Anda di halaman 1dari 14

Tetanus pada Luka Robek yang Tidak Dirawat dengan Baik

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Alamat Korespondensi Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

Pendahuluan
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan
gangguan neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot akibat eksotoksin
spesifik kuman anaerob Clostridium tetani.1
Hippocrates sudah menggambarkan gejala penyakit tetanus pada manusia.
Tahun 1882, Nicolaier dan Rosenbach menentukan bahwa penyakit ini disebabkan oleh
bakteri. Kemudian pada tahun 1889 von Behring dan Kitasato melaporkan keberhasilan
imunisasi dan netralisasi toksin menggunakan antiserum spesifik, yang merupakan dasar
metode imunologi sebagai tindakan pencegahan dan pengobatan tetanus. Akhirnya pada
tahun 1925, Ramon memperkenalkan tetanus toksoid untuk imunisasi aktif.1
Semua perawatan luka yang mungkin terpajan dengan bakteri tetanus, dimulai
dengan pembersihan luka yang segera dengan menyeluruh menggunakan sabun dan air,
pembuangan benda asing dan debridemen untuk jaringan yang sudah mati. Profilaksis tetanus
diberikan setelah terjadinya luka dan trauma berupa vaksinasi pada pasien yang memiliki
status imunisasi yang tidak lengkap dan pemberian imunoglobin tetanus pada luka yang
terkontaminasi (tanah, feses, saliva), luka tusuk, avulasi, luka tembak, luka remuk, luka bakar
dan frosbite.2
Skenario
Seorang laki-laki berusia 22 tahun dating ke IGD RS dengan keluhan demam,
mulut terasa kaku dan nyeri pada tungkai bawah sebelah kanan. Menurut keterangan pasien,
2 minggu lalu ia mengalami kecelakaan lalu lintas dan menderita luka robek pada tungkai
bawah kanan. Luka tersebut dijahit sebanyak 27 jahitan oleh seorang petugas kesehatan di
desanya. Saat dilakukan inspeksi, kulit tungkai bawah kanan didaerah luka tampak
kemerahan,teraba panas dan bengkak, dari sela-sela luka yang dijahit keluar nanah. Pasien
juga tidak diberikan antibiotik oleh petugas kesehatan setelah menjahit lukanya.pemeriksaan
fisik didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 82 x/menit.

Isi
Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa
anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang, dan
penurunan tingkat kesadaran.3
Riwayat Penyakit Saat Ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk mengetahui
predisposisi penyebab sumber luka. Di sini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang
timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Keluhan kejang perlu
mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat timbulnya
kejang, stimulus apa yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah diberikan
dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.3
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan
dengan toksin tetanus yang menginflamasi jaringan otak. Keluhan perubahan perilaku juga
umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan
koma.3
Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi presdiposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami
tubuh terluka dan luka tusuk yang dalam misalnya tertusuk paku, pecahan kaca, terkena
kaleng, atau luka yang menjadi kotor; karena terjatuh ditempat yang kotor dan terluka atau
kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu/kotoran juga luka bakar yang ringan
kemudian menjadi bernanah dan gigi berlubang dikorek dengan benda kotor.3
Pengkajian Psiko-sosio-spritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk
menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari
baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu
timbul ketakutan atau kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan cairan tubuh).
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada
status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak
sedikit.3

Pemeriksaan Fisik
Pada klien tetanus biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari
normal 38-40o C. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan toksin
tetanus yang sudah menggangu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi
berhubungan penurunan perfusi jaringan otak. Apabila disertai peningkatan frekuensi
pernapasan sering berhubungan

dengan peningkatan

frekuensi pernapasan

sering

berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum. Tekanan darah biasanya normal.3
B1(Breathing), inpeksi apakah klien batuk, produksi suptum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan
pada klien tetanus yang disertai adanya ketidakefektifan bersihan jalan napas. Palpasi toraks
didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti
ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun.3
B2 (Blood), pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien tetanus. Tekanan darah biasanya normal,
peningkatan denyut jantung, adanya anemis karena hancurnya eritrosit.3
B3 (Brain), pengkajian B3 merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.3
Pengkajian tingkat kesadaran. Kesadaran klien biasanya compos mentis. Pada
keadaan lanjut tingkat kesadaran klien tetanus mengalami penurunan pada tingkat letargi,
stupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat
penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi utnuk pemantauan
pemberian asuhan.3
Pengkajian fungsi serebral. Status mental: observasi penampilan, tingkah laku,
nilai gaya bicara, ekpresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien tetanus tahap lanjut
biasanya status mental pasien mengalami perubahan.3
Pengkajian saraf kranial. Pemeriksaan saraf kranial meliputi pemeriksaan saraf
kranial I-XI. Saraf I, biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
Saraf II, tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Saraf III, IV, dan VI, dengan alasan
yang tidak diketahui, klien tetanus mengeluh mengalami fotofobia atau sensitif yang
berlebihan terhadap cahaya. Saraf V, refleks maseter meningkat. Mulut condong ke depan
seperti mulut ikan (ini adalah gejala khas dari tetanus). Saraf VII, presepsi pengecapan dalam
batas normal, wajah simetris. Saraf VIII, tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi. Saraf IX dan X, kemampuan menelan kurang baik, kesulitan membuka mulut

(trismus). Saraf XI, didapatkang kaku kuduk, ketegangan otot rahang dan leher (mendadak).
Saraf XII, lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra
pengecapan normal.3
Pengkajian sistem motorik, kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan
koordinasi pada tetanus tahap lanjut mengalami perubahan.3
Pengkajian refleks profunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau
periosteum derajat refleks pada respons normal. Gerakan involunter, tidak ditemukan adanya
tremor, tic, dan distonia. Pada keadaan tertentu, klien biasanya mengalami kejang umum,
terutama pada anak dengan tetanus disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang
berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.3
Pengkajian sistem sensorik, pemeriksaan sensorik pada tetanus biasanya
didapatkan perasaan raba normal, perasaan nyeri normal, perasaan suhu normal, tidak ada
perasaan abnormal di permukaan tubuh, perasaan propriosefsi normal, dan perasaan
diskriminatif normal.3
B4 (Bladder), penurunan volume urine normal output berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. Adanya retensi urine dikeluarkan
dengan menggunakan kateter.3
B5 (Bowel), mual sampai muntah disebabkan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien tetanus menurun karena anoreksia dan adanya
kejang, kaku dinding perut (perut papan) merupakan tanda khas pasa tetanus. Adanya spasme
otot menyebabkan kesulitan BAB.3
B6 (Bone), adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan
menurunkan aktivitas sehari-hari. Perlu dikaji apabila klien mengalami patah tulang terbuka
yang memungkinkan port de entiree kuman klostridium tetani, sehingga memerlukan
perawatan luka yang optimal. Adanya kejang memberikan risiko pada fraktur vertebra pada
bayi, ketegangan, dan spasme otot pada abdomen.3
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis cukup ditegakkan dengan gejalan klinis karena pemeriksaan kuman
Clostridium belum tentu berhasil. Namun apabila tetap diinginkan maka pemeriksaan
penunjang penyakit tetanus meliputi : (1) lab darah : tidak spesifik, mungkin leukositosis
ringan, serum CK agak meningkat; (2) pada pemeriksaaan bakteriologik ditemukan
clostridium tetani; (3) rekam EMG : hilangnya periode diam pada 50-100 ms setelah
kontraksi reflek.4

Diagnosis Kerja
Diagnosis tetanus sudah cukup kuat hanya dengan berdasarkan anamesis serta
pemeriksaan fisik.Anamesis tentang adanya kelaianan yang dapat menjadi tempat masuknya
kuman tetanus, trismus, risus sardonikus, kaku kuduk, opistotonus, perut keras seperti papan
atau kejang tanpa gangguan kesadaran, cukup untuk menegakkan diagnosis tertentu.
Pemeriksaan kultur Clostridium tetani pada luka, hanya merupakan penunjang diagnosis.
Menurut WHO, adanya trismus, atau risus sardonikus atau spasme otot yang nyeri serta
biasanya didahului oleh riwayat trauma sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Tetanus
lokal harus dipikirkan bila timbul kekakuan otot dan iritabilitas terhadap rangsangan mekanik
lokal di sekitar luka, terutama fraktur terbuka yang dipasang suspensi.1,5,6
Diagnosis Banding
Infeksi Sekunder pada Vulnus Laceratum
Vulnus atau luka, terutama luka robek pada kulit kaki kanan seperti yang
tergambar pada kasus diatas, dapat terkontaminasi dengan berbagai jenis kuman atau bakteri,
yang sebelumnya bersifat flora normal pada manusia, flora normal merupakan suatu sel
prokariot (bakteri) yang berkompetisi dengan pathogen pada tempat kolonisasi dan
menghasilkan substansi antibiotik (bakteriosin) yang akan menekan organisme yang
berkompetisi dengannya. Flora normal terdapat pada tempat-tempat tertentu pada tubuh
manusia. Jika flora normal berpindah tempat dari tempatnya sebelumnya, maka flora normal
akan menyebabkan suatu pengaruh yang merugikan bagi tubuh.7
Flora normal yang berkaitan dengan luka pada kulit kaki kanan sesuai dengan
kasus yang didapat adalah flora yang terdapat pada sawar fisik tubuh yakni kulit, diantara
stafilokokus, streptokokus, corynebakteria, propionilbakteria, dan ragi. Jika flora normal ini
masuk ke dalam luka robek, terutama di bagian subkutis, maka flora normal ini kemudian
akan memberikan pengaruh yang merugikan dengan berbagai toksin yang dihasilkannya.
Dalam hal ini kelompok yang memiliki peranan yang paling kuat dalam menginfeksi luka
robek pada kulit ialah Streptokokus dan Stafilokokus, yang keduanya sebagian besar
merupakan jenis bakteri positif Gram.8
Meningitis
Diagnosis meningitis patut dicurigai pada penderita trauma dasar tengkorak
yang disertai rinorea atau otorea berupa likuor yang menunjukkan adanya perlukaan

duramater, dan kemudian mengalami kenaikan kenaikan suhu badan, penurunan kesadaran,
dan gejala rangsangan selaput otak. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan pungsi lumbal.1
Gejala Klinik
Biasanya gejala dimulai 5-12 hari setelah infeksi, walaupun masa inkubasi
bisa lebih lama, atau pada infeksi yang sangat berat selama 1-2 hari. Tidak ada sesuatu yang
istimewa pada luka setempat. Awitan penyakit tiba-tiba, dengan meningkatnya kekuatan otot
secara perlahan-lahan, terutama otot-otot leher dan rahang. Dalam 24 jam umumnya penyakit
telah berkembang sepenuhnya; kekakuan rahang dan leher menjadi jelas, menelan mungkin
sukar dan bagian lain muskular tubuh mungkin dikenai. Spasme tetanus sangat khas.
Rangsangan kulit, pendengaran, atau penglihatan dan usaha gerakan volunter akan
menimbulkan kontraksi paroksismal otot tubuh secara keseluruhan yang berlangsung selama
5 atau 10 detik. Selama spasme ini tubuh menjadi kaku seperti papan; kepala tertarik,
punggung melengkung dalam keadaan epistotonus, tungkai dan kaki dalam keadaan ekstensi
dan lengan terentangke luar, dengan tinju terkepal dan ibu jari adduksi. Rahang tidak dapat
digerakkan, dan wajah memperlihatkan ekspresi kaku yang khas yang disebut risus
sardonikus. Alis mata terangkat, fisura palpebra menyempit, sudut mulut tertarik ke bawah
dan ke luar, dan bibir atas terkatup kuat pada gigi. Kesadaran tidak hilang; biasnaya pasien
sangat mengerti.5
Pada mulanya spasme jarang terjadi; terdapat relaksasi sempurna di antara
spasme, dan kadang-kadang sedikit tidak menyenangkan. Ketika penyakit berlanjut, spasme
menjadi lebih sering dan lama dan mungkin sakit; spasme sering dicetuskan oleh rangsangan
kecil. Kemudian relaksasi antara serangan kejang hanya parsial, dan derajat kelakuan yang
jelas menetap. Paroksisme bisa mempengaruhi otot pernapasan atau otot laring, dan
mengakibatkan kematian. Postur tubuh sering hanya memberikan sedikit gambaran tentang
intensitas kontraksi karena kelompok otot oposisi terkena dengan setara. Relaksasi parsial
atau sempurna terjadi saat tidur atau saat anastesi, dan sedatif bisa memberikan perbaikan.
Lazim terjadi spasme sfingter dengan retensi urin. Kadang-kadang sangat berkeringat;
demam sedang atau tidak ada. Hitung darah dan cairan serebrospinal tidak memperlihatkan
perubahan yang menetap. Lama tetanus pada infeksi fatal jarang lebih dari 3 atau 4 hari, dan
mungkin kurang dari 24 jam. Kematian biasanya akibat gagal napas, kadang-kadang suhu
tubuh memperlihatkan peningkatan akhir yang tiba-tiba. Pasien yang pulih menjadi jarang
demam; setelah beberapa hari parokisme secara berangsur-angsur menurun frekuensinya dan

kekauan otot berkurang, walaupun bisa diperlukan beberapa minggu untuk lenyap
keseluruhannya. Trimus sering sembuh terakhir.5
Tetanus memiliki gejala klinis yang luas dan beragam. Namun dapat dibagi
menjadi 4 tipe secara klinik, yaitu tetanus generalized, localized, cephalic dan neonatal.
Variasi gambaran klinik ini hanya menunjukkan tempat dimana toksin tersebut bekerja, bukan
bagaimana toksin tersebut bekerja. Tetanus generalized adalah tetanus yang paling sering
dijumpai. Gejalanya adalah,trismus,kekakuan otot maseter, punggung serta bahu. Gejala lain,
juga bisa didapatkan anatara lain opisotonus, posisi dekortikasi, serta ektensi dari ektremitas
bawah. Tetanus localized gejalanya meliputi kekuatan dari daerah dimana terdapat luka
(hanya sebatas daerah terdapat luka), biasanya ringan, bertahan beberapa bulan, dan sembuh
dengan sendirinya. Pasien kadang mengalami kelemahan, kekauan serta nyeri pada daerah
yang terkena tetanus localized. Tetanus cephalic meliputi gangguan pada otot yang diperantai
oleh susunan saraf perifer bagian bawah. Biasa terjadi setelah kecelakaan pada daerah wajah
dan leher. Sering gejalanya agak membingungkan, seperti disfagia, trimus dan focal cranial
neuropathy. Namun, dengan perjalanan penyakit pada timbul parese wajah, disfagia serta
gangguan pada otot ektraokular. Pada beberapa kasus tetanus cephalic mengakibatkan tetanus
ophthalmologic, supranuclear oculamotor palsy serta sindroma Horner. Tetanus neonatal,
biasa terjadi karena proses kebersihan saat melahirkan tidak bersih. Biasa terjadi pada
minggu kedua kehidupan, ditandai oleh kelemahan dan ketidakmampuan menyusu, kadang
disertai opisotonus. Pada tetanus sering juga disertai gangguan otonomik berupa tekanan
darah yang labil (takikardi maupun bradikardia), peningkatan respirasi serta juga
hiperpireksia.9

Table 1. Score Tetanus Philips.8

Tolak ukur

Masa inkubasi

Kurang 48 jam
2-5 hari
6-10 hari
11-14 hari
Lebih 14 hari

Nilai
5
4
3
2
1

Lokasi infeksi

Imunisasi

Faktor yang memberatkan

Internal/umbilikal

Leher,kepala, dinding tubuh


Ektremitas proksimal
Ektremitas distal
Tidak diketahui
Tidak ada
Mungkin ada/ibu mendapat
Lebih dari 10 tahun yang lalu

4
3
2
1
10
8
4

Kurang dari 10 tahun

Proteksi lengkap

Penyakit atau trauma yang menyebabkan jiwa

10

Keadaan yang tidak langsung membahayakan


jiwa
Keadaan yang tidak membahayakan jiwa

Trauma atau penyakit ringan

A.S.A. **derajat

Etiologi
Basil tetanus adalah organisme anaerob yang membentuk spora. Organisme
ini tersebar di tanah banyak tempat di seluruh dunia. Normalnya basil terdapat dalam usus
kuda, sapi, dan herbivora lain serta kadang-kadang ditemukan pada manusia. Antara 2-30%
orang dewasa mengandung kuman ini, dengan proporsi tertinggi pada komunitas pertanian.
Basil mengeluarkan dua toksin yang mudah larut, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin;
tetanolisin adalah suatu bahan hemolisis tidak stabil yang berperan kecil pada manifestasi
patologi penyakit. Tetanospasmin menimbulkan kejang dan kekuatan otot. Toksin ini
mempunyai afinitas khas terhadap jaringan saraf. Tidak seperti banyak toksin lain,
tetanospasmin tidak menimbulkan kemerahan kulit. Sejumlah subgrup basil telah ditemukan,
tetapi toksin yang dihasilkan ternyata identik satu sama lain.5
Epidemologi
Tetanus terjadi secara proradis dan hampir selalu menimpa individu non imun,
individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal
mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat
dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani diseluruh
dunia terutama dinegara beriklim tropis dan negara-negara sedang berkembang sering terjadi

di brazil, flipina,vietnam, indonesia dan negara lain di benua Asia. Tetanus terdapat di seluruh
dunia tetapi insidens di negara maju sudah sangat jarang. Penyakit ini masih merupakan
maslaah kesehatan di negara berkembang karena sanitasi lingkungan yang kurang baik dan
imunisasi aktif yang belum mencapai sasaran. Di Indonesia dan negara berkembang lain,
penyakit tetanus neonatarum masih menjadi masalah. Hal ini terutama disebabkan oleh
pertolongan persalinan bagi sebagian masyarakat masih menggunakan tenaga non-profesional
(dukun bayi/peraji). Faktor lain adalah sebagian ibu yang melahirkan tidak atau belum
mendapat imunisasi tetanus toksoid (TT) pada masa kehamilannya. Penyakit ini umumnya
terjadi di daerah pertanian , di daerah pedesaan, pada daerah yang beriklim hangat, selama
musim panas dan pada penduduk pria.9,10
Walaupun WHO nenetapkan target mengeradiasikan tetanus pada tahun 1995,
tetanus tetap bersifat endemik pada negara-negara yang sedang berkembang dan WHO
memperkirakan kurang lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh dunia pada tahun
1992, termasuk didalamnya 580.000 tetanus neonatorum, 210.000 di asia tenggara, dan
152.000 di Afrika. Penyakit ini jarang dijumpai pada negara-negara maju. Di Afrika Selatan,
kira-kira terdapat 300 kasus pertahun, kira-kira 12-15 kasus dilaporkan terjadi tiap tahun di
Inggris.11
Di Amerika Serikat sebagian besar kasus tetanus tetanus akibat trauma akut,
seperti luka tusuk,laserasi atau abrasi. Tetanus didapatkan akibat trauma di dalam rumah
selama bertani, berkebun dan aktifitas luar ruangan yang lain. Trauma yang menyebabkan
tetanus bisa berupa luka besar tapi dapat juga berupa luka kecil, sehingga pasien tidak
mencari pertolongan medis, bahkan pada beberapa kasus tidak dapat diidentifikasi adanya
trauma. Tetanus dapat merupakan komplikasi penyakit kronis , seperti ulkus, abses
dan gangren. Tenanus dapat pula berkaitan dengan luka bakar, infeksi telingah tengah,
pembedahan, aborsi dan persalinan.11
Pada akhir tahun 1940an dilaporkan 300 sampai 600 kasus pertahun di
Amerika Serikat. Pada tahun 1947 insidenssi tetanus mencapai 3,9 kasus per juta populasi,
kontras dengan angka insidensi tahunan antara tahun 1998-2000 yang dilaporkan 0,16 per
juta populasi. Sejak tahun1976 kurang dari 100 kasus dilaporkan tiap tahun dan pada saat ini
antara 50-70 kasus pertahundilaporkan di Amarika Serikat.11
Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi usia tua. Survey
serologis skala luas terhadap antibodi tetanus dan difteri yang dilakukan antara tahun 19881994 menunjukkan bahwa secara keseluruhan , 72% penduduk Amerika Serikat berusia di
atas 6 tahun terlindungi terhadap tetanus. Sedangkan pada usia antara 6-11 tahun sebesar

91%. Presentase ini menurundengan bertambahnya usia. Hanya 30% individu berusia
diatas 70 tahun (pria 45%, wanita 21%)yang mempunyai antibodi adekuat.11
Patogenesis
Clostridium tetani bukanlah organisme yang invasif. Infeksi tetap terlokalisasi
dengan ketat di daerah jaringan devitalisasi (luka, luka bakar, trauma, ujung guntingan
umbilicus, jahitan pembedahan) tempat spora masuk. Volume jaringan yang terinfeksi kecil,
dan penyakit ini hampir secara keseluruhan adalah toksemia. Berkembangnya spora dan
tumbuhnya organisme vegetatif yang menghasilkan toksin dibantu oleh: (1) jaringan
nekrotik; (2) gram kalsium; dan (3) infeksi piogenik yang terkait, semuanya membantu
pemantapan potensial oksidasi-reduksi yang rendah.5,8
Sel vegetatif Clostridium tetani menghasilkan toksin tetanospasmin (BM
150.000) yang dipecah oleh protease bakteri menjadi dua peptida (BM 50.000 dan 100.000)
yang dihubungkan melalui ikatan sulfida. Eksotoksin yang dihasilkan akan mencapai pada
sistem saraf pusat dengan akson neuron atau sistem vaskuler. Kuman ini menjadi terikat pada
satu saraf atau jaringan saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun
toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh aritititoksin.
Hipotesa cara absorpsi dan cara kerjanya toksin adalah pertama toksin di absorspi pada
ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik di bawah ke kornu anterior susunan saraf
pusat. Kedua, toksin diabsorpsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri
kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat. Toksin bereaksi dengan myoneural junction
yang menghasilkan otot-otot menjadi kejang dan mudah sekali terangsang. Masa inkubasi 2
hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10 hari.1,11,12
Toksin pada mulanya terikat pada reseptor di membran presinaptik
motorneuron. Kemudian bermigrasi melalui sistem transpor aksonal retrograd ke badan sel
neuron-neuron ini ke medula spinalis dan batang otak. Toksin berdifusi ke terminal sel
inhibitor, termasuk interneuron glisinergik dan neuron yang mensekresi asam aminobutirat
dari batang otak. Toksin ini mendegradasi sinaptobrevin, protein yang dibutuhkan untuk
penambatan

vesikel

neurotransmiter

pada

membran

presinaptik.

Pelepasan

asam

aminobutirat- dan glisin inhibitorik diblok, dan motorneuron tidak diinhibisi. Tetanospasmin
yang bekerja pada motor and plate mengganggu penghantaran neuromuskular dengan
menghambat pengeluaran asetilkolin. Selanjutnya, kerja toksin pada sistem saraf pusat
menurunkan ambang refleks yang melibatkan lower motor neuron dan menginduksi

kepekaan terhadap spasme dan kejang. Terjadi hiperrefleksi, spasme otot dan paralisis
spastik. Jumlah toksin yang dapat menjadi letal bagi manusia.5,8
Penanganan Terapi
Manajemen penanganan tetanus secara umum adalah suportif. Strategi
utamanya adalah menghambat pelepasan toksin, untuk menetralkan toksin yang belum
terikat, meminimalkan efek dari toksin dengan mempertahankan jalan napas yang adekuat.13
Penanganan umum, sebisa mungkin tempat perawatan pasien tetanus
dipisahkan, sebaiknya ditempatkan pada ruangan khusus. Ruangan yang tenang serta
terlindungi dari stimulasi taktil dan suara. Luka yang merupakan sumber infeksi sebaiknya
segera dibersihkan.13
Imunoterapi: jika memungkinkan berikan tetanus immunoglobulin manusia
(TIG) 500 unit secara IM (intramuskular) atau IV(intravena) (tergantung sediaan) segera
mungkin. Pemberian equine antitoksin juga bisa untuk menginaktifkan toksin. Pemberian
10.000-20.000 U equine antitoksin dosis tunggal secara intramuskular sudah cukup, namun,
hati-hati reaksi anafilaktoid.13
Antibiotik: pilihan antibiotik adalah metronidazole 500 mg setiap 6 jam (baik
secara oral)selama 7 hari. Alternatif lain adalah Penicilin G 100.000-200.000 IU/kgBB/hari
secara intravena, terbagi 2-4 dosis. Tetrasiklin, makrolid, klindamisin, sefalosporin serta
kotrimoksasole juga cukup efektif.13
Pengontrolan spasme otot: Benzodiazepin lebih disukai. Diazepam dapat
ditingkatkan dititrasi perlahan 5 mg atau lorazepam 2 mg, sampai tercapai kontrol spasme
tanpa sedasi maupun depresi napas yang berlebihan (maksimal 600 mg/hari). Pada anak,
dosis dapat dimulai dari 0,1-0,2 mg/kg berat badan, dinaikkan sampai tercapai kontrol
spasme yang baik. Magnesium sulfat bersama dengan benzodiazepin dapat digunakan untuk
dosis loading 5 gram (75mg/kgBB) secara intravena, dilanjutkan dengan dosis 2-3 gram/jam
sampai spasme terkontrol. Untuk mencegah overdosis diperlukan monitor reflek patelar. Jika
reflek patelar menghilang maka dosis obat harus diturunkan. Obat lain yang dapat digunakan
adalah klorpromasin (50-150 mg secara intramuskular tiap 4-6 jam pada dewasa, atau 4-12
mg IM, tiap 4-6 jam pada anak-anak).13
Kontrol gangguan autonomik: magnesium sulfat seperti diatas, penggunaan
beta bloker, seperti propanolol, saat ini kurang direkomendasikan karena berhubungan
dengan kematian. Penggunaan labetalol (penghambat reseptor adregenik alfa dan beta) secara
parenteral, direkomendasikan pada pasien tetanus dengan kelainan otonom yang menonjol.13

Kontrol jalan napas: pada tetanus, kita harus benar-benar memonitor


pernapasan, karena obat-obatan yang digunakan dapat menyebabkan depresi napas, serta
kemungkinan spasme laring tidak bisa disingkirkan. Penggunaan ventilator mekanik dapat
dipertimbangan, khususnya bila terjadi spasme, dan trakeostomi juga dapat dilakukan bila
terjadi spasme karena ditakutkan terjadi spasme laring saat pemasangan pipa endotrakeal.13
Pemberian cairan nutrisi: pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat
membantu dalam proses penyembuhan tetanus.13
Komplikasi
Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada jalan napas,
sehingga pada tetanus yang berat, terkadang memerlukan bantuan ventilator. Kejang yang
berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan fraktur dari tulang spinal dan tulang
panjang, serta rhabdomiolisis yang sering diikuti oleh gagal ginjal akut. Salah satu
komplikasi yang agak sulit ditangani adalah gangguan otonom, karena pelepasan katekolamin
yang tidak terkontrol. Gangguan otonom ini meliputi hipertensi dan takikardi yang kadang
berubah menjadi hipotensi dan bradikardia.9
Pasien dengan tetanus juga berisiko terkena infeksi nosokomial, karena masa
perawatan yang rata-rata agak lama. Kebutuhan nutrisi sering kurang memadai. Pada kasus
dengan spasme abdomen yang cukup berat, pemasangan kateter vena sentral untuk nutrisi
dapat dipertimbangkan, namun cara ini sulit dilakukan pada negara berkembang. Pada negara
kita, kita menggunakan terapi cairan untuk memperbaiki status gizi dan kebutuhan hidrasi
pasien.9
Prognosis
Derajat keparahan penyakit didasarkan pada empat tolok ukur, yaitu masa
inkubasi, porte dentree, status imunologi, dan faktor yang memperberat. Berdasarkan
perolehan angka, derajat keparahan penyakit dapat dibagi menjadi tetanus ringan (<9),
tetanus sedang (angka 9-16), dan tetanus berat (angka >16). Tetanus ringan dapat sembuh
sendiri tanpa pengobatan, tetanus sedang dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan, tetanus
sedang dapat sembuh melalui pengobatan baku, sedangkan tetanus memerlukan perawatan
khusus yang intensif.1
Progresivitas penyakit dan reaksi terhadap pengobatan dapat diukur dengan
memberi angka pada empat gejala klinis yang timbul. Faktor yang dinilai ialah beratnya
kekakuan, frekuensi kejang, suhu badan, dan status pernapasan. Penilaian dilakukan setiap 12

jam. Pengukuran berbagai faktor kolateral untuk menentukan nilai indeks pada cara Phillips
secara bermakna dapat menentukan prognosis. Makin besar angkanya, makin tinggi angka
kematiannya.1
Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi,
periode awal pengobatan, imunisasi, lokal fokus infeksi, penyakit lain yang menyertai,
beratnya penyakit, dan penyulit yang timbul. Masa inkubasi dan periode awitan merupakan
faktor yang mennetukan prognosis dalam klasifikasi Cole dan Spooner.1
Angka kematian tetanus berkisar 30-50%, walaupun diberikan semua tindakan
terapi. Usia merupakan faktor tunggal yang paling penting untuk menentukan prognosis. Usia
sangat muda dan sangat tus mempunyai prognosis buruk. Kebanyakan pasien yang bertahan
hidup sampai hari ke-10 gejala biasanya sembuh sempurna. Penyakit tidak meninggalkan
skuele. Angka kematian pasien yang termasuk dalam kelompok prognostik I lebih tinggi
daripada kelompok II dan III. Perawatan intensif menurunkan angka kematian akibat gagal
napas dan kelelahan akibat kejang. Selain itu, pemberian nutrisi yang cukup ternyata juga
menurunkan angka kematian.1,9
Pencegahan
Tetanus dicegah dengan penanganan luka yang baik dan imunisasi.
Rekomendasi WHO tentang imunisasi tetanus adalah 3 dosis awal saat infan, booster pertama
saat umur 4-7 serta 12-15 tahun dan booster terakhir saat dewasa. Di Amerika, CDC
merekomendasikan booster tambahan saat umur 14-16 bulan disertai booster tiap 10 tahun.
Pada orang dewasa yang menerima imunisasi saat masih anak-anak, namun tidak mendapat
booster, direkomendasikan menerima dosis imunisasi 2 kali dengan selang 4 minggu.6
Rekomendasi WHO, menganjurkan pemberian imunisasi pada wanita hamil
yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, 2 dosis dengan selang 4 minggu tiap dosisnya.
Hal tersebut untuk mencegah tetanus maternal dan neonatal.6
Ada dua pencegahan tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi
aktif serta pasif. Imunisasi aktif didapat dari penyuntikan toksoid tetanus untuk merangsang
tubuh membentuk antibodi. Manfaat imunisasi aktif ini sudah banyak dibuktikan. Imunisasi
pasif diperoleh dari pemberian serum yang mengandung antitoksin heterolog (ATS) atau
antitoksin homolog (imunoglobulin antitetanus). Berdasarkan riwayat imunitas dan jenis
luka. Baru ditentukan pemberian antitetanus serum atau toksoid.1
Ada keraguan untuk memberikan serum antitetanus bersamaan dengan toksoid
karena ditakutkan terjadi netralisasi toksoid oleh ATS. Hal ini dapat dicegah dengan

memberikannya secara terpisah pada tempat penyuntikaan yang berjauhan, misalnya lengan
kanan dan paha kiri. 1
Penutup
Tetanus merupakan infeksi akut disebabkan exotoksin clostridium tetani yang
ditandai oleh kekakuan otot dan spasme. Tetanus sendiri biasanya terjadi pada keadaan yang
anaerob, seperti pada kasus luka robek yang penanganannya kurang maximal dan masih ada
kotoran pada luka sehingga menimbulkan sumber infeksi yang berakibat tetanus tersebut.
Penanganannya luka tersebut bisa diberikan H2O2 untuk membersihkan kotoran pada luka,
lalu antibiotik untuk infeksi yang biasanya menimbulkan demam dan nyeri pada ektremitas.
Daftar Pustaka
1. Sjamsuhidayat R. Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat-de jong. Edisi ke-3. Jakarta:EGC;
2010.h.46-8,50
2. Behrman RE, Jenson HB, Kliegman RM, dan Marcdante KJ. Nelson ilmu kesehatan
anak esensial. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2014.h.395
3. Muttaqin A. Pengantar Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persarafan.
Jakarta: Salemba Medika; 2008.h.221-2
4. Bickley SL. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi 5. Jakarta:
EGC; 2008.h.15
5. Alpers A. Buku ajar pediatri Rudolph. Edisi ke-20. Jakarta: EGC; 2006.h.686-8
6. Alwi I, Setiati S, Sudoyo AW, Setiyohadi B, Syam AF, Simadibarata M. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014.h.640-2
7. Batticaca F.B. Bab 8: Asuhan keprawatan klien dengan tetanus. Jakarta. 2008.h.126-7
8. Brooks A.G, Buthel S.J, Morse A.S. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Buku
KedokteranEGC; 2007.
9. Surasmi A. Perawatan bayi risiko tinggi. Jakarta: EGC; 2003.h.101
10. Markum A. Buku Kumpulan Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 2.Jakarta;
FKUI;2005.h.616-21
11. Ismanoe G. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: FKUI; 2009.h.2911-23
12. Nelson W. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-15. Jakarta: EGC; 2007.h.273-75
13. Alwi I, Setiati S, Sudoyo AW, Setiyohadi B, Syam AF, Simadibarata M. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta: InternaPublishing; 2014.h.640-2

Anda mungkin juga menyukai