Anda di halaman 1dari 17

YURISDIKSI NOMENKLATUR PERAWAT ANESTESI MENJADI

PENATA ANESTESI DALAM HUKUM DI INDONESIA.


EDISI REVISI 2
Oleh, H. Mustopa, S.Kep.,S.H.,M.H.Kes

Curriculum Vitae Penyusun

Nama Lengkap : H. MUSTOPA, S.Kep.,S.H.,MH.Kes

1. SDN 3 Bagelen G. Tataan Kab.Pesawaran. Lampung


2. SMPN G. Tataan Kab.Pesawaran. Lampung
3. SPK Tanjung Karang Bandar Lampung
4. D3 Akper Anestesi Depkes RI Jakarta
5. S1 Keperawatan STIKES Umitra Lampung.
6. S1 Ilmu Hukum UNISAB Bandar Lampung
7. S2 Ilmu Hukum UNIKA Soegijapranata Semarang
8. Ketua Bidang Hukum Dan Organisasi DPP IPAI Pusat Jakarta
9. PKPA PERADI DPP IKADIN & Faizal Hafied & Partner Education of Law Jakarta
10. UPA PERADI 2016
11. Pelatihan Mediator PMN Jakarta
12. Pelatihan Publich Speaking Haryanto Kandani Jakarta
13. Team Advokasi Pada LBH Pringkuning Pringsewu Lampung
14. Pengisi Materi Dalam Kongres Nasinal Masyarakat Hukum Kesehatan Ke III
di Semarang Jawa Tengah
15. Anggota Bandung Lawyer Club Indonesia (BLCI) Bandung
16. Pemateri hukum kesehatan
17. Penulis lepas pada Surat Kabar Harian Umum Media Pringsewu lampung
18. Diklat Nasional Advokat dan Paralegal LEMBAKUMNAS Depok Jawa Barat
19. Ketua Komite Etik dan Hukum RSUD Pringsewu
20. Direktur LEMBAKUMNAS HUKUM KESEHATAN PUSAT Depok Jawa Barat

1
Pengantar

Sudah sama – sama kita ketahui dan pahami bersama sebagai rakyat dan warga
negara Indonesia yang menjunjung tinggi Konstitusi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yaitu Undang – Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD
1945) melalui Pasal 1 ayat (3) tertulis dengan tegas dan jelas bahwa “Negara
Indonesia berdasarkan Hukum”. Hal ini berarti bahwa penegakan hukum dan
kepastian hukum harus berdasarkan kepada peraturan perundang – undangan.
Gagasan negara hukum menuntut agar penyelenggara urusan kenegaraan dan
pemerintah harus di dasarkan kepada undang – undang dan memberikan jaminan
terhadap hak – hak rakyat.

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar
dalam penyelenggaraab pemerintah dan kenegaraan di setiap negara hukum
terutama bagi negara – negara hukum dalam sistem Kontinental sperti Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Asas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan
pemerintah dan jaminan perlindungan jaminan dari hak – hak rakyat. Pemerapan
asas legalitas menurut Indroharto, akan menunjang kepastian hukum dan
kesamaan perlakuan. Kesamaan perlakuan terjadi karena setiap orang yang
berada dalam situasi seperti yang di tentukan dalam ketentuan undang – undang itu
berhak dan berkewajiban untuk berbuat seperti apa yang di tentukan dalam undang –
undang tersebut. Sedangkan kepastian hukum akan terjadi karena suatu peraturan
itu dapat di ramalkan atau di pikirkan lebih dahulu, dengan melihat kepada peraturan
– peraturan yang berlaku. Asas legalitas dimaksudkan untuk memberikan jaminan
kedudukan hukum warga negara terhadap pemerintah.

Penegakan hukum adalah proses pemungsian norma-norma hukum secara nyata


sebagai pedoman perilaku atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hukum secara hakiki harus pasti dan adil.
Pasti sebagai pedoman kelakuan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus
menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan
dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. kepastian hukum
merupakan kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau

2
tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Dengan demikian, menurut sudikno
mertokusuno Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah
dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang
berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaanya
dengan suatu sanksi.

Isu Terkini

Saat ini sangat santer berkembang di berbagai media sosial bahkan secara masif
dan tersetruktur perihal Pelatihan tentang tenaga kesehatan anestesi yang telah
diadakan oleh pihak – pihak tertentu yang bukan menjadi domainnya untuk itu, baik
di rumah sakit swasta maupun di rumah sakit milik tentara (militer). Menurut penulis,
Suatu keanehan pihak berwenang dalam hal ini Kementerian Kesehatan sebagai
pejabat eksekutif dibawah Pemerintahan Bapak Presiden Ir.H.Joko Widodo seakan –
akan membiarkan hal tersebut terjadi. Sehingga kewenangan tenaga kesehatan di
Negeri ini menjadi tumpang tindih, dan mayarakat baik masyarakat di bidang
kesehatan maaupun masyarakat pada umumnya yang awam dalam bidang
kesehatan seolah – olah hal tersebut menjadi sesuatu yang Legal. Padahal sangat
jelas bertentantangan secara hukum materiil di Indonesia sebagaimana di atur dalam
UU RI No. 36 tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan Pasal 26 Ayat Junto Pasal 46
ayat (7) junto pasal 62 ayat (3) junto pasal 65 ayat (4) Jo UU RI Nomor 44 tahun
2009 tentang Rumah Sakit pasal 13 ayat (2) Jo UU RI Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan pasal 23 ayat (2).

Pengadaan pelatihan – pelatihan tersebut dilakukan oleh yang menamakan suatu


perkumpulan bernama Himpunan Perawat Anestesi Indonesia yang di singkat
HIPANI yang di motori oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia yang di singkat
PPNI. Menurut Organisasi profesi PPNI hal tersebut merupakan suatu “SEMINAT”
dari organisasi profesi tersebut legal/sah secara hukum di indonesia. Perlu di
mengerti serta di pahami bersama sebagai anak - anak bangsa yang menjunjung
tinggi hukum sebagai amanah dari konstitusi di NKRI yaitu UUD 1945, berbicara
tentang hukum di Indonesia baik dalam peraturan perundang – undangan dan dalam

3
kamus besar bahasa indonesia yang menjadi referensi kita dalam mengartikan
sebuah kalimat tidak diketemukan apa yang di maksud dengan “Seminat”.

Menurut penulis, dalam mengartikan sebuah kalimat “Seminat” tentunya kita wajib
hukumnya mengacu kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBHI) atau kamus
hukum untuk di jadikan referensi dalam penulisan hukum. Didalam KBBHI edisi
keempat Departemen Pendidikan Nasional tahun 2008 bahwa arti kata dari kata –
kata “SEMINAT” tidak terdapat dalam kamus – kamus tersebut, yang penulis
ketemukan bahwa yang ada hanya kata – kata : “ Minat “ (kecenderungan hati yang
tinggi; keinginan) “meminati” menaruh minat; memperhatikan; menginginkan)
““peminatan” (orang yang menaruh minat pada sesuatu) dan “berminat
“(mempunyai minat cenderung hati kepada; ingin (akan). Dengan demikian HIPANI
yang mengatakan bahwa Seminat dari PPNI hanyalah anggan – angan (pepesan
kosong) yang ingin menjadi Perawat Anestesi. Padahal sudah sangat jelas secara
yuridis dan de fakto perawat anestesi telah di kubur dan di suntik mati (death
Injection) dengan telah di lahirkannya UU RI No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan Junto Permenkes RI No. 18 tahun 2016 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Penata Anestesi. Dalam UU RI Nomor 36 tahun 2014
tentang Tenaga Kesehatan Pasal 31 Ayat (2) mengatakan bahwa “Pelatihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi program pelatihan dan
tenaga pelatih yang sesuai dengan Standar Profesi dan standar kompetensi
serta diselenggarakan oleh institusi penyelenggara pelatihan yang terakreditasi
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”.

Dalam Hukum Positif di Indonesia, PPNI di atur dalam UU RI No. 38 tahun 2014
tentang keperawatan melalui pasal 41 ayat (1) penjelasan yang berbunyi bahwa,
Yang dimaksud dengan Organisasi Profesi Perawat adalah Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI). Perlu di pahami bersama Keperawatan adalah
merupakan salah satu dari 36 jenis Tenaga Kesehatan dan tambahan tenaga
kesehatan lain yg di tetapkan oleh menteri Kesehatan sebagaimana tertuang pada
UU RI No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan pasal 11 ayat (1) huruf m.
Sedangkan keperawatan sendiri merupakan salah satu tenaga Kesehatan yang

4
terdapat dalam UU RI Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan pasal 11
ayat (1) huruf c.

Pada UU RI Nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan pada pasal 11 ayat (4)
penjelasan tertulis dengan jelas, lugas dan tegas, bahwa jenis Perawat antara lain
perawat kesehatan masyarakat, perawat kesehatan anak, perawat maternitas,
perawat medikal bedah, perawat geriatri, dan perawat kesehatan jiwa. Dalam
penjelasan pasal tersebut sering di jadikan persepsi dan asumsi berbagai pihak
bahwa jenis perawat dengan sendirinya boleh menambah sendiri tentang jenis –
jenis dari tenaga kesehatan perawat selain yang telah di tetapkan berdasarkan
Peraturan Perundang – undangan Aquo. Perlu di jelaskan disini, bahwa dalam
penjelesan pasal 11 ayat (4) hanya terdapat tanda baca koma (,) dan tanda baca
titik (.). Dalam KBBHI tanda baca koma (,) memiliki makna bahwa “ tanda baca koma
(,) di pakai untuk memisahkan unsur dalam suatu rincian, sedangkan tanda baca titik
(.) di gunakan untuk menandai akhir dari sebuah kalimat dalam berbagai bahasa.
Dengan demikian secara hukum keperawatan sebagai Tenaga Kesehatan jenis
perawat melalui UU RI Nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan hanya
terdapat 5 (lima) Jenis perawat sebagaimana di sebutkan tersebut diatas.

Timbul pertanyaan, bolehkan jenis perawat di tambah sebagaimana yang telah


di sebutkan dalam UU RI 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.....?

Dalam UU RI Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan yang merupakan Lex


Spesialis dari jenis Tenaga kesehatan Keperawatan melalui pasal 4 ayat (3) dengan
jelas memerintahkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis Perawat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri”. Dengan demikian sangat – sangat jelas, perihal jenis perawat di atur oleh
kementerian kesehatan. SUDAHKAN ADA PERATURAN MENTERINYA………..?
pelaksana dari UU RI Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan pasal 4 ayat
(3)....... ) tersebut...........

Penulis sampai saat ini belum menemukan peraturan tersebut. Artinya keperawatan
masih mengacu kepada Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

5
Hk.02.02/Menkes/148/I/2010 Tentang Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Perawat
Junto Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor Hk.02.02/Menkes/148/I/2010 Tentang Izin Dan
Penyelenggaraan Praktik Perawat

Nomenklatur Perawat anestesi menjadi Penata Anestesi

Sebelum di keluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 18 Tahun 2016


Tentang Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Penata Anestesi (Permenkes 18 tahun
2018). Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 719 yang mencabut
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Izin Dan
Penyelenggaraan Praktik Perawat Anestesi (Permenkes 31 tahun 2013). Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 673. Definisi dari tenaga kesehatan
Perawat Anestesi adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan Perawat Anestesi
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Permenkes 31 tahun 2013 pasal 1
angka 1 ).

Dengan telah dicabutnya Permenkes RI Nomor 31 tahun 2013 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Perawat Anestesi oleh Permenkes 18 tahun 2016 pasal 24
huruf b yang berbunyi “ Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 31 Tahun 2013
tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Perawat Anestesi (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 673) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.

Sesuai dengan asas – asas perundang – undangan di Indonesia yaitu Asas Lex
Posterior Derogat Legi Priori (pada peraturan yang sederajat, peraturan yang
paling baru melumpuhkan peraturan yang lama), yang menganut hukum Civil Law
dengan sendirinya definisi tentang perawat anestesi sudah tidak berlaku lagi dan
telah di kubur serta tidak memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan karena
bertentangan dengan asas – asas perundang - undangan. Lalu bagaimana dengan
istilah Perawat anestesi, Perawat yang telah mendapat pelatihan anestesia dalam
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 519 tahun 2011 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi Dan Terapi Intensif Di Rumah Sakit
(permenkes 519 tahun 2011) masih memiliki kekuatan hukum untuk

6
dilaksanakan....?, Jawabannya adalah tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat
untuk dilaksankan dan menjadi dasar hukum, karena melalui UU RI Nomor 36 Tahun
2014 tentang Tenaga Kesehatan. Bab XVI Ketentuan Penutup Pasal 91 dengan
tegas menyatakan bahwa “Pada Saat Undang - Undang Ini Mulai Berlaku, Semua
Peraturan Perundang-Undangan Yang Mengatur Mengenai Tenaga Kesehatan
Dinyatakan Masih Tetap Berlaku Sepanjang Tidak Bertentangan Dengan
Ketentuan Dalam Undang-Undang Ini Junto Permenkes 18 tahun 2016 pasal 24
huruf a. memerintahkan bahwa “Semua nomenklatur Perawat Anestesi dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 519/Menkes/Per/III/2011 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif Di Rumah Sakit
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 224) harus dibaca dan
dimaknai sebagai Penata Anestesi. Selain dari pada itu perawat pelatihan dan
perawat sebagai tenaga kesehatan dalam permenkes RI Nomor 519 tahun 2011
sudah jelas bertentangan dengan UU RI No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan Pasal 91.

Apakah tenaga kesehatan yang terdapat pada permenkes RI Nomor 519 tahun 2011
bertentangan dengan UU RI Nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan .....?.
jawaban : sesuai dengan apa yang tertulis dalam UU RI Nomor 36 tahun 2014 pada
pasal 91 jelas bertentangan. Karena tenaga kesehatan berdasarkan UU RI Nomor
36 tahun 2014 terdapat dalam pasal 11 ayat (1) yaitu :

a. Tenaga Medis
b. tenaga psikologi klinis;
c. tenaga keperawatan; antara lain perawat kesehatan masyarakat, perawat
kesehatan anak, perawat maternitas, perawat medikal bedah, perawat geriatri,
dan perawat kesehatan jiwa.
d. tenaga kebidanan; yaitu bidan.
e. tenaga kefarmasian; terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian
f. tenaga kesehatan masyarakat; terdiri atas epidemiolog kesehatan, tenaga
promosi kesehatan dan ilmu perilaku, pembimbing kesehatan kerja, tenaga

7
administrasi dan kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik dan kependudukan,
serta tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga.
g. tenaga kesehatan lingkungan; terdiri atas tenaga sanitasi lingkungan,
entomolog kesehatan, dan mikrobiolog kesehatan.
h. tenaga gizi; terdiri atas nutrisionis dan dietisien.
i. tenaga keterapian fisik; terdiri atas fisioterapis, okupasi terapis, terapis wicara,
dan akupunktur.
j. tenaga keteknisian medis; terdiri atas perekam medis dan informasi
kesehatan, teknik kardiovaskuler, teknisi pelayanan darah, refraksionis
optisien/optometris, teknisi gigi, penata anestesi, terapis gigi dan mulut, dan
audiologis.
k. tenaga teknik biomedika; terdiri atas radiografer, elektromedis, ahli teknologi
laboratorium medik, fisikawan medik, radioterapis, dan ortotik prostetik
l. tenaga kesehatan tradisional; terdiri atas tenaga kesehatan tradisional ramuan
dan tenaga kesehatan tradisional keterampilan. dan
m. Tenaga Kesehatan lain yang di tetapkan ditetapkan oleh Menteri
Perlu di ketahui juga bahwa “Medis” sebagaimana diatur dalam UU RI 36 Tahun
2014 Tentang Tenaga Kesehatan pasal 11 huruf a yaitu “ Tenaga Medis” sudah tidak
lagi memiliki kekuatan hukum lagi, sejak PB IDI, PB PDGI dan KKI melakukan Uji
materi ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Putusan Nomor 82/PUU-XII
/2014.

Kewenangan Tenaga Kesehatan

Menurut KBBHI edisi keempat Dinas Pendidikan dan kebudayaan Nasional tahun
2008, kewenangan adalah hak dan kekuasaaan yang di punyai untuk melakukan
sesuatu. Sedangkan Tenaga Kesehatan pada UU RI Nomor 36 tahun 2014 Tentang
Tenaga Kesehatan pasal 1 angka 1 adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan
untuk melakukan upaya kesehatan. Dengan definisi tersebut diatas jelas bahwa
seorang tenaga kesehatan dalam menjalankan pekerjaan profesi harus berdasarkan

8
“kewenangan” dalam melakukan upaya kesehatan, baik di rumah sakit, Klinik utama
maupun kilinik pratama, dan lain sebagainya dalam melakukan upaya kesehatan.
Tenaga kesehatan sebagaimana di atur dalam UU RI Nomor 36 tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan melalui pasal 46 ayat (7) memerintahkan bahwa “ Ketentuan
lebih lanjut mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri” junto pasal 62 tertulis bahwa “Ketentuan lebih lanjut
mengenai kewenangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri”. Izin sebagaimana di maksud adalah dalam bentuk
Surat Izin Praktik (SIP), memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) yang masih berlaku,
adanya rekomendasi dari Organisasi profesi, dan memiliki tempat praktik.
Tenaga kesehtan Penata anestesi merupakan tenaga kesehatan sebagaimana di
atur dalam UU RI Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan pasal 11 ayat
(11). Dalam hal kewenangan Penata Anestesi sebagaimana perintah UU RI Nomor
36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan pasal 46 ayat (7) pemerintah melalui
Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
18 Tahun 2016 Tentang Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Penata Anestesi
(Permenkes 18 tahun 2018). Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
719. Inilah dasar hukum Penata anestesi dalam Melaksanakan kewenangan
pekerjaan profesinya.

Dalam Permenkes 18 tahun 2016 tentang izin dan Penyelenggaraan Praktik Penata
Anestesi pasal 1 angka 1 bahwa yang dimaksud Penata Anestesi adalah setiap
orang yang telah lulus pendidikan bidang keperawatan anestesi atau Penata
Anestesi sesuai dengan ketentuan peraturan Jo pasal 1 angka 7 mengatakan bahwa,
“Organisasi Profesi adalah Ikatan Penata Anestesi Indonesia”. (IPAI). Melalui
pasal 2 ayat (1) seorang Penata Anestesi dalam melakukan pekerjaan profesinya
harus memiliki Surat Tanda Registrasi Penata Anestesi di singkat STR PA Junto
Pasal 4 ayat (1) “Penata Anestesi yang menjalankan praktik keprofesiannya
wajib memiliki Surat Izin Praktik Penata Anestesi disingkat SIPPA”.

9
Kekuatan Hukum Permenkes RI Nomor 18 tahun 2016 Tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Penata anestesi.
Kekuatan hukum berarti bahwa ketentuan hukum itu telah mempunyai akibat hukum
yang definitif, dalam arti bahwa akibat hukum yang timbul dari ketentuan hukum itu
yakni, hak atau kewajiban, sudah definitif atau pasti dapat di manfaatkan oleh pihak
yang memperolehnya. Kekuatan hukum yang timbul karena sifat isi ketentuan hukum
itu disebut kekuatan hukum materiil. Dalam Kamus Hukum lengkap yang di maksud
Hukum materiil adalah segala kaidah yang menjadi patokan manusia untuk bertindak.

Permenkes RI Nomor 18 tahun 2016 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik


Penata anestesi merupakan produk hukum yang di keluarkan oleh pemerintah
melalui kementerian Kesehatan RI atas perintah Undang – Undang. Dimana melalui
Undang – Undang RI Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
perundang – undangan pasal 8 ayat (1) tertulis “ Jenis Peraturan Perundang-undangan
selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat Junto pasal 8 ayat (2)
mengatakan bahwa “ Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan Kewenangan”.
Dengan demikian sudah jelas Permenkes RI Nomor 18 tahun 2016 Tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Penata anestesi telah memiliki kekuatan hukum mengikat
untuk dilaksanakan, karena diperintahkan oleh Undang – Undang dan di laksanakan
oleh pejabat eksekutif melalui pemerintahan yang Sah yaitu kementerian Kesehatan.

Hipani Dalam Perspektif Hukum Di Indonesia


Himpunan Perawat Anestesi Indonesia yang di singkat HIPANI adalah merupakan
kemunduran dan merusak tatanan hukum dalam Negara Kesatuan Republik

10
Indonesia (NKRI). Sebagaimana Undang – Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (3)
mengamanahkan bahwa “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum” dan
bertentangan dengan asas – asas hukum dan asas – asas perundang – undangan di
Indonesia. Maksud dari Negara Hukum adalah bahwa kepastian hukum dan
penegakan hukum harus berdadasarkan kepada peraturan perundang – undangan.
sebagaimana telah di jelaskan pada pengatar tentang penegakan hukum dan
kepastian hukum.

Apakah Anggota HIPANI memiliki Kewenangan sebagai Penata Anestesi atau


menjalankan praktik Profesi asuhan anestesi sebagai Mitra Dokter Spesialis Ahli
Anestesi dalam melakukan kewenangan dalam tindakan anestesi.....?
Sudah di jelaskan di atas, bahwa kewenangan Tenaga Kesehatan sesuai UU RI 36
tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan pasal 46 ayat (7) bahwa kewenangan tenaga
kesehatan di atur oleh peraturan menteri yaitu menteri kesehatan sesuai dengan
kewenangan yang diberikan oleh Perundang – Undangan bukan oleh segelintir
oknum/orang yang mengartikan sebuah peraturan perundangan – undangan hanya
sebatas pesepsi dan asumsi.

Pelatihan Anestesi Oleh Hipani dan PPNI

Pelatihan tenaga kesehatan di samping di atur oleh Undang – undang RI Nomor 20


tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas) Junto Peraturan
Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan RI Nomor 81 tahun 2014 Tentang Ijazah,
Sertifikat Kompetensi, Dan Sertifikat Profesi Pendidikan Tinggi (permendikbud RI No.
81 tahun 2014) Jo UU RI Nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga Kesehatan, Pasal 31
ayat (1) yang berbunyi “Pelatihan Tenaga Kesehatan dapat diselenggarakan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat”. Pelatihan sebagai mana
dimaksud harus memenuhi program pelatihan dan tenaga pelatih yang sesuai
dengan Standar Profesi dan standar kompetensi serta diselenggarakan oleh institusi
penyelenggara pelatihan yang terakreditasi sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.

11
Dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 61 ayat (3) Sertifikat
kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada
peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk
melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan
oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
Pada UU RI No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pasal 41 ayat (3)
Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak
dilarang memberikan sertifikat profesi.

Sertifikat Kompetensi

Pada pasal 44

Ayat (1) : Sertifikat kompetensi merupakan pengakuan kompetensi atas prestasi


lulusan yang sesuai dengan keahlian dalam cabang ilmunya dan/atau
memiliki prestasi di luar program studinya.
Ayat (2) : Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh
Perguruan Tinggi bekerja sama dengan organisasi profesi, lembaga
pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi kepada lulusan yang
lulus uji kompetensi.
Ayat (3): Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
digunakan sebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan tertentu.
Ayat (4) : Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang
tanpa hak dilarang memberikan sertifikat kompetensi.
Pertanyaan :
1. Bagaimana pelatihan keperawatan anestesi yang diadakan oleh Hipani yang
di motori oleh PPNI bekerja sama dengan rumah sakit – rumah sakit yang
ada di Indonesia sudah memenuhi persyaratan yang telah di tentukan oleh
peraturan perundang – undangan......?
2. Sertifikat dalam bentuk apa yang di keluarkan oleh pelatihan tersebut ?
3. Apakah mereka (Hipani dan PPNI) memiliki hak untuk mengadakan palatihan
keperawatan anestesi, adakah dasar hukumnya.
Sanksi Pelanggaran Disiplin Dan Sanksi Pidana

12
A. Bentuk Pelanggaran Disiplin Tenaga Kesehatan
1. Memberikan Pelayanan Kesehatan Menggunakan Registrasi (STR), Surat Ijin
Praktik (SIP) dan atau Surat Izin Kerja Tidak Sah
2. Melakukan Pelayanan Kesehatan kepada pasien/klien tidak berdasarkan
Kompetensi dan tidak sesuai dengan kewenangannya kecuali ada
pendelegasian tugas tertulis sesuai dengan peraturan yang berlaku.
3. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesional yang bukan haknya,
4. Mengabaikan situasi darurat yang membutuhkan pertolongan
5. Menyalahgunakan NAPZA.
6. Dengan sengaja tidak membuat atau menyimpan catatan pekerjaan
sebagaimana di atur dalam peraturan perundang – undangan yabf berlaku
atau etika profesi dalam melaksnakan pelayanan kesehatan.
7. Melakukan perbuatan asusila, tindakan intimidasi dan/atau tindakan kesehatan
dalam memberikan pelayanan kesehatan
8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate
Information) kepada pasien/ klien yang menggunakan jasa pelayanan
kesehatan dan pihak lain yang berkepentingan sesuai dengan peraturan yang
berlaku
9. Tidak memberika/ menyembunyikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya
yang benar dan akurat yang di perlukan komite disiplin Tenaga Kesehatan
atas Pengaduan dugaan Pelanggaran Disiplin.
10. Melaksanakan pekerjaan secara tidak profesional
11. Tidak menerapkan pelayanan yang di sepakati bersama antara pemberi dan
penerima pelayanan kesehatan
12. Menolak atau menghentikan pelayanan tanpa alasan.
13. Mendelagsikan pelaksanaan kegiatan pelayanan kepada tenaga kesehatan
lain yang tidak meimiliki kompetensi dan kewenangan untuk melakukan
kegiatan tersebut.

B. Sanksi Pidana

13
Sanksi Pidana UU RI NO.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi:

Pasal 67
1) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan
ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi tanpa
hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 68

Ayat (1) : Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi,
gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak
memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).

Ayat (2) : Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar
akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan
yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling
lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).

Pasal 69

Ayat (1) : Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar
akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan
pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Ayat (2) :Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah
dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara
paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Ketentuan Pidana UU RI Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pedidikan Tinggi

Pasal 93

Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang melanggar


Pasal 28 ayat (6) atau ayat (7), Pasal 42 ayat (4), Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat
(4), Pasal 60 ayat (2), dan Pasal 90 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).

14
Keterangan Pasal 93 :

Pasal 28 Ayat (6) : Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan


Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan gelar akademik,
gelar vokasi, atau gelar profesi.
Ayat (7) : Perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan gelar
akademik, gelar vokasi, dan/atau gelar profesi.

Pasal 42 Ayat (4) : Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan


Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan ijazah.
Pasal 43 Ayat (3) : Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan
Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat profesi.
Pasal 44 Ayat (4) : Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan
Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat
kompetensi.
Pasal 60 Ayat (2) : PTS didirikan oleh Masyarakat dengan membentuk badan
penyelenggara berbadan hukum yang berprinsip nirlaba dan
wajib memperoleh izin Menteri.
Pasal 90 Ayat (4) : Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sudah terakreditasi dan/atau diakui di negaranya.

Apakah pelatihan keperawatan anestesi yang di selenggarakan oleh Hipani


yang motori PPNI memiliki kewenangan melakukan tindakan sebagaimana
seorang Penata Anestesi yang di atur dalam peraturan perundang -
undangan........?

Secara lex Spesialis UU RI No. 38 tahun 2014 tentang Keperawatan belum di atur
tentang jenis perawat yang di atur pada pasal 3 ayat (4), selain yang sudah di atur
dalam UU. RI No. 36 tahun 2014 tentang tenaga Kesehatan pada penjelasan pasal
11 ayat (4) sebagaiaman telah di jelaskan di atas.

Dengan demikian tenaga kesehatan perawat yang mendapat pelatihan di bawah


PPNI dengan Hipani tidak memiliki kewenangan sebagaimana di atur dalam
permenkes 18 tahun 2016 tentang izin dan penyelenggaraan Praktik Penata
Anestesi.

15
Sanksi pidana seseorang tersebut di atas terdapat pada pasal UU RI. Nomor 36
tahun 2014 tentang tenaga kesehatan Pasal 86 ayat (1) yang berbunyi :

“ Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki izin


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dipidana dengan pidana
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Penjelasan pasal 46 :

(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik di bidang pelayanan


kesehatan wajib memiliki izin.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIP.
(3) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di
kabupaten/kota tempat Tenaga Kesehatan menjalankan praktiknya.
(4) Untuk mendapatkan SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Tenaga
Kesehatan harus memiliki:
a. a. STR yang masih berlaku;
b. b. Rekomendasi dari Organisasi Profesi; dan
c. tempat praktik.
(5) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing berlaku hanya untuk
1 (satu) tempat.
(6) SIP masih berlaku sepanjang:
a. STR masih berlaku; dan
b. tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
www.hukumonline.com
Demikian yang dapat penulis sampaikan, agar kita sebagai anak bangsa yang taat
hukum tidak terjerat masalah hukum. Peraturan di buat untuk membentik masyarakat
yang ideal, sedangkan pengaturan etika dibuat untuk membentuk manusia yang
ideal. semoga dapat bermanfaat dan menambah wawasan tentang hukum,
khususnya HUKUM KESEHATAN.

Salam Hormat dan Salam Santun.


Wassaalaam’mualaikum wr.wb. dan Salam Sejahtera
Penyusun

H. Mustopa, S.Kep.,S.H.,M.H.Kes

16
Daftar Pustaka

Perundang - Undangan

1. UUD RI 1945 hasil Amandeman dan Penjelsannya. Permata Bangsa. Jakarta


2. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana {KUHP}
3. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata {KUH Perd}
4. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional
5. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang - Undangan
6. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
7. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
8. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
9. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2014 tentang Tenaga Keperawatan
10. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Putusan Nomor 82/PUU-XII /2014.
11. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang Pendidikan Tinggi
12. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional
13. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 519/Menkes/Per/III/2011 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif Di Rumah Sakit (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 224).
14. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor Nomor 81 tahun
2014 Tentang Ijazah, Sertifikat Kompetensi
15. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2016 Tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Penata anestesi

Buku - Buku

1. H. Muntaha. 2017. Hukum Pidana MalaPraktik Pertanggungjawaban Pidana. Sinar Garfika.


Jakarta
2. Willa Chandrawila Supriyadi. 2001. Hukum Kedokteran. Mandar Maju. Bandung
3. Zaeni Asyhadie & Arief Rahman. 2014. Pengantar Ilmu Hukum. PT. RajaGrafindo Persada.
Jakarta
4. Teguh prasetyo. 2012. Hukum Pidana. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta
5. Moeljatno. 2008. Asas – Asas Hukum Pidana Edisi Reavisi. Rhineka Cipta. Jakarta
6. Rahmat Trijono. 2013. Dasar – Dasar ilmu Perundang – Undangan. Papas Sinar Sinanti. Jakarta.
7. MTKI. 2014. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor :087/MTKI/SK/XI/2014 Tentang
Pedoman Penegakan Disiplin Profesional Tenaga Kesehatan. Jakarta.
8. Ridwan HR. 2011. Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta

17

Anda mungkin juga menyukai