HIRSPRUNG
SGD 2 :
I.A. HERNA KUSUMA WULANDARI (0802105004)
NI MADE SRI AYU RACHMASARI (0802105007)
NI AYU RANTINI INDRAYANI (0802105011)
PUTU DYAH ASTARI (0802105020)
NI MADE ALIT NOPIANTI (0802105028)
LUH KETUT HAYU HASTARI (0802105030)
NI PUTU IKE WINDARI MATALIA (0802105033)
I GUSTI NGURAH PURNAJIWA (0802105051)
A.A. GEDE PUTRA SUMADI (0802105054)
KOMANG YOGI TRIANA (0802105055)
1. Pengertian
Penyakit Hirschsprung (Megakolon Kongenital) adalah suatu kelainan
kongenital yang ditandai dengan penyumbatan pada usus besar yang
terjadi akibat pergerakan usus yang tidak adekuat karena sebagian dari
usus besar tidak memiliki saraf yang mengendalikan kontraksi ototnya.
Sehingga menyebabkan terakumulasinya feses dan dilatasi kolon yang
masif. (Anonim, 2009)
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel
sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan
ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya
peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan ( Betz, Cecily dan
Sowden : 2000 ).
Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan
penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan
terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir kurang dari 3 kg, lebih banyak
laki laki dari pada perempuan. (Arief Mansjoeer, 2000 ).
Kesimpulan :
Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah penyakit yang
disebabkan oleh obstruksi mekanis karena tidak adekuatnya motilitas
pada usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya
spinkter rectum berelaksasi.
2. Epidemiologi
Data tentang penyakit Hirschsprung di Indonesia belum ada. Angka insidensi
1 diantara 5000 kelahiran maka dengan penduduk 220 juta dan tingkat
kelahiran 35 per mil, diperkirakan akan lahir 1400 bayi setiap tahun dengan
penyakit Hirschsprung di Indonesia. Di Amerika frekuensi 1 dari 5000
kelahiran (Kartono, 1993 ; Yoshida, 2004). Insiden penyakit ini adalah 1 :
5000 kelahiran hidup. Frekuensi pada anak laki-laki dengan perempuan 4 : 1
(Rudolf, 2000)
3. Penyebab
Dalam keadaan normal, bahan makanan yang dicerna bisa berjalan di
sepanjang usus karena adanya kontraksi ritmis dari otot-otot yang melapisi
usus (kontraksi ritmis ini disebut gerakan peristaltik). Kontraksi otot-otot
tersebut dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut ganglion, yang
terletak dibawah lapisan otot. Pada penyakit Hirschsprung, ganglion ini tidak
ada, biasanya hanya sepanjang beberapa sentimeter. Segmen usus yang tidak
memiliki gerakan peristaltik tidak dapat mendorong bahan-bahan yang
dicerna dan terjadi penyumbatan. Penyakit Hirschsprung 5 kali lebih sering
ditemukan pada bayi laki-laki. Penyakit ini kadang disertai dengan kelainan
bawaan lainnya, misalnya Sindroma Down. (Anonim, 2009)
Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri
adalah diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada
anak dengan Down Syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam
dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa
dinding plexus. (Defa Arisandi, 2008)
Penyebab lain dari Hirsprung antara lain:
a) Mungkin karena adanya kegagalan sel-sel Neural Crest ambrional yang
berimigrasi ke dalam dinding usus atau kegagalan pleksus mencenterikus
dan submukosa untuk berkembang ke arah kranio kaudal di dalam
dinding usus.
b) Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para simpatis dari pleksus
Auerbach di kolon.
c) Sebagian besar segmen yang aganglionik mengenai rectum dan bagian
bawah kolon sigmoid dan terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan
pada kolon. (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985 : 1134)
d) Sering terjadi pada anak dengan Down Syndrome.
e) Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal
eksistensi kranio kaudal pada nyenterik dan submukosa dinding pleksus.
(Suriadi, 2001 : 242)
4. Patologi/ Patofisiologi
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya
kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa
kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian
proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau
tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya
evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga
mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya
akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal
sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon.
( Betz, Cecily dan Sowden, 2002:197)
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol
kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke
segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan
terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi
obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar. ( Price, S dan
Wilson, 1995 : 141 )
5. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit Hirschsprumg adalah sebagai berikut:
1) Hirschsprung segmen pendek
Pada morbus hirschsprung segmen pendek daerah aganglionik meliputi
rektum sampai sigmoid, ini disebut penyakit hirschsprung klasik. Penyakit
ini terbanyak (80%) ditemukan pada anak laki-laki, yaitu lima kali lebih
banyak daripada perempuan.
2) Hirschsprung segmen panjang
Pada hirschsprung segmen panjang ini daerah aganglionik meluas lebih
tinggi dari sigmoid.
3) Hirschsprung kolon aganglionik total
Dikatakan Hirschsprung kolon aganglionik total bila daerah aganglionik
mengenai seluruh kolon.
4) Hirschsprung kolon aganglionik universal
Dikatakan Hirschsprung aganglionosis universal bila daerah aganglionik
meliputi seluruh kolon dan hampir seluruh usus halus.
6. Gejala klinis
Bayi dengan Penyakit Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai
berikut:
Obstruksi total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan
ketidakadaan evakuasi mekonium.
Keterlambatan evakuasi mekonium diikuti obstruksi konstipasi,
muntah dan dehidrasi.
Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan
yang diikuti dengan obstruksi usus akut.
Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensi abdomen dan
demam.
Adanya feses yang menyemprot tepat pada colok dubur merupakan
tanda yang khas.
Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans terjadi distensi abdomen
hebat dan diare berbau busuk yang dapat berdarah ( Nelson, 2002 :
317 ).
Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah.
Pada bayi yang baru lahir :
segera setelah lahir, bayi tidak dapat mengeluarkan mekonium (tinja
pertama pada bayi baru lahir)
tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
perut menggembung
muntah
diare encer (pada bayi baru lahir)
berat badan tidak bertambah, mungkin terjadi retardasi pertumbuhan
malabsorbsi.
tampak malas mengonsumsi cairan, muntah bercampur dengan cairan
empedu dan distensi abdomen. (Nelson, 2000 : 317).
Pada anak-anak :
Failure to thrive (gagal tumbuh)
Nafsu makan tidak ada (anoreksia)
Rektum yang kosong melalui perabaan jari tangan
Kolon yang teraba
Hipoalbuminemia
Tinja seperti pita dan berbau busuk
Adanya masa difecal dapat dipalpasi
Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemia ( Betz Cecily dan
Sowden, 2002 :197).
Kasus yang lebih ringan mungkin baru akan terdiagnosis di kemudian hari.
Pada anak yang lebih besar, gejalanya adalah sembelit menahun, perut
menggembung dan gangguan pertumbuhan.
7. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada daerah-daerah yang mungkin
memperlihatkan manifestasi klinis penyakit melalui inspeksi, auskultasi,
perkusi, dan palpasi dan data-data yang mungkin ditemukan antara lain:
Inspeksi :
Klien tampak muntah
Perut kembung
Kurus (malabsorbsi)
Susah minum
Anoreksia
Pada daerah mata dapat ditemukan kondisi anemis (+/+)
Klien tampak meringis kesakitan karena nyeri (pada anak dan
bayi dapat menangis)
Bibir tampak kering
Jika terjadi dehidrasi berat, anak atau bayi menangis tanpa
mengeluarkan air mata
Adanya keterlambatan pertumbuhan
Tinja tampak seperti pita dan berbau busuk
Diare
Auskultasi :
Gerak peristaltik meningkat (lebih dari 5-35 x/mnt)
Perkusi :
Pada daerah kolorektal (inguinal sinister) terdengar suara redup
karena terjadi penumpukkan feses
Palpasi :
- Terasa nyeri saat ditekan pada bagian inguinal sinister karena ada
penumpukan feses
- Distensi abdomen
- Demam
Turgor kulit menurun
Kolon teraba
Adanya massa difekal.
Pemeriksaan colok dubur (memasukkan jari tangan ke dalam
anus) menunjukkan adanya pengenduran pada otot rektum.
8. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan dengan barium enema, pemeriksaan ini dapat ditemukan :
a. Daerah transisi
b. Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang
menyempit
c. Entrokolitis pada segmen yang melebar
d. Terdapat retensi barium setelah 24 48 jam ( Darmawan K, 2004 : 17)
2. Biopsi isap
yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat penghisap dan
mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa ( Darmawan K, 2004 :17 )
3. Biopsi otot rektum
yaitu pengambilan lapisan otot rektum
4. Pemeriksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biopsi isap
pada penyakit ini khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin
esterase (Darmawan K, 2004 : 17 )
5. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus. ( Betz, cecily
dan Sowden, 2002 : 197 )
6. Pemeriksaan colok anus
Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja
yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahui bau dari tinja,
kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan
akan terjadi pembusukan.
7. Pemeriksaan elektrolit, albumin, urinalisis dan fungsi tiroid.
8. Rontgen perut (menunjukkan pelebaran usus besar yang terisi oleh gas dan
tinja)
9. Manometri anus (pengukuran tekanan sfingter anus dengan cara
mengembangkan balon di dalam rektum). Memasukkan balon kecil
dengan kedalaman yang berbeda-beda ke dalam rectum dan kolon. Study
manometri pada megakolon congenital memberikan hasil sebagai berikut:
Dalam segmen dilatasi terdapat hiperaktifitas dengan aktifitas
propulsive yang normal.
Dalam segmen aganglionik tidak terdapat gelombang peristaltik yang
terkoordinasi, motilitas normal digantikan oleh konstraksi yang tidak
terkoordinasi dengan intensitas dan kurun waktu yang berbeda.
Reflek inhibisi antara rectum dan spingter ani tidak berkembang reflek
relaksasi spingter ani interna setelah distensi rectum tidak terjadi
bahkan terdapat kontraksi spastik dan relaksasi spontan tak pernah
terjadi.
9. Penatalaksanaan / Therapi
Penatalaksanaan serta terapi yang dapat diberikan antara lain:
1) Medis
Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di
usus besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan
motilitas usus besar sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani
internal.
Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :
a. Temporary ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik
untuk melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan
terdilatasinya usus besar untuk mengembalikan ukuran normalnya.
b. Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat
berat anak mencapai sekitar 9 Kg ( 20 pounds ) atau sekitar 3 bulan
setelah operasi pertama. ( Betz Cecily dan Sowden 2002 : 98 ). Ada
beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan seperti Swenson,
Duhamel, Boley dan Soave. Prosedur Soave adalah salah satu
prosedur yang paling sering dilakukan terdiri dari penarikan usus
besar yang normal bagian akhir dimana mukosa aganglionik telah
diubah. ( Darmawan K 2004 : 37 )
2) Perawatan
Perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya, bila
ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan :
a. Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan
kongenital pada anak secara dini
b. Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak
c. Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis
( pembedahan )
d. Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah
rencana pulang. ( FKUI, 2000 : 1135 )
Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak anak
dengan mal nutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status
fisiknya meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik
seperti enema. Diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan
tinggi protein serta situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total ( NPT )
Selain hal tersebut di atas, menurut seumber lain, juga dapat dilakukan
tindakan-tindakan sebagai berikut:
1. Tindakan pertama pada neonatus
Dibuat kolostomi sementara pada bagian usus yang sudah
mengandung ganglion; biasanya dibuat sigmoidostomi one loop, yaitu
anus dan ujung paling proksimal dari bagian usus yang aganglioner
dijahit rapat / ditutup kemudian bagian sigmoid yang mengandung
ganglion ini dimuarakan pada kulit.
2. Tindakan definitive
Adalah membuang bagian yang aganglioner, tapi tetap
mempertahankan anus.
bermacam-macam teknik operasi, yaitu:
Swenson
Rehbein / David State
Duhamel
Soave
a. Metode Swenson
Dibuang bagian yang aganglioner dan bagian sisa di rektum
dibalikkan keluar, kemudian bagian yang sehat ditarik dan
ditembuskan keluar anus dan dilakukan anastomosis di luar.
Setelah selesai kembali didorong ke dalam. Cara ini disebut
juga metode pull through Swenson. Operasi ini memerlukan
waktu lama dan dapat dilakukan setelah anak berusia 2-3 tahun
dengan berat badan 12-13 kg. Sekarang ternyata banyak anak
laki-laki yang menjalani opersi dengan teknik ini mengalami
impoten karena operasi ini merusak saraf-saraf yang menuju
genital, terutama yang melekat pada prostat.
b. Metode Rehbein / State
Anastomosis tetap dilakukan dengan rektum sisa berada di
dalam; ini berarti bagian yang ditinggalkan itu harus lebih
panjang untuk memungkinkan penjahitan yang berarti pula
bahwa ada bagian aganglioner yang ditinggalkan. Menurut
Rehbein walaupun cara ini tidak sehebat Swenson tapi cukup
memadai karena anak dapat defekasi 2-3 hari sekali dan tidak
timbul kelainan impotensi, akan tetapi cara ini mudah terjadi
residif.
c. Metode Duhamel
Bagian yang aganglioner tidak dibuang, hanya pada bagian
proksimal dari bagian ini dijahit. Bagian yang hipertrofi
dibuang sampai pada bagian yang berdiameter normal dan ini
kemudian ditarik ke arah anal disambungkan tepat di atas
muskulus sfingter ani eksternus pada sisi belakang dari rektum.
Jadi dilakukan colo rectostomy end to side, dengan ini sfingter
ani eksternus tetap dipakai, sedangkan bagian yang aganglioner
tidak dipakai. Menurut metode Duhamel ini, saraf-saraf yang
melekat pada prostat tidak diganggu gugat, trauma operasi
kecil sehingga dapat dilakukan pada bayi-bayi usia 8-9 bulan,
bahkan ada yang berani pada bayi usia 4 bulan. Malah pada
bayi-bayi yang datang terlambat, misalnya telah berusia 3-4
bulan dapat langsung dikerjakan metode Duhamel tanpa
mengadakan kolostomi dahulu.
d. Metode Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein
tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal
letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan
untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang
mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos
kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen
rektum yang telah dikupas tersebut
3. Terapi medikamentosa
Digunakan antibiotik yang potensial yang dapat membunuh berbagai
jenis bakteri seperti bakteri gram positif dan negatif serta bakteri
anaerob. Sebaiknya sebelum menentukan jenis antibiotik yang dipilih
dilakukan kultur sensitivitas sehingga terapi yang diberikan efektif.
- Ampicilin inj 25mg / kg BB 4 x 1 untuk membunuh bakteri gram
positif
- Gentamicin inj 2,5mg / kg BB 3 x 1 untuk membunuh bakteri
gram negative
- Metronidazole inj 7,5mg / kg BB 4 x 1 untuk membunuh bakteri
anaerob
4. Terapi non medikamentosa
- Diet : sebelum operasi pasien dinjurkan untuk puasa, setelah
dilakukan operasi dan fungsi usus dapat bekerja optimal dapat
diberikan ASI atau susu formula melalui NGT, dan untuk beberapa
pasien dapat diberikan diet tinggi serat seperti buah dan sayuran.
- Selama 6 minggu pasien dianjurkan untuk membatasi aktivitas
agar luka operasi dapat sembuh baik.
10. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan colok dubur (memasukkan jari tangan ke dalam anus)
menunjukkan adanya pengenduran pada otot rektum.
Diagnosis Banding
1. Meconium plug syndrome
Riwayatnya sama seperti permulaan penyakit Hirscprung pada neonatus,
tetapi setelah colok dubur dan mekonium bisa keluar, defekasi selanjutnya
normal.
2. Akalasia recti
Keadaan dimana sfingter tidak bisa relaksasi sehingga gejalanya mirip
dengan Hirschprung tetapi pada pemeriksaan mikroskopis tampak adanya
ganglion Meissner dan Aurbach
3. Konstipasi psikogenik
Pada anak-anak berusia 4-5 tahun dimana mereka malas defekasi (sering 1
minggu sekali) sehingga perut tampak kembung dan pertumbuhan tubuh
buruk. Biasanya pada anak-anak ini ada sebabnya, misalnya ketakutan,
tidak puas, merasa terasing, dan lain-lain.
11. Prognosis
Kira 1% dari pasien dengan penyakit Hirschsprung membutuhkan
kolostomi permanent untuk memperbaiki inkontinensia.
Umumnya, lebih dari 90% pasien dengan penyakit Hirschsprung memiliki
hasil memuaskan.
Secara umum prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit hirschprung
yang mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya
sekitar 10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya
sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat
komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan adalah berhubungan dengan muntah, penurunan nafsu makan,
konstipasi atau diare yang berkepanjangan, demam, perut kembung, serta
badan lemas. Jika terjadi pada bayi, Ibu klien biasanya juga mengeluh
bahwa bayinya rewel dan diare dengan bau yang busuk.
Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada daerah-daerah yang mungkin
memperlihatkan manifestasi klinis penyakit melalui inspeksi, auskultasi,
perkusi, dan palpasi) dan data-data yang mungkin ditemukan antara lain:
Inspeksi :
Klien tampak muntah
Perut kembung
Kurus (malabsorbsi)
Susah minum
Anoreksia
Pada daerah mata dapat ditemukan kondisi anemis (+/+)
Klien tampak meringis kesakitan karena nyeri (pada anak dan
bayi dapat menangis)
Bibir tampak kering
Jika terjadi dehidrasi berat, anak atau bayi menangis tanpa
mengeluarkan air mata
Adanya keterlambatan pertumbuhan
Tinja tampak seperti pita dan berbau busuk
Diare
Auskultasi
Gerak peristaltik cenderung menurun ( < 5-35 x/mnt) karena
konstipasi.
Bila diare, cenderung meningkat (lebih dari 5-35 x/mnt)
Perkusi
Pada daerah kolorektal (inguinal sinister) terdengar suara redup
karena terjadi penumpukkan feses)
Palpasi :
Terasa nyeri saat ditekan pada bagian inguinal sinister karena ada
penumpukan feses
Distensi abdomen
Demam
Turgor kulit kering
Kolon teraba
Adanya massa difekal.
Pemeriksaan colok dubur (memasukkan jari tangan ke dalam
anus) menunjukkan adanya pengenduran pada otot rektum.
Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bias
ditemukan :
a. Daerah transisi
b. Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang
menyempit
c. Entrokolitis pada segmen yang melebar
d. Terdapat retensi barium setelah 24 48 jam ( Darmawan K, 2004 :
17)
2) Biopsi isap
yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat penghisap dan
mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa ( Darmawan K, 2004 :
17 )
3) Biopsi otot rektum
yaitu pengambilan lapisan otot rektum
4) Pemeriksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biopsi isap
pada penyakit ini khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin
esterase (Darmawan K, 2004 : 17 )
5) Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus( Betz,
cecily dan Sowden, 2002 : 197 )
6) Pemeriksaan colok anus
Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu
tinja yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahui bau dari
tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian
bawah dan akan terjadi pembusukan.
7) Pemeriksaan elektrolit, albumin, urinalisis dan fungsi tiroid.
8) Rontgen perut (menunjukkan pelebaran usus besar yang terisi oleh
gas dan tinja)
9) Manometri anus (pengukuran tekanan sfingter anus dengan cara
mengembangkan balon di dalam rektum)
PATHWAY
Kegagalan tumbuh kembang embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi dinding
plexus, Down Syndrome
UB tdk dapat
menyerap air , feses
tdk dpt diekskresikan
3. RENCANA TINDAKAN
Kolaborasi :
1. Berikan obat pereda nyeri (analgetik) sesuai indikasi.
Rasional : Pemberian analgetik dapat menurunkan rasa nyeri secara
medikamentosa.
Mandiri:
1. Auskultasi bising usus.
Rasional : Adanya bunyi bising usus abnormal menunjukkan terjadinya
komplikasi.
2. Selidiki keluhan nyeri abdomen.
Rasional : Mungkin berhubungan dengan distensi gas atau terjadinya
komplikasi lain.
3. Anjurkan pemberian makanan/cairan yang tidak mengiritasi bila
masukan oral diberikan.
Rasional : Menurunkan resiko iritasi usus/diare.
4. Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 2000 ml/hari
(sesuaikan dengan usia klien).
Rasional : Dapat melembekkan feses dan memfasilitasi eliminasi.
5. Tingkatkan diet makanan yang berserat.
Rasional : Membantu dalam mengatur konsistensi fekal dan menurunkan
konstipasi.
Kolaborasi:
1. Beri pelunak feses atau supositoria gliserin sesuai indikasi.
Rasional : Mungkin diperlukan untuk merangsang peristaltik dengan
perlahan sehingga memudahkan defekasi.
2. Konsultasikan dengan ahli gizi mengenai kebutuhan nutrisi klien
dalam menunjang defekasi sesuai usia klien
Rasional : Membantu memperlancar defekasi melalui asupan makanan
sesuai dengan perkembangan sistem pencernaan klien.
Mandiri :
1. Catat status nutrisi pasien, catat turgor kulit, berat badan dan derajat
kekurangan berat badan, kemampuan / ketidakmampuan menelan, riwayat
mual muntah.
Rasional : Berguna dalam mendefinisikan derajat / luasnya masalah dan
pilihan intervensi yang tepat
2. Awasi masukan / pengeluaran nutrisi dan berat badan secara periodik.
Rasional : Berguna dalam mendukung keaktifan nutrisi dan dukungan
cairan.
3. Selidiki anoreksia, mual, muntah, dan catat kemungkinan hubungan
dengan obat.
Rasional : Dapat mempengaruhi pilihan diet dan mengidentifikasi area
pemecahan masalah untuk meningkatkan pemasukan / pengeluaran nutrien.
4. Dorong dan berikan periode istirahat sering.
Rasional : Membantu menghemat energi khususnya bila kebutuhan
metabolik meningkat saat demam.
5. Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan
karbohidrat.
Rasional : Memaksimalkan masukan nutrisi dan menurunkan iritasi gaster
6. Anjurkan klien untuk mengonsumsi makanan kering (biscuit, crakers)
Rasional : Makanan kering dapat mengurangi rasa mual yang dirasakan
7. Anjurkan pada orang tua untuk menyediakan makanan kesukaan klien
Rasional : Makanan kesukaaan dapat merangsang nafsu makan klien
8. Berikian makanan dalam keadaan hangat.
Rasional : Makanan hangat dapat menurunkan perasaan mual dan muntah
9. Bila terapi intravena/nutrisi parenteral dilakukan, pemberiannya dipantau
secara teratur sesuai dengan nilai elektrolit serum
Rasional : untuk memantau kebutuhan elektrolit klien sesuai dengan
indikasi.
Kolaborasi
1. Rujuk ke ahli diet untuk menentukan komposisi diet.
Rasional : Memberikan bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi
adekuat untuk kebutuhan metabolik dan diet.
Mandiri :
1. Pantau pemasukan/pengeluaran cairan. Hitung keseimbangan cairan dan
catat kehilangan cairan tak kasat mata.
Rasional : Untuk mengevaluasi status cairan dan derajat dehidrasi.
2. Evaluasi turgor kulit, kelembaban membran mukosa.
Rasional : Untuk mengevaluasi status cairan dan derajat dehidrasi.
3. Pantau TTV klien
Rasional : Derajat dehidrasi klien dapat mempengaruhi TTV klien.
4. Timbang berat badan sesuai indikasi.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat dehidrasi klien. Perubahan tiba-tiba
pada berat badan dicurigai kehilangan/retensi cairan. Indikator langsung
status cairan.
5. Anjurkan pasien untuk minum dan makan dengan perlahan sesuai dengan
indikasi.
Rasional : Dapat menurunkan terjadinya muntah bila mual serta
menurunkan risiko dehidrasi yang lebih berat.
6. Ukur berat jenis urine klien
Rasional : adanya dehidrasi dapat mempengaruhi berat jenis urine dan
kandungan elektrolit di dalam urine.
Kolaborasi:
1. Pemberian antiemetik, contoh proklorperazin maleat (compazine),
trimetobenzamid (tigan) sesuai indikasi.
Rasional : Dapat membantu menurunkan mual/muntah (bekerja pada
sentral, daripada gaster) meningkatkan pemasukan cairan/makanan.
2. Kolaborasi pemerikasaan lab HB/ht, elektrolit, albumin
Rasional : Mengetahui kadar Hb, elektrolit dan albumin klien untuk
menilai status malnutrisi dan dehidrasi klien.
3. Kolaborasi pemberian plasma/darah, cairan dan elektrolit sesuai indikasi
Rasional : Membantu meningkatkan asupan cairan tubuh klien sesuai
kebutuhan.
Mandiri :
1. Observasi tanda-tanda vital.
Rasional : Dengan mengobservasi tanda-tanda vital klien perawat dapat
mengetahui keadaan umum klien, serta dapat memantau suhu tubuh klien
2. Memberikan kompres hangat pada klien
Rasional : Dengan pemberian kompres hangat dapat menurunkan demam
klien.
3. Menganjurkan klien untuk minum air putih sesuai indikasi
Rasional : Dengan memberikan minum peroral dapat menggantikan cairan
yang hilang
4. Anjurkan memakai baju tipis yang menyerap keringat
Rasional : Dapat membantu meningkatkan rasa nyaman dan menghindari
kelembaban.
Kolaborasi :
1. Memberikan obat penurun panas sesuai indikasi
Rasional : Membantu dalam proses penurunan suhu tubuh.
Mandiri :
1. Observasi dan catat frekuensi defekasi, karakteristik, jumlah, dan faktor
pencetus.
Rasional : Membedakan penyakit individu dan mengkaji beratnya
episode.
2. Identifikasi makanan dan cairan yang mencetuskan diare.
Rasional : Menghindari iritan dan meningkatkan istirahat usus.
3. Berikan masukan cairan per oral secara bertahap. Tawarkan minuman
jernih setiap jam dan hindari minuman dingin.
Rasional : Mengistirahatkan usus dengan menurunkan rangsang makanan
dan cairan dan mengganti cairan yang hilang karena diare. Cairan dingin
dapat meningkatkan motilitas usus.
4. Hentikan makanan padat; hindari produk susu, lemak, serat tinggi; secara
bertahap tambahkan makanan semipadat dan padat.
Rasional : Memberikan istirahat kolon dengan menghilangkan atau
menurunkan rangsang makanan/cairan, sehingga mengurangi diare.
Makan kembali secara bertahap mencegah kram dan diare berulang.
5. Perbanyak cairan tinggi kalium dan natrium.
Rasional : Untuk mempertahankan elektrolit tubuh.
C. HEALTH EDUCATION
Betz, Cecily dan Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Alih bahasa Jan
Tambayong. Jakarta : EGC
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jilid pertama. Jakarta:
Media Aesculapius FKUI
Seto. Nelson, W. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Alih Bahasa A Samik Wahab. Jakarta :
EGC
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI 2000 . Ilmu Kesehatan Anak I. Jakarta :
Infomedika Jakaarta.
Suryadi dan Yuliani, R. 2001. Asuhan Keperwatan Pada Anak. Jakarta : CV. Sagung
Seto