Anda di halaman 1dari 43

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam keseharian di zaman sekarang yang semakin padat dengan
aktifitas masing- masing manusia dan untuk mengejar perkembangan zaman,
manusia tidak akan lepas dari fungsi normal musculoskeletal terutama tulang
yang menjadi alat gerak utama bagi manusia, tulang membentuk rangka
penujang dan pelindung bagian tubuh dan tempat untuk melekatnya otot-otot
yang menggerakan kerangka tubuh, namun dari perbuatan manusia itu
sendiri, fungsi tulang dapat terganggu karena mengalami fraktur. Fraktur
biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari
tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap
(Mansjoer, 2011).

Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat


tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan
trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2009).
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2005 terdapat lebih
dari 7 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2
juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang
memiliki prevalensi cukup tinggi yakni insiden fraktur ekstremitas bawah
yakni sekitar 46,2% dari insiden kecelekaan yang terjadi. Fraktur merupakan
suatu keadaan dimana terjadi diistegritas tulang, penyebab terbanyak adalah

insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses degeneratif juga dapat
berpengaruh terhadap kejadian fraktur (Depkes RI, 2007).
Badan kesehatan dunia World Health Organitation (WHO) mencatat
di tahun (WHO) 2011 terdapat lebih dari 5,6 juta orang meninggal
dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1.3 juta orang mengalami
kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi
cukup tinggi yaitu insiden fraktur cruris sekitar 40% dari insiden kecelakaan
yang terjadi.
Memang di negara ini, kasus kecelakaan lalu-lintas sangat tinggi.
Kecelakaan lalu-lintas merupakan pembunuh nomor tiga di Indonesia,
setelah penyakit jantung dan stroke. Menurut data kepolisian Republik
Indonesia Tahun 2011, jumlah kecelakaan di jalan mencapai 13.399 kejadian,
dengan kematian mencapai 9.865 orang, 6.142 orang mengalami luka berat,
dan 8.694 mengalami luka ringan. Dengan data itu, rata-rata setiap hari,
terjadi 40 kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan 30 orang meninggal
dunia. Adapun di Sulawesi Selatan, jumlah kecelakaan juga cenderung
meningkat di mana pada tahun 2001 jumlah korban mencapai 1717 orang,
tahun 2002 sebanyak 2.277 orang, 2003 sebanyak 2.672 orang, tahun 2004
jumlah ini meningkat menjadi 3.977 orang, tahun 2005 dari Januari sampai
September jumlah korban mencapai 3.620 orang dengan korban meninggal
903 orang.
Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma atau aktivitas fisik di mana
terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur lebih sering terjadi
pada laki-laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan

sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang disebabkan


oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Jumlah korban kecelakaan lalu lintas di
Indonesia cenderung turun, yaitu 47.401 orang pada tahun 1989 menjadi
32.815 orang pada tahun 1995. Rasio jumlah korban cedera sebesar 16,80 per
10.000 penduduk dan rasio korban meninggal sebesar 5,63 per 100.000
penduduk. Angka kematian tertinggi berada di wilayah Kalimantan Timur
yaitu 11,07 per 100.000 penduduk dan terendah di Jawa Tengah, yaitu
sebesar 2,67 per 100.000 penduduk (Lukman, 2009).
Kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja merupakan suatu keadaan
yang tidak di inginkan yang terjadi pada semua usia dan secara mendadak.
Angka kejadian kecelakaan lalu lintas di NTB sepanjang tahun 2011
mencapai 217 kasus, dengan korban meninggal 28 orang, luka berat 40
orang, dan luka ringan sejumlah 480 orang ( Polda NTB, 2011).

Penanganan kasus fraktur harus dilakukan dengan cepat, tepat dan


benar, mengingat cenderung terjadi kasus disertai komplikasi biasanya
komplikasi yang muncul seperti terjadinya kekauan sendi, komplikasi
kulit, infeksi shock dan nekrosis veskuler, oleh karenanya peran perawat
memegang peranan sangat penting dalam upaya pencegahan kecacatan,
dengan dilakukan prinsip-prinsip penatalksanaan fraktur pada umumnya
yaitu recognition, reduksi, immobilisasi, dan rehabilitastion atau berbagai
tindakan keperawatan yang lainnya seperti adanya pemasangan gips
(Handerson, 2012).
Berbagai penyebab fraktur diantaranya cidera atau benturan, faktor
patologik,dan yang lainnya karena faktor beban. Selain itu fraktur akan

bertambah dengan adanya komplikasi yang berlanjut diantaranya syok,


sindrom emboli lemak, sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi, dan
avaskuler nekrosis. Komplikasi lain dalam waktu yang lama akan terjadi mal
union, delayed union, non union atau bahkan perdarahan. (Price, 2005)
Berbagai tindakan bisa dilakukan di antaranya rekognisi, reduksi, retensi, dan
rehabilitasi. Meskipun demikian masalah pasien fraktur tidak bisa berhenti
sampai itu saja dan akan berlanjut sampai tindakan setelah atau post operasi.

Pengelolaan

nyeri

fraktur,

bukan

saja

merupakan

upaya

mengurangi penderitaan klien, tetapi juga meningkatkan kualitas


hidupnya. Rasa nyeri bisa timbul hampir pada setiap area fraktur. Bila
tidak diatasi dapat menimbulkan efek yang membahayakan yang
akan mengganggu proses penyembuhan dan dapat meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas, untuk itu perlu penanganan yang lebih efektif
untuk meminimalkan nyeri yang dialami oleh pasien. Secara garis besar
ada

dua

manajemen

untuk

mengatasi

nyeri

yaitu manajemen

farmakologi dan manajemen non farmakologi. Salah satu cara untuk


menurunkan nyeri pada pasien fraktur secara non farmakologi adalah
diberikan kompres dingin pada area nyeri. Perawat harus yakin bahwa
tindakan mengatasi nyeri dengan kompres dingin dilakukan dengan cara
yang aman (Kemnkes RI, 2011).
Ditinjau dari banyaknya kasus fraktur yang terjadi, maka perlu
diterapkan Asuhan Keperawatan

yang baik dan benar

mempertahankan keadaan kesehatan klien yang optimal

untuk

Dengan demikian, maka peran perawat sebagai pendidik


memberikan pengetahuan tentang hal-hal yang dapat mencegah terjadinya
fraktur cruris, agar penderita dapat menerapkan pola hidup yang sehat.
Dari data tersebut memberikan gambaran bahwa penyakit Fraktur
Cruris perlu mendapat perhatian dan penanganan yang baik sehingga
peneliti merasa tertarik mengambil judul Asuhan Keperawatan Pada
Klien Dengan Gangguan Sistem Muskuluskeletal Pada Kasus Fraktur
Cruris di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat (RSUP
NTB).
1.2. Rumusan Masalah
Berlandaskan
merumuskan

dari

masalah

latar
yaitu

belakang

di

Bagaimana

atas,

maka

melakukan

penulis
Asuhan

Keperawatan Pada Anak Dengan Gangguan Sistem Muskuluskeletal


Pada Kasus Fraktur Cruris di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa
Tenggara Barat (RSUP NTB).
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan Proposal Karya Tulis Ilmiah ini sebagai berikut:
1.3.1. Tujuan Umum
Penulis mampu memberikan Asuhan Keperawatan Pada
Anak Dengan Gangguan Sistem Muskuluskeletal Pada Kasus
Fraktur Cruris melalui pendekatan proses keperawatan.

1.3.2. Tujuan Khusus


Tujuan khusus dilakukan penulisan ini agar penulis mampu :
1. Melakukan

pengkajian

keperawatan

pada

klien

dengan

gangguan sistem muskuluskeletal pada kasus fraktur cruris


secara tepat dan benar.
2. Merumuskan

diagnosa

keperawatan

pada

klien

dengan

gangguan sistem muskuluskeletal pada kasus fraktur cruris


secara tepat dan benar.
3. Menyusun rencana keperawatan pada klien dengan gangguan
sistem muskuluskeletal pada kasus fraktur cruris secara tepat
dan benar.
4. Melakukan tindakan keperawatan pada klien dengan gangguan
sistem muskuluskeletal pada kasus fraktur cruris secara tepat
dan benar.
5. Melakukan evaluasi atau menilai tingkat keberhasilan selama
melakukan tindakan keperawatan pada klien dengan gangguan
sistem muskuluskeletal pada kasus fraktur cruris secara tepat
dan benar.
6. Mendokumentasikan asuhan keperawatan yang telah dilakukan
pada klien dengan gangguan sistem muskuluskeletal pada kasus
fraktur cruris secara tepat dan benar.

1.4. Manfaat Penulisan


1.4.1. Ilmu Keperawatan
Menambah

khasanah

ilmu

melengkapi

konsep-konsep

keperawatan
intervensi

khususnya

untuk

keperawatan.

Dapat

digunakan sebagai masukan dalam rangka meningkatkan dan


mengembangkan ilmu keperawatan.
1.4.2. Instansi Terkait
Dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan klien terutama
untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
1.4.3. Bagi Masyarakat
Dapat melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan pengetahuan
keluarga tentang gejala awal akibat fraktur cruris sehingga mereka
tahu saat harus membawa anak ke Rumah Sakit.
1.4.4. Penulis
Memberikan manfaat melalui pengalaman nyata bagi penulis,
menambah pengetahuan penulis untuk mengaplikasikan ilmu yang
diperoleh dari pendidikan khusus pada kasus fraktur cruris.
1.4.5. Bagi pihak lain
Diharapkan dapat dijadikan refrensi (rujukan bagi penulis yang
akan melakukan penelitian lanjutan.

1.5. Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah sebagai
berikut :
1.

Wawancara
Mengumpulkan data dengan cara melakukan anamnesa
langsung kepada klien (Auto Anamnesa dan wawancara dengan
keluarga atau orang lain yang mengetahui informasi tentang klien
(Allo Anamnesa).

2.

Observasi
Observasi ini dilakukan dengan pemeriksaan fisik dan
pengamatan langsung pada keadaan umum klien, pemeriksaan fisik
dilakukan melalui semua pancaindera yaitu, inspeksi, palpasi,
perkusi, dan auskultasi.

3.

Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi dilakukan dengan pancaindera dengan cara
mempelajari status klien, dokumen perawatan medis dan dokumen
yang sah.

4.

Studi Kepustakaan
Dalam kepustakaan ini penulis menggunakan literature atau
sumber buku yang ada kaitannya dengan permasalahan yang telah di
bahas.

1.6. Sistematika Penulisan

Proposal Karya Tulis Ilmiah ini terdiri dari :


BAB 1 : Pendahuluan
Terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB 2 : Tinjauan Pustaka
1.
Konsep dasar fraktur cruris menguraikan pengertian,
anatomi fisiologi, etiologi, patofisiologi, patways, faktor
yang mempengaruhi fraktur cruris, tanda dan gejala,
2.

penatalaksanaan, komplikasi.
Konsep dasar asuhan keperawatan menguraikan tentang
pengkajian,

diagnosa

keperawatan,

rencana

keperawatan, tindakan keperawatan dan evaluasi.


Daftar Pustaka
Lampiran

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Konsep Dasar
2.1.1. Pengertian

asuhan

10

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau


tulang rawan umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Sjamsuhidajat,
2011 dalam Buku Penyakit Dalam).
Fraktur adalah putusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya (Brunner dan Suddarth, 2001)
Fraktur adalah putusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan (Mansjoer, 2009).
Patah tulang atau fraktur merupakan keretakan jaringan tulang
yang di sebabkan oleh adanya kekerasan yang timbul secara
mendadak (Kemala, 2011).
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur
terjadi jika tulang terkena stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smeltzer, 2001)
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan fraktur adalah
terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang
disebabkan oleh adanya kekerasan yang timbul secara mendadak

2.1.2. Anatomi dan Fisiologi Tulang Tibia


1. Anatomi
Gambar 2.1. Anatomi Tulang Tibia dan Fibula

11

(Sobotta, 2012).
Keterangan :
a.

Corpus

b.

Tuberositas
Tibialis

c.

Caput Fibula

d.

Kondilus

e.

Kondilus
Lateralis

f.

Maleolus
Medialis

g.

Maleolus

Medialis
Lateralis
Tibia atau tulang kering merupakan kerangka yang utama dari
tungkai bawah dan terletak medial dan fibula. Tibia adalah tulang
pipa dengan sebuah batang dan ujung.
Ujung atas: memperlihatkan adanya konditur medial dan
konditur lateral memperhatikan posterior sebuah faset untuk
persendian dengan kepala fibula pada sendi tibia fibular superior.

12

Tuberkel dan tibia ada disebelah depan, tepat di bawah konditurkonditur ini.
Batang: bagian ini membentuk krista tibi. Permukaan posterior
ditandai oleh garis soleal atau linea poplika, yaitu garis meninggi di
atas tulang yang kuat dan yang berjalan ke bawah dan medial.
Ujung bawah: masuk dalam formasi persendian mata kaki,
tulangnya sedikit melebar dan ke bawah setelah medial menjulang
menjadi makolni medial.
Permukaan lateral dari ujung bawah bersendi dengan fibula
dan persendian tibia fibular anterior.
Fibula atau tulang betis adalah tulang sebelah lateral tungkai
bawah. Tulang ini adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan
ujung-ujung atas berbentuk kepala dan bersendi dengan bagian
belakang luar tibia tetapi tidak masuk dalam formasi sendi lutut.
Batang ramping dan terbenam dalam otot tungkai dan banyak
memberi kaitan ujung bawah di sebelah bawah lebih memanjang
menjadi maleolus lateralis.
2.

Fisiologi Tulang Panjang


Tulang terdiri dari jaringan tulang dengan serabut-serabut
kolagen yang tersusun dalam lamella (lapisan) yang sejajar atau
sama lain dan melingkari konsentrasi. Saluran yang dinamakan
canalis haversi yang di dalamnya terdapat pembuluh darah, serabut
syaraf dan diisi oleh jaringan pengikat longgar, sel-sel tulang yang

13

dinamakan osteosit berada di antara lamella, serabut-serabut


kolagen selajur spiral melebihi sum-sum osteon.
Lapisan Tulang:
a.Periosteum
Yaitu: bagian luar dari jaringan tulang yang diselubungi oleh
jaringan pengikat pada fibrosa yang mengandung sedikit sel.
Bagian dalam periosteum ini memiliki potensi untuk membentuk
tulang dan sangat penting dalam proses penyembuhan tulang.
b. Endosteum
Yaitu: lapisan sel yang berbentuk gepeng yang membatasi
rongga sum-sum tulang dan melanjutkan diri ke seluruh ronggarongga dalam jaringan tulang yang berubah potensinya menjadi
osteogenik.
Sel-sel

yang

memegang

peranan

untuk

pembentukan

reabsorbsi tulang adalah osteoprogenitas, osteoblas, osteosit dan


osteoklas.
a. Sel Osteoprogenitas
Yaitu tulang yang bersifat osteogenik yang membelah diri dan
menghasilkan sel osteoblas untuk membentuk tulang.

b. Sel osteoblas

14

Yaitu merupakan sel yang bertanggung jawab atas pembentukkan


matriks tulang yang sedang tumbuh dan sel-sel ini juga aktif
mensintesis protein.
c. Sel Osteosit
Yaitu bagian yang merupakan kemampuan sel yang utama dalam
jaringan yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan
matriks tulang disekitarnya, menghasilkan alkali fosfat yang
diperlukan untuk melepas fosfat serta diperlukan dalam
pembentukan gram kalsium.
d. Sel Osteoklas
Yaitu sel tulang yang berperan dalam reabsorbsi jaringan tulang
yang mencakup pembersihan gram mineral dan matriks organik
yang kebanyakan mengandung kolagen.
2.1.3. Patofisiologi
Jika tulang mengalami fraktur, maka periosteum pembuluh dikorteks
morrow dan jaringan di sekitarnya rusak, terjadilah perdarahan dan
kerusakan di ujung tulang, maka terbentuklah haematum di kanal
medula, jaringan sekitar akan mengalami kematian. Nekrosis jaringan
ini merangsang kecenderungan untuk terjadi

peradangan yang

ditandai dengan vasodilatasi. Adapun pada patah tulang terbuka


(open fraktur) bila tulang dalam keadaan normal mendapatkan
kekerasan yang cukup kuat dapat mengalami patah tulang tersebut
menembus jaringan lunak yang berada di sekelilingnya dan

15

menembus kulit dari dalam maka terjadilah hubungan antara tulang


dengan dunia luar yang disebut dengan patah tulang terbuka.
(Kemala, 2011)
Hal tersebut bisa disebabkan karena:
1. Trauma
Trauma ada 2 (dua) macam:
a. Trauma langsung

: akibat kecelakaan lalu lintas

b. Trauma tidak langsung

: jatuh

posisi berdiri

dari ketinggian dengan

atau duduk, sehingga terjadi fraktur tulang

belakang.
2.

Spontan
Hal ini terjadi karena tarikan yang terlalu kuat, keras dan
mendadak.

3.

Patologis (karena suatu penyakit)


Misalnya karena ricket yang disebabkan karena kekurangan
vitamin D, kalsium, osteomalasia dan mungkin ada hubungannya
dengan hormon yang menyebabkan osteoporosis.

2.1.4.

Derajat Patah Tulang Dibagi Menjadi Tiga, yaitu:


1.

Derajat I

16

Bila terdapat hubungan dengan dunia luar disebut luka kecil, biasanya
di akibatkan oleh karena tusukan fragmen tulang dari dalam menembus
keluar.
2.

Derajat II
Lukanya lebih besar (>1 cm), luka disebabkan oleh benturan dari luar.

3.

Derajat III

Lukanya lebih luas dari derajat II, lebih ke atas jaringan lunak banyak
yang ikut rusak (otot, syaraf, pembuluh darah) (Carol, 2013).
2.1.5.

Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Fraktur, yaitu:


1.

Umur
Pada anak penyembuhannya lebih cepat, sedangkan pada lansia
penyembuhannya lebih lama.

2.

Keadaan umum
Keadaan umum sangat jelek, akan mempengaruhi penyembuhan.

3.

Infeksi
Sering terjadi pada open fraktur, hal ini sangat menghambat
penyembuhan dan fraktur.

4.

Faktor Immobilisasi
Bila dilaksanakan dengan baik akan lebih sempurna penyembuhannya.

5.

Faktor garis fraktur atau fragmen dari tulang


Bila fragmen yang oblique lebih cepat menyambung dibandingkan
dengan transversal. (Barabara, 2012)
Gambar 2.2. Pathways Fraktur Cruris
Trauma langsung atau tidak
langsung

17

Tindakan pembedahan
(pemasangan alat
osteosintesis)

Adanya luka
insisi

Terputusnya kontinuitas
jaringan

Deformitas
Krepitasi
Timbul pergerakan abnormal

Patah tulang (Fraktur)

Rusaknya periosteum
pembuluh darah

Perdarahan
Resiko
infeksi

Gangguan
integritas
kulit

Fraktur terbuka/tertutup

Gangguan
Mobilitas fisik

Penurunan aliran darah

Perangsangan pada
reseptor nyeri

Proses
Tranduksi

Haematum di canal
medula

Perfusi jaringan perifer


extremitas bagian bawah

Mengalami jaringan
mati
Nyeri
Merangsang terjadinya
proses peradangan

Gambar 2.1 Pathway Fraktur Cruris(Modifikasi Ayub, 2010, Barbara 2011 dan
Price 2009).

2.1.6. Tanda dan Gejala

18

Menurut Jullen (2013) Tanda dan gejala dari fraktur di bagi


dua,yaitu:
1.

Tanda-tanda pasti
a. Perubahan bentuk tulang (deformitas)
b. Timbul pergerakan abnormal (terjadi di tempat fraktur atau
sendi sumbu)
c. Adanya krepitasi
d. Pada patah tulang (open fraktur) tampak adanya luka/vulnus
sehingga fragmen tulang tampak jelas atau bisa hanya luka kecil
(akibat tusukan fragmen dari dalam)

2.

Tanda-tanda tidak pasti


a. Adanya pembengkakan lokal
b. Nyeri spontan, nyeri tekan, nyeri sumbu/gerak
c. Gangguan fungsi (fungsio laesa)

2.1.7. Penatalaksanaan Medik


Prinsip-prinsip tindakan fraktur umumnya ada 4 macam yaitu:
1.

Recognition
Adalah mengenali fraktur itu sendiri yaitu diagnosa yang ada
dengan

pemeriksaan

fisik

dan

penunjang

menentukan tanda-tanda pasti dan tidak pasti.

2.

Reduction (reposisi)

serta

dengan

19

Adalah usaha untuk mengurangi kecacatan yang akan terjadi


dengan cara memperbaiki ke posisi semula dari patah tulang
tersebut.
3.

Retention/Immobilisasi
Adalah suatu usaha untuk mempertahankan posisi tulang yang
telah

direposisi.

Di

samping

itu,

sangat

penting

untuk

mempercepat proses penyembuhan tulang. Retention ini dapat


dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
a. Non Operatif
Yaitu dengan cara pemasangan spalk, gips, traksi kulit.
b. Operatif
Retention dengan cara operatif diikuti dengan fixasi patah
tulang dengan pemasangan fixasi interna maupun fixasi externa
atau dengan kata lain pamasangan pent, plat, atau sekrup.
Imobilisasi dengan cara ini disebut osteosintesis.
Keuntungan fixasi kuat ini adalah latihan dan gerak dapat
mulai

segera

ostosintesis

dilakukan

setelah

pembedahan

karena

disebut stabil latihan.

Kerugiannya ialah bahwa pada umumnya alat osteosintesis


harus dikeluarkan setelah setengah atau sampai dua tahun dan
bahwa tempat fraktur tidak kuat setelah dikeluarkan alat
tersebut dibandingkan penyembuhan sekunder yang melalui
proses kalus. Pada umumnya fixasi externa lebih baik dari pada

20

fixasi interna, karena fixasi interna resiko infeksi lebih tinggi


dan bisa menyebabkan osteomielitis, sedangkan dengan
menggunakan fixasi externa perawatan luka akan lebih mudah
(Sjamsuhidajat, 2009).
4.

Rehabilitation
Adalah suatu cara untuk mengembalikan kemampuan klien untuk
melakukan aktivitas sehari-hari. Pengobatan yang dilakukan tidak
berarti banyak jika tidak diimbangi dengan latihan-latihan yang
dilakukan adalah latihan luar gerak sendi yang artinya suatu
latihan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kekakuan
(Kontraktur).

Adapun tujuan latihan di atas adalah:


a. Mempertahankan Fleksibilitas sendi sesuai luas gerak
sendinya.
b.

Mempertahankan dan memperbaiki kekuatan otot.

c. Mempercepat ambulasi dini.


Latihan dapat dilakukan secara pasif dan aktif. Cara
rehabilitasi pasif artinya latihan luas gerak sendi pada
penderita sepenuhnya membutuhkan bantuan tenaga dan
pelatih, sedangkan cara aktif adalah latihan yang dilakukan
dengan tenaga dan kekuatan penderita sendiri.

2.1.8. Proses Dan Tahapan Penyembuhan Fraktur/Patah Tulang:

21

Proses perbaikan fraktur bervariasi, tergantung jenis tulang yang


terkena dan jumlah gerakan di tempat fraktur. Penyembuhan tulang
dimulai dalam 5 (lima) tahap:
1. Kerusakan jaringan dan pembentukan haematun
Pembuluh darah robek dalam 24 jam mulai pembekuan darah dan
terjadi haematun di sekitar fraktur, setelah 24 jam suplai darah ke
ujung fraktur meningkat. Haematun fraktur dan tidak diabsorbsi
selama penyembuhan tetapi berubah dan berkembang menjadi
granulasi. Pada saat ini akan masuk juga fibulas dan osteoblas yang
berasal dari lapisan periosteum dan endosteum.
2. Radang dan Proliferasi seluler
Dalam waktu 8 jam setelah fraktur reaksi radang akut yang
disertai dengan poliferasi sel bawah periosterum dan di dalam saluran
medula yang tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan sel
yang menghubungkan tempat fraktur, haematun yang membeku
perlahan-lahan diabsorbsi di kapiler baru yang harus berkembang ke
daerah itu.
3. Pembentukan Kalus
Yaitu 6-10 hari fraktur jaringan granulasi berubah dan
membentuk kalus, sementara pembentukan kartilago dan matriks
tulang diawali dari jaringan halus yang lunak. Kalus ini bertambah
banyak dan meluas, menganyam masa tulang dan cartilago sehingga
diameter tulang melebihi normal.

22

4.

Osification
Kalus yang menetap/permanen menjadikan tulang kaku karena
adanya penumpukan garam-garam kalsium dan satu bersama ujungujung tulang proses osificasi ini mulai dari kalus bagian luar,
kemudian bagian dalam dan terakhir bagian tengah. Proses ini terjadi
selama 3-10 hari.

5.

Konsolidasi dan Remodelling


Pada waktu yang sama pembentukan tulang yang sebenarnya,
kalus dibentuk dari aktivitas osteoblast dan osteklast. Kelelahankelelahan tulang seperti ini dipahat dan diabsorbsi dari kalus, proses
pembentukan lagi ditentukan oleh beban tekanan dan otot dan
jaringan kalus, akhirnya akan diendapi oleh kalsium dan akan
terbentuk tulang yang menghubungkan kedua bagian yang fraktur.
(Kemala, 2011)

2.1.9. Macam-Macam Proses Penyembuhan Pada Tulang:


1.

Mal union, penyembuhan tulang yang


tidak pada reduction yang

2.

benar.
Delayed union, tulang menyambung tapi

menyambungnya lebih lama dari waktu yang normal, hal ini bisa
terjadi karena traksi yang salah.
3.

Non union, tulang yang tidak pernah bisa


menyambung sempurna dan harus di operasi dengan memberikan
tulang muda. (Jullen, 2011)

23

2.1.10. Komplikasi Pada Fraktur


Adapun komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi berupa:
1.

Shock
Shock ini dapat timbul akibat rasa nyeri yang sangat hebat
yang ditimbulkan oleh fraktur itu sendiri. Di samping itu, karena
fraktur juga bisa menyebabkan pendarahan yang hebat sehingga
bisa menyebabkan shock hipovolemik.

2.

Infeksi
Pada patah tulang terbuka sering terjadi infeksi karena
adanya luka yang menghubungkan dunia luar yang akan
merupakan pintu masuk kuman.

3.

Nekrosis vaskuler
Patah tulang dapat menganggu aliran darah ke salah satu
fragmen sehingga fragmen tersebut mati karena terjadi iskemia.

4.

Cedera Vaskuler dan Syaraf


Dapat terjadi akibat dari tindakan ujung patahan tulang yang
tajam yang menimbulkan iskemia ekstremitas dan gangguan
syaraf.

5.

Disease Atrophy dan disease osteoporosis


Bisa terjadi karena pada ekstremitas yang patah kurang
latihan gerak sendi atau karena ekstremitas itu tidak pernah/jarang
digerakkan atau dipakai dalam beraktivitas.

24

2.2.

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


Dalam memberikan Asuhan Keperawatan pada klien digunakan metode
proses Keperawatan yang merupakan suatu pendekatan sistematis untuk
mengenal dan memecahkan masalah-masalah kebutuhan, khususnya klien
yang dinamis sampai taraf maksimum.
Konsep pendekatan pemecahan masalah keperawatan menggunakan
proses keperawatan yaitu suatu metode yang sistematis untuk mengkaji
respon manusia terhadap masalah-masalah kesehatan dan membuat rencana
keperawatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut
(Allen, 2012).
2.2.1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan
merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari
berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan klien (Smeltzer, 2001). Tahap pengkajian merupakan dasar
utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan
kebutuhan individu. Oleh karena itu pengkajian yang akurat, lengkap,
sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat penting dalam
merumuskan suatu diagnosa keperawatan dan memberikan pelayanan
keperawatan sesuai dengan respon individu, sebagaimana yang telah
ditentukan dalam standar praktik keperaswatan dari ANA (American
Nursing Association) (Mansjoer, 2009).

25

Dalam pengkajian klien dengan patah tulang, yang perlu dikaji adalah:
1. Biodata klien dan penanggung jawab
Meliputi Nama, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa,
pendidikan, pekerjaan, alamat, tanggal dan jam masuk, diagnosa medis
dan nomor registrasi. Sedangkan identitas penanggung jawab yang
perlu dikaji adalah nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
alamat dan hubungannya dengan klien.
2. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering terjadi adalah nyeri bekas operasi atau pada
bagian yang mengalami patah tulang.
3. Riwayat penyakit sekarang
Berisikan keluhan-keluhan yang dirasakan oleh klien. Trauma fisik
adalah penyebab utama terjadinya patah tulang, trauma bisa karena
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja ataupun kecelakaan olahraga.
Trauma ini bisa menimbulkan Fraktur karena data trauma melebihi
elastisitas tulang sehingga terjadi kerusakan jaringan.
4. Riwayat penyakit terdahulu
Pada klien dapat terjadi fraktur karena sebelumnya ada riwayat
penyakit infeksi mengenai tulang yang disebut dengan fraktur patologi
dimana trauma yang kecil sudah menimbulkan fraktur.
5. Riwayat penyakit keluarga
Terjadi fraktur tidak dipengaruhi oleh penyakit keluarga akan tetapi
pada fraktur patologis dapat disebabkan karena adanya riwayat

26

penyakit infeksi misalnya pada TBC tulang yang disebabkan karena


kuman TBC. Sedangkan riwayat penyakit menurun, misalnya diabetes
akan mempengaruhi proses penyembuhan.
6. Riwayat bio-psiko-sosial-spiritual
Pada keluhan ini penulis menggunakan dasar yang dikemukakan oleh
Virginia Handerson, yaitu sebagai berikut:
Pada

pengkajian

riwayat

biologis

ini

penulis

menggunakan

pengkajian tentang pemenuhan kebutuhan untuk mempertahankan


hidup, antara lain:
a. Kebutuhan oksigen
Pada umumnya klien dengan patah tulang jarang mengalami
gangguan dalam bernapas, klien bernapas dengan normal.
b. Kebutuhan nutrisi
Pada klien dengan patah tulang jarang mengalami penurunan nafsu
makan secara berlebihan, begitu juga dalam hal minum tidak
mengalami keluhan.
c. Eliminasi
Klien patah tulang biasanya mengalami gangguan dalam buang air
besar (konstipasi) karena pengaruh immobilisasi lama dan adanya
pemesanan traksi atau fiksasi.
d. Gerak dan keseimbangan tubuh
Klien dengan patah tulang biasanya mengalami gangguan aktivitas
karena immobilisasi atau adanya nyeri yang hebat, sehingga dalam
bergerak klien mengalami keterbatasan.

27

e. Kebutuhan istirahat
Klien patah tulang biasanya sering terbangun saat tidur karena adanya
rasa nyeri dan respon emosional, tetapi hal ini terjadi bila nyeri yang
hebat.
f. Kebutuhan berpakaian
Klien dengan patah tulang tidak pernah mengalami gangguan dalam
kebutuhan berpakaian.
g. Mempertahankan suhu tubuh
Pertahanan suhu tubuh klien dengan patah tulang biasanya masih
dalam batas normal, akan tetapi bila terjadi infeksi akibat patah
tulang, maka akan mengalami peningkatan suhu tubuh.
h. Kebutuhan personal hygiene
Adanya ketidakmampuan merawat diri, namun biasanya dalam hal ini
pemenuhan kebutuhan personal hygiene dibantu oleh keluarga dan
perawat karena keterbatasan aktivitas.
i. Kebutuhan berkomunikasi
Klien patah tulang masih dapat berkomunikasi dengan orang
sekitarnya seperti biasa.
j. Kebutuhan rasa aman dan nyaman
Biasanya mengalami gangguan karena rasa nyeri yang hebat dan
akibat pergeseran fragmen tulang pada darah fraktur . Tingkat nyeri
dibagi menjadi 3 yaitu nyeri ringan (1-3), nyeri sedang (4-6) dan nyeri
berat (7-10). Adapun cara pengakajian nyeri dengan P, Q, R, S, dan T.

28

P (paliatif)

:yang dapat menimbulkan rangsangan nyeri.

Q (qualitas)

:kualitas nyeri itu sendiri.

R (regio)

:lokasi nyeri.

S (skala)

:tingkat nyeri, adapun skala nyeri itu bisa


menggunakn skala nyeri 0-5 dan 0-10

T (waktu)

:waktu terjadinya nyeri.

k. Kebutuhan bekerja
Karena keterbatasan aktivitas mengakibatkan klien dengan

patah

tulang tidak mampu bekerja secara maksimal.


l. Kebutuhan spiritual
Klien dengan patah tulang biasanya hanya mampu melakukan ibadah
sesuai dengan kemampuan bergeraknya dan hanya mampu berdoa.
m. Kebutuhan bermain dan rekreasi
Selama perawatan klien tidak dapat berekreasi.
n. Kebutuhan belajar
Kebutuhan belajar klien patah tulang tidak akan
mengalami gangguan.
7. Pemeriksaan fisik
Kesadaran :
1) Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
lingkungan.

29

2) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan


dengan sekitarnya, sikapnya acuh.
3) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
4) Somnolen

(Obtundasi,

Letargi),

yaitu

kesadaran

menurun,respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun


kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi
jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
5) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap,
tetapi ada respon terhadap nyeri.
6) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada
respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea
maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil
terhadap cahaya).
h.

Pemeriksaan fisik (Head to Toes)


1) Kepala dan rambut
a) Inspeksi : Untuk mengetahui warna, tekstur dan distribusi
rambut, apakah bentuk kepala simetris atau tidak, apakah
ada ketombean, kutu atau tidak, apakah rambut mudah
rontok atau tidak.
b) Palpasi : Untuk mengetahui ada atau tidak pembengkakan
pada kepala , ada atau tidak ada nyeri tekan.
2) Wajah

30

a) Inspeksi : Untuk mengetahui bentuk wajah klien simetris


atau tidak, gerakan otot wajah dan ekspresi wajah klien
pada saat melakukan pengkajian
b) Palpasi : Untuk mengetahui ada atau tidak odema pada
wajah
3) Mata
Inspeksi : Untuk mengetahui apakah ada sianosis atau tidak,
terdapat konjungtivitis atau tidak, kelopak mata bersih atau
tidak
4) Hidung
Inspeksi : Untuk mengetahui bentuk hidung apakah simetris
atau tidak, apakah terdapat skret atau polipnasi atau tidak dan
untuk mengetahui sejauh mana ketajaman penciuman klien.
5) Telinga
Inspeksi ; untuk mengetahui bentuk telinga simetris atau tidak,
apakah terdapat serumen atau tidak, apakah pendengaran kedua
telinga baik atau tidak.
6) Mulut
Inspeksi : Untuk mengetahui apakah ada kelainan pada mulut
dan gigi klien, bibir kering atau lembab, ada tidaknya caries
gigi.
7) Leher
a) Inspeksi ; Untuk mengetahui bentuk leher, apakah ada atau
tidak pembesaran kelenjar tiroid maupun vena jugularis
b) Palpasi : Untuk mengetahui ada atau tidak pembesaran
kelenjar tiroid maupun vena jugularis.
8) Dada

31

a) Inspeksi ; Untuk mengetahui bentuk dada simetris atau


tidak, apakah menggunakan oto bantu pernafasan atau
tidak.
b) Palpasi : Untuk mengetahui apakah ada atau tidak
pembengkakan di daerah dada, kelengkapan tulang iga,
apakah ada atau tidak nyeri tekan pada dinding dada,
apakah ada tarikan dinding dada.
c) Auskultasi ; Untuk mengetahui suara jantung dan nafas
klien( suara nafas tambahan) apakah ada kelainan atau
tidak.
d) Perkusi ; untuk mengetahui bunyi ketuk pada daerah dada
klien, apakah ada bunyi atau tidak.
9) Abdomen
a) Inspeksi ; Untuk melihat apakah ada striae atau tidak,
apakah turgor kulit klien baik atau tidak
b) Auskultasi ; Untuk mendengar apakah ada bising usus atau
tidak, apakah ada kelainan pada daerah abdomen, apakah
ada nyeri tekan.
c) Perkusi ; Untuk mengetahui apakah ada bunyi timpani pada
abdomen.
d) Palpasi ; Untuk mengetahui apakah terdapat nyeri tekan
abdomen atau kelainan lainnya pada saat dilakukan palpasi.
10) Ekstremitas bawah dan atas
a) Inspeksi; untuk melihat apakah ada odema atau tidak,
kekuatan otot dan capillary refill time dan apakah terdapat
infuse atau tidak.
b) Perkusi ; Untuk mengetahui bagaimana refleks patella.
11) Integument
a) Inspeksi; untuk mengetahui apakah kulit bersih atau tidak,
apakah ada luka ataupun penyakit kulit lainnya

32

b) Palpasi : untuk mengetahui turgor kulit klien baik atau


tidak.
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah pemeriksaan Hb
dan pemeriksaan darah lengkap: Hemokonsentrasi mungkin
meningkat atau menurun, pemeriksaan Hb dan golongan
darah sebagai indikasi transfusi dasar dan bila terjadi
infeksi pada pemeriksaan laju endap darah meningkat.
(Masjoer, 2009).
b. Pemeriksaan radiology
Pada pemeriksaan ini memperlihatkan gambaran radiology
yang berupa lokasi dan derajat kerusakan tulang serta
perubahan letak fragmen tulang. (Masjoer, 2009).
9. Analisa Data
Analisa

data

adalah

kemampuan

kognitif

dalam

mengembangkan daya pikir dan penalaran yang dipengaruhi


oleh latar belakang ilmu pengetahuan dan pengetahuan
keperawatan (Allen, 2012).
Berdasarkan data-data yang telah terkumpul maka dapat
dianalisa dan mencari kemungkinan penyebab timbulnya
masalah dan merumuskan diagnosa yang ada pada pasien baik
aktual maupun potensial.
2.2.2.

Diagnosa Keperawatan

33

Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang


menjelaskan respons manusia (status kesehatan atau resiko
perubahan pola) dari individu atau kelompok dimana perawat
secara akontabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan
intervensi

secara

pasti

untuk

menjaga

status

kesehatan,

menurunkan, membatasi, mencegah, dan merubah (Muttaqin,


2000).
Gordon (2000) mendefinisikan bahwa diagnosa keperawatan
adalah

masalah

kesehatan

aktual

dan

potensial

dimana

berdasarkan pendidikan dan pengalamannya, dia mampu dan


mempunyai

kewenangan

untuk

memberikan

tindakan

keperawatan. Kewenangan tersebut didasarkan pada standar


praktek keperawatan dan etik keperawatan yang berikut adalah
diagnosa keperawatan yang sering muncul pada klien fraktur
cruris:
1. Nyeri akut berhubungan dengan luka bekas operasi, cedera
pada jaringan, yang ditandai dengan nyeri pada luka operasi,
wajah meringis menahan sakit, berhati-hati dalam melindungi
ekstremitas yang patah.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
rangka neuromuskular, imobilisasi tungkai yang ditandai
dengan ketidak mampuan bergerak, tidak bisa melakukan

34

aktivitas, penurunan kekuatan otot, terpasang traksi seklet,


fixasi external.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk,
fraktur terbuka, tindakan pembedahan untuk

pemasangan

traksi pent, skrup ditandai dengan gangguan perlukaan di


permukaan kulit, destruksi lapisan kulit atau jaringan, keluhan
nyeri, tekanan pada area yang sakit atau area sekitarnya.
4. Risiko

terjadinya

infeksi

berhubungan

dengan

adanya

kerusakan kulit, trauma jaringan, terpejam pada lingkungan


pembedahan untuk reposisi (Barbara, 2011).
2.2.3. Perencanaan
Perencanaan Keperawatan adalah penyusunan rencana tindakan
Keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah
sesuai dengan diagnosa Keperawatan yang telah ditentukan dengan
tujuan terpenuhi kebutuhan klien (Allen, 2012).
S

=Spesifik (tujuan harus spesifik dan tidak menimbulkan


arti ganda)

=Measurable (tujuan keperawatan harus dapat diukur,


khususnya tentang perilaku klien, dapat di lihat,
didengar, diraba, dirasakan dan dibau)

= Achievable (tujuan harus di capai)

= Reasonable (tujuan harus dapat dipertanggungjawabkan


secara ilmiah)

35

= Time (tujuan keperawatan)

Perencanaan

meliputi pengembangan strategi desain untuk

mencegah, mengurangi atau mengoreksi masalah-masalah yang


diidentifikasi pada diagnosa keperawatan. Tahap ini dimulai setelah
menentukan diagnosa keperawatan dan menyimpulkan rencana
dokumentasi (Wartonah, 2006).
Secara tradisional, rencana keperawatan diartikan sebagai suatu
dokumen tulisan tangan dalam menyelesaikan masalah, tujuan dan
intervensi.

Sebagaimana

disebutkan

sebelumnya,

rencana

keperawatan merupakan metode komunikasi tentang asuhan


keperawatan kepada klien. Setiap klien yang memerlukan asuhan
keperawatan perlu suatu perencanaan yang baik. Misalnya, semua
klien pasca operasi memerlukan suatu pengamatan tentang
pengelolaan cairan dan nyeri. Sehingga semua tindakan keperawatan
harus distandarisasi. Standar tindakan tersebut dapat dibaca di SAK
(Standar Asuhan Keperawatan) atau SOP (Standar Operasional) dari
Depkes RI (1995) (Nursalam, 2001).

36

Tabel 2.1 Rencana Keperawatan


No
1.

Diagnosa
Tujuan
Intervensi
keperawat
an
Nyeri
Setelah
dilakukan
akut
tindakana.Jelaskan tindakan yang akan
Keperawatan,gangguan
diberikan pada
rasa nyaman nyeri dapat klien
teratasi dengan criteria
hasil:
1. Klien menyatakan
nyeriberkurang/tulag
,
b.Pertahankan
2. Klien mampu
Imobilisasi
berpartisipasi dalam bagian
yang
aktivitas,
patah
3. Klien bisa
beristirahat dengan
santai,
4. Klien dapat
menunjukkan
c.Tinggikan dan
penggunaan
dukung
keterampilan
ekstremitas yang
relaksasis
terkena
5. Skala nyeri 0 dengan
menggunakan skala
(0-5)
c.Hindari
penggunaan
sprey plastik

Rasional
a.Klien mengerti
terhadap
yang
dilakukan
dan
mau
bekerjasama
untuk mengatasi
masalah klien.
b.Mengurangi
keluhan
nyeri
dan
mencegah
perubahan tulang
dan
mencegah
kesalahan posisi
tulang
meningkatkan
c.Aliran
darah
baik
vena
menurunkan
oedema
serta
mengurangi nyeri
c.Dapat
meningkatkan
ketidaknyamanan
karena
peningkatan
produksi panas.
d.Mempengaruhi
pilihan/pengawas
an
keefektifan
intervensi
selanjutnya.

d.Evaluasi
keluhan
nyeri/ketidaknya
maan,
perhatikan
lokasi
dan
karakteristik,
termasuk
intensitas
e.Menambah

37

e.Ciptakan

Diagnosa
Keperawa
tan
No.

Tujuan

Rasional
Intervensi
kenyamanan
lingkungan yang pasien
nyaman
f.menurunkan
f. Ajarkan dan ketidak
anjurkan klien nyamanan pada
tehnik relaksasi peristaltik usus
g.Tawarkan
tindakan
pengurang nyeri

g.dengan tehnik
relaksasi
dapat
meningkatkan
kenyamanan

h.untuk
h.Bantu pasien membantu
pengobatan nyeri
dalam
mengidentifikasi untuk membantu
tingkat
nyeri penanganan nyeri
yang beralasan
dan dapat di
terima
i.mempermudah
kerja
sama
i.Kolaborasi
dengan
intervensi
medis
dalam
terapi lain
pemberian anal

38

2.

No

3.

Gangguan
mobilisasi
fisik

Diagnosa
Keperawa
tan

Gangguan
integritas
kulit

Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
gangguan mobilitas fisik
dapat teratasi dengan
kriteria hasil:
1. Klien
dapat
meningkatkan/me
mpertahankan
mobilitas
pada
tingkat
paling
tinggi
2. Dapat
mempertahankan
Tujuan

a.Ketidakmamp
uan gerak dan
jelaskan tentang
immoblilitas

a.Klien mungkin
dibatasi
oleh
pandangan
diri
tentang
keterbatasan fisik
aktual
serta
memerlukan
informasi tentang
immobilisasi.

b.Bantu
klien
untuk berlatih
gerak pada
Intervensi

b.Meningkatkan
aliran darah ke
otot dan tulang
Rasional

posisi fungsional,
ekstremitas
3. Dapat melakukan yang sakit dan
aktivitas,
tidak sakit
4. Meningkatkan
kekuatan otot,
5. Klien
bebas
bergerak

untuk
meningkatkan
tonus otot dan
mencegah
kontraktur

Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
gangguan integritas kulit
dapat teratasi dengan
criteria hasil:
1. Klien
tidak
menyatakan

a.Bantu
klien
dalam
melakukan
latihan
secara
dini
setelah
nyeri berkurang

a.latihan gerak
sedini mungkin
dapat
mengurangi
komplikasi dan
mendukung
pulihnya fungsi

39

ketidakmampuan
organ.
tulang,
2. Mencapai
penyembuhan
luka b.Bantu
klien b.Agar
klien
sesuai
dalam perawatan merasa nyaman
waktu/penyembuhan
diri
dan
lesi terjadi
percaya d

4.

Resiko
terjadinya
infeksi

No

Diagnosa
Keperawa
tan

Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
tidak terdapat tanda
tanda infeksi
Tujuan

a.Jaga kesterilan a.Mengurangi


luka dan rawat kontaminasi
luka
secara
teratur dengan
Intervensi
Rasional

klinik septik
aseptik
b.Kaji
tonus
otot,
refleks
tendon
serta
kemampuan
untuk berbicara

b.kelakuan otot,
spasme tonik otot
tahan dan disfusi
menunjukkan
terjadinya tetanus

c.Monitor vital c.Untuk


sign, catat jika
mendeteksi
adanya
tandatanda sepsis
d.Observasi
terhadap adanya
nyeri,
kemerahan,
oedema,
pengeluaran

d.Adanya
kemerahan,
oedema,
nyeri,
pengeluaran
nanah
rasa
terbakar
merupakan tandatanda
infeksi
sehingga
perawatan dapat
segera

40

mengatasinya.

2.2.4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai
tujuan yang spesifik yaitu membantu klien dalam mencapai tujuan yang
telah ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping (Nursalam,
2011).
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada tahap pelaksanaan
pada dasarnya harus disesuaikan dengan intervensi yang ada pada tahap
perencanaan. Namun, tidak selamanya hal tersebut dapat dilakukan,
tergantung pada faktor-faktor tertentu. Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi pelaksanaan perawatan dan harus dijadikan sebagai bahan
pertimbangan antara lain: keadaan klien, fasilitas atau alat yang ada,
pengorganisasian pekerjaan perawat, ketersediaan waktu serta lingkungan
fisik dimana asuhan keperawatan tersebut dilakukan.
2.2.5. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan kriteria
hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Klien keluar dari siklus proses
keperawatan

apabila kriteria hasil telah dicapai. Klien akan masuk

kembali ke dalam siklus apabila kriteria hasil belum dicapai (Allen, 2012).
Evaluasi merupakan tahap proses keperawatan yang terakhir. Tahap ini
merupakan kunci keberhasilan yang dinamis dari perawatan di dalam

41

evaluasi mempunyai empat kemungkinan yang menentukan perawatan


selanjutnya yaitu: masalah klien post pemasangan pent yang dapat
dipecahkan atau timbul masalah baru, bila masalah sudah teratasi
separuhnya, perlu dimodifikasi rencana perawatannya, begitu pula timbul
masalah baru, dibuat rencana perawatan yang baru pula.
1.

Evaluasi di klasifikasikan sebagai berikut:


Evaluasi formatif adalah evaluasi yang diberikan pada saat intervensi

2.

dengan respons segera


Evaluasi sumatif merupakan rekapitulassi dari hasil observasi dan
analisis status pasien pada waktu tertentu berdasarkan tujuan yang
direncanakan pada tahap perencanaan.
Menurut Alimul, (2012) catatan perkembangan merupakan catatan

tentang perkembangan keadaan klien yang didasarkan pada setiap


masalah yang ditemui pada klien. Modifikasi rencana dan tindakan
mengikuti perubahan keadaan klien. Adapun metode yang digunakan
dalam catatan perkembangan adalah sebagai berikut :
S

: Data subjektif
Perkembangan keadaan didasarkan pada apa yang dirasakan,
dikeluhkan, dan dikemukakan klien.

: Data objektif
Perkembangan yang bisa diamati dan diukur oleh perawat atau
tim kesehatan lain.

: Analisis

42

Kedua jenis data tersebut, baik subjektif maupun objektif dinilai


dan dianalisis, apakah perkembangan kearah perbaikan atau
kemunduran. Hasil analisis dapat menguraikan sampai dimana
masalah yang ada dapat diatasi atau adakah perkembangan
masalah baru yang menimbulkan diagnosa keperawatan baru.
P

: Perencanaan
Rencana penanganan klien dalam hal ini didasarkan pada hasil
analisa di atas yang berisi malanjutkan rencana sebelumnya
apabila keadaan atau masalah belum teratasi dan membuat
rencana baru bila rencana awal tidak efektif.

: Implementasi
Tindakan yang dilakukan berdasarkan rencana.

: Evaluasi
Evaluasi berisi tentang sejauh mana rencana tindakan dan
evaluasi telah dilaksanakan dan sejauh mana masalah pasien
teratasi.

: Reassesment
Bila berhasil evaluasi menunjukkan masalah belum teratasi,
pengkajian ulang perlu dilakukan kembali melalui proses
pengumpulan data subjektif, data objektif, dan proses analisisnya.
Rencana evaluasi tindakan yang akan digunakan pada kasus
kelolaan adalah SOAP.

43

2.2.6

Dokumentasi Keperawatan
Dokumentasi keperawatan adalah pencatatan yang lengkap dan
akurat

terhadap

suatu

kejadian

dalam

proses

keperawatan.

Dokumentasi dilakukan segera setelah setiap kegiatan atau tindakan


dalam setiap langkah proses keperawatan dari pengkajian sampai
dengan evaluasi.
Sebagai

dokumentasi

yang

mencatat

semua

pelayanan

keperawatan klien, dokumentasi tersebutdapat diartikan sebagai


suatu catatan bisnis dan hokum yang mempunyai banyak manfaat
dan penggunaan. Tujuan utama dari pendokumentasian adalah untuk:
1.

Mengidentifikasi status kesehatan klien dalam rangka mencatat


kebutuhan

klien,

merencanakan,

melaksanakan

tindakan

keperawatan dan mengevaluasikan tindakan.


2.

Dokumentasi untuk Penulisan, keuangan, hokum dan etika.


Sedangkan manfaat dan pentingnya dokumentasi dapat dilihat
dari berbagai aspek seperti hukum, jaminan mutu pelayanan,
komunikasi, keuangan, pendidikan, Penulisan dan akreditasi
( Nursalam, 2011)

Anda mungkin juga menyukai