Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING

BLOK DIGESTIVE
PBL KASUS 2

Tutor :
dr. M. Zaenuri S. H., SpKF, MSi.Med.
Kelompok 5
Yunandhika Rizki Widodo
A. Naesaburi Sahid
Fikri Fachri Pradika Busono
Ghaida Sakina
Risdinar Ulya Fauziyah
Yupita Maya Sari
Darlah Imma Aurani
Juwita Retnoningtyas
Afria Tika Ningrum
Sufiya Lisnawati
M. Nauval Hanafi
Mulia Sari

G1A013024
G1A013026
G1A013027
G1A013041
G1A013044
G1A013045
G1A013046
G1A013048
G1A013050
G1A013051
G1A013084
G1A011112

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A. Skenario
Informasi 1
a. Riwayat Penyakit Sekarang :
Seorang wanita, NY R, 69 tahun, datang ke polikinik RS dengan keluhan
penyakit kuning, penyakit ini sudah dirasa sejak 2 bulan yang lalu, tetapi
pasien tidak menyadarinya, sampai dokter Puskesmas merujuknya ke RS
tempat anda bekerja. Ny R mengeluhkan badannya gatal-gatal, air seninya
berwarna seperti teh. Selain itu, Ny R juga mengeluhkan kehilangan berat
badan beberapa kilogram selama 1 tahun ini, napsu makan menurun, dan
kadang-kadang

mual

serta

muntah.

Sejak

didiagnosis

menderita

osteoarthritis, Ny R rutin mengkonsumsi obat anti nyeri untuk penyakit


sendinya ini.
b. Riwayat penyakit dahulu :
Osteoartritis (OA)
c. Obat-obatan yang rutin di konsumsi :
Rutin meminum Natrium Diclovenac
d. Riwayat Keluarga :
Keluarga tidak ada yang menderita penyakit yang sama
Informasi 3
DD
a. Drug Induced Hepatitis
b. Viral Hepatitis
Informasi 4
Apa langkah selanjutnya yang paling tepat dalam pengelolaan pasien ini?
a. Liver Function Test
b. USG Hati
Informasi 5
a. Hasil lab

Hb: 11 g/dl, Peningkatan moderat enzim aspartat transaminase (AST) dan


Alanine Transaminase (ALT) dalam kisaran 300-500, bilirubin total: 14
mg/dl, bilirubin direk 12 mg/dl
b. USG Hati
CT Scan abdomen menunjukkan saluran empedu normal
Informasi 6
Terapi yang diberikan adalah :
Stop obat-obatan yang menyebabkan hepatitis
Pemberian obat hepar protector seperti curcuma dan HP Pro
Edukasi :
Pasien dalam minum obat-obatan harus dalam pengawasan dokter dan sesuai
dengan instruksi
Prognosis :
Baik, penyakit ini hilang dalam beberapa hari setelah penghentian obat-obatan
yang menyebabkan hepatitis

BAB II
PEMBAHASAN
A. Klarifikasi Istilah
1. Makanan yang dapat menyebabkan tinja berwarna hitam: makanan yang
mengandung zat besi
2. Hipertensi: kenaikan tekanan darah dimana sistol > 140 mmHg dan
diastole > 90 mmHg
3. Stroke: gangguan aliran darah otak oleh pembuluh arah otak tersumbat
atau rupture
B. Batasan Masalah
1. Identitas:
Nama : Ny. R
Usia

: 69 th

2. RPS :
Keluhan utama : Penyakit Kuning
Onset : 2 Bulan
Keluhan penyerta: Badan gatal, air seni seperti teh, BB menurun, nafsu
makan menurun, mual , muntah
Kualitas :Kuantitas:Peringan :Pemberat :3. RPD :
Osteoatritis (OA)
4. Riwayat konsumsi obat:
Natrium Diklovenac
5. RPK :
Tidak ada yang punya keluhan sama

C. Analisis Masalah
1. Informasi yang didapat dan disimpulkan dari kasus tersebut
2. Hipotesis penyebab masalah untuk kasus tersebut
3. Diagnosis banding dari penyebab masalah tersebut
D. Menyusun Urutan Berbagai Penjelasan Mengenai Permasalahan
1. Hipotesis penyebab masalah untuk kasus tersebut
Hipotesis penyebab dari masalah pasien tersebut adalah adanya
Hepatitis. Syndrome dyspepsia didefinisikan sebagai abnormalitas dari
hepar yang disebabkan karena inflamasi atau peradangan pada hepar yang
menimbulkan gangguan sekresi cairan bilirubin sehinggan menyebabkan
penyakit kuning (Fauci et al, 2012). Dasar hipotesis tersebut didapatkan
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dari keadaan kulit dimana
keluhannya biasanya warna kekuningan pada kulit dan mata.
2. Diagnosis banding dari penyebab masalah tersebut
Penyakit kuning dapat disebabkan oleh berbagai hal, di mana yang
paling umum adalah penyakit Hepar, karena virus sehingga terjadi
gangguan sekresi hasil metabolik hepar yang ditandai oleh peningkatan
produksi bilirubin. Berikut merupakan beberapa penyebab dari Penyakit
kuning :
a. Hepatitis Viral
Hepatitis virus adalah radang hati yang disebabkan oleh
virus. Virus yang sering dikaitkan pada penyakit ini
adalah virus Hepatitis A, Hepatitis B dan Hepatitis C.
Dikatakan akut apabila inflamasi (radang) hati akibat
infeksi

virus

hepatitis

yang berlangsung selama kurang

dari 6 bulan, dan kronis apabila hepatitis yang tetap


bertahan selama lebih dari 6 bulan. Keadaan kronis pada
anak-anak lebih sukar dirumuskan karena perjalanan
penyakitnya lebih ringan daripada orang dewasa (A. Hazim,
2010).
b. Hepatitis indced drug
c. Sirosis Hepatis
E. Sasaran Belajar

1. Anatomi Hepar.
2. Histologi Hepar
3. Fisiologi sistem Bilirubin
4.

Patomekanisme Hepatitis

5. Tanda dan gejala Hepatitis


6. Pemeriksaan penunjang Hepatitis
7. Terapi medikamentosa pada Hepatitis
8. Terapi nonmedikamentosa pada Hepatitis
9. Prognosis Hepatitis
10. Komplikasi Hepatitis
F. Belajar Mandiri
Telah dilaksanakan.
G. Pembahasan Sasaran Belajar
1. Anatomi Letak Hepar

Gambar II.1. Anatomi sistem pencernaan atas dan bawah


a. Hepar

Gambar II.2. Anatomi cavum oris


Hepar Merupakan organ terbesar di abdomen.Terletak pada regio
hipocondriaca dextra dan regio epigastrica
Batas-batas :
1) Anterior : diaphragm, arcus costalis dextra et sinistra, pleura dextra et
sinistra, margo inferior pulmo dextra et sinistra, processus
xyphoideus
2) Posterior : diaphragm, rend extra, flexura coli dextra, duodenum,
vesica
biliaris, vena cava inferior, esophagus, fundus gaster
Terdiri dari 4 lobus, yaitu:
1) Lobus hepatis dextra
2) Lobus hepatis sinistra
3) Lobus quadratus
4) Lobus caudatus
Ligamentum
1) Ligamentum falciforme
2) Ligamentum teres hepatis
6

3) Ligamentum coronarium
4) Ligamentum triangulare dextra
5) Ligamentum triangulare sinistra
6) Ligamentum venosum (arantii)
Struktur :
1) Processus caudatus
2) Area nuda hepatis
3) Capsula hepatica
1) Vestibulum oris/ cavum buccalis
2) Cavum oris
3) Palatum durum
4) Palatum molle
5) Diafragma oris
6) Caruncula sublingualis
7) Arcus palatoglossus
8) Arcus palatopharingeus
9) Tonsilla palatina
10) Tonsilla lingualis
11) Vallecula epiglotica
12) Fauces
13) Uvula
14) Ostium Glandula Parotis

Gambar III.3. Antomi Hepar Posterioi


2. Histologi traktus digestivus atas
Hepar
a. Hati secara histology terdiri dari lobules-lobulus yang dipisahkan oleh
jaringan ikat.
b. Lobulus membentuk ruang heksagonal yang berisi sel hepatosit dan
vena centralis di bagian tengahnya.
c. Diantara 3 lobulus di ujung sisi membentuk suatu ruangan yang
disebut trias porta. Trias porta terdiri dari a. hepatica, v. porta, dan
ductus biliaris.
d. Di dalam kanalikuli-kanalikuli selain terdapat hepatosit terdapat juga
sel kupffer (makrofag yang terdapat di hepar)
e. Fungsi dari hepar sendiri adalah untuk metabolism karbohidrat,
protein, dan lemak serta detoksifikasi zat-zat yang berbahaya bagi
tubuh. Selain itumenghasilkan protein-protein seperti albumin serta
menghasilkan cairan empedu.

Gambar 2.1 Histologi hepar


Kantungempedu
a. Dinding kantung empedu terdiri atas mukosa, muskularis, dan
adventisia.
b. Dinding kantung empedu tidak memiliki muskularis mukosa dan
submukosa.
c. Mukosa terdiri dari epitel kolumner simpleks dan lamina propia.
Lamina propia terdapat jaringan ikat dan pembuluh darah.
d. Memiliki vili yang tidak teratur dan kripte.
e. Muskularis eksterna tidak terlihat jelas susunan-susunan
muskularisnya.
f. Lapisan paling luar adalah tunica adventisia
g. Fungsi utama kantung empedu adalah mengumpulkan, menyimpan,
memekatkan, dan mengeluarkan empedu ke duodenum untuk
emulsifikasi lemak.

Gambar 2.2 Histologi kandung empedu


3. Fisiologi Hepar dan Ductus Biliaris
Hati adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh. organ ini
dapat dipandang sebagai pabrik biokimia utama tubuh. Perannya dalam
sistem pencernaan adalah sekresi garam empedu, yang membantu
pencernaan dan penyerapan lemak. Hati juga melakukan berbagai fungsi
yang tidak berkaitan dengan pencernaan, termasuk berikut ini :
1. Memproses secara merabolis ketiga kategori utama nutrient
(karbohidrat, protein, dan lemak) setelah zavzar ini diserap dari
2.

saluran cerna.
Mendetoksifikasi atau menguraikan zat sisa tubuh dan hormon serta

obat dan senyawa asing lain.


3. Membentuk protein plasma, rermasuk protein yang dibutuhkan
untuk pembekuan darah dan yang untuk mengangkut hormon steroid
dan tiroid serta kolesterol dalam darah.
4. Menyimpan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin.
5. Mengaktifkan vitamin D, yang dilakukan hati bersama dengan
ginjal.
Untuk melaksanakan beragam tugas ini, susunan anatomik hati
memungkinkan setiap hepatosit berkontak langsung dengan darah dari dua
sumber: darah arteri yang datang dari aorta dan darah vena yang datang
langsung dari saluran cerna. Seperti sel lain, hepatosit menerima darah
arteri segar melalui arteri hepatika, yang menyalurkan oksigen dan
metabolit-metabolit darah untuk diproses oleh hati. Darahvena juga masuk

10

ke hati melalui sistem porta hati, suatu koneksi vaskular unik dan
kompleks antara saluran cerna dan hati (Sherwood, 2012).
Vena-vena yang mengalir dari saluran cerna tidak langsung menuju
ke vena kava inferior, vena besar yang mengembalikan darah ke jantung.
Namun vena-vena dari lambung dan usus masuk ke vena porta hati, yang
membawa produk yang diserap dari saluran cerna langsung ke hati untuk
diproses, disimpan, atau didetoksiftkasi sebelum produk-produk ini
memperoleh akscs ke sirkulasi umum. Di dalam hati, vena porta kembali
bercabangcabang menjadi anyaman kapiler (sinusoid hati) untuk
memungkinkan terjadinya pertukaran antara darah dan hepatosit sebelum
darah mengalir ke dalam vena hepatika, yang kemudian menyatu dengan
vena kava inferior (Sherwood, 2012).
Hati tersusun menjadi unit-unit fungsional yang dikenal sebagai
lobulus, yaitu susunan jaringan berbentuk heksagonal mengelilingi satu
vena sentral. Setiap enam sudut luar lobulus terdapat tiga pembuluh,
cabang arteri hepatika, cabang vena porra hati, dan duktus biliaris. Darah
dari cabang arteri hepatika dan vena porta mengalir dari perifer lobulus ke
ruang kapiler luas yang disebut sinusoid yang berjalan di antara jejeran sel
hati ke vena sentral seperti jari-jari roda sepeda (Sherwood, 2012).
Sel Kupffer melapisi bagian dalam sinusoid serra menelan dan
menghancurkan sel darah merah dan bakteri yang melewatinya dalam
darah. Hepatosit-heparosit tersusun antara sinusoid dalam lempenglempeng yang tebalnya dua sel, sehingga masing-masing tepi lateral
menghadap ke genangan darah sinusoid. Vena sentral di semua lobulus hati
menyatu untuk membentuk vena hepatika, yang mengalirkan darah keluar
dari hati. Saluran tipis pengangkut empedu, kanalikulus biliaris, berjalan di
antara sel-sel di dalam setiap lempeng hati. Hepatosit terus-menerus
mengeluarkan empedu ke dalam saluran tipis ini, yang mengangkut
empedu ke duktus biliaris di tepi lobulus. Duktus-duktus biliaris dari
berbagai lobulus menyatu untuk akhirnya membentuk duktus biliaris
komunis, yang mengangkut empedu dari hati ke duodenum. Setiap

11

hepatosit berkontak dengan sinusoid di satu sisi dan kanalikulus biliaris di


sisi lain (Martini, 2012).
Lubang duktus biliaris ke dalam duodenum dijaga oleh sffngter
Oddi, yang mencegah empedu masuk ke duodenum kecuali sewaktu
pencernaan makanan. Ketika sfingter ini tertutup, sebagian besar empedu
yang disekresikan oleh hati dialihkan balik ke dalam kandung empedu,
suatu struktur kecil berbentuk kantung yang terselip di bawah tetapi tidak
langsung berhubungan dengan hati. Karena itu, empedu tidak diangkut
langsung dari hati ke kandung empedu. Empedu kemudian disimpan dan
dipekatkan di kandung empedu di antara waktu makan. Setelah makan,
empedu masuk ke duodenum akibat efek kombinasi pengosongan kandung
empedu dan peningkatan sekresi empedu oleh hati. Jumlah empedu yang
disekresikan per hari berkisar dari 250 ml sampai 1 liter, bergantung pada
derajat perangsangan (Sherwood, 2012).
Caram empedu membantu pencernaan Iemak melalui efek
deterjennya (emulsifikasi) dan mempermudah penyerapanlemak dengan
ikut serta dalam pembentukan misel (micelle), Istilah efek deterjen
merujuk kepada kemampuan garam empedu untuk mengubah globulus
(gumpalan) lemak besar menjadi emulsi lemak yang terdiri dari banyak
tetesan/butiran lemak dengan garis tengah masing-masing 1 mm yang
membentuk suspensi di dalam kimus cair sehingga luas permukaan yang
tersedia untuk tempat lipase pankreas bekerja bertambah. Gumpalan
lemak, berapapun ukurannya, terutama terdiri dari molekul trigliserida
yang belum tercerna (Sherwood, 2012).
Untuk mencerna lemak, lipase harus berkontak langsung dengan
molekul trigliserida. Karena tidak larut dalam air maka trigliserida
cenderung menggumpal menjadi butir-butir besar dalam lingkungan usus
halus yang banyak mengandung air. Jika garam empedu tidak
mengemulsifikasi gumpalan besar lemak ini, maka lipase dapat bekerja
hanya pada permukaan gumpalan besar tersebut dan pencernaan lemak
akan sangat lama (Sherwood, 2012).

12

Bilirubin, konstituen utama lainnya pada empedu, sama sekali tidak


berperan dalam pencernaan tetapi merupakan produk sisa yang
diekskresikan di dalam empedu. Bilirubin adalah pigmen empedu urama
yang berasal dari penguraian sel darah merah usang. Rentang usia tipikal
sel darah merah di dalam sistem sirkulasi adalah 120 hari. Sel darah merah
yang telah usang dikeluarkan dari tubuh oleh makrofag yang melapisi
bagian dalam sinusoid hati dan di tempat-tempat lain di tubuh. Bilirubin
adalah produk akhir penguraian bagian hem (yang mengandung besi)
hemoglobin yang terkandung di dalam sel darah merah usang. Bilirubin ini
diekstraksi dari darah oleh hepatosit dan secara aktif disekresikan ke dalam
empedu (Sherwood, 2012).
Bilirubin adalah pigmen kuning yang menyebabkan empedu
berwarna kuning. Di da.lam saluran cerna, pigmen ini dimodifikasi oleh
enzim-enzim bakteri, menghasilkan warna tinja yang coklat khas. Jika
tidak terjadi sekresi bilirubin, seperti ketika duktus biliaris tersumbat total
oleh batu empedu, tinja berwarna putih keabuan. Dalam keadaan normal
sejumlah kecil bilirubin direabsorpsi oleh usus kembali ke darah, dan
ketika akhirnya diekskresikan di urin, bilirubin ini berperan besar
menyebabkan warna urin kuning. Ginjal tidak dapat mengekskresikan
bilirubin sampai bahan ini telah dimodifikasi ketika mengalir melewati
hati dan usus (Martini, 2012).
Sekresi empedu dapat ditingkatkan oleh mekanisme kimiawi,
hormon, dan saraf. Setiap bahan yang meningkatkan sekresi empedu oleh
hati disebut koleretik. Koleretik paling kuat adalah garam empedu itu
sendiri. Diantara waktu makan, empedu disimpan di kandung empedu,
tetapi sewaktu makan empedu disalurkan ke dalam duodenum oleh
kontraksi kandung empedu. Setelah ikut serta dalam pencernaan dan
penyerapan lemak, garam empedu direabsorpsi dan dikembalikan oieh
sirkulasi enterohepatik ke hati, tempat zar-zat ini bekerja sebagai koleretik
poten untuk merangsang sekresi empedu lebih lanjut (Sherwood, 2012).
Karena itu, sewaktu makan, ketika garam empedu dibutuhkan dan
sedang digunakan, sekresi empedu oleh hati meningkat. Mekanisme

13

hormon (sekretin). Selain meningkatkan sekresi NaHCO, cair oleh


pankreas, sekretin juga merangsang peningkatan sekresi empedu alka.lis
cair oleh duktus biliaris tanpa disertai oleh peningkatan setara garamgaram empedu. Mekanisme saraf (saraf vagus). Stimulasi vagus pada hati
berperan kecil dalam sekresi empedu selama fase sefalik pencernaan, yang
mendorong peningkatan aliran empedu hati bahkan sebelum makanan
mencapai lambung atau usus (Sherwood, 2012).
4. Metabolisme Bilirubin

Gambar 4.1 Mekanisme Bilirubin (Kenoko, 2007).


Awal metabolism dari bilirubin dimulai dari destruksi eritrosit di
bone marrow. Kemudian pada eritrosit yang mengandung hemoglobin
tersebut mengalami pemecahan menjadi heme dan globin. melalui proses
oksidasi, komponen globin mengalami degadrasi menjadi asam amino dan
digunakan untuk pembentukan protein lain (Kenoko, 2007).
Unsur heme selanjutnya

oleh heme-oksigenase, teroksidasi

menjadi biliverdin dengan melepas zat besi dan karbonmonoksida.


Biliverdin redukse akan mereduksi biliverdin menjadi bilirubin tidak
terkonjugasi. lebih dari 80% bilirubin terjadi dari pemecahan heme yang
berasal dari eritrosit namun sekitar 15-20% bilirubin dapat pula berasal
dari hemoprotein lain seperti myoglobin dan sitokrom (Kenoko, 2007).
Bilirubin tidak terkonjugasi ini adalah suatu zat lipofilik, larut
dalam lemak, hampir tidak larut dalam air sehingga tidak dapat
14

dikeluarkan dalam urin melalui ginjal (disebut pula bilirubin indirek


karena hanya bereaksi positif pada tes setelah dilarutkan dalam alkohol).
Karena sifat lippofilik, zat ini dapat melalui membran sel dengan relatif
mudah. Setelah dilepas ke dalam plasma sebagian besar bilirubin tidak
terkonjugasi ini membentuk ikatan dengan albumin sehingga dapat larut di
dalam darah. Pigmen ini secara bertahap berdifusi ke dalam sel hati
(hepatosit) (Kenoko, 2007).
Dalam hepatosit, bilirubin tak berkonjugasi, dikonjugasi dengan
asam glukoromat membentuk bilirubin glukuronida atau bilirubin
terkonjugasi (disebut pula bilirubin direk). Reaksi konjugasi dikatalisasi
oleh enzim glukoronil transferase suatu enzim yang terdapat di retikulum
endoplasmik dan merupakan kelompok enzim yang mampu memodifikasi
zat asing yang bersifat toksik. Kelompok enzim ini dapat diaktifkan
dengan rangsangan fenobarbital, oleh karena itu fenobarbital dapat
dijadikan sebagai pengobatan, terutama apabila hanya terjadi penurunan
kadar glukonil trasferase (Kenoko, 2007).
Bilirubin terkonjugasi larut dalam air, dapat dikeluarkan melalui
ginjal namun dalam keadaan normal tidak dapat terdeteksi dalam urin.
Sebagian besar bilirubin terkonjugasi ini dikeluarkan ke dalam empedu,
suatu campuran kolesterol, fospholipid, bilirubin glukuronida dan garam
empedu. Sesudah dilepas ke dalam salurann cerna bilirubin glukoronida
(bilirubin terkonjugasi) diaktifkan oleh enzim bakteri di dalam usus,
sebagian menjadi komponen urobilinogen yang akan keluar dalam tinja
(sterkobilin), atau diserap kembali dari saluran cerna, dibawa ke hati dan
dikeluarkan kembali ke dalam empedu. Urobilinogen dapat larut dalam air,
oleh karena itu sebagian dikeluarkan melalui ginjal (Kenoko, 2007).
5. Patomekanisme Hepatitis Drug Induced
Obat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati dalam beberapa
cara. Sebagian langsung merusak hati, lainnya diubah oleh hati menjadi
bahan kimia yang dapat berbahaya bagi hati secara langsung maupun tidak
langsung. Ada 3 jenis penyebab hepatotoksisitas, yaitu toksisitas

15

bergantung

dosis

(dose-dependenttoxicity),

toksisitas

idiosinkratik

(idiosyncratictoxicity), dan alergi obat (drug allergy).


Hepatotoksisitas tergantung dosis cukup sering terjadi dan dapat
karena dosis obat terlalu tinggi. Toksisitas idiosinkratik ditemukan pada
orang yang mewarisi gen spesifik yang mengontrol perubahan senyawa
kimia obat tertentu dan mengakibatkan akumulasi obat tersebut atau
produk metabolitnya yang berbahaya bagi hati. Kejadian ini biasanya
jarang dan tergantung obat, terjadi kurang dari 1-10 per 100.000 pasien.
Meskipun risiko toksisitas idiosinkrasi rendah, jenis ini yang umum terjadi
karena banyaknya pemakaian obat dan penggunaan beberapa macam obat.
Toksisitas idiosinkrasi sulit dideteksi dalam uji klinis awal yang biasanya
melibatkan paling banyak beberapa ribu pasien. Alergi obat juga dapat
menyebabkan hepatotoksisitas, meskipun jarang. Pada alergi obat, hati
mengalami peradangan ketika terjadi reaksi antigen-antibodi antara sel
imun tubuh terhadap obat.
Gangguan fungsi hati akibat obat berupa kerusakan hepatoseluler
dan kolestasis parah bahkan berakibat fatal. Mekanisme kerusakannya
disebabkan langsung atau reaksi hipersensitivitas sekunder (dimediasi
sistem imun).
6. Tanda dan gejala Hepatitis Drug-Induced
Gambaran hepatotoksisitas imbas obat sangat sulit dibedakan
secara klinik dengan penyakit hepatitis atau kholestasis dengan etiologi
lain. Riwayat dari penggunaan obat atau senyawa-senyawa lain yang
hepatotoksik harus terungkap. Onset umumnya cepat, malaise, dan icterus,
serta dapat terjadi gagal hati akut yang berat terutama bila pasien masih
mengkonsumsi

obat

tersebut

setelah

onset

hepatotokisisitas

(Bayupurnama, 2009).
Apabila

jejas

hepatosist

sudah

dominan

makaka

dar

aminotransferase dapat meingkat paling tidak lebihdari lima kali batas atas
normal, sedangkan kenaikan kadar fosfatase alkali dan bilirubin menonjol
pada kholestasis. Mayoritas obat idiosin kratik melibatkan kerusakan

16

hepatosist seluruh lobul hepatic dengan derajat nekrosis dan apoptosis


bervariasi. Gejala hepatitis biasanya muncul beberapa hari atau minggu
setelah mengkonsumsi obat dan mungkin terus berkembang bahkan
sesudah obat penyebab dihentikan pemakaiannya (Bayupurnama, 2009).
Beberapa obat menunjukkan reaksi alaergi yang menonjol, seperti
phenytoin yang berhubungan dengan demam, limfadenopati, rash, dan
jejas hepatosit yang berat. Pemulihan reaksi imuno alergik umumnya
lambat sehingga diduga allergen tetap bertahan di hepatosit selama
berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Overdosis asetaminofen (lebih
dari 4 gram per 24 jam) merupakan contoh hepatotoksisitas obat yang
tergantung dosis yang dapat dengan cepat menyebabkan jejas hepatosit
terutama sentry lobuler. Kadar aminotransferase bisanya sangat tinggi,
dapat melebihi 3500UI/L (Bayupurnama, 2009).
7. PP AVM
Menurut

International

Consensus

Criteria,

maka

diagnosis

hepatotoksisitas imbas obat post of apabila ditemukan tiga criteria pertama


terpenuhi atau dua dari tiga criteria pertama terpenuhi dengan respon
positif pada pemaparan ulang obat, kemudian kriteria-kriteria yang
dimaksud tersebut (Bayupurnama, 2009) adalah:
a. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai onset
reaksi adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau
compatible (kurang dari lima hari atau lebih dari 90 hari sejak
minum obat dan tidak lebih dari 15 hari dari penghentian obat untuk
reaksi hepato seluler dan tidak lebih dari 30 hari dari pengentian obat
untuk reaksi kolestatik) dengan hepatotoksisitas obat.
b. Perjalanan reaksi setelah pengentian obat adalah sangat sugestif
(penurunan enzim hati paling tidak 50% dari kadar di atas batas atas
normal dalam 8 hari) atau sugestif (penurunan kadar enzim hati
paling tidak 50% dalam 30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180
hari untuk reaksi kholestetik) dari reaksi obat.
c. Alternative sebab lain dari reaksi telah dieksklusi setelah pemeriksaan
teliti, termasuk biopsy hati pada tiap kasus.

17

d. Dijumpai respon positif setelah pemaparan ulang dengan obat yang


sama (paling tidak kenaikan dua kali lipat dari enzim hati.
8. Terapi medikamentosa Hepatitis Drug-Induced
Tidak ada pengobatan spesifik pada hepatitis akibat obat. Jika
dijumpai reaksi alergi berat dapat diberikan kortikosteroid, meskipun
belum ada bukti penelitian secara klinis. Pada obat-obtan tertentu seperti
amoksisilin, asam klavunalat dan fenitoin berhubungan dengan sindrom
dimana kondisi pasien memburuk dalam beberapa minggu sesudah
pengobatan dihentikan dan perlu waktu beberapa bulan untuk pulih seperti
sedia kala (Lee, 2010).
9. Terapi nonmedikamentosa Hepatitis-Drug Induced
Terapi efek hepatotoksik obat terdiri dari penghentian segera
obat-obatan yang dicurigai. Pengobatan dapat bersifat simtomatis.
Beberapa orang memberi respon yang baik jika telah dihentikan
pemakaian obatnya. Untuk yang lain terkadang membutuhkan beberapa
bulan untuk kembali normal. Selain itu, keseimbangan asam dan basa pada
penderita perlu diperhatikan dan kubutuhan nutrisi juga peru untuk
dipenuhi (Lee, 2010).
10. Prognosis Hepatitis Drug-Induced
Secara umum prognosis pada pasien drug induced hepatitis
semakin baik jika penetapan diagnosis pada awal.Prognosis penyakit ini
bergantung pada gejala pasien dan derajat kerusakan hati. Sebuah studi
prospektif

yang

dilakukan

di

Amerika

pada

tahun

1998-2001

menyimpulkanbahwa prognosis pasien (termasuk mereka yang menerima


transpalantasi hati) sebanyak 72%.Kejadian Gagal Hati akut ini ditentukan
oleh etiologinya, derajat ensefalopati hepatik, dan komplikasi seperti
infeksi. Prognosis gagal hati akut untuk reaksi idiosinkratik obat
burukdengan angka mortalitas lebih dari 80% (Bayupurnama, 2006).
Prognosis jangka pendek maupun jangkapanjang jejas tipe
hepatoselular mengikuti hukum Hy. Hukum ini dipopulerkan oleh
18

Hyman Zimmerman, seorang hepatolog yang tertarik pada Hepatitis Drug


Induced. Hukum Hy menyebutkan bahwa 10% pasien Hepatitis Drug
Induced mengalami icterus dan, dari jumlah tersebut, 10% akan meninggal
karena Hepatitis Drug Induced. Angka fatalitas kasus (case fatality rates)
pasien gagal hati fulminan imbas obat terlapor sangat tinggi (sekitar 75%)
untuk obat-obat selain asetaminofen. Sebaliknya, angka fatalitas kasus
gagal hati fulminan yang disebabkan asetaminfen jauh lebih rendah,
kurang lebih 25% (Bonkovsky, 2006).
11. Komplikasi Hepatitis Drug-Induced
Komplikasi dari Hepatitis Imbas Obat (Drug Induced Hapatitis)
sebenarnya cukup jarang, namun yang paling mungkin adalah dapat
menjadi faktor predisposisi menjadi gagal hati (Liver Failure) (Longstreth,
2012).
14. Macam-macam Ikterus
Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang
berlangsung dalam 3 fase, yaitu prehepatik, intrahepatik, pascahepatik,
masih relevan. Walaupun diperlukan penjelasan akan adanya fase
tambahan dalam tahapan metabolisme bilirubin, pembagian yang baru
menambahkan 2 fase lagi sehingga tahapan metabolisme bilirubin menjadi
5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor plasma, liver uptake,
konjugasi, dan ekskresi bilier. Ikterus disebabkan oleh gangguan pada
salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut (Lindseth, 2006).
a) Fase Prahepatik
Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut ikterus yang disebabkan
oleh hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah
merah).
a. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau
sekitar 4mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80%
berasal dari pemecahan sel darah merah yang matang oleh sel sel
retikuloendotelial, sedangkan sisanya (early labeled bilirubin) 20-

19

30% berasal dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam
sumsum tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah
merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.
Sebagiandari protein hem dipecah menjadi besi dan produk
diantara biliverdin dengan perantaraan enzim hemeoksigenase.
Enzimlain, biliverdinreduktase, mengubah biliverdin menjadi
bilirubin. Tahapan ini terjadi terutama dalam sel system
retikuloendotelial (mononuklirfagositosis). Peningkatan hemolysis
sel darah merah merupakan penyebab utama peningkatan
pembentukan bilirubin. Pembentukan early labeled bilirubin
meningkat pada beberapa kelainan dengan eritropoiesis yang tidak
efektif namunsecara klinis kurang penting (Sulaiman, 2007).
b. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya
bilirubin tak terkonjugasi ini transportnya dalam plasma terikat
dengan albumin dan tidak dapat melalui membran glomerulus,
karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan melemah dalam
beberapa keadaan seperti asidosis, dan beberapa bahan seperti
antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada tempat ikatan dengan
albumin (Sulaiman, 2007).
b) Fase Intrahepatik
Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada
hati yang mengganggu proses pembuangan bilirubin
a. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin melalui transport yang
aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan
albumin. Pengambilan oleh hati secara rinci dan pentingnya protein
pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas (Sulaiman,
2007).
b. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati
mengalami konjugasi dengan asam glukoronik membentuk
bilirubin diglukuronida /bilirubin konjugasi / bilirubin direk.
Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan bilirubin yang tidak larut
dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai kompleks
dengan molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak

20

terdapat dalam empedu, bilirubin harus dikonversikan menjadi


derivat yang larut dalam air sebelum diekskresikan oleh sistem
bilier. Proses ini terutama dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin
pada asam glukuronat hingga terbentuk bilirubin glukuronid /
bilirubin terkonjugasi / bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi
oleh enzim microsomal glukoronil-transferase menghasilkan
bilirubin yang larut air (Sulaiman, 2007).
c) Fase Pascahepatik
Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar
hati oleh batu empedu atau tumor
a. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam
kanalikulus

bersama

bahan

lainnya.

Anion

organic

lainnyaatauobatdapatmempengaruhi proses yang kompleksini. Di


dalam

usus,

flora

bakteri

mereduksi

bilirubin

menjadi

sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam


tinja yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan
kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai
mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan
bilirubin konjugasi tetapi tidak bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini
menerangkan warna air seni yang gelap khas pada gangguan
hepatoseluler

atau

kolestasis

intrahepatik.

Bilirubin

tak

terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam


lemak. Karenanya bilirubin tak terkonjugasi dapat melewati barrier
darah-otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin
tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi dengan gula melalui
enzim glukoronil transferase dan larut dalam empedu cair
(Sulaiman, 2007).
Gangguan metabolisme bilirubin dapat terjadi lewat salah satu dari
keempat mekanisme ini: over produksi, penurunan ambilan
hepatik, penurunan konjugasi hepatik, penurunan eksresi bilirubin
ke dalam empedu (akibat disfungsi intrahepatik atau obstruksi
mekanik ekstrahepatik). (Lindseth, 2006)

21

15. Natrium Diclovenac


Rumus molekul

: C14H10Cl2NNaO2

Berat molekul

: 318,13

22

Nama kimia

: asam benzeneasetat, 2 - [ (2,6 diklorofenil)


amino] - monosodium

Nama lain

: Sodium [o-(dikloroanilino)fenil]asetat

Pemeria

: Serbuk hablur, berwarna putih, tidak


berasa

Kelarutan

: Sedikit larut dalam air, larut dalam


alkohol; praktis tidak larut dalam kloroform
dan eter; bebas larut dalam alkohol metil.
pH larutan 1% dalam airadalah antara 7.0
dan 8

pKa

: 4,2
Diklofenak adalah turunan asam fenilasetat sederhana yang

menyerupai florbiprofen maupun meklofenamat. Obat ini adalah


penghambat siklooksigenase yang kuat dengan efek anti inflamasi,
analgesik dan anti piretik. Diklofenak cepat diabsorbsi setelah pemberian
oral dan mempunyai waktu paruh yang pendek. Seperti flurbiprofen, obat
ini berkumpul di cairan sinovial. Potensi diklofenak lebih besar dari pada
naproksen. Obat ini dianjurkan untuk kondisi peradangan kronis seperti
artritis rematoid dan osteoartritis serta untuk pengobatan nyeri otot rangka
akut (Katzung, 2011).
Mekanisme kerjanya, bila membran sel mengalami kerusakan oleh
suatu rangsangan kimiawi, fisik, atau mekanis, maka enzim fosfolipase
diaktifkan untuk mengubah fosfolipida menjadi asam arachidonat. Asam
lemak poli-tak jenuh ini kemudian untuk sebagian diubah oleh ezim cyclooksigenase menjadi endoperoksida dan seterusnya menjadi prostaglandin.
Cyclo-Oksigenase terdiri dari dua iso-enzim, yaitu COX-1 (tromboxan dan
prostacyclin) dan COX-2 (prostaglandin). Kebanyakan COX-1 terdapat di
jaringan, antara lain dipelat-pelat darah, ginjal dan saluran cerna. COX-2
dalam keadaan normal tidak terdapat dijaringan tetapi dibentuk selama
proses peradangan oleh sel-sel radang. Penghambatan COX-2 lah yang
memberikan efek anti radang dari obat NSAIDs. NSAID yang ideal hanya
menghambat COX-2 (peradangan) dan tidak COX-1 (perlindungan

23

mukosa lambung). Diklofenak merupakan obat NSAIDs (Non Steroidal


Anti Inflammatory Drugs) yang bersifat tidak selektif dimana kedua jenis
COX di blokir. Dengan dihambatnya COX-1, dengan demikian tidak ada
lagi yang bertanggung jawab melindungi mukosa lambung-usus dan ginjal
sehingga terjadi iritasi dan efek toksik pada ginjal (Tjay, 2007).

BAB III
KESIMPULAN

24

1. Hipotesis penyebab dari masalah pasien tersebut adalah adanya Hepatitis


bisa karena virus ataupun penggunaan obat-obatan yang tidak sesuai
indikasi.
2. Penyakit kuning dapat disebabkan oleh berbagai hal, di mana yang paling
umum adalah penyakit Hepar, berikut diagnosis banding dari kasus yaitu
hepatitis viral, hepatitis drug induced ataupun shirosis hepatis.
3. Pembagian mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung ada
dalam 3 fase, yaitu prehepatik, intrahepatik, pascahepatik.
4. Komplikasi dari Hepatitis Imbas Obat (Drug Induced Hapatitis)
sebenarnya cukup jarang, namun yang paling mungkin adalah dapat
menjadi faktor predisposisi menjadi gagal hati (Liver Failure).

25

DAFTAR PUSTAKA
Bonkovsky HL. Drug-induced liver injury. In: Boyer, TD, Teresa LW, Michael
PM, editors. Zakim and Boyers hepatology: A textbook of liver disease.
5th ed. USA: Elsevier; 2006. p. 503-38.
Bayupurnama P, Hepatotoksisitas Imbas Obat di dalam Buku Ajar Penyakit
Dalam Jilid I, Edisi ke 4. Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI. Jakarta,
2006; 109: 473-76.
Bayupurnama, Putut. 2009. BukuAjarIlmuPenyakitDalamJilid I Edisi V. Jakarta:
Internapublishing.
Daldiyono, 1997. Gastroenterologi Hepatologi. Jakarta : CV Sagung Seto.
Dubey, S. 2008. Perdarahan Gastrointestinal Atas. Dalam : Greenberg, M.I. Teks
Atlas Kedaruratan Greenberg Vol 1. Jakarta : Erlangga
Eroschenko, Victor P. 2013. Atlas Histologi diFiore. Jakarta : EGC.
George F. Longstreth, MD, Department of Gastroenterology, Kaiser Permanente
Medical Care Program, San Diego, California. Also reviewed by A.D.A.M.
Health Solutions, Ebix, Inc., Editorial Team: David Zieve, MD, MHA,
David R. Eltz, and Stephanie Slon.Update Date 10/8/2012.
Guyton, Arthur. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Kanoko, Mpu. 2007. Ilmu Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jaya Abadi. Jakarta
Katzung, Bertram G. 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi Ketiga. Jakarta:
Salemba Medika.
Lee WM. 2010. Drug Induce hepatotoxicity. N Engl J Med ; 349 : 474-485
Lindseth Glenda N, 2006,Ikterus dan Metabolisme Bilirubin. Dalam : Hartanto
Huriawati et al. PatofisiologiKonsepKlinis Proses-Proses Penyakit volume
1 Edisi 6. Jakarta:EGC. h.481-485
Sherwood, Laurelee. 2012. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem Edisi 6. Jakarta:
FK Universitas Indonesia.
Siew C. Ng, et. all. 2009. Gastric arteriovenous malformation: a rare cause of
upper GI bleed. American Society for Gastrointestinal Endoscopy,
Published by Elsevier Inc. All rights reserve, Volume 69; Issue 1;
Pages 155156.

26

Sulaiman, Ali, 2007, Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam : Aru W
Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta :
Penerbitan IPD FKUI,. h. 420-423
Sudoyo, AW., et al. 2007. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Tjay, T. H., dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya Edisi ke VI. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

27

Anda mungkin juga menyukai