Anda di halaman 1dari 8

Tata Urut Produk Hukum di Indonesia

dikumpulkan dari berbagai sumber di internet


untuk mempercepat penyebaran informasi secara efisien
dan menambah percepatan kemajuan Indonesia tercinta ...
From: DiktiGroup@yahoogroups.com
[mailto:DiktiGroup@yahoogroups.com] On Behalf
Of Nurfitri Thio
Sent: 04 Februari 2012 23:43
To: diktigroup@yahoogroups.com
Subject: [DG] Kedudukan Surat Edaran Pejabat
Ditinjau dari Sudut Pandang Tata Hukum
Indonesia

Dear All,
Bermula dari ada yang mempermasalahkan/meragukan
kekuatan hukum Surat Edaran Dirjen Dikti No.
152/E/T/2012 yang menjadikan publikasi karya ilmiah
sebagai syarat lulus, saya menjadi tertarik dan mencoba
pelajari dari berbagai sumber bagaimana sebenarnya
posisi surat edaran pejabat dalam tata hukum RI, apakah
merupakan peraturan yang berkekuatan hukum atau
hanya merupakan sebuah kebijakan atau himbauan
untuk binaannya?
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 merupakan hukum dasar tertulis yang
berkedudukan sebagai hukum dasar bagi setiap
pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang ada
di bawahnya
Hierarki peraturan perundang-undangan baru mulai
dikenal sejak dibentuknya Undang-undang No.1 Tahun
1950 yaitu Peraturan tentang Jenis dan Bentuk
Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yang
ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1950.
Dalam Pasal 1 Undang-undang No.1 Tahun 1950
dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 1
Jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah:
a. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang

b. Peraturan Pemerintah
c. Peraturan Menteri
Selanjutnya hierarki peraturan perundang-undangan
diatur dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 (situs 1,
situs 2) pada halaman 12:
1. Undang-undang Dasar 1945
2. TAP MPR
3. Undang-undang/Perpu
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan Pelaksana lainnya misalnya Peraturan
Menteri, Instruksi Menteri dan lain lain
Selanjutnya tata urut peraturan perundang-undangan
diubah lagi dengan TAP MPR No.III/MPR/2000 (situs
1, situs 2) menjadi:
1. Undang Undang Dasar 1945
2. TAP MPR
3. Undang-undang
4. Perpu
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Perda
Kemudian diperbaharui lagi dengan UU no. 10 tahun
2004 (sudah dibatalkan oleh UU no. 12 tahun 2011)
(situs 1, situs 2):
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 7 menyebutkan:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan

adalah sebagai berikut:


a. Undang-undang Dasar 1945;
b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan
adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
UU no. 12 tahun 2011 merupakan UU Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan YANG BERLAKU
SAAT INI (situs 1, situs 2):
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
terdiri atas:
a. Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan

sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat


(1).
Pasal 8
1. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial,
Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-undang atau Pemerintah atas perintah
Undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.
2. Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.

Kedudukan Surat Edaran dalam tata hukum


Negara kesatuan Republik Indonesia
A. Materi yang disampaikan dalam Kegiatan
Implementasi Perangkat Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dilaksanakan di Comer Palace
Hotel, Temate, Provinsi Maluku Utara pada tanggal
28 April s.d. 1 Mei 2009.
Pembicara ke III: Sri Hariningsih, S.H., M.H.
Kedudukan Peraturan Menteri, Keputusan Menteri,
Surat Edaran, dan Instruksi Presiden dalam Sistem
Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (situs 1,
situs 2).
Butir 15
Produk hukum dalam bentuk " Surat Edaran" baik
sebelum maupun sesudah berlakunya UU no. 10 tahun
2004 tentang pembentukan pembentukan peratuaran

perundang-undangan TIDAK dikategorikan sebagai


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, karena
Surat Edarn kedudukan nya bukan sebagai peraturan
perundangan-undangan, dengan demikian
keberadaannya sama sekali tidak terikat dengan
ketentuan UU no. 10 tahun 2004.
B. Dalam buku Pedoman Umum Tata Naskah Dinas
cetakan Edisi I Januari 2004 dan Permen no. 22
tahun 2008 yang diterbitkan oleh KeMenpan,
Pengertian Surat Edaran adalah Naskah Dinas yang
memuat PEMBERITAHUAN TENTANG HAL
TERTENTU YANG DIANGGAP PENTING DAN
MENDESAK.
Selanjutnya dalam Permendagri no. 55 tahun 2010 pasal
1 butir 43 dijelaskan (situs asli):

Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi


pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk
cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap
penting dan mendesak

Mengingat isi Surat Edaran hanya berupa


pemberitahuan, maka dengan sendirinya materi
muatannya tidak merupakan norma hukum
sebagaimana norma dari suatu peraturan
perundangan-undangan. Oleh karena itu Surat
Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk
menganulir peraturan Menteri, apalagi Perpres
atau PP tetapi semata-mata hanya untuk
memperjelas makna dari peraturan yang ingin
diberitahukan.

Surat Edaran mempunyai derajat lebih tinggi


dari surat biasa, karena surat edaran memuat
petunjuk atau penjelasan tentang hal-hal yang
harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada.
Surat Edaran bersifat pemberitahuan, tidak ada
sanksi karena bukan norma.

Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia,


norma hukum mencakup:
a. Norma tingkah laku terbagi 4:

Larangan

Perintah (harus atau wajib)

Ijin (dapat atau boleh melakukan sesuati)

Pembebasan dari suatu perintah (pengecualian)

b. Norma kewenangan terdiri 3:

Berwenang

Tidak Berwenang- Dapat tetapi tidak perlu


dilakukan

c. Norma penetapan terdiri 2:

Kapan mulai berlaku suatu peraturan perundangundangan

Penentuan tempat kedudukan suatu lembaga dsb.

C. Kedudukan Peraturan Menteri, Keputusan


Menteri, Surat Edaran, dan Instruksi Presiden
dalam Sistem Hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Oleh: Drs. Zafrullah Salim, M.H.
Butir 7 dan 8 (situs 1, situs 2)
Surat Edaran merupakan suatu PERINTAH pejabat
tertentu kapada bawahannya/orang di bawah binaannya.
Surat Edaran sering dibuat dalam bentuk Surat Edaran
Menteri, Surat Edaran tidak mempunyai kekuatan
mengikat keluar karena pejabat yang menerbitkannya
tidak memiliki dasar hukum menerbitkan surat edaran.
Pejabat penerbit Surat Edaran tidak memerlulan dasar
hukum karena Surat Edaran merupakan suata peraturan
kebijakan yang diterbitkan semata-mata berdasarkan
kewenangan bebas namun perlu perhatikan beberapa
faktor sebagai dasar pertimbangan penerbitannya:
a. Hanya diterbitkan karena keadaan mendesak.
b. Terdapat peraturan terkait yang tidak jelas yang
butuh ditafsirkan.
c. Substansi tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan.
d. Dapat dipertanggungjawabkan secara moril
dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.
Setelah membaca uraian di atas sudah dapat
disimpulkan bahwa Surat Edaran adalah suatu perintah
atau penjelasan yang tidak berkekuatan hukum, tidak
ada sanksi hukum bagi yang tidak mematuhinya.

Himbauan Dirjen Dikti terkait publikasi karya


ilmiah sebagai syarat lulus tidak bisa dibawa ke
wilayah hukum, sehingga tidak dituruti pun tetap
bisa meluluskan mahasiswa/bisa terbit ijazah
karena kewajiban publikasi sebagai persyaratan
lulus tidak pernah disebut dalam peraturan
perundangan, tidak seperti akreditasi jelas ada
disebut di UU Sisdiknas dan PP 19/2005 bahwa
bagi Prodi tidak bisa terbit ijazah bila sampai
pertengahan 2012 tidak terakreditasi.

Walaupun Surat Edaran tidak berkekuatan


hukum, tetap bisa secara tidak langsung
memberi sanksi ke dalam umpamanya PT yang
tidak memiliki portal jurnal atau transkrip
mahasiswa tidak mencantumkan publikasi bisa
melemahkan peringkat komponen lulusan dalam
proses akreditasi, atau dijadikan sebagai alasan
penolakan suatu produk Dikti dsb.

Kemungkinan besar tidak akan termonitor


pelaksanaannya namun sewaktu ada sesuatu
penawaran dari Dikti maka laporan publikasi
mahasiswa bisa aja dijadikan sebagai
persyaratan. Beban kerja dosen yang merupakan
kewajiban dosen tetap menurut PP dosen saja
sulit terpantau, walaupun ada usaha dari
PT/Kopertis mengumpulkan laporan beban kerja
dosen, bukankah yang tidak menyerahkan juga
tidak ada sanksi karena peraturan perundangan
juga tidak ada singgung sanksi selain dijadikan
sebagai persyaratan serdos, tunjangan profesi,
perpanjangan BUP dll.

back to: home | topic index


Ir. Djoko Luknanto, M.Sc., Ph.D.

Peneliti Sumberdaya Air


di Laboratorium Hidraulika
Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada
Jln. Grafika 2, Yogyakarta 55281, INDONESIA
Tel: +62 (274)-545675, 519788, Fax: +62 (274)-545676, 519788

http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/HierarkiProdukHukum.html

Anda mungkin juga menyukai