PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu Negara yang mengalami globalisasi dalam
berbagai bidang, baik bidang teknologi, social maupun budaya. Globalisasi yang
terjadi mempengaruhi banyak hal di Indonesia. Seperti perubahan cuaca yang
meningkatkan potensi bencana alam, pada moral manusia hingga timbul berbagai
macam tindak kejahatan. Kondisi ini tercermin dari pemberitaan media massa
yang seringkali memuat berita mengenai kejadian bencana, seperti aksi teror bom,
kecelakaan transportasi, gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan
gunung berapi, puting beliung, pembunuhan anak, kekerasan dalam rumah tangga
dan lain-lain. Badan Nasional Penanggulangan Bencana telah memiliki data
sebaran kejadian bencana di Indonesia mulai dari tahun 1815 2012, dan angka
kejadian bencana cenderung meningkat dalam kurun waktu sepuluh tahun
terakhir.
Definisi bencana sangat bervariasi. Menurut WHO, bencana adalah setiap
kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa
manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada
skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang
terkena. Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis (Silver WE, Souviron RR., 2009)&(Pusponegoro dkk., 2006).
Singkatnya, bencana merupakan suatu kejadian di luar harapan yang dapat
menimbulkan korban luka maupun meninggal dalam jumlah banyak.
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah
memberikan amanat kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya
identifikasi terhadap mayat yang tidak dikenal. Upaya identifikasi pada korban
dimaksudkan untuk mengembalikan hak korban agar dapat dikembalikan kepada
keluarganya serta mengetahui sebab dan pelaku pada tindak kriminal.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Disaster Victim Identification (DVI)
Proses identifikasi korban bencana besar seperti serangan teroris atau
gempa bumi jarang dimungkinkan oleh pengakuan visual. Perbandingan sidik jari,
catatan gigi atau sampel DNA dengan yang disimpan dalam database atau diambil
dari barang pribadi korban sering diharuskan untuk mendapatkan identifikasi yang
meyakinkan. Sebagai orang yang sering bepergian, ada kemungkinan yang tinggi
bahwa bencana akan mengakibatkan kematian warga dari berbagai negara.
2.1.1 International koordinasi
Ketika bencana besar terjadi, satu negara mungkin saja tidak memiliki
sumber daya yang cukup untuk menangani korban massal. Dalam beberapa
kasus, insiden tersebut mungkin telah merusak atau menghancurkan
infrastruktur respon darurat negara, membuat tugas identifikasi korban
bahkan lebih sulit. Sebuah upaya yang terkoordinasi oleh masyarakat
internasional secara signifikan dapat mempercepat proses pemulihan korban
dan identifikasi, memungkinkan keluarga korban untuk memulai proses
penyembuhan dan masyarakat untuk membangun kembali, dalam hal insiden
terorisme, membantu peneliti untuk mengidentifikasi penyerang.
Identifikasi korban bencana (DVI) ini sangat difasilitasi oleh
munculnya teknologi DNA modern. Forensik laboratorium di seluruh dunia
dapat mengekstrak dan merekam sampel DNA profil dari sampel terkecil.
Mengidentifikasi korban orang hilang yang dilaporkan diperumit oleh adanya
bahan DNA yang relevan. Sampel DNA yang dalam hal ini biasanya
diperoleh dari sumber tidak langsung (anggota keluarga). Menghubungkan
korban dengan kerabat terdekat mereka bukan DNA mereka sendiri jauh
lebih sulit karena mereka berbagi beberapa DNA mereka, tetapi tidak semua.
Dalam kasus bencana massal ini rumit karena keluarga mereka dapat terlibat.
Disaster Victim Identification atau DVI adalah metode yang digunakan
untuk mengidentifikasi korban insiden korban massal seperti crash pesawat
atau ledakan bom di Bali. Proses tersebut dapat berlangsung lama dan
3
melibatkan banyak personil karena sifat acara dan kebutuhan agar benar
mengidentifikasi korban. Risiko kesalahan identifikasi individu dapat
membawa ke semua pertanyaan identifikasi dan meningkatkan trauma situasi
yang sudah stres. Proses DVI melibatkan berbagai teknik ilmu forensik yang
digunakan untuk membuat identifikasi yang positif dari para korban
meninggal. Beberapa di antaranya adalah:
a. Sidik jari - dianggap sangat handal jika tersedia. Namun seperti dalam
banyak kasus sidik jari tidak tersedia dan sebagian besar individu tidak
memiliki catatan sidik jari, itu adalah untuk beberapa korban.
b. Odontologi - terutama catatan gigi - dianggap paling dapat diandalkan
untuk mengidentifikasi korban karena gigi dan tulang sebagai anggota
tubuh yang sangat tahan lama dan kebanyakan orang memiliki catatan
gigi.
c. Profiling DNA - dengan kemajuan teknologi, DNA telah menjadi
sangat handal. Perbandingan langsung dapat dibuat antara profil DNA
korban misalnya, profil DNA yang dihasilkan dari sel-sel dalam sikat
rambut diketahui milik korban tragedi itu. Perbandingan tidak langsung
juga dapat dilakukan dengan menggunakan DNA orang tua. Pada
dasarnya adalah proses yang digunakan dalam pengujian paternitas.
Mengingat sifat dari tes DNA itu 100% handal dalam membuat
pengecualian yaitu korban bukanlah orang yang hilang tertentu.
Identifikasi visual terbukti menjadi yang paling dapat diandalkan.
2.1.2 Prosedur Identifikasi DVI (Disaster Victim Identification)
2.1.2.1. Prosedur Umum
Prosedur umum DVI terdiri dari 5 fase yaitu The Scene, Post
Mortem
Examination,
Ante
Mortem
Information
Retrieval,
2) Sonde
Sonde, yaitu alat yang ujungnya tajam, bisa berbentuk
melengkung atau lurus. Gunanya untuk mendeteksi adanya
karies atau lubang gigi, terutama di daerah yang tersembunyi
atau di antara gigi.
3) Pinset
6
4) Gunting bedah
Gunting bedah (lurus), digunakan untuk menggunting bagianbagian
alat
tubuh
yang
akan
darah dan
diamati,
sebagainya.
biologis
Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang
terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto korban
semasa hidup, interpretasi ciri ciri spesifik jenazah (tato, tindikan, bekas
luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa
hidup, sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi
informasi lain yang relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan
identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian terakhir yang dikenakan
korban. Pada saat kejadian bencana, kegiatan pengumpulan data mengenai
jenazah sebelum kematian ini disebut fase Collecting Ante Mortem Data
(Yudha, 2004).
Elemen yang paling penting dalam forensic kedokteran gigi adalah
bahwa praktisi umum menyediakan rekam antemortem (sebelum kematian)
untuk membantu identifikasi korban. Dokter gigi forensic bisa dipangil untuk
mengidentifikasi korban yang tidak dapat diidentifikasi secara visual. Hal ini
meliputi kasus korban terbakar, korban yang sudah membusuk atau korban
mutilasi. Data ante-mortem bisa berupa rekam medis.Rekam medis
merupakan kumpulan data-data pasien. Karena data-data yang disimpan
tersebut sangat dibutuhkan bagi pasien, dokter dan dokter gigi. Data rekam
medis dapat berupa manual maupun elektronik (Whittaker, 1998).
2.2.4 Fungsi Data Ante- Mortem
Dalam laporan singkat rekam medis pasien merupakan uraian lengkap
mengenai riwayat, pemeriksaan fisik, diagnosa, tindakan pasien. Rekam
medik dapat meliputi beberapa elemen berbeda
identifikasi
13
Sedangkan sidik jari digunakan karena tiap orang pasti memilik sidik jari
yang berbeda. Dari hasil penelitian, kemungkinan sidik jari orang sama
adalah 1: 64 x 10^9. Selain itu, sidik jari juga tidak berubah dan tetap dari
kecil sampai dewasa (kecuali memang kalau ada luka, dsb).
Gambar 2.6: Sidik jari
Kuntungan dari metode ini mudah dilakukan secara massal dan biaya yang
murah. Metode ini membandingkan sidik jari jenazah dengan data sidik
jari antemortem. Sampai sekarang, pemeriksaan sidik jari merupakan
pemeriksaan yang diakui paling tinggi ketepatannya untuk menetukan
identitas seseorang. Dengan demikian harus dilakukan penanganan yang
sebaik-baikbya terhadap jari tangan jenazah untuk pemeriksaan sidik hari,
misalnya dengan melakukan pembungkusan kedua tangan jenazah dengan
kantong plastik.
Daktiloskopi adalah suatu sarana dan upaya pengenalan identitas diri
seseorang melalui suatu proses pengamatan dan penelitian sidik jari, yang
dipergunakan untuk berbagai keperluan/kebutuhan, tanda bukti, tanda
pengenal, ataupun sebagai pengganti tanda tangan.
Sidik jari adalah suatu impresi dari alur-alur lekukan yang menonjol dari
epidermis pada telapak tangan dan jari-jari tangan atau telapak kaki dan
jari-jari kaki, yang juga dikenal sebagai "dermal ridges" atau " dermal
papillae", yang terbentuk dari satu atau lebih alur-alur yang saling
berhubungan. Sidik jari mulai tumnuh sejak janin berusia empat minggu
hingga sempurna saat enam bulan di dalam kandungan.
Sifat-sifat khusus yang dimiliki sidik jari :
i.
14
ii.
iii.
Individuality : pola sidik jari adalah unik dan berbeda untuk setiap
orang.
Mengenai bentuk dan pola sidik jari yang terdiri dari tiga jenis di atas
memiliki ciri-ciri yang khas yaitu :
Whorl (melingkar) yaitu bentuk pokok sidik jari, mempunyai 2 delta dan
sedikitnya satu garis melingkar di dalam pattern area, berjalan di depan
15
kedua delta. Jenis whorl terdiri dari Plain whorl, Central pocket loop
whorl, Double loop whorl dan Accidental whorl.
Whorl bisa berbentuk sebuah Spiral, Bulls-eye, atau Double Loop. Whorl
adalah titik-titik menonjol dan kontras, dan bisa dilihat dengan mudah.
Cetakan
Spiral
dan
Bulls-eye
adalah
persis
sebangun
dalam
16
mengalamikerusakan
yang
sangat
parah,
terbakar
atau
Secondary Identifiers
17
18
keadaan tubuh dan terutama wajah korban dalam keadaan baik dan belum
terjadi pembusukan yang lanjut.
Selain itu perlu diperhatikan faktor psikologis, emosi, latar belakang
pendidikan; oleh karena faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi hasil
pemeriksaan.
Pakaian
Pencatatan yang teliti atas pakaian, hal yang dipakai, mode serta adanya
tulisan-tulisan seperti merek, penjahit, laundry atau initial nama, dapat
memberikan informasi yang berharga, milik siapakah pakaian tersebut.
Bagi korban yang tidak dikenal, menyimpan pakaian secara keseluruhan
atau potongan-potongan dengan ukuran 10cmx10cm, adalah merupakan
tindakan yang tepat agar korban masih dapat dikenali walaupun tubuhnya
telah dikubur.
Perhiasan
Anting-anting, kalung, gelang serta cincin yang ada pada tubuh korban,
khususnya bila pada perhiasan terdapat initial nama seseorang yang
biasanya terdapat pada bagian dalam dari gelang atau cincin. Akan
membantu dokter atau pihak penyidik di dalam menetukan identitas
korban. Mengingat kepentingan tersebut, maka penyimpanan dari
perhiasan haruslah dilakukan dengan baik.
Dokumen
Kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, paspor, kartu golongan
darah, tanda pembayaran dan lainnya yang ditemukan dalam dompet atau
tas korban dapat menunjukka jati diri korban.
Khusus pada kecelakaan masal, perlu diingat akan kebiasaan seseorang di
dalam menaruh dompet dan tasnya. Pada pria dompet biasanya terdapat
dalam saku baju atau celana, sedangkan pada wanita tas biasanya
dipegang, sehingga pada kecelakaan masal tas dapat terlempar dan sampai
pada orang lain bukan pemiliknya. Jika hal ini tidak diperhatikan,
kekeliruan identitas dapat terjadi, khususnya bila kondisi korban sudah
busuk atau rusak.
3) Fotografi
19
tidak
memungkinkan
mengambil
keputusan
22
sehingga
dapat
tetap
menjadi
jaminan
untuk
Karies Gigi
Jumlah gigi yang karies dan letaknya dicatat dalam odontogram. Ada
kemungkinan gigi yang karies sudah ditambal, maka harus dilakukan
juga pemeriksaan catatan perawatan.
Fraktur dari gigi yang karies bentuknya tidak teratur, berwarna coklat,
umumnya terjadi pada gigi posterior, dilapisi sisa-sisa makanan, dan
bekas rokok. Adanya dentin sekunder menunjukkan bahwa fraktur
sudah lama terjadi. Fraktur gigi mahkota karena trauma yang baru
terjadi atau pascakematian dengan bagian tepi gigi tidak menunjukkan
karies maka permukaan frakturnya cenderung tajam.
dapat
berupa
gigi
berjejal,
gigi
saling
menutup
24
2.3.3
dengan tubuh yang sudah terpisah-pisah, penentuan jenis kelamin tidak dapat
dilakukan dengan mudah seperti penentuan jenis kelamin pada orang hidup
atau mayat yang masih utuh. Penentuan jenis kelamin pada kasus-kasus
tersebut dapat ditentukan melalui gigi-geligi.
Penentuan jenis kelamin melalui gigi-geligi dapat dilakukan dengan
melihat bentuk lengkung gigi, ukuran diameter mesio-distal gigi, dan
kromosom yang terdapat pada pulpa. Bentuk lengkung gigi pada pria
cenderung tapered, sedangkan wanita cenderung oval, ukuran diameter
mesio-distal gigi taring bawah wanita = 6,7 mm dan pria = 7 mm. Kromosom
X dan Y dapat ditentukan dengan menggunakan sel pada pulpa gigi sampai
dengan lima bulan setelah pencabutan gigi dan kematian (Astuti, 2008).
2.3.4
Secara antropologi, ras dibagi tiga yaitu ras kaukasoid, ras negroid, dan ras
mongoloid. Masing-masing ras memiliki bentuk rahang dan struktur gigigeligi yang berbeda (Astuti, 2008).
Penentuan umur korban atau lebih tepatnya perkiraan umur juga dapat
dilakukan melalui pemeriksaan gigi-geligi (Astuti, 2008):
a. Melihat pertumbuhan dan perkembangan gigi
Perkembangan gigi mulai dapat dipantau sejak mineralisasi gigi susu,
yaitu umur empat bulan dalam kandungan hingga mencapai saat
sempurnanya gigi molar kedua tetap. Pemanfaatan molar ketiga mulai
terbatas karena sudah mulai banyaknya molar tersebut yang tidak tumbuh
sempurna. Sehubungan dengan ini dikenal beberapa tahap yang dapat
dipantau dengan baik, yaitu:
1)
Intrauteri:
dipantau
melalui
sediaan,
dengan
melihat
tahap
bermunculannya
gigi
susu
ke
dalam
mulut.
Dengan
Masa statis gigi susu: berkisar antara umur 3 6 tahun. Pada masa ini
penentuan umur melihat tingkat keausan gigi susu dan jika diperlukan
dengan bantuan roentgen untuk melihat tahap pertumbuhan gigi tetap.
5)
6)
b. Metode Gustafson
Setelah masa pertumbuhan gigi tetap selesai, maka pertumbuhan dan
perkembangan gigi tidak banyak lagi memberikan bantuan untuk
menentukan umur karena kondisinya dapat dikatakan menetap. Untuk itu
Gustafson (1950) menemukan 6 metode dalam menentukan umur:
1) Atrisi: akibat penggunaan rutin pada saat makan, sehingga permukaan
gigi mengalami keausan.
2) Penurunan
tepi
gusi:
sesuai
dengan
pertumbuhan
gigi
dan
29
30
BAB 3
DISKUSI
Contoh kasus :
Pada 28 Februari 1996 terjadi kecelakaan berupa tabrakan antara mobil
dengan sebuah bus berisi 57 pemnumpang di satu jalanan di Spanyol bagian
selatan. Kejadian tersebut terjadi sekitar pukul 22.00 waktu setempat. Beberapa
detik setelah tabrakan terjadi, bus kemudian terbakar. Kebakaran tersebut
menyebabkan 28 orang meninggal karena terbakar.
Beberapa saat setelah api berhasil dipadamkan, segera dilakukan evakuasi
korban meninggal untuk mulai dilakukan proses identifikasi. Proses yang
dilakukan pertama kali adalah pengumpulan dan pemeriksaan data postmortem
lengkap dari 28 korban. Pemeriksaan ini dilakukan oleh Multidisciplinary
31
Identification Commission. Komisi ini terdiri dari sepuluh petugas polisi (dari
Departemen Identifikasi Guardia Civil), dua ahli odontologi forensik dan patologi
forensik (dari Departemen Kedokteran Forensik dari Universitas Granada,
Spanyol), dua dokter gigi umum, satu ahli patologi forensik dan satu asisten ahli
radiologi.
Pemeriksaan untuk identifikasi dilakukan pada 28 korban (13 perempuan
dan 15 laki-laki). Usia rata-rata dari korban adalah 22 tahun (rentang usia 5-48
tahun) dan 17 korban (60%) berada di bawah 20 tahun. Standar pengumpulan data
postmortem sesuai dengan prosedur forensik, termasuk pemeriksaan keadaan luar
tubuh secara umum pada tiap korban oleh ahli patologi forensik dengan fotografi,
radiografi umum dan metode biologis (analisis DNA).
Selain itu, dilakukan pendataan postmortem pada gigi secara rinci pada
dilakukan dalam kasus tersebu. Data yang dikumpulkan antara lain: keutuhan gigi,
adanya restorasi (beserta restorasi yang digunakan), gigi yang hilang (misalnya
gigi yang dicabut, atau kehilangan gigi saat kejadian kecelakaan) dan prostetik
yang ada (baik yang tetap seperti mahkota dan jembatan maupun yang lepasan).
Gangguan pada erupsi gigi (yaitu ektopik, gigi yang impaksi) dan berbagai jenis
maloklusi (seperti deepbite, crossbite, crowding), fraktur gigi dan tulang rahang
dan setiap perubahan patologis dalam jaringan lunak atau tulang rahang juga
dicatat. Pemeriksaan gigi dilakukan oleh dua dokter gigi pada kasus tersebut (satu
dokter gigi umum dan satu ahli odontologi forensik). Ahli odontologi forensik
memeriksa gigi sementara dokter gigi yang lain mengisi formulir data postmortem
dan memantau proses pemeriksaan.
Pengumpulan data postmortem juga diambil dalam bentuk radiografi gigi.
Radiografi tengkorak lateral dan posteroanterior dibuat dengan alat X-ray mobile,
dengan eksposur yang diambil pada 7 mA / sg dan 60 kV. Kegiatan radiografi
tersebut dilakukan oleh seorang asisten ahli radiologi yang mengambil radiografi
umum ekstraoral. Radiografi yang lainnya dilakukan di rumah sakit terdekat.
Setelah itu pengumpulan data antemortem korban mulai dilakukan oleh
petugas kepolisian. Sebagian besar data dikumpulkan dari informasi teknis dengan
menanyakan pertanyaan kepada penumpang lain yang selamat serta kerabat
korban. Foto antemortem korban diperoleh dari kerabat. Sedangkan dental record
32
dan rekam medis diperoleh dengan menghubungi langsung dokter gigi dan dokter
keluarga dari korban. Dental record dan rekam medis antemortem diberikan
setelah ditranskripsi ke bentuk DVI Interpol oleh ahli patologi forensik dan ahli
odontologi forensik.
Kecelakaan ini terjadi sangat dekat kota tempat korban tinggal
memudahkan pengumpulan bahan antemortem menjadi relatif mudah dan cepat.
Dokter gigi umum membantu untuk menafsirkan dental record pasien yang telah
mereka rawat. Hal ini ditujukan agar meminimalkan kesalahan dalam transkripsi
data antemortem gigi ke bentuk DVI Interpol. Radiograf antemortem diperoleh
sebanyak 11 buah dari 28 yang dibutuhkan, tetapi hanya enam yang
memperlihatkan
gambaran
eksposur
gigi
baik
secara
periapikal
atau
roentgenogram.
Data antemortem dan postmortem yang sudah berupa bentuk formulir
Interpol DVI dan radiografi dibandingkan secara manual oleh dua tim terpisah,
satu untuk korban berjenis kelamin perempuan dan satu tim untuk korban berjenis
kelamin laki-laki. Setiap tim terdiri dari satu ahli odontologi dan patologi forensic,
satu dokter gigi dan tiga petugas polisi. Hasil yang diperoleh kedua tim kemudian
didiskusikan kemudian dibahas untuk menarik kesimpulan.
Dari 28 korban, hanya terdapat 16 korban yang mungkin untuk dilakukan
identifikasi secara metode odontologi forensik. Sebab, data ante dan post mortem
pada 12 korban lainnya tersebut sangat minim, Karena gigi telah hancur semua
dan tidak adanya data antemortem berupa dental record. Setelah proses
pencocokan, didapatkan hasil 16 korban yang dilakukan pencocokan tersebut
berhasil diidentifikasi sebab terdapat banyak kecocokan antara data antemortem
dengan data postmortem. Setelah proses identifikasi selesa, kemudian dibuat
sebuah laporan dengan pernyataan identitas untuk setiap korban
ditandatangani
oleh
anggota
perwakilan
Multidisciplinary
dan
Identification
Commission, termasuk dua ahli odontologi dan patologi forensik dan tiga anggota
tim identifikasi Guardia Civil. (sumber : http://is.gd/uxuwom)
33
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1) Prosedur umum DVI dalam menangani kasus bencana antara lain; the
Scene, Post Mortem Examination, Ante Mortem Information Retrieval,
Reconciliation dan Debriefing.
2) Identifikasi korban bencana alam maupun kriminal dapat dilakukan
dengan pencocokan data antemortem dan postmortem atau rekonsiliasi.
3) Rekonsiliasi dibagi menjadi primary identifiers yang terdiri dari dental
record, fingerprint, dan analisis DNA, serta secondary identifiers yang
terdiri dari analisis medis, property, dan fotografi.
4) Data postmortem merupakan data yang diperoleh setelah korban
mengalami bencana. Bertujuan untuk mengidentifikasi jenis kelamin, ras,
status keturunan, ekonomi dan social.
5) Data antemortem adalah data yang diperoleh sebelum terjadi bencana.
Dibuat oleh dokter ataupun dokter gigi dengan tujuan sebagai acuan
pencocokan dengan data postmortem.
34
DAFTAR PUSTAKA
Adachi H. Studies on sex determination using human dental pulp. II. Sex determination of teeth
left in a room. Nippon Hoigaku Zasshi 1989; 43: 27-39.
Disaster Victim Identification Workshop on enhancing operational preparedness in Eastern
Region of Indonesia. In conjunction with the Center for Human Identification Victorian
Institute of Forensic Medicine / Monash University, the Singapore Health Sciences
Authority, and Universitas Airlangga. Surabaya, 24-26 November 2007.
http://www.anzpaa.org.au/resources-and-links/disaster-victim-identification
http://www.bonaparte-dvi.com/en/bonaparte.html
http://www.interpol.int/INTERPOL-expertise/Forensics/DVI
INTERPOL. Disaster victim identification guide 2009. Diakses 14 Jan 2012. Diunduh dari: URL:
www.interpol.int/Media/Files/INTERPOLExpertise/DVI/ DVI-Guide.
Jones D G. Odontology often is final piece to grim puzzle. J Calif Dent Assoc 1998; 26:650-651.
Mulyono A, dkk., 2006, Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana
Massal. 2nd ed. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Pusponegoro AD, dkk., 2006, Identifikasi Korban Bencana Massal. In: Paturusi IA, Pusponegoro
AD, Hamuworno GB, (Eds)., Penatalaksanaan korban bencana massal. 3 rd ed,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, pages 123-30.
Sweet D, DiZinno J A. Personal identification through dental evidence-tooth fragments to DNA. J
Calif Dent Assoc 1996; 24: 35-42.
Whittaker, 1998 D K, Richards B H, Jones M L. Orthodontic reconstruction in a victim of murder.
Br J Orthod 1998; 25: 11-14.
Yudha N., 2004, Management of Dead Victims in Mass Disaster. Interpol dead victim
identification
guideline,
diunduh
dari
http://www.interpol.int/Public/DisasterVictim/Guide/Guide
35