BAB I...................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN....................................................................................................... 2
BAB II..................................................................................................................... 4
RUANG LINGKUP KEJAHATAN DUNIA CYBER...........................................................4
2.1 Definisi dan Jenis Kejahatan Dunia Cyber.....................................................4
2.2 Subjek Hukum Kejahatan Cyberspace........................................................17
2.2.1 Kualifikasi Tindak Pidana.....................................................................19
2.2.2 Perumusan Sanksi Pidana....................................................................19
2.2.3 Aturan Pemidanaan............................................................................ 20
BAB III.................................................................................................................. 23
URGENSl CYBER LAW BAGI INDONESIA................................................................23
3.1 Implikasi Perkembangan Dunia Cyber........................................................23
3.2 Cyberspace................................................................................................. 24
3.3 Pro-Kontra Regulasi Aktivitas di Internet....................................................25
3.4 Cyber Law................................................................................................... 26
BAB IV.................................................................................................................. 28
KESIMPULAN........................................................................................................ 28
BAB I
PENDAHULUAN
Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya),
yang umumnya diasosiasikan dengan Internet. Cyberlaw dibutuhkan karena
dasar atau fondasi dari hukum di banyak negara adalah "ruang dan waktu".
Sementara itu, Internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan
waktu ini.
Cyber Law juga didefinisikan sebagai kumpulan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang berbagai aktivitas manusia di cyberspace
(dengan memanfaatkan teknologi informasi). Cyber Law sendiri merupakan
istilah yang berasal dari Cyberspace. Cyberspace berakar dari kata latin
Kubernan yang artinya menguasai atau menjangkau. Karena cyberspace-lah
yang akan menjadi objek atau concern dari cyber law.
Untuk dapat memahami sejauh mana perkembangan dan perkembangan
Cyber Law setelah berlakunya UU No.11 tahun 2018 di Indonesia maka kita akan
membahas secara ringkas tentang landasan fundamental yang ada didalam
aspek yuridis yang mengatur lalu lintas internet sebagai sebuah rezim hukum
khusus, dimana terdapat komponen utama yang meliputi persoalan yang ada
dalam dunia maya tersebut, yaitu :
Ketiga, tentang aspek hak milik intelektual dimana adanya aspek tentang
patent, merek dagang rahasia yang diterapkan serta berlaku di dalam
dunia cyber;
Keenam,
tentang
ketentuan
hukum
yang
memformulasikan
aspek
kepemilikan dalam internet sebagai bagian dari nilai investasi yang dapat
dihitung sesuai dengan prinisip-prinsip keuangan atau akuntansi;
faktor-faktor
tersebut
di
atas
maka
kita
akan
dapat
yang
mengatur
sistem
dan
mekanisme
internet
di
Indonesia.
Penawaran-penawaran
penjualan
produk-produk
komersial
melalui
internet;
Pemberian informasi yang di update setiap hari oleh home page komersial;
Merupakan faktor dan tindakan yang dapat digolongkan sebagai tindakan yang
berhubungan dengan aplikasi hukum tentang cyber di Indonesia. Oleh sebab itu
ada baiknya didalam perkembangan selanjutnya agar setiap pemberi jasa atau
pengguna
internet
dapat
terjamin
maka
hukum
tentang
internet
perlu
BAB II
RUANG LINGKUP KEJAHATAN DUNIA CYBER
2.1 Definisi dan Jenis Kejahatan Dunia Cyber
Sebagaimana lazimnya pembaharuan teknologi, internet selain memberi
manfaat
juga
menimbulkan
ekses
negatif
dengan
terbukanya
peluang
penyalahgunaan teknologi tersebut. Hal itu terjadi pula untuk data dan informasi
yang dikerjakan secara elektronik. Dalam jaringan komputer seperti internet,
masalah kriminalitas menjadi semakin kompleks karena ruang lingkupnya yang
luas. Kriminalitas di internet atau cybercrime pada dasarnya adalah suatu tindak
pidana yang berkaitan dengan cyberspace, baik yang menyerang fasilitas umum
di dalam cyberspace ataupun kepemilikan pribadi.
Jenis-jenis kejahatan di internet terbagi dalam berbagai versi. Salah satu
versi menyebutkan bahwa kejahatan ini terbagi dalam dua jenis, yaitu kejahatan
dengan motif intelektual. Biasanya jenis yang pertama ini tidak menimbulkan
kerugian dan dilakukan untuk kepuasan pribadi. Jenis kedua adalah kejahatan
dengan motif politik, ekonomi atau kriminal yang berpotensi menimbulkan
kerugian bahkan perang informasi. Versi lain membagi cybercrime menjadi tiga
bagian yaitu pelanggaran akses, pencurian data, dan penyebaran informasi
untuk tujuan kejahatan.
Secara garis besar, ada beberapa tipe cybercrime, seperti dikemukakan
Philip Renata dalam suplemen BisTek Warta Ekonomi No. 24 edisi Juli 2000, h.52
yaitu:
a) Joy computing, yaitu pemakaian komputer orang lain tanpa izin. Hal ini
termasuk pencurian waktu operasi komputer.
b) Hacking, yaitu mengakses secara tidak sah atau tanpa izin dengan alat
suatu terminal.
c) The Trojan Horse, yaitu manipulasi data atau program dengan jalan
mengubah data atau instruksi pada sebuah program, menghapus,
menambah,
menjadikan
tidak
terjangkau
dengan
tujuan
untuk
ketujuh
tipe
cybercrime tersebut,
penyerangan
systemdan communication
system milik
nampak
di content,
orang
lain
bahwa
computer
atau
umum
di
dalam
waktu
mengurangi
waktu
yang
45
detik
diperlukan
dan
mengotomatisasi
(Purbo,
dan
akan
Wijahirto,
sangat
2000:
9).
KADIN),
penyalahgunaan
kartu
kredit
milik
orang
lain
hotel
atau
segala
tempat
yang
melakukan
transaksi
kepada
pemiliknya
untuk
berhati-hati.
Di
luar
negeri hacker sudah memasuki system perbankan dan merusak data base
bank.
3. Penyerangan situs atau e-mail melalui virus atau spamming. Modus yang
paling sering terjadi adalah mengirim virus melalui e-mail. Menurut RM.
Roy Suryo, di luar negeri kejahatan seperti ini sudah diberi hukuman yang
cukup berat. Berbeda dengan di Indonesia yang sulit diatasi karena
peraturan yang ada belum menjangkaunya.
Sementara itu Asad Yusuf memerinci kasus-kasus cybercrime yang sering
terjadi di Indonesia menjadi lima, yaitu:
1. Pencurian nomor kartu kredit.
2. Pengambilalihan situs web milik orang lain.
3. Pencurian akses internet yang sering dialami oleh ISP.
4. Kejahatan nama domain.
5. Persaingan bisnis dengan menimbulkan gangguan bagi situs saingannya.
Khusus cybercrime dalam e-commerce, oleh Edmon Makarim didefinisikan
sebagai segala tindakan yang menghambat dan mengatasnamakan orang lain
dalam perdagangan melalui internet. Edmon Makarim memperkirakan bahwa
modus baru seperti jual-beli data konsumen dan penyajian informasi yang tidak
benar dalam situs bisnis mulai sering terjadi dalam e-commerce ini.
Menurut Mas Wigrantoro dalam BisTek No. 10, 24 Juli 2000, h. 52 secara
garis besar ada lima topic dari cyberlaw di setiap negara yaitu:
Information security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima
dan integritas dari pesan yang mengalir melalui internet. Dalam hal ini diatur
masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.
a. On-line transaction, meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai
pengiriman barang melalui internet.
b. Right in electronic information, soal hak cipta dan hak-hak yang muncul
bagi pengguna maupun penyedia content.
teknologi
informasi (law
of
information
Informasi
juncto
Pasal 36. Isi dari Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 seperti dikemukakan dalam
BAB III diatas, kemudian khusus mengenai pornografi diatur tersendiri dalam
undangundang Pornografi.
Secara garis besar tindak pidana teknologi informasi
jenis, yaitu:
1. Kejahatan yang menggunakan teknologi informasi (TI) sebagai fasilitas.
2. Kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas teknologi informasi
(TI) sebagai sasaran.
any
such crime as
illegal
possession
computer
system or network.
Dari beberapa pengertian di atas, cyber crime dirumuskan sebagai
perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan memakai jaringan komputer
sebagai
sarana/
alat
atau
komputer
sebagai
objek,
baik
untuk
dalam
undang-undang
(tertulis)
perbuatan
yang
Berkaitan
dengan
merugikan
masyarakat
tersebut
belum
dapat
dihukum/dipidana.
kebijakan
kriminalisasi
dalam UU ITE sebagaimana yang tercantum dalam Bab XI tentang Ketentuan
Pidana (Pasal 45 sampai dengan Pasal 52) juncto
Pasal
8
Pasal
Muatan
Pasal
Pasal 45
Pelanggaran
jo.Pasal27
Perjudian
Pasal 45
Muatan
susila, Pasal 46
atau
Pasal30
pencemaran
nama baik
Penipuan,
Menyebarkan
Pasal 47
(Melakukan
jo pasal
Pasal 28
menyesatkan
31
Pasal
45 Pengancaman Kekerasan Pasal 48
ayat (3) Jo
jo.
Pasal 29
Pasal32
intersepsi
atau
penyadapan Illegal
Perbuatan
melawan
hukumterhadap
Pasal 49 Terganggunya sistem
Pemalsuan
Sistem
Orang
Penghinaan jo.
Pasal 51
Mengakses
elektronik
jo
pasal komputer
(Offences33
Penyalahgunaan
related
Pasal 50 komputer
to infringements of
jo
pasal
hukum
pidana
harus
memperhatikan
tujuan
pembangunan
nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata
materiil
dan
spiritual
berdasarkan
Pancasila;
sehubungan
dengan
ini
(penggunaan)
hukum
pidana
bertujuan
untuk
menanggulangi
kejahatan
dan
sendiri,
demi
mengadakan
2. pengugeran
terhadap
tindakan
penanggulangan
itu
hukum
pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu
perbuatan
yang
mendatangkan
kerugian
(materil
dan
spirituil)
atas
warga
masyarakat;
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya
dan
hasil (cost dan benefit principle)
5. Penggunaan
hukum
pidana
harus
pula
memperhatikan
kapasitas
atau
kemampuan daya kerja dari
yaitu
jaringan
sampai ada kelampauan beban tugas (overblasting).
Berdasarkan hal di atas lokakarya yang diorganisir oleh UNAFEI selama
kongres
PBB
X/2000
berlangsung
telah
memberikan
terhadap
kejahatan
yang
berhubungan
pedoman
dalam
melakukan
kriminalisasi
dengan
jaringan
komputer,
yaitu:
1. Computer Related Crime (CRC) harus dikriminalisasikan;
2. Diperlukan hukum acara yang tepat untuk melakukan penyidikan
dan
penuntutan terhadap penjahat cyber (cyber criminals);
3. Harus ada kerja sama antara pemerintah dan industri terhadap tujuan
umum
pencegahan dan penanggulangan kejahatan komputer agar internet
menjadi
tempat yang aman;
4. Diperlukan kerja sama internasional untuk menelusuri/mencari penjahat
di
internet;
5. PBB
harus
mengambil
langkah/tindak
lanjut
yang
berhubungan
dengan
bantuan kerja sama teknis dalam penanggulangan CRC.
10
Kebijakan
merumuskan/
kriminalisasi
bukan
memformulasikan
sekedar
perbuatan
kebijakan
apa
yang
menetapkan/
dapat
dipidana
(termasuk
sanksi
pidananya),
melainkan
juga
mencakup
masalah
bagaimana
kebijakan
formulasi/legislasi
itu
disusun
dalam
satu
kesatuan
sistem
hukum
pidana
(kebijakan legislatif) yang harmonis dan terpadu. Untuk menyusun kebijakan
kriminalisasi yang harmonis maka dibutuhkan harmonisasi materi/substansi
tindak pidana baik yang bersifat eksternal (internasional/global), tetapi juga
kajian
harmonisasi internal/nasional.
1. Harmonisasi Materi/Substansi Tindak Pidana Eksternal
Harmonisasi
eksternal
(internasional/global) dalam
perumusan
negaranegara yang tergabung dalam Uni Eropa (Council of Europe) pada tanggal
23
November 2001
di
kota
Budapest,
Hongaria,
Konvensi
tersebut
tersebut
43
negara termasuk 4 (empat) negara diluar Dewan
Eropa
(Canada, Jepang, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat). Dari 43 (empat
puluh
tiga) negara yang sudah menandatangani Draf Konvensi tersebut terdapat
15
(lima
11
belas)
negara
yang
sudah
meratifikasinya,
yaitu:
Albania,
Bosnia
and
Herzegovina,
Bulgaria,
Kroasia,
Cyprus,
Denmark,
Estonia,
Prancis,
Hongaria,
Lithuania, Norwegia, Romania, Slovenia, Macedonia, dan Ukraina.
Draft Konvensi Cyber crime ini terdiri dari 4 bab yaitu: (I)
mengenai
peristilahan, (II) mengenai tindakan-tindakan yang diambil di tingkat
nasional
domestik (negara anggota) di bidang Hukum Pidana Materiil dan Hukum
Acara,
(III) mengenai kerja sama Internasional, dan (IV) Ketentuan Penutup.
Draf
konvensi tersebut dipersiapkan terlebih dahulu oleh Tim Ahli/Pakar di
bidang
cyber crime dan disosialisasiskan menjadi bahan diskusi publik serta
dengan
berusaha melakukan harmonisasi kebijakan penal melalui suatu konvensi
untuk
ditindaklanjuti/dituangkan
dalam
kebijakan
legislasi
masing-masing
negara
anggota.
Draft
Konvensi
Cybercrime
membuat
kebijakan
kriminalisasi
yang
limitatif,
yaitu
hanya
merumuskan
delik-delik
tertentu
di
bidang
cybercrime,
ruang
lingkupnya
mencakup:
Pertama,
delik-delik
terhadap
Draf
tersebut
43
negara termasuk 4 (empat) negara diluar Dewan
Eropa
(Canada, Jepang, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat). Dari 43 (empat
puluh
tiga) negara yang sudah menandatangani Draf Konvensi tersebut terdapat
12
15
(lima
belas)
negara
yang
sudah
meratifikasinya,
yaitu:
Albania,
Bosnia
and
Herzegovina,
Bulgaria,
Kroasia,
Cyprus,
Denmark,
Estonia,
Prancis,
Hongaria,
Lithuania, Norwegia, Romania, Slovenia, Macedonia, dan Ukraina.
Draft Konvensi Cyber crime ini terdiri dari 4 bab yaitu: (I)
mengenai
peristilahan, (II) mengenai tindakan-tindakan yang diambil di tingkat
nasional
domestik (negara anggota) di bidang Hukum Pidana Materiil dan Hukum
Acara,
(III) mengenai kerja sama Internasional, dan (IV) Ketentuan Penutup.
Draf
konvensi tersebut dipersiapkan terlebih dahulu oleh Tim Ahli/Pakar di
bidang
cyber crime dan disosialisasiskan menjadi bahan diskusi publik serta
dengan
berusaha melakukan harmonisasi kebijakan penal melalui suatu konvensi
untuk
ditindaklanjuti/dituangkan
dalam
kebijakan
legislasi
masing-masing
negara
anggota.
Draft
Konvensi
Cybercrime
membuat
kebijakan
kriminalisasi
yang
limitatif,
yaitu
hanya
merumuskan
delik-delik
tertentu
di
bidang
cybercrime,
ruang
lingkupnya
mencakup:
Pertama,
delik-delik
terhadap
delik-delik
yang
di
bawah.
Tabel.2
Keterkaitan Kriminalisasi Draft Convention on Cyber crime dan UU ITE
No Draft Convention Of Cyber Crime
Illegal
1
access:
yaitu
UU ITE
memasuki
ITE
interception:
yaitu
sengaja
dan
tanpa
2
hak
mendengar
atau
menangkap
secara
diam-diam
pengiriman
dan
pemancaran
data
komputer
yang
Data
tidak interference: yaitu sengaja dan
3
tanpa
hak
penghapusan,
perubahan
System
4
atau
penghapusan
interference:
yaitu
sengaja
melakukan
atau ITE
rintangan
5
Misuse
of
perlengkapan
penyalahgunaankomputer,
termasuk
program
komputer,
password
komputer,
14
Computer
related
Forgery:
Pemalsuan
6
(dengan
sengaja
dan
tanpa
mengubah,
hapus
hak
memasukkan
35 UU ITE
data
autentik
Computer
jadi related
tidak
autentik
Fraud:
Penipuan
(dengan
sengaja
dan
tanpa
hak
7
menyebabkan
barang/kekayaan
orang
lain
28 UU ITE
dengan
cara
menghapus
data
memasukkan,
mengubah,
komputer
atau
dengan
mengganggu
Content-Related
Offences:
Delik- Ada dalam ketentuan pidana
berfungsinya
8
delik
pasal
yang
berhubungan
dan
UU
to
infringements Pasal
of
(1)
dengan Pornografi
pornografi
Offences
52
35
UU
on
Cybercrime
2001
dibentuk
dengan
pertimbangan
negara
untuk
dan
pengembangan
teknologi informasi);
15
dalam
proses
penyelidikan
dan
penuntutan
pada
tingkat
internasional dan domestik melalui suatu mekanisme kerjasama
internasional
yang dapat dipercaya dan cepat.
3. saat
ini
sudah
semakin
nyata
memastikan
adanya
kebutuhan
untuk
suatu
hak
berekspresi,
yang
mencakup
kebebasan
untuk
mencari,
sangat
menerima,
dan
hal
ini
sangat krusial
informasi
cenderung bersifat lintas negara maka langkah kebijakan kriminal,
memerlukan
kerjasama internasional; apakah berupa mutual assistance, ekstradisi,
16
maupun
bentuk-bentuk kerjasama lainnya.
Kongres
PBB juga
mengemukakan
bahwa
ada
dugaan
keras
mereka
tidak
berniat
untuk
mengungkap
The
Organization for
Economic
mempublikasikan
laporan
tentang
Computer Related Crime: Analysis of Legal Policy yang mengkaji
hukum
tentang
internet
dan
merekomendasikan
kepada
anggotanya
anggota-
agar
mengatur hal-hal tertentu secara minimal. Laporan ini berisi hasil survei
terhadap
peraturan
perundang-undangan
negara-negara
anggota
beserta
bahwa
sistem
telekomunikasi
juga
masalah
terhadap
hukum
pidana
positif
selama
ini.
dari kejahatan
dan
sudah
mencakup
terhadap beberapa undang-undang positif yang ada di Indonesia
sebelum
diundangkannya
UU
ITE
tersebut.
Perumusan
kriminalisasi
dalam
Tabel.3
Harmonisasi Kriminalisasi UU ITE dan Undang-Undang Positif
UU ITE
Pasal
Ayat
UU Positif
Pasal 282, 283, 311,506 KUHP
(1):
Pelanggaran
Ayat (2): Perjudian
Pasal 303 KUHP
ayat (1)
Ayat (3): Penghinaan atau Pasal 310 Pasal 311, Pasal 207 KUHP
juncto
pencemaran nama baik
Ayat (4): Pemerasan atau Pasal 335 dan Pasal 369 KUHP
Pasal
45
27
Pasal
Pengancaman
Ayat (1): Penipuan
45
Pasal
ayat (2)
Pasal
juncto
Pasal
yang
menyesatkan.
18
Pengancaman kekerasan
Pasal
46
juncto
Pasal
Mengakses
Pasal
47
31:- Pasal
juncto
Pasal
Melakukan
Pasal
322,
48
juncto
Pasal
Perbuatan
Pasal
412 KUHP
Pasal
49
juncto
Pasal
Terganggunya
- Pasal 22 Undang-Undang
sistem komputer
Telekomunikasi
Pasal 50 juncto Pasal 34: Penyalah Pasal 72 ayat
(3) UU RI.No.19
gunaan komputer
tahun
- Pasal 263, 264, 266 dan 271 KUHP
-Pasal 22
jo. Pasal
50
UU
Telekomunikasi
informasi/dokumen
Elektronik
Harmonisasi kriminalisasi UU ITE sebagaimana dapat dilihat dalam
tabel
di atas, sudah mencakup delik-delik tradisional dalam KUHP dan hukum
positif
yang sudah ada. Meskipun demikian undang-undang positif tersebut
belum
dikatakan
dapat
sudah
memenuhi
unsur
subjektif
maupun
objektif
dalam
penanggulangan
tindak
pidana
teknologi
informasi,
sehingga
penanggulangan
kejahatan dengan hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi
informasi
dan komunikasi memang sudah selayaknya menggunakan hukum khusus
untuk
mengantisipasi berkembangnya kejahatan yang berdampak terhadap
19
ekonomi
dan
yang
lain
yang
semula
bersifat
konvensional
seperti
pengancaman,
pencurian, pencemaran nama baik, pornografi, perjudian, penipuan
hingga
tindak
pidana terorisme kini melalui media internet beberapa jenis tindak pidana
tersebut
mengalami perkembangan karena dapat dilakukan secara on line oleh
individu
maupun kelompok serta tidak mengenal batas wilayah (borderless) serta
waktu
kejadian karena korban dan pelaku sering berada di negara yang berbeda.
ITAC
(Information
Technology
Association
of
Canada)
pada
International Information Industry Congress (IIIC) 2000 Millennium
Congress
di Quebec tanggal 19 September 2000 menyatakan bahwa Cybercrime
is a real and growing threat to economic and social development
around the world. Information technology touches every aspect of
human life and so can electronically enable crime.
Mencermati
hal
tersebut kejahatan
karakter
Cyber crime
memiliki
yang
berbeda dengan tindak pidana umum baik dari segi pelaku, korban,
modus
operandi dan tempat kejadian perkara sehingga butuh penanganan dan
pengaturan
khusus di luar KUHP. Kriminalisasi di dunia maya dengan pengaturan
khusus
diluar KUHP harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai menimbulkan
kesan
refresif yang melanggar prinsip
principle)
berlebihan
(over-criminalization), yang justru mengurangi wibawa hukum.
Forum diskusi cyberspace baik melalui milis, blog,
maupun di
seminar
sosialisasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal
yang
disebut krusial dan sering dikritik adalah Pasal 27 ayat 3 tentang
muatan
pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat 2 tentang muatan
penyebaran
rasa
ke
Mahkamah
Konstitusi
dengan
nomor
perkara
No.14/PUU-VI/2008,
permohonan
yang diajukan oleh ke dua orang wartawan senior tersebut ditolak
oleh
MK.
MK
menyebutkan;
Nama
baik,
martabat,
atau
kehormatan
21
seseorang
adalah
1945.
sistem
hukum perdata belanda yang sampai saat ini masih dianut oleh sistem
hukum
di
badan
hukum. Penegasan dalam pertanggungjawaban pidana terhadap badan
hukum
juga
tentang
ketentuan
pidana,
dalam
Pasal 52
ayat (4)
yang
mengatur
tentang
pertanggungjawaban korporasi. Dengan demikian subjek tindak pidana
(yang
dapat
dipidana)
menurut
UU
ITE
dapat
berupa
orang
perorangan
maupun
korporasi.
Pertanggungjawaban
pidana
terhadap
korporasi
mengenai
ketentuan
terhadap kapan korporasi dikatakan telah melakukan tindak pidana dan siapa
yang dapat dipertanggungjawabkan tidak diatur secara jelas dan khusus
dalam
Undang-
Pasal 52
ayat (4)
memberikan
persyaratan
terhadap
subjek
pertanggungjawaban korporasi untuk dikenakan sanksi pidana adalah
yang
dilakukan oleh korporasi (corporate crime) dan/ atau oleh pengurus dan/
atau
staf
korporasi.
Dapat
dikenakannya
sanksi
tindak
pidana/tindakan
pidana
teknologi
kepada
pengurus
informasi
cukup
sanctions
Article
12
sendiri
yang terlibat dalam cybercrime (that legal persons can be held liable
for
of
pengurus
yang
dapat
dikenakan
sanksi
pidana
dalam
to
exercise
control
within
the
legal
person
tidak
ada
dalam
undang-undang
hak
cipta,
antara
kejahatan
dan
pelanggaran.
Penetapan
KUHP
24
VIII)
KUHP
berlaku
bagi
perbuatan-perbuatan
yang
oleh
ketentuan
jika oleh
perundangundangan
undang-undang
ditentukan lain. Maka apabila aturan umum KUHP itu akan juga
diberlakukan,
seharusnya UU ITE menyebutkan kualifikasi yang jelas dari tindak
pidana
diaturnya,
yang
apakah
merupakan kejahatan
atau pelanggaran.
KUHP
membedakan aturan umum untuk tindak pidana yang berupa
kejahatan
dan
yang
berbeda. Oleh karena itu, setiap tindak pidana yang dirumuskan dalam
UU
ITE
dari
ditetapkannya
kualifikasi
yuridis
ini
adalah
untuk
menjembatani berlakunya aturan umum KUHP terhadap hal-hal yang
tidak
diatur
UU
arti
dimana
pidana
penjara
dikumulasikan
dengan
pidana
denda.
satu
pasal yang sama dengan satu ancaman pidana yang sama dalam
UU
ITE
hendaknya
dipisahkan
karena
pada
hakikatnya
orang
subjek
hukum
dan
terhadap
Sanksi
pidana dalam UU ITE adalah antara pidana penjara dan denda yang
cukup
besar,
apabila
denda tidak dibayar. Ini berarti, berlaku ketentuan umum dalam KUHP
(Pasal
30),
yang
maka adanya
pidana
sangat
besar
dalam
Rp.600.000.000,00-
UU
ITE
yaitu
antara
(enam
tidak
jahat,
terhadap
perbarengan
penyertaan,
(con-cursus),
percobaan,
pengulangan
Convention
on
Cybercrime
mengatur
terhadap
tidak
diaturnya
penyertaan,
peringanan
percobaan
dan
tindak
pidana berarti dalam hal ini berlaku ketentuan umum yakni Bab.I
sampai dengan Bab.VIII
aturan
dalam
KUHP.
Sebagaimana
pemidanaan
dimaklumi,
dalam
KUHP (WvS) tidak hanya ditujukan pada orang yang melakukan tindak
pidana,
tetapi
juga
terhadap
mereka
yang
melakukan
dalam
perbuatan
bentuk
pengulangan
(recidive).
Hanya
permufakatan
saja
di
dalam
KUHP,
jahat
dan recidive tidak diatur dalam Aturan Umum Buku I, tetapi di dalam
Aturan
Khusus (Buku
II
atau
Buku
III).
Pasal 52
UU
ITE
membuat
aturan
dimungkinkannya pidana tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang
berdiri
sendiri
, yaitu:
Pasal 52
27
ayat
(1)
dengan
Pasal 37
ditujukan
terhadap
Komputer
Elektronik
dan/atau
Sistem
serta
ditambah
sepertiga.
(3). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau
Sistem
Elektronik
terbatas
pada
lembaga
pertahanan,
bank
sampai
dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan
pidana
pokok
yang
khusus
kepada
Bab.II Pasal 12 ayat (3)
penjara
KUHP
dalam aturan umum menyatakan: Pidana
selama
dalam
hal
kejahatan
yang pidananya
hakim
mati,
boleh
pidana
pidana
juga
karena
umum
terhadap
pemberatan
pidana
terhadap
pengulangan
sebagaimana
Pasal
12
ayat
dirumusan
(3)
KUHP
tersebut
juga
hendaknya
di
tindak
perbuatan
dalam
Pasal 52;
kesusilaan
eksploitasi
ayat (1)
menyangkut
atau
seksual terhadap anak, ayat (2)
dan/atau
milik Pemerintah
yang
strategis
termasuk
pertahanan,
dan
tidak
bank
terbatas
pada
lembaga
sentral,
ayat
(4)
KUHP,
seharusnya
UU
khusus
di
luar
KUHP
membuat
aturan
khusus/tersendiri
berupa aturan
tersebut.
untuk
pemberatan
Ini
sendiri
belum mengatur masalah ini.
30
BAB III
URGENSl CYBER LAW BAGI INDONESIA
31
komunikasi
yang
terjalin
dalam
sebuah
jaringan
kornputer
32
Systems,
Internet
Relay
Chat,
Usenet,
EmaiI
list,
dan
hukum
untuk
mengatur
aktivitas
tersebut.
Namun,
mengingat
pro
kontra
mengenai
bisa
dan
tidaknya
sistem
hukum
beralasan
bahwa
Internet
yang
layaknya
sebuah
surga
demokrasi (democratic paradise) yang menyajikan wahana bagi adanya lalulintas ide secara bebas dan terbuka tidak boleh dihambat dengan aturan yang
didasarkan atas sistem hukum tradisional yang bertumpu pada batasan-batasan
territorial. Dengan pendirian seperti ini, maka menurut kelompok ini Internet
harus diatur sepenuhnya oleh system hukum baru yang didasarkan atas normanorma
hukum
yang
baru
pula
pada
yang
Internet.
dianggap
Kelemahan
sesuai
utama
dari
itu
sepenuhnya
beroperasi
secara
virtual,
namun
masih
tetap
terutama
disebabkan
oleh
sistem
tidak
Michigan
menjadi
netizens.
Dilema
yang
dihadapi
oleh
hukum
tradisional
dalam
didefinisikan
sebagai
seperangkat
aturan
yang
berkaitan
dengan
36
BAB IV
KESIMPULAN
1. Cyber Law dapat didefinisikan sebagai kumpulan peraturan perundangundangan
yang
mengatur
tentang
berbagai
aktivitas
manusia
di
dari
kata
latin
Kubernan
yang
artinya
menguasai
atau
saat
dimanfaatkan
ini
oleh
perkembangan
seluruh
aspek
teknologi
kehidupan
informasi
manusia.
hampir
Eksistensi
perkembangan
adalah
jelas
bahwa (cyber crime) dapat dilakukan dimana saja, kapan saja serta
berdampak
37
(locus
delicti)
serta
satu
jenis-
yang
teknologi
informasi (TI)
contoh
sebagai
fasilitas.
Contoh-
dari
hak
intelektual,
dan
lain-lain);
pornografi;
pencurian
pemalsuan
dan
kartu
bank;
sebagai
khusus
diluar
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana
(KUHP) yang materi muatannya ada mengatur mengenai tindak pidana
mayantara
(cyber crime) diantarnya adalah Undang-Undang No 36 Tahun 1999
Tentang Telekomunikasi, Undang-Undang No
Tentang Hak Cipta,Undang-Undang
Informasi
Dan
No.11
19 Tahun
Tahun
2008
2002
Tentang
mengatur mengenai
tindak pidana mayantara (cyber crime). Selain peraturan perundangundangan yang telah ada, dalam rancangan Kitab UndangUndang
Hukum Pidana Konsep 2008 juga mengatur megenai kejahatan cyber
crime diatur dalam Buku II bagian ke 5 (lima)
39
http://eprints.undip.ac.id/17599/1/Philemon_Ginting.pdf,
Penanggulangan
Pidana
BisTek Warta Ekonomi No. 24 edisi Juli 2000, Judul : jenis-jenis keajhatan
komputer, halaman.52-54
40
MAKALAH
ETIKA DAN HUKUM
ASPEK-ASPEK DAN PERKEMBANGAN CYBER LAW DI INDONESIA
Disusun oleh :
Juniardi Akhir Putra
(14917144)