Anda di halaman 1dari 33

HIV/AIDS PADA ANAK

1. PENGERTIAN
Infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi virus HIV (Human
Immunodefisiensi Virus). AIDS adalah penyakit yang menunjukkan adanya sindrom
defisiensi imun selular sebagai akibat oleh infeksi virus HIV yang dapat menyebabkan
AIDS (Barhers, 2008).
2. ETIOLOGI
Sindrom immunodefisiensi didapat pediatrik (AIDS) disebabkan oleh virus
immunodefisiensi manusia / Human Immunodeficiency virus (HIV) tipe 1 (HIV-1) yang
melekat dan memasuki limfosit T helper CD4+, yang juga ditemukan dalam jumlah yang
lebih rendah pada monosit dan makrofag.
HIV-I merupakan retrovirus yang termasuk pada subfamili Lentivirus. Juga
sangat dekat dengan HIV-II, yang menyebabkan penyakit yang sama.
HIV adalah virus RNA dan merupakan parasit obligat intra sel .Dalam bentuknya
yang asli ia merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai
sampai ia masuk ke sel host ( sel target ).
Retrovirus mengandung kapsid sebelah dalam yang disusun dari protein struktur yang
dirujuk pada ukurannya.
Protein struktural utama adalah p24, terdeteksi dalam serum penderita yang terinfeksi
dengan beban virus tinggi.
Kapsid virion mengandung dua kopi RNA helai tunggal dan beberapa molekul
transkriptase balik. Transkriptase balik adalah polimerase DNA virus yang
menggabung nukleosid menjadi DNA dengan menggunakan RNA virus sebagai
model. ( Behrman, dkk , 1999 : 1128 )
HIV merupakan retrovirus sitopatik tidak bertransformasi mendorong terjadinya
immunodefisiensi dengan merusak sel T sasaran ( target )
Selubung ( envelope ) lipid HIV-I berasal dari membran sel pejamu yang terinfeksi
saat budding, yang mengandung dua glikoprotein virus, gp120 dan gp41. gp120
penting pada pengikatan pada molekul CD4 pejamu untuk memulai infeksi virus.
Ditemukan beberapa gen yang tidak ditemukan pada retrovirus lain, yaitu tat, vpu, vip,
nef, dan rev.tat dan rev, mengatur transkripsi HIV dan karenanya dapat dipakai
sebagai target terapi.
Virus diisolasi dari sel limfosit, serum cairan serebrospinal, dan semua sekresi dari
penderita yang terinfeksi. ( Robbins,dkk, 1998 : 140 ).

3. MACAM INFEKSI HIV


Atas dasar interaksi HIV dengan respon imun pejamu, infeksi HIV dibagi menjadi tiga
Tahap :
1) Tahap dini, fase akut, ditandai oleh viremia transien, masuk ke dalam jaringan limfoid,
terjadi penurunan sementara dari CD4+ sel T diikuti serokonversi dan pengaturan
replikasi virus dengan dihasilkannya CD8+ sel T antivirus. Secara klinis merupakan
penyakit akut yang sembuh sendiri dengan nyeri tenggorok, mialgia non-spesifik, dan
meningitis aseptik. Keseimbangan klinis dan jumlah CD4+ sel T menjadi normal terjadi
dalam waktu 6-12 minggu.
2) Tahap menengah, fase kronik, berupa keadaan laten secara klinis dengan replikasi.
virus yang rendah khususnya di jaringan limfoid dan hitungan CD4+ secara perlahan
menurun. Penderita dapat mengalami pembesaran kelenjar limfe yang luas tanpa
gejala yang jelas. Tahap ini dapat mencapai beberapa tahun. Pada akhir tahap ini
terjadi demam, kemerahan kulit, kelelahan, dan viremia. Tahap kronik dapat berakhir
antara 7-10 tahun.
3) Tahap akhir, fase krisis, ditandai dengan menurunnya pertahanan tubuh penderita
secara cepat berupa rendahnya jumlah CD4+, penurunan berat badan, diare, infeksi
oportunistik, dan keganasan sekunder. Tahap ini umumnya dikenal sebagai AIDS.
Petunjuk dari CDC di Amerika Serikat menganggap semua orang dengan infeksi HIV
dan jumlah sel T CD4+ kurang dari 200 sel/l sebagai AIDS, meskipun gambaran
klinis belum terlihat. ( Robbins, dkk, 1998 : 143 )
4. PATOFISIOLOGI
Pada neonatal HIV dapat masuk ke dalam tubuh melalui penularan
transplasental atau perinatal. Setelah virus HIV masuk ke dalam target (terutama sel
limfosit T) yang mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD4. Ia melepas
bungkusnya kemudian mengeluarkan enzim R-tase yang dibawanya untuk mengubah
bentuk RNA-nya menjadi DNA agar dapat bergabung menyatukan diri dengan DNA sel
target (sel limfosit T helper CD4 dan sel-sel imunologik lain ). Dari DNA sel target ini
berlangsung seumur hidup. Sel limfosit T ini dalam tubuh mempunyai mempunyai fungsi
yang penting sebagai daya tahan tubuh. Akibat infeksi ini fungsi sistem imun (daya
tahan tubuh) berkurang atau rusak, maka fungsi imonologik lain juga mulai terganggu.
HIV dapat pula menginfeksi makrofag, sel-sel yang dipakai virus untuk melewati
sawar darah otak masuk ke dalam otak. Fungsi limfosit B juga terpengaruh, dengan
peningkatan produksi imunoglobulin total sehubungan dengan penurunan produksi

antibodi spesifik. Dengan memburuknya sistem imun secara progresif, tubuh menjadi
semakin rentan terhadap infeksi oportunis dan juga berkurang kemampuannya dalam
memperlambat replikasi HIV. Infeksi HIV dimanifestasikan sebagai penyakit multi-sistem
yang

dapat

bersifat

dorman

selama

bertahun-tahun

sambil

menyebabkan

imunodefisiensi secara bertahap. Kecepatan perkembangan dan manifestasi klinis dari


penyakit ini bervariasi dari orang ke orang. Virus ini ditularkan hanya melalui kontak
langsung dengan darah atau produk darah dan cairan tubuh, melalui obat-obatan
intravena, kontak seksual, transmisi perinatal dari ibu ke bayi, dan menyusui. Tidak ada
bukti yang menunjukkan infeksi HIV didapat melalui kontak biasa.
Empat populasi utama pada kelopok usia pediatrik yang terkena HIV :
1) Bayi yang terinfeksi melalui penularan perinatal dari ibu yang terinfeksi (disebut juga
trasmisi vertikal); hal ini menimbulkan lebih dari 85% kasus AIDS pada anak-anak
yang berusia kurang dari 13 tahun.
2) Anak-anak yang telah menerima produk darah (terutama anak dengan hemofili)
3) Remaja yang terinfeksi setelah terlibat dalam perilaku resiko tinggi.
4) Bayi yang mendapat ASI (terutama di negara-negara berkembang).
( Cecily L. Betz , 2002 : 210)

HIV-1

4
PATOGENESIS
Jarum suntik

Ibu

Transfusi

Hub sexual

Transplasental

Sel Host

Limfosit T

Perinatal

Aliran darah / mukosa


Kel. Limfe

CD4+
Hiperplasi
folikel

Internalisasi
Enzim RT-ase
Transkripsi terbalik
Mengubah RNA
menjadi DNA

Replikasi
virus masit

Limfadenopati

Viremia

Destruksi sel
CD4
Bertahap

Inf. Akut
Laten

Kel. Getah
bening perifer

Lim B

Kel. Sel. B

Pe Ab
spesifik

Pe Ig
total

Krisis

Integritas DNA
provirus ke Host

Hiper gamma
globulinemia

Transkripsi / translasi
& propagasi virus

Respon IgM
me

Inf. Oportunistik
Keganasan sekunder
AIDS
Monosit
makrorag

Tahan sitopatik HIV

Penyebaran patogenesis

Gangguan fungsi monosit & makrofag


AIDS

- Kematoksis
- Fagositosis

SSP

Inf. Oportunistik
SSP

Mata

Cryptococcus
Toxoplasma
Candida
Mycobacterium
TB
Tumor

Meningitis
Encepalitis
Demensia
Gangguan psikomotor
Kejang-kejang

CM V
Toxoplasma

Perivaskulitis
Retinitis

Hidung
Mulut
Paru

Sinusitis
Jamur oral thrush
Stomatitis herpes
Parotitis
Pnemonia
Kandidiasispneumocystis
oral / faring carinii (PPC)
Cytomegalovirus
Mycobacterium avium intracellare / M. TB
Lymphoid interstitial pneumonitis
Virus epstein Barr bronkopneumonia

Jantung

Kardiomiopati DC

Limpa

Splenomegali

pankreas

Pankreatitis (trauma akibat pemberian pentamidin)

Hepar

hepatitis

GI track

Diare
Malabsorbsi

Kel. limfe

Ensepalopati

Salmonella
CMV
Kandida
Herpes simplex
Cryptosporodium
Camphilobacter

Limfodenopati

Ginjal

Focal glomerulosclerosis
Mesangial hyperplasia

Kulit

Dermatitis (Ekzema s/d pyoderma gangrenosum & scabies

Darah

Trombocytopenia, Neutropeni, Anemi

Proteinuria

6
VIREMIA

Sal. napas

SSP

Hepar & lien

Batang otak
Paru

Hidung

Alveolar

Hepatomegali
Splenomegali

Sinusitis

Hipotalamus
Menekan N. Vagus
Pirogen

Nyeri

Simpatis

Pneumonitis
interstisiel

Termostat

Vasodilatasi
PD

Akumulasi
sekret

Takikardi
TD

peHCL

Kejang2

Kardiomegali
Vasodilatasi
Kelj.
Sebasea

Batuk
Tidak spontan
Obstruksi sel
napas
Kerusakan
pertukaran
gas

Akumulasi
sekret
Ronki / tridor

Suplai O2
Pe perfusi

Intoleran aktifitas

Kardiomiopati
DC

Mual,
muntah,
anorexia

Usus

Otak
Ensefalitis

Resiko G3
integritas
kulit

Meningitis

Ensefalopathy

G3 motorik

Mal
absorbsi

BB
Diare

Integritas
kulit

G3 neuropati

pe
peristaltik

Nutrisi

Erithema

Dispneu
Perub. Pola napas

Resiko injuri

Keringat

Bersihan
jalan napas

Fatique

Lambung

Hipertermi

Eksudasi

spontan

Jantung

G3 neuro
psikiatrik

Eliminasi
alvi

Keseimbangan
cairan

Defisit /
hipovolume
Dehidrasi

Peperfusi
Vasodilatasi PD
Pe TIK

Demensia
Atralgia & / mialgia
Pe fungsi
kognitif
Immobilitas
fisik
Istirahat tidur
Nyeri

Ginjal
Turgor
Mata cowong
Ubun-ubun cekung
Mukosa kering
Oligouria
Eliminasi
uri

5. MANIFESTASI KLINIS
Bayi dan Anak
Bayi yang terinfeksi tidak dapat dikenali secara klinis sampai terjadi penyakit
berat atau sampai masalah kronis seperti diare, gagal tumbuh, atau kandidiasis oral
memberi kesan imunodefisiensi yang mendasari.

Kebanyakan anak dengan infeksi

HIV-1 terdiagnosis antara umur 2 bulan dan 3 tahun.


Tanda-tanda klinis akut yang disebabkan oleh organisme virulen pada penderita
limfopeni CD4+ yang terinfeksi HIV-1 disebut infeksi oportunistik "penentu-AIDS". Infeksi
oportunistik yang paling sering dan sangat mematikan adalah pneumonia P. carinii
(PPC). Tanda klinis PPC pada bayi terinfeksi HIV-1 merupakan distress pernapasan
berat dengan batuk, takipnea, dispnea dan hipoksemia dengan gas darah menunjuk ke
arah blokade kapiler alveolar (mis ; proses radang interstisial). Roentgenogram dada
menunjukkan pneumonitis difus bilateral dengan diafragma datar. Diagnosis biasanya
diperkuat oleh bronkoskopi fleksibel dan cuci bronkoalveolar dengan pewarnaan yang
tepat untuk kista maupun tropozoit. Kadar laktat dehidroginase biasanya juga naik.
Diagnosa banding pada bayi termasuk herpes virus ( sitomegalovirus, virus EpsteinBarr, virus herpes simpleks ), virus sinsitial respiratori, dan infeksi pernafasan terkait
mengi. Pengobatan infeksi PPC harus dimulai seawal mungkin, tetapi prognosis jelek
dan tidak secara langsung dikorelasikan dengan jumlah limfosit CD4+. Reaktivasi PPC
tampak semakin bertambah pada anak yang lebih tua yang mempunyai perjalanan klinis
infeksi HIV-1 yang lebih kronis. Profilaksis PPC

(trimetropim-sulfametoksasol tiga kali

seminggu ) dianjurkan pada penderita pediatri dengan angka limfosit-T CD4+ rendah
(<25% angka absolut ).
Infeksi oportunistik penentu AIDS yang relatif sering kedua adalah esofagitis
akibat Candida albicans. Esofagitis Candida nampak sebagai anoreksia atau disfagia,
dikomplikasi oleh kehilangan berat badan, dan diobati dengan amfoterisin B dan
ketokonazol.
Infeksi oportunistik penting lain melibatkan ssstem saraf sentral, sepertii
Toxoplasma gondii. Infeksi Mycobacterium avium complex biasanya menimbulkan
gejala saluran cerna, dan herpes virus menimbulkan komplikasi retina, paru, hati, dan
neurologist. M. tuberculosis dan malaria yang tersebar di seluruh dunia adalah patogen
oportunistik pada penderita AIDS. Neoplasma relatif tidak sering pada penderita
terinfeksi HIV-1 pediatri. (Behrman,dkk,2002: 1129 )
Manifestasi klinisnya antara lain :
1) Berat badan lahir rendah
2) Gagal tumbuh

3) Limfadenopati umum
4) Hepatosplenomegali
5) Sinusitis
6) Infeksi saluran pernafasan atas berulang
7) Parotitis
8) Diare kronik atau kambuhan
9) Infeksi bakteri dan virus kambuhan
10) Infeksi virus Epstein-Barr persisten
11) Sariawan Orofaring
12) Trombositopenia
13) Infeksi bakteri seperti meningitis
14) Pneumonia Interstisial kronik
Lima puluh persen anak-anak dengan infeksi HIV terkena sarafnya yang
memanifestasikan

dirinya

sebagai

ensefalopati

progresif,

perkembangan

yang

terhambat, atau hilangnya perkembangan motoris.


Remaja
Kebanyakan remaja yang terinfeksi mengalami periode penyakit yang
asimtomatik yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun. Hal ini diikuti tanda dan
gejala yang dimulai beberapa minggu sampai beberapa bulan sebelum tinbulnya infeksi
oportunistik dan keganasan.Tanda dan gejala tersebut antara lain:
1) Demam
2) Malaise
3) Keletihan
4) Keringat malam
5) Penurunan berat badan yang tidak nyata
6) Diare kronik atau kambuhan
7) Limfadenopati umum
8) Kandidiasis aral
9) Atralgia dan mialgia. ( Cecily L. Betz, 2002 : 211 )
Kategori Klinis HIV
1) Kategori N : Tidak bergejala
Anak-anak tanpa tanda atau gejala infeksi HIV
2) Kategori A : Gejala ringan
Anak-anak mengalami dua atau lebih gejala berikut ini :

Limfadenopati

Hepatomegali

Splenomegali

Dermatitis

Parotitis

Infeksi saluran pernapasan atas yang kambuhan/ persisten, sinusitis, atau otitis
media

3) Kategori B : Gejala sedang


Anak-anak dengan kondisi simtomatik karena infeksi HIV atau menunjukkan
kekurangan kekebalan karena infeksi HIV . Contoh dari kondisi-kondisi tersebut
adalah sebagai berikut :

Anemia, neutropenia, trombositopenia selama > 30 hari

Meningitis bakterial, pneumonia, atau sepsis

Sariawan persisten selama lebih dari 2 bulan pada anak di atas 6 bulan

Kardiomiopati

Infeksi sitomegalovirus dengan awitan sebelum berusia 1 bulan

Diare, kambuhan atau kronik

Hepatitis

Stomatitis herpes, kambuhan

Bronkitis, pneumonitis, atau esofagitis HSV dengan awitan sebelum berusia 1


bulan

Herpes zoster, dua atau lebih episode

Leimiosarkoma

Pneomonia interstisial limfoid atau kompleks hiperplasia limfoid pulmoner


(LIP/PLH)

Nefropati

Nokardiosis

Varisela zoster persisten

Demam persisten >1 bulan

Toksoplasmosis, awitan sebelum berusia 1 bulam

Varisela, diseminata ( cacar air berkomplikasi )

4) Kategori C : Gejala Hebat


Anak dengan kondisi berikut :

Infeksi balterial multipel atau kambuhan

Kandidiasis pada trakea, bronki, paru, atau esofagus

10

Koksidioidomikosis, intestinal kronik

Penyakit sitomegalovirus ( selain hati, limpa, nodus ) dimulai pada umur > 1
bulan.

Retinitis sitomegalovirus (dengan kehilangan penglihatan).

Ensefalopati HIV.

Ulkus herpes simpleks kronik ( durasi > 1 bulan ) atau pneumonitis atau
esofagitis, awitan saat berusia > 1 bulan.

Histoplasmosis, diseminata atau ekstrapulmoner.

Isosporiasis interstinal kronik (durasi > 1 bulan).

Sarkoma kaposi.

Limfoma, primer di otak.

Limfoma ( sarkoma burkitt atau sarkoa imunoblastik ).

Kompleks Mycobacterium avium atau Mycobacterium kansasii, diseminata atau


ekstrapulmoner.

Pneumonia Pneumocystis carinii.

Leukoensefalopati multifokal progresif.

Septikemia salmonella kambuhan.

Toksoplasmosis pada otak, awitan saat berumur > 1 bulan.

Wasting Syndrome karena HIV. ( Cecily L. Betz, 2002 : 213 )

6. PENDEKATAN DIAGNOSA
Pendekatan diagnosa HIV pada anak terutama bayi relatif lebih sukar dari pada orang
dewasa. Hal ini di samping karena tanda klinisnya yang tidak / kurang meyakinkan
akibat banyaknya penyakit lain yang harus dipikirkan sebagai diagnosa bandingnya,
juga karena pemeriksaan serologisnya yang sering membingungkan. Adanya antibodi
terhadap HIV (IgG) pada darah bayi dapat merupakan antibodi yang berasal dari
ibunya, karena antibodi ini dapat menembus plasenta, yang dapat menetap berada
dalam darah si anak sampai berumur 18 bulan. Kalau hal ini terjadi , maka memerlukan
pemeriksaan serial dan untuk mengevaluasi kebenaran terjadinya infeksi bagi si bayi.
Pada umumnya dikatakan, masih terdapatnya antibodi sampai lebih dari 15 bulan
menunjukkan adanya infeksi HIV pada bayi. Terdapatnya antibodi kelas IgM atau IgA,
mempunyai arti diagnostik yang lebih tinggi, dengan sensitifitas dan spesifitas sampai
98%.
Pada umumnya diagnosa infeksi HIV pada anak ditegakkan atas dasar :

11

1. Tergolong dalam kelompok resiko tinggi.


2. Adanya infeksi oportunistik dengan atau tanpa keganasan
3. Adanya tanda-tanda defisiensi imun, seperti menurunnya T4 (ratio T4:T8)
4. Tidak didapatkan adanya penyebab lain dari defisiensi imun.
Terbukti adanya HIV baik secara serologi maupun kultur.
Pembuktian adanya HIV dapat dengan mencari antibodinya (IgG, IgM maupun IgA)
yang dapat dikerjakan dengan metoda Elisa maupun Weste Blot. Dapat pula dengan
menentukan Antigen p-24 dengan metoda Elisa, ataupun DNA virus dengan
Polymerase Chain Reaction (PCR). Pemeriksaan ini tentunya mempunyai arti
diagnostik yang lebih tinggi. Metoda lain yang sedang dikembangkan adalah IVAP (In
vitro Antibody Production), dengan mencari sel-sel penghasil antibodi dari darah bayi.
WHO telah menetapkan kriteria diagnosa AIDS pada anak sebagai berikut :
Seorang anak (<12 tahun) dianggap menderita AIDS bila :
1. Lebih dari 18 bulan, menunjukkan tes HIV positif, dan sekurang-kurangnya
didapatkan 2 gejala mayor dengan 2 gejala minor. Gejala-gejala ini bukan
disebabkan oleh keadaan-keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
2. Kurang dari 18 bulan, ditemukan 2 gejala mayor dan 2 gejala minor dengan ibu
yang HIV positif. Gejala-gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan-keadaan lain
yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
Tabel 1 : Definisi Klinis HIV pada anak di bawah 12 tahun (menurut WHO).
Gejala Mayor :
a)
b)
c)
d)

Penurunan berat badan atau kegagalan pertumbuhan.


Diare kronik (lebih dari 1 bulan)
Demam yang berkepanjangan (lebih dari 1 bulan)
Infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang parah dan menetap

Gejala Minor :
a)
b)
c)
d)
e)
f)

Limfadenopati yang menyeluruh atau hepatosplenomegali


Kandidiasis mulut dan faring
Infeksi ringan yang berulang (otitis media, faringitis
Batuk kronik (lebih dari 1 bulan)
Dermatitis yang menyelurh
Ensefalitis

Metoda ini mempunyai spesifisitas yang tinggi, tetapi sensitivitas positive predictive
valuenya yang rendah. Pada umumnya digunakan hanya untuk melakukan
surveillance epidemiologi.
Untuk keperluan pencatatan dalam melaksanakan surveillance epidemiologi, CDC telah
membuat klasifikasi penderita AIDS pada anak sebagai berikut :

12

(lihat tabel 2)
Tabel 2. Klasifikasi infeksi HIV pada anak di bawah umur 18 tahun menurut Center for
Disease Control (CDC)
Klas
P-0
P1

P-2

Subklas / kategori
Infeksi yang tak dapat dipastikan (indeterminate infection)
Infeksi yang asimtomatik
Subklas A : Fungsi immun normal
Subklas B : Fungsi immun tak normal
Subklas C : Fungsi immun tidak diperiksa
Infeksi yang simtomatik
Subklas A : Hasil pemeriksaan tidak spesifik (2/lebih gejala menetap lebih 2
bulan)
Subklas B : Gejala neurologis yang progressip
Subklas C : Lymphoid interstitial pneumonitis
Subklas D : Penyakit infeksi sekunder
Kategori D-1
Infeksi sekunder yang spesifik, sebagaimana tercantum
dalam daftar definisi surveillance CDC untuk AIDS
Kategori D-2
Infeksi bakteri serius berulang
Kategori D-3
Penyakit infeksi sekunder yang lain
Subklas E : Kanker sekunder
Kategori E-1
Kanker sekunder sebagaimana tercantum dalam daftar
definisi surveillance CDC untuk AIDS
Kategori E-2
Kanker lain yang mungkin juga disebabkan karena
infeksi AIDS
Subklas F : Penyakit-penyakit lain yang mungkin juga disebabkan oleh infeksi
H HIV

Anak-anak yang menderita penyakit dengan gejala klinis yang tidak sesuai dengan
kriteria diagnosa infeksi HIV disebut AIDS Related Complex (ARC). Pada umumnya
gejalanya berupa : limfadenopati, peumonitis interstitialis, diare menahun, infeksi
berulang, kandidiasis mulutyang menetap, serta pembesaran hepar, namun belum ada
infeksi oportunistik atau keganasan.
Untuk memudahan dalam membuat diagnosa ARC, oleh CDC telah pula diberikan
kriterianya seperti tercantum pada tabel 3
Tabel 3. Kriteria AIDS Related Complex (ARC) pada anak (CDC)
Kriteria Mayor :
- Pneumonitis interstitialis
- Oral Thrush yang menetap / berulang
- Pembesaran kelenjar parotis
Kriteria Minor :
- Limfadenopati pada 2 tempat atau lebih (bilateral dihitung 1)
- Pembesaran hepar dan lien
- Diare menahun / berulang
- Kegagalan pertumbuhan (failure to thrive)
- Ensefalopati idiopatik progresip

13

Kriteria Laboratorium :
- Peningkatan IgA / IgM dalam serum
- Perbandingan T4/T8 terbalik
- IVAP rendah
Diagnosa ARC ditegakkan apabila ada 1 kriteria mayor, 1 kriteria minor. Serta 2 kriteria
laboratorium selama lebih dari 3 bulan.
7. UJI LABORATORIUM DAN DIAGNOSTIK
1) Elisa : Enzyme-linked imunosorbent assay (uji awal yang umum) mendeteksi
antibodi terhadap antigen HIV (umumnya dipakai untuk skrining HIV pada
individu yang berusia lebih dari 2 tahun).
2) Western blot (uji konfirmasi yang umum) mendeteksi adanya antibodi terhadap
beberapa protein spesifik HIV.
3) Kultur HIV standar emas untuk memastikan diagnosis pada bayi.
4) Reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction [PCR]) mendeteksi asam
deoksiribonukleat (DNA) HIV (uji langsung ini bermanfaat untuk mendiagnosis HIV
pada bayi dan anak.
5) Uji antigen HIV mendeteksi antigen HIV.
6) HIV, IgA, IgM mendeteksi antibodi HIV yang diproduksi bayi (secara
eksperimental dipakai untuk mendiagnosis HIV pada bayi).
Mendiagnosis infeksi HIV pada bayi dari ibu yang terinfeksi HIV tidak mudah.
Dengan menggunakan gabungan dari tes-tes di atas, diagnosis dapat ditetapkan pada
kebanyakan anak yang terinfeksi sebelum berusia 6 bulan.
1) Temuan laboratorium ini umumnya terdapat pada bayi dan anak-anak yang
terinfeksi HIV : Penurunan rasio CD4 terhadap CD8.
2) Limfopenia.
3) Anemia, trombositopenia.
4) Hipergammaglobulinemia (IgG, IgA, IgM).
5) Penurunan respon terhadap tes kulit (candida albican, tetanus).
6) Respon buruk terhadap vaksin yang didapat (dipteria, tetanus, morbili )
7) Haemophilus influenzae tipe B
8) Penurunan jumlah limfosit CD4+ absolut.
9) Penurunan persentase CD4+.
Bayi yang lahir dari ibu HIV positif yang berusia kurang dari 18 bulan dan yang
menunjukkan uji positif untuk sekurang-kurangnya 2 determinasi terpisah dari kultur

14

HIV, reaksi rantai polimerase HIV, atau antigen HIV, maka dia dapat dikatakan
terinfeksi HIV. Bayi yang lahir dari ibu HIV-positif, berusia kurang dari 18 bulan, dan
tidak positif terhadap ketiga uji tersebut dikatakan terpajan pada masa perinatal. Bayi
yang lahir dari ibu terinfeksi HIV yang ternyata antibodi HIV negatif dan tidak ada bukti
laboratorium lain yang menunjukkan bahwa ia terinfeksi HIV, maka ia dikatakan
Seroreverter.
( Cecily L. B, 2002, 212 )
8. PENATALAKSANAAN MEDIS
I.

Penalaksanaan perinatal terhadap bayi yang dilahirkan dari ibu yang terbukti
terinfeksi HIV.
Pembersihan bayi segera setelah lahir terhadap segala cairan yang berasal dari ibu
baik darah maupun cairan-cairan lain, sebaiknya segala tindakan terhadap si bayi
dikerjakan secara steril. Pertimbangan untuk tetap memberikan ASI harus dipikirkan
masak-masak, bahkan ada yang menganjurkan untuk penunjukan orang tua asuh.
Penting untuk senantiasa memonitor anti HIV, sejak si ibu hamil sampai melahirkan,
demikian juga sang bayi sampai berumur lebih dari 2 tahun. Ada pula yang
menganjurkan untuk melakukan terminasi kehamilan, bagi ibu yang jelas terkena
infeksi HIV, karena kemungkinan penularan pada bayinya sampai 50%.

II. Penatalaksanaan bayi/anak yang telah tertular


1. Terhadap Etiologi
Diberikan obat-obata antiretroviral
Tabel 4. Macam-macam antiretroviral
Golongan obat
Nucleoside-reserve Transcriptase

Nama generik
Azidotimidin/zidovudin
Didanosin
Stavudin
Zalbitabin
Lamivudin

Singkatan
AZT
DDI
D4T
DDC
3TC

Protease Inhibitor (PI)

Indinavir
Ritonavir
Saquinavir

IDV

Non-Nucleoside-Reserve
Transcriptase Inhibitor (NNRTI)

Nevirapin

15

Pada

pemberian

pemakaian/

pengobatan

kemajuan

sering

dengan
dipakai

antiretroviral
perhitungan

sebagai
jumlah

indikator

CD4

serta

menghitung beban viral (viral load).


Tabel 5. Terapi antiretroviral menurut tahapan klinis infeksi-HIV
Keadaan klinis penyakit
Sindroma Retroviral Akut (2-4 minggu
setelah terpajan)
Asimtomatik dengan beban virus
< 10.000/ml
Simtomatik / asimtomatik
Dengan beban virus > 10.000/ml
Berlanjutnya penyakit setelah terapi
dengan 2 NRTI

Pedoman terapi
PI + (1 atau 2 NRTI)
Didanosin
Kombinasi 2 NRTI
PI + (1 atau 2 NRTI)
Pindah ke terapi PI NRTI

Pada wanita hamil dengan infeksi HIV dapat diberi AZT 2 kali sehari peroral
sejak minggu ke 36 kehamilan sampai persalinan tanpa memandang jumlah
CD4, serta dianjurkan untuk tidak menyusui bayinya. Pada bayi yang baru lahir
bila ibunya HIV positif, dapat diobati dengan AZT sampai 6 minggu. Sebenarya
pada bayi / anak pengukuran viral-load penting karena rentang jumlah CD4
yang sangat bervariasi selama masa pertumbuhannya.
Sebagai profilaksis pasca pajanan dapat diberikan AZT sampai 4 minggu.
Zidovudin (Azidothymidine), mempunyai efek mempengaruhi proses replikasi
virus.
Dosis yang dianjurkan untuk anak-anak 80, 120, 160 mg/m 2, diberikan secara
intravena setiap 6 jam, selama 1-2 bulan, diikuti peroral selama

1-2 bulan

dengan dosis satu sampai satu setengah kali dosis intravena.


Efek samping obat berupa neutropenia dan anemia, biasanya segera membaik
dengan pengurangan dosis, atau penghentian pemberian obat. Dengan
pemberian obat ini penderita PCP 73% dapat bertahan sampai 44 minggu.
Pada umumnya adanya perbaikan ditandai dengan :
-

Adanya peningkatan berat badan

Pengecilan hepar dan lien

Penurunan immunoglobulin (IgG, IgM)

Peningkatan T4

Perbaikan klinis / radiologis

Peningkatan jumlah trombosit

2. Terhadap Infeksi Sekunder

16

2.1 Infeksi Protozoa


Yang

terpenting

terhadap

Penumocystis

carinii,

Toxoplasma

dan

Cryptosporidium.
2.1.1 Terhadap Pneucystis Carinii, penyebab pneumonia
(Pneumocystis Carinii Pneumonia/PCP)
a. Pentamidin (IV/IM) 4 mg/kg/hr, selama 2 minggu, dosis tunggal.
b. Efek samping berupa : neuse, diare, hipotensi, hipoglikemia dan
gangguan fungsi ginjal
c.

Cotrimoxazole (IV/oral), 20 mg/kg/hr, dibagi dalam 4 dosis. Hati-hati


bagi bayi kurang dari 3 bulan. Pada infeksi yang berat dapat
diberikan kortikosteroid.

2.1.2 Terhadap Toxoplasma


Dapat menyebabkan CNS syndrome akibat lesi serebral / space
occupying lesions
a. Pyrimethamine (oral), 12,5-25 mg/hari
b. Sulfadiazin (oral) 2-4 gr/hari
2.1.3 Terhadap Cryptosporidium
Dapat menyebabkan diare kronik. Obat kausal spiramycine, yang penting
pengobatan suportif dan simtomatik terutama rehidrasi.
2.2 Infeksi Jamur
Manifestasi klinik berupa kandidiasis, pada umumnya memberikan respon yang
baik dengan nystatin topikal amfoterisin B. 0,3 0,5 mg/kg/hari, ketoconazole 5
mg/kg/hr.
2.3 Infeksi Virus
Yang penting : Virus herpes, cytomegalovirus (CMV), papovavirus (penyebab
progressive multifocal leucoencephalopaty / PML)
a.

Acyclovir 7,5 15 mg/kg/hr (IV) dibagi dalam 3 dosis diberikan selama 7


hari.

b.

Gancyclovir 7,5 15 mg/kg/hr (IV) dibagi dalam 2 dosis baik untuk CM

Di samping obat-obat di atas, perlu dipertimbangkan pemberian :


1. Vaksinasi dengan vaksin influenza A dan influenza B, setiap tahun.
2. Pemberian amantidin untuk pencegahan infeksi virus influenza A.
3. Immunoglobulin Varicella-Zoster 125 u/kg (maksimum 625 u). Diberikan
dalam waktu 96 jam setelah kontak dengan penderita.

17

4. Immunoglobulin campak : 0,5 ml/kg (maksimum 15 ml) dalam waktu 6 hari


setelah kontak dengan penderita
2.4 Infeksi Bakteria
Yang penting adalah : Mycobacterium TBC, Mycobacterium avium intra
cellulare, streptococcus, staphylococcus, dll. Diatasi dengan pemberian
antibiotika

yang

spesifik.

Kadang-kadang

dipertimbangkan

pemberian

immunoglobulin.
3. Mengatasi Status Defisiensi Immun
Pada umumnya pemberian obat-obatan pada keadaan ini tidak banyak
memberikan keuntungan. Obat yang pernah dicoba :
a.

Biological respons modifier, misalnya alpha / gamma interferron, interleukin


2, thymic hormon, tranplantasi sumsum tulang, transplantasi timus.

b.

Immunomodulator misalnya isoprinosine.

4. Mengatasi Neoplasma
Neoplamsa yang terpenting adalah sarkoma kaposi. Kalau masih bersifat lokal,
diatasi dengan eksisi dan radio terapi, kalau sudah lanjut, hanya radioterapi,
dikombinasi dengan kemoterapi / interferron.
5. Pemberian Vaksinasi
Pada penelitian ternyata, bahwa anak yang terkena infeksi HIV, masih
mempunyai kemampuan immunitas terhadap vaksinasi yang baik sampai
berumur 1-2 tahun. Kemampuan ini menurun setelah berusia di atas 2 tahun,
bahkan ada yang mengatakan menghilang pada umur 4 tahun. Karenanya
vaksinasi rutin sesuai dengan Program Pengembangan Immunisasi yang ada
di Indonesia dapat tetap diberikan, dengan pertimbangan yang lebih terhadap
pemberian vaksin hidup, terutama BCG dan Polio.
Tabel 2 Penetapan kategori imun berdasarkan usia dan jumlah CD4
Kelompok Usia :
Jumlah CD4 dan Persentase
Kategori Imun
0 11 bulan
1 5 tahun
6 12 tahun
1) Tidak ada tanda>1500
>1000
>500
tanda supresi
>25%
>25%
>25%
2) Tanda-tanda
750-1499
500-999
200-499
supresi sedang
15-25%
15-25%
15-25%
3) Tanda
supresi
<750
<500
<200
hebat
<15%
<15%
<15%

18

9. PENCEGAHAN
Pemberian zidovudin selama kehamilan efektif dalam menurunkan resiko infeksi
janin dari wanita hamil yang terinfeksi HIV-1 pada minggu ke 14-34 kehamilan yang
belum mendapat obat ini karena memiliki limfosit CD4 yang jumlahnya lebih dari 200
sel/mmtanpa gejala klinis AIDS. Ibu mendapat terapi zidovudin oral ( 100 mg lima kali
sehari ) selama sisa masa kehamilan.
Saat persalinan obat diberikan secara intravena ; dosis awal 2 mg/kg diberikan
selama 1 jam dan disertai dengan infus sebanyak 1 mg/kg/jam hingga bersalin.
Bayi baru lahir mendapat terapi antivirus selama 6 minggu ( sirup zidovudin
dosis 2 mg/kg setiap 6 jam ) mulai pada 8-12 jam pascalahir. Hal ini mengakibatkan
penurunan resiko relatif sebesar 67,5% .
( Behrman, dkk, 1999 : 653 )
10.

KONSEP ASKEP
11. PENGKAJIAN
1.1

Anamnese
1.1.1

Identitas
-

AIDS pada anak di bawah umur 13 tahun di Amerika, 13% merupakan akibat
kontaminasi dengan darah, 5% akibat pengobatan hemofilia, 80% tertular dari
orang tuanya.

Anak yang terinfeksi pada masa perinatal, rata-rata umur 5 17 bulan


terdiagnosa sebagai AIDS.

Terbanyak meninggal 1 tahun setelah dibuat diagnosis

Study perspektif di Afrika menunjukan angka kematian anak usia lebih dari 15
bulan lahir dari ibu HIV (+) sebesar 16,5% penyebab terbanyak diare akut/
kronik dan pnemonie berulang.

1.1.2

Keluhan Utama
-

Demam dan diare berkepanjangan

Takhipnea, batuk, sesak nafas dan hipoxia keadaan yang gawat

1.1.3

Riwayat Penyakit Sekarang


-

Berat badan dan tinggi badan yang tidak naik

Diare lebih dari 1 bulan

Demam yang berkepanjangan ( lebih dari 1 bulan )

Mulut dan faring dijumpai bercak-bercak putih

19

Limphadenophati yang menyeluruh

Infeksi berulang (otitis media, pharingitis)

Batuk yang menetap (lebih dari 1 bulan)

Dermatitis yang menyeluruh

1.1.4

Riwayat Penyakit Dahulu


-

Riwayat pemberian tranfusi antara tahun 1978 - 1985

1.1.5

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


-

Orang tua yang terinfeksi HIV

Penyalahgunaan zat

1.1.6

Riwayat Kehamilan dan Persalinan


-

Ibu selama hamil terinfeksi HIV 50% tertular untuk anaknya

Penularan dapat terjadi pada minggu ke 9 20 dari kehamilan

Penularan pada proses melahirkan, terjadi kontak darah ibu dan bayi

Penularan setelah lahir dapat terjadi melalui air susu ibu.

1.1.7

Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan


Kegagalan pertumbuhan (failure to thrive)

1.1.8

Riwayat Makanan
Anoreksia, mual, muntah

1.1.9

Riwayat Imunisasi
Jadwal immunisasi bayi dan anak dengan infeksi HIV
UMUR
2 bulan
4 bulan
6 bulan
12 bulan
15 bulan
18 bulan
24 bulan
4 6 tahun
14 16 Tahun

VAKSIN
DPT, Polio, Hepatitis B
DPT, Polio, Hepatitis B
DPT, Polio, Hepatitis B
Tes Tuberculin
MMR, Hepatitis
DPT, Polio, MMR
Vaksin Pnemokokkus
DPT, Polio, MMR
DT, Campak

Immunisasi BCG tidak boleh diberikan kuman hidup

Immunisasi polio harus diberikann inactived poli vaccine, bukan tipe live
attenuated polio vaccine virus mati bukan virus hidup

1.2

Immunisasi dengan vaksin HIV diberikan setelah ditemukan HIV (+)


Pemeriksaan

1.2.1

Sistem Penginderaan :

20

Pada Mata :
-

Cotton wool spot (bercak katun wol) pada retina, sytomegalovirus


retinitis dan toxoplasma choroiditis, perivasculitis pada retina.

Infeksi pada tepi kelompak mata (blefaritis) : mata merah, perih,


gatal, berair, banyak sekret serta berkerak.

Lesi pada retina dengan gambaran bercak / eksudat kekuningan,


tunggal / multiple, pada satu / kedua mata toxoplasma gondii

Pada Mulut : Oral thrush akibat jamur, stomatitis gangrenesa,


periodontitis, sarkoma kaposi pada mulut dimulai sebagai bercak
merah datar, kemudian menjadi biru, sering pada palatum.

1.2.2

Pada telinga : otitis media, nyeri, kehilangan pendengaran.

Sistem Pernafasan : Batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak nafas,
tachipnea, hipoxia, nyeri dada, nafas pendek waktu istirahat, gagal nafas.

1.2.3

Sistem pencernaan : BB menurun, anoreksia, nyeri menelan, kesulitan


menelan, bercak putih kekuningan pada mukosa oral, faringitis, kandidiasis
esofagus, kandidiasis mulut, selaput lendir kering, pembesaran hati, mual,
muntah, kolitis akibat diare kronik pembesaran limpha.

1.2.4

Sistem Kardiovaskuler.

Suhu tubuh meningkat, nadi cepat, tekanan darah meningkat.

Gejala congestive heart failure sekunder akibat kardiomiopati karena


HIV.

1.2.5

Sistem Integumen :

Varicela : Lesi sangat luas vesikula yang besar, hemorragie menjadi


nekrosis timbul ulsera.

1.2.6

1.2.7

Herpes zoster : vesikula menggerombol, nyeri, panas, serta malaise.

Eczematoid skin rash, pyodermia, scabies

Pyodermia gangrenosum dan scabies sering dijumpai.

Sistem Perkemihan

Air seni kurang, anuria

Proteinurea

Sistem

Endokrin

Pembesaran

kelenjar

parotis,

limphadenophati,

pembesaran kelenjar yang menyeluruh


1.2.8

Sistem Neurologi

Sakit kepala, somnolen, sukar konsentrasi, perubahan perilaku.

Nyeri otot, kejang-kejang, ensefalophati, gangguan psikomotor.

21

1.2.9

Penurunan kesadaran, delirium.

Serangan CNS : meningitis.

Keterlambatan perkembangan .

Sistem Muskuloskeletal : nyeri otot, nyeri persendian, letih, gangguan


gerak (ataksia)

1.2.10 Psikososial

1.3

Orang tua merasa bersalah.

Orang tua merasa malu.

Menarik diri dari lingkungan .

Pemeriksaan Penunjang
1.3.1 Pemeriksaan Laboratorium :

Darah :
-

Leukosit dan hitung jenis darah putih ............. neutropenia (neutrofil


< 1000 / mm3)

Hitung trombosit ............ trombositopenia (trombosit < 100.000 /


mm3)

Hb dan konsentrasi Hb ............ Anemia (Hb < 8 g/dl)

Limfopenia CD4+ (limfosit 200 / mm3)

LFT

RFT

Pemeriksaan lain : urinalisis (protein uria), kultur urine,

Tes tuberculin (TB + indurasi 5 mm)

1.3.2 Tes Antibodi Anti-HIV Tes Esali


1.3.3 Tes Western Blot (WB).
1.3.4 Tes PCR (Polymerase Chain Reaction)

Menemukan beberapa macam gen HIV yang bersenyawa di dalam DNA


sel yang terinfeksi.

Mengetahui apakah bayi yang lahir dari ibu dengan HIV(+).

1.3.5 Kardiomegali pada foto rontgen.


1.3.6 EKG terlihat hipertrofi ventrikel dan kelainan gelombang T.
1.3.7 Pungsi Lumbal.
1.3.8 Bronkoskopi ( untuk mendeteksi adanya PPC ).

22

12. DIAGNOSA KEPERAWATAN


2.1

Resiko terjadi infeksi sehubungan dengan penurunan daya tahan tubuh.

2.2

Resiko terjadi infeksi (transmisi) sehubungan dengan virus yang menular.

2.3

Gangguan kebutuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan) sehubungan dengan nyeri,


anoreksia, diare.

2.4

Gangguan pertukaran gas sehubungan dengan infeksi oportunistik saluran dari


pernafasan, penurunan tidak volume dampak dari pengobatan, bakteri, pnemoni,
anemia.

2.5

Kurangnya volume cairan tubuh sehubungan dengan diare dampak dari infeksi
oportunistik saluran pencernaan.

2.6

Gangguan integritas kulit sehubungan dengan diare.

2.7

Perubahan / gangguan mukosa membran mulut sehubungan dengan lesi


sekunder membran mukosa dampak dari jamur dan infeksi herpes / radang
mukosa dampak dari pengobatan dan hygiene oral yang tidak adekuat.

2.8

Hipertermi sehubungan dengan Infeksi HIV, infeksi oportunistik, pengobatan.

2.9

Gangguan tumbuh kembang sehubungan dengan gangguan neurologis.

2.10 Ketidakefektifan koping keluarga sehubungan dengan penyakit menahun dan


progresif.
2.11 Kurang pengetahuan sehubungan dengan perawatan anak yang kompleks di
rumah.
13. INTERVENSI
3.1 Prioritas Keperawatan.
1) Mencegah atau meminimalkan infeksi.
2) Memaksimalkan masukan nutrisi.
3) Meningkatkan kedekatan, pertumbuhan, & perkembangan.
4) Memberikan informasi pada orang tua tentang proses penyakit , prognosis &
kebutuhan tindakan. ( Doenges, 2001 : 723 )
3.2 Tujuan Pulang
1) Bebas dari infeksi oportunistik / nasokomial.
2) Meningkatkan berat badan dengan sesuai.
3) Melakukan ketrampilan khusus sesuai kelompok usia dalam lingkup / tingkat
perkembangan yang ada.
4) Orang tua / pemberi asuhan memahami kondisi / prognosis & kebutuhan
tindakan. ( Doenges, 2001 : 724 )

23

3.3 Diagnosa 1
Resiko terjadi infeksi sehubungan dengan penurunan daya tahan tubuh.
Tujuan : Anak bebas dari tanda dan gejala infeksi.
Kriteria Hasil :

Tanda-tanda vital dalam batas normal.

Badan tampak lebih kuat / berenergi.

Tidak ada tanda-tanda kemerahan pada tubuh.

Anak tidak terserang batuk dan rhinorhea.

Jumlah sel darah putih dan hitung jenis dalam batas normal.

Kulit tidak abrasi / rash

Intervensi dan Rasional :


1. Kaji tanda-tanda infeksi ( demam, peningkatan nadi, peningkatan RR,
kelemahan tubuh / letargi ).
R.I Deteksi secara dini menurunkan resiko infeksi nosokomial / infeksi lain.
2. Monitor tanda-tanda vital tiap 4 jam.
R.II Adanya perubahan dari tanda vital merupakan indikator terjadinya infeksi.
3. Berikan antibiotik, anti viral, anti jamur sesuai advis dokter.
R.III

Membunuh kuman penyebab.

4. Berikan Intra Venus Gamma Globulin sesuai advis dokter.


R.IV

Memperkecil resiko kambuh.

5. Gunakan teknik aseptik dengan prosedur yang tepat.


R.V Menurunkan resiko kolonisasi bakteri dan memutus rantai penularan dari
klien lain / lingkungan ke anak atau sebaliknya.
6. Kaji batuk, hidung tersumbat, pernafasan cepat dan suara nafas tambahan tiap
8 jam.
R.VI

Mendeteksi secara dini infeksi saluran pernafasan.

7. Pertahankan higiene pulmonar yang adekuat dengan cara :

Tiup balon untuk fungsi paru.

Suction mulut jika perlu.

Jika anak mampu anjurkan untuk bermain secara aktif.

R.VII

Aktifitas dapat membantu dalam penyesuaian penggunaan oksigen

serta memperkuat otot-otot pernafasan.


8. Monitor SDP dan hitung jenis setiap hari.
R.VIII Untuk memonitor terjadinya neutropenia.
9. Kaji kulit setiap hari.

24

R.IX

Memonitor adanya rash, lesi, drainage.

10. Jaga kulit tetap bersih, kering dan kelembaban baik.


R.X Perlindungan terhadap kulit dan membersihkan kulit secara teratur dapat
mengangkat bahan-bahan penyebab iritasi dan melindungi kulit dari
kerusakan yang lebih parah.
11. Ajarkan dan jelaskan pada keluarga dan pengunjung tentang pencegahan
secara umum (universal).
R.XI

Kejelasan

mengenai

pencegahan

akan

menyiapkan

keluarga

pengunjung turut serta memutuskan rantai penularan HIV/AIDS.


12. Instruksikan pada seluruh pengunjung untuk cuci tangan sebelum dan sesudah
memasuki ruangan pasien.
R.XII

Dengan mencuci tangan yang benar akan memutus rantai penularan.

13. Cuci tangan sebelum dan sesudah merawat pasien.


R.XIII Untuk mencegah kontaminasi silang dengan klien lain.
14. Gunakan sarung tangan ketika kontak dengan darah / cairan tubuh, jaringan,
kulit dan atau permukaan tubuh yang terkontaminasi, untuk antisipasi gunakan
baju pelindung, untuk menghindari percikan darah gunakan masker dan
pelindung mata.
R.XIV Proteksi diri terhadap cairan tubuh.
15. Tempatkan jarum suntik sesegera mungkin dalam tempat yang kedap air dan
tidak mudah tembus jarum.
R.XV Proteksi diri terhadap perlukaan.
16. Kontak personal dengan anak tanpa menggunakan sarung tangan, masker,
baju pelindung ketika melakukan kontak bicara mengukur tanda vital dan
menyuapi.
R.XVI Mengurangi rasa terisolir secara fisik dan menciptakan suatu kontak
sosial yang positif.
3.4 Diagnosa 2
Resiko terjadi infeksi (transmisi) sehubungan dengan virus yang menular.
Tujuan : Mencegah terjadinya infeksi (transmisi).
Kriteria Hasil : Anak bebas dari infeksi / komplikasi.
Intervensi dan Rasional :
1. Gunakan isolasi ketat sesuai protokol, pencegahan penyakit menular.
R.XVII Isolasi ketat dapat menghambat mata rantai penyebaran infeksi.
2. Perlindungan ketat dengan prosedur cuci tangan.
R.XVIIIDengan mencuci tangan yang benar akan memutus rantai penularan.

25

3. Gunakan alat-alat yang disposible.


R.XIX Mencegah kontaminasi silang.
3.5 Diagnosa 3
Gangguan kebutuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan) sehubungan dengan nyeri,
anoreksia, diare.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil :

Berat badan meningkat.

Intake dan output seimbang.

Turgor kulit baik.

Anak mengkonsumsi diet berkalori tinggi.

Intervensi dan Rasional :


1. Timbang berat badan setiap hari.
R.XX Memonitor kurangnya BB dan efektifitas intervensi nutrisi yang
diberikan.
2. Monitor intake dan output tiap 8 jam dan turgor kulit.
R.XXI Memonitor intake kalori dan insufisiensi kualitas konsumsi makanan.
3. Berikan makanan tinggi kalori tinggi protein.
R.XXII Dengan TKTP akan meningkatkan tumbuh kembang secara adekuat.
4. Rencanakan makanan enteral atau parenteral.
R.XXIIIBila intake nutrisi oral inadekuat.
3.6 Diagnosa 4
Gangguan pertukaran gas sehubungan dengan infeksi oportunistik saluran dari
pernafasan, bakteri pnemonia.
Tujuan : Pertukaran gas normal.
Kriteria Hasil :

Respirasi normal dengan ciri frekuensi, irama dan kedalaman normal.

Tidak ada PCH (pernafasan cuping hidung), dengkuran nafas, retraksi.

Suara nafas bersih pada semua lapisan paru.

Saturasi O2 dan BGA normal.

Tidak sianosis.

Tidak takikardi atau takipnea.

Tidak ada perubahan pada status mental.

Klien mampu batuk secara efektif.

Intervensi dan Rasional :

26

1. Kaji fungsi respirasi dengan mengkaji tipe RR, PCH, retraksi, warna kulit dan
warna kuku.
R.XXIV

Peningkatan frekuensi nafas, adanya retraksi merupakan tanda

adanya konsolidasi dari paru. Sianosis merupakan indikasi adanya


penurunan kadar oksigen dalam darah.
2. Monitor BGA.
R.XXV Mengukur asam basa darah arteri, mendeteksi secara dini terjadinya
hipoksemia.
3. Kaji tanda-tanda gangguan pertukaran gas ( sianosis, takikardia, takipnea,
kecemasan / gelisah, iritabilitas, perubahan status mental ).
R.XXVI

Untuk

mendeteksi

gangguan

secara

dini

dapat

segera

dilakukan tindakan.
4. Atur posisi klien agar ventilasi paru maksimal dan efektif (misal : posisi semi
fowler)
R.XXVII

Diafragma lebih rendah dapat meningkatkan ekspansi dada.

5. Berikan O2 sesuai keperluan.


R.XXVIII

Memaksimalkan transport oksigen dalam jaringan.

6. Tingkatkan intake jaringan.


R.XXIX

Hidrasi

membantu

menurunkan

viskositas

sekret

dan

mempermudah pengeluaran.
7. Anjurkan anak batuk secara efektif, chest fisioterapi nafas.
R.XXX Batuk merupakan mekanisme alamiah untuk mempertahankan bersihan
jalan

nafas.

Postural

drainge

dan

perkusi

merupakan

tindakan

pembersihan yang penting untuk mengeluarkan sekret dan memperbaiki


ventilasi.
8. Suction sekret jika perlu.
R.XXXI

Bila mekanisme pembersihan jalan nafas (batuk) tidak efektif,

dilakukan suction.
9. Gunakan aktifitas yang tidak terlalu banyak menggunakan energi selama
periode istirahat.
R.XXXII

Pemeliharaan

keseimbangan

antara

kebutuhan

dengan

keadaan / kondisi klien mempercepat proses penyembuhan merangsang


mekanisme koping emosional yang positif.
3.7 Diagnosa 5
Kurangnya volume cairan tubuh sehubungan dengan diare dampak dari infeksi
oportunistik saluran pencernaan atau reaksi dari pengobatan.

27

Tujuan : Hidrasi baik.


Kriteria Hasil :

Intake dan output seimbang.

Kadar elektrolit tubuh dalam batas normal.

Penekanan daerah perifer kembali dalam waktu kurang dari 3 detik.

Pengeluaran urine minimal perjam 1-2 cc/kg/BB.

Intervensi dan Rasional :


1. Kolaborasi pemberian cairan iv sesuai keperluan.
R.XXXIII

Menggantikan kehilangan cairan akibat diare.

2. Berikan cairan sesuai indikasi / toleransi.


R.XXXIV

Mempertahankan status hidrasi pada keadaan diare.

3. Ukur intake dan output termasuk urine, tinja dan emisi.


R.XXXV

Deteksi keseimbangan cairan dalam tubuh.

4. Monitor kadar elektrolit dalam tubuh.


R.XXXVI

Mempertahankan kadar elektrolit dalam batas normal.

5. Kaji tanda vital, waktu penekanan daerah perifer, turgor kulit, mukosa
membran, ubun-ubun tiap 4 jam.
R.XXXVII

Kehilangan cairan yang aktif secara terus menerus akan

mempengaruhi tanda vital dalam mempertahankan aktivitasnya.


6. Monitor urine tipa 6-8 jam/ sesuai keperluan.
R.XXXVIII

Pemekatan urine merupakan respon terhadap kurangnya air.

3.8 Diagnosa 6
Gangguan integritas kulit sehubungan dengan diare.
Tujuan : Tidak terjadi gangguan integritas kulit.
Kriteria Hasil :

Warna kemerahan memudar pada daerah yang teriritasi dan menunjukkan


tanda-tanda penyembuhan.

Kulit utuh, bersih dan kering.

Intervensi dan Rasional :


1. Ganti popok / celana anak bila basah.
R.XXXIX

Kondisi basah merupakan area kontaminasi yang baik sebagai

media pertumbuhan organisme pathogenik.


2. Bersihkan pantat dan keringkan setiap kali BAB.
R.XL

Mencegah iritasi pada kulit.

3. Gunakan salep / lotion.

28

R.XLI Untuk melindungi kulit dari iritasi.


3.9 Diagnosa 7
Perubahan / gangguan mukosa membran mulut sehubungan dengan lesi membran
mukosa dampak dari jamur dan infeksi herpes / radang mukosa dampak dari
pengobatan dan higiene oral yang tidak adekuat.
Tujuan : Tidak terjadi gangguan mukosa mulut.
Kriteria Hasil :

Mukosa mulut lembab.

Tidak ada lesi.

Kebersihan mulut cukup.

Anak / orang tua mampu mendemonstrasikan teknik kebersihan mulut secara


fektif.

Intervensi dan Rasional :


1. Kaji membran mukosa mulut.
R.XLII Candidiasis oral, herpes, stomatitis, sarkoma kaposis merupakan
penyakit oportunistik yang biasanya mempengaruhi membran mukosa.
2. Berikan pengobatan sesuai advis dokter.
R.XLIII Membunuh kuman penyebab.
3. Perawatan mulut tiap 2 jam.
R.XLIVBibir yang kering dan jaringan

yang teriritasi menjadi media

perkembangbiakan yang baik bagi bakteri dan jamur, kebersihan mulut


yang dilakukan secara teratur dapat mengubah pH mulut dan menghambat
pertumbuhan jamur.
4. Gunakan sikat gigi yang lembut untuk membersihkan gigi, gusi dan lidah.
R.XLV Mencegah pengiritasian mukosa.

5. Oleskan normal saline tiap 4 jam dan sesudah membersihkan mulut.


R.XLVI Merupakan cara yang efisien untuk menghangatkan membran mukosa
oral yang mengalami inflamasi.
6. Kolaborasi pemberian profilaksis (ketanozole, fluconazole) selama pengobatan.
R.XLVII

Sebagai anti jamur untuk mematikan kuman.

7. Gunakan antiseptik oral.


R.XLVIII

Untuk mencegah kuman patogen.

8. Check up gigi secara teratur .


R.XLIXMencegah kerusakan gigi / caries dental.

29

3.10 Diagnosa 8
Hipertermia sehubungan dengan infeksi HIV, infeksi oportunistik pengobatan.
Tujuan : Anak menunjukkan temperatur normal.
Kriteria Hasil :

Suhu tubuh 36oC 37oC.

Ekspresi anak nyaman.

Kulit tidak panas, berkeringat.

Intervensi dan Rasional :


1. Ukur tanda vital terutama temperatur tiap 2 4 jam selama masa febris (>
38oC).
R.L Adanya peningkatan suhu yang terlalu lama meningkatkan metabolisme
dan kehilangan cairan melalui penguapan serta menentukan tindakan
penanganannya.
2. Gunakan antipiretik sesuai keperluan.
R.LI

Membantu menurunkan panas dari pusat pengatur suhu tubuh di

hipotalamus anterior.
3. Beri kompres hangat, beri kipas angin.
R.LII

Melancarkan

aliran

darah,

membantu

menurunkan

panas

dan

memberikan rasa nyaman klien.


4. Ganti linen dan baju selama masa diaforesis.
R.LIII Membantu penguapan panas dengan lebih mudah.
3.11 Diagnosa 9
Gangguan tumbuh kembang sehubungan dengan gangguan neurologis.
Tujuan : Pertumbuhan perkembangan sesuai dengan usia.
Kriteria Hasil :

Aktifitas perkembangan anak sesuai dengan usia dari segi personal / sosial,
bahasa, kognitif dan motorik.

Mampu berinteraksi sesuai dengan umur dan kondisi.

Intervensi dan Rasional :


1. Kaji tingkat perkembangan anak sesuai garis usia ( DDST ).
R.LIV Untuk mendeteksi tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak.
2. Kaji sistem neorologis.
R.LV

Untuk mendeteksi gangguan pada sistem neorologi.

3. Beri anak stimulasi berupa mainan dan terapi permainan.


R.LVI Rangsangan terhadap sensori mempengaruhi terhadap belajar anak
dan perkembangan anak.

30

4. Anjurkan orang tua untuk berinteraksi dengan anak dalam perawatan /


permainan
R.LVII Kehadiran orang tua akan memberi rasa aman pada anak dan
mencurahkan perhatian pada anak.
5. Kolaborasi dengan spesialis anak tentang tumbuh kembang.
R.LVIII Memberikan bantuan untuk menetapkan stimulasi / rangsangan sensori
atau merencanakan pemeriksaan lain secara dini.
6. Anjurkan menciptakan suasana layaknya di rumah .
R. Agar anak tidak takut dan merasa aman berada di lingungan asing.
7. Anjurkan (sesuai usia) tentang perawatan dir sehari-hari : makan, mandi dan
berpakaian
R.LIX Pemenuhan kebutuhan dasar akan memberikan keseimbangan dengan
stressor yang dialami anak.
3.12 Diagnosa 10
Ketidakefektifan koping keluarga sehubungan dengan penyakit menahun dan
kongestif.
Tujuan : Koping keluarga efektif.
Kriteria Hasil :

Orang tua mampu mengekspresikan secara verbal tentang rasa takut,


perasaan bersalah, rasa kehilangan.

Orang tua mampu mengenali kebutuhan dirinya, dan cara memecahkan


masalah serta menganalisa kekuatan diri dan support sosial.

Orang tua mampu mengambil keputusan yang tepat.

Orang tua turut serta dalam perawatan anak.

Intervensi dan Rasional :


1. Konseling keluarga
R.LX

Membantu keluarga menerima kondisi anak termasuk melewati fase

krisis sehingga dapat bersikapsupportif pada anak.


2. Observasi ekspresi orang tua tentang rasa takut, bersalah dan kehilangan.
R.LXI Ungkapan perasaan merupakan sarana menurunkan ketegangan yang
efektif.
3. Diskusikan dengan orang tua tentang kekuatan diri dan koping mekanisme
dengan mengindentifikasi support sosial.
R.LXII Stigma terhadap AIDS dan resiko kontak dengan penyakit AIDS
menimbulkan perubahan yang berarti pada koping keluarga.
4. Libatkan orang tua dalam perawatan anak.

31

R.LXIII Keterlibatan orang tua dapat meningkatkan kepercayaan anak pada


dokter dan perawat.
5. Monitor interaksi orang tua anak.
R.LXIVMengamati hubungan ayah dan ibu terhadap anak dengan HIV / AIDS.
6. Monitor tingkah laku orang tua.
R.LXV Mengamati kemampuan orang tua sebagai role model, ekspresi verbal
pada anak dengan HIV / AIDS.
3.13 Diagnosa 11
Kurang pengetahuan sehubungan perawatan anak yang kompleks di rumah.
Tujuan : Secara verbal keluarga dapat mengungkapkan atau menjelaskan proses
penyakit, penularan, pencegahan dan perawatan anak dengan HIV / AIDS.
Kriteria Hasil :

Orang tua mampu menjelaskan secara global tentang diagnosa, proses


penyakit dan kebutuhan home care.

Orang tua memahami daftar pengobatan, efek samping dan dosis obat.

Orang tua memahami tentang kebutuhan yang khusus bagi anaknya.

Orang tua mampu menjelaskan bagaimana HIV menular.

Intervensi dan Rasional :


1. Kaji pemahaman tentang diagnosa, proses penyakit dan kebutuhan home care.
R.LXVIPemahaman yang memadai, meningkatkan sikap kooperatif keluarga
dalam merawat anak.
2. Jelaskan daftar pengobatan, efek samping obat dan dosis.
R.LXVII

Kewaspadaan terhadap efek samping obat akan meningkatkan

kewaspadaan penggunaan dosis obat.


3. Jelaskan dan demonstrasikan cara perawatan khusus.
R.LXVIII

Memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus dalam merawat

anak dengan HIV/AIDS.


4. Jelaskan cara penularan HIV dan bagaimana cara pencegahannya.
R.LXIXMendapatkan informasi yang terarah akan merasa mampu dan percaya
diri untuk merawat anaknya.
5. Anjurkan cara hidup yang normal pada anak
R.LXX Mencegah terjadinya diskriminasi dan penolakan lingkungan pada anak
dengan HIV/AIDS.
14. IMPLEMENTASI

32

Pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan rencana yang telah ditetapkan untuk


masing-masing diagnosa. Prinsip pelaksanaan tindakan perawatan anak dengan
HIV/AIDS adalah :
1) Menjaga fungsi pernafasan.
2) Mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal.
3) Mencegah terjadinya infeksi nosokomial / infeksi lain / komplikasi.
4) Mencegah terjadi infeksi ( transmisi ).
5) Mempertahankan keseimbangan kebutuhan nutrisi dan cairan.
6) Memberikan informasi dan ketrampilan pada keluarga tentang proses penyakit,
penularan, pencegahan dan perawatan anak dengan HIV / AIDS.
7) Memperhatikan tumbuh kembang anak terhadap dampak dari penyakitnya dan
hospitalisasi.
8) Menjaga keutuhan kulit.
9) Mempertahankan kebersihan mulut.
15. EVALUASI
Cara mengevaluasi asuhan keperawatan terdiri dari 2 tahap :
1) Mengukur pencapaian tujuan.
2) Membandingkan data yang terkumpul dengan kriteria hasil / pencapaian yang telah
ditetapkan.
( RSUD Dr. Soetomo / FK UNAIR , 2000 )

33

DAFTAR PUSTAKA
Behrman, dkk (1999) Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15. Jakatra : EGC
Betz, Cecily L (2002) Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC
Doenges, Marilynn E (2001) Rencana Keperawatan Maternal / Bayi. Edisi 2. Jakarta : EGC
Rampengan & Laurentz (1997) Ilmu Penyakit Tropik pada Anak. Jakarta : EGC
Robbins, dkk (1998) Dasar Patologi Penyakit. Edisi 5. Jakarta : EGC
RSUD Dr. Soetomo / FK UNAIR (2000), Instalasi Rawat Inap Anak, Surabaya.
Syahlan, JH (1997) AIDS dan Penanggulangan. Jakarta : Studio Driya Media
Wartono, JH (1999) AIDS Dikenal Untuk Dihindari. Jakarta : Lembaga Pengembangan
Informasi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai