
penyakit TB. (CDC, 2000a dalam Price dan Wilson, 2005)

Gambar 1. Tampak flek pada kedua lapang paru dan kavitas/lubang di


lapang paru kanan atas (lingkaran merah)
2. Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik yang paling penting dalam diagnosis
TB adalah pemeriksaan sputum. (Price dan Wilson, 2005). Namun
pemeriksaan ini tidak sensitif karena hanya 30 70 % pasien TB yang
dapat di diagnosis dengan pemeriksaan ini. (Mansjoer dkk, 2009)

Menurut (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, dan Setiati, 2009)


untuk perwarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok yang
merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet
yaitu :
a. Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa
b. Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens
(pewarnaan khusus)
c. Pemeriksaan dengan biakan (kultur)
d. Pemeriksaan terhadap resistensi obat
Metode perwarnaan Ziehl-Neelsen dapat dipakai. Sediaan apus
digenangin dengan zat karbolfuksin yang dipanaskan, lalu dilakukan
dekolorisasi dengan alkohol asam. Sesudah itu diwarnai lagi dengan
metilen biru atau brilliant green. Cara perwarnaan yang paling banyak
dipakai adalah teknik perwarnaan fluresensi memakai larutan auraminrodamin. Setelah larutan ini melekat pada mikobakteri maka tidak dapat
didekoloriasi

laho

demam

alkohol-asam.

Pemeriksaan

dapat

memperkirakan jumlah bakteri tahan asam (AFB) yang terdapat pada


sediaan. (Price dan Wilson, 2005).

Gambar 2. Teknik Perwarnaan Ziehl-Neelsen

Tiga spesimen sputum yang berbeda diambil pada tiga pagi


berurutan. (Black dan Hawks, 2014). Tetapi terkadang tidak mudah untuk
mendapatkan sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk tidak
produktif. Maka dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien
minum air sebanyak lebih dari 2 liter dan diajarkan menggunakan teknik
batuk efektif. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat mukolitik
dan ekspektoran atau dengan inhalasi larutan hipertonik selama 20 30
menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi
diambil dengan brushing atau brinchial washing atau BAL (Broncho
Alveolar Lavage). BTA juga bisa diambil dengan cara bilasan lambung.
Hal ini sering dikerjakan pada anak anak karena mereka sulit
mengeluarkan dahaknya. (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, dan
Setiati, 2009)
Sediaan

yang

positif

memberikan

petunjuk

awal

untuk

menegakkan diagnosis, tetapi suatu sediaan yang negatif tidak


menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi penyakit. (Price dan Wilson,
2005). Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang kurangnya
ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain
diperlukan 5000 kuman dalam 1 mL sputum. (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi,
Simadibrata, dan Setiati, 2009)

Gambar 3. Gambaran BTA Positif

Cara penegakan diagnosis yang paling tepat adalah dengan teknik


biakan. Pemeriksaan biakan harus dilakukan pada semua sediaan.
Mikobakteri tumbuh lambat dan membutuhkan suatu media yang
kompleks. Koloni yang matur akan berwarna krem atau kekuningan
seperti kutil dan bentuknya seperti kembang kol. Jumlahnya sekecil 10
bakteri/ml media konsentrat yang telah diolah dapat dideteksi oleh
media biakan ini. Pertumbuhan mikobakteri yang diamati pada media
biakan ini sebaiknya dihitung sesuai dengan jumlh koloni yang timbul.
Mikrorganisme membutuhkan waktu 6 hingga 12 minggu pada suhu 36
sampai 37 derajat celcius untuk dapat tumbuh bila menggunakan tes
biokimia yang biasa. Namun, bila yang digunakan untuk inokulasi
adalah medium cair seperti sistem radiometrik BACTEC dan metode
cepat yang digunakan untuk identifikasi spesies, hasil biakan seharusnya
sudah ada dalam waktu 7 21 hari pengumpulan sediaan. Becton
Dickinson Diagnostic Instrument System (BACTEC) sendiri mendeteksi
growth index berdasarkan karbondioksida yang dihasilkan dari
metabolisme asam lemak oleh M. tuberculosis. (Price dan Wilson,
2005).

Gambar 4. Becton Dickinson Diagnostic Instrument System


(BACTEC)

Pada saat ini sudah tersedia berbagai macam tes untuk identifikasi
hampir semua spesies mikobakteri dan di samping itu telah
dikembangkan
menginterpretasi

berbagai
data.

program
Misalnya,

komputer
probe

untuk

asam

membantu

nukleat

dapat

mengidentifikasi spesies dalam 2 sampai 8 jam, High Performance


Liquid Chromatography (HPLC) dengan cepat mendeteksi perbedaan
asam mikoliat dan spektrum pada dinding sel. (Mansjoer dkk, 2009)

Gambar 5. High Performance Liquid Chromatography (HPLC)


Teknik molekular terbaru seperti rangkaian asam deoksiribonukleat (DNA)
dan reaksi rantai polimerase (PCR) yang dikerjakan pada sputum atau sediaan
klinis untuk mendiagnosis penyakit TB sedang berkembang dengan cepat.
Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan dengan cara mendeteksi DNA secara
spesifik melalui amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi
meskipun hanya ada 1 mikroorganisme dalam spesimen. Metode ini juga dapat
mendeteksi resistensi. (Mansjoer dkk, 2009). The U.S Food and Drug
Administration (FDA) telah menerima tes amplifikasi asam nukleat (NAA).
Namun NAA tidak dapat mengantikan kebutuhan akan pulasan AFB rutin dan
biakan (ATS, 2000 dalam Price dan Wilson, 2005)

Gambar 6. Polymerase Chain Reaction (PCR)


Selain itu ada pula Enzyme Linked Diagnostic Assay yaitu metode
ini mendeteksi respon humoral, berupa proses antigen antibodi yang
terjadi. Pelaksanaannya rumit dan antibodi dapat menetap dalam waktu
lama sehingga menimbulkan masalah. (Mansjoer dkk, 2009)
Uji kerentanan obat harus dilakukan pada hasil isolasi awal dari
semua pasien untuk meyakinkan apakah terapi obat TB yang
direkomendasikan kepada pasien efektif ATS, 2000 dalam Price dan
Wilson, 2005). Uji tersebut harus diulang bila pasien tidak membaik atau
terus menghasilkan biakan sputum yang positif setelah dua bulan terapi.
(CDC, 2000a dalam Price dan Wilson, 2005)
3. Uji Kulit Tuberkulin

Gambar 7. Cara melakukan uji kulit tuberkulin

Atau disebut juga dengan uji mantoux. Uji ini dilakukan secara
rutin pada kelompok resiko tinggi yang diduga TB aktif. Uji Mantoux
menggunakan tuberkulin Purified Protein Devrivative (PPD) untuk
mengidentifikasi infeksi TB. Sejumlah kecil (0,1 ml) derivat tersebut
diberikan secara intradermal untuk membentuk bentol di kulit berukuran
6 sampai 10 mm. Bentol tersebut harus diperiksa atau dibaca dalam 48
hingga 72 jam. Adanya indurasi (bentukan keras, teraba, dan meninggi)
dan bukan eritema, mengindikasikan hasil positif. (Black dan Hawks,
2014)
Reaksi indurasi 5 mm Reaksi indurasi 10 mm Reaksi indurasi 15
dianggap positif pada :
Orang

yang

yang

mm dianggap positif

pada :
diduga Imigran baru dari negara Orang

memiliki penyakit TB
Orang

dianggap positif pada :

dengan

prevalensi

TB resiko

tinggi
terinfeksi Pengguna obat IV

HIV
Kontak baru dengan TB Penduduk
infeksius

atau

tanpa

faktor

TB

yang

diketahui

pekerja

pada area yang sangat

padat dan berisiko tinggi


Orang dengan perubahan Personel
laboratorium
fibrotik
dada

pada
yang

rontgen mikobakteriologi
konsisten

dengan TB sebelumnya.
Penerima
transplantasi Anak < 4 tahun, atau anak
organ

atau remaja yang terpapar


orang

dewasa

yang

berisiko tinggi.
Orang yang menggunakan
terapi imunosupresan
Tabel 1 : Pengklasifikasian Reaksi Positif Uji Kulit Tuberkulosis
(Centers for Disease Control and Prevention, 2006. Prevention and
control of

Tuberculosis in Correctional and Detention Facilities:

Recommendations from the CDC. Morbidity and Mortality Weekly


Report, 55, 1-62 dalam Black dan Hawks, 2014)
Reaksi positif palsu terhadap uji kulit tuberkuin dapat terjadi pada
klien yang memiliki infeksi mikobakterial lain atau yang telah
mendapatkan vaksin Bacille Calmette Guerin (BCG). Reaksi negatif palsu
juga dapat terjadi, terutama pada orang yang mengalami supresi imun atau
anergi (gangguan kemampuan untuk bereaksi terhadap antigen). (Black
dan Hawks, 2014)
Istilah tuberkulin konverter merujuk pada klien yang tidak
menunjukkan bukti radiologis maupun bakteriologis adanya TB paru tetapi
uji kulit tuberkulinnya berubah dari reaksi negatif menjadi reaksi positif.
Hasil tuberkulin negatif tidak selalu berarti bahwa tidak adanya TB. (Black
dan Hawks, 2014)
4. Uji QuantiFERON-TB Gold
Uji QuantiFERON-TB Gold merupakan pemeriksaan baru yang
dikenalkan pada tahun 2005. Ini merupakan pemeriksaan darah yang
digunakan untuk menentukan bagaimana sistem imunitas klien bereaksi
terhadap M. tuberculosis. Hasil positif dari QuantiFERON-TB Gold hanya
menunjukkan bahwa klien pernah terinfeksi dan seperti uji kulit mantoux,
tidak dapat menunjukkan apakah klien telah berlanjut menjadi penderita
TB aktif. (Black dan Hawks, 2014)

Gambar 8. Uji QuantiFERON-TB Gold

5. Pemeriksaan Darah
Pada saat TB baru mulai aktif akan didapatkan jumlah leukosit
yang sedikit meninggi. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju
endap darah mulai meningkat. Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan
juga 1) Anemia ringan dengan gambaran normokrom dan normositer 2)
Gama Globulin meningkat 3) kadar natrium darah menurun. Pemeriksaan
tersebut nilainya juga tidak spesifik. (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi,
Simadibrata, dan Setiati, 2009)
Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai yaitu reaksi Takahashi.
Pemeriksaan ini menunjukkan proses TB masih aktif atau tidak. Kriteria
positif yang dipakai di Indonesia adalah titer 1/128. Pemeriksaan ini angka
positif palsu dan negatif palsunya masih besar. (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi,
Simadibrata, dan Setiati, 2009)
Ada pula tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase) yaitu merupakan
uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen imunoperoksidae
staining untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB.
(Mansjoer dkk, 2009) Nilai sensitivitas dari PAP ini sekitar 85-95 %.
Tetapi beberapa peneliti lain meragukannya karena mendapatkan angka
angka yang lebih rendah. PAP masih dapat dipakai, tetapi kurang
bermanfaat bila digunakan tunggal untuk diagnosis TB. Hasil uji PAP-TB
dinyatakan patologis bila pada titer 1 : 10000 didapatkan hasil positif.
Hasil positif palsu kadang kadang masih didapatkan pada pasien
reumatik, kehamilan, dna masa 3 bulan revaksinasi BCG. (Sudoyo,
Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, dan Setiati, 2009)
Uji serologis lain yang hampir sama cara dan nilainya adalah
mycodot. Mycodot yang akan mendeteksi antibodi menggunakan antigen
lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat berbentuk
seperti sisir plastik, kemudian dicelupkan dalam serum pasien. Bila
terdapat antibodi spesifik dalam jumlah memadai maka warna sisir akan
berubah. (Mansjoer dkk, 2009). Antibodi spesifik anti LAM dalam serum
akan terdeteksi sebagai perubahan warna pada sisir dan intensitasnya

sesuai dengan jumlah antibodi. (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata,


dan Setiati, 2009)

Gambar 9. Alat alat pada pemeriksaan dengan menggunakan MyocoDot

I. Mikrobiologi
Penyakit TB Paru disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis.
Dinamakan juga Basil Koch karena pertamakali ditemukan oleh Robert Kohn
pada tahun 1882. Tipe kuman tuberculosis yang menyebabkan penyakit TB
paru pada manusia adalah M. Tuberculosis type human.

Pembagian

kelompok mycobacterium menurut subdivision adalah ;


- Divisio ; Mycobacteriae
- Class ; Actynomicetes
- Ordo ; Actinomycetales
- Family ; Mycobactericeae
- Genus ; Mycobacterium
- Spesies ; Mycobacterium tuberculosis.
Kuman ini berukuran lebar ; 0,3 mm 0,6mm dan lebar 1-4 mm.
Morfologi kuman adalah berbentuk langsing seperti silinder akan
tetapi bisa saja berbentuk benang. Penyusun utama dinding sel M.
tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut

cord factor dan mycobacterial sulfolipids yang

berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai


panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan
glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain
yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti
arabinogalaktan dan arabinomanan.

Struktur dinding sel yang kompleks

tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu


apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat
warna tersebut dengan larutan asam-alkohol. Komponen antigen ditemukan
di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein.
Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi menggunakan
antibody monoclonal.
Sifat pertumbuhan kuman mycobacterium tuberculosis adalah ;
1. Tidak membentuk spora dan tidak bergerak
2. Berbentuk coccoid seperti benang
3. Gram positif staf[ sulit diwarnai dengan gram dan memerlukan waktu
lama].Akan tetapi apabila telah menyerap atau menangkap zat warna maka
sukat terlepasnya.
4. Tumbuh lambat pada media buatan, dan bersifat aerop.
Media pertumbuhan kuman M. Tuberculosis di laboratorium adalah
telur, gliserol, malacyt green, sikloheksimid, linkomisin dan asam nalidiksat.
Suhu optimum 37 derajat Celsius, ph optimum pembenihan adalah 6.5-6.8.
Transmisi basil Mycobacterium ini adalah melalui manusia, kecuali
untuk M. bovis).

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif,

sewaktu batuk atau bersin, kuman akan tersebar ke udara dalam bentuk droplet
ataupun percikan dahak. Droplet yang mengandungi kuman dapat bertahan di
udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Jika droplet tersebut terhirup ke
dalam saluran pernapasan, orang lain dapat terinfeksi. Selama kuman TB
masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat
menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, saluran napas atau penyebaran langsung kebagian-bagian

tubuh lainnya. Banyaknya kuman yang dikeluarkan dari paru menentukan


daya penularan dari seorang penderita. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan
dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak
menular. Konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut menentukan kemungkinan seseorang terinfeksi.

J. Farmakologi
1. Prinsip Pengobatan
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No 364. Tahun 2009,
pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi
beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan
kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).
Pemakaian

OAT-Kombinasi

Dosis

Tetap

(OAT-KDT)

lebih

menguntungkan dan sangat dianjurkan.


b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT : Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO)
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan tahap
lanjutan
2. Tahap Pengobatan :
a. Tahap awal intensif), pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi
secara langsung untuk mencegah resistensi obat. Bila pengobatan
tahap intensif diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi
tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien
TB BTA positif menjadi TB BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan
b. Tahap lanjutan, pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu lebih lama, tahap ini penting untuk membunuh kuman
persisten sehingga mencegah kekambuhan (Keputusan Menteri
Kesehatan No 364. Tahun 2009).
3. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat yang dipakai
a. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah :

Rifampisin
INH
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
b. Kombinasi dosis tetap (fixed dose combination) yang terdiri atas :
Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu Rifampisin
150 mg, Isoniazid 75 mg, Pirazinamid 400 mg dan Etambutol 275

mg dan
Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu Rifampisin

150mg, Isoniazid 75 mg dan Pirazinamid 400 mg


c. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin
Kuinolon
d. Obat lain yang masih dalam penelitian : makrolid, amoksilin + asam
kluvalanat
e. Derivat rifampisin dan INH (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
(n.d)).
4. Panduan OAT WHO dan IUATLD
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No 364. Tahun 2009, WHO dan
IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease)
merekomendasikan panduan OAT standar, yaitu :
a. Kategori 1 :
1) 2HRZE/4H3R3
2) 2HRZE/4HR
3) 2HRZE/6HE
b. Kategori 2 :
1) 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
2) 2HRZES/HRZE/5HRE
c. Kategori 3:
1) 2HRZ/4H3R3
2) 2HRZ/4HR
3) 2HRZ/6HE
Kode huruf tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai yaitu :
H : Isoniazid
R : Rifampisin
Z : Pirazinamid
E : Etambutol
S : Streptomisin

Sedangkan angka yang dibelakang kode menunjukan waktu atau


frekuensi. Angka 2 didepan seperti pada 2HRZE artinya digunakan
selama 2 bulan, tiap hari satu kombinasi tersebut. Sedangkan untuk angka
dibelakang huruf seperti pada 4H3R3 artinya dipakai 3 kali seminggu
(selama 4 bulan)
Contoh :
Untuk TB kategori I dipakai 2HRZE/4H3R3, artinya :
Tahap awal/intensif adalah 2HRZE : lama pengobatan 2 bulan, masingmasing OAT (HRZE) diberikan setiap hari
Tahap lanjutan adalah 4H3R3 : lama pengobatan 4 bulan, masing-masing
OAT (HR) diberikan 3 kali seminggu (Direktorat Bina Farmasi Komunitas
dan Klinik & Direktorat Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI,
2005).
5. Panduan

OAT

yang

digunakan

oleh

Program

Nasional

Penanggulangan TB di Indonesia :
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No 364. Tahun 2009
panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB
di Indonesia :
a. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
b. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
c. Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3 (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik & Direktorat Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI,
2005)
d. Disamping ketiga kategori ini, disediakan panduan OAT sisipan :
HRZE dan OAT anak : 2HRZ/4HR
6. Panduan OAT dan peruntukannya (Keputusan Menteri Kesehatan No
364. Tahun 2009)
a. Kategori 1
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
1) Pasien baru TB paru BTA positif
2) Pasien TB paru BTA negatif foto thorax positif
3) Pasien TB ekstra paru
Dosis panduan OAT KDT kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

Dosis OAT kombipak kategori 1 2HRZE/4H3R3

b. Kategori 2
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah
diobati sebelumnya :
1) Pasien kambuh
2) Pasien gagal
3) Pasien dengan pengobatan setelah putus obat (default)
Dosis OAT KDT kategori 2 : 2 (HRZE)S/HRZE/5(HR)3E3

Dosis OAT kombipak kategori 2 : 2 (HRZE)S/HRZE/5(HR)3E3

c. Kategori 3 :
Kategori ini diberikan untuk :
1) Penderita BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan
2) Penderitan TB paru ekstra ringan

d. Kategori sisipan (HRZE)


Panduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang berada
pada akhir pengobatan intensif masih tetap BTA positif. Paket ini
sama seperti panduan paket tahap intensif kategori 1 yang diberikan
selama 28 hari (sebulan)
Panduan dosis KDT sisipan : (HRZE)

Panduan OAT kombipak sisipan (HRZE)

e. Kategori anak
Menurut Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI dosis OAT KDT
anak : 2(RHZ)/4(RH)

Dosis OAT kombipak anak :

Dosis harian maksimal pada anak :

Efek Samping OAT


Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia efek samping OAT yang dapat
muncul :
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tannda-tanda keracunan pada syaraf
tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi
dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan
vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan.
Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (sindrom pellagra).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang
lebiih 0,5 % penderita. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan
OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus.
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang terjadi hanya memerlukan pengobatan simtomatik
ialah :
a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang-kadang diare
c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal dan kemerahan
Efek samping berat jarang terjadi. Beberapa efek samping berat yang
muncul :

a. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus
distop dan penatalksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
b. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah
satu dari gejala ini terjadi Rifampisin harus segera dihentikan dan
jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang.
c. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air
mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat
dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada penderita agar
dimengerti dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi dapat terjadi (beri aspirin)
dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan artritis gout. Hal ini
mungkin disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.
Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang
lain.
4. Etambutol
Etambutol

dapat

menyebabkan

gangguan

penglihatan

berupa

berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun
demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai,
jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB
yang diberikan 3 x seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal
dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak
diberikan pada anak karena resiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf VIII yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Resiko efek samping tersebut akan meningkat
seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita. Resiko
tersebut akan meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal.
Gejala efek samping yang terlihat adalah telinga mndenging (tinitus), pusing dan
kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera
dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25 gr. Jika pengobatan diteruskan maka

kerusakan

alat

keseimbangan

makin

parah

dan

menetap

(kehilangan

keseimbangan dan tuli)


Reaksi hipersensitivitas dapat timbul berupa demam yang timbul tibatiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping
sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan
telinga yang mendengig dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini
menggangu maka dosis dapat dikurangi 0,25 gr.
Streptomisin dapat menembus barrier plasesnta sehingga tidak boleh
diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusakn syaraf pendengaran janin.
Penanganan Efek Samping Obat
1. Efek sampig yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara
simptomatik
2. Gangguan sendi karena pirazinamid dapat diatasi dengan pemberian
salisilat/allopurinol
3. Penderita dengan reaksi hipersensitivitas seperti timbulnya rash pada kulit
yang umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin, yang dapat dilakukan
pemberian dosis rendah dan desensitasi dengan pemberian dosis yang
ditingkatkan perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat. Desensitas ini
tidak bisa dilakukan terhadap obat lainnya.
4. Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok
attau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol,
gangguan nervus VIII karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan
agranulositosis karena thiacetazon (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
(n.d)).
Pengobatan TB Pada Keadaan khusus
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No 364. Tahun 2009, pengobatan TB pada
keadaan khsus meliputi :
1. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman
untuk kehamilan kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai
pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus
barrier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan

pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan


dilahirkan
2. Ibu menyusui dan bayinya
Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang Ibu menyusui yang
menderita TB harus mendapat panduan OAT secara adekuat. Pemberian
OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman
TB kepada bayinya, Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut
dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH dapat diberikan
pada bayi sesuai dengan berat badan.
3. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinterasi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB,
susuk KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut.
Seorang pasien TB sebaiknya menggunakan kontrasepsi non-hormonal,
atau kontraspesi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg).
4. Pasien TB dengan HIV-AIDS
Tatalaksana pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah
sama seperti pasien dengan TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS
sama efektifnya dengan pasien TB tanpa disertai HIV/AIDS. Prinsipnya
adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV
(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan
standar WHO. Penggunaan suntikan streptomisin harus memperhatikan
prinsip universal precaution. Pengobatan TB-HIV sebaiknya diberikan
secara terintegrasi dalam satu sarana pelayanan kesehatan untuk tetap
menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur.
5. Pasien TB dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan
dimana pengobatan TB sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S)
dan etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan
dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.
6. Pasien TB dengan kelainan hati kronik
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan TB. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3
kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus

dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat


dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan
kelainan hati, Pirazinamid (Z) tidak boleh digunakan. Panduan OAT yang
dianjurkan adalah 2RHES/6RH/10HE
7. Pasien TB dengan gagal ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z) dapat diekskresi melalui
empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik.
OAT jenis ini dapat digunakan dengan dosis standar pada pasien dengan
gangguan ginjal. Streptomisin (S) dan Etambutol (E) dieksresi melalui
ginjal, oleh karena itu hindari penggunaan pada pasien dengan gangguan
ginjal. Apabila fasilitas faal ginjal tesedia, Streptomisin (S) dan Etambutol
(E) tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Panduan
OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah
2HRZ/4HR
8. Pasien TB dengan Diabetes Melitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat
antidiabetes perlu ditingkatan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol
gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti
diabetes oral. Pada pasien dengan DM sering terjadi komplikasi
retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dalam pemberian
etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut.
9. Pasien TB dengan tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya dapat digunakan pada keadaan khusus yang
membahayakan jiwa pasien seperti meningitis TB, TB milier dengan atau
tanpa meningitis, TB dengan pleuritis eksudativa, TB dengan perikarditis
konstriktiva. Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg
perhari,

kemudian

diturunkan

secara

bertahap.

Lama

pemberian

disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.


10. Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru) adalah
a. Untuk TB paru :
1) Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan
cara konservatif

2) Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang


tidak dapat diatasi secara konservatif
3) Pasien dengan MDR TB dengan kelainan paru yang
terlokalisir
b. Untuk TB ekstra paru
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi misalnya pasien TB
tulang yang disertai kelainan neurologik.
DAFTAR PUSTAKA
Perhimpunan

Dokter

Paru

Indonesia

(n.d).

Pedoman

Diagnosis

dan

Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.


Keputusan Menteri Kesehatan No 364. Tahun 2009 tentang Pedoman
Penanggulangan Tuberkulosis (TB)
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik & Direktorat Kefarmasian dan
Alat Kesehatan Depkes RI (2005). Pharmaceutical care untuk penyakit
Tuberkulosis
Adam. S [1995], Dasar dasar mikrobiologi untuk perawat. EGC. Jakarta.
Mansjoer A.,

dkk (2008) Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media

Aesculapius.
Sudoyo A. W, Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata K. M., Setiati S. (2009) Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : InternalPublishing
Black J. M dan Hawks J. H (2014) Keperawatan Medikal Bedah : Manajemen
untuk Hasil yang Diharapkan Ed. 8 (Joko Mulyanto et al.:Penerjemah).
Jakarta : Salemba Medika.
Price S. A. dan Wilson L. M. (2005) Patofisiologi : Konsep Klinis Proses
Proses Penyakit Ed.6 (Brahm U. P et al. : Penerjemah). Jakarta : EGC.
.
Astawinata, D. A. W. Pemeriksaan Laboratotium Diagnosis Cepat TB. Jakarta:
RSCM-FKUI

Asih, NiluhGedeYasmin. (2004). KeperawatanMedikalMedah:


kliendengangangguansistempernafasan, Jakarta: EGC.
Depkes RI. (2006). BukuPedomanNasionalPenanggulangan, TB ed 2. Jakarta:
Depkes
Kumar,dkk.(2007). Buku Ajar Patologi.ed 7, Jakarta: EGC.
Tambayong, Jan. (2000).Patofisiologiuntukkeperawatan. Jakarta: EGC.
Anatomi Paru dan temuan Diagnostik Patologi Anatomi TB Paru
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8
Volum 1. Jakarta : EGC.
Corwin, Elisabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Terjemahan: Nike Budi S.
Jakarta: EGC.
Price, SA & Wilson, LM. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 6 Volum 2. Jakarta: EGC.
Sudoyo, A., et all. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5 Jilid 3.
Jakarta: Interna Publishing.

Anda mungkin juga menyukai