Anda di halaman 1dari 4

Masalah Pluralisme dalam Kehidupan Beragama di

Indonesia

Gereja Dibakar
May 26th, 2008

Sebuah gereja dibakar di Purwakarta, Jawa Barat oleh penduduk setempat yang merasa
diremehkan karena protes mereka atas pengalihfungsian bangunan tidak di tanggapi.
Gereja dibawah naungan Yayasan Abdi Karya (Yadika) di Desa Citeko, Kecamatan
Plered, Purwakarta, Jawa Barat dibakar oleh penduduk setempat.
Bangunan tersebut sebelumnya digunakan sebagai pabrik genting dan telah mencapai
tahap akhir untuk dialihfungsikan menjadi gereja. Penduduk lokal berulang kali protes
mengenai pengalihfungsian bangunan, dan kepala desa Citeko Andri Yani menyatakan
bahwa bangunan tersebutnya seharusnya digunakan sebagai sekolah.
Laporan awal menyatakan tidak ada yang ditahan dalam peristiwa ini, walaupun laporan
berikutnya menyatakan empat orang diinterogasi kepolisian.

Masalah pluralisme dalam kehidupan beragama bukan masalah baru dalam


kehidupan beragama bangsa Indonesia. Sejak sebelum negara ini resmi terbentuk,
masalah pluralisme telah ada meskipun belum begitu mengemuka seperti sekarang.
Indonesia sebagai suatu negara yang ber-Tuhan mencantumkan Ketuhanan Yang Maha
Esa sebagai sila ke-1 dalam dasar negaranya. Dengan kata lain Indonesia bukan negara
komunis. Sebagai negara yang bersemboyankan Bhineka Tunggal Ika Indonesia pun
siap menerima apapun perbedaan yang ada baik itu perbedaan adat istiadat, bahasa, suku
bangsa, dan agama. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu demikian bunyi pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Hak setiap orang untuk berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat tercantum dalam pasal 28E ayat 3 UUD 1945.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka setiap umat beragama di Indonesia


bebas dan dilindungi oleh negara dalam memeluk dan menjalankan kewajiban ibadatnya
karena telah dijamin oleh negara. Indonesia bukan negara komunis di mana warganya
dilarang beribadat, bukan pula negara salah satu agama sehingga agama lain sama sekali
tidak diberi tempat untuk melakukan aktifitasnya. Bila dasar negara, semboyan negara,
maupun konstitusinya jelas-jelas menyatakan bahwa beribadat di Indonesia dijamin oleh
negara, maka berarti pluralisme mendapat tempat di tengah bangsa Indonesia. Umat
beragama di Indonesia wajib bersyukur karena dasar negara dan semboyan negaranya
begitu menjanjikan toleransi dan keharmonisan antar masyarakat khususnya umat
beragama. Demikian pula dengan kebebasan tiap penduduk untuk memeluk agama dan
beribadat sesuai ajaran agamanya yang dijamin oleh negara dalam konstitusi negara.
Namun masalah pluralisme dalam kehidupan beragama di Indonesia pada
kenyataannya dirasakan tidaklah seindah dan semudah yang dibayangkan. Ketidaksiapan
sebagian masyarakat untuk menerima kehadiran umat agama lain di sekitarnya telah
memunculkan rasa curiga dan kesalahan paham yang mengancam toleransi antar umat
beragama di Indonesia. Selama pemeluk agama mayoritas merasa sulit menerima
kehadiran yang minoritas di sekitarnya, maka pluralisme agama akan tetap
menghadirkan ketidakharmonisan hubungan antar umat beragama.
Agar terjalin hubungan yang lebih harmonis antar umat beragama, diperlukan
peran negara yang lebih besar di dalamnya. Peran tersebut berupa penyediaan kerangka
hukum yang bersifat jelas, adil, wajar, dan bijaksana bagi semua umat beragama terutama
dalam bidang pembangunan fisik keagamaan. Pembangunan fisik keagamaan misalnya
perijinan pembangunan tempat ibadah, sekolah-sekolah, ijin penerbitan buku-buku
agama, dll. Peraturan yang jelas harus ditekankan dan disosialisasikan di masyarakat agar
terbuka menerima pluralisme. Dengan tersedianya dasar hukum yang jelas, adil, wajar,

dan bijaksana, dan cukup disosialisasikan di masyarakat, maka diharapkan masyarakat


dapat menghormati dan mematuhinya sehingga tidak terjadi kasus-kasus pelanggaran
seperti penyerangan atas nama agama oleh sekelompok orang terhadap umat lain yang
sedang beribadat terkait perijinan tempat ibadat, pelecehan dan perusakan terhadap
simbol agama lain, pemblokiran pembangunan rumah ibadat dan lain sebagainya.

Patut dipertanyakan apakah jaminan negara seperti tersebut di atas telah


dimengerti dan diterima oleh seluruh masyarakat secara bulat ? Bagaimana peran
pemerintah untuk menjaga agar isi kedua pasal di atas dapat dilaksanakan secara murni
dan konsekuen oleh seluruh rakyat dan diwujudkan pula dalam perundang-undangan di
bawahnya. Agar tercapai keharmonisan hubungan antar umat beragama yang berbeda,
pemerintah seharusnya membuat kebijaksanaan yang konkrit yang dapat dilaksanakan di
lapangan agar tidak ada kesan diskriminatif dan tidak adil dalam menangani masalah ini.
Kepada pemeluk agama mayoritas diberikan kemudahan pendirian dan perijinan tempat
ibadat, perkumpulan ibadat, sekolah, dan kebebasan beribadat, sedangkan hak-hak
beribadat pemeluk agama minoritas sering kali diabaikan. Ijin pendirian tempat ibadat
baru bagi umat minoritas dipersulit sehingga umat harus beribadat jauh dari tempat
tinggalnya karena ijin pendirian tempat ibadat di dekat tempat tinggalnya tak kunjung
keluar. Lalu sekelompok orang atas agama tertentu mengancam bila penganut agama
minoritas tersebut terpaksa beribadat di tempat darurat seperti gedung serbaguna, rumah
tinggal, ruko, dan lain-lain. Adanya rencana perda yang tidak masuk akal tentang
kewajiban menyediakan tempat ibadat bagi pemeluk agama mayoritas di sekolah swasta
bercorak minoritas, padahal sekolah tersebut tidak diberi ijin menggunakan tempatnya
untuk kegiatan ibadah agamanya sendiri adalah salah satu contoh ketidakwajaran
peraturan. Hal-hal yang di luar keadilan dan kewajaran tersebut perlu diperhatikan dan

dicarikan jalan keluarnya oleh pemerintah. Pemerintah wajib melindungi kebutuhan


beribadat setiap warga negaranya (termasuk pemeluk agama minoritas) karena itu
merupakan hak asasi manusia, bukan hanya memperhatikan kepentingan pemeluk agama
mayoritas saja. Ini wajib dilakukan bila pemerintah tetap menghendaki pluralisme
tumbuh subur dan berkembang baik di negara ini.

Anda mungkin juga menyukai