Anda di halaman 1dari 5

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan hamdalah kami mengucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas
rahmat, nikmat dan karunianya yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk
menyelesaikan makalah yang berjudul Karakteristik Mikroba Aspergilus Parasiticus . Tak
lupa penulis ucapkan terima kasih kepada dosen mikrobiologi yang telah membimbing kami
dalam penyusunan makalah ini.
Makalah ini di susun agar pembaca dapat mengetahui karakteristik dari mikroba
aspergilus parasiticus. Walaupun dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kesalahankesalahan baik sengaja maupun tidak sengaja. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan
saran untuk penulisan makalah yang lebih baik.

Kendari, 2 Desember 2014


Penulis

A.
B.
C.
A.
B.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
BAB II. PEMBAHASAN
Sistematika Mikroba
Karakteristik Morfologi dan Fisiologi
Peran Mikroba Aspergillus Parasiticus
BAB III. PENUTUP
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
Aspergillus merupakan kapang saprofit yang sering dijumpai di tanah, air, dan
tumbuhan yang membusuk. Lebih dari 200 spesies Aspergillus telah diidentifikasi,
dan Aspergillus fumigatus merupakan penyebab infeksi pada manusia yang terbanyak dimana
lebih dari 90% menyebabkan invasive dan non-invasif aspergillosis. Aspergillus
flavus menyebabkan invasive aspergillosis sebanyak 10% sedangkan Aspergillus
niger dan Aspergillus terreus sebanyak 2%. dari hasil pemeriksaan kultur dilaporkan
bahwa Aspergillus flavus dapat menjadi penyebab aspergillosis kutaneus primer (McClenny,
N. 2005).
Lesi utama aspergillosis dapat berbentuk macula, papul, nodul, ataupun plak
sedangkan bentuk pustule ataupun lesi yang disertai dengan purulen discharge sering
dijumpai pada neonatus cutaneous aspergillosis. Lesi biasanya nyeri tetapi dapat juga
asimtomatik. Manifestasi ini mengalami perubahan secara cepat menjadi pustule, vesikel

yang hemoragik dan selanjutnya akan terbentuk krusta yang tertutup keropeng hitam (Diba
et.al, 2007).
Aspergillus Flavus dan Aspergillus niger dapat mencapai 100% pada beberapa sampel.
Populasi jamur pada produk kakao segar asal Indonesia berkisar 2,3 x 104 7,2 x 106
CFU.g-1. Perlakuan klorin mempengaruhi diversitas jamur yang diisolasi, juga frekuensi
isolasinya pada produk kakao. Kemunculan spesies Aspergillus dan Penicillium dari jamur
pada biji cokelat dengan disinfeksi permukaan adalah 65,6% dan 36,4% lebih sedikit
dibandingkan pada produk kakao tanpa disinfeksi. Penelitian ini mendemonstrasikan adanya
jamur potensial penghasil mikotoksin pada produk biji cokelat kering asal Indonesia yang
berkorelasi terhadap ditemukannya mikotoksin pada produk kakao, terutama Ochratoxin A.
Riset lebih lanjut dibutuhkan untuk mempelajari pertumbuhan spesies-spesies jamur ini pada
biji cokelat, dan kondisikondisi yang menunjang produksi mikotoksin oleh kapang-kapang
tersebut (Annaissie et.al, 2009).
Secara umum, dari semua sampel yang diujikan, spesies Aspergillus ditemukan dalam
populasi yang lebih banyak bila dibandingkan dengan spesies Penicillium. Untuk dapat
berkembang, Aspergillus memerlukan temperatur yang lebih tinggi, tetapi mampu
beradaptasi pada aw (water activity) yang lebih rendah bila dibandingkan dengan Penicillium,
dan spesiesAspergillus juga berkembang lebih cepat. Genus ini, sekalipun memerlukan waktu
yang lebih lama dan intensitas cahaya yang lebih untuk membentuk spora, tetapi juga
memproduksi spora yang lebih banyak sekaligus lebih tahan terhadap bahan-bahan kimia
(Siregar, R.S. 2004).
Hasil ini memberikan saran bahwa kontaminasi permukaan merupakan sumber utama
populasi jamur dalam biji kakao kering terfermentasi. Walaupun demikian, beberapa
spesiesAspergillus, seperti A. flavus, A. niger, dan A. wentii, mampu menginvasi inti (kernel)
dari biji-bijian saat masih dalam tahap pematangan buah (Lie, 2007; ICMSF, 2005).
BAB II
PEMBAHASAN
Aspergillus sp., yang termasuk kelompok fungus kapang, merupakan parasit yang
dapat menyebabkan penyakit aspergillosis. Spesies yang paling banyak menyebabkan
penyakit dan paling berbahaya adalah Aspergillus fumigatus. Akan tetapi, sebagai pada
aspergillosis kutaneus, Aspergillus flavus merupakan spesies yang terbanyak menyebabkan
penyakit tersebut. Diagnosis aspergillosis dapat juga ditegakkan melalui pemeriksaan
molekuler seperti serologi, antibodia atau antigen, tetapi diagnosis yang hampir pasti dan
sangat penting untuk dilakukan adalah diagnosis mikroskopis melalui sediaan langsung atau
kultur.
Untuk pemeriksaan mikroskopis langsung, sediaan yang diperiksa dapat berasal dari
kerokan kulit atau potongan kuku. Setelah dilarutkan dalam larutan Kalium Hidroksida
(KOH) untuk melisiskan membran epitel serta melarutkan protein dan lipid dalam sel fungus.
Pada pemeriksaan mikroskopis langsung, apabila terdapat infeksi Aspergillus sp. pada
jaringan yang diperiksa, maka akan terdapat gambaran cabang dichotomus dan hypha yang
bersepta.
Secara umum, gambaran morfologi Aspergillus sp. hampir sama, hanya terdapat
sedikit perbedaan. Hifa selebar 2,5-8 m, bersepta, hyalin, bercabang seperti pohon atau
kipas. Bentuknya sedikit menyerupai hifa kelompok zygomycetes. Pada A. fumigatus, kepala
konidia uniseriate, kolumner, konidia seperti rantai, terlepas atau menyebar. Konidia tunggal
atau berpasangan dapat menyerupai sel khamir. Pada A. niger, gambaran hampir sama, tetapi
kepala konidia A. niger berupa biseriate. Pada A. terreus, gambaran hampir sama, tetapi
terdapat konidia berhyalin yang kecil dan berbentuk bulat.

A. Sistematika Mikroba
merupakan kapang saprofit di tanah yang umumnyamemainkan peranan penting sebagai
pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang
tersebut juga ditemukan pada biji-bijianyang mengalami deteriorasi mikrobiologis selain
menyerang segala jenis substratorganik dimana saja dan kapan saja jika kondisi untuk
pertumbuhannya terpenuhi.Kondisi ideal tersebut mencakup kelembaban udara yang tinggi
dan suhu yang tinggi.Sifat morfologis Aspergillus flavus yaitu bersepta, miselia bercabang
biasanya tidak berwarna, konidiofor muncul dari kaki sel, sterigmata sederhana atau
kompleks danberwarna atau tidak berwarna, konidia berbentuk rantai berwarna hijau, coklat
atauhitam. Ruiqianet al. (2004) menyatakan bahwa tampilan mikroskopis Aspergillus flavus
memiliki konidiofor yang panjang (400-800m) dan relatif kasar, bentuk kepala konidial
bervariasi dari bentuk kolom, radial, dan bentuk bola, hifa berseptum,dan koloni kompak
(Gambar 2). Koloni dari Aspergillus flavus umumnya tumbuhdengan cepat dan mencapai
diameter 6-7 cm dalam 10-14 hari (Ruiqianet al. 2004).Kapang ini memiliki warna permulaan
kuning yang akan berubah menjadi kuningkehijauan atau coklat dengan warna inversi coklat
keemasan atau tidak berwarna,sedangkan koloni yang sudah tua memiliki warna hijau tua.
Keberagaman ceruk ekologi yang dicakup oleh Aspergillussub-genus Aspergillus bagian Flavi
(grup Aspergillus flavus) dipadukan dengan kemampuan beberapaspesiesnya untuk memproduksi
aflatoksin menjadikan grup Aspergillus flavus sebagaigrup yang paling banyak dipelajari
hingga saat ini.
B. Morfologi Mikroskopis Aspergillus sp.
1. A. fumigatus
Hifa selebar 2,5-8 m, bersepta, hyalin, bercabang seperti pohon atau kipas.
Bentuknya sedikit menyerupai hifa kelompok zygomycetes. Kepala konidia uniseriate,
kolumner, konidia seperti rantai, terlepas atau menyebar. Konidia tunggal atau berpasangan
dapat menyerupai sel khamir (McClenny, 2005).
2. A. niger
Gambaran hifa seperti A. fumigatus. Kepala konidia biseriate, tersusun radier, seperti
rantai, terlepas atau menyebar. Konidia tunggal atau berpasangan dapat menyerupai sel
khamir (McClenny, 2005).
3. A. terreus
Gambaran hifa seperti A. fumigatus. Kecil, bulat, konidia hyalin menempel pada hifa
vegetative (McClenny, 2005).
Aflatoksin adalah kumpulan senyawa beracun yang dihasilkan oleh strain tertentu dari cendawan Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus.
Komoditas yang sering diinfeksi oleh cendawan ini adalah biji kacang tanah , biji kapas, dan biji kacang lain. Kandungan aflatoksin merupakan salah satu
kriteria penting dalam menentukan kelayakan jagung untuk dikonsumsi manusia dan ternak. Badan Pangan Dunia menentukan batas aflatoksin pada biji
jagung untuk pakan ternak 30 ppb suatu ukuran yang endah. Pabrik pakan ternak menetapkan batas maksimun kandungan aflatoksin jagung yang mereka
dapat terima 200 ppb untuk diolah dengan bahan lain menjadi pakan ternak. Jagung dengan kandungan aflatoksin yang lebih tinggi akan ditolak . Perlu
diketahui bahwa jika biji jagung telah terinfeksi aflatoksin hingga saat ini belum ada cara menetralisir aflatoksin tersebut , sehingga jagung tersebut tidak
dapat dimanfaatkan.

Biji Jagung yang terinfeksi aspergillus flavus


Cemaran Aspergillus spp., pada bahan pakan dapat dikurangi dengan melakukan penyortiran antara biji jagung yang terkontaminasi dengan biji
yang sehat. Jagung yang ditumbuhi jamur berwarna hijau kekuninganmempunyai kadar aflatoksin yang tinggi dibanding biji yang tidak terkontaminasi A.
flavus. Penjemuran biji jagung pada kadar air 13% dan penyim panan pada suhu 15oC dan kelembaban 61,5% merupakan kondisi ideal untuk menekan
cemaran mikotoksin. Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengurangi kerusakan secara fisik pada saat prosesing dan menekan infestasi serangga,
terutama dalam penyimpanan, karena serangga berperanan penting dalam penyebaran mikotoksin. Sanitasi dengan asam propianik secara reguler pada
fasilitas tempat penyimpanan dengan tujuan membersihkan sisa-sisa cendawan sebagai sumber infeksi awal dapat menghindari terinfeksinya biji sehat.
C. Peran Mikroba aspergillus flavus

Ragi
Issue
Date: 2006
Publisher: IPB
(Bogor Agricultural
Institute)
Abstract: Kontaminasi aflatoksin di Indonesia tergolong cukup tinggi dan sulit dihindari
mengingat iklim tropis di Indonesia dengan tingkat kelembaban, curah hujan dan suhu yang

tinggi sangat menunjang pertumbuhan kapang penghasil aflatoksin. Berbagai teknik


pengendalian aflatoksin telah banyak dilakukan meliputi pengendalian secara fisik, kimiawi
dan biologis, namun pengendalian secara fisik dan kimiawi dikhawatirkan akan berpengaruh
terhadap komposisi zat gizi bahan pangan dan akan meninggalkan residu yang mungkin
berbahaya bagi kesehatan.
Oleh sebab itu, diupayakan teknik pengendalian secara biologis dengan menggunakan
mikroorganisme untuk mengendalikan pertumbuhan Aspergillus parasiticus dan mencegah
biosintesis aflatoksin. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mendapatkan isolat kapang dan
khamir dari ragi tape yang berpotensi untuk mereduksi aflatoksin dan (2) Mengevaluasi
kemampuan isolat kapang dan khamir dalam menghambat pertumbuhan A. parasiticus,
menghambat biosintesis aflatoksin dan mendegradasi aflatoksin. Metode penelitian dibagi
menjadi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan yang meliputi isolasi dan identifikasi kapang
dan khamir serta uji kemampuan isolat kapang/khamir dalam mereduksi kandungan
aflatoksin. Selanjutnya dipilih satu isolat kapang/khamir yang berpotensi tinggi dalam
mereduksi aflatoksin tertinggi untuk digunaka n dalam penelitian utama yang meliputi uji
kemampuan isolat kapang/khamir terpilih dalam menghambat pertumbuhan A. parasiticus,
biosintesis aflatoksin dan mendegradasi aflatoksin.
Hasil penelitian menunjukkan seluruh sampel ragi tape memiliki keragaman
mikroorganisme yang cukup tinggi, di mana Chlamydomucor oryzae dan Mucor rouxii
merupakan kapang yang sering dijumpai sedangkan khamir yang sering ditemukan adalah
Saccharomycopsis sp. Dari semua isolat kapang/khamir yang teridentifikasi memiliki
kemampuan yang bervaria si dalam mereduksi aflatoksin. M. rouxii asal Ragi Gedang
merupakan kapang yang memiliki kemampuan tertinggi mereduksi aflatoksin sebesar 99,7%
sedangkan isolat khamir adalah Saccharomyces sp. asal Ragi NKL yakni sebesar 98,1%.
Isolat kapang dan khamir yang digunakan dalam penelitian utama adalah M. rouxii dan
Saccharomyces sp. Kedua mikroorganisme mampu menghambat pertumbuhan A. parasiticus,
namun aktivitas penghambatan Saccharomyces sp. lebih tinggi dibandingkan M. rouxii. Baik
filtrat M. rouxii maupun Saccharomyces sp. mampu menghambat pertumbuhan A. parasiticus
dan biosintesis aflatoksin. Namun filtrat M. rouxii dan Saccharomyces sp. yang
disuplementasi dengan MEB (1:1) ternyata menstimulir pertumbuhan A. parasiticus dan
biosintesis aflatoksin. Kapang M. rouxii mampu mendegradasi aflatoksin lebih baik
dibandingkan khamir Saccharomyces sp. yakni sebesar 76,9 % AFB1; 83,3 % AFB2 ; 77,8 %
AFG1; dan 81,8% AFG2, sedangkan Saccharomyces sp. sebesar 36,4 % AFB1; 55,6 %
AFB2.
Anda mungkin penggemar pecel. Penelitian ilmiah membuktikan, bumbu pecel
mengandung alfatoxin, penyebab kanker hati. Kandungan bahan beracun itu cukup tinggi,
melampaui nilai ambang batas yang diperbolehkan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Menurut
Dr. H. Achmad Hassan, pakar ilmu penyakit hati RSUD Dr. Soetomo (RSDS)/FK Unair,
alfatoxin dihasilkan jamur aspergillus flavus dan Aspergillus Parasiticus yang sering tumbuh
pada kacang tanah dan produknya (koya, ting-ting gepuk, bumbu san sambel pecel). Juga
bahan yang mengandung karbohidrat seperti gaplek, kentang rusak, jagung dan beras yang
disimpan lama.

BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan diatas diketahui bahwa Aspergillus Parasiticus merupakan
bakteri yang dapat mengkontaminasi dalam bahan bahan makanan seperti bumbu dapur,

beras, jagung, kacang kacangan akibat penyimpanan dengan kelembaban dan suhu yang
mendukung ( umumnya pada temperatur diatas 20 derajat celcius dan pada kelembaban udara
90 % ) , diperlukan kehati hatian pemilihan bahan makanan yang tidak berjamur.
Agar suatu bahan makanan tidak ditumbuhi jamur , saat menyimpan harus dikeringkan
dulu karena kelembabannya harus dibawah 8 %. Biji padi padian selalu membawa spora
jamur yang akan berkembang dengan cepat apabila kondisinya memungkinkan, kacang tanah
saat dipanen kelembabannya 30 % merupakan kondisi yang baik sekali untuk tumbuhnya
jamur , karena itu sangat penting kegiatan pengeringan sebelum penyimpanannya.

DAFTAR PUSTAKA
McClenny, N. 2005. Laboratory detection and identification of Aspergillus species by microscopic
observation and culture: the traditional approach dalam Medical Mycology Supplement 1
2005, 43, S125_/S128
Diba, K. Kordbacheh P. Mirhendi SH. Rezaie, S. Mahmoudi, M. 2007. Identification of Aspergillus
Species Using Morphological Characteristics dalam Pak J Med Sci 2007 Vol. 23 No. 6

Anda mungkin juga menyukai