Anda di halaman 1dari 41

DAFTAR PUSTAKA

BAB I...................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN....................................................................................................... 2
BAB II..................................................................................................................... 4
RUANG LINGKUP KEJAHATAN DUNIA CYBER...........................................................4
2.1 Definisi dan Jenis Kejahatan Dunia Cyber.....................................................4
2.2 Subjek Hukum Kejahatan Cyberspace........................................................17
2.2.1 Kualifikasi Tindak Pidana.....................................................................19
2.2.2 Perumusan Sanksi Pidana....................................................................19
2.2.3 Aturan Pemidanaan............................................................................ 20
BAB III.................................................................................................................. 23
URGENSl CYBER LAW BAGI INDONESIA................................................................23
3.1 Implikasi Perkembangan Dunia Cyber........................................................23
3.2 Cyberspace................................................................................................. 24
3.3 Pro-Kontra Regulasi Aktivitas di Internet....................................................25
3.4 Cyber Law................................................................................................... 26
BAB IV.................................................................................................................. 28
KESIMPULAN........................................................................................................ 28

BAB I
PENDAHULUAN
Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya),
yang umumnya diasosiasikan dengan Internet. Cyberlaw dibutuhkan karena
dasar atau fondasi dari hukum di banyak negara adalah "ruang dan waktu".
Sementara itu, Internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan
waktu ini.
Cyber Law juga didefinisikan sebagai kumpulan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang berbagai aktivitas manusia di cyberspace
(dengan memanfaatkan teknologi informasi). Cyber Law sendiri merupakan
istilah yang berasal dari Cyberspace. Cyberspace berakar dari kata latin
Kubernan yang artinya menguasai atau menjangkau. Karena cyberspace-lah
yang akan menjadi objek atau concern dari cyber law.
Untuk dapat memahami sejauh mana perkembangan dan perkembangan
Cyber Law setelah berlakunya UU No.11 tahun 2018 di Indonesia maka kita akan
membahas secara ringkas tentang landasan fundamental yang ada didalam
aspek yuridis yang mengatur lalu lintas internet sebagai sebuah rezim hukum
khusus, dimana terdapat komponen utama yang meliputi persoalan yang ada
dalam dunia maya tersebut, yaitu :

Pertama, tentang yurisdiksi hukum dan aspek-aspek terkait; komponen ini


menganalisa dan menentukan keberlakuan hukum yang berlaku dan
diterapkan di dalam dunia maya itu;

Kedua, tentang landasan penggunaan internet sebagai sarana untuk


melakukan kebebasan berpendapat yang berhubungan dengan tanggung
jawab pihak yang menyampaikan, aspek accountability, tangung jawab
dalam memberikan jasa online dan penyedia jasa internet (internet
provider), serta tanggung jawab hukum bagi penyedia jasa pendidikan
melalui jaringan internet;

Ketiga, tentang aspek hak milik intelektual dimana adanya aspek tentang
patent, merek dagang rahasia yang diterapkan serta berlaku di dalam
dunia cyber;

Keempat, tentang aspek kerahasiaan yang dijamin oleh ketentuan hukum


yang berlaku di masing-masing yurisdiksi negara asal dari pihak yang
mempergunakan atau memanfaatkan dunia maya sebagai bagian dari
sistem atau mekanisme jasa yang mereka lakukan;

Kelima, tentang aspek hukum yang menjamin keamanan dari setiap


pengguna internet;

Keenam,

tentang

ketentuan

hukum

yang

memformulasikan

aspek

kepemilikan dalam internet sebagai bagian dari nilai investasi yang dapat
dihitung sesuai dengan prinisip-prinsip keuangan atau akuntansi;

Ketujuh, tentang aspek hukum yang memberikan legalisasi atas internet


sebagai bagian dari perdagangan atau bisnis usaha.
Berdasarkan

faktor-faktor

tersebut

di

atas

maka

kita

akan

dapat

melakukan penilaian untuk menjustifikasi sejauh mana perkembangan dari


hukum

yang

mengatur

sistem

dan

mekanisme

internet

di

Indonesia.

Perkembangan internet di Indonesia mengalami percepatan yang sangat tinggi


serta memiliki jumlah pelanggan atau pihak pengguna jaringan internet yang
terus meningkat sejak paruh tahun 90an. Salah satu indikator untuk melihat
bagaimana aplikasi hukum tentang internet diperlukan di Indonesia adalah
dengan melihat banyaknya perusahaan yang menjadi provider untuk pengguna
jasa internet di Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang memberikan jasa
provider di Indonesia sadar atau tidak merupakan pihak yang berperanan sangat
penting dalam memajukan perkembangan cyber law di Indonesia dimana fungsifungsi yang mereka lakukan seperti :

Perjanjian aplikasi rekening pelanggan internet;

Perjanjian pembuatan desain home page komersial;

Perjanjian reseller penempatan data-data di internet server;

Penawaran-penawaran

penjualan

produk-produk

komersial

melalui

internet;

Pemberian informasi yang di update setiap hari oleh home page komersial;

Pemberian pendapat atau polling online melalui internet.

Merupakan faktor dan tindakan yang dapat digolongkan sebagai tindakan yang
berhubungan dengan aplikasi hukum tentang cyber di Indonesia. Oleh sebab itu
ada baiknya didalam perkembangan selanjutnya agar setiap pemberi jasa atau
pengguna

internet

dapat

terjamin

maka

hukum

tentang

internet

perlu

dikembangkan serta dikaji sebagai sebuah hukum yang memiliki displin


tersendiri di Indonesia.

BAB II
RUANG LINGKUP KEJAHATAN DUNIA CYBER
2.1 Definisi dan Jenis Kejahatan Dunia Cyber
Sebagaimana lazimnya pembaharuan teknologi, internet selain memberi
manfaat

juga

menimbulkan

ekses

negatif

dengan

terbukanya

peluang

penyalahgunaan teknologi tersebut. Hal itu terjadi pula untuk data dan informasi
yang dikerjakan secara elektronik. Dalam jaringan komputer seperti internet,
masalah kriminalitas menjadi semakin kompleks karena ruang lingkupnya yang
luas. Kriminalitas di internet atau cybercrime pada dasarnya adalah suatu tindak
pidana yang berkaitan dengan cyberspace, baik yang menyerang fasilitas umum
di dalam cyberspace ataupun kepemilikan pribadi.
Jenis-jenis kejahatan di internet terbagi dalam berbagai versi. Salah satu
versi menyebutkan bahwa kejahatan ini terbagi dalam dua jenis, yaitu kejahatan
dengan motif intelektual. Biasanya jenis yang pertama ini tidak menimbulkan
kerugian dan dilakukan untuk kepuasan pribadi. Jenis kedua adalah kejahatan
dengan motif politik, ekonomi atau kriminal yang berpotensi menimbulkan
kerugian bahkan perang informasi. Versi lain membagi cybercrime menjadi tiga
bagian yaitu pelanggaran akses, pencurian data, dan penyebaran informasi
untuk tujuan kejahatan.
Secara garis besar, ada beberapa tipe cybercrime, seperti dikemukakan
Philip Renata dalam suplemen BisTek Warta Ekonomi No. 24 edisi Juli 2000, h.52
yaitu:
a) Joy computing, yaitu pemakaian komputer orang lain tanpa izin. Hal ini
termasuk pencurian waktu operasi komputer.
b) Hacking, yaitu mengakses secara tidak sah atau tanpa izin dengan alat
suatu terminal.
c) The Trojan Horse, yaitu manipulasi data atau program dengan jalan
mengubah data atau instruksi pada sebuah program, menghapus,
menambah,

menjadikan

tidak

terjangkau

dengan

tujuan

untuk

kepentingan pribadi pribadi atau orang lain.


d) Data Leakage, yaitu menyangkut bocornya data ke luar terutama
mengenai data yang harus dirahasiakan. Pembocoran data komputer itu
bisa berupa berupa rahasia negara, perusahaan, data yang dipercayakan
kepada seseorang dan data dalam situasi tertentu.
e) Data Diddling, yaitu suatu perbuatan yang mengubah data valid atau sah
dengan cara tidak sah, mengubah inputdata atau output data.
4

f) To frustate data communication atau penyia-nyiaan data komputer.


g) Software piracy yaitu pembajakan perangkat lunak terhadap hak cipta
yang dilindungi HAKI.
Dari

ketujuh

tipe

cybercrime tersebut,

inti cybercrime adalah

penyerangan

systemdan communication

system milik

nampak

di content,
orang

lain

bahwa
computer

atau

umum

di

dalam cyberspace (Edmon Makarim, 2001: 12).


Pola umum yang digunakan untuk menyerang jaringan komputer adalah
memperoleh akses terhadap account user dan kemudian menggunakan sistem
milik korban sebagai platform untuk menyerang situs lain. Hal ini dapat
diselesaikan

dalam

waktu

mengurangi

waktu

yang

45

detik

diperlukan

dan

mengotomatisasi

(Purbo,

dan

akan

Wijahirto,

sangat

2000:

9).

Fenomena cybercrime memang harus diwaspadai karena kejahatan ini agak


berbeda dengan kejahatan lain pada umumnya. Cybercrime dapat dilakukan
tanpa mengenal batas teritorial dan tidak diperlukan interaksi langsung antara
pelaku dengan korban kejahatan. Bisa dipastikan dengan sifat global internet,
semua negara yang melakukan kegiatan internet hampir pasti akan terkena
imbas perkembangan cybercrime ini. Berita Kompas Cyber Media (19/3/2002)
menulis bahwa berdasarkan survei AC Nielsen 2001 Indonesia ternyata
menempati posisi ke enam terbesar di dunia atau ke empat di Asia dalam tindak
kejahatan di internet. Meski tidak disebutkan secara rinci kejahatan macam apa
saja yang terjadi di Indonesia maupun WNI yang terlibat dalam kejahatan
tersebut, hal ini merupakan peringatan bagi semua pihak untuk mewaspadai
kejahatan yang telah, sedang, dan akan muncul dari pengguna teknologi
informasi (Heru Sutadi, Kompas, 12 April 2002, 30).
Menurut RM. Roy Suryo dalam Warta Ekonomi No. 9, 5 Maret 2001 h.12,
kasus-kasus cybercrime yang banyak terjadi di Indonesia setidaknya ada tiga
jenis berdasarkan modusnya, yaitu:
1. Pencurian Nomor Kartu Kredit. Menurut Rommy Alkatiry (Wakil Kabid
Informatika

KADIN),

penyalahgunaan

kartu

kredit

milik

orang

lain

di internet merupakan kasus cybercrime terbesar yang berkaitan dengan


dunia bisnis internet di Indonesia. Penyalahgunaan kartu kredit milik orang
lain memang tidak rumit dan bisa dilakukan secara fisik atau on-line.
Nama dan kartu kredit orang lain yang diperoleh di berbagai tempat
(restaurant,

hotel

atau

segala

tempat

yang

melakukan

transaksi

pembayaran dengan kartu kredit) dimasukkan di aplikasi pembelian


barang di internet.
2. Memasuki, memodifikasi atau merusak homepage (hacking) Menurut John.
S. Tumiwa pada umumnya tindakanhacker Indonesia belum separah aksi
di luar negeri. Perilaku hacker Indonesia baru sebatas masuk ke suatu
situs komputer orang lain yang ternyata rentan penyusupan dan
memberitahukan

kepada

pemiliknya

untuk

berhati-hati.

Di

luar

negeri hacker sudah memasuki system perbankan dan merusak data base
bank.
3. Penyerangan situs atau e-mail melalui virus atau spamming. Modus yang
paling sering terjadi adalah mengirim virus melalui e-mail. Menurut RM.
Roy Suryo, di luar negeri kejahatan seperti ini sudah diberi hukuman yang
cukup berat. Berbeda dengan di Indonesia yang sulit diatasi karena
peraturan yang ada belum menjangkaunya.
Sementara itu Asad Yusuf memerinci kasus-kasus cybercrime yang sering
terjadi di Indonesia menjadi lima, yaitu:
1. Pencurian nomor kartu kredit.
2. Pengambilalihan situs web milik orang lain.
3. Pencurian akses internet yang sering dialami oleh ISP.
4. Kejahatan nama domain.
5. Persaingan bisnis dengan menimbulkan gangguan bagi situs saingannya.
Khusus cybercrime dalam e-commerce, oleh Edmon Makarim didefinisikan
sebagai segala tindakan yang menghambat dan mengatasnamakan orang lain
dalam perdagangan melalui internet. Edmon Makarim memperkirakan bahwa
modus baru seperti jual-beli data konsumen dan penyajian informasi yang tidak
benar dalam situs bisnis mulai sering terjadi dalam e-commerce ini.
Menurut Mas Wigrantoro dalam BisTek No. 10, 24 Juli 2000, h. 52 secara
garis besar ada lima topic dari cyberlaw di setiap negara yaitu:
Information security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima
dan integritas dari pesan yang mengalir melalui internet. Dalam hal ini diatur
masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.
a. On-line transaction, meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai
pengiriman barang melalui internet.
b. Right in electronic information, soal hak cipta dan hak-hak yang muncul
bagi pengguna maupun penyedia content.

c. Regulation information content, sejauh mana perangkat hukum mengatur


content yang dialirkan melalui internet.
d. Regulation on-line contact, tata karma dalam berkomunikasi dan berbisnis
melalui internet termasuk perpajakan, retriksi eksport-import, kriminalitas
dan yurisdiksi hukum.
Saat ini di Indonesia Negara Indonesia telah membuat kebijakan yang
berhubungan dengan hukum
technology)
tentang

teknologi

informasi (law

of

information

setelah diundangkannya Undang-Undang No.11 tahun 2008

Informasi

dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

pada tanggal 21 April

2008 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.


Produk hukum yang berkaitan dengan ruang siber (cyber space) atau
mayantara ini dianggap oleh pemerintah perlu untuk memberikan keamanan
dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media, dan
komunikasi agar dapat berkembang secara optimal.
Penanggulangan kejahatan di dunia maya tidak terlepas dari kebijakan
penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik
kriminal menurut Sudarto politik kriminal merupakan suatu usaha yang
rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.80
Oleh karena itu tujuan pembuatan Undang-Undang No 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak terlepas dari tujuan politik
kriminal yaitu sebagai upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare) dan
untuk perlindungan masyarakat (social defence).
Tindak pidana atau kejahatan Cyber Crime di Indonesia telah diatur dalam
UU ITE sehingga bersifat khusus (lex specialist). Kebijakan hukum terkait dengan
masalah kriminalisasi dalam UU ITE tertuang dalam Bab XI tentang Ketentuan
Pidana (Pasal 45 sampai dengan Pasal 52)

juncto

Pasal 27 sampai dengan

Pasal 36. Isi dari Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 seperti dikemukakan dalam
BAB III diatas, kemudian khusus mengenai pornografi diatur tersendiri dalam
undangundang Pornografi.
Secara garis besar tindak pidana teknologi informasi

terdiri dari dua

jenis, yaitu:
1. Kejahatan yang menggunakan teknologi informasi (TI) sebagai fasilitas.
2. Kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas teknologi informasi
(TI) sebagai sasaran.

Pendapat tersebut sejalan dengan Tenth United Nations congress on the


Prevention of Crime and the Traitment of Offender di Vienna pada 10-17 April
2000, membagi 2 (dua) sub-kategori cybercrime, yaitu:
1. Cybercrime in a narrow sense (dalam arti sempit) disebut computer
crime:

any

illegal behavior directed by means of electronic operation that target


the
security of computer system and the data processed by them;
2.

Cybercrime in a broader sense (dalam arti luas) disebut computer


related
crime: any illegal behavior committed by means on relation to, a
computer
system offering or system or network, including

such crime as

illegal
possession

in, offering or distributing information by means of

computer
system or network.
Dari beberapa pengertian di atas, cyber crime dirumuskan sebagai
perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan memakai jaringan komputer
sebagai

sarana/

alat

atau

komputer

sebagai

objek,

baik

untuk

memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain.


Pertanyaan tentang perumusan tindak pidana/kriminalisasi muncul ketika
kita dihadapkan pada suatu perbuatan yang merugikan orang lain atau
masyarakat
yang hukumnya belum ada atau belum ditemukan, perumusan itu peting
untuk
mencegah keresahan dalam masyarakat karena apabila perbuatan tersebut
belum
diatur

dalam

undang-undang

(tertulis)

perbuatan

yang

Berkaitan

dengan

merugikan

masyarakat
tersebut

belum

dapat

dihukum/dipidana.

kebijakan

kriminalisasi
dalam UU ITE sebagaimana yang tercantum dalam Bab XI tentang Ketentuan
Pidana (Pasal 45 sampai dengan Pasal 52) juncto

Pasal 27 sampai dengan

Pasal
8

36,dapat dilihat dalam tabel.1 dibawah ini:


Tabel. 1
Pembagian kriminalisasi dalam UU ITE.
Teknologi Informasi Sebagai Fasilitas

Teknologi Informasi Sebagai Objek

Pasal

Muatan

Pasal

Pasal 45

Pelanggaran

jo.Pasal27

Perjudian

Pasal 45

Muatan

susila, Pasal 46

atau

Pasal30

lain (illegal access)

pencemaran
nama baik
Penipuan,
Menyebarkan

Pasal 47

(Melakukan

jo pasal

Pasal 28
menyesatkan
31
Pasal
45 Pengancaman Kekerasan Pasal 48
ayat (3) Jo

jo.

Pasal 29

Pasal32

intersepsi
atau
penyadapan Illegal
Perbuatan
melawan

hukumterhadap
Pasal 49 Terganggunya sistem

Pemalsuan

ayat (1) jo informasi/dokumen


.Pasal 35

Sistem

Orang

Penghinaan jo.

ayat (2) jo Informasi yang

Pasal 51

Mengakses

elektronik

jo

pasal komputer

(Offences33

Penyalahgunaan

related

Pasal 50 komputer

to infringements of

jo

pasal

Kebijakan kriminalisasi dalam UU ITE sebagaimana terlihat dalam tabel.1


di atas perlu diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut:
1. Penggunaan

hukum

pidana

harus

memperhatikan

tujuan

pembangunan
nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata
materiil
dan

spiritual

berdasarkan

Pancasila;

sehubungan

dengan

ini

(penggunaan)
hukum

pidana

bertujuan

untuk

menanggulangi

kejahatan

dan

sendiri,

demi

mengadakan
2. pengugeran

terhadap

tindakan

penanggulangan

itu

kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;


3. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan
9

hukum
pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu
perbuatan
yang

mendatangkan

kerugian

(materil

dan

spirituil)

atas

warga

masyarakat;
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya
dan
hasil (cost dan benefit principle)
5. Penggunaan

hukum

pidana

harus

pula

memperhatikan

kapasitas

atau
kemampuan daya kerja dari

badan-badan penegak hukum

yaitu

jaringan
sampai ada kelampauan beban tugas (overblasting).
Berdasarkan hal di atas lokakarya yang diorganisir oleh UNAFEI selama
kongres

PBB

X/2000

berlangsung

telah

memberikan

terhadap

kejahatan

yang

berhubungan

pedoman

dalam

melakukan
kriminalisasi

dengan

jaringan

komputer,
yaitu:
1. Computer Related Crime (CRC) harus dikriminalisasikan;
2. Diperlukan hukum acara yang tepat untuk melakukan penyidikan
dan
penuntutan terhadap penjahat cyber (cyber criminals);
3. Harus ada kerja sama antara pemerintah dan industri terhadap tujuan
umum
pencegahan dan penanggulangan kejahatan komputer agar internet
menjadi
tempat yang aman;
4. Diperlukan kerja sama internasional untuk menelusuri/mencari penjahat
di
internet;
5. PBB

harus

mengambil

langkah/tindak

lanjut

yang

berhubungan

dengan
bantuan kerja sama teknis dalam penanggulangan CRC.

10

Kebijakan
merumuskan/

kriminalisasi

bukan

memformulasikan

sekedar

perbuatan

kebijakan

apa

yang

menetapkan/

dapat

dipidana

(termasuk
sanksi

pidananya),

melainkan

juga

mencakup

masalah

bagaimana

kebijakan
formulasi/legislasi

itu

disusun

dalam

satu

kesatuan

sistem

hukum

pidana
(kebijakan legislatif) yang harmonis dan terpadu. Untuk menyusun kebijakan
kriminalisasi yang harmonis maka dibutuhkan harmonisasi materi/substansi
tindak pidana baik yang bersifat eksternal (internasional/global), tetapi juga
kajian
harmonisasi internal/nasional.
1. Harmonisasi Materi/Substansi Tindak Pidana Eksternal
Harmonisasi

eksternal

(internasional/global) dalam

perumusan

krimininalisasi perbuatan di mayantara terutama dengan instrumen


hukum internasional terkait, bersifat hard law, seperti perjanjian-perjanjian
internasional, maupun soft law yang tersebar dalam berbagai dokumen
seperti Guidelines, Code of Conduct, Model Law, Principles dan lain-lain.
Instrumen Internasional yang berkaitan dengan kejahatan cyber
crime
adalah

Draft Convention on Cybercrime

oleh 41 (empat puluh satu)

negaranegara yang tergabung dalam Uni Eropa (Council of Europe) pada tanggal
23
November 2001

di

kota

Budapest,

Hongaria,

Konvensi

tersebut

kemudian dimasukkan dalam European Treaty Series dengan nomor 185.


Draf

tersebut

sampai dengan tanggal 2 September 2006 sudah ditandatangani oleh


sebanyak
(empat puluh tiga)

43
negara termasuk 4 (empat) negara diluar Dewan

Eropa
(Canada, Jepang, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat). Dari 43 (empat
puluh
tiga) negara yang sudah menandatangani Draf Konvensi tersebut terdapat
15

(lima
11

belas)

negara

yang

sudah

meratifikasinya,

yaitu:

Albania,

Bosnia

and
Herzegovina,

Bulgaria,

Kroasia,

Cyprus,

Denmark,

Estonia,

Prancis,

Hongaria,
Lithuania, Norwegia, Romania, Slovenia, Macedonia, dan Ukraina.
Draft Konvensi Cyber crime ini terdiri dari 4 bab yaitu: (I)
mengenai
peristilahan, (II) mengenai tindakan-tindakan yang diambil di tingkat
nasional
domestik (negara anggota) di bidang Hukum Pidana Materiil dan Hukum
Acara,
(III) mengenai kerja sama Internasional, dan (IV) Ketentuan Penutup.
Draf
konvensi tersebut dipersiapkan terlebih dahulu oleh Tim Ahli/Pakar di
bidang
cyber crime dan disosialisasiskan menjadi bahan diskusi publik serta
dengan
berusaha melakukan harmonisasi kebijakan penal melalui suatu konvensi
untuk
ditindaklanjuti/dituangkan

dalam

kebijakan

legislasi

masing-masing

negara
anggota.
Draft

Konvensi

Cybercrime

membuat

kebijakan

kriminalisasi

yang
limitatif,

yaitu

hanya

merumuskan

delik-delik

tertentu

di

bidang

cybercrime,
ruang

lingkupnya

mencakup:

Pertama,

delik-delik

terhadap

kerahasiaan, dimasukkan dalam European Treaty Series dengan nomor


185.

Draf

tersebut

sampai dengan tanggal 2 September 2006 sudah ditandatangani oleh


sebanyak
(empat puluh tiga)

43
negara termasuk 4 (empat) negara diluar Dewan

Eropa
(Canada, Jepang, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat). Dari 43 (empat
puluh
tiga) negara yang sudah menandatangani Draf Konvensi tersebut terdapat
12

15

(lima

belas)

negara

yang

sudah

meratifikasinya,

yaitu:

Albania,

Bosnia

and
Herzegovina,

Bulgaria,

Kroasia,

Cyprus,

Denmark,

Estonia,

Prancis,

Hongaria,
Lithuania, Norwegia, Romania, Slovenia, Macedonia, dan Ukraina.
Draft Konvensi Cyber crime ini terdiri dari 4 bab yaitu: (I)
mengenai
peristilahan, (II) mengenai tindakan-tindakan yang diambil di tingkat
nasional
domestik (negara anggota) di bidang Hukum Pidana Materiil dan Hukum
Acara,
(III) mengenai kerja sama Internasional, dan (IV) Ketentuan Penutup.
Draf
konvensi tersebut dipersiapkan terlebih dahulu oleh Tim Ahli/Pakar di
bidang
cyber crime dan disosialisasiskan menjadi bahan diskusi publik serta
dengan
berusaha melakukan harmonisasi kebijakan penal melalui suatu konvensi
untuk
ditindaklanjuti/dituangkan

dalam

kebijakan

legislasi

masing-masing

negara
anggota.
Draft

Konvensi

Cybercrime

membuat

kebijakan

kriminalisasi

yang
limitatif,

yaitu

hanya

merumuskan

delik-delik

tertentu

di

bidang

cybercrime,
ruang

lingkupnya

mencakup:

Pertama,

delik-delik

terhadap

kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data dan sistem komputer;


Kedua,

delik-delik

yang

berhubungan dengan komputer, yaitu melakukan pemalsuan dan penipuan


dengan
komputer; Ketiga, delik-delik yang bermuatan pornografi anak, dan;
Keempat,
delik-delik yang berhubungan dengan pelanggaran hak cipta. Kajian
harmonisasi
13

eksternal dalam kriminalisasi UU ITE telah dilakukan terhadap konvensi


cyber
crime, terutama yang berkaitan dengan tindak pidana yang berhubungan
dengan
penyalahgunaan teknologi informasi, sebagaimana terlihat dalam tabel

di

bawah.
Tabel.2
Keterkaitan Kriminalisasi Draft Convention on Cyber crime dan UU ITE
No Draft Convention Of Cyber Crime
Illegal
1

access:

yaitu

UU ITE

sengaja Pasal 46 juncto Pasal 30 UU

memasuki

ITE

atau mengakses sistem komputer


Illegal
tanpa

interception:

yaitu

sengaja

dan
tanpa
2

hak

mendengar

atau

menangkap
secara

diam-diam

pengiriman

Pasal 47 juncto Pasal 31 UU


ITE

dan
pemancaran

data

komputer

yang

Data
tidak interference: yaitu sengaja dan
3

tanpa
hak

Pasal 48 ayat (1) juncto pasal


melakukan

perusakan, 32 ayat (1) UU ITE

penghapusan,
perubahan
System
4

atau
penghapusan
interference:
yaitu

sengaja
melakukan

Pasal 49 juncto Pasal 33 UU


gangguan

atau ITE

rintangan
5

Misuse
of
perlengkapan
penyalahgunaankomputer,

Devices: Pasal 50 juncto Pasal 34 UU

termasuk
program

komputer,

password

komputer,

14

Computer

related

Forgery:

Pemalsuan
6

Pasal 51 ayat (1) juncto Pasal

(dengan

sengaja

dan

tanpa

mengubah,

hapus

hak
memasukkan

35 UU ITE

data
autentik
Computer

jadi related
tidak

autentik
Fraud:

Penipuan
(dengan

sengaja

dan

tanpa

hak
7

menyebabkan

hilangnyaPasal 45 ayat (2) juncto Pasal

barang/kekayaan
orang

lain

28 UU ITE
dengan

cara

menghapus

data

memasukkan,
mengubah,
komputer
atau
dengan
mengganggu
Content-Related
Offences:
Delik- Ada dalam ketentuan pidana
berfungsinya
8

delik

pasal

yang

berhubungan

dan

UU

dan RUU KUHP Konsep 2008


Pasal 48 ayat (2) juncto
related

to

infringements Pasal

of

32 ayat (2) UU ITE Pasal 51

copyright and related rights: delik ayat


yang
Convention

(1)

dengan Pornografi

pornografi
Offences

52

(1) juncto Pasal

35

UU
on

Cybercrime

2001

dibentuk

dengan

pertimbangan

kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan dalam dunia maya ,yaitu:


1. bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerja sama
antar

negara

dan industri di dalam memerangi kejahatan siber dan adanya


kebutuhan

untuk

melindungi kepentingan yang sah di dalam penggunaan

dan

pengembangan
teknologi informasi);
15

2. Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem,


jaringan
dan data komputer untuk melakukan perbuatan kriminal. Dan
perlunya
kepastian

dalam

proses

penyelidikan

dan

penuntutan

pada

tingkat
internasional dan domestik melalui suatu mekanisme kerjasama
internasional
yang dapat dipercaya dan cepat.
3. saat

ini

sudah

semakin

nyata

memastikan

adanya

kebutuhan

untuk

suatu

kesesuaian antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak azasi


manusia
sejalan dengan Konvensi Dewan Eropa untuk Perlindungan Hak
Asasi
Manusia dan Kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak
Politik
dan Sipil yang memberikan perlindungan kebebasan berpendapat
seperti

hak

berekspresi,

yang

mencakup

kebebasan

untuk

mencari,

Pertimbangan pembuatan Convention on Cybercrime

sangat

menerima,

dan

menyebarkan informasi dan pendapat).


menekankan
dalam hal kerjasama Internasional dalam penegakan hukum dalam
upaya
penanggulangan tindak pidana mayantarai, hal ini tidak ada diatur
didalam
Undang-undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
padahal

hal

ini

sangat krusial

mengingat tindak pidana teknologi

informasi
cenderung bersifat lintas negara maka langkah kebijakan kriminal,
memerlukan
kerjasama internasional; apakah berupa mutual assistance, ekstradisi,
16

maupun
bentuk-bentuk kerjasama lainnya.
Kongres

PBB juga

mengemukakan

bahwa

ada

dugaan

keras

bahwa kejahatan komputer telah banyak ditutupi oleh para korban,


khususnya korporasikorporasi
kerentanan

mereka

tidak

berniat

untuk

mengungkap

terhadap cyberhackers. Tipe-tipe kejahatan

komputer utama yang terjadi adalah fraud, computer forgery, damage


to or modifications of computer data or programs, unauthorized access
to computer systems and service, and unauthorized reproduction of
legally protected computer programs.
Sebelumnya pada tahun 1983

The

Organization for

Economic

Cooperation and Development (OECD) telah mengkaji harmonisasi hukum


pidana
dalam dunia maya dan pada tahun 1986

mempublikasikan

laporan

tentang
Computer Related Crime: Analysis of Legal Policy yang mengkaji
hukum
tentang

internet

dan

merekomendasikan

kepada

anggotanya

anggota-

agar

mengatur hal-hal tertentu secara minimal. Laporan ini berisi hasil survei
terhadap
peraturan

perundang-undangan

negara-negara

anggota

beserta

rekomendasi perubahannya dalam menanggulangi computer related crime


tersebut, yang mana diakui

bahwa

sistem

telekomunikasi

juga

memiliki peran penting didalam kejahatan tersebut.


2. Harmonisasi Materi/ Substansi Tindak Pidana Internal
Harmonisasi materi/substansi tindak pidana tidak hanya terkait
dengan

masalah

kajian harmonisasi eksternal, tetapi juga kajian

harmonisasi internal/ nasional. Kajian harmonisasi internal adalah kajian


harmonisasi/ sinkronisasi dengan materi/ substansi tindak pidana yang
telah ada atau telah diatur dalam hukum
Harmonisasi

terhadap

hukum

pidana

positif

selama

ini.

materiil dinyatakan dalam

Kongres PBB X/2000 di Wina yang menyebutkan: Cybercrime atau


computer related crime mencakup keseluruhan bentuk-bentuk baru
17

dari kejahatan
dan

yang ditujukan kepada komputer, jaringan komputer

para penggunanya, dan bentuk-bentuk kejahatan tradisional yang

sekarang dilakukan dengan menggunakan bantuan peralatan komputer.


Bantuan peralatan komputer baik secara tradisional atau yang sudah
ada
dalam

Kriminalisasi dalam UU ITE apabila dinterplasikan

sudah

mencakup
terhadap beberapa undang-undang positif yang ada di Indonesia
sebelum
diundangkannya

UU

ITE

tersebut.

Perumusan

kriminalisasi

dalam

Undangundang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik


dengan
bentuk-bentuk kriminalisasi terhadap perbuatan yang menggunakan
KUHP
maupun yang sudah memanfaatkan kecanggihan teknologi, sebagaimana
terlihat
di tabel 3 di bawah:

Tabel.3
Harmonisasi Kriminalisasi UU ITE dan Undang-Undang Positif
UU ITE
Pasal

Ayat

UU Positif
Pasal 282, 283, 311,506 KUHP

(1):

Pelanggaran
Ayat (2): Perjudian
Pasal 303 KUHP
ayat (1)
Ayat (3): Penghinaan atau Pasal 310 Pasal 311, Pasal 207 KUHP
juncto
pencemaran nama baik
Ayat (4): Pemerasan atau Pasal 335 dan Pasal 369 KUHP
Pasal
45

27
Pasal

Pengancaman
Ayat (1): Penipuan

Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379,

45

Pasal

ayat (2)

Pasal

juncto
Pasal

Ayat (2): Menyebarkan


informasi

Pasal 160 dan Pasal 161 KUHP

yang

menyesatkan.
18

Pasal 45 ayat (3) juncto Pasal 29:

Pasal 368 KUHP

Pengancaman kekerasan
Pasal
46
juncto
Pasal

30:Pasal 167 dan Pasal 551 KUHP

Mengakses
Pasal
47

31:- Pasal

juncto

Pasal

Melakukan

Pasal

intersepsi atau penyadapan

322,

112, Pasal113, Pasal114,

Pasal 323 dan Pasal 431 KUHP


Pasal

48

juncto

Pasal

32:Pasal 362 Pasal 406, Pasal 407 dan

Perbuatan

Pasal

melawan hukum terhadap

412 KUHP

Pasal

49

juncto

Pasal

33: - Pasal 408 KUHP,

Terganggunya

- Pasal 22 Undang-Undang

sistem komputer
Telekomunikasi
Pasal 50 juncto Pasal 34: Penyalah Pasal 72 ayat

(3) UU RI.No.19

gunaan komputer

tahun
- Pasal 263, 264, 266 dan 271 KUHP

tentang Hak Cipta

-Pasal 22

Pasal 51 ayat (1) juncto Pasal 35:


Pemalsuan

jo. Pasal

50

UU

Telekomunikasi

informasi/dokumen

Elektronik
Harmonisasi kriminalisasi UU ITE sebagaimana dapat dilihat dalam
tabel
di atas, sudah mencakup delik-delik tradisional dalam KUHP dan hukum
positif
yang sudah ada. Meskipun demikian undang-undang positif tersebut
belum
dikatakan

dapat
sudah

memenuhi

unsur

subjektif

maupun

objektif

dalam
penanggulangan

tindak

pidana

teknologi

informasi,

sehingga

penanggulangan
kejahatan dengan hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi
informasi
dan komunikasi memang sudah selayaknya menggunakan hukum khusus
untuk
mengantisipasi berkembangnya kejahatan yang berdampak terhadap
19

ekonomi

dan

sosial seluruh masyarakat.


Delik-delik pidana yang diterapkan dalam KUHP dan undangundang
positif

yang

lain

yang

semula

bersifat

konvensional

seperti

pengancaman,
pencurian, pencemaran nama baik, pornografi, perjudian, penipuan
hingga

tindak

pidana terorisme kini melalui media internet beberapa jenis tindak pidana
tersebut
mengalami perkembangan karena dapat dilakukan secara on line oleh
individu
maupun kelompok serta tidak mengenal batas wilayah (borderless) serta
waktu
kejadian karena korban dan pelaku sering berada di negara yang berbeda.
ITAC

(Information

Technology

Association

of

Canada)

pada
International Information Industry Congress (IIIC) 2000 Millennium
Congress
di Quebec tanggal 19 September 2000 menyatakan bahwa Cybercrime
is a real and growing threat to economic and social development
around the world. Information technology touches every aspect of
human life and so can electronically enable crime.
Mencermati

hal

tersebut kejahatan

karakter

Cyber crime

memiliki

yang

berbeda dengan tindak pidana umum baik dari segi pelaku, korban,
modus
operandi dan tempat kejadian perkara sehingga butuh penanganan dan
pengaturan
khusus di luar KUHP. Kriminalisasi di dunia maya dengan pengaturan
khusus
diluar KUHP harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai menimbulkan
kesan
refresif yang melanggar prinsip
principle)

ultimum remedium (ultima ratio


dan

menjadi bumerang dalam kehidupan sosial berupa kriminalisasi yang


20

berlebihan
(over-criminalization), yang justru mengurangi wibawa hukum.
Forum diskusi cyberspace baik melalui milis, blog,

maupun di

seminar
sosialisasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal
yang
disebut krusial dan sering dikritik adalah Pasal 27 ayat 3 tentang
muatan
pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat 2 tentang muatan
penyebaran

rasa

kebencian atau permusuhan. Harus diakui agak sulit merumuskan dengan


batasanbatasan yang jelas tentang penyebaran kebencian ini dan ini sangat
berpotensi
menimbulkan diskriminasi hukum dan juga ketidakpastian hukum karena
sangat
tergantung pada tafsiran sepihak. Tetapi itu dikembalikan kepada sifat
toleransi
bangsa kita yang berlandaskan Pancasila serta menghormati normanorma agama dan rasa kesusilaan masyarakat untuk menghindari
penyebaran informasi yang akan mengakibatkan permusuhan.
Pasal 27 ayat 3 ini dipermasalahkan juga oleh Dewan Pers bahkan
akan
mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Pasal 27 ayat 3 UU
ITE
sangat terkait dengan Pasal 310 dan 311 KUHP, Bersihar Lubis dan Risang
Bima
Wijaya telah mengajukan judicial review terhadap kedua pasal KUHP
tersebut

ke

Mahkamah

Konstitusi

dengan

nomor

perkara

No.14/PUU-VI/2008,

permohonan
yang diajukan oleh ke dua orang wartawan senior tersebut ditolak
oleh

MK.

Harjono sebagai ketua hakim majelis Konstitusi dalam kesimpulan


sidang
tersebut

MK
menyebutkan;

Nama

baik,

martabat,

atau

kehormatan
21

seseorang

adalah

salah satu kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana


karena
merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara yang dijamin
UUD

1945.

Karenanya apabila hukum pidana memberikan ancaman sanksi pidana


tertentu
terhadap perbuatan yang menyerang nama baik, martabat, atau
kehormatan
seseorang, hal itu tidaklah bertentangan dengan UUD 1945.
2.2 Subjek Hukum Kejahatan Cyberspace
Pada awalnya dalam hukum pidana, yang dianggap sebagai subjek
tindak
pidana hanyalah manusia sebagai natuurlijke-persoonen, sedangkan badan
hukum
atau rechts-persoonen tidak dianggap sebagai subjek. Meskipun demikian,
padaperkembangannya terjadi perluasan terhadap subjek tindak pidana.
Dalam

sistem

hukum perdata belanda yang sampai saat ini masih dianut oleh sistem
hukum

di

Indonesia, subjek hukum dikenal menjadi 2 (dua) yaitu pertama, manusia


(person)
dan kedua, badan hukum (rechtpersoon), dari pembagian subjek hukum
diatas,
apabila korporasi ini merupakan suatu subjek hukum yang dapat
melakukan
hubungan hukum, maka korporasi termasuk dalam kualifikasi badan
hukum
(rechtpersoon).
Perumusan tindak pidana dalam UU ITE selalu diawali dengan katakata
setiap orang yang menunjukkan kepada pengertian orang. Namun dalam
Pasal

sub 21 UU ITE ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan orang adalah


orang,
perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun
22

badan
hukum. Penegasan dalam pertanggungjawaban pidana terhadap badan
hukum

juga

terdapat dalam penjelasan Pasal 2 UU ITE yang menyatakan badan


hukum
Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di
Indonesia
merupakan subjek tindak pidana U ITE.

Demikian pula dalam Bab XI

tentang
ketentuan

pidana,

dalam

Pasal 52

ayat (4)

yang

mengatur

tentang
pertanggungjawaban korporasi. Dengan demikian subjek tindak pidana
(yang
dapat

dipidana)

menurut

UU

ITE

dapat

berupa

orang

perorangan

maupun
korporasi.
Pertanggungjawaban

pidana

terhadap

korporasi

mengenai

ketentuan
terhadap kapan korporasi dikatakan telah melakukan tindak pidana dan siapa
yang dapat dipertanggungjawabkan tidak diatur secara jelas dan khusus
dalam

Undang-

undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,


tetapi
Penjelasan

Pasal 52

ayat (4)

memberikan

persyaratan

terhadap

subjek
pertanggungjawaban korporasi untuk dikenakan sanksi pidana adalah
yang
dilakukan oleh korporasi (corporate crime) dan/ atau oleh pengurus dan/
atau

staf

korporasi.
Dapat

dikenakannya

korporasi dalam perkara

sanksi
tindak

pidana/tindakan
pidana

teknologi

kepada

pengurus

informasi

cukup

beralasan dan sesuai dengan rekomendasi Uni Eropa (Council of Europe)


mengenai Convention on Cybercrime , dalam Title 5. Ancillary liability
and

sanctions

Article

12

Corporate liability antara lain:


23

1. Dalam rekomendasi Uni Eropa yang kemudian dimasukkan dalam


European
Treaty Series dengan Nomor 185 ditegaskan agar ada tindakan
terhadap
pengurus perusahaan

baik sebagai individu maupun perusahaan itu

sendiri
yang terlibat dalam cybercrime (that legal persons can be held liable
for

criminal offence established in accordance with this Convention,


committed
for their benefit by any natural person, acting either individually or as
part

of

an organ of the legal person);


2. Kapasitas

pengurus

yang

dapat

dikenakan

sanksi

pidana

dalam

Convention on Cybercrime , berdasarkan:


a. Power of representation of the legal person (mewakili korporasi);
b. Authority to take decisions on behalf of the legal person
(mengambil keputusan dalam korporasi);
c. Authority

to

exercise

control

within

the

legal

person

(melakukan pengawasan dan pengendalian dalam korporasi).


2.2.1 Kualifikasi Tindak Pidana
Penegasan terhadap kualifikasi delik baik kejahatan ataupun
pelanggaran

tidak

ada

dalam

undang-undang

hak

cipta,

telekomunikasi, pornografi dan UU ITE. Hal ini bisa menimbulkan


masalah, karena perundang-undangan pidana di luar KUHP tetap
terikat pada aturan umum KUHP mengenai akibat-akibat yuridis dari
pembedaan

antara

kejahatan

dan

pelanggaran.

Penetapan

kualifikasi yuridis ini mutlak diperlukan karena sistem pemidanaan di


luar KUHP merupakan sub/bagian integral dari keseluruhan sistem
pemidanaan.
Aturan umum KUHP membedakan antara aturan umum untuk
kejahatan
(Buku II) dan aturan umum untuk pelanggaran (Buku III), dalam Pasal
103

KUHP

24

menyatakan ketentuan umum (Buku Kesatu Bab I sampai dengan


Bab

VIII)

KUHP

berlaku

bagi

perbuatan-perbuatan

yang

oleh

ketentuan

lainnya diancam dengan pidana, kecuali

jika oleh

perundangundangan

undang-undang
ditentukan lain. Maka apabila aturan umum KUHP itu akan juga
diberlakukan,
seharusnya UU ITE menyebutkan kualifikasi yang jelas dari tindak
pidana
diaturnya,

yang
apakah

merupakan kejahatan

atau pelanggaran.

KUHP
membedakan aturan umum untuk tindak pidana yang berupa
kejahatan

dan

pelanggaran. Artinya, kualifikasi delik berupa kejahatan atau


pelanggaran
merupakan kualifikasi juridis yang akan membawa konsekuensi
juridis

yang

berbeda. Oleh karena itu, setiap tindak pidana yang dirumuskan dalam
UU

ITE

harus disebut kualifikasi juridisnya.


Fungsi

dari

ditetapkannya

kualifikasi

yuridis

ini

adalah

untuk
menjembatani berlakunya aturan umum KUHP terhadap hal-hal yang
tidak

diatur

dalam UU di luar KUHP. Tidak adanya penetapan kualifikasi yuridis


dalam

UU

ITE dapat menimbulkan masalah yuridis dalam praktek, baik


dalam

arti

konsekuensi yuridis materiil (aturan umum dalam KUHP) maupun


konsekuensi
yuridis formal (dalam KUHAP). Hal ini berarti dapat mempegaruhi
efektivitas
penegakan hukum.
2.2.2 Perumusan Sanksi Pidana
Sanksi pidana dalam UU ITE dirumuskan secara kumulatif,
25

dimana

pidana

penjara

dikumulasikan

dengan

pidana

denda.

Ketentuan pidana dalam UU ITE tertulis dalam Bab XI Pasal 45 sampai


dengan Pasal 52, dengan rumusan sebagai yang tertera di Bab III hal
71.
Perumusan tindak pidana kedua subjek hukum yang diatur
dalam

satu

pasal yang sama dengan satu ancaman pidana yang sama dalam
UU

ITE

hendaknya

dipisahkan

karena

pada

hakikatnya

orang

subjek

hukum

dan

korporasi berbeda baik dalam hal pertanggungjawaban pidana


maupun

terhadap

ancaman pidana yang dikenakan. Perumusan secara kumulatif dapat


menimbulkan
masalah karena dengan perumusan kumulatif bersifat imperatif dan
kaku.

Sanksi

pidana dalam UU ITE adalah antara pidana penjara dan denda yang
cukup

besar,

tetapi tidak ada dalam redaksi pasal-pasal dalam UU ITE yang


mengatur

apabila

denda tidak dibayar. Ini berarti, berlaku ketentuan umum dalam KUHP
(Pasal

30),

bahwa maksimum pidana kurungan pengganti adalah 6 (enam) bulan


atau dapat menjadi maksimum 8 (delapan) bulan apabila ada
pemberatan (recidive atau concursus).
Apabila mengacu kepada Pasal 30 KUHP
ancaman
denda

yang

maka adanya

pidana
sangat

besar

dalam

Rp.600.000.000,00-

UU

ITE

yaitu

antara

(enam

ratus juta rupiah) hingga Rp.12.000.000.000,00- (dua belas miliar


rupiah),

tidak

akan efektif, karena kalau tidak dibayar hanya terkena pidana


kurungan maksimal 8 (delapan) bulan. Bagi terdakwa, ancaman pidana
kurungan pengganti denda itu mungkin tidak mempunyai pengaruh
apa-apa, karena apabila denda itu dibayar, ia pun akan tetap terkena
pidana penjara (karena diancamkan secara kumulatif). Oleh karena
26

itu, kemungkinan besar ia tidak akan membayar dendanya.


2.2.3 Aturan Pemidanaan
Aturan
pemidanaan
permufakatan

jahat,

terhadap

perbarengan

penyertaan,
(con-cursus),

percobaan,
pengulangan

(residive) dan alasan peringanan tidak diatur dalam UU ITE, sebagai


perbandingan

Convention

on

Cybercrime

mengatur

terhadap

penyertaan dan percobaan dalam Article 11 Paragraph 2: Each Party


shall adopt such legislative and other measures as may be necessary
to establish as criminal offences under its domestic law, when
committed intentionally, an attempt to commit any of the offences
established in accordance with Articles 3 through 5, 7, 8, and 9.1.a and
c. of this Convention.
Karena

tidak

diaturnya

penyertaan,

peringanan

percobaan

dan

tindak

pidana berarti dalam hal ini berlaku ketentuan umum yakni Bab.I
sampai dengan Bab.VIII
aturan

dalam

KUHP.

Sebagaimana

pemidanaan

dimaklumi,

dalam

KUHP (WvS) tidak hanya ditujukan pada orang yang melakukan tindak
pidana,
tetapi

juga

terhadap

mereka

yang

melakukan

dalam

perbuatan

bentuk

percobaan, permufakatan jahat, penyertaan, perbarengan (concursus),


dan

pengulangan

(recidive).

Hanya

permufakatan

saja

di

dalam

KUHP,

jahat

dan recidive tidak diatur dalam Aturan Umum Buku I, tetapi di dalam
Aturan
Khusus (Buku

II

atau

Buku

III).

Pasal 52

UU

ITE

membuat

aturan
dimungkinkannya pidana tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang
berdiri

sendiri

, yaitu:

Pasal 52

27

(1). Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal


27

ayat

(1)

menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak


dikenakan
pemberatan sepertiga dari pidana pokok.
(2). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
sampai

dengan

Pasal 37

ditujukan

terhadap

Komputer

Elektronik

dan/atau

Sistem

serta

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah


dan/atau
yang digunakan untuk layanan publik dipidana dengan pidana
pokok

ditambah

sepertiga.
(3). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau
Sistem

Elektronik

serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik milik Pemerintah dan/atau badan strategis termasuk dan


tidak

terbatas

pada

lembaga

pertahanan,

bank

sentral, perbankan, keuangan, lembaga internasional, otoritas


penerbangan diancam dengan pidana maksimal ancaman pidana
pokok masing masing Pasal ditambah dua pertiga.
(4). Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27

sampai
dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan

pidana

pokok

ditambah dua pertiga.


Perumusan Pasal 52 UU ITE hanya mengatur pemberatan
pidana

yang

khusus

terhadap delik-delik tertentu dalam UU ITE tersebut, tetapi tidak


mengatur
pemberatan

apabila terjadi pengulangan ( residive). Mengacu

kepada
Bab.II Pasal 12 ayat (3)
penjara

KUHP
dalam aturan umum menyatakan: Pidana
selama

waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut


28

dalam

hal

kejahatan

yang pidananya

hakim

mati,

boleh

memilih antara pidana

pidana

seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau


antara

pidana

penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu;


begitu

juga

dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahanan


pidana

karena

perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan pasal 52.


Aturan

umum

terhadap

pemberatan

pidana

terhadap

pengulangan
sebagaimana

Pasal

12

ayat

dirumusan

(3)

KUHP

tersebut

juga

hendaknya

di

dalam pasal UU ITE untuk menghindari terjadinya rasa ketidakadilan


terhadap
perbuatan cybercrime yang berulang tetapi pemidaannya sama
dengan

tindak

pidana yang tidak dilakukan secara pengulangan. Adanya pemberatan


terhadap
beberapa

perbuatan

dalam

Pasal 52;

kesusilaan
eksploitasi

ayat (1)

menyangkut

atau
seksual terhadap anak, ayat (2)

dan/atau

milik Pemerintah

yang

digunakan untuk layanan publik, ayat (3) milik Pemerintah dan/atau


badan

strategis

termasuk

pertahanan,

dan

tidak

bank

terbatas

pada

lembaga

sentral,

perbankan, keuangan, lembaga internasional, otoritas penerbangan,


dan

ayat

(4)

terhadap korporasi Pemberatan-pemberatan tersebut tidak diatur


dalam
maka

KUHP,
seharusnya

UU

khusus

di

luar

KUHP

membuat

aturan

khusus/tersendiri
berupa aturan
tersebut.

atau pedoman pemidanaan

untuk

pemberatan

Ini

merupakan konsekuensi dari adanya Pasal 103 KUHP, karena KUHP


29

sendiri
belum mengatur masalah ini.

30

BAB III
URGENSl CYBER LAW BAGI INDONESIA

3.1 Implikasi Perkembangan Dunia Cyber


Hadirnya masyarakat informasi (information society) yang diyakini sebagai
salah satu agenda penting masyarakat dunia di milenium ketiga antara lain
ditandai dengan pemanfaatan Internet yang semakin meluas dalam berbagai
akiivitas kehidupan manusia, bukan saja di negara-negara maju tapi juga di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Fenomena ini pada gilirannya
telah menempatkan informasi sebagai komoditas ekonomi yang sangat
penting dan menguntungkan. Untuk merespon perkembangan ini Amerika
Serikat sebagai pioner dalam pemanfaatan Internet telah mengubah paradigma
ekonominya dari ekonomi yang berbasis manufaktur menjadi ekonomi yang
berbasis jasa (from a manufacturing-based economy to a service-based
economy).
Peruhahan ini ditandai dengan berkurangnya peranan traditional law
materials dan semakin meningkatnya peranan the raw marerial of a servicebased economy yakni informasi dalam perekonomian Amerika. Munculnya
sejumlah kasus yang cukup fenomenal di Amerika Serikat pada tahun 1998 telah
mendorong para pengamat dan pakar di bidang teknologi inlormasi untuk
menobatkan tahun tersebut sebagai moment yang mengukuhkan Internet
sebagai salah satu institusi dalam mainstream budaya Ametika saat ini. Salah
satu kasus yang sangat fenomenal dan kontroversial adalah Monicagate
(September 1998) yaitu skandal seksual yang melibatkan Presiden Bill Clinton
dengari Monica Lewinsky mantan pegawai Magang di Gedung Putih.
Masyarakat dunia geger, karena laporan Jaksa Independent Kenneth Star
mengenai perselingkuhan Clinton dan Monica setebal 500 halaman kemudian
muncul di Internet dan dapat diakses secara terbuka oleh publik. Kasus ini bukan
saja telah menyadarkan masyarakat Amerika, tapi juga dunia bahwa lnternet
dalam tahap tertentu tidak ubahnya bagai pedang bermata dua. Eksistensi
Internet sebagai salah satu institusi dalam mainstream budaya Amerika lebih
ditegaskan lagi dengan maraknya perdagangan electronik (E-Commerce) yang
diprediksikan sebagai bisnis besar masa depan (the next big thing). Menurut
perkiraan Departemen Perdagangan Amerika, nilai perdagangan sektor ini
sampai dengan tahun 2002 akan mencapai jumlah US $300 milyar per tahun.

31

Demam E-Commerce ini bukan saja telah melanda negara-negara maju


seperti Amerika dan negara-negara Eropa, tapi juga telah menjadi trend dunia
termasuk Indonesia. Bahkan ada semacam kecenderungan umum di Indonesia,
seakan-akan cyber law itu identik dengan pengaturan mengenai E-Commerce.
Berbeda dengan Monicagate, fenomena E-Commerce ini boleh dikatakan mampu
menghadirkan sisi prospektif dari Internet. Jelaslah bahwa eksistensi Internet
disamping menjanjikan sejumlah harapan, pada saat yang sama juga melahirkan
kecemasan-kecemasan baru antara lain munculnya kejahatan baru yang lebih
canggih dalam bentuk cyber crime, misalnya munculnya situs-situs porno dan
penyerangan terhadap privacy seseorang. Disamping itu mengingat karakteristik
Internet yang tidak mengenal batas-batas teritorial dan sepenuhnya beroperasi
secara virtual (maya), Internet juga melahirkan aktivitas-aktivitas baru yang
tidak sepenuhnya dapat diatur oleh hukum yang berlaku saat ini (the existing
law).
Kenyataan ini telah menyadarkan masyarakat akan perlunya regulasi yang
mengatur mengenai aktivitas-aktivitas yang melibatkan Internet Atas dasar
pemikiran diatas, penulis akan mencoba untuk membahas mengenai pengertian
cyber law dan ruang lingkupnya serta sampai sejauh mana urgensinya bagi
Indonesia untuk mengantisipasi munculnya persoalan-persoalan hukum akibat
pemanfaatan Internet yang semakin meluas di Indonesia.
3.2 Cyberspace.
Untuk sampai pada pembahasan mengenai cyber law, terlebih dahulu
perlu dijelaskan satu istilah yang sangat erat kaitannya dengan cyber law yaitu
cyberspace (ruang maya), karena cyberspace-lah yang akan menjadi objek
atau concern dari cyber law. Istilah cyberspace untuk pertama kalinya
diperkenalkan oleh William Gibson seorang penulis fiksi ilmiah (science fiction)
dalam novelnya yang berjudul Neuromancer Istilah yang sama kemudian
diulanginya dalam novelnya yang lain yang berjudul Virtual Light. Menurut
Gibson, cyberspace was a consensual hallucination that felt and looked like a
physical space but actually was a computer-generated construct representing
abstract data.
Pada perkembangan selanjutnya seiring dengan meluasnya penggunaan
computer istilah ini kemudian dipergunakan untuk menunjuk sebuah ruang
elektronik (electronic space), yaitu sebuah masyarakat virtual yang terbentuk
melalui

komunikasi

yang

terjalin

dalam

sebuah

jaringan

kornputer
32

(interconnected computer networks). Pada saat ini, cyberspace sebagaimana


dikemukakan oleh Cavazos dan Morin adalah: represents a vast array of
computer systems accessible from remote physical locations. Aktivitas yang
potensial untuk dilakukan di cyberspace tidak dapat diperkirakan secara pasti
mengingat kemajuan teknologi informasi yang sangat cepat dan mungkin sulit
diprediksi. Namun, saat ini ada beberapa aktivitas utama yang sudah dilakukan
di cyberspace seperti Commercial On-line Services, Bullelin Board System,
Conferencing

Systems,

Internet

Relay

Chat,

Usenet,

EmaiI

list,

dan

entertainment. Sejumlah aktivitas tersebut saat ini dengan mudah dapat


dipahami oleh masyarakat kebanyakan sebagai aktivitas yang dilakukan lewat
Internet. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa apa yang disebut dengan
cyberspace itu tidak lain. adalah Internet yang juga sering disebut scbagai a
network of net works. Dengan karakteristik seperti ini kemudian ada juga yang
menyebut cyber space dengan istilah virtual community (masyarakat maya)
atau virtual world (dunia maya).
Untuk selanjutnya cyberspace akan disebut dengan Internet. Dengan
asumsi bahwa aktivitas di Internet itu tidak bisa dilepaskan dari manusia dan
akibat hukumnya juga mengenai masyarakat (manusia) yang ada di physical
word (dunia nyata), maka kemudian muncul pemikiran mengenai perlunya
aturan

hukum

untuk

mengatur

aktivitas

tersebut.

Namun,

mengingat

karakteristik aktivitas di Internet yang berbeda dengan di dunia nyata, lalu


muncul

pro

kontra

mengenai

bisa

dan

tidaknya

sistem

hukum

tradisional/konvensional (the existing law) yang mengatur aktivitas tersebut.


Dengan demikian, polemik ini sebenarnya bukan mengenai perlu atau
tidaknya suatu aturan hukum mengenai aktivitas di Internet, melainkan
mempertanyakan eksistensi sistem hukum tradisional dalam mengatur aktivitas
di Internet.
3.3 Pro-Kontra Regulasi Aktivitas di Internet
Secara umum munculnya pro-kontra bisa atau ticlaknya sistem hukum
tradisional mengatur mengenai aktivitas-aktivitas di Internet disebabkan karena
dua hal yaitu; (1) karakteristik aktivitas di Internet yang bersifat lintas-batas,
sehingga tidak lagi tunduk pada batasan-batasan teritorial, dan (2) sistem
hukum traditional (the existing law) yang justru bertumpu pada batasan-batasan
teritorial dianggap tidak cukup memadai untuk menjawab persoalan-persoalan
hukum yang muncul akibat aktivitas di Internet. Prokontra mengenai masalah ini
33

sedikitnya terbagai menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama secara total


menolak setiap usaha untuk membuat aturan hukum bagi aktivitas-aktivitas di
Internet yang didasarkan atas sistem hokum tradisional/konvensional. Istilah
sistem hukum tradisional/konvensional penulis gunakan untuk menunjuk
kepada sistem hukum yang berlaku saat ini yang belum mempertimbangkan
pengaruh-pengaruh dari pemanfaatan Internet.
Mereka

beralasan

bahwa

Internet

yang

layaknya

sebuah

surga

demokrasi (democratic paradise) yang menyajikan wahana bagi adanya lalulintas ide secara bebas dan terbuka tidak boleh dihambat dengan aturan yang
didasarkan atas sistem hukum tradisional yang bertumpu pada batasan-batasan
territorial. Dengan pendirian seperti ini, maka menurut kelompok ini Internet
harus diatur sepenuhnya oleh system hukum baru yang didasarkan atas normanorma

hukum

yang

baru

dengan karakteristik.yang melekat

pula

pada

yang

Internet.

dianggap

Kelemahan

sesuai

utama

dari

kelompok ini adalah mereka menafikkan fakta, bahwa meskipun aktivitas


Internet

itu

sepenuhnya

beroperasi

secara

virtual,

namun

masih

tetap

melibatkan masyarakat (manusia) yang hidup di dunia nyata (physical world).


Sebaliknya, kelompok kedua berpendapat bahwa penerapan sistem hukum
tradisional untuk mengatur aktivitas-aktivitas di Internet sangat mendesak untuk
dilakukan. Tanpa harus menunggu akhir dari suatu perdebatan akademis
mengenai sistem hukum yang paling pas untuk mengatur aktivitas di Internel.
Pertimbangan pragmatis yang didasarkan atas meluasnya dampak yang
ditimbulkan oleh Internet memaksa pemerintah untuk segera membentuk aturan
hukum mengenai hal tersebut. Untuk itu semua yang paling mungkin adalah
dengan mengaplikasikan sistem hukum tradisional yang saat ini berlaku.
Kelemahan utama kelompok ini merupakan kebalikan dari kelompok pertama
yaitu mereka menafikkan fakta bahwa aktivitas-aktivitas di Internet menyajikan
realitas dan persoalan baru yang merupakan fenomena khas masyarakat
informasi yang tidak sepenuhnya dapat direspon oleh sistem hukum tradisional.
Kelompok ketiga tampaknya merupakan sintesis dari kedua kelompok di
atas. Mereka berpendapat bahwa aturan hukum yang akan mengatur tnengenai
aktivitas di Internet harus dibentuk secara evolutif dengan cara menerapkan
prinsip-prinsip common law yang dilakukan secara hati-hati dan dengan
menitikberatkan kepada aspek-aspek tertentu dalam aktivitas cyberspace
yang menyebabkan kekhasan dalam transaksi- transaksi di Internet. Kelompok
ini memiliki pendirian yang cukup moderat dan realistis, karena memang ada
34

beberapa prinsip hukum tradisional yang masih dapat merespon persoalan


hukum yang timbul dari aktivitas Internet disamping juga fakta bahwa beberapa
transaksi di Internet tidak dapat sepenuhnya direspon oleh sistem hukum
tradisional.
3.4 Cyber Law
Secara akademis, terminologi cyber law tampaknya belum menjadi
terminologi yang sepenuhnya dapat diterima. Hal ini terbukti dengan dipakainya
terminologi lain untuk tujuan yang sama seperti The law of the Inlernet, Law and
the Information Superhighway, Information Technology Law, The Law of
Information, dan sebagainya.
Di Indonesia sendiri tampaknya belum ada satu istilah yang disepakati
atau paling tidak hanya sekedar terjemahan atas terminologi cyber law.
Sampai saat ini ada beberapa istilah yang dimaksudkan sebagai terjemahan dari
cyber law, misalnya, Hukum Sistem Informasi, Hukum Informasi, dan Hukum
Telematika (Telekomunikasi dan Informatika). Bagi penulis, istilah (Indonesia)
manapun yang akan dipakai tidak menjadi persoalan. Yang penting, di dalamnya
memuat atau membicarakan mengenai aspek-aspek hokum yang berkaitan
dengan aktivitas manusia di Internet.
Oleh karena itu dapat dipahami apabila sampai saat ini di kalangan
peminat dan pemerhati masalah hukum yang berikaitan dengan Internet di
Indonesia masih menggunakan istilah cyber law. Sebagaimana dikemukakan di
atas, lahirnya pemikiran untuk membentuk satu aturan hukum yang dapat
merespon persoalan-persoalan hukum yang muncul akibat dari pemanfaatan
Internet

terutama

disebabkan

oleh

sistem

hukum tradisional yang

tidak

sepenuhnya mampu merespon persoalan-persoalan tersebut dan karakteristik


dari Internet itu sendiri. Hal ini pada gilirannya akan melemahkan atau bahkan
mengusangkan konsep konsep hukum yang sudah mapan seperti kedaulatan dan
yurisdiksi.
Kedua konsep ini berada pada posisi yang dilematis ketika harus
berhadapan dengan kenyataan bahwa para pelaku yang terlibat dalam
pemanfaatan Internet tidak lagi tunduk pada batasan kewarganegaraan dan
kedaulatan suatu negara. Dalam kaitan ini Aron Mefford seorang pakar cyberlaw
dari

Michigan

State University sampai pada kesimpulan bahwa dengan

meluasnya pemanfaatan Internet sebenarnya telah terjadi semacam paradigm


shift dalam menentukan jati diri pelaku suatu perbuatan hukum dari citizens
35

menjadi

netizens.

Dilema

yang

dihadapi

oleh

hukum

tradisional

dalam

menghadapi fenomena cyberspace ini merupakan alasan utama perlunya


membentuk satu regulasi yang cukup akomodatif terhadap fenomena-fenomena
baru yang muncul akibat pemanfaatan Internet. Aturan hukum yang akan
dibentuk itu harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hukum (the legal
needs) para pihak yang terlibat dalam traksaksi-transaksi lewat Internet.
Untuk itu penulis cenderung menyetujui proposal dari Mefford yang
mengusulkan Lex Informatica (Independent Net Law) sebagai Foundations of
Law on the Internet. Proposal Mefford ini tampaknya diilhami oleh pemikiran
mengenai Lex Mercatoria yang merupakan satu sistem hukum yang dibentuk
secara evolutif untuk merespon kebutuhan-kebutuhan hukum (the legal needs)
para pelaku transaksi dagang yang mendapati kenyataan bahwa sistem hukum
nasional tidak cukup memadai dalam menjawab realitas-realitas yang ditemui
dalam transaksi perdagangan internasional. Secara demikian maka cyber law
dapat

didefinisikan

sebagai

seperangkat

aturan

yang

berkaitan

dengan

persoalan-persoalan yang muncul akibat dari pemanfaatan Internet.

36

BAB IV
KESIMPULAN
1. Cyber Law dapat didefinisikan sebagai kumpulan peraturan perundangundangan

yang

mengatur

tentang

berbagai

aktivitas

manusia

di

cyberspace (dengan memanfaatkan teknologi informasi). Cyber Law


sendiri merupakan istilah yang berasal dari Cyberspace. Cyberspace
berakar

dari

kata

latin

Kubernan

yang

artinya

menguasai

atau

menjangkau. Karena cyberspace-lah yang akan menjadi objek atau


concern dari cyber law.
2. Dalam jaringan komputer seperti internet, masalah kriminalitas menjadi
semakin kompleks karena ruang lingkupnya yang luas. Kriminalitas
di internet atau cybercrime pada dasarnya adalah suatu tindak pidana
yang berkaitan dengan cyberspace, baik yang menyerang fasilitas umum
di dalam cyberspace ataupun kepemilikan pribadi.
3. Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat telah melahirkan
perubahan yang sangat besar pada seluruh aspek kehidupan manusia
termasuk
beralihnya kejahatan biasa (konvesional) menjadi kejahatan yang
menggunakan
sarana teknologi informasi sebagai alat dan sekaligus sasarannya.
Sampai

saat

dimanfaatkan

ini

oleh

perkembangan
seluruh

aspek

teknologi

kehidupan

informasi
manusia.

hampir

Eksistensi

kejahatan mayantara seiring sejalan dengan perkembangan teknologi


informasi, semakin maju teknologi informasi maka semakin pesat
pula

perkembangan

kejahatan mayantara (cyber crime).


crime)

Kejahatan mayantara (cyber

adalah

kejahatan yang memilki ruang lingkup yang sangat luas, kejahatan


mayantara
(cyber crime) menggunakan peralatan teknologi serta memanfaatkan
jaringan
telematika global sebagai sarana melakukan kejahatan, dari sini
terlihat

jelas

bahwa (cyber crime) dapat dilakukan dimana saja, kapan saja serta
berdampak
37

kemana saja seakan-akan tanpa batas (borderless). Keadaan ini


menyebabkan pelaku kejahatan, korban, tempat terjadinya perbuatan
pidana

(locus

delicti)

serta

akibat yang ditimbulkan dapat terjadi pada beberapa negara, inilah


salah

satu

aspek transnasional dari kejahatan mayantara (cyber crime). Sangat


banyak

jenis-

jenis kejahatan mayantara (cyber crime) namun apabila digeneralisasi


kejahatan
mayantara dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu yang pertama
Kejahatan
menggunakan

yang
teknologi

informasi (TI)

contoh

sebagai

fasilitas.

Contoh-

dari

aktivitas cybercrime jenis pertama ini adalah pembajakan (copyright


atau
cipta

hak
intelektual,

dan

lain-lain);

pornografi;

pencurian

pemalsuan

dan

kartu

kredit(carding); penipuan lewat e-mail; penipuan dan pembobolan


rekening

bank;

perjudian on line; terorisme; situs sesat; materi-materi internet yang


berkaitan
dengan SARA (seperti penyebaran kebencian etnik dan ras atau agama);
transaksi
dan penyebaran obat terlarang; transaksi seks; dan lain-lain. Yang
kedua
Kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas teknologi informasi (TI)
sebagai
sasaran. Cyber crime jenis ini bukan memanfaatkan komputer dan
internet

sebagai

media atau sarana tindak pidana, melainkan menjadikannya sebagai


sasaran.
Contoh dari jenis-jenis tindak kejahatannya antara lain pengaksesan ke
suatau
sistem secara ilegal (hacking), perusakan situs internet dan server data
(cracking),
serta defacting.
38

4. Pengaturan kejahatan internet (cyber crime) di Indonesia diatur dalam


beberapa peraturan perundang-undangan, setidaknya ada 7 (tujuh)
peraturan
perundang-undangan

khusus

diluar

Kitab

Undang-Undang

Hukum

Pidana
(KUHP) yang materi muatannya ada mengatur mengenai tindak pidana
mayantara
(cyber crime) diantarnya adalah Undang-Undang No 36 Tahun 1999
Tentang Telekomunikasi, Undang-Undang No
Tentang Hak Cipta,Undang-Undang
Informasi

Dan

No.11

19 Tahun
Tahun

2008

2002
Tentang

TransaksiElektronika, Undang-Undang No 44 Tahun

2008 Tentang Pornografi. UndangUndang No 11 Tahun 2008 Tentang


Informasi dan Transaksi Elektronik secara khusus

mengatur mengenai

tindak pidana mayantara (cyber crime). Selain peraturan perundangundangan yang telah ada, dalam rancangan Kitab UndangUndang
Hukum Pidana Konsep 2008 juga mengatur megenai kejahatan cyber
crime diatur dalam Buku II bagian ke 5 (lima)

39

DAFTAR PUSTAKA & REFERENSI

www.legalitas.com : Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


Konsep 2008

Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi


Elektronika

http://eprints.undip.ac.id/17599/1/Philemon_Ginting.pdf,
Penanggulangan

Tindak Pidana Teknologi Informasi Melalui Hukum

Pidana

BisTek Warta Ekonomi No. 24 edisi Juli 2000, Judul : jenis-jenis keajhatan
komputer, halaman.52-54

Warta Ekonomi No. 9, 5 Maret 2001 Judul : Perangkat hukum di Indonesia


dalam mengatasi kejahatan komputer, halaman 12-14

Web site Insecure.org at http://insecure.org/nmap/

40

MAKALAH
ETIKA DAN HUKUM
ASPEK-ASPEK DAN PERKEMBANGAN CYBER LAW DI INDONESIA

Disusun oleh :
Juniardi Akhir Putra

(14917144)

PROGRAM PASCASARJANA TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS TEKNIK INDUSTRI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2015
41

Anda mungkin juga menyukai