Anda di halaman 1dari 11

Keamanan Vaksin Influenza Hidup yang Dilemahkan Pada

Anak-Anak Atopik dengan Alergi Telur


Paul J. Turner, FRACP, PhD, Jo Southern, PhD, Nick J. Andrews, PhD,
Elizabeth Miller, FRCPath, dan Michel Erlewyn-Lajuenesse, DM, atas
nama SNIFFLE Study Investigators
Latar Belakang: Vaksin influenza hidup yang dilemahkan
adalah vaksin intranasal yang baru-baru ini digabungkan ke
jadwal
imunisasi
Inggris
Raya.
Namun,
vaksin
ini
mengandung protein telur dan, dengan tak adanya data
tentang keamanan, dikontraindikasikan pada pasien dengan
alergi
telur.
Selain
itu,
pedoman
Amerika
Utara
merekomendasikan agar vaksin ini tidak dipakai untuk anakanak dengan asma.
Tujuan: Kami berusaha menilai keamanan dari vaksin
influenza hidup yang dilemahkan pada anak-anak dengan
alergi telur.
Metode: Kami melakukan studi intervensi yang prospektif,
multisenter, label terbuka, fase 4 dan melibatkan 11 fasilitas
sekunder/tersier di Inggris Raya. Anak-anak dengan alergi
telur (didefinisikan sebagai reaksi klinis yang meyakinkan
terhadap telur dalam 12 bulan terakhir dan/atau >95%
kemungkinan alergi telur klinis per kriteria yang diterbitkan)
direkrut. Vaksin influenza hidup yang dilemahkan diberikan
di bawah supervisi medis, dengan observasi selama 1 jam
dan tindak lanjut 72 jam kemudian.
Hasil: Empat ratus tiga puluh tiga dosis diberikan kepada
282 anak-anak dengan alergi telur (median. 4.9 tahun;
rentang, 2-17 tahun); 115 (41%) telah mengalami anafilaksis
terhadap telur sebelumnya. Diagnosis dokter untuk
asma/mengi berulang dicatat di 67%, dan 51% menerima
terapi pencegahan secara teratur. Tidak ada reaksi alergi
sistemik (95% CI untuk populasi, 1.3%). Delapan anak-anak
mengalami gejala-gejala ringan yang sembuh dengan
sendirinya, yang kemungkinan karena reaksi alergi yang
dimediasi IgE. Dua puluh enam (9.4%; 95% CI untuk
populasi, 6.2% sampai 13.4%) anak anak mengalami gejalagejala saluran pernapasan bawah dalam 72 jam, termasuk
13 dengan mengi yang dilaporkan orangtua. Tidak ada
episode yang memerlukan intervensi medis yang lebih dari
tatalaksana rutin.
Kesimpulan: Kebalikan dari rekomendasi yang berlaku
sekarang ini, vaksin influenza hidup yang dilemahkan
ternyata aman untuk digunakan pada anak anak-anak
dengan alergi telur. Lebih lagi, vaksin tampaknya bisa
ditolerir dengan baik oleh anak-anak dengan diagnosis asma
atau mengi berulang. (J Allergy Clin Immunoll 2015;136:37681).

Kata kunci: Alergi telur, vaksin influenza hidup yang dilemahkan,


asma, mengi berulang, keamanan
Alergi telur adalah salah satu alergi makanan yang paling
sering terjadi saat masa kecil, dengan perkiraan prevalensi
setidaknya 2% pada anak-anak usia prasekolah. Vaksin influenza
secara umum mengandung protein telur )termasuk ovalbumin)
karena virus vaksin dikultur di telur ayam betina; hanya vaksin yang
dengan konsentrasi ovalbumin dibawah 2 ug/mL baru-baru ini
disetujui oleh pemerintah nasional Inggris Raya. Secara teori, pasien
dengan alergi telur mungkin berisiko lebih tinggi untuk mengalami
reaksi alergi terhadap vaksin influenza. Di beberapa tahun terakhir
ini, vaksin influenza yang tidak aktif dengan sedikit atau tanpa
ovalbumin sudah tersedia. Penelitian observasi telah mengonfirmasi
keamanan vaksin ini untuk anak-anak dengan alergi telur, termasuk
mereka dengan riwayat anafilaksis terhadap telur sebelumnya, dan
telah membantu agar kontraindikasi berhubungan dengan alergi
telur di beberapa pedoman mengendur.
Vaksin trivalen influenza hidup yang dilemahkan (live
attenuated influenza vaccine/LAIV) diberikan lewat rute intranasal
telah tersedia di Amerika Serikat selama beberapa tahun dan
disetujui untuk digunakan di Eropa pada 2010. Vaksin ini memiliki
efektifitas yang tinggi untuk melawan influenza pada anak-anak
usia 2 hingga 17 tahun, dengan tingkat keamanan yang sebanding
dengan anak-anak tanpa alergi telur. LAIV juga dikultur di telur
ayam betina dan mengandung protein telur. Sampai beberapa
waktu lalu, tidak ada data yang diterbitkan tentang keamanan dari
LAIV pada anak-anak dengan alergi telur, dan maka dari itu
penggunaannya pada populasi ini telah dikontraindikasikan.
Pemerintah Amerika Utara merekomendasikan vaksin
influenza tahunan untuk anak-anak usia 2 sampai 8 tahun,
diutamakan dengan LAIV. LAIV tidak diijinkan untuk penggunaan
pada anak-anak di bawah 2 tahun karena peningkatan insidensi
mengi pada kelompok usia ini setelah imunisasi. Efeknya belum
terlihat pada anak-anak yang lebih besar, bahkan pada anak-anak
dengan riwayat asma dan mengi, ini dikonfirmasi dalam sebuah
data surveilans post-pemasaran. Walaupun begitu, pedoman terkini
dari CDC tidak merekomendasikan LAIV pada anak-anak dibawah 5
tahun dengan asma atau episode mengi pada tahun sebelumnya.
Singkatan-singkatan
Inggris Raya myang
Inggris
digunakan
Raya memasukkan emasukkan
BTS : British Thoracic Society (Perkumpulan Toraks Inggris Raya)
IIV
: Inactivated influenza vaccine (vaksin influenza yang tidak
aktif)
IQR : Interquartile range (rentang interkuartil)
LAIV : Live attenuated influenza vaccine (vaksin hidup yang
dilemahkan)
SIGN : Scottish Intercollegiate Guidelines Network
(Jaringan Pedoman Interkolega Skotlandia)

Pada 2013, Inggris Raya memasukkan imunisasi influenza


dengan LAIV ke Jadwal Imunisasi Nasional untuk anak-anak. Dengan
mengetahui bahwa tingkat alergi telur di kelompok usia ini adalah
sekitar 2.5%, kami memperkirakan (berdasarkan data populasi
2013) bahwa ada 60,000 anak-anak di kelompok usia ini yang
dikontraindikasikan LAIV karena didiagnosis alergi telur. Maka dari
itu, alergi telur merupakan penghalang yang signifikan untuk
keberhasilan implementasi program imunisasi, mengakibatkan
kebutuhan untuk vaksinasi anak-anak dengan alergi telur dengan IIV
yang diberikan dengan injeksi (biasanya di lingkungan rumah sakit),
sesuatu yang sedikit lebih tidak dipilih oleh kelurga-keluarga dan
akan mengakibatkan biaya yang lebih besar. Maka dari itu, kami
berusaha menilai keamanan LAIV pada anak-anak dengan alergi
telur untuk menyediakan data untuk melaporkan pertimbangan
berdasar-penelitian mengenai perubahan terhadap pedoman yang
berlaku saat ini.
METODE
Kami melakukan penelitian label-terbuka fase IV pada anakanak dengan alergi telur selama musim influenza di Inggris Raya
(September 2013 ke Januari 2014) di 12 pusat alergi berdasarrumah sakit di Inggris Raya. Peserta penelitian direkrut secara lokal
dari klinik-klinik alergi. Peserta yang memenuhi syarat adalah yang
berusia 2 sampai 17 tahun dengan (1) Alergi makanan yang
dimediasi IgE terhadap telur, yang didefinisikan sebagai hasil uji
alergi makanan positif terhadap telur dalam 12 bulan terakhir di
bawal supervisi medis; (2) riwayat reaksi klinis terhadap telur dalam
12 bulan terakhir dengan bukti sensitisasi terkini atas dasar respon
positif uji skin-prick atau tingkat serum serum-spesifik IgE terhadap
putih telur; atau (3) bukti dari sensitisasi terkini konsisten dengan
kemungkinan alergi telur secara klinis di atas 95%, sesuai dengan
kriteria yang dipublikasikan. Pasien-pasiden dengan riwayat
anafilaksis terhadap telur atau riwayat asma yang parah tetapi
stabil tidak dikecualikan. Anafilaksis didefinisikan dengan
menggunakan kriteria World Allergy Organization. Asma diklasifikan
sesuai dengan terapi terkini pada saat imunisasi menggunakan
pedoman British Thoracic Society (BTS) dan Scottish Intercollegiate
Guidelines Network (SIGN).
Uji skin-prick dilakukan ke semua
peserta sebelum inklusi menurut pedoman-pedoman yang
dipublikasi untuk konfirmasi sensitisasi terhadap telur (ekstrak putih
telur; ALK-Abello, Horsholm, Denmark) dan mendeteksi sensitisasi
terhadap
aeroalergen
potensial.
Pengujian
dan
vaksinasi
ditangguhkan bila peserta telah menerima antihistamin dalam 4
hari terakhir. Peserta-peserta dieksklusi bila mereka sebelumnya
pernah membutukan ventilasi invasif untuk reaksi anafilaksis
terhadap telur, memiliki asma parah yang tidak stabil, atau memiliki
kontraindikasi terhadap LAIV, seperti riwayat reaksi alergi terhadap
komponen vaksin (selain telur) atau sedang menjalani terapi salisilat
atau pernah mengalami imunokompromais yang signifikan.

Vaksinasi ditunda untuk peserta-peserta dengan febris akut atau


bukti meningkatnya gejala-gejala asma selama setidaknya 2 minggu
setelah gejala reda.
Penelitian disetujui oleh Komite Etik Penelitian West MidlandsEdgbaston (13/WM/0231), dan orangtua/wali dari setiap peserta
memberikan persetujuan tertulis. Anak-anaka di atas 8 tahun
didorong untuk memberikan persetujuan tertulis sendiri. Sponsor
penelitian adalah University Hospital Southampton NHS Foundation
Trust (no. penelitian RHM CHI0659). Penelitian ini terdaftar dengan
ClinicalTrials.gov (NCT01859039) dan European Union Clinical Trials
Register (EudraCT 2013-002031-26).
PROSEDUR
Peserta-peserta diukur parameter dasarnya (tekanan darah,
nadi, napas, dan saturasi oksigen) sebelum administrasi LAIV,
dengan penilaian pernapasan klinis dan kulit di waktu yang sama.
LAIV (Fluenz [dijual sebagai Flumist di Amerika Utara] diproduksi
untuk musim influenza 2013-2014; AstraZeneca, London, Inggris
Raya) diberikan lewat jalut pernasapan sesuai dengan ringkasan
karakteristik produk yang telah disetujui (misal, 0.1 mL per lubang
hidung) baik saat hari kasus alergi atau unit penelitian klinis di
setiap rumah sakit. Peserta-peserta diobervasi setidaknya 1 jam
untuk gejala-gejala reaksi alergi lokal atau sistemik, seperti
didefinisikan oleh konsensus internasional. Observasi klinis direkam
selama 60 menit setelah pemberian vaksin, bersamaan dengan
skoring gejala (total skor gejala okular dan nasal). Di satu pusat
beberapa pasien menjalani rinometri akustik, penilaian objektif dari
patensi jalur nasal sebelum dan 10 menit setelah pemberian LAIV,
seperti telah di deskripsikan sebelumnya. Detail kontak emergensi
diberikan untuk para orang tua untuk mencari advis bila ada
kekhawatiran setelah vaksinasi. Para orang tua dikontak lewat
telefon setelah setidaknya 72 jam untuk mendeteksi adanya reaksi
efek samping yang tertunda.
Para peserta yang belum menerima imunisasi dengan vaksin
influenza nonpandemik di tahun-tahun sebelumnya ditawarkan
dosis kedua LAIV pada 4 minggu kemudian sesuai dengan
rekomendasi produk.
EFEK JANGKA PANJANG
Hasil utama adalah insidensi dari reaksi alergi sebagai reaksi
efek samping setelah imunisasi yang terjadi dalam jangka waktu 2
jam dari pemberian LAIV pada anak-anak dengan alergi telur. Reaksi
alergi sistemik (anafilaksis) didefinisikan sesuai dengan definisi
kasus Brighton Collaboration. Efek sekunder adalah sebagai berikut:
insidensi dari gejala-gejala tertunda yang terjadi hingga 72 jam
setelah pemberian LAIV; insidensi efek samping dari penyebab nonalergik setelah pemberian LAIV; dan perubahan di patensi jalur
nasal di anak-anak yang menjalani acoustic rhinometry sebagai
penilaian tambahan. Hubungan sebab-akibat dari semua kejadian

efek samping dikonfirmasi oleh komite pemantauan


independen bekerjasama dengan tim penelitian lokal.

data

ANALISA STATISTIK
Analisa direncanakan secara prospektif dan detail dalam
rencana analisa statistik. Insidensi dari reaksi terhadap LAIV (baik
langsung maupun tertunda) diperkirakan dengan 2-sided exact 95%
CI. Dengan analisa subgrup, insidensi dari reaksi-rekasi
dibandingkan
di
antara
kohort-kohort
berbeda
dengan
menggunakan 2-sided Fisher exact test. Jumlah sampel
dipertimbangkan dengan perbandingan historis
HASIL
Dua ratus delapan puluh dua anak-anak dengan alergi telur
terdaftar di penelitian dan menerima setidaknya 1 dosis LAIV antara
September 2013 dan Januari 2014. Median umur dari kelompok
adalah 4.9 tahun (rentang, 2-17 tahun; rentang interkuartil [IQR], 38 tahun), dan 185 (66%) adalah laki-laki. Sejumlah 433 dosis LAIV
diberikan ke 282 anak-anak, 64 dengan riwayat vaksinasi influenza
dan 218 anak-anak yang belum pernah divaksin, seperti
digambarkan di Gambar 1. Seratus lima puluh-satu anak-anak
menerima dosis kedua LAIV 4 minggu kemudian. Alasan-alasan
mengapa hanya LAIV dosis tunggal yang diberikan ditunjukkan di
Gambar 1. Sayangnya, 53 anak-anak tidak dapat menerima dosis
kedua dikarenakan tidak tersedianya vaksin in-date; tidak ada
satupun dari anak-anak ini yang berada dalam kategori klinis resikotinggi membutuhkan 2 dosis menurut pedoman imunisasi Inggris
Raya.
Semua anak-anak memiliki bukti dari alergi telur saat itu pada
waktu imunisasi. Seratus empat puluh-lima (51%) anak-anak
mengalami reaksi alergi terhadap telur pada 12 bulan terakhir
dengan bukti sensitisasi pada pendaftaran. Dua puluh-dua (8%)
telah menjalani uji makanan yang formal di rumah sakit terhadap
telur dalam 12 bulan terakhir untuk memperkuat diagnosis mereka.
Sejumlah 137 (49%) belum bereaksi terhadap telur dalam 12 bulan
terakhir tetapi mempunyai bukti sensistisasi (misal, lebih dari
kriteria yang dipublikasikan sebesar >95% nilai prediktif positif
untuk alergi terlus secara klinis). Hanya 35 (12%) yang tidak pernah
memakan telur dan diberikan diagnosis berdasarkan hasil-hasil dari
uji alergi prediktif saja. Median respon uji skin prick terhadap putih
telur adalah 7 mm (IQR, 5-9 mm; rentang, 0-16 mm), dan median
tingkat IgE spesifik-serum adalah 12.1 kUa/L (IQR, 2.9-35.2 kUA/L;
rentang, 0->100 kUA/L). Kelompok ini terdiri dari 115 (41%) anakanak dengan riwayat anafilaksis terhadap telur sebelumnya, dimana
68 (24%) mengalami gejala-gejala pernapasan, gejala-gejala
kardiovaskular, atau keduanya dengan mengonsumsi telur. Tujuh
puluh-dua (27%) sampai sekarang masih mentolerir telur yang
dipanggang (misal, di kue) pada waktu penerimaan peserta.

Asma yang didiagnosa dokter/mengi berulang


Seratus delapan puluh-delapan (67%) anak-anak memiliki
diagnosis asma dari dokter atau mengi berulang, 145 diantaranya
(51% dari total kelompok) menggunakan terapi pencegah harian
(BTS/SIGN tahap 2 atau lebih). Enam puluh-sembilan (25%)
menggunakan kortikosteroid hirup dosis-tinggi, terapi multipel
pencegah, atau keduanya. Seratus lima puluh-tujuh (56%)
mempunyai mempunyai rinitis alergi, 180 (64%) memiliki eksema
atopik, dan 138 (49%) alergi terhadap 3 atau lebih kelompok
makanan.
Kejadian Ikutan Paska Imunisasi Langsung
Tidak ada reaksi sistemik di kelompok yang terdiri dari 282
anak-anak. Berdasarkan data ini, 95% CI untuk insidensi dari reaksi
alergi sistemik (termasuk anafilaksis) terhadap LAIV pada anak-anak
dengan alergi telur adalah 1.3%. Rata-rata jumlah skor gejala okular
dan nasal adalah 0 (IQR, 0-1); ini tidak meningkat pada 10,30 atau
60 menit setelah pmeberian LAIV (P>.05, uji signed-rank Wilcoxon).
Sejumlah 14 efek samping pada 14 anak berbeda dilaporkan
dalam jangka 2 jam dari pemberikan vaksin (3.2% dari semua dosis
yang diberikan), 8 konsisten dengan kemungkinan respon alergi
termediasi-IgE, seperti didefinisikan oleh konsensus internasional.
Maka dari itu 2.8% peserta yang mengalami efek samping langsung
setelah imunisasi kemungkinan penyebabnya adalah alergi. Reaksireaksi ini (6 episode rinitis, 1 episode urticaria terlokalisir, dan 1
episode sakit perut ringan) ringan dan dapat sembuh sendiri dan
terjadi dalam 30 menit dari pemberian LAIB. Kejadian lain-lain
adalah sebagai berikut: 1 episode demam; 1 anak yang mengalami
gejala eksema ringan 45 menit setelah pemberian LAIB; 2 episode
obstruksi nasal saja tanpa gejala-gejala hidung gatal/bersin; dan 2
anak-anak yang mengalami gejala kulit yang sementara,
terlokalisasi, non-spesifik (dagu yang gatal tanpa tanda-tanda kulit;
3 papula yang tidak gatal di atas bibir atas) tanpa adanya ciri-ciri
lain yang mengarah ke reaksi alergi. Semua kecuali satu dari
kejadian ini terjadi pada dosis pertama dari LAIV. Tiga dari anakanak ini menerima dosis kedua LAIV 4 minggu kemudian tanpa
reaksi.
Tidak ada faktor risiko yang teridentifikasi untuk kejadian efek
samping akut, alergi atau sebaliknya, saat dinilai untuk usia, tingkat
keparahan alergi telur, vaksinasi influenza sebelumnya, toleransi
terhadap telur yang dipanggang, dan adanya diagnosis asma dari
dokter/mengi berulang atau rinitis alergi (P>.05 untuk semua
perbandingan, uji Fisher exact).
Acoustic rhinometry dilakukan pada 13 anak-anak: tidak ada
perubahan signifikan pada daerah potong lintang dari jalur nasal
(sugestif untuk kongesti nasal) yang terlihat (perubahan rata-rata
pada patensi nasal, -5.3%; IQR, -18.7% hingga 18.6%; P= .97, uji
signed-rank Wilcoxon). Tidak ada dari anak-anak ini yang dilaporkan
gejala-gejala nasal.

Kejadian ikutan paska imunisasi tertunda


Setelah mengeksklusi kejadian-kejadian pada 7 pasien-pasien
yang dinilai tidak berhubungan atau kecil kemungkinan untuk
berhubungan dengan vaksinasi dengan komite pengawasan data
independen, 73 (dari 278) anak-anak yang mengalami kejadian
tertunda (terjadi antara 2 dan 72 jam setelah pemberian vaksin)
dilaporkan setelah dosis pertama, dan 35 (dari 148) mengalami
kejadian tertunda setelah dosis kedua. Di antara kedua dosis, 91
anak-anak mengalami kejadian tertunda setelah setidaknya 1 dosis
LAIV. Kejadian tertunda diringkas di Tabel 1. Dua puluh-enam (9.4%;
95% CI untuk populasi, 6.2% hingga 13.4%) anak-anak mengalami
gejala-gejala saluran napas bawah dalam 72 jam, termasuk 13
(4.7%; 95% CI untuk populasi, 2.5% hingga 7.9%) anak-anak
dengan mengi yang dilaporkan orang tua. Anak-anak dengan
diagnosis mengi berulang atau asma tidak lebih besar
kemungkinannya untuk mengalami efek samping daripada anakanak tanpa diagnosis tersebut (59/186 [32%] vs 32/92 [35%],
berurutan; P=1.00) setelah pemberian LAIV. Mengi atau batuk tidak
lebih sering pada anak-anak yang menerima kortikosteroid hirup
reguler (terapi BTS/SIGN tahap 2 atau lebih, P = .55). Ulasan medis
oleh dokter anak dicari dalam 2 kasus, tetapi tidak ada perubahan
dalam pengobatan atau tatalaksana. Tidak ada anak yang dibawa
ke rumah sakit dikarenakan kejadian ikutan dalam 72 jam. Tidak ada
kejadian ikutan serius yang dilaporkan selama penelitian
berhubungan dengan pemberian LAIV.
Pada 148 anak-anak yang menerima 2 dosis LAIV dan pada
anak-anak yang tindak lanjutnya lengkap, 20 (13.5%) dilaporkan
mengalami kejadian ikutan paska imunisasi dalam 72 jam untuk
kedua dosis. Hanya pada 4 kasus gejala-gejala mirip dalam kedua
reaksi, dan pada 2 dari 4 kasus dilaporkan kejadian ikutan paska
imunsasi adalah gejala eksema.
Tabel 1. Kejadian ikutan tertunda yang dilaporkan oleh orang tua
Gejala gejala tertunda Jumla Jumla Tingkat 95% CI
yang dialami setelah LAIV
h
h
di
untuk
dosis anak kelomp popula
ok
si
Denominator
(jumlah 426
278
dosis/anak-anak di penelitian)
Saluran napas atas
Saluran
napas
atas 65
59
21.2%
16.6% (seluruhnya)
26.5%
Gejala terisolasi saja, durasi 23
22
7.9%
5.0%<24jam
11.7%
Gejala nasal disertai okuler
9
9
3.2%
1.5%6.1%
Saluran napas bawah
Salurah
napas
bahwa 26
26
9.4%
6.2%-

(seluruhnya)
Mengi dilaporkan orang tua

13

13

4.7%

Konstitusional
Seluruhnya

31

31

11.2%

Demam < 24 jam

20

20

7.2%

Demam > 24 jam

1.1%

Letargi, Sakit Kepala,Pusing, 8


Myalgia
Kulit
Gejala eksema
13

2.9%

11

4.0%

Ruam non-spesifik, tidak 2


respon terhadap antihistamin
Gejala-gejala abdomen
Muntah, mual, nyeri perut
11

0.7%

11

4.0%

13.4%
2.5%7.9%
7.7%15.5%
4.4%10.9%
0.2% 3.1%
1.3%5.6%
2.0%7.0%
0.1%2.6%
2.0%7.0%

DISKUSI
Pada kelompok anak-anak yang sangat atopik dengan alergi
telur, tidak ada reaksi alergi sistemik atau episode-episode
anafilaksis setelah pemberian LAIV. Ini sama dengan 95% CI dari
1.3% untuk insidensi dari reaksi alergi sistemik akut untuk anakanak dengan alergi telur dalam populasi. Des Roches dkk baru-baru
ini melaporkan kelompok 68 anak-anak dengan diagnosis alergi
telur yang menerima LAIV tanpa reaksi alergi; akan tetapi, kriteria
yang digunakan untuk mendefinisikan alergi telur di kelompok
mereka lebih tidak ketat bila dibandingkan dengan penlitian ini, dan
maka dari itu proporsi anak-anak yang dilaporkan di penelitian itu
mungkin sudah tidak lagi alergi terhadap telur secara klinis.
Tingkat reaksi alergi berhubungan dengan paska vaksin
(2.8%) lebih tinggi dari yang dilaporkan sebelumnya. Reaksi-reaksi
ini semuanya ringan, terlokalisir, dan dapat sembuh sendiri. Data
keamanan dari pengawasan post-marketing di Amerika Serikat telah
menunjukkan LAIV sebagai vaksin yang ditolerir dengan baik. Baxter

dkk melaporkan 9 episode urtikaria terjadi dalam 3 hari dari


pemberian LAIV pada anak-anak usia 5 hingga 17 tahun dari 43,702
dosis selama periode 2003-2008. Akan tetapi, masih belum jelas
berapa banyak dari episode-episode ini terjadi dalam 2 jam setelah
pemberian LAIV, yang konsisten dengan mekanisme termediasi-IgE
disebabkan oleh LAIV. Pada penelitian surveilans dari 2.5 juta dosis
LAIV pada dewasa, 7 kasus reaksi alergi sistemik (anafilaksis)
terjadi, yang sama dengan tingkat 0.3 reaksi per 100,000 dosis;
tidak ada yang berkaitan dengan alergi telur, dan hanya 5 yang
dinilai berhubungan dengan pemberian LAIV.
Sebuah uji coba acak, double-blind, dikontrol-plasebo tentang
keamanan LAIV pada anak-anak usia 6 hingga 59 bulan dengan
alergi telur melaporkan kejadian ikutan paling sering adalah
rinore/hidung tersumbat. Ini telah dikonfirmasi pada penelitian
pengawasan paska-pemasaran. Kendati tingginya tingkat atopi di
kelompok kami, tingkat kejadian ikutan mirip dengan yang
sebelumnya dilaporkan (Tabel II). Pada penelitian ini anak-anak
dengan asma (termasuk yang menggunakan terapi pencegah) atau
mengi berulang tidak memiliki risiko lebih tinggi untuk mengi yang
dilaporkan orang tua dalam 72 jam setelah pemberian LAIV. Tidak
memungkinkan untuk membandingkan tingkat mengi dengan
mereka yang menjalani penelitian sebelumnya karena yang
sebelumnya mengacu ke mengi yang signifikan secara medis
yang didiagnosis oleh petugas kesehatan hingga 42 hari setelah
pemberian vaksin; sayangnya, tingkat gejala-gejala saluran napas
bawah yang dilaporkan orang tua pada hari-hari setelah pemberian
LAIV tidak dinilai di penelitian-penelitian yang sebelumnya. Lebih
lanjut, anak-anak membutuhkan tatalaksana asma yang lebih tinggi
(BTS tahap 3 atau lebih) tidak memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengi yang dilaporkan orang tua, kelompok yang masih merupakan
25% dari kelompok kami.
Laporan dari 2 uji coba acak multinasional membandingkan
LAIV dengan IIV pada 1940 anak-anak berusia 2 hingga 5 tahun
dengan asma atau riwayat paska vaksinasi antara mereka yang
telah menerima LAIV dan IIV. Tingkat gejala-gejala saluran napas
bawa berkisar dari 5% hingga 29.9% (mengi apapun antara 42 hari
dari pemberian vaksin) dan mirip dengan penelitian kami. Penelitian
lain pada anak-anak yang usianya lebih besar juga tidak
menemukan bukti adanya peningkatan ekaserbasi asma atau mengi
yang signifikan secara medis setelah LAIV bila dibandingkan dengan
IIV. Jelas bahwa mengi adalah gejala yang cukup sering pada
kelompok anak-anak ini. Berlawanan dengan pedoman Inggris Raya,
pedoman di Amerika Serikat dan Kanada sekarang ini
merekomendasikan untuk tidak menggunakan LAIV pada anak-anak
dengan asma, walaupun saran ini telah direvisi baru-baru ini,
memperbolehkan penggunaan LAIV pada anak-anak usia 2 hingga 4
tahun tanpa gejala-gejala mengi dalam 12 bulan sebelum vaksinasi.
Kami menemukan tidak ada bukti untuk peningkatatn mengi yang
signifikan secara medis setelah LAIV pada anak-anak dengan

riwayat mengi berulang atau asma. Kami tidak dapat menetukan


apakah episode-episode mengi yang diamati dapat terjadi tanpa
diberikannya imunisasi LAIV.
Analisis dari 4 batch LAIV yang digunakan selama penelitian
ini untuk Departemen Kesehatan, Inggris, menemukan konsentrasi
maksimum ovalbumin yang ada lebih rendah dari 0.3 ng/mL. Meski
begitu, kadar protein telur dari vaksin influenza bervariasi antara
batch, dan data kami mungkin tidak dapat diaplikasikan ke stok
LAIV di masa yang akan datang dimana kadar telur dari vaksin
mungkin lebih tinggi. Tingkat maksimum dari ovalbumin yang
diperbolehkan dalam LAIV di bawah lisensi yang diberikan oleh
European Medicines Agency adalah 1.2 mg/mL; ini kira-kira 10 kali
lebih rendah bila dibandingkan dengan jumlah protein telur yang
ditemukan dapat memicu gejala-gejala lokal rinitis saat diberikan
lewat jalur pernapasan anak-anak dengan alergi telur. Maka dari itu,
kecil kemungkinan LAIV akan diperkirakan untuk memicu gejalagejala karena reaksi alergi termediasi IgE terhadap telur.
Kesimpulannya, data-data ini telah mendemonstrasikan profil
keamanan dalam hal reaksi alergi sistemik terhadap LAIV (tersedia
selama musim influenza 2013-2014) pada anak-anak dengan alergi
telur, termasuk yang dengan riwayat anafilaksis, mirip dengan yang
sebelumnya dilaporkan untuk anak-anak tanpa alergi telur. Lebih
lanjut, vaksin ini tampaknya ditolerir dengan baik pada anak-anak
dengan diagnosis asma atau mengi berulang.
Kami mengucapkan terima kasih pada komite pengawasan data kami
(Glenis Scadding [Ketua], Andrew Riordan, Giuseppina Rotiroti, dan Andre
Charlett), juga sebagai anggota dari Komite Pengatur Uji Coba kami (Nicola
Brathwaite [Ketua], Diab Haddad, dan Hazel Gowland). Kami juga mengucapkan
terima kasih kepada ko-investigator kami di tim penelitian SNIFFLE dan Grup
Vaksin Anak Inggris Raya untuk dukungan mereka, juga kepada kolega PHE atas
dukungan mereka dalam manajemen data: Samuel Lattimore, Deborah Cohen,
Rashmi Malkani dan Teresa Gibbs.
Investigator Penelitian SNIFFLE adalah: Christine Doyle (Alder Hey
Childrens NHS Foundation Trust), George Du Toit (NHR Biomedical Reseacrh
Centre di Guys and St Thomas NHS Foundation Trust), Michel Erlewyn-Lajeunesse
(University Hospital Southampton NHS Foundation Trust), Roisin Fitzsimons (NIHR
Biomedical Research Centre di Guys and St Thomas NHS Foundation Trust), paul
T. Heath (Institute of Infection and Immunity, St Georges University of London),
Stephen M. Hughes (Central Manchester University Hospitals NHS Foundation
Trust), Louise Michaelis (Great North Childrens Hospital, Newcastle-upon-Tyne
Hospitals NHS Foundation Trust), Jurgen Schwarze (University of Edinburgh dan
NHS Lothian), Matthwe D. Snape (NIHR Oxford Biomedical Research Centre dan
Oxford University Hospitals NHS Trust), Gary Stiefel (University Hospitals of
Leicester NHS Trust), Huw M. Thomas (University Hospitals Bristols NHS
Foundation Trust), dan Paul J. Turner (NIHR/Imperial Biomedical Research Centre
dan Asthma UK Centre in Allergic Mechanisms of Asthma, Imperial College
London).

Implikasi Klinis: Vaksinasi influenza dengan LAIV aman untuk


anak-anak dengan alergi telur, termasuk anak-anak dengan
riwayat anafilaksis, dengan tidak dijumpai adanya manifestasi
alergi sistemik.

Anda mungkin juga menyukai