Anda di halaman 1dari 4

Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada

hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan atau administrasinya. Balas jasa
yang diberikan oleh pejabat, disadari atau tidak, adalah kelonggaran aturan yang
semestinya diterapkan secara ketat. Kompromi dalam pelaksanaan kegiatan yang
berkaitann dengan jabatan tertentu dalam jajaran birokrasi di Indonesia inilah
yang dirasakan sudah sangat mengkhawatirkan. Rakyat kecil yang tidak memiliki
alat pemukul guna melakukan koreksi dan memberikan sanksi pada umumnya
bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling menyedihkan adalah sikap rakyat
menjadi apatis dengan semakin meluasnya praktik-praktik korupsi oleh beberapa
oknum pejabat lokal, maupun nasional.
Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan
emosi dan demonstrasi. Tema yang sering diangkat adalah penguasa yang korup
dan derita rakyat. Mereka memberikan saran kepada pemerintah untuk
bertindak tegas kepada para korup-tor. Hal ini cukup berhasil terutama saat
gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak puas terhadap perbuatan manipulatif
dan koruptif para pejabat. Oleh karena itu, mereka ingin berpartisipasi dalam
usaha rekonstruksi terhadap masyarakat dan sistem pemerin-tahan secara
menyeluruh, mencita-citakan keadilan, persamaan dan kesejahteraan yang merata.
Berikut adalah faktor faktor yang mendasari penyebab dari korupsi :
1) Penegakan hukum tidak konsisten, penegakan hukum hanya sebagai make up
politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
2) Penyalahgunaan kekuasaan/wewenanng, takut dianggap bodoh kalau tidak
menggunakan kesempatan.
3) Langkanya lingkungan yang antikorup, sistem dan pedoman antikorupsi
hanya dilakukan sebatas formalitas.
4) Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.

5) Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, saat


tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau
setidaknya diringankan hukumannya.
6) Budaya permisif/serba membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila
sering terjadi.

Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri

terlindungi.
7) Gagalnya pendidikan agama dan etika. Pendapat Franz Magnis Suseno
bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam
mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu
sendiri. Sebenarnya agama bisa memainkan peran yang lebih besar dalam
konteks kehidupan sosial dibandingkan institusi lainnya, sebab agama
memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya. Jika
diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki agama bisa
menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang sangat
buruk.dll
Fenomena umum yang biasanya terjadi di negara berkembang contohnya
Indonesia ialah:
1.

Proses modernisasi belum ditunjang oleh kemampuan sumber daya


manusia pada lembaga-lembaga politik yang ada.

2.

Institusi-institusi politik yang ada masih lemah disebabkan oleh mudahnya


oknum lembaga tersebut dipengaruhi oleh kekuatan bisnis/ekonomi, sosial,
keagamaan, kedaerahan, kesukuan, dan profesi serta kekuatan asing lainnya.

3.

Selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun


sebenarnya banyak di antara mereka yang tidak mampu.

4.

Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya


dengan dalih kepentingan rakyat.

Sebagai akibatnya, terjadilah runtutan peristiwa sebagai berikut :


1.

Partai politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering


berubah-ubah sesuai dengan kepentingan politik saat itu.

2.

Muncul pemimpin yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada


kepentingan umum.

3.

Sebagai oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlombalomba mencari keuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat.

4.

Terjadi erosi loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan


harta dan kekuasaan. Dimulailah pola tingkah para korup.

5.

Sumber kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada beberapa


kelompok kecil yang mengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada pada
kelompok masyarakat besar (rakyat).

6.

Lembaga-lembaga politik digunakan sebagai dwi aliansi, yaitu sebagai


sektor di bidang politik dan ekonomi-bisnis.

7.

Kesempatan

korupsi

lebih

meningkat

seiring

dengan

semakin

meningkatnya jabatan dan hirarki politik kekuasaan.


Korupsi merupakan penyakit moral, oleh karena itu penanganannya perlu
dilakukan secara sungguh-sungguh dan sistematis dengan menerapkan strategi
yang komprehensif. Presiden melalui inpres no 5 tahun 2004 tentang percepatan
pemberantasan korupsi menyatakan langkah-langkah efektif dalam memberantas
korupsi adalah dengan Membersihkan kantor keprisidenan kantor wapres
sekretariat negara serta yayasan-yayasan, Mengawasi pengadaan barang disemua
departemen, Mencegah penyimpanan proyek rekonstruksi Aceh, Mencegah
penyimpangan dalam pembangunan infrastruktur ke depan, Menyelidiki
penyimpangan di lembaga negara seperti departemen dan BUMN, memburu

terpidana korupsi yang kabur ke luar negeri, meningkatkan intensitas


pemberantasan penebangan liar, dan meneliti pembayar pajak dan cukai.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk pemberantasan korupsi adalah
Penyesuaian kompetensi dengan jabatan, Rasionalisasi jumlah PNS, Perbaikan
gaji dan tunjangan jabatan, Sanksi yang tegas bagi pelanggar aturan, Penonaktifan
pejabat yang diduga sedang terlibat KKN, dan Penggantian pejabat yang
mementingkan kepentingan kelompok/ pribadi/ golongan.

Anda mungkin juga menyukai