Anda di halaman 1dari 13

I.

PENDAHULUAN
Usaha peternakan mempunyai prospek untuk dikembangkan karena tingginya
permintaan akan produk peternakan. Usaha peternakan juga memberi keuntungan yang cukup
tinggi dan menjadi sumber pendapatan bagi banyak masyarakat di pedesaaan di Indonesia.
Namun demikian, sebagaimana usaha lainnya, usaha peternakan juga menghasilkan limbah
yang dapat menjadi sumber pencemaran. Oleh karena itu, seiring dengan kebijakan otonomi,
maka pemgembangan usaha peternakan yang dapat meminimalkan limbah peternakan perlu
dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota untuk menjaga kenyamanan permukiman
masyarakatnya. Salah satu upaya kearah itu adalah dengan memanfaatkan limbah peternakan
sehingga dapat memberi nilai tambah bagi usaha tersebut.
Kebijakan otonomi daerah perlu diantisipasi oleh aparat pemerintah daerah, khususnya
di kabupaten/kota yang menjadi ujung tombak pembangunan, sehingga kabupaten/kota dapat
berbenah diri dalam menggali segala potensi baik potensi sumber daya alam maupun potensi
sumber daya manusia. Dengan demikian potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia
yang ada di daerah tersebut dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan
pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Kebanyakan masyarakat yang berada di pedesaan semuanya menyatu dengan kegiatankegiatan yang ada kaitannya dengan pertanian secara luas kerena memang itulah keahlian
mereka yang dapat digunakan untuk mempertahankan kehidupannya. Tidak heran seorang
petani selain mengolah sawahnya, mereka juga memelihara ternak misalnya ternak bebek,
ayam kampung atau yang sering dikenal ayam buras, ada juga yang memelihara domba,
kambing, sapi ataupun kerbau.
Dilain pihak krisis ekonomi yang telah melanda bangsa Indonesia sejak pertengahan
tahun 1997 telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua, dimana betapa
rapuhnya pondasi perekonomian yang tidak dilandasi oleh potensi sumber daya lokal.
Sejauh ini kebijakan pemerintah yang lebih berorentasi pada sistem pertanian
konvensional di mana banyak mengandalkan input produksi seperti pupuk organik ataupun
pestisida dalam jumlah tinggi untuk memacu target produksi. Dalam kenyataan hal tersebut
justru telah memberikan dampak negatif terhadap ekosistem lahan pertanian yang ada
sehingga lambat laun akan menurunkan produktivitas pertanian dan akibatnya akan
berdampak pada pendapatan dan kesejahteraan petani. Namun pada kenyataannya sektor
pertanian ternyata telah mampu menunjukan ketangguhannya dalam mengahadapi badai
krisis.

Negara kita adalah negara agraris, di mana sebagian besar penduduknya mengandalkan
sektor pertanian, namun rata-rata kepemilikan penduduk atas lahan pertanian kurang dari 0,3
hektar, terutama di pulau Jawa. Dari kondisi kepemilikan lahan yang sempit ditambah dengan
sistem pertanian yang masih mengandalkan input produksi tinggi menyebabkan petani berada
dalam lingkaran kemiskinan yang tiada putus-putusnya. Petani dengan pendapatan rendah
tidak akan mampu menabung, meningkatkan pendidikan dan keterampilan apalagi
meningkatkan investasinya guna meningkatkan produksi. Dalam keterbatasan yang dilematis
tersebut diperlukan jalan keluar yang bijaksana dengan membangun paradigma baru, yaitu
sistem pertanian yang berwawasan ekologis, ekonomis dan berkesinambungan, ini sering
juga disebut sustainable mix farming atau mix farming.
Sistem mix-Farming, ini diarahkan pada upaya memperpanjang siklus biologis dengan
mengoptimalkan pemanfaatan hasil samping pertanian dan peternakan atau hasil ikutannya,
dimana setiap mata rantai siklus menghasilkan produk baru yang memiliki nilai ekonomi
tinggi, sehingga dengan sistem ini diharapkan pemberdayaan dan pemanfaatan lahan
marginal di seluruh daerah (kabupaten/kota) dapat lebih dioptimalkan. Hal tersebut
dimaksudkan untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam hal kecukupan pangan dengan
cara mengembangkan sistem pertanian yang terintegrasi misalnya tanaman pangan pakan dan
ternak, juga dapat memanfaatkan hasil samping atau hasil ikutan peternakan seperti kompos
(manure), dimana dapat digunakan sebagai bahan baku pupuk organik dan limbah
pertaniannya dapat dipakai sebagai pakan ternak.
Sehubungan hal tersebut di atas konsep pertanian masa depan harus dirumuskan secara
komprehenship, dimana dapat mengantisipasi berbagai tantangan, seperti pasar global dan
otonomi daerah, salah satu model yang dapat mengantisipasi tantangan pasar global adalah
pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan (sustainable mixed farming) dengan
berbagai industri peternakan. Bagi masyarakat pedesaan ternak-ternak seperti kerbau, sapi
potong, sapi perah, kambing, domba, itik, bebek ataupun ayam buras memilki peranan
strategis karena ternak-ternak tersebut dapat digunakan sebagai tabungan hidup, sumber
tenaga kerja bagi ternak kerbau dan sapi potong. Ternak juga dapat dipakai sebagai penghasil
pupuk organik dimana sangat baik untuk meningkatkan produksi pertanian, selain itu ternak
juga dapat dijadikan dalam meningkatkan status sosial.
Dalam presfektif ekonomi makro, peternakan merupakan sumber pangan yang
berkualitas, misalnya daging ataupun susu merupakan bahan baku industri pengolahan
pangan, di mana dapat menghasilkan abon, dendeng, bakso, sosis, keju, mentega ataupun
krim dan juga dapat menghasilkan kerajinan-kerajinan kulit tanduk ataupun tulang. Jadi dari

semua kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan pertanian dan peternakan dapat
menciptakan lapangan kerja. Pembangunan pertanian dalam konteks otonomi daerah yang
disesuaikan dengan permintaan pasar global sehingga pengembangan sistem pertanian
terpadu sangatlah menjanjikan, meskipun tetap harus memperhatikan aspek agro ekosistem
wilayah dan sosio kultur masyarakatnya (Sofyadi, 2005).
Selama ini banyak keluhan masyarakat akan dampak buruk dari kegiatan usaha
peternakan karena sebagian besar peternak mengabaikan penanganan limbah dari usahanya,
bahkan ada yang membuang limbah usahanya ke sungai, sehingga terjadi pencemaran
lingkungan. Limbah peternakan yang dihasilkan oleh aktivitas peternakan seperti feces, urin,
sisa pakan, serta air dari pembersihan ternak dan kandang menimbulkan pencemaran yang
memicu protes dari warga sekitar. Baik berupa bau tidak enak yang menyengat, sampai
keluhan gatal-gatal ketika mandi di sungai yang tercemar limbah peternakan.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka upaya mengatasi limbah ternak yang selama ini
dianggap mengganggu karena menjadi sumber pencemaran lingkungan perlu ditangani
dengan cara yang tepat sehingga dapat memberi manfaat lain berupa keuntungan ekonomis
dari penanganan tersebut. Penanganan limbah ini diperlukan bukan saja karena tuntutan akan
lingkungan

yang

nyaman

tetapi

juga

karena

pengembangan

peternakan

mutlak

memperhatikan kualitas lingkungan, sehingga keberadaannya tidak menjadi masalah bagi


masyarakat di sekitarnya.
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menelaah lebih jauh tentang pencemaran
yang diakibatkan oleh limbah usaha peternakan serta upaya penanganan yang dapat
dilakukan untuk mengatasinya.
1.3. Metode Penulisan
Penulisan dilakukan secara diskriptif dengan mengambil bahan dari pustaka maupun
dari sumber lain yang berkaitan dengan judul makalah.

II. PEMBAHASAN
A. Limbah Peternakan
1. Jenis Limbah Usaha Peternakan
Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha
pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk ternak, dan sebagainya.
Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses, urine, sisa makanan,
embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen, dan lain-lain
(Sihombing, 2000). Semakin berkembangnya usaha peternakan, limbah yang dihasilkan
semakin meningkat.
Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari species ternak, besar usaha,
tipe usaha dan lantai kandang. Kotoran sapi yang terdiri dari feces dan urine merupakan
limbah ternak yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar manure dihasilkan oleh ternak
ruminansia seperti sapi, kerbau kambing, dan domba. Umumnya setiap kilogram susu yang
dihasilkan ternak perah menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging
sapi menghasilkan 25 kg feses (Sihombing, 2000).
Menurut Soehadji (1992), limbah peternakan meliputi semua kotoran yang dihasilkan
dari suatu kegiatan usaha peternakan baik berupa limbah padat dan cairan, gas, maupun sisa
pakan. Limbah padat merupakan semua limbah yang berbentuk padatan atau dalam fase
padat (kotoran ternak, ternak yang mati, atau isi perut dari pemotongan ternak). Limbah cair
adalah semua limbah yang berbentuk cairan atau dalam fase cairan (air seni atau urine, air
dari pencucian alat-alat). Sedangkan limbah gas adalah semua limbah berbentuk gas atau
dalam fase gas.
Pencemaran karena gas metan menyebabkan bau yang tidak enak bagi lingkungan
sekitar. Gas metan (CH4) berasal dari proses pencernaan ternak ruminansia. Gas metan ini
adalah salah satu gas yang bertanggung jawab terhadap pemanasan global dan perusakan
ozon, dengan laju 1 % per tahun dan terus meningkat. Apalagi di Indonesia, emisi metan per
unit pakan atau laju konversi metan lebih besar karena kualitas hijauan pakan yang diberikan
rendah. Semakin tinggi jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi produksi
metan (Suryahadi dkk., 2002).
2. Dampak Limbah Peternakan
Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk
mendorong kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan pencemaran. Suatu studi
mengenai pencemaran air oleh limbah peternakan melaporkan bahwa total sapi dengan berat
badannya 5.000 kg selama satu hari, produksi manurenya dapat mencemari 9.084 x 10 7 m3

air. Selain melalui air, limbah peternakan sering mencemari lingkungan secara biologis yaitu
sebagai media untuk berkembang biaknya lalat. Kandungan air manure antara 27-86 %
merupakan media yang paling baik untuk pertumbuhan dan perkembangan larva lalat,
sementara kandungan air manure 65-85 % merupakan media yang optimal untuk bertelur
lalat.
Kehadiran limbah ternak dalam keadaan keringpun dapat menimbulkan pencemaran
yaitu dengan menimbulkan debu. Pencemaran udara di lingkungan penggemukan sapi yang
paling hebat ialah sekitar pukul 18.00, kandungan debu pada saat tersebut lebih dari 6000
mg/m3, jadi sudah melewati ambang batas yang dapat ditolelir untuk kesegaran udara di
lingkungan (3000 mg/m3). Salah satu akibat dari pencemaran air oleh limbah ternak
ruminansia ialah meningkatnya kadar nitrogen. Senyawa nitrogen sebagai polutan
mempunyai efek polusi yang spesifik, dimana kehadirannya dapat menimbulkan konsekuensi
penurunan kualitas perairan sebagai akibat terjadinya proses eutrofikasi, penurunan
konsentrasi oksigen terlarut sebagai hasil proses nitrifikasi yang terjadi di dalam air yang
dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan biota air (Farida, 1978).
Hasil penelitian dari limbah cair Rumah Pemotongan Hewan Cakung, Jakarta yang
dialirkan ke sungai Buaran mengakibatkan kualitas air menurun, yang disebabkan oleh
kandungan sulfida dan amoniak bebas di atas kadar maksimum kriteria kualitas air. Selain itu
adanya Salmonella spp. yang membahayakan kesehatan manusia.
Tinja dan urine dari hewan yang tertular dapat sebagai sarana penularan penyakit,
misalnya saja penyakit anthrax melalui kulit manusia yang terluka atau tergores. Spora
anthrax dapat tersebar melalui darah atau daging yang belum dimasak yang mengandung
spora. Kasus anthrax sporadik pernah terjadi di Bogor tahun 2001 dan juga pernah
menyerang Sumba Timur tahun 1980 dan burung unta di Purwakarta tahun 2000
(Soeharsono, 2002).
B. PENANGANAN LIMBAH PETERNAKAN
Penanganan limbah ternak akan spesifik pada jenis/spesies, jumlah ternak, tatalaksana
pemeliharaan, areal tanah yang tersedia untuk penanganan limbah dan target penggunaan
limbah. Penanganan limbah padat dapat diolah menjadi kompos, yaitu dengan menyimpan
atau menumpuknya, kemudian diaduk-aduk atau dibalik-balik. Perlakuan pembalikan ini
akan mempercepat proses pematangan serta dapat meningkatkan kualitas kompos yang
dihasilkan. Setelah itu dilakukan pengeringan untuk beberapa waktu sampai kira-kira terlihat
kering. Penanganan limbah cair dapat diolah secara fisik, kimia dan biologi.

Pengolahan secara fisik disebut juga pengolahan primer (primer treatment). Proses ini
merupakan proses termurah dan termudah, karena tidak memerlukan biaya operasi yang
tinggi. Metode ini hanya digunakan untuk memisahkan partikel-partikel padat di dalam
limbah. Beberapa kegiatan yang termasuk dalam pengolahan secara fisik antara lain seperti
floatasi, sedimentasi, dan filtrasi.
Pengolahan secara kimia disebut juga pengolahan sekunder (secondary treatment) yang
bisanya relatif lebih mahal dibandingkan dengan proses pengolahan secara fisik. Metode ini
umumnya digunakan untuk mengendapkan bahan-bahan berbahaya yang terlarut dalam
limbah cair menjadi padat. Pengolahan dengan cara ini meliputi proses-proses sperti
netralisasi, flokulasi, koagulasi, dan ekstrasi.
Pengolahan secara biologi merupakan tahap akhir dari pengolahan sekunder bahanbahan organik yang terkandung di dalam limbah cair. Limbah yang hanya mengandung bahan
organik saja dan tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya, dapat langsung digunakan
atau didahului denghan pengolahan secara fisik.
Ada banyak manfaat yang dapat dipetik dari limbah ternak, apalagi limbah tersebut
dapat diperbaharui selama ada ternak. Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat
padat yang potensial untuk dimanfaatkan. Limbah ternak kaya akan nutrient (zat makanan)
seperti protein, lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), vitamin, mineral, mikroba atau
biota, dan zat-zat yang lain (unidentified subtances). Limbah ternak dapat dimanfaatkan
untuk bahan energi, pupuk organik, media tumbuh dan lain-lain.
1. Pemanfaatan Untuk Pakan dan Media Cacing Tanah
Sebagai pakan ternak, limbah ternak kaya akan nutrien seperti protein, lemak BETN,
vitamin, mineral, mikroba dan zat lainnya. Ternak membutuhkan sekitar 46 zat makanan
esensial agar dapat hidup sehat. Limbah feses mengandung 77 zat atau senyawa, namun
didalamnya terdapat senyawa toksik untuk ternak. Untuk itu pemanfaatan limbah ternak
sebagai makanan ternak memerlukan pengolahan lebih lanjut. Tinja ruminansia juga telah
banyak diteliti sebagai bahan pakan termasuk penelitian limbah ternak yang difermentasi
secara anaerob.
Penggunaan feses sapi untuk media hidupnya cacing tanah, telah diteliti menghasilkan
biomassa tertinggi dibandingkan campuran feces yang ditambah bahan organik lain, seperti
feses 50% + jerami padi 50%, feses 50% + limbah organik pasar 50%, maupun feses 50% +
isi rumen 50% (Farida, 2000).

2. Pemanfaatan Sebagai Pupuk Organik


Pemanfaatan limbah usaha peternakan terutama kotoran ternak sebagai pupuk organik
dapat dilakukan melalui pemanfaatan kotoran tersebut sebagai pupuk organik. Penggunaan
pupuk kandang (manure) selain dapat meningkatkan unsur hara pada tanah juga dapat
meningkatkan aktivitas mikrobiologi tanah dan memperbaiki struktur tanah tersebut.
Kandungan Nitrogen, Posphat, dan Kalium sebagai unsur makro yang diperlukan tanaman,
tersaji dalam tabel 1 berikut:
Tabel 1. Kadar N, P dan K dalam pupuk kandang dari beberapa jenis ternak
Kandungan (%)
Jenis Pupuk Kandang
N
P2O5
Kotoran Sapi
0,6
0,3
Kotoran Kuda
0,4
0,3
Kotoran Kambing
0,5
0,3
Kotoran Ayam
1,6
0,5
Kotoran Itik
1,0
1,4
Sumber: Nurhazanah, Widodo, Asari dan Rahmarestia (2006).

K2O
0,1
0,3
0,2
0,2
0,6

Kotoran ternak dapat juga dicampur dengan bahan organik lain untuk mempercepat
proses pengomposan serta untuk meningkatkan kualitas kompos tersebut.
3.

Pemanfaatan Untuk Biogas


Permasalahan limbah ternak, khususnya manure dapat diatasi dengan memanfaatkan

menjadi bahan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Salah satu bentuk pengolahan yang
dapat dilakukan adalah menggunakan limbah tersebut sebagai bahan masukan untuk
menghasilkan bahan bakar biogas. Kotoran ternak ruminansia sangat baik untuk digunakan
sebagai bahan dasar pembuatan biogas. Ternak ruminansia mempunyai sistem pencernaan
khusus yang menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi
untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan berserat tinggi. Oleh karena itu
pada tinja ternak ruminansia, khususnya sapi mempunyai kandungan selulosa yang cukup
tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa tinja sapi mengandung 22.59% sellulosa,
18.32% hemi-sellulosa, 10.20% lignin, 34.72% total karbon organik, 1.26% total nitrogen,
27.56:1 ratio C:N, 0.73% P, dan 0.68% K (Lingaiah dan Rajasekaran, 1986).
Biogas adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas yang merupakan
hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan gas yang dominan adalah gas
metan (CH4) dan gas karbondioksida (CO2) (Simamora, 1989). Biogas memiliki nilai kalor
yang cukup tinggi, yaitu kisaran 4800-6700 kkal/m3, untuk gas metan murni (100 %)
mempunyai nilai kalor 8900 kkal/ m3. Menurut Maramba (1978) produksi biogas sebanyak

1275-4318 liter/ m3 dapat digunakan untuk memasak, penerangan, menyeterika dan


mejalankan lemari es untuk keluarga yang berjumlah lima orang per hari.
Bahan biogas dapat diperoleh dari limbah pertanian yang basah, kotoran hewan
(manure), kotoran manusia dan campurannya. Kotoran hewan seperti kerbau, sapi, babi dan
ayam telah diteliti untuk diproses dalam alat penghasil biogas dan hasil yang diperoleh
memuaskan (Harahap et al., 1980). Perbandingan kisaran komposisi gas dalam biogas antara
kotoran sapi dan campuran kotoran ternak dengan sisa pertanian dapat dilihat pada tabel 2
berikut:
Tabel 2 . Komposisi gas (%) dalam biogas yang berasal dari kotoran ternak dan sisa pertanian
Campuran kotoran ternak
Jenis gas
Kotoran sapi
dan sisa pertanian
Metana (CH4)
65,7
55-70
Karbondioksida (CO2)
27,0
27-45
Nitrogen (N2)
2,3
0,5-3,0
Karbonmonoksida (CO)
0,0
0,1
Oksigen (O2)
0,1
6,0
Propana (C2Hg)
0,7
Hidrogen Sulfida (H2S)
Tidak Terukur
Sedikit Sekali
Nilai Kalor (kkal/ m3)
6513
4800-6700
Sumber: Harahap et al. (1978).
Pembentukan biogas meliputi tiga tahap proses yaitu: (a) Hidrolisis, pada tahap ini
terjadi penguraian bahan-bahan organik mudah larut dan pencernaan bahan organik yang
komplek menjadi sederhana, perubahan struktur bentuk polimer menjadi bentuk monomer;
(b) Pengasaman, pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang
terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk asam.
Produk akhir dari perombakan gula-gula sederhana ini yaitu asam asetat,propionat, format,
laktat, alkohol, dan sedikit butirat,gas karbondioksida, hidrogen dan amonia; serta (c)
Metanogenik, pada tahap metanogenik terjadi proses pembentukan gas metan. Bakteri
pereduksi sulfat juga terdapat dalam proses ini, yaitu mereduksi sulfat dan komponen sulfur
lainnya menjadi hidrogen sulfida. Gambar 1 memperlihatkan diagram alur proses
perombakan selulosa hingga terbentuk gas (Nurtjahya et al., 2003).
Sedangkan bakteri-bakteri anaerob yang berperan dalam ketiga fase di atas terdiri dari:
a. Bakteri pembentuk asam (Acidogenic bacteria) yang merombak senyawa organik
menjadi senyawa yang lebih sederhana, yaitu berupa asam organik, CO2, H2, H2S.
b. Bakteri pembentuk asetat (Acetogenic bacteria) yang merubah asam organik, dan
senyawa netral yang lebih besar dari metanol menjadi asetat dan hidrogen.

c. Bakteri penghasil metan (metanogens), yang berperan dalam merubah asam-asam


lemak dan alkohol menjadi metan dan karbondioksida. Bakteri pembentuk metan
antara lain Methanococcus, Methanobacterium, dan Methanosarcina.

Gambar 1. Diagram Alur Proses Fermentasi Anaerob


Teknologi proses pencernaan anaerobik, yang merupakan dasar dari pembentukan
biogas yaitu merupakan proses pemecahan bahan organik oleh aktivitas bakteri metanogenik
dan bakteri asidogenik pada kondisi tanpa udara. Bakteri ini secara alami terdapat dalam
limbah yang mengandung bahan organik, seperti kotoran binatang, manusia, dan sampah
organik rumah tangga. Proses anaerobik dapat berlangsung di bawah kondisi lingkungan
yang luas meskipun proses yang optimal hanya terjadi pada kondisi yang terbatas (Tabel 3).
Tabel 3. Kondisi Pengoperasian pada Proses Pencernaan Anaerobik
Parameter
Nilai
Temperatur:
Mesofilik
35 OC
Termofilik
54 OC
Ph
7-8
Alkalinitas
2500 mg/ L minimum
Waktu Retensi
10-30 hari
Laju Terjenuhkan
0,15-0,35 kg VS/ m3 / hari
Hasil Biogas
4,5-11 m3/ kg VS
Kandungan Metana
60-70%
Sumber: Engler et al. (2000)

Adapun bakteri yang terlibat dalam proses anaerobik ini yaitu bakteri hidrolitik yang
memecah bahan organik menjadi gula dan asam amino, bakteri fermentatif yang mengubah
gula dan asam amino tadi menjadi asam organik, bakteri asidogenik mengubah asam organik
menjadi hidrogen, karbondioksida dan asam asetat dan bakteri metanogenik yang
menghasilkan metan dari asam asetat, hidrogen dan karbondioksida. Optimisasi proses biogas
akhir-akhir ini difokuskan pada proses pengontrolan agar mikroorganisme yang terlibat
dalam keadaan seimbang, mempercepat proses dengan peningkatan desain digester dan
pengoperasian fermentasi pada temperatur yang lebih tinggi dan peningkatan biogas yang
dihasilkan dari bahan dasar biomasa lignoselulosa melalui perlakuan awal.
Di dalam digester biogas, terdapat dua jenis bakteri yang sangat berperan, yakni
bakteri asidogenik dan bakteri metanogenik. Kedua jenis bakteri ini perlu eksis dalam jumlah
yang berimbang. Bakteri-bakteri ini memanfaatkan bahan organik dan memproduksi metan
dan gas lainnya dalam siklus hidupnya pada kondisi anaerob. Mereka memerlukan kondisi
tertentu dan sensitif terhadap lingkungan mikro dalam digester seperti temperatur, keasaman
dan jumlah material organik yang akan dicerna. Terdapat beberapa spesies metanogenik
dengan berbagai karateristik.
Bakteri metanogenik tidak aktif pada temperatur sangat tinggi atau rendah.
Temperatur optimumnya yaitu sekitar 35C. Jika temperatur turun menjadi 10C, produksi
gas akan terhenti . Produksi gas yang memuaskan berada pada daerah mesofilik yaitu antara
25-30C. Biogas yang dihasilkan pada kondisi di luar temperatur tersebut mempunyai
kandungan karbondioksida yang lebih tinggi. Pemilihan temperatur yang digunakan juga
dipengaruhi oleh pertimbangan iklim. Untuk kestabilan proses, dipilih kisaran temperatur
yang tidak terlalu lebar. Pada cuaca yang hangat, digester dapat dioperasikan tanpa
memerlukan pemanasan.
Kegagalan proses pencernaan anaerobik dalam digester biogas bisa dikarenakan tidak
seimbangnya populasi bakteri metanogenik terhadap bakteri asam yang menyebabkan
lingkungan menjadi sangat asam (pH kurang dari 7) yang selanjutnya menghambat
kelangsungan hidup bakteri metanogenik. Kondisi keasaman yang optimal pada pencernaan
anaerobik yaitu sekitar pH 6,8 sampai 8, laju pencernaan akan menurun pada kondisi pH
yang lebih tinggi atau rendah.
Bakteri yang terlibat dalam proses anaerobik membutuhkan beberapa elemen sesuai
dengan kebutuhan organisme hidup seperti sumber makanan dan kondisi lingkungan yang
optimum. Bakteri anaerob mengkonsumsi karbon sekitar 30 kali lebih cepat dibanding
nitrogen. Hubungan antara jumlah karbon dan nitrogen dinyatakan dengan rasio

karbon/nitrogen (C/N), rasio optimum untuk digester anaerobik berkisar 20 - 30. Jika C/N
terlalu tinggi, nitrogen akan dikonsumsi dengan cepat oleh bakteri metanogen untuk
memenuhi kebutuhan pertumbuhannya dan hanya sedikit yang bereaksi dengan karbon
akibatnya gas yang dihasilnya menjadi rendah. Sebaliknya jika C/N rendah, nitrogen akan
dibebaskan dan berakumulasi dalam bentuk amonia (NH 4) yang dapat meningkatkan pH.
Jika pH lebih tinggi dari 8,5 akan menunjukkan pengaruh negatif pada populasi bakteri
metanogen. Kotoran ternak sapi mempunyai rasio C/N sekitar 24.Hijauan seperti jerami atau
serbuk gergaji mengandung persentase karbon yang jauh lebih tinggi, dan bahan dapat
dicampur untuk mendapatkan rasio C/N yang diinginkan. Rasio C/N beberapa bahan yang
umum digunakan sebagai bahan baku biogas disajikan pada Tabel 4 (Karki dan Dixit, 1984).
Tabel 4. Rasio Karbon dan Nitrogen (C/N) dari beberapa bahan.
BAHAN
RATIO C/N
Kotoran bebek
8
Kotoran manusia
8
Kotoran ayam
10
Kotoran kambing
12
Kotoran babi
18
Kotoran domba
19
Kotoran sapi/ kerbau
24
Eceng Gondok
25
Kotoran gajah
43
Batang Jagung
60
Jerami Padi
70
Jerami Gandum
90
Serbuk Gergaji
Diatas 200
Sumber: Karki dan Dixit (1984)
4. Pemanfaatan Lainnya
Para peneliti di Michigan State University bekerja sama dengan Departemen Pertanian AS
(USDA) mengembangkan teknik pemrosesan dan pemurnian kotoran sapi agar menjadi serbuk
yang siap dipakai sebagai material penguat serat. Kedengarannya menjijikan tapi jangan khawatir
karena kotoran sapi yang sudah diolah tidak lagi berbau dan tidak membahayakan.
Sejak lama peternak tradisional memanfaatkan kotoran sapi sebagai pupuk kompos alami
yang hanya ditaburkan di sekitar tanamannya. Namun, karena jumlah peternakan yang semakin
besar dan tidak sebanding dengan lahan garapan, kotoran sapi menjadi limbah. Bau kotoran sapi
menjadi polusi yang mengganggu lingkungan perumahan. Sebagian peternak bahkan harus
mengeluarkan uang begitu besar hanya untuk menangani limbah ini.
Menurut Tim Zauche, profesor kimia dari Universitas Winconson seorang peternak sapi
perah rata-rata mengeluarkan 200 dollar AS untuk setiap sapinya dalam setahun hanya untuk

urusan ini. Bahkan, karena tuntutan pemerintah dan penduduk sekitar, beberapa peternakan besar
memasang sistem pengolahan yang mahal. Kotoran sapi diolah sehingga menghasilkan panas dan
sumber gas metana sebagai bahan bakar. Residunya tidak lagi berbau serta bermanfaat sebagai
kompos atau media bibit.
Namun, para peneliti berusaha memanfaatkannya lebih jauh sebagai material campuran
pengganti serbuk gergajian untuk memperkuat serat. Seperti halnya produk yang menggunakan
serbuk gergajian, serbuk dari kotoran sapi yang telah diolah dicampur dengan resin kemudian
dicetak dengan pemanasan dan penekanan. Sejauh ini, serat yang menggunakan serbuk kotoran
sapi memiliki daya rekat yang sama bahkan lebih kuat daripada serat campuran gergaji kayu. Para
ilmuwan di Michigan telah menguji coba berbagai kombinasi untuk menemukan campuran yang
paling kuat.

IV. KESIMPULAN

1. Limbah usaha peternakan berpeluang mencemari lingkungan jika tidak dimanfaatkan.


Namun memperhatikan komposisinya, kotoran ternak masih dapat dimanfaatkan sebagai
bahan pakan, media pertumbuhan cacing, pupuk organik, biogas, dan briket energi.
2. Pemanfaatan limbah ternak akan mengurangi tingkat pencemaran lingkungan baik
pencemaran air, tanah, maupun udara. Pemanfaatan tersebut juga menghasilkan nilai
tambah yang bernilai ekonomis.

DAFTAR PUSTAKA
Farida E. 2000. Pengaruh Penggunaan Feses Sapi dan Campuran Limbah Organik Lain
Sebagai Pakan atau Media Produksi Kokon dan Biomassa Cacing Tanah Eisenia
foetida savigry. Skripsi Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. IPB, Bogor.
Nurtjahya, Eddy. Dkk. 2003. Pemanfaatan limbah ternak ruminansia untuk mengurangi
pencemaran lingkungan. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Sofyadi Cahyan, 2003. Konsep Pembangunan Pertanian dan Peternakan Masa Depan. Badan
Litbang Departemen Pertanian. Bogor.
Sihombing D T H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan. Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor
Soehadji, 1992. Kebijakan Pemerintah dalam Industri Peternakan dan Penanganan Limbah
Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta.
Soeharsono, 2002. Anthrax Sporadik, Tak Perlu Panik. Dalam kompas, 12 September 2002,
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0209/12/iptek/anth29.htm
Widodo, Asari, dan Unadi, 2005. Pemanfaatan Energi Biogas Untuk Mendukung Agribisnis
Di Pedesaan. Publikasi Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian Serpong.

Anda mungkin juga menyukai