Anda di halaman 1dari 16

Syndrom Steven Jhonson

Gita Nur Azizah


102013182
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510, No. Telp (021) 5694-2061
Email: Gita.2013fk182@civitas.ukrida.ac.id

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Alamat Korespondensi Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

Pendahuluan
Sindrom Steven- Johnson (SJJ) adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan
gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur, disertai
macula, vesikel, bula, dan purpura yang terebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi
pengeliupasan epidermis kurang lebih sebesar 10%

dari area permukaan tubuh, serta

melihatkan membrane mukosadari dua organ atau lebih. Sindom Steven-Johnson umumnya
terjadi pada anak-anak dan dewasa muda terutama pria. Tanda-tanda oral sindrom StevenJohnson sama dengan eritema multi-forme, perbedaannya yaitu melibatkan kulit dan
membrane mukosa yang lebih luas, nyeri dada, diare, muntah dan anthralgia.1,2
Sindrom Steven-Johnson mempunyai tiga gejala yang khas yaitu kelainan pada mata
berupa kunjungtivitis, kelainan pada genital berupa balanitis dal vulvovaginitis, serta kelainan
oral berupa stomatitis. Lesi orang didahului oleh macula dan papula yang segera diikuti
vesikel atau bula, kemudian pecah karena trauma mekanik menjadi erosi dan terjadi
ekskoriasis sehingga terbentuk ulkus yang ditutupi oleh jaringan nekrotik berwarna abu-abu
putih atau eksudat abu-abu kuning menyerupai pseudimembran. Ulkus nekrosis ini mudah
mengalami pendarahan dan menjadi krusta kehitaman. Lesi oral cenderung lebih banyak
terjadi pada bagian anterior mulut termasuk bibir, bagian lain yang sering terlibat adalah
lidah, mukosa pipi, palatum durum, palatum mole, bahkan dapat mencapai faring, saluran
pernafasan atas dan esophagus, namun lesi jarang terjadi pada gusi. Lesi oral pada saluran
Syndrom Steven Jhonson

Page 1

pernafasan bagian atas dapat menyebabkan keluhan sulit bernafas.1-3 Penyebab pasti dari
Sindrom Steven-Jhonson saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang
memicu timbulnya seperti obat-obatan atau infeksi virus. Mekanisme terjadi sindrom adalah
reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya. Sindrom Steven-Johnson muncul biasanya
tidak lama setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan
kadang tidak berhubungan langsung dengan dosis, namun ditemukan reaksi tubuh pasien.1,2
Skenario
Seorang laki-laki, 13 tahun dirawat di rumah sakitdengan keluhan melepuh pada
kedua lengan, badan atas, bokong dan kedua paha setelah minum sejak 2 hari yang lalu.
Rumusan Masalah
Anak laki-laki 12 tahun melepuh pada kedua lengan tangan, bokong, badab dan kedua
paha sejak 2 hari yang lalu sehabis minum obat.
Hipotesis
Anak laki-laki 12 tahun mengalami Sindrom Steven-Johnson.
Istilah yang Tidak diketahui
Tidak ada
Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan secara auto-anamnesis (langsung pada pasiennya) atau
allo-anamnesis (wakil daripada pasien, mis: pasien bayi / pasien tidak sadarkan diri).
Pada anamnesis, yang perlu ditanyakan yakni:4
a. Identitas lengkap pasien
Nama lengkap, tempast dan tanggal lahir, usia, alamat, jenis kelamin, status pernikahan,
pendidikan terakhir.
b. Keluhan Utama
Tanyakan apakah pasien adakah

Gejala prodormal (gejala awal dari sebuah serangan atau penyakit), seperti:
sebelumnya mengalami batuk (produktif dengan sputum purulent), adakah mialgia
atau atralgia atau malaise? (keluhan dapat satu saja atau lebih).

Syndrom Steven Jhonson

Page 2

Gejala pada kulit berupa lesi, karena pada SSJ les-lesi tersebut berhubungan dengan
beberapa bagian tubuh seperti: mukosa oral, oesofagus, faring, laring, anus, trakea,

vagina, uretra.
Gejala pada mata :

adakah mata menjadi merah, berair, kering, sakit, gatal,

penglihatan berkurang, sensasi terbakar, fotofobia? Juga adakah Blefarospasme

(mata berkedip tidak terkendali), berpasir (grittiness)?


Adakah alergi obat? Atau penggunaan obat-obatan tertentu sebelumnya, seperti:

antibiotik, OAINS, Sulfa, dan lain-lain.


c. Keluhan tambahan
Keluhan tambahan juga perlu ditanyakan demi menunjangnya diagnosis ditegakan.
Tanyakan apakah pasien mengeluh karena rasa terbakar dan merah pada wajah (simetris)
dan bagian atas badan. Hal ini juga dapat disertai simptom okular (mata).
d. Riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan riwayat obat
Pada riwayat penyakit dahulu ditanyakan apakah sering menderita penyakit serupa
secara berulang.
e. Riwayat sosial
Pada riwayat sosial dan keluarga, perlu ditanyakan apakah pasien merokok, baru pergi ke
daerah mana, dan ada tidaknya orang-orang terdekat yang mengalami gejala yang sama.
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang diperlukan meliputi survei umum keadaan pasien, tingkat
kesadaran, ekspresi wajah dan aktivitas motorik, tanda-tanda vital, pemeriksaan mata, dan
yang pasti adalah pemeriksaan fisik kulit.5
Pemeriksaan fisik kulit yang dilakukan antara lain:5

Pemeriksaan morfologi kulit pada seluruh tubuh mulai dari ujung kepala sampai

dengan kaki.
Nikolsky sign:
Mencari kulit lapisan atas yang terlepas dari bagian bawah ketika digosok atau
digores dengan lembut (gesekan biasa saja).
Cara pengujian: Dokter atau suster akan menggunakan sebuah penghapus karet,
penghapus tersebut diletakan di kulit pasien dan dengan lembut di toreh maju-mundur.
- Jika hasil positif maka akan ada area lepuhan, biasanya dalam beberapa menit.
Area yang digores oleh penghapus tersebut mempunyai karingan kulit yang sudha

Syndrom Steven Jhonson

Page 3

longgar dan akan jatuh bebas ketika digores. Area dibawahnya berwarna merah
-

jambu dan lembab, biasanya sangat halus/lembut.


Dikatakan hasil negatif jika tidak ada reaksi / kulit tidak terlepas.

Pemeriksaan mata yang dilakukan antara lain:

Palpebra, dilihat apakah ada edema, warna kemerahan, lesi, arah bulu mata, dan
kemampuan palpebra untuk menutup sempurna

Konjungtiva dan sclera, dilihat warnanya dan vaskularisasinya, cari setiap nodulus
atau pembengkakan.

Kornea, lensa, dan pupil, dengan cahaya yang dipancarkan dari temporal dilihat
apakah ada kekeruhan (opasitas) pada lensa melalui pupil, apakah ada bayangan
berbentuk bulan sabit pada sisi medial, kemudian dilihat ukuran, bentuk dan
kesimetrisan pupil. Ketajaman visus, lapang pandang, palpebral, konjungtiva dan
sclera, kornea, lensa dan pupil. (palpebral, konjungtiva dan sclera, kornea, lensa dan
pupil

Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboraturium memberikan hasil yang tidak khas. Apabila terdapat
leukositosis, penyebabnya mungkin karena infeksi bacterial. Bila diduga penyebabnya adalah
infeksi dapat dilakukan kultur darah. Selain itu bila terdapat eusinofilia kemungkinan
penyebabnya adalah alergi. Disamping itu, juga ditemukan adanya peningkatan enzim
transaminase serum, albuminuria dan gangguan elektrolit serta adanya gambaran gangguan
fungsi organ tubuh yang terkena.6
Histopatologi
Biasanya pemeriksaan histopatologi tidak perlu dilakukan, namun bila ditemukan
keraguan dalam menegakkan diagnosis, perlu dilakukan pereriksaan histopatologi.
Pemeriksaan histopatologi dilakukan guna untuk membedakan kelainan ini dengan
Eksantema Fiksatum Multiple dan Necrolisis Epidermal Toksik (NET).6
Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari
perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluh. Kelainan
berupa:7

Infiltrat sel mononuclear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superficial.


Edema dan ekstravasasi sel darah di dermis papiliar.
Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal.

Syndrom Steven Jhonson

Page 4

Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.


Spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

Diagnosis Kerja
Diagnosis sindrom steven johnson 90 % berdasarkan klinis. Jika disebabkan oleh
obat, ada kolerasi antara pemberian obat dengan timbulnya gejala. Diagnosis ditujukan
terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa dan mata serta
hubungannya dengan faktor penyebab. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara
lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologis, biakan kuman serta ujiresistensi dari
darah da tempat lesi dan pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai
pada kasus berat dengan perdarahan eosinofil. Kadar igG dan IgM dapat meninggi, C3 dan
C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya circulating immune complex.
Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tidak ada. Pemeriksaan histopatologi dan
imunohistokimia dapat mendukung ditegakkan diagnosis.8
Diagnosis Banding
Nekrolisis Epidermal Toksik
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah penyakit berat, gejala klinis yang
terpenting ialah epidermiolisis generalisata, dapat disertai kelainan pada selaput lender di
orifisium dan mata. Dibandingkan dengan Sindrom Steven-Johnson, penyakit ini lebih
jarang. Umumnya pada orang dewasa dan dengan SSJ. Penyebab utama karena alergi obat
berjumlah 80%, seperti karena penicillin 24%, paracetamol 17%, dan karbamazepin 14%.
Penyebab lain adalah analgesic/antipiretik, kotrimoksasol, Dilantin, klorokuin, seftriakson,
jamu dan adiktif.9
Nekrolisi epidermal toksik adalah bentuk parah dari SSJ. Tentang imunopatogenesis sama
dengan SSJ yaitu merupakan reaksi tipe II (sitolitik) merupakan Coomb dan Gel. Jadi
gambaran klinisnya bergantung pada sel sasaran (target cell). Gejala utama pada NET adalah
epidermiolisis karena sel sasarannya adalah epidermis. Gejala atau tanda yang lain dapat
menyertai NET bergantung pada sel sasaran yang dikenai.9
Gejala Klinis
Nekrolisis Epidermal Toksik merupakan penyakit yang berat dan sering menyebabkan
kematian karena gangguan keseimbanagn cairan/electrolit atau karena sepsis. Penyakit mulai
secara akut dengan gejala prodromal. Pasien tampak sakit berat dengan demam tinggi,
Syndrom Steven Jhonson

Page 5

kesadaran menurun (sporo-komatosa), kelainan kulit dimulai dengan eritema generalisata


kemudian timbul banyak vesikel dan bula, dapat pula disertai purpura. Lesi pada kulit dapat
disertai lesi pada bibir dan selaput lender mulut berupa erosi, ekskoriasi dan pendarahan
sehingga terbentuk krusta berwarna merah hitam pada bibir. Kelainan macam ini dapat pula
terjadi orifisiumgenitalia eksterna juga kelainan pada mata.
Pada NET yang palingpenting adalah terjadiny epidermolysis, yaitu epidermis
terlepas dari dasarnya yang kemudian menyeluruh dan gambaran klinisnya berupa kombusio.
Adanya epidermolysis menyebabkan tanda Nikolskiy positif pada kulit yang eritemosa, yaitu
jika kulit ditekan dan digeser, maka kulit akan mudah mengelupas. Epidermolysis mudah
dilihat pada tempat yang sering terkena tekanan, yaitu padapunggung dan bokong karena bias
terbaring. Pada sebagian asien, kelainan kulit hanya berpa epidermolysis dan purpura, tanpa
disertai erosi, vesikel dan bula. Kuku dapat terlepas (onikolisis) kadang juga terdapat
pendarahan di traktus gastrointestinal
Komplikasi pada NET terjadi pada ginjal berupa nekrolisis tubular akut akibat
terjadinya ketidakseimbangan cairan bersama-sama glomerulonephritis. Jika penyebabnya
infeksi, maka prognosisnya lebih baik daripada jika disebabkan alergi terhadap obat. Kalau
kelainan kita luas, meliputi 50-70% permukaan kulit, prognosisnya buruk.9
Staphylococcal Scalded Skin Syndrom
Staphylococcal Scalded Skin Syndrom (SSSS) merupakan penyakit pada neonates
dan anak-anak. SSSS jarang terjadi pada dewasa kecuali dengan gangguan ginjal, defisiensi
imun dan penyakit kronik. Hamper seluruh kasus terjadi pada anak kurang dari 6 tahun, dan
prevalensi pada pria lebih sering terkena dibandingkan pada wanita. Anak-anak merupakan
resiko pada SSSS karena kekurangan imunitas dan kemampuan renal imatur dalam
membersihkan toksin (toksin exfoliative). Infeksi Staphylococcal Scalded Skin Syndrom
disebabkan oleh bakteri Staphylococcus Aureus 3a, 3b, 55 dan 57 phage II yang
menghasilkan eksfoliatin A (ETA) dan eksfoliatin toksin B (ETB). Eksfoliatin toksin ini
bersifat epidemolitik. ETA dan ETB bereaksi pada pada protein (DG-1) yang merupakan
protein di epidermis superficial. Infeksi ini terjadi pada oral, nasal cavitis, laring atau
umbilicus. Toksin epidemolitik yang diproduksi Staphylococcus Aureus menyebabkan ruam
kemerahan dan menyebar ke dalam epidermis kemudian bula muncul dan akirnya terjadi
deskuamasi.8
ETA dan ETB merupakan protease serin yang mempunyai target special yanitu
desmoglein-1. keduannya juga merupakan superantigen yang mengaktivasi makrofag untuk
Syndrom Steven Jhonson

Page 6

memproduksi proinflamatori sitokin seperti TNF alpha dan IL-6. Ikatan desmoglein-1 dengan
toksin eksfloliatif staphylococcus aureus menyebabkan terbentuknya antibody IgG spesifik
desmoglein-1 dan mengakibatkan pecahnya stratum granulosum dan stratum spinosum.8
Manifestasi klinis
Pada Staphylococcal Scalded Skin Syndrom akan terjadi demam kemudian muncul
ruam eritem (tender rash)pada muka, badan dan ekstermitas kemudian dalam waktu 24-28
jam berkembang menjadi bula yang besar dan mudah rupture kemudian mengelupas. Lesi
akan mongering dan dalam waktu 7 sampai 14 hari terjadi regenerasi epidermis tanpa
menimbulkan jaringan parut. Komplikasi yang terjadi pada SSSSbiasanya meliputi sepsis,
superinfeksi dan dehidrasi akibat gangguan keseimbangan elektrolit. Selulitis, sepsis dan
pneumonia merupakan komplikasi lain yang mungkin terjadi pada SSSS.8
Prognosis
Angka mortalitas SSSS pada anak sangat rendah sedangkan pada dewasa cukup
tinggi. Morbiditas SSSS meliputi penyebaran local infeksi. SSSS pada anak dapat sembuh
dalam 10 hari tanpa menyebabkan jaringan parut. Sedangkan prognosis SSSS pada dewasa
tergantung pada status imun penderita, inisial terapi yang tepat lebih awal, perjalanan infeksi
dan komplikasi.8
Manifestasi Klinis
Secara umum gejala klinis SSJ didahului gejala prodromal yang tidak spesifik seperti
demam, malaise, batuk, sakit kepala, nyeri dada, diare, muntah, batuk, nyeri tenggorokan dan
antralgia. Gejala prodromal ini ini dapat berlangsung selama dua minggu dan bervariasi dari
ringan sampai berat. Pada keadaan ringan kesadaran pasien baik, sedangkan keadaan yang
berat gejala-gejala menjadi lebih hebat, sehingga kesadaran pasien menurun bahkan sampai
koma.1,2 Pada sindrom Sindrom Steven-Johnson juga didapatkan trias kelainan, yaitu:
-

Gejala pada kulit


Lesi kulit pada Sindron Steven-Johnson dapat timbul sebagai gejala awal atau juga
terjadi setelah gejala klinis dibagian tubuh lain. Lesi pada kulit umumnya bersifat
asimetris dan ukuran lesinya juga bervariasi dari yang kecil hingga yang besar. Mulamula lesi kulit berupa bersifat multiformis yaitu eritema yang menyebar luas pada
rangka tubuh. Eritema ini menyebar luas secara cepat dan biasanya mencapai maksimal
dalam waktu empat hari, bahkan sering kali hanya dalam hitungan jam. Pada kasus yang

Syndrom Steven Jhonson

Page 7

sedang, lesi timbul pada permukaan ekstensor badan, dorsal tangan dan kaki, sedangkan
pada kasus yang berat lesi menyebar luas pada wajah, dada, dan seluruh permukaan
tubuh.10
Eritema akan menjadi vesikel dan bula yang kemudian pecah menjadi erosi, ekskoriasi,
menjadi ulkus yang ditutupi pseudomembran atau eksudat bening. Pseudomembran
akan terlepas meninggalkan ulkus nekrosis, dan apabila terdapat pendarahan akan
menjadi krusta yang umumnya berwarna coklat gelap sampai warna kehitaman. Variasi
lain dari lesi kulit berupa purpura, urtikaria dan edema. Selain itu adanya erupsi kulit
dapat juga menimbulkan rasagatal dan rasa terbakar. Terbentuknya purpura pada lesi
-

kulit memberikan prognosis buruk.10


Gejala pada mata
Manifestasi pada mata terjadi pada 70% pasien Sindrom Steven-Johnson. Kelainan
yang sering terjadi adalah konjungtivitis. Selain konjungtivitis kelopak mata
menunjukan erupsi yang merata dengan krusta hemoragi pada garis tepi mata. Penderita
Sindrom Steven-Johnson yang parah, kelainan mata dapat berkembang menjadi
konjungtivitis purulent, photophobia, panophtalmitis, deformitas kelopak mata, uveitis
anterior, iritis, simblefaron, iridosiklitis serta sindrommata kering, komplikasi lainnya
dapat juga mengenai kornea berupa sikatrik kornea, ulserasi kornea, dan kekeruhan
kornea. Bila kelainan mata ini tidak segera diatasi maka dapat menyebabkan

kebutaan.2,10
Gejala pada genital
Lesi pada genital dapat menyebabkan urethritis, balanitis dan vulvovaginitis. Balanitis
adalah inflamasi pada gland penis. Urethritis merupakan peradangan pada uretra dengan
gejala klinik berupa secret uretra, peradanga meatus, rasa terbakar, gatal, dan sering
buang air kecil. Vulvovaginitis adalah peradangan pada vagina yang biasanya
melibatkan vulva dengan gejala-gejala berupa bertambahnya cairan vagina, iritrasivulva,
gatal, bau yang tidak sedap, rasa tidak nyaman, dan gangguan buang air kecil. Sindrom
Steven-Johnson dapat pula menyerang anal berupa peradangan anal atau inflamasi

anal.2,3
Gejala pada oral
Lesi oral mempunyai karakteristik yang lebih bervariasi dari pada lesi kulit, seluruh
permukaan ora dapat terlibat, namun lesi orang lebih cenderung banyak terjadi pada
bibir, lidah, palatum mole, palatum durum, mukosa pipi sedangkan pada gusi relative
jarang terjadi lesi.3
Lesi oral didahului oleh macula, papula segera diikuti oleh vesikel dan bula. Vesikel
maupun bula terutama pada mukosa bibir mudah pecah karena gesekan lidah dan friksi

Syndrom Steven Jhonson

Page 8

pada waktu mengunyah dan bicara sehingga bentuk yang utuh jarang ditemukan pada
waktu pemeriksaan klinis oral.2,3
Vesikel maupun bula yang lebih mudah pecah selanjutnya menjadi erosi, kemudian
mengalami ekskoriasi dan terbentuk ulcus. Ulkus ditutupi oleh jaringan nekrotik yang
berwarna abu-abu putih atau eksudat abu-abu kuning menyerupai pseudomembran.
Jaringan nekrotik yang berwarna abu-abu putih atau eksudat abu-abu kuning
menyerupai

pseudomembran.

Jaringan

nekrotik

mudah

mengelupas

sehingga

meninggalkan suatu ulkus yang tidak teratur dengan tepi tidak jelas dan dasar tidak rata
yang berwarna kemerahan. Apabila terjadi trauma mekanik dan mengalami perdarahan
maka ulkus akan menjadi krusta coklat sampai kehitaman. Krusta kehitaman yang tebal
dapat terlibat pada mukosa bibir dan seringkali lesi pada mukosa bibir meluas sampai
tepi sebelah luar bibir dan sudut mulut.2,3
Pada palatum mole maupun palatum durum dapat terjadi lesi oral. Lesi oral diawali oleh
vesikel mupun bila yang mudah pecah menjadi erosi, ekskoriasi dan ulcus. Erosi sering
kali ditutupi pseudomembran dan dikelilingi daerah berwarna kemerahan. Ulkus dapat
meluas terutama terjadi pada palatum durum. Pada mukosa pipi terjadi juga pola
perkembangan lesi seperti lidah, vesikel atau bula di mukosa pipi jarang ditemukan
utuh, hanya berupa erosi atau ulkus yang ditutupi dengan pseudomembran.2,10
Manifestasi oral Sindrom Steven-Johnson biasanya diikuti oeh pembesarab nodus
limfatikus servicalis disertai rasa nyeri yang hebat sekali dan terjadi peningkatan aliran
saliva. Penderita biasanya akan mengalami dehidrasi karena kekurangan cairan yang
masuk ke dalam tubuh. Lesi oral dapat meluas ke faring, saluran pernafasan bagian atas
dan esophagus sehingga penderita mengalami kesulitan bernafas. Edema pada faring
dapat menyebar ke trakea, apabila keadaan bertambah berat dapat menyerang bronkus
dan bronkioli, sehingga dapat menimbulkan bronkopneumonia serta trakeobronkitis.10
Etiologi
Penyebab pastidari SJS ini idiopatik atau belum diketahui. Namun, penyebab yang
paling sering terjadi adalah alergi sistemik terhadap obat yaitu reaksi berlebihan dari tubuh
untuk menolak obat-obatan yang masuk ke dalam tubuh. Adapun yang beranggapan bahwa
sindrom ini merupakan Eritema Multiforme yang berat dan disebut Eritema Multiforme
Mayor, sehingga dikatakan mempunyai penyebab yang sama. Diperkirakan sekita 75% kasus
SJS disebabkan oleh obat-obatan dan 25% karena infeksi dan penyebab lainnya. Paparan obat
dan reaksi hipersnsivitas yang dihasilakn adalah penyebab mayoritas yang sangat besar dari
kasus SJS. Dalam rangka absolut kasus, allopurinol adalah penyebab paling sering umum dari
Syndrom Steven Jhonson

Page 9

SJS di Eropa dan Israel, dan sebagian besar pada pasien yang menerima dosis harian
setidaknya 200 mg.5
Sindrom ini juga dikatakan multifactorial. Berikut adalah beberapa factor yang dapat
menyebabkan timbulnya SJS antara lain:5
a. Obat-obatan
Aleri obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri) dan antipiretik
(penurun demam). Berbagai obata yang dapat menyebabkan SJS yaitu: penisilin dan
derivatnya, streptomysin, tetrasiklin, analgetik/antipiretik (misalnya derivate salisilat,
pirazolon, metamizol, metapiron dan paracetamol), digitalis, hidralazin, barbiturate
(fenobarbital), kinin antipirin, chlorpromazine, karbamazepin dan jamu-jamuan.
b. Infeksi
- Virus, antara lain Herpes simplex virus, Epstein-Barr virus, enterovirus, HIV,
Coxsackie virus, influenza, hepatitis, gondok, lymphogranuloma venereum, rickettsia
-

dan variola.
Bakteri, antara lain Grob A beta-hemolitik streptokokus, difteri, brucellosis,

mycobakteri, Mycoplasma pneumonia, Tularaemia.


- Jamur, antara lain coccidioidomycosis, dermatofitosis dan histoplasmosis.
- Protozoa, meliputi malaria dan tricomoniasis.
c. Imunisasi
Terkait dengan imunisasi, antara lain campak, hepatitis B.
d. Factor lain
- Zat tambahan pada makanan (food additive) dan zat warna.
- Factor fisik, misalnya sinar x, sinar matahari, cuaca lain dan lain-lain.
- Penyakit-penyakit kolagen vaskuler.
- Penyakit-penyakit keganasan, misalnya karsinoma penyakit hodgkins, limfoma,
-

pmycloma, dan polisitemia, neoplasma.


Radioterapi.

Epidemiologi
insiden SSJ dan Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) diperkirakan 2-3% per juta populasi
setiap tahun di Eropa dan Amerika Serikat. Umumnya terdapat pada dewasa. Setiap tahun
terdapat kira0kira 12 pasien, umumnya juga pada dewasa. Hal tersebut berhubungan dengan
kausa SSJ yang biasanya disebabkan oleh alergi obat. Pada dewasa imunitas telah
berkembang dan belum menurun seperti pada usia lanjut.6
Patofisiologi
Patofisiologi SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan
reaksi hipersensivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks
Syndrom Steven Jhonson

Page 10

Soluble dari antigen atau metaboliknya dengan antibody IgM dan IgM, serta reaksi
hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions atau reaksi hipersensitivitas
tipe IV) yang merupakan reaksiyang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.2,3
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang
membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivitas system komplemen. Akibatnya
terjadi akumulasi netrofil yang kemudian melepaskan lisosim dan menyebabkan kerusakan
jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersensitisasiberkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian limfokon dilepaskan
sehingga reaksi radang.2,3
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsy kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA,
C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dan sirkulasi. Antigen penyebab berupa hapten
akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respon imun spesifik sehingga
terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa factor penyebab
(misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang ditimbulkan akibat
aktivitas factor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbatas
akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolic). Komplek imun beredar dapat mengendap
di daerah kulitdan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivitas
komplemen dan reaksi imflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat
aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai
kelainan klinis local di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sitotosik juga
mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.2,3
Oleh karena proses hipersensivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi
seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress humoral diikuti
peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan
termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.2,3
Tata Laksana
Penatalaksanaan sindrom steven-johnson berdasarkan atas tingkat keparahan penyakit
yang secara umum meliputi:11
1. Rawat inap bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontroln setiap hari keadaan
penderita.

Syndrom Steven Jhonson

Page 11

2. Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan life saving. Kortikosteroid yang


biasa digunakan berupa dekametason secara intravenadengan dosis permulaan4-6 x 5 mg
sehari. Masa kritis biasanya dapat segera diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan
umum membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi,
maka dosis segera diturunkan 5 mg secara cepat setiap hari. Setelah dosis mencapai 5 mg
sehari kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone, yang
diberikan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan menjadi 10 mg pada hari berikutnya
selanjutnya pemberian obat dihentikan. Kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10
hari.
3. Antibiotik, penggunaan kortikosteroid dengan dosis tinggi menyebabkan imunitas
penderita menurun, maka antibiotik harus diberikan untuk sekunder, misalnya
broncopneumonia yang dapat menyebabkan kematian. Antibiotik yang diberikan
hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan
tidak nefrotoksik. Antiniotik yang memenuhi syarat tersebut anatara lain siprofloksasin
dengan dosis 2 x 400 mg intravena, klindamisin dengan dosis 2 x 600 mg intravena dan
gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg. Sekarang dipakai netilmisin sulfat dengan dosis 6
mg/kg BB/hari, dosis dibagi dua. Alasan menggunakan obat ini karena pada beberapa
kasus mulai resisten terhadap gentamisin, selain itu efek sampingnya lebih kecil
dibandingkan gentamisin
4. Menjaga keseimbangan cairan, elektolit dan nutrisi. Hal ini perlu diperhatikan karena
penderita mengalami kesukaran atau bahkan tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan
ditenggorokkan serta kesadaran yang menurun. Utnuk ini dapat diberikan infuse berupa
glukosa 5 % atau larutan darrow. Pada pemberian kortikosteroid terjadi retensi natrium,
kehilangan kalium dan efek katabolik. Untuk mengurangi efek samping ini perlu
diberikan diet tinggi protein dan rendahgaram, KCL 3 x 500 mg/hari dan obat-obat
anabolik. Untukmencegah penekanan korteks adrenal ACTH (synacthen depot) dengan
dosis 1 mg/hari setiap minggu dimulai setelah pemberian kortikosteroid.
5. Transfusi darah. Bila dengan terapi diatas belum tampak tanda-tanda perbaikan dalam 23 hari, maka dapat diberikan tranfuse darah sebanyak 300-500 cc setiap hari intravena
dan obat-obat hemostatik.
6. Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan kepada
penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka waktu lama,
penderita mengalami retensi natrium dan kehilangan protein, dengan diet rendah garam
dan tinggi protein diharapkan konsentrasi garam dan protein penderita kembali normal.

Syndrom Steven Jhonson

Page 12

Penderita selain menjalani diet rendah garam dan tinggi protein, dapat juga diberikan
makanan yang lunak atau cair, terutama pada penderita yang sukar menelan.
7. Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin B kompleks
diduga dapat memperpendek durasi penyakit. Vitamin C diberikan dengan dosis 500 mg
atau 1000 mg sehari dan ditujukan terutama pada penderita dengan kasus purpura yang
luas sehingga pemberian vitamin dapat membantu mengurangi permeabilitas kapiler.
Agen hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai purpura yang luas. Agen
hemostatik yang sering digunkan adalah vitamin K.
8. Perawatan pada kulit. Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan spesifik, kebanyakan
penderita mearasa lebih nyaman jika lesi kulit diolesi dengan orintment berupa vaselin,
polisporin, basitrasin. Rasa nyeri seringkali timbul pada lesi kulit dikarenakan lesi
seringkali melekat pada tempat tidur. Lesi kulit yang erosive dapat diatasi dengan
memberikan sofratulle atau krim sulfadiazine perak, larutan salin 0,9% atau burow.
Kompres dengan asam salisilat 0,1% dapat diberikan untuk perawatan lesi pada kulit.
Kerjasama anatara dokter gigi dan dokter spesialis ilmu penyakit kulit dan kelamin
sangat diperlukan.
9. Perawatan pada mata. Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik,
kompres dengan larutan salin serta lubrikasi mata dengan air mata artificial dan
orintment. Pada kasus yang kronis, suplemen air mata seringkali digunkaan untuk
mencegah terjadinya corneal ephitelial breakdown. Antibiotik topikal dapat digunakan
untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder.
10. Perawatan pada genital. Larutan slain dan petroleum berbentuk gel sering digunkan pada
area genital penderita. Penderita sindrom steven-johnson yang seringkali mengalami
gangguan buang air kecil akibat uretritis, balanitis, atau vulvovaginitis, maka katerisasi
sangat diperlukan untuk memperlancar buang air kecil.
11. Perawatan pada oral. Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dnegan
pemberian anastesik topical dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung lidokain
2%. Campuran 50% air dan hydrogen peroksida dapat digunakan untuk menyembuhkan
jaringan nekrosis pada mukosa pipi. Antijamur dan antibiotik dapat digunakan untuk
mencegah sperinfeksi. Lesi pada mukosa bibir yang parah dapat diberikan perwatan
berupa kompres asam borrat 3%. Lesi oral pada bibir diobati dengan boraks-gliserin atau
penggunaan

triamsinolon

asetonid

merupakan

preparat

kortikosteroid

topical.

Kortikosteroid yang biasa digunakan pada lesi oral adalah bentuk pasta. Pemakaian pasta
dianjurkan saat sebelum tidur karena lebih efektif. Sebelum dioleskan, daerah sekitar lesi
harus dibersihkan terlebih dahulu kemudian dikeringkan menggunakan spons steril utnuk
Syndrom Steven Jhonson

Page 13

mencegah melarutnya pasta oleh saliva. Apabila pasta larut oleh saliva, obat tidak akan
bekerja dengan optimum sehingga tidak akan diperoleh efek terapi yang diharapkan.

Komplikasi
Sindrom steven johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai
berikut:12,13
1. Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumia yang didapati sejumlah 80 % diantara
seluruh kasus yang ada.
2. Kehilangan cairan dan darah
3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, shock
4. Oftalmologi - ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan karena
gangguan lakrimasi
5. Gastroenterologi esophageal strictures
6. Genitourinari - nekrosis ginjal tubular, gagal ginjal, penis scarring, stenosis vagina
7. Pulmonari pneumonia, bronchopneumonia

Prognosis
Jika dilakukan tindakan tepat dan cepat, maka prognosis cukup memuaskan. Bila
terdapat purpura yang luas dan leukopenia lebih buruk. Kematian berkisar 5-15% pada kasus
berat dan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Kematian
biasanya terjadi disebabkan oleh gangguan keseimbangan elektrolit, bronkopneumonia serta
sepsis.6
Pencegahan
Obat tetaplah bahan kimia yang dapat menimbulkan efek yang tidak diingankan dari
yang ringan sampai berat. Karena pemakaian obat walaupun sesuai dosis tetap dapat
menimbulkan efek yang tidak diinginkan maka harus bijaksana dalam pemakaian obat.
Pastikan benar-benar bahwa anda memerlukan obat dalam pemakaian obat. Pastikan benarbenar bahwa anda memerlukan obat dalam tatalaksana keadaannya, dan bila meminum obat
pastikan mebaca petunjuk dalam kemasan obat, observasi tanda-tanda yang muncul setelah
meminum obat.Jangan minum obat bila tidak sesuai indikasi. Selalu tanyakan diagnosis
penyakit, periksa kembali apakah memang obat yang dikonsumsi sudah sesuai indikasi
penyakit yang diderita. Cara-cara ini untuk menghindari dari efek yang tidak diinginkan dari
obat yang diminum.1
Syndrom Steven Jhonson

Page 14

Kesimpulan
Sindrom Stevens Jhonson adalah penyakit mukokutan dengan tiga
gejala yang khas, yaitu kelainan pada mata berupa konjungtivitis, kelainan
pada oral berupa stomatitis, serta kelainan pada genital berupa balanitis
da vulvovaginitis. Manifestasi oral hampir sepenuhnya terjadi pada
penderita Sindroma Stevens Johnson. Pada seluruh permukaan oral dapat
terjadi lesi seperti mukosa bibir, lidah, palatum mole, palatum durum,
mukosa pipi, sedangkan lesi jarang terdapat pada gusi. Perawatan
padapenderita sindrom Stevens Johnson lebih ditekankan pada perwatan
simtomatik dan suportif karena etiologinya belum diketahui secara pasti.
Daftar Pustaka
1. A Masjoer S, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi alergi Obat. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi ketiga Jilid 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Media Aesculapius.2000.h.134-6.
2. R.P Langlais CSM. Colour atlas of common oral diseases. Philadelpia: Lea &
Febinger.2003.
3. Siregar RS. Sindrom sevens jhonson. Sampai penyakit kulit. Edisi ke2.Jakarta:
EGC.2004.p.141-5.
4. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2005.h.7.
5. Burns BT, Graham R: Lecture notes on dermatology. Edisi ke- 8. Jakarta: Erlangga
Medical Series; 2009.h.152
6. Hamzah M, Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke5. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.h.163-7.
7. Darmstadt GL, Sidbuty R. Steven jhonson syndrome. In: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB: Textbook of prdiatrics. Edisi ke17. Philadelphia: WB
Saunders.2004.h.2191-4.
8. Bolognial J, Jorizzo J, Schaffer J. Textbook of dermatology. Edisi ke3. Elseiver hal
330.
9. Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke6. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia..2013.h.154-7.
10. Foster CS, Steven-johnson syndrome treatment & management. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1197450-treatment. Diunduh: 22 April 2015.
Syndrom Steven Jhonson

Page 15

11. Burns BT, Graham R: Lecture notes on dermatology. Edisi ke- 8. Jakarta: Erlangga
Medical Series; 2009.h.152.
12. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Edisi ke3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2004.h.135-6.
13. Carrol MC, Yeung-Yue KA. Esterly NB. Drug inducy hypersensitivity syndrome in

pediatric patients. Pediatric 2001.h.108,491.

Syndrom Steven Jhonson

Page 16

Anda mungkin juga menyukai