Anda di halaman 1dari 9

Fraktur Tertutup Femur Dextra 1/3 Distal

Gita Nur Azizah


102013182
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510, No. Telp (021) 5694-2061
Email: Gita.2013fk182@civitas.ukrida.ac.id

Pendahuluan
Femur atau tulang paha adalah tulang terpanjang dari tubuh. Tulang itu bersendi dengan
asetabulum dalam formasi persendian panggul dan dari sini menjulur medial ke lutut dan
membuat sendi dengan tibia. Tulangnya berupa tulang pipa dan mempunyai sebuah batang dan
dua ujung yaitu ujung atas, batang femur dan ujung bawah.1
Daerah tulang-tulang ini sering mengalami fraktur. Frakur merupakan terputusnya kontuinitas
tulang.2 Penyebab fraktur pada umumnya adalah trauma, terjadi baik di kalangan yang muda dan
aktif dengan dengan banyak aktivitas maupun di kalangan tua yang biasanya osteoporosis dan
penyakit penurunan bone mass dendity lain merupakan suatu predisposisi penting selain akibat
adanya trauma akibat suatu kejadian seperti jatuh atau kecelakaan. Macam-macam trauma yang
dapat menyebabkan fraktur adalah trauma langsung ataupun tidak langsung. Trauma langsung
adalah benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat terjadi benturan tersebut.
Trauma tidak langsung terjadi bilamana titik tumpu benturan jauh dari tempat terjadinya faktur.
Pada kasus, ini fraktur yang dialami laki-laki tersbut merupakan fraktur traumatic, fraktur yang
diakibatkan adanya trauma misalnya jatuh. Oleh sebab itu, penulisan makalah ini diharapkan
agara pembacanya dapat mengerti tentang gambaran fraktur femur dalam anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang, working dan differential diagnosis, mekanisme terjadinya
trauma, penatalaksanaan, komplikasi, pencegahan dan prognosis untuk konsep pemahamaan
dalam menegakkan diagnosis fraktur femur.
Skenario
Seorang laki-laki berusia 18 tahun, dibawa ke UGD RS dengan keluhan sakit pada kaki kananya
setalah mengalami kecelakaan sepeda motor 1 jam uyang lalu. Laki-laki tersebut mengalami
kesakitan pada tungkai bawah kanan diatas sendi lutut. laki-laki tersebut tidak dapat berdiri dan
merasa kesakitan ketika berusaha mengangkat pahanya. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan
tanda-tanda vital dalam batas normal. Pada region femur dextra 1/3 distal edema, hematom dan
deformitas, krepitasi (+), nyeri tekan (+), pulsasi distal teraba, tidak melemah, gerakan tungkai
terbatas.
Rumusan Masalah
Laki-laki umur 18 tahun mengalami sakit pada tungkai bawah kanan di atas sendi lutut karena
disebabkan fraktur tertutup femur dextra 1/3 distal.
Istilah yang Tidak Diketahui
1

Krepitasi : sensai berderak yang terba dan sering diteman pada tulang rawan sendi yang
menjadi kasar
Pulsasi : denyutan
Anamnesis
Anamnesis adalah pemeriksaan yang dilakukan melalui sesuatu percakapan antara seorang
dokter dan pasien secara langsung atau melalui perantara orang lain yang mengetahui kondisi
pasien dengan tujuan untuk mendapatkan data pasien beserta permasalahan medisnya.
Anamnesis dibagi menjadi dua yaitu autoanamnesis bila dokter bias menanyakankan keluhankeluhan yang dihadapi langsung dengan si penderita, dan alloanamnesis bila kondisi si penderita
tidak memungkinkan untuk untuk ditanyai sehingga dokter menanyakan keluhan kepada orang
yang mengetahui kondisi pasien. Apabila anamnesis dilakukan dengan cermat maka
informasikan yang didapatkan sangat berharga untuk menegakan suatu diagnosis.
Pada kasus ini, anamnesis yang dilakuakn adalah secara autoanamnesis. Hal pertama yang harus
ditanyakan dalam anamnesis adalah identitas. Dalam kasus diketahui identitas pasien adalah
seseorang laki-laki berusia 18 tahun. Selanjutnya tanyakan keluhan utama, pada kasus pasien ini
memilkiki keluhan sakit pada kaki kanan setelah kecelakaan sepeda mototr 1 jam yang lalu.
Tanyakan pula keluhan penyerta yang pada kasus diketahui pasien tersebut tidak dapat berdiri
dan sakit ketika mengangkat pahanya. Selain itu tanyakan riwayat penyakit dahulu, apakah
pernah mengalami operasi sebelumnya, obat-obatan yang sudah dikonsumsi sebelumnya dan
riwayat alergi. Juga tanyakan apakah memiliki riwayat penyakit DM, atau penyakit-penyakit
muskuloskeletal lain.
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik merupakan pemeriksaan dimana kontak pasien dengan dokter secara langsung.
Pada pemeriksaan fisik, selain memeriksaan keadaan organ-organ pasien, yang harus dilakukan
adalah memeriksa keadaan umum pasien (pemeriksaan tanda-tanda vital) yang terdiri dari
tekanan darah, pernafasan, nadi, suhu. Pada kasus diketahui diketahui tanda-tanda vital pasien
dalam batas normal.
Setelah dilakukan pemeriksaan fisik secara umum, pemeriksaan di lanjutkan dengan
pemeriksaan system musculoskeletal dan pemeriksaan neurologis pemeriksaan. Pemeriksaan
pada bagian yang terjadi keluhan utama pasien yaitu bagian femur dextra 1/3 distal dilakukan
secara teliti. Pemeriksaan dilakukan secra sistematis, dimulai dari inspeksi, palpasi, menilai
gerak sendi baik aktif maupun pasif, serta pemeriksaan neurologis.
Pemeriksaan inspeksi sudah dimulai sejak penderita datangpertama kali, yaitu dengan melihat
postur, cara berjalan penderita, raut muka, warna dan tekstur kulit serta jaringan parut. Pada
kasus dapat diketahui hasil inspeksi adalah terdapat edema, defotmitas dan hematom pada regio
femur dextra 1/3 distal.
Pemeriksaan palpasi dilakukan untuk merasakan suhu kulit serta denyutan arteri. Jika terdapat
nyeri tekan, perlu diselidiki apakah nyeri tersebut bersifat setempat atau merupakan nyeri alih.
Lakukan palpasi pada daerah ekstermitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan
2

dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi. Palpasi tulang harus
mencakup penilaian bentuk, permukaan, ketebalan, penonjolan tulang atau adanya gangguan
hubungan antar tulang. Lakukan pula penilaian deformitas. Pada kasus diketahui hasil
pemeriksaan palpasi terdapat deformitas, krepitasi nyeri tekan dan pulsasi distal teraba. Pada
pemeriksaan palpasi ini seharusnya dilakukan juga pengukuran panjang anggota gerak, terutama
untuk ekstermitas bawah yang memungkinkan mengalami perbedaan panjang. Pengukuran ini
berguna untuk mengetahui adanya atrofi/pembengkakan otot dengan membandingkannya dengan
anggota gerak yang sehat.
Pada pemeriksaan pergerakan perlu diperhatian apakah pergerakan disertai nyeri, krepitasi atau
spastisitas (resistensi terhadap pergerakan). Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan
menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping
itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
Pada kasus diketahui gerakan tungkai terbatas dengan disertai nyeri dan krepitasi.
Fraktur pada tulang panjang dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak, sedangkan
pada tulang tertutup darah tidak dapat keluar, oleh karena itu sering menimbulkan peningkatan
tekanan compartemen otot. Pada fraktur tungkai bawah sering terjadi compartement syndrome,
maka harus dilakukan pemeriksaan Neurovasculer distal terutama jika bengkak nyata dan kulit
tegang. Pengenalan yang terlambat pada compartemen syndrome dapat berakir dengan kematian
jaringan distal dari fraktur sehingga harus dilakuakn amputasi.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menentukan jenis dan kedudukan fragmen fraktur.
Foto X-ray harus memenihi beberapa syarat, yaitu letak patah tulang harus dilakukan di
pertengahan foto dan sinar harus menembus tempat ini secara tegak lurus. Bila sinar
menembus secara miring, gambara menjadi samar, kurang jelas dan berbeda dari kenyataan.
Harus selalu dibuat dua lembar foto dengan arah yang saling tegak lurus. Persendian
proksimal maupun distal harus tercakup dalam foto. Bila ada kesangsian atas adanya patah
tulang, sebaiknya dibuat foto yang sama dari ekstermitas kontralateral yang sehat untuk
perbandingan.
Pemeriksaan bone scanning dapat membantu umtuk ,elihat stress fracture, tumor dan infeksi.
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan dengan sensitivitas tinggi dengan stress fracture
tetapi memiliko spesifitas rendah. MRI dapat dilakukan untuk melihat adanya kerusakan
pada jaringan lunak di sekitar tempat fraktur. Pemeriksaan ini merukan pemeriksaan yang
paling akurat dan dapat dilakukan dalam 24 jam setelah terjadinya cedera. Bila diduga terjadi
perdarahan arteriografi.
Pemeriksaan laboratorium
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hb, hematocrit sering rendah akibat
pendarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak yang sangat
luas. Lakukan pula pemeriksaan golongan darah jika saat menjelang operasi ditemukan
anemia.
3

Diagnosis
Dari pemeriksaan dan tanda-tanda yang diketahui dari kasus, dapat disimpulkan bahwa pasien ini
menderita fraktur tertutup femur dextra 1/3 distal, karena di temukan krepitasi dan nyeri pada
daerah 1/3 distal femur dextra, dan patahan tulang tidak sampai berhubungan dengan dunia luar.
Manisfestasi Klinis
Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di bagia tulang yang
patah, deformitas, nyeri tekan, krepitasi, gangguan fungsi musculoskeletal akibat nyeri, putusnya
kontinuitas tulang dan gangguan vascular. Apabila gejala klasik tersebut ada, secara klinis
didiagnosis fraktur dapat ditegakan walaupun jenis konfigurasi frakturnya belum ditentukan.
Etiologi
Tulang bersifat relative rapuh namun mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan. Fraktur dapat diakibatkan oleh bebrapa hal yaitu:
1. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba/mendadak dan berlebihan yang
dapat berupa pemukulah, penghancuran, perubahan pemuntiran dan penarikan. Bila
tekanan kekuatan secara langsung, tulang dapat patah pada tempat yag terkena dan
jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur
melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan
menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.
2. Fraktur akibat tekanan berulang (stress fracture)
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat tekanan
berulang-ulang. Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia, fibula atau metatarsal
terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak
jauh.
3. Fraktur patologik karena kelainan tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak (misalnya oleh
tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh (osteoporosis).
Epidemologi
Kasus fraktur 1/3 distal ini kebanyakan terjadi karena kecelakaan atau trauma, oleh sebab itu
kasus seperti ini bias terjadi pada siapa saja diseluruh dunia. Namun lebih sering terkena pada
orang muda karena trauma saat melakuakan aktifitas fisik termasuk berkendara.
Patofisologi
Ketika patah tulang, akan terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum tulang dan
jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut adalah terjadi pendarahan, kerusakan tulang dan jaringan
disekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematom pada medulla antara tepi tulang dibawah
periosteum dan jaringan tulang yang mengitari fraktur. Terjadinya respon inflamasi akibat
sirkulasi jaringan nekrotik adalah ditandai dengan vasodilatasi dari plasma dan leukosit. Ketika
terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakuakn proses penyembuahan untuk memperbaiki
cidera, tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang. Hematom yang terbentuk bias
menyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum tulang yang kemudian merangsang
pembebesan lemak dan gumpalan lemak tersebutmasuk kedalam pembuluh darah yang
mensuplai organ-organ yang lain. Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga
4

meningkatkan tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamine pada otot yang iskhemik dan
menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini menyebabkan terjadinya
edema. Edema yang terbentukakan menekankan ujung syaraf. Nyeri dirasakan langsung setelah
terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerukan
jaringan sekitarnya.
Tata Laksana
Terapi Non-operatif
Kelainan musculoskeletal tidak harus diatasi dengan jalan operasi, kadang cukup dengan
mengistirahatkan bagaian yang sakit dan terapi medikasimentosa, orang yang mengalami fraktur
pasti akan merasakan sangat nyeri, oleh karena itu penanganan awal harus diberikan dulu obat
penghilang nyeri sebagai terapi medikamentosa atau menggunakan alat bantu ortopedi (alat
bantu jalan, tongkat atau korset) secara sementara atau permanen. Terapi nonoperatif lainnya
yaitu manipulasi, pemasangan gips, traksi, fisioterapi dan okupulasi.
Untuk pengobatan secara medikamentosa hanya diberikan analgesic dengan lini
pertamanya adalah acetaminophen dan NSAIDs (seperti Ibuprofen) untuk nyeri akut. Apabila
tidak mempan kemudian dapat dilanjutkan dengan pemberian analgesik opioid (seperti
Oxycodone) untuk nyeri yang tidak tertahankan dengan dosis yang disesuaikan.7
Acetaminophen atau yang dikenal sebagai Paracetamol merupakan suatu analgesik yang
diindikasikan untuk nyeri ringan hingga sedang dengan cara kerja yakni menghambat
prostaglandin di susunan saraf pusat sehingga tidak terasa nyeri. Dikontraindikasikan dengan
pasien dengan riwayat terhadap aspirin dan NSAIDs, pasien dengan penyakit GI kronik dan
pasien yang sedang dalam terapi antikoagulan. Diberikan 500-1000 mg secara oral selama 8 hari
maksimal 4 gram sehari. Diekskresikan dalam urin dengan konjugasi dengan sulfat atau
glukuronat. Sedangkan Ibuprofen merupakan golongan NSAIDs yang juga diindikasikan untuk
nyeri ringan hingga sedang. Bekerja dengan cara menginhibisi sintesis prostaglandin.
Kontraindikasi untuk ibu hamil dan menyusui. Diberikan 300-800 mg oral selama 6 hari.7
Oxycodone merupakan analgesik mirip morfin agonis-analgesik reseptor opioid yang
menginhibisi jalur nyeri menuju susunan saraf pusat sehingga terjadi perubahan dalam respon
terhadap nyeri, menyebabkan analgesia, depresi respirasi dan efek sedasi. Tidak boleh
diberikan kepada ibu hamil dan menyusui. Diberikan 10-30 mg oral selama 4-6 hari.7
Prinsip penanggulangan cidera muskuloskeletal adalah rekognisi (mengenali),
reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan) dan rehabilitasi.

Rekognisi, agar penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa saja yang terjadi,
baik pada jaringan lumak maupun tulangnya. Mekanisme trauma juga harus diketahui, apakalh
karna trauma tumpul atau tajam, langsung atau tidak langsung. (de Jong)
Reduksi/manipulasi/reposisi berarti mengembalikan jaringan atau fragmen ke posisi
semula (reposisi). Dengan kembali ke posisi semula, diharapkan bagian yang sakit dapat
berfungsi kembali dengan maksimal. Manipulasi dapat dilakukan dengan atau tanpa anastesia
dengan tujuan mengoreksi deformitas fraktur, kontraktur, atau kelainan bawaan dan menambah
gerakan sendi untuk mempercepat pemulihan.
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi
fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang
mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk
mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah
mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalani
prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai
ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus
ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
Reduksi tertutup.

Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan

mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan


manipulasi dan traksi manual. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x digunakan
untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan
terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai
untuk melanjutkan imobilisasi. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal atau
inernal. Fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinui, pin dan teknik gips
atau fiksator eksternal. Fiksasi internal dapat dilakukan implan logam yang berperan sebagai
bidai inerna untuk mengimobilisasi fraktur. Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang
diinginkan, sementara gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan
menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus
dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
6

Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan


pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat,
sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang
dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi
tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi
yang kuat bagi fragmen tulang.
Retaining adalah tindakan mempertahankan hasil reposisi dengan fiksasi
(imobilisasi). Hal ini akan menghilangkan spasme otot pada ekstermitas yang sakit sehingga
terasa lebih nyaman dan sembuh lebih cepat.
Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi,
atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan
logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur.
Rehabilitasi berarti mengembalikan kemampuan anggota yang sakit agar dapat
berfungsi kembali. Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.

Segala upaya

diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus
dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri,
perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan
neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai
pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika).
Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk
memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula
diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi
lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya
gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan
beban berat badan.
Komplikasi

Komplikasi pada faktur dapat diklasifikasikan sebagai komplikasi cepat (saat cidera),
awal (dalam beberapa jam/hari), dan lambat (dalam beberapa minggu/bulan). (ensiklopedia
keperawatan)
Komplikasi cepat meliputi:

Kerusakan artei dan saraf

Komplikasi awal meliputi:

Infeksi luka

Emboli lemak

Sindrom kompartemen

Komplikasi lambat meliputi:

Penyatuan terlambat (delayed union) : fraktur tidak menyatu pada waktu yang ditentukan

Penyatuan yang salah (malunion) : saat tulang yang fraktur sudah menyatu sepenuhnya
tetapi pada posisi yang salah dan pembedahan mungkin diperlukan, tergantung pada
disabilitas dan hasil potensial.

Tidak ada penyatuan (non union)

Deformitas

Osteoartritis

Nekrosis Asepsis/Avaskular : terjadi akibat gangguan suplai darah ke tulang tersebut setelah
fraktur

Prognosis
Prognosis ditentukan oleh jenis fraktur yang terjadi. Apabila kualitas tindakan
reposisi dan fiksasi dilakukan dengan baik serta didiagnosis dini dan ditangani sejak awal,
prognosis yang didapat akan sangat baik. Prognosis juga ditentukan oleh banyaknya jaringan
tulang yang nekrosis dan tindakan capsulotomy dinilai dapat memperbaik keadaan.7
Pencegahan
8

Pencegahan fraktur dapat dilakukan berdasarkan penyebabkan. Pada umumnya fraktur


disebabkan oleh peristiwa trauma benturan atau terjatuh baik ringan
Anamnesis
Daftar Pustaka
1. Suprartini Y, Ranuh IGNG (editor). Tumbuh kembang anak. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.2004.h.58-9
2. Setiyohadi SB. Anamnesis. Dalam: Alwi I, Setia S, Setiayohadi B, Simardibrata MK,
Sudoyo AW. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5, Jilid 1. Jakarta: EGC. 2009.h.25,
77-9.
3. Fadhli A, Rosliyani N, Racmawati L. Buku pintar kesehatan anak. Yogyakarta: Pustaka
Anggrek. 2010.h. 29-31.
4. Singgih D, Gunarsa. Psikologi anak bermasalah. Jakarta: Gunung Mulia. 1998.h. 210-2.
5. Rudi Sutady, dkk (2003) Penatalaksanaan Holistik Autisme. Pusat Informasi FKUI:
Jakarta.
6. Sedyaningsih ER. Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. Maret 2011. Diunduh
dari http://www.djpp.depkumham.go.id. 01 Desember 2015.
7. Schwartz MW. Pedoman klinis pediatric. Jakarta: EGC.2005.h.283-312.
8. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman. Nelson ilmu kesehatan anak esensian.
Edisi ke-6. Singapore: Saunder Elsevier. 2011.h.52-6.
9. Hadisukanto G, Elvira SD. Buku ajar Psikatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2010.h.220-25.
10. Fadhli A, Rosliyani N, Racmawati L. Buku pintar kesehatan anak. Yogyakarta: Pustaka
Anggrek. 2010.h. 29-31.

Anda mungkin juga menyukai