dilemahkan.
The Centers for Disease Control (1987b) telah mempertahankan pencatatan sejak
tabun 1971 untuk memantau efek vaksinasi terhadap janin. Sampai tahun 1986,
1.176 wanita yang rentan terhadap infeksi rubela telab diimunisasi dalam waktu 3
bulan sejak pembuahan dan untungnya tidak terdapat bukti yang menunjukkan
bahwa pemberian vaksin tersebut menimbulkan malformasi pada bayi atau janin.
Kasus kasus di mana wanita yang rentan diimunisasi selama kehamilannya
harus dilaporkan ke bagian pencatatan ini (Centers for Disease Control, Atlanta,
Georgia, 404-329-1870).
Diagnosis
Diagnosis rubela kadangkala sulit ditegakkan. Bukan hanya gambaran klinisnya
yang serupa dengan penyakit lain, namun juga kasus-kasus subklinis dengan
viremia dan infeksi pada embrio serta janin tidak tcrdapat. Tidak adanya anti bodi
terhadap rubela menunjukkan defisiensi imunitas. Adanya antibodi menandakan
respon imun terhadap viremia rubela, yang mungkin sudah diperoleh di suatu
tempat sejak beberapa minggu atau bertahun-tahun sebelumnya. Jika antibodi
rubela maternal terlihat pada saat terpapar rubela atau sebelumnya, maka
kekhawatiran ibu bisa diten-teramkan karena kemungkinan janin terkena infeksi
tersebut sangat kecil. Orang yang tidak kebal dan mendapatkan viremia akan
memperlihatkan titer antibodi yang puncaknya terjadi 1 hingga 2 minggu sesudah
dimulainya gejala ruam, atau 2 hingga 3 minggu sesudah onset viremia, mengingat
viremia secara klinis terlihat lebih dabulu sebagai penyakit yang nyata sekitar 1
minggu sebelumnya. Karena itu kecepatan respon antibodi dapat mempersulit
diagnosis, kecuali bila serum sudah diantbil dahulu dalam waktu beberapa hari
sesudah dimulainya gejala ruam. Jika, misalnya, spesimen pertama diambil 10 hari
sesudah ruam, maka deteksi antibodi tidak akan berhasil membedakan antara
kedua kemungkinan ini: (1) bahwa penyakit yang baru saja terjadi benar-benar
rubela; atau (2) bahwa penyakit tersebut bukan rubela, namun orang tersebut
sudah kebal terhadap rubela.
Terlihatnya IgM yang spesifik pada ibu hamil menunjukkan suatu infeksi primer
dalam waktu beberapa bulan.
Tes yang paling sering digunakan adalah HI (hemaglutination inhibition) tes. Pada
tes ini terlihat rubela antibodi menghalangi aglutinasi dari sel darah merah oleh
virus rubela. Pereriksaan ini membutuhkan waktu dan teknik yang kompleks
sehingga digantikan dengan dengan teknik pemeriksaan yang lain. Metode yang
baru berupa ELISA (enzyme linked immunoabsorbent assay), PHA (passive
agglutination), IFA (Immunofluoresence assay), RIA (radioimmunoassay), dan radial
immunodiffusion tes.
Sindrom Rubella Kongenital
Pada rubela seperti halnya pada infeksi virus yang lain, konsep tentang bayi yang
terinfeksi versus bayi yang terjangkit harus dipahami. Rubela merupakan teratogen
yang poten, dan 80 % dari ibu yang mendapatkan infeksi rubela serta ruam dalam
usia kehamilan 12 minggu akan mempunyai janin dengan infeksi kongenital (Miller
dkk., 1982).
Pada kehamilan minggu ke-13 hingga ke-14, insiden ini besarnya 54 persen, dan
pada akhir trimester kedua 25 persen. Dengan semakin tinggi usia kehamilan,
semakin kecil kemungkinan bagi infeksi tersebut untuk menimbulkan kelainan
kongenital. Sebagai contoh, cacat rubela terlihat pada semua bayi yang terbukti
menderita infeksi intrauteri sebelum usia gestasional 11 minggu, namun hanya 35
persen bayi yang terinfeksi pada usia gestasional 13 hingga 16 minggu. Meskipun
tidak terlihat cacat pada 63 anak yang terinfeksi setelah usia gestasional 16
minggu, namun anak-anak tersebut diikuti perkembangannya dalam waktu 2 tahun,
dan extended rubella syndrome dengan panensefalitis progresif dan diabetes tipe 1
mungkin baru terlihat secara klinis setelah usia dua puluh atau tiga pulub tahun.
Kernungkinan sepertiga dari bayi yang asimtomatik pada saat lahir akan
memperlihatkan cedera pertumbuhan tersebut (American College of Obstetricians
and Gynecologists, 1988).
Sindroma rubela kongenital mencakup satu atau lebih abnormnalitas berikut:
1. Kelainan mata, termasuk katarak, glaukoma, mikroftalmia dan berbagai
abnormalitas lainnya
2. Penyakit jantung, termasuk patent ductus arteriosus defek septum jantung dan
stenosis arteri
3. Pulmonalis
4. Cacat pendengaran
5. Cacat sistem saraf pusat termasuk meningoensefalitis
6. Retardasi pertumbuhan janin
7. Trombositopenia dan anemia
8. Hepatosplenomegali dan ikterus
9. Pneumonitis interstisialis difusa kronis
10. Perubahan tulang
11. Abnormalitas kromosom
6. Sitomegalovirus
Sitomegalovirus merupakan organisme yang ada di mana-mana serta pada
hakekatnya menginfeksi sebagian besar manusia, bukti adanya infeksi janin
ditemukan di antara 0,5 2 % dari semua neonatus. Sesudah terjadinya infeksi
primer yang biasanya asimtomatik, 10 % infeksi pada janin menimbulkan
simtomatik saat kelahiran dan 5-25 % meninggalkan sekuele. Pada beberapa
negara infeksi CMV 1 % didapatkan infeksi in utro dan 10-15 % pada masa
prenatal(5) Virus tersebut menjadi laten dan terdapat reaktivasi periodik dengan
pelepasan virus meskipun ada antibodi di dalam serum. Antibodi humoral
diproduksi, namun imunitas yang diperantarai oleh sel tampaknya merupakan
mekanisme primer untuk terjadinya kesembuhan, dan keadaan kekebalan yang
terganggu baik terjadi secara alami maupun akibat pemakaian obat-obatan akan
meningkatkan kecenderungan timbulnya infeksi sitomegalovirus yang serius.
Diperkirakan bahwa berkurangnya surveilans imun yang diperantarai oleh sel,
menyebabkan janin-bayi tersebut berada dalam risiko yang tinggi untuk terjadinya
sekuele pada infeksi ini.
Infeksi Maternal
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kehamilan meningkatkan risiko terjadinya
infeksi sitomegalovirus maternal. Infeksi kebanyakan asimptomatik, tetapi 15 %
mempunyai mononucleosis like syndrome dengan gejala: demam, paringitis,
limpodenopathy, dan polyartritis. Jadi, infeksi primer yang ditularkan kepada janin
pada sekitar 40 persen kasus, lebih sering berkaitan dengan morbiditas parah
(Stagno dkk., 1986). Meskipun infeksi transplasental tidak universal, janin yang
terinfeksi lebih besar kemungkinannya disertai dengan infcksi maternal selama
paruh-pertama kehamilan. Sebagaimana virus herpes lainnya, imunitas maternal
terhadap sitomegalovirus tidak mencegah timbulnya rekurensi (reaktivasi) dan juga
tidak mencegah terjadinya infeksi kongenital. Dalam kenyataannya, mengingat
sebagian besar infeksi selama kehamilan bersifat rekuren, mayoritas neonatus yang
terinfeksi secara kongenital dilahirkan dari wanita-wanita ini. Untungnya, infeksi
kongenital yang terjadi akibat infeksi rekuren lebih jarang disertai dengan sekuele
yang terlihat secara klinis dari pada infeksi kongenital yang disebabkan oleh infcksi
primer.
Infeksi Kongenital
Infeksi sitomegalovirus kongenital yang disebut penyakit inklusi sitomegalik,
menimbulkan suatu sindrom yang mencakup berat badan lahir rendah,
mikrosefalus, kalsifikasi intrakranial, korioretinitis, retardasi mental serta motorik,
gangguan sensorineural, hepatosplenomegali, ikterus, anemia hemolitik dan
purpura trombositopenik. Angka mortalitas di antara bayi yang terinfeksi secara
kongenital ini dapat mencapai 20 30 %, dan lebih 90 % bayi yang berhasil hidup
ternyata mendcrita retardasi mental, gangguan pendengaran, gangguan
perkembangan psikoniotorik, epilepsy atau pun gangguan sistern saraf pusat
lainnya (Pass dkk., 1980).
Diagnosis
Prenatal diagnosis efek infeksi pada janin dapat deteksi dengan USG dan Magnetic
Resonace Imaging dengan ditemukan mikrosephal, vetriculomegali dan serebral
kalsifikasi.. Gold standar diagnosis infeksi CMV adalah kutur virus. Diagnosis infeksi
primer dibuat berdasarkan peningkatan titer IgG sebesar empat kali lipat pada
serum, baik dalam keadaan akut maupun konvalesensi yang diukur sekaligus, atau
dibuat dengan mendeteksi antibodi 1gM terhadap sitomegalovirus di dalam serum
maternal. Sayangnya, tidak satupun di antara kedua metode ini yang benar-benar
akurat dalam memastikan infeksi maternal. Celakanya tidak ada metode yang
handal untuk memeriksa efek dari infeksi janin tersebut, termasuk pemeriksaan
sonografi atau kultur cairan amnion untuk menemukan sitomegalovirus.
USG dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi CMV tetapi terbatas dimana janin
sudah mengalami gejala yang berat
7. Streptokokus grup B
Group Streptoccocus B (GBS) adalah penyebab dari infeksi kongenital yang bInfeksi
rat pada neonatus pada setiap 1000 kelahiran hidup atau 12.000 sampai 15.000
bayi setiap tahunnya di Amerika. Ini menjadi penyebab korioamnionitis, post partum
endometritis dan sepsis pada ibu serta penyebab terpenting terjadinya asfiksia intra
uterine.(5)