Anda di halaman 1dari 8

INFEKSI DALAM KEHAMILAN

Secara umum infeksi dalam kehamilan berdasarkan penyebabnya dikelompokan


menjadi tiga penyebab, yaitu :
1. Infeksi Virus ; meliputi varisella zooster, influenza, parotitis, rubeola, virus
pernafasan, enterovirus, parfovirus, rubella, sitomegalovirus.
2. Infeksi bakteri ; meliputi Streptokokus grup A, Streptokokus grup B, Listeriosis,
Salmonella, Shigella, Mourbus Hansen.
3. Infeksi protozoa; meliputi Toksoplasmosis, Amubiasis, amubiasis, infeksi jamur.
1.Varicella zooster
Walaupun masih diperdebatkan, terdapat bukti bahwa infeksi vaeisella bertambah
parah selama kehamilan. Paryani dan Arvin (1986) melaporkan bahwa 4 dari 43
wanita hamil yang terinfeksi atau sekitar 10%, mengalami pneumonitis. Dua dari
wanita ini memerlukan ventilator dan satu meninggal. Infeksi herpes zooster pada
ibu hamil lebih sering terjadi pada pasien yang lebih tua atau mengalami gangguan
kekebalan (immunocompromised).
Pencegahan
Pemberian imunoglobulin varisela-zooster (VZIG) akan mencegah atau
memperlemah infeksi varisella pada orang rentan yang terpajan apabila diberikan
dalam 96 jam dengan dosis 125 U per 10 kg, i.m.
Efek pada janin
Cacar air pada wanita hamil selama paruh pertama gestasi dapat menyebabkan
malformasi kongenital akibat infeksi transplasenta, berupa korioretinitis, atrofi
korteks serebri, hidronefrosis dan defek kulit serta tulang tungkai.
Resiko tertinggi terletak pada usia gestasi antara 13 dan 20 minggu. Pajanan pada
usia kehamilan yang lebih belakangan menyebabkan lesi varisella kongenital, dan
bayi kadang-kadang mengalami herpes zooster pada usia beberapa bulan (Chiang
dkk, 1995). Janin yang terpajan virus tepat sebelum dan saat persalinan ketika
antibodi ibu belum terbentuk, mengalami ancaman serius, bayi akan mengalami
infeksi viseral dan susunan syaraf pusat diseminata, yang sering kali mematikan.
2.Influenza
Penyakit ini disebabkan oleh virus dari famili Orthomyxoviridae, meliputi influenza
tipe A dan tipe B. Influenza A lebih serius dari pada B. Penyakit ini tidak mengancam
nyawa bagi orang dewasa sehat, kecuali apabila timbul pneumonia, prognosis
menjadi serius. Haris (1919) melaporkan angka kematian kasar ibu hamil sebesar
27 %, yang meningkat menjadi 50% apabila terjadi pneumonia.
Pencegahan
Center for Disease Control and Prevention(1998) menganjurkan vaksinasi terhadap
influenza bagi semua wanita hamil setelah trimester pertama. Berapa pun usia
gestasi, wanita dengan penyakit medis kronik, misalnya dibetes atau jantung,
divaksinasi. Amantadin berespon baik dan spesifik terhadap virus-virus influenza A
apabila diberikan dalam 48 jam setelah awitan gejala.
Efek pada janin
Belum ada bukti kuat bahwa virus influenza A menyebabkan malformasi kongenital

atau kelainan pada bayi.


3.Parotitis
Parotitis adalah penyakit infeksi pada orang dewasa yang jarang dijumpai yang
disebabkan oleh paramiksovirus RNA. Virus terutama menginfeksi kelenjar liur,
tetapi juga dapat mengenai gonad, meningen, pankreas dan organ lain. Parotitis
selama kehamilan tidak lebi parah dibanding pada orang dewasa tidak hamil dan
tidak terdapat bukti bahwa virus bersifat teratogenik (Ouhilal, 2000). Vaksin JerylLynn (virus hidup yang dilemahkan) dan vaksin MMR kontraindikasi bagi wanit haml.
Efek pada janin
Tidak ada bukti kuat bahwa infeksi parotitis meningkatkan angka kematian janin
maupun anomali mayor pada janin. Parotitis kongenital sangat jarang dijumpai.
4.Rubeola (campak)
Virus tampaknya tidak bersifat teratogenik, tetapi terjadi peningkatan frekuensi
abortus dan BBLR pada kehamilan dengan penyulit campak (Siegel dan Fuerst,
1966). Apabila seorang wanita menderita campak sesaat sebelum melahirkan ,
timbul resiko infeksi serius yang cukup besar pada neonatus, terutama pada bayi
preterm. Imunisasi pasif dapat dicapai dengan pemberian globulin serum imun 5 ml
i.m dalam 3 hari setelah terpajan. Vaksinasi aktif tidak diberikan selama kehamilan,
tetapi wanita yang rentan secara rutin divaksinasi postpartum.
5.Rubella
Rubela atau campak Jerman, yaitu suatu penyakit yang biasanya tidak begitu
penting pada keadaan tidak hamil,pernah menjadi penyebab langsung hasil-akhir
kehamilan yang jelek dan bahkan lebih serius lagi, penyebab malformasi kongenital
berat. Hubungan antara rubela maternal dan malformasi kongenital serius,
pertama-tama dikenali oleh Gregg (1942), seorang ahli oftalmologi Australia.
Pencegahan
Untuk memberantas penyakit infeksi ini sama sekali, pendekatan berikut dianjurkan
untuk mengimunisasikan populasi dewasa, khususnya populasi wanita usia
reproduktif:
Pendidikan bagi para petugas pelayanan kesehatan dan masyarakat luas
mengenai bahaya infeksi rubella.
Vaksinasi bagi para ibu yang rentan sebagai bagian dari perawatan medis dan
obstetrik rutin
Vaksinasi bagi semua wanita yang datang ke klinik keluarga berencana
Pengenalan dan vaksinasi bagi wanita yang belum memiliki kekebalan sesudah
melahirkan bayi atau mengalami abortus
Vaksinasi bagi wanita yang tidak hamil dan mempunyai kerentanan yang
diketahui lewat pemeriksaan serologi sebelum perkawinan
Jaminan imunitas bagi semua petugas rumab sakit yang dapat terpapar pasien
rubela
atau yang mengalami kontak dengan ibu hamil
Vaksinasi rubela dianjurkan agar tidak dilakukan sesaat sebelum kehamilan atau
pada saat kehamilan, mengingat vaksin tersebut merupakan virus hidup yang

dilemahkan.
The Centers for Disease Control (1987b) telah mempertahankan pencatatan sejak
tabun 1971 untuk memantau efek vaksinasi terhadap janin. Sampai tahun 1986,
1.176 wanita yang rentan terhadap infeksi rubela telab diimunisasi dalam waktu 3
bulan sejak pembuahan dan untungnya tidak terdapat bukti yang menunjukkan
bahwa pemberian vaksin tersebut menimbulkan malformasi pada bayi atau janin.
Kasus kasus di mana wanita yang rentan diimunisasi selama kehamilannya
harus dilaporkan ke bagian pencatatan ini (Centers for Disease Control, Atlanta,
Georgia, 404-329-1870).
Diagnosis
Diagnosis rubela kadangkala sulit ditegakkan. Bukan hanya gambaran klinisnya
yang serupa dengan penyakit lain, namun juga kasus-kasus subklinis dengan
viremia dan infeksi pada embrio serta janin tidak tcrdapat. Tidak adanya anti bodi
terhadap rubela menunjukkan defisiensi imunitas. Adanya antibodi menandakan
respon imun terhadap viremia rubela, yang mungkin sudah diperoleh di suatu
tempat sejak beberapa minggu atau bertahun-tahun sebelumnya. Jika antibodi
rubela maternal terlihat pada saat terpapar rubela atau sebelumnya, maka
kekhawatiran ibu bisa diten-teramkan karena kemungkinan janin terkena infeksi
tersebut sangat kecil. Orang yang tidak kebal dan mendapatkan viremia akan
memperlihatkan titer antibodi yang puncaknya terjadi 1 hingga 2 minggu sesudah
dimulainya gejala ruam, atau 2 hingga 3 minggu sesudah onset viremia, mengingat
viremia secara klinis terlihat lebih dabulu sebagai penyakit yang nyata sekitar 1
minggu sebelumnya. Karena itu kecepatan respon antibodi dapat mempersulit
diagnosis, kecuali bila serum sudah diantbil dahulu dalam waktu beberapa hari
sesudah dimulainya gejala ruam. Jika, misalnya, spesimen pertama diambil 10 hari
sesudah ruam, maka deteksi antibodi tidak akan berhasil membedakan antara
kedua kemungkinan ini: (1) bahwa penyakit yang baru saja terjadi benar-benar
rubela; atau (2) bahwa penyakit tersebut bukan rubela, namun orang tersebut
sudah kebal terhadap rubela.
Terlihatnya IgM yang spesifik pada ibu hamil menunjukkan suatu infeksi primer
dalam waktu beberapa bulan.
Tes yang paling sering digunakan adalah HI (hemaglutination inhibition) tes. Pada
tes ini terlihat rubela antibodi menghalangi aglutinasi dari sel darah merah oleh
virus rubela. Pereriksaan ini membutuhkan waktu dan teknik yang kompleks
sehingga digantikan dengan dengan teknik pemeriksaan yang lain. Metode yang
baru berupa ELISA (enzyme linked immunoabsorbent assay), PHA (passive
agglutination), IFA (Immunofluoresence assay), RIA (radioimmunoassay), dan radial
immunodiffusion tes.
Sindrom Rubella Kongenital
Pada rubela seperti halnya pada infeksi virus yang lain, konsep tentang bayi yang
terinfeksi versus bayi yang terjangkit harus dipahami. Rubela merupakan teratogen
yang poten, dan 80 % dari ibu yang mendapatkan infeksi rubela serta ruam dalam
usia kehamilan 12 minggu akan mempunyai janin dengan infeksi kongenital (Miller
dkk., 1982).

Pada kehamilan minggu ke-13 hingga ke-14, insiden ini besarnya 54 persen, dan
pada akhir trimester kedua 25 persen. Dengan semakin tinggi usia kehamilan,
semakin kecil kemungkinan bagi infeksi tersebut untuk menimbulkan kelainan
kongenital. Sebagai contoh, cacat rubela terlihat pada semua bayi yang terbukti
menderita infeksi intrauteri sebelum usia gestasional 11 minggu, namun hanya 35
persen bayi yang terinfeksi pada usia gestasional 13 hingga 16 minggu. Meskipun
tidak terlihat cacat pada 63 anak yang terinfeksi setelah usia gestasional 16
minggu, namun anak-anak tersebut diikuti perkembangannya dalam waktu 2 tahun,
dan extended rubella syndrome dengan panensefalitis progresif dan diabetes tipe 1
mungkin baru terlihat secara klinis setelah usia dua puluh atau tiga pulub tahun.
Kernungkinan sepertiga dari bayi yang asimtomatik pada saat lahir akan
memperlihatkan cedera pertumbuhan tersebut (American College of Obstetricians
and Gynecologists, 1988).
Sindroma rubela kongenital mencakup satu atau lebih abnormnalitas berikut:
1. Kelainan mata, termasuk katarak, glaukoma, mikroftalmia dan berbagai
abnormalitas lainnya
2. Penyakit jantung, termasuk patent ductus arteriosus defek septum jantung dan
stenosis arteri
3. Pulmonalis
4. Cacat pendengaran
5. Cacat sistem saraf pusat termasuk meningoensefalitis
6. Retardasi pertumbuhan janin
7. Trombositopenia dan anemia
8. Hepatosplenomegali dan ikterus
9. Pneumonitis interstisialis difusa kronis
10. Perubahan tulang
11. Abnormalitas kromosom
6. Sitomegalovirus
Sitomegalovirus merupakan organisme yang ada di mana-mana serta pada
hakekatnya menginfeksi sebagian besar manusia, bukti adanya infeksi janin
ditemukan di antara 0,5 2 % dari semua neonatus. Sesudah terjadinya infeksi
primer yang biasanya asimtomatik, 10 % infeksi pada janin menimbulkan
simtomatik saat kelahiran dan 5-25 % meninggalkan sekuele. Pada beberapa
negara infeksi CMV 1 % didapatkan infeksi in utro dan 10-15 % pada masa
prenatal(5) Virus tersebut menjadi laten dan terdapat reaktivasi periodik dengan
pelepasan virus meskipun ada antibodi di dalam serum. Antibodi humoral
diproduksi, namun imunitas yang diperantarai oleh sel tampaknya merupakan
mekanisme primer untuk terjadinya kesembuhan, dan keadaan kekebalan yang
terganggu baik terjadi secara alami maupun akibat pemakaian obat-obatan akan
meningkatkan kecenderungan timbulnya infeksi sitomegalovirus yang serius.
Diperkirakan bahwa berkurangnya surveilans imun yang diperantarai oleh sel,
menyebabkan janin-bayi tersebut berada dalam risiko yang tinggi untuk terjadinya
sekuele pada infeksi ini.
Infeksi Maternal

Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kehamilan meningkatkan risiko terjadinya
infeksi sitomegalovirus maternal. Infeksi kebanyakan asimptomatik, tetapi 15 %
mempunyai mononucleosis like syndrome dengan gejala: demam, paringitis,
limpodenopathy, dan polyartritis. Jadi, infeksi primer yang ditularkan kepada janin
pada sekitar 40 persen kasus, lebih sering berkaitan dengan morbiditas parah
(Stagno dkk., 1986). Meskipun infeksi transplasental tidak universal, janin yang
terinfeksi lebih besar kemungkinannya disertai dengan infcksi maternal selama
paruh-pertama kehamilan. Sebagaimana virus herpes lainnya, imunitas maternal
terhadap sitomegalovirus tidak mencegah timbulnya rekurensi (reaktivasi) dan juga
tidak mencegah terjadinya infeksi kongenital. Dalam kenyataannya, mengingat
sebagian besar infeksi selama kehamilan bersifat rekuren, mayoritas neonatus yang
terinfeksi secara kongenital dilahirkan dari wanita-wanita ini. Untungnya, infeksi
kongenital yang terjadi akibat infeksi rekuren lebih jarang disertai dengan sekuele
yang terlihat secara klinis dari pada infeksi kongenital yang disebabkan oleh infcksi
primer.
Infeksi Kongenital
Infeksi sitomegalovirus kongenital yang disebut penyakit inklusi sitomegalik,
menimbulkan suatu sindrom yang mencakup berat badan lahir rendah,
mikrosefalus, kalsifikasi intrakranial, korioretinitis, retardasi mental serta motorik,
gangguan sensorineural, hepatosplenomegali, ikterus, anemia hemolitik dan
purpura trombositopenik. Angka mortalitas di antara bayi yang terinfeksi secara
kongenital ini dapat mencapai 20 30 %, dan lebih 90 % bayi yang berhasil hidup
ternyata mendcrita retardasi mental, gangguan pendengaran, gangguan
perkembangan psikoniotorik, epilepsy atau pun gangguan sistern saraf pusat
lainnya (Pass dkk., 1980).
Diagnosis
Prenatal diagnosis efek infeksi pada janin dapat deteksi dengan USG dan Magnetic
Resonace Imaging dengan ditemukan mikrosephal, vetriculomegali dan serebral
kalsifikasi.. Gold standar diagnosis infeksi CMV adalah kutur virus. Diagnosis infeksi
primer dibuat berdasarkan peningkatan titer IgG sebesar empat kali lipat pada
serum, baik dalam keadaan akut maupun konvalesensi yang diukur sekaligus, atau
dibuat dengan mendeteksi antibodi 1gM terhadap sitomegalovirus di dalam serum
maternal. Sayangnya, tidak satupun di antara kedua metode ini yang benar-benar
akurat dalam memastikan infeksi maternal. Celakanya tidak ada metode yang
handal untuk memeriksa efek dari infeksi janin tersebut, termasuk pemeriksaan
sonografi atau kultur cairan amnion untuk menemukan sitomegalovirus.
USG dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi CMV tetapi terbatas dimana janin
sudah mengalami gejala yang berat
7. Streptokokus grup B
Group Streptoccocus B (GBS) adalah penyebab dari infeksi kongenital yang bInfeksi
rat pada neonatus pada setiap 1000 kelahiran hidup atau 12.000 sampai 15.000
bayi setiap tahunnya di Amerika. Ini menjadi penyebab korioamnionitis, post partum
endometritis dan sepsis pada ibu serta penyebab terpenting terjadinya asfiksia intra
uterine.(5)

Dalam tahun 1970-an, infeksi streptokokus grup B pada neonatus mengalami


peningkatan luar biasa, tetapi kemudian pada banyak rumah sakit terjadi
penurunan frekuensi infeksi tersebut. Penyebab terjadinya peningkatan yang
mencolok atau penurunan berikutnya tidak dengan jelas. Transmisi intrapartum
streptokokus grup B dari traktus genitalis maternal dengan kolonisasi kuman
tersebut kepada janin, dapat menimbulkan sepsis berat pads bayi segera sesudah
dilahirkan. Tergantung pada populasi yang diteliti, sebanyak 10 hingga 40 persen
ibu data stadium kehamilan lanjut mengalami kolonisasi streptokokus grup B dalam
traktus genitalis bagian distal, dan separuh dari bayi yang baru dilahirkan akan
terkena infeksi ini serta mengalami kolonisasi kuman tersebut. Antibodi yang
ditransmisikan dari ibu akan melindungi kebanyakan bayi ini; tetapi, 1 hingga 2
persen dari bayi tersebut akan menderita kelainan secara klinis. Bayi-bayi prematur
atau dengan berat badan lahir yang rendah merupakan bayi yang menghadapi
risiko paling tinggi, namun lebih separuh dari kasus-kasus sepsis streptokokus
neonatal ternyata berupa neonatus yang aterm. Bagi bayi yang mengalami infeksi
ini, angka mortalitasnya mendekati 25 persen.
Pada septikemia akibat streptokokus grup B yang menandai penyakit dengan onset
dini, tanda-tanda sakit yang serius biasanya terjadi dalam waktu 48 jam sesudah
bayi lahir. Yang khas, selaput ketuban sudah pecah beberapa saat sebelum
persalinan, atau persalinan tersebut terjadi sebelum waktunya. Bayi dengan berat
badan lahir yang rendah menghadapi kemungkinan lcbih besar untuk menderita
infeksi klinis serius. Tanda-tanda infeksi dengan onset dini mencakup gawat
pernafasan, apnea dan syok.
Karena itu, dari awal dokter harus sudah dapat membedakan antara kelainan akibat
gawat pernafasan idiopatik dan takipnea sepintas pada neonatus. Pengobatan
segera dengan pemberian antibiotik di saroping penanganan masalah
respirasinya, harus dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi.
Angka mortalitas pada penyakit dengan onset yang dini bervariasi dari 30 hingga
90 persen, dan prognosis untuk bayi prematur lebih buruk Penyakit dengan onset
lanjut biasanya terlihat sehagai meningitis yang timbul sate minggu atau lebih
sesudah lahir. Meskipun serotipe pada penyakit dengan onset dini bervariasi
antara bayi yang satu dengan lainnya, nantun mikroorganisme yang paling sering
ditemukan dalam tubuh bayi adalah mikroorganisme yang sama seperti yang
tcrdapat di dalam vagina ibu. Kendati demikian, kasus-kasus meningitis paling
sering discbabkan oleh mikroorganisme serotipe III. Angka mortalitasnya, meskipun
cukup tinggi, lebih rendah pada meningitis dengan onset lanjut dari pada sepsis
dengan onset dini.
Diagnosis
Diagnosis yang terbaik adalah dengan kolonisasi antepartum dari kolonisasi ibu
yang diambil dari sepertiga bawah vagina dan daerah anorektal untuk dilakukan
kultur, yang tidak adekuat untuk intrapartum skrenning.
Pada pasien yang sedang bersalin diagnosis cepat dengan melakukan sediaan
hapus dari vagina. Karena sensitifitasnya yang rendah maka tes deteksi GBS ini
hanya dilakukan pada pada pasien dengan resiko tinggi adanya sepsis neonatus

dan memerlukan pengobatan segera.


8. Listeriosis
Organisme ini adalah gram positip dimana 1 sampai 5 persen dari dewasa memiliki
lesteria yang ditemukan di feses. Transmisi ditemukan dari makanan yang
terkontaminasi atau susu yang busuk. Sering ditemukan pada penderita usia mudatua, wanita hamil, penderita dengan daya tahan yang turun. Pada wanita hamil
hanya berupa asimtomatik seperti panas badan influenza. Wanita dengan listeriosis
dapat menyebabkan fetal infeksi yang terlihat beruapa disseminated
granulomatous lesion. Pada bayi kemungkinan untuk terkena infeksi ini sebesar 50
persen. manifestasi pada bayi setelah tiga atau empat minggu setelah lahir. Infeksi
ini serupa dengan dengan yang disebabkan oleh grup B haemolytic.streptococcus.
9. Morbus Hansen
Penyakit lepra (kusta) ditularkan oleh penderita lepra setelah hubungan erat dan
lama. Biasanya penularan terjadi dalam masa kanak-kanak, akan tetapi mas
latennya sangat lama , masa inkubasinya bervariasi dari beberapa bulan sampai
beberapa tahun.
Infeksi laten menjadi nyata atau penyakitnya menjadi lebih jelas oleh faktor-faktor
yang menjadi daya tahan penderita, seperti purbertas , kehamilan, dan 6 bulan
pertama setelah kelahiran , karena itu penderita sebaiknya tidak menjadi hamil.
Dalam penanganan lepra dalam kehamilan yang penting ialah pencegahan anak
terhadap infeksi.
Mycobacterium dapat dijumpai dalam plasenta dan tali pusat. Walaupun demikian,
seperti halnya dengan tuberculosis, infeksi kongenital sangat jarang. Duncan
(1980), melaporkan dalam penelitiannya terhadap penderita lepra yang hamil,
bahwa bayi yang dilahirkan lebih sering mengalami pertumbuhan janin yang
terhambat dan plasentanyapun berukuran lebih kecil dari normal.Pertumbuhan dan
perkembangan anak tersebut mengalami keterlambatan pula. Keadaan ini mungkin
disebabkan oleh status imunitas yang rendah pada ibu. Bila seorang ibu mengalami
infeksi lepra, pemisahan anak-anak dari ibunya sejak kelahiran sangat dianjurkan,
sampai ibunya sembuh benar. Apabila tidak, maka 25 % kemungkinan anaknya
menderita lepra.
Pengobatan memerlukan waktu yang sangat lama (sampai beberapa tahun).
Sekarang diberikan dengan obat-obat sulfa (diaminodietilsulfon), juga dalam
kehamilan. Berdasarkan penelitian diketahui pula bahwa ibu yang menderita lepra
dan mendapat poengobatan sulfa, dapat kontak dengan bayinya pada saat
menyusui saja. Dengan cara ini penularan tidak akan terjadi.
10. Toksoplasmosis
Toksoplasmosis merupakan infeksi protozoa yang disebabkan oleh Toxoplasma
gondii. Infeksi ditularkan lewat organisme berkista dengan memakan daging
mentah atau kurang matang, dan terinfeksi protozoa tersebut atau lewat kontak
dengan kotoran kucing yang terinfeksi, atau infeksi ini dapat terjadi secara
kongenital melalui penularan transplasenta.
Patogenesis
Imunitas maternal tampaknya memberikan perlindungan terhadap penularan

transplasental parasit tersebut; dengan demikian, agar terjadi toksoplasmosis


kongenital, ibu harus mendapatkan infeksi tersebut selama kehamilannya. Sekitar
sepertiga dari para wanita di Amerika Serikat, mendapatkan antibodi pelindung
sebelum hamil dan kadar antibodi ini lebih tinggi di antara wanita yang memelihara
kucing sebagai binatang kesayangan.
Keluhan mudah lelab, nyeri otot dan kadangkala limfadenopati ditemukan pada ibu
yang terinfeksi, namun infeksi maternal tersebut paling sering terjadi secara
subklinis. Infeksi pada kehamilan dapat mcnyebabkan abortus atau
mengakibatkan bayi lahir-hidup dengan gejala penyakit tersebut. Risiko terjadinya
infeksi meningkat menurut lamanya kehamilan dan kurang-lebih 15,30 serta 60
persen dalam trimester pertama, kedua dan ketiga (Remington dan Desmonts,
1983).
Virulensi infeksi janin lebih besar kalau infeksi maternal didapat secara awal dalam
kehamilan-untungnya keadaan ini jarang terjadi. Kurang dari sepuluh persen
neonatus dengan toksoplasmosis kongenital memperlihatkan tanda tanda sakit
secara klinis pada scat lahir. Bayi yang terkena biasanya mcmperlihatkan tandatanda penyakit yang menyeluruh dengan berat badan lahir rendah,
hepatosplenomegali, ikterus dan anemia. Sebagian bayi terutama menderita
penyakit neurologi dengan konvulsi, kalsifikasi intrakranial dan hidrosefalus atau
mikrosefalus. Kedua kelompok bayi tersebut pada akhirnya akan mengalami
korioretinitis.
Diagnosis
Tes yang paling membantu untuk menegakkan diagnosis ini adalah Sabin- fieldman
dye tes dan IgM- IFA ( IgM indirect fluorosence antibody tes).
Sabin- fieldman tes ini dilakukan pada akut infeksi frekuensi 2 bulan untuk
mencapai kadar maksimum yaitu lebih dari 300 IU/ml atau bahkan lebih dari 3000
IU/ml. Titer yang tinggi didapatkan untuk beberapa bulan atau tahun. Titer yang
rendah didapatkan sepanjang hidup.
Pedoman untuk interpretasi adalah:
1. Bila dye tes ini negatip tidak imun dan resiko pada kehamilaya.
2. Bila dye tes positip perlu dilakukan segera tes IgM- IFA dan bila Tes IgM- IFA
hasilnya negatip, pasen sudah terinfeksi sebelum masa kehamilan.
3. Jika dye tes dibawah 300 IU/ml dan IgM-IFA positip, dye tes harus diulang 3
minggu kemudian. Jika ada peningkatan titer artinya pasen terinfeksi dua bilan
sebelumnya dan kemungkinan terjadinya infeksi kongenital.
4. Jika dye tes diatas 300 IU/ml dan IgM- IFA positip kemungkinan besar ibu
menderita toksoplasma aktif dan janin kemungkinan terinfeksi.
Infeksi kongenital didiagnosa dari :
1. Didapatkan toksoplasma dari cairan amnion dan darah janin.
2. Ditemukan IgM antibodi spesifik dan gamma glutamiltransferase dalam darah
bayi setelah 22 miinggu

Anda mungkin juga menyukai