Anda di halaman 1dari 23

ANALISIS KONDISI DEMOKRASI DI INDONESIA

Artikel
ANALISIS KONDISI DEMOKRASI DI INDONESIA

2.1 Indikator keberhasilan demokrasi


Dalam suatu sistem atau kehidupan demokratis, terkadang kita merasa terbebani dengan tuntutan
untuk bisa hidup secara demokratis, begitupun negara. Menurut UNESCO (Miriam, 2008, 106)
hampir 80% negara di dunia ini memakai nama demokrasi dalam menjalankan roda kehidupan
negaranya. Lantas apa yang menjadi indikator dari keberhasilan kehidupan demokrasi di tiap-tiap
negara?, dalam latar belakang, Alamond menjelaskan bahwa ada 11 ciri dari suatu bentuk
demokrasi, yang disebut soko guru demokrasi atau pilar-pilar demokrasi, dan itu adalah yang
menjadi indikator bagi kita untuk menilai keberhasilan dari suatu negara dalam menjalankan
demokrasinya.

Soko Guru Demokrasi atau pilarnya Demokrasi merupakan tiang-tiang untuk membangun suatu
tatanan yang demokratis, dimana tiang-tiang atau soko guru demokrasi tersebut akan menopang
berdirinya demokrasi. Inilah yang menjadi indikator bagi penilaian sejauh mana demokrasi
berhasil ditegakkan. Tidak ada demokrasi jika tiang-tiang atau pilarnya tidak ditegakkan.
Menurut Alamund (Sri Wuryan, 2006: 84-85) soko guru dari demokrasi adalah:
1. Kekuasaan Mayoritas
Demokrasi atau pemerintahan perwakilan rakyat. Rakyat yang memilih langsung wakilnya
dalam pemerintahan. Karena seluruh model demokrasi memakai sistem pemilihan umum yang

dalam pelaksanaannya rakyat berhak memilih langsung perwakilannya atau partai dalam
pemerintahan, maka pemenang pemilihan umum dapat dikatakan sebagai kekuasaan mayoritas
dalam pemerintahan karena telah dipilih oleh suara mayoritas rakyat dalam pemilihan umum.
Kekuasaan mayoritas sebagai pemerintahan dan kaum minoritas sebagai pengkritik pemerintah
yang dipegang atau di jalankan kaum mayoritas.
Dalam kehidupan bangsa Indonesia, bisa dikatakan bahwa kita baru saja menerapkan atau
mengimplementasikan pilar demokrasi ini ke dalam sistem pemerintahan. Jika kita lihat sejarah
masa lalu, dimana jarang sekali ada pemilihan umum, dan jika ada pun ada, biasanya mereka
bersaing secara tidak sehat untuk mendapatkan kekuasaan itu.

2. Hak-Hak Minoritas
Jika kita berbicara mengenai hak-hak minoritas dalam sebuah sistem demokrasi, tentunya sangat
banyak orang atau pihak yang merasa dirinya terasingkan atau dengan kata lain, merasa kurang
mendapat perhatian yang lebih dari pihak yang mendominasi. Akan tetapi, di dalam konteks
demokrasi yang hampir secara umum sudah banyak negara-negara di dunia yang
menggunakannya sebagai suatu sistem pemerintahan yang menurutnya lebih stabil dalam segala
aspek yang ada. Namun, pada kenyataannya secara faktual pihak atau golongan yang lebih
sedikit (minoritas) hanya sedikit mengalami suatu pengakuan dan perhatian yan diperoleh dari
pihak-pihak yang lebih dominan (lebih besar). Sehingga, golongan minoritas yang kalah hanya
memiliki ruang gerak yang terbatas pada hal-hal yang kecil saja. Kemudian, hal tersebut mau
tidak mau harus mau untuk mengikuti setiap aturan dan kesepakatan yang telah disepakati oleh
golongan mayoritas. Dalam hal ini, Alamund berpendapat bahwa :
Suatu demokrasi yang dianut dan dijalankan oleh banyak negara yang ada, merupakan suatu

cara atau langkah yang diambil oleh negara untuk melindungi hak-hak yang ada. Sehingga,
apabila terjadi suatu kekalahan pada salah satu pihak (minoritas), diharapkan dapat menerima
dan mau mengikuti setiap aturan yang telah menjadi kesepakatan bersama. (Wuryan, 2006: 87)

3. Kedaulatan Rakyat
Pengertian demokrasi yang sederhana berkembang seiring perkembangan politik dan ilmu politik
sebagaimana dikemukakan oleh Abraham Licoln bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi memiliki arti penting bagi masyarakat yang
menggunakannya karena dalam sistem demokrasi ada jaminan bagi masyarakat untuk
menentukan sendiri jalannya organisasi Negara. Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara
memberikan pengertian bahwa rakyat dapat menentukan sendiri apa yang jadi kehendaknya,
termasuk mempengaruhi kebijakan Negara yang menyangkut kehidupan rakyat. Karena seorang
presiden mendapatkan kekuasaanya dari rakyat jadi yang mempunyai kekuasaan tertinggi adalah
rakyat maka dari itu rakyatlah yang berdaulat. Presiden hanya merupakan pelaksana dari apa
yang telah diputuskan atau dikehemdaki oleh rakyat. Teori kedaulatan rakyat juga diikuti oleh
Immanuel Kant yaitu:

tujuan negara itu adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan daripada warga
negaranya. Dalam pengertian kebebasan disini adalah kebebasan dalam batas perundangundangan, sedangkan undang-undang disini yang berhak membuat adalah rakyat itu sendiri.
Maka dari itu undang-undang adalah merupakan penjelmaan daripada kemauan atau kehendak
rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili kekuasaan tertinggi atau kedaulatannya. (Soehino, 2005:
161)

4. Pemerintahan berdasarkan persetujuan yang diperintah


Dalam melakukan segala aktivitasya, negara diharuskan meminta persetujuan terlebih dahulu
kepada yang diperintahnya, bisa juga dengan dilibatkannya yang diperintah dalam membuat
suatu kebijaksanaan. Seperti contoh dalam membuat Undang-Undang, dilibatkanlah para wakilwakilnya di legislatif. Ataupun dalam melakukan kegiatan kenegaraan, itu harus mendapatkan
persetujuan dari rakyat, atau wakil-wakil rakyat. Artinya, bahwa di dalam berdemokrasi setiap
suatu keputusan yang diambil oleh pemerintah, sebenarnya memang sudah menjadi suatu
keharusan yang mesti diambil dan dilaksanakan. Hal ini dilakukan, bertujuan agar antara
pemerintah dengan para lembaga-lembaga yang dibentuknya mengalami suatu kesesuaian yang
harmonis dalam menjalankan setiap program-program yang dicanangkan.
Dengan kata lain, di dalam mengambil sebuah keputusan maupun kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah harus bisa saling berkesinambungan antara satu sama lain. Sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh Finley:
Tidak ada batas teoritis, dari kekuasaan negara, tidak ada aktivitas, tidak ada lingkungan
mengenai prilaku manusia, yang tidak dapat dicampuri oleh negara secara sah, asalkan saja
setiap keputusan itu diambil menurut yang semestinya, dengan alasan apapun juga yang
dianggap sah oleh majelis . (Robert: 1972: 22)
Dari maksud kutipan yang kami ambil, bahwa setiap pemerintahan yang berkuasa pasti
mempengaruhi dan mencampuri setiap aspek dengan mengikutsertakan atau melibatkan setiap
lembaga-lembaganya, dalam menjalankan suatu program yang nantinya akan direalisasikan di
masyarakat umum.

5. Jaminan Hak Asasi Manusia


Menurut Maurice Cranston dan R. S. Downie (Carol. 1993: 195) Hak Asasi Manusia adalah hak
asasi yang terbatas pada hak sipil dan politik dan tidak mencakup hak ekonomi dan
kesejahteraan. Tetapi Henry Shue dan para teoritis Inggris (Hamid 2000: 20) berpendapat
bahwa apa saja yang dibutuhkan untuk bersubstensi atau untuk mempertahankan hidup adalah
hak asasi paling pokok. Tentu apabila kita melihat dari definisi hak asasi manusia menurut para
pakar diatas tersebut, ada suatu hal yang sangat kontradiktif dimana Downie mengatakan bahwa
HAM itu hanya hak sipil dan politis saja, sedangkan henry shue dan teoritis Inggris mengatakan
bahwa HAM itu mencakup apa saja yang dibutuhkan oleh manusia dalam mempertahankan
kehidupannya.
Hak asasi manusia dalam konsep demokrasi, demokrasi sangat menjunjung tinggi hak asasi
manusia karena rakyat sebagai manusia, rakyat juga yang berkuasa, maka dalam pelaksanaannya
negara harus menjamin hak-hak asasi/dasar yang dimiliki oleh manusia. Seperti hak untuk hidup,
hak memperoleh pendidikan, hak untuk berbicara, hak untuk beragama, hak untuk memperoleh
pekerjaan, hak untuk terhindar dari rasa takut, dan lain-lain.
Berbicara mengenai Hak Asasi Manusia di Indonesia tentu banyak sekali pelanggaran atau
kejahatan HAM yang terjadi di Indonesia. Terbukti dari semakin meningkatnya jumlah
pelanggaran yang terjadi saat ini, seperti maraknya pembunuhan, korupsi, dan lain-lain. Ini
mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia kurang mengamalkan dan menjunjung tinggi Hak
Asasi Manusia.

6. Pembatasan pemerintahan secara konstitusionil

Konstitusi atau undang-undang dasar merupakan kristalisasi dari berbagai pemikiran politik
ketika negara akan didirikan atau ketika konstitusi itu disusun. Pihak pemerintah menjalankan
roda pemerintahan harus berdasarkan konstitusi yang berlaku dalam Negara tersebut. Pemerintah
mempunyai batasan-batasan dalam menjalankan roda pemerintahan. Sebagaimana konstitusi
Indonesia Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi Negara Indonesia mengatur batasan-batasan
dalam menjalankan pemerintahan. Meskipun secara prinsip UUD 1945 menganut demokrasi
namun UUD ini tidak membentuk pagar-pagar pengaman yang kuat untuk membatasi kekuasaan
agar
demokrasi bisa terbangun.

7. Nilai- Nilai Toleransi, Pragmatisme, Kerja Sama, dan Mufakat


Dalam melaksanakan konsep demokrasi, manusia diharuskan memiliki nilai-nilai toleransi yang
tinggi dalam mengarungi kehidupan yang beranekaragam ini, dan juga harus memiliki nilai-nilai
pragmatisme atau selaras dengan kenyataan, mampu bekerjasama dengan baik, dan mencapai
sesuatu dengan cara yang mufakat. Sedikit penjelasan yang diutarakan di atas, merupakan hanya
sebagian kecil saja dari sekian banyak nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu,
nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, serta mufakat, merupakan unsur-unsur yang paling
mendasar yang harus dimasukan didalamnya.

8. Persamaan didepan Hukum


Didalam kehidupan demokrasi, atau yang sering disebut dengan negara demokratis, hukum
diciptakan oleh rakyat atau perwakilan dari rakyat agar terjadi ketertiban, dan keamanan dalam
kehidupan bernegara. Oleh karena itu hukum harus dipatuhi oleh setiap warganegara. Dalam hal

ini, siapapun dia, atas keinginan rakyat agar hidupnya menjadi tertib, aman, nyaman, hukum
harus menjadi sesuatu yang paling tinggi dalam masyarakat/warga negara dan tiada perbedaan
dalam penegakkan hukum. Dalam kacamata indonesia saat ini, kita masih menemukan banyak
sekali perbedaan pelayanan hukum dikehidupan sehari-hari. Seperti contoh pada kasus
pencurian 3 bibit kakao atau coklat yang berujung pada vonis 3 bulan penjara, sedangkan banyak
para koruptor seperti Arthalita dan Aulia Pohan, yang di vonis ringan padahal dia mencuri uang
rakyat bermilyar-milyar. (okezone.com)

Di Indonesia, uang memang masih sangat vokal untuk menyuarakan keputusan ataupun sesuatu.
Banyak sekali contoh yang tidak mengenakkan terkait penegakkan hukum di Indonesia. Terlebih
yang sedang gencar-gencarnya dibicarakan sekarang yaitu markus yang sedang diburu oleh
polisi, yang memang sangat menyengsarakan dan memalukan proses penegakkan hukum di
Indonesia.

9. Proses Hukum yang Wajar


Dalam kehidupan yang demokratis, proses hukum haruslah sewajar dan menjunjung tinggi nilainilai manusiawi. Maksudnya dalam penyelidikan dan penyidikan sampai dengan selesai suatu
perkara, si tersangka harus diperlakukan secara manusiawi, berlandaskan kepada kemanusiaan.
Seperti adanya asas-asas, contoh ada asas praduga tak bersalah, dan lain-lain. Dalam proses
hukum juga tidak boleh membeda-bedakan background seseorang, apakah dia tukang becak atau
presiden tetapi ketika dalam proses hukum, status dia adalah seorang tersangka/terdakwa.
Banyak sekali catatan buruk negeri kita terkait dengan cara polisi memecahkan suatu kasus.
Seperti contoh banyak sekali kekerasan dalam penyelidikan yang membuat si tersangka merasa

tidak tahan dengan siksaan yang diberikan oleh oknum polisi tersebut. Tentu ini menjadi catatan
buruk bagi bangsa Indonesia ini dalam hal penerapan proses hukum yang wajar dan demokratis,
sehingga akan mencoreng martabat para penegak hukum.
10. Pemilihan yang Bebas dan Jujur
Pemilihan umum adalah salah satu tiang dalam mencapai suatu pemerintahan rakyat atau
demokrasi.
Apabila dalam pelaksanaannya terdapat kecurangan-kecurangan, tentu itu akan berdampak
negatif terhadap jalannya demokrasi tersebut. Seperti sabotase suara, dan lain-lain. Pentingnya
menjaga agar pemilihan umum itu berjalan dengan bebas dan jujur dalam artian tidak ada
intervensi dari pihak partai untuk memaksa seseorang yang akan memilih, karena ketika
pemilihan sudah tidak independen, maka pemilihan tersebut sudah sangat kisruh dan tidak akan
menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas.
11. Pluralisme Sosial, Ekonomi, dan Politik
Pluralisme berasal dari kata plural, yang artinya beragam/banyak. Dalam kehidupan demokrasi,
berlandaskan pada hak asasi manusia, diwajarkan masyarakatnya sangat beranekaragam, baik itu
dalam sosial budaya, ekonomi dan politik. Maka dari itu tidak boleh ada diskriminasi baik itu
dalam pemerintahan, maupun dalam kehidupan bermasyarakat terhadap keberagaman tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia, nilai-nilai pluralisme ini sudah bisa dirasakan
dan masyarakat pun sudah mengerti dan toleran terhadap perbedaan yang ada.
Terbukti dahulu pada zaman sukarno, dimana para etnis china dilarang hidup di bumi pertiwi ini,
karena adanya PP no 23 tahun 1964 mengenai larangan etnis China yang bertempat tinggal di
Indonesia (www.kapanlagi.co.id). Padahal mereka juga adalah manusia yang mempunyai hak

hidup yang sama. Tetapi pada masa Gusdur, PP tersebut di cabut atau tidak diberlakukan
kembali, untuk menghormati hak asasi manusia.

2.2 Penegakkan demokrasi di Indonesia


Apabila kita melihat kepada pembahasan diatas, sangat jelas bahwa Indonesia belum secara
penuh mengamalkan soko guru yang diatas. Dengan banyaknya pelanggaran dan belum
ditegakkannya secara penuh apa yang menjadi pilar demokrasi tersebut, maka belum pantas jika
indonesia disebut sebagai negara demokratis, mungkin akan lebih pantas apabila Indonesia
disebut sebagai negara yang berjuang menjadi negara yang demokratis.
Memang apabila kita lihat bahwa sampai saat ini belum ada satu negara pun yang benar-benar
menerapkan demokrasi dalam kehidupannya, mereka yang kita anggap sudah demokratis pun
apabila kita tinjau dan telaah kembali, ternyata hanya sedikit ataupun hanya mendekati negara
yang demokratis, sungguh berat memang suatu konsep negara demokrasi itu, menginginkan
suatu konsep yang benar-benar baik untuk diterapkan berarti menginginkan suatu yang harus
secara benar untuk diperjuangkan.

Nama : Ari Adiansyah

Kelas : XI TKR 3
NO Absen : 06

Artikel
MENGANALISIS PELAKSANAAN DEMOKRASI DI INDONESIA
SEJAK REVOLUSI, ORDE LAMA, ORDE BARU DAN REFORMASI

2.1. Sejarah Demokrasi di Indonesia


Sejak Indonesia merdeka dan berdaulat sebagai sebuah negara pada tanggal 17 Agustus 1945,
para Pendiri Negara Indonesia (the Founding Fathers) melalui UUD 1945 (yang disahkan pada
tanggal 18 Agustus 1945) telah menetapkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
(selanjutnya disebut NKRI) menganut paham atau ajaran demokrasi, dimana kedaulatan
(kekuasaan tertinggi) berada ditangan Rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan demikian berarti juga NKRI tergolong sebagai negara
yang menganut paham Demokrasi Perwakilan (Representative Democracy).
Sejalan dengan diberlakukannya UUD Sementara 1950 (UUDS 1950) Indonesia mempraktekkan
model Demokrasi Parlemeter Murni (atau dinamakan juga Demokrasi Liberal), yang diwarnai
dengan cerita sedih yang panjang tentang instabilitas pemerintahan (eksekutif = Kabinet) dan
nyaris berujung pada konflik ideologi di Konstituante pada bulan Juni-Juli 1959.

Guna mengatasi konflik yang berpotensi mencerai-beraikan NKRI tersebut di atas, maka pada
tanggal 5 Juli 1959, Presiden Ir.Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang memberlakukan
kembali UUD 1945, dan sejak itu pula diterapkan model Demokrasi Terpimpin yang diklaim
sesuai dengan ideologi Negara Pancasila dan paham Integralistik yang mengajarkan tentang
kesatuan antara rakyat dan negara.
Namun belum berlangsung lama, yaitu hanya sekitar 6 s/d 8 tahun dilaksanakan-nya
Demokrasi Terpimpin, kehidupan kenegaraan kembali terancam akibat konflik politik dan
ideologi yang berujung pada peristiwa G.30.S/PKI pada tanggal 30 September 1965, dan
turunnya Ir. Soekarno dari jabatan Presiden RI pada tanggal 11 Maret 1968.
Demokrasi Pancasila (Orba) berhasil bertahan relatif cukup lama dibandingkan dengan modelmodel demokrasi lainnya yang pernah diterapkan sebelumnya, yaitu sekitar 30 tahun, tetapi
akhirnyapun ditutup dengan cerita sedih dengan lengsernya Jenderal Soeharto dari jabatan
Presiden pada tanggal 23 Mei 1998, dan meninggalkan kehidupan kenegaraan yang tidak stabil
dan krisis disegala aspeknya.
Sejak runtuhnya Orde Baru yang bersamaan waktunya dengan lengsernya Presiden Soeharto,
maka NKRI memasuki suasana kehidupan kenegaraan yang baru, sebagai hasil dari kebijakan
reformasi yang dijalankan terhadap hampir semua aspek kehidupan masyarakat dan negara yang
berlaku sebelumnya. Kebijakan reformasi ini berpuncak dengan di amandemennya UUD 1945
(bagian Batangtubuhnya) karena dianggap sebagai sumber utama kegagalan tataan kehidupan
kenegaraan di era Orde Baru.
Model Demokrasi pasca Reformasi (atau untuk keperluan tulisan ini dinamakan saja sebagai
Demokrasi Reformasi, karena memang belum ada kesepakatan mengenai namanya) yang
telah dilaksanakan sejak beberapa tahun terakhir ini, nampaknya belum menunjukkan tanda-

tanda kemampuannya untuk mengarah-kan tatanan kehidupan kenegaraan yang stabil (ajeq),
sekalipun lembaga-lembaga negara yang utama, yaitu lembaga eksekutif (Presiden/Wakil
Presiden) dan lembaga-lembaga legislatif (DPR dan DPD) telah terbentuk melalui pemilihan
umum langsung yang memenuhi persyaratan sebagai mekanisme demokrasi.

2.2. Perkembangan Demokrasi di Indonesia


Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dilihat dari Pelaksanaan Demokrasiyang pernah
ada di Indonesiai ini. Pelaksanaan demokrasi di indonesia dapat dibagi menjadi beberapa
periodesasi antara lain :
1. Pelaksanaan demokrasi pada masa revolusi ( 1945 1950 ).
Tahun 1945 1950, Indonesia masih berjuang menghadapi Belanda yang ingin kembali ke
Indonesia. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi belum berjalan dengan baik. Hal itu disebabkan
oleh masih adanya revolusi fisik. Pada awal kemerdekaan masih terdapat sentralisasi kekuasaan
hal itu terlihat Pasal 4 Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbnyi sebelum MPR, DPR dan DPA
dibentuk menurut UUD ini segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden denan dibantu oleh KNIP.
Untuk menghindari kesan bahwa negara Indonesia adalah negara yang absolut pemerintah
mengeluarkan :

Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, KNIP berubah menjadi lembaga
legislatif.
Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 tentang Pembentukan Partai Politik.
Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 tentang perubahan sistem pemerintahn
presidensil menjadi parlementer

2. Pelaksanaan demokrasi pada masa Orde Lama


a. Masa Demokrasi Liberal 1950 1959
Masa demokrasi liberal yang parlementer presiden sebagai lambang atau berkedudukan sebagai
Kepala Negara bukan sebagai kepala eksekutif. Masa demokrasi ini peranan parlemen,
akuntabilitas politik sangat tinggi dan berkembangnya partai-partai politik.
Namun demikian praktik demokrasi pada masa ini dinilai gagal disebabkan :
Dominannya partai politik
Landasan sosial ekonomi yang masih lemah
Tidak mampunya konstituante bersidang untuk mengganti UUDS 1950
Atas dasar kegagalan itu maka Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :
Bubarkan konstituante
Kembali ke UUD 1945 tidak berlaku UUD S 1950
Pembentukan MPRS dan DPAS
b. Masa Demokrasi Terpimpin 1959 1966
Pengertian demokrasi terpimpin menurut Tap MPRS No. VII/MPRS/1965 adalah kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang berintikan
musyawarah untuk mufakat secara gotong royong diantara semua kekuatan nasional yang
progresif revolusioner dengan berporoskan nasakom dengan ciri:
1. Dominasi Presiden
2. Terbatasnya peran partai politik
3. Berkembangnya pengaruh PKI
Penyimpangan masa demokrasi terpimpin antara lain:
1. Mengaburnya sistem kepartaian, pemimpin partai banyak yang dipenjarakan

2. Peranan Parlemen lembah bahkan akhirnya dibubarkan oleh presiden dan presiden membentuk
DPRGR
3. Jaminan HAM lemah
4. Terjadi sentralisasi kekuasaan
5. Terbatasnya peranan pers
6. Kebijakan politik luar negeri sudah memihak ke RRC (Blok Timur)
Akhirnya terjadi peristiwa pemberontakan G 30 September 1965 oleh PKI yang menjadi tanda
akhir dari pemerintahan Orde Lama.
3. Pelaksanaan demokrasi Orde Baru 1966 1998
Dinamakan juga demokrasi pancasila. Pelaksanaan demokrasi orde baru ditandai dengan
keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, Orde Baru bertekad akan melaksanakan Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Awal Orde baru memberi harapan baru pada rakyat
pembangunan disegala bidang melalui Pelita I, II, III, IV, V dan pada masa orde baru berhasil
menyelenggarakan Pemilihan Umum tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Namun demikian perjalanan demokrasi pada masa orde baru ini dianggap gagal sebab:
1. Rotasi kekuasaan eksekutif hampir dikatakan tidak ada
2. Rekrutmen politik yang tertutup
3. Pemilu yang jauh dari semangat demokratis
4. Pengakuan HAM yang terbatas
5. Tumbuhnya KKN yang merajalela
Sebab jatuhnya Orde Baru:
1. Hancurnya ekonomi nasional ( krisis ekonomi )
2. Terjadinya krisis politik

3. TNI juga tidak bersedia menjadi alat kekuasaan orba


4. Gelombang demonstrasi yang menghebat menuntut Presiden Soeharto untuk turun jadi
Presiden.
4. Pelaksanaan Demokrasi Reformasi {1998 Sekarang).
Berakhirnya masa orde baru ditandai dengan penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharto ke
Wakil Presiden BJ Habibie pada tanggal 21 Mei 1998.
Masa reformasi berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis antara lain:
1. Keluarnya Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi
2. Ketetapan No. VII/MPR/1998 tentang pencabutan tap MPR tentang Referandum
3. Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bebas dari KKN
4. Tap MPR RI No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil
Presiden RI
5. Amandemen UUD 1945 sudah sampai amandemen I, II, III, IV
Pada Masa Reformasi berhasil menyelenggarakan pemiluhan umum sudah dua kali yaitu tahun
1999 dan tahun 2004.
2.3 Perbedaan Perbedaan Demokrasi
1. Berkenaan dengan Kedaulatan Rakyat.
a. Demokrasi Liberal.
Kedaulatan Rakyat sepenuhnya dilaksanakan oleh DPR (Parlemen). Dan DPR membentuk serta
memberhentikan Pemerintah/Eksekutif (Kabinet).
b. Demokrasi Terpimpin.
Meskipun secara normatif konstitusional ditetapkan bahwa Kedaulatan ada ditangan rakyat dan
dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusya-waratan Rakyat (MPR), namun secara praktis

justru kedaulatan sepenuhnya berada ditangan Presiden. Dan Presiden membentuk MPR(S) dan
DPR-GR berdasarkan Keputusan Presiden
c.Demokrasi Pancasila (Orba).
Kedaulatan Rakyat sepenuhnya dijalankan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), baru
kemudian MPR membagi-bagikan kedaulatan tersebut kedalam bentuk kekuasaan-kekuasaan
kepada lembaga-lembaga negara lainnya (Presiden, DPR, MA, Bepeka dsb.)
d. Demokrasi Reformasi.
Kedaulatan Rakyat sepenuhnya tetap berada ditangan rakyat, dan rakyat secara langsung
membagi-bagikan kedaulatan tersebut kedalam bentuk kekuasaan-kekuasaan kepada lembagalembaga negara lainnya (Presiden, MPR, DPR, DPD, MA, MK, dsb.)
2. Berkenaan dengan Pembagian Kekuasaan
a. Demokrasi Liberal
Kekuasaan DPR (Legislatif) sangat kuat dibandingkan dengan kekuasaan Pemerintah/Kabinet
(Eksekutif), bahkan DPR dapat memberhentikan Pemerintah/Kabinet. Sementara Presiden hanya
berkedudukan sebagai Kepala Negara saja (Simbol Negara saja).
b. Demokrasi Terpimpin.
Kekuasaan Pemerintah/Presiden (Eksekutif) sangat kuat (dominan) dibandingkan dengan
kekuasaan DPR (Legislatif), bahkan Presiden dapat membubarkan DPR serta mengangkat
anggota-anggota DPR (GR).
Jabatan Presiden ditetapkan untuk masa seumur hidup, sehingga tidak bisa diberhentikan oleh
MPRS.
c. Demokrasi Pancasila (Orba)
Meskipun secara normatif konstitusional, ditetapkan :

1). Kekuasaan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekutif) maupun Kepala Negara
lebih kuat dibandingkan kekuasaan DPR (Legislatif).
2). Kecuali dalam hal Anggaran Belanja Negara, maka kekuasaan Presiden dibidang legislasi
(pembentukan undang-undang) lebih kuat dibanding-kan kekuasaan DPR (Legislatif).
Nama : Dedi Irawan
Kelas : XI TKR 3
NO Absen : 11

ANALISIS KONDISI DEMOKRASI DI INDONESIA DAN BAGAIMANA


PELAKSANAAN DEMOKRASI DI INDONESIA DENGAN SISTEM
PEMERINTAHAN PRESIDENSIL

BAB I
PENDAHULUAN

1.Latar Belakang
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya
mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh
pemerintah negara tersebut.Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang
membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan
dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat
yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini

diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol
berdasarkan prinsip checks and balances.
Berawal dari kemenangan Negara-negara Sekutu (Eropah Barat dan Amerika Serikat) terhadap
Negara-negara Axis (Jerman, Italia & Jepang) pada Perang Dunia II (1945), dan disusul
kemudian dengan keruntuhan Uni Soviet yang berlandasan paham Komunisme di akhir Abad
XX , maka paham Demokrasi yang dianut oleh Negara-negara Eropah Barat dan Amerika Utara
menjadi paham yang mendominasi tata kehidupan umat manusia di dunia dewasa ini.
Indonesia adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi demokrasi, untuk di Asia Tenggara
Indonesia adalah negara yang paling terbaik menjalankan demokrasinya, mungkin kita bisa
merasa bangga dengan keadaan itu.Didalam praktek kehidupan kenegaraan sejak masa awal
kemerdekaan hingga saat ini, ternyata paham demokrasi perwakilan yang dijalankan di Indonesia
terdiri dari beberapa model demokrasi perwakilan yang saling berbeda satu dengan lainnya

BAB II
PEMBAHASAN

Perjalanan sejarah sistem politik dan penegakan hukum Indonesia selama ini menunjukkan suatu
bukti bahwa semata-mata konstitusi dalam wujud UUD tidak dapat dijadikan pegangan dalam
kehidupan sistem politik yang demokratis maupun penegakan hukum.
UUD 1945 telah berlaku di empat periode kepemerintahan, masa Kemerdekaan (1945-1959), era
Demokrasi Terpimpin (1959-1966), masa Orde Baru (1966-1998) dan era Reformasi (1998Sekarang). Semuanya ternyata menunjukkan corak dan karakter kepemerintahan yang berbeda
satu periode dengan periode lainnya.
Di masa kemerdekaan, meski berlaku tiga macam UUD (1945, RIS dan 1950) namun kehidupan
sistem demokrasi dapat berjalan dan hukum dapat ditegakkan. Setelah dekrit presiden 5 Juli
1959, UUD 1945 kembali berlaku dan dinyatakan penggunaan sistem Demokrasi Terpimpin,
namun yang berlaku sistem otoritarian (Hatta, Demokrasi Kita, 1960). Buktinya, terjadi
pembubaran partai politik yang tidak sejalan dengan keinginan pemerintah (yaitu, Masyumi dan
PSI), media massa yang kritis dibredel, penangkapan dan penawanan lawan politik pemerintah
tanpa proses hukum termasuk para pendiri partai mantan-mantan Perdana Menteri, mantanmantan menteri, pemimpin ormas juga ulama. Sehingga hukum didominasi penguasa tunggal di
masa itu.
Masa itu kemudian beralih kepada masa pemerintahan Orde Baru tahun 1966. Awal permulaan
masa ini membawa dan menumbuhkan harapan baru sistem demokrasi dan penegakan hukum
setelah rakyat bersama mahasiswa dan pelajar secara bergelombang turun ke jalan menentang
kesewenang-wenagan PKI. Rakyat dan pemerintah bekerjasama menjalankan pemerintahan yang
demokratis dan menegakan hukum dengan semboyan kembali ke UUD 1945 dengan murni dan
konsekuen.

Suasana harmonis itu ternyata tidak berlangsung lama. Sejak dikeluarkannya UU No. 15 dan 16
Tahun 1969, tentang Pemilu dan tentang Susunan dan Kedudukan Lembaga Negara. Dari sini
mulai nampak keinginan politik elit penguasa untuk menghimpun kekuatan dan meraih
kemenganan mutlak pada pemilu yang sedianya akan diselenggarakan pada tahun 1970 ternyata
baru dapat dilaksanakan tahun 1971, karena usaha penggalangan kekuatan lewat Golongan
Karya (GOLKAR) memerlukan waktu cukup lama.
Akhirnya telah tercatat dalam sejarah, dari pemilu ke pemilu, kemenagan mutlak diraih oleh
GOLKAR sebagai mesin politik pemerintah Orde Baru yang dikawal oleh ABRI. Seluruh
Lembaga Negara, baik tinggi maupun tertinggi telah dikuasai, dari Presiden, Panglima Tertinggi
sampai ke lurah dan kepala desa, bahkan sampai RT, RW.
Masa sekarang, Era Reformasi yang diawali dengan perubahan mendadak dari sistem politik
otoriter ke sistem demokrasi. Saat pemerintahan transisi di bawah presiden BJ Habibie, sendisendi demokrasi berubah 180 derajat. Kebebasan membentuk partai politik, Lembaga-lembaga
perwakilan bebas berbicara, Pers yang sebelumnya tercekam oleh ancaman pencabutan SIUP
mendadak sontak dibebaskan tanpa SIUP. Rakyat bebas menyampaikan aspirasinya lewat
demonstrasi.
Akibat kebebasan yang begitu tiba-tiba terjadilah euphoria politik di lingkungan elit politik baru
dan lama. Terjadi kebebasan yang hampir-hampir berakibat tindakan-tindakan anarkis di
kalangan masyarakat. Demokrasi tanpa persiapan dengan perangkat hukum yang melandasinya.
Pengamat ada yang menyebut, di era Reformasi ini, sepertinya yang nampak masyarakat,
sedangkan pemerintah tenggelam. Adapun di zaman Orde Baru yang tampak pemerintah
sedangkan rakyatnya tenggelam.

Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasar UUD 1945 sebelum Diamandemen.


Sistem pemerintahan ini tertuang dalam penjelasan UUD 1945 tentang 7 kunci pokok sistem
pemerintahan. Yaitu :
Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)
Sistem Konstitusional.
Kekuasaan tertinggi di tangan MPR
Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah MPR.
Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
Menteri Negara adalah pembantu presiden, dan tidak bertanggung jawab terhadap DPR.
Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.

Berdasarkan tujuh kunci pokok tersebut, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945
menganut sistem pemerintahan presidensial.Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa Orde
Baru dibawah kepemimpinan Presiden Suharto.Ciri dari sistem pemerintahan presidensial ini
adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan.
Pada saat sistem pemerintahan ini, kekuasaan presiden berdasar UUD 1945 adalah sebagai
berikut :

Pemegang kekuasaan legislative.


Pemegang kekuasaan sebagai kepala pemerintahan.
Pemegang kekuasaan sebagai kepala Negara.
Panglima tertinggi dalam kemiliteran.
Berhak mengangkat & melantik para anggota MPR dari utusan daerah atau golongan.

Berhak mengangkat para menteri dan pejabat Negara.


Berhak menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain.
Berhak mengangkat duta dan menerima duta dari Negara lain.
Berhak memberi gelaran, tanda jasa, dan lain lain tanda kehormatan.
Berhak memberi grasi, amnesty, abolisi, dan rehabilitasi.

BAB III
KESIMPULAN

A.Dampak negatif dari sistem presidensil yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia
Dampak negatif yang terjadi dari sistem pemerintahan yang bersifat presidensial ini adalah
sebagai berikut :

Terjadi pemusatan kekuasaan Negara pada satu lembaga, yaitu presiden.

Peran pengawasan & perwakilan DPR semakin lemah.


Pejabat pejabat Negara yang diangkat cenderung dimanfaat untuk loyal dan
mendukung

kelangsungan kekuasaan presiden.

Kebijakan yang dibuat cenderung menguntungkan orang orang yang dekat presiden.
Menciptakan perilaku KKN.
Terjadi personifikasi bahwa presiden dianggap Negara.
Rakyat dibuat makin tidak berdaya, dan tunduk pada presiden.

B.Dampak Positif dari sistem Presidensil yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia

Dampak positif yang terjadi dari sistem pemerintahan yang bersifat presidensial ini adalah
sebagai berikut :

Presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan.


Presiden mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid.
Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti.
Konflik dan pertentangan antar pejabat Negara dapat dihindari.

Anda mungkin juga menyukai