Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu Negara yang mengalami globalisasi dalam
berbagai bidang, baik bidang teknologi, social maupun budaya. Globalisasi yang
terjadi mempengaruhi banyak hal di Indonesia. Seperti perubahan cuaca yang
meningkatkan potensi bencana alam, pada moral manusia hingga timbul berbagai
macam tindak kejahatan. Kondisi ini tercermin dari pemberitaan media massa
yang seringkali memuat berita mengenai kejadian bencana, seperti aksi teror bom,
kecelakaan transportasi, gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan
gunung berapi, puting beliung, pembunuhan anak, kekerasan dalam rumah tangga
dan lain-lain. Badan Nasional Penanggulangan Bencana telah memiliki data
sebaran kejadian bencana di Indonesia mulai dari tahun 1815 2012, dan angka
kejadian bencana cenderung meningkat dalam kurun waktu sepuluh tahun
terakhir.
Definisi bencana sangat bervariasi. Menurut WHO, bencana adalah setiap
kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa
manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada
skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang
terkena. Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis (Silver WE, Souviron RR., 2009)&(Pusponegoro dkk., 2006).
Singkatnya, bencana merupakan suatu kejadian di luar harapan yang dapat
menimbulkan korban luka maupun meninggal dalam jumlah banyak.
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah
memberikan amanat kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya
identifikasi terhadap mayat yang tidak dikenal. Upaya identifikasi pada korban
dimaksudkan untuk mengembalikan hak korban agar dapat dikembalikan kepada
keluarganya serta mengetahui sebab dan pelaku pada tindak kriminal.
1

Odontologi forensik merupakan salah satu cabang ilmu forensik yang


dapat membantu identifikasi korban bencana alam maupun kriminalitas melalui
pemeriksaan rongga mulut seperti gigi. Penggunaan gigi sebagai alat identifikasi
diketahui memberikan tingkat keakuratan yang tinggi setelah uji DNA.
Identifikasi menggunakan gigi tidak membutuhkan waktu yang lama seperti
halnya uji DNA. Salah satu prosedur identifikasi yang dapat dilakukan adalah
dengan membandingkan data ante-mortem dan post-mortem.
1.2 Tujuan
1) Untuk mengetahui prosedur identifikasi korban bencana alam dan kriminal
2) Untuk mengetahui cara identifikasi ante-mortem dan post-mortem
1.3 Rumusan Masalah
1) Bagaimana prosedur untuk mengidentifikasi korban bencana alam dan
kriminal?
2) Bagaimana cara identifikasi menggunakan ante-mortem dan post-mortem?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Disaster Victim Identification (DVI)
Proses identifikasi korban bencana besar seperti serangan teroris atau
gempa bumi jarang dimungkinkan oleh pengakuan visual. Perbandingan sidik jari,
catatan gigi atau sampel DNA dengan yang disimpan dalam database atau diambil
dari barang pribadi korban sering diharuskan untuk mendapatkan identifikasi yang
meyakinkan. Sebagai orang yang sering bepergian, ada kemungkinan yang tinggi
bahwa bencana akan mengakibatkan kematian warga dari berbagai negara.
2.1.1 International koordinasi
Ketika bencana besar terjadi, satu negara mungkin saja tidak memiliki
sumber daya yang cukup untuk menangani korban massal. Dalam beberapa
kasus, insiden tersebut mungkin telah merusak atau menghancurkan
infrastruktur respon darurat negara, membuat tugas identifikasi korban
bahkan lebih sulit. Sebuah upaya yang terkoordinasi oleh masyarakat
internasional secara signifikan dapat mempercepat proses pemulihan korban
dan identifikasi, memungkinkan keluarga korban untuk memulai proses
penyembuhan dan masyarakat untuk membangun kembali, dalam hal insiden
terorisme, membantu peneliti untuk mengidentifikasi penyerang.
Identifikasi korban bencana (DVI) ini sangat difasilitasi oleh
munculnya teknologi DNA modern. Forensik laboratorium di seluruh dunia
dapat mengekstrak dan merekam sampel DNA profil dari sampel terkecil.
Mengidentifikasi korban orang hilang yang dilaporkan diperumit oleh adanya
bahan DNA yang relevan. Sampel DNA yang dalam hal ini biasanya
diperoleh dari sumber tidak langsung (anggota keluarga). Menghubungkan
korban dengan kerabat terdekat mereka bukan DNA mereka sendiri jauh
lebih sulit karena mereka berbagi beberapa DNA mereka, tetapi tidak semua.
Dalam kasus bencana massal ini rumit karena keluarga mereka dapat terlibat.
Disaster Victim Identification atau DVI adalah metode yang digunakan
untuk mengidentifikasi korban insiden korban massal seperti crash pesawat
atau ledakan bom di Bali. Proses tersebut dapat berlangsung lama dan
3

melibatkan banyak personil karena sifat acara dan kebutuhan agar benar
mengidentifikasi korban. Risiko kesalahan identifikasi individu dapat
membawa ke semua pertanyaan identifikasi dan meningkatkan trauma situasi
yang sudah stres. Proses DVI melibatkan berbagai teknik ilmu forensik yang
digunakan untuk membuat identifikasi yang positif dari para korban
meninggal. Beberapa di antaranya adalah:
a. Sidik jari - dianggap sangat handal jika tersedia. Namun seperti dalam
banyak kasus sidik jari tidak tersedia dan sebagian besar individu tidak
memiliki catatan sidik jari, itu adalah untuk beberapa korban.
b. Odontologi - terutama catatan gigi - dianggap paling dapat diandalkan
untuk mengidentifikasi korban karena gigi dan tulang sebagai anggota
tubuh yang sangat tahan lama dan kebanyakan orang memiliki catatan
gigi.
c. Profiling DNA - dengan kemajuan teknologi, DNA telah menjadi
sangat handal. Perbandingan langsung dapat dibuat antara profil DNA
korban misalnya, profil DNA yang dihasilkan dari sel-sel dalam sikat
rambut diketahui milik korban tragedi itu. Perbandingan tidak langsung
juga dapat dilakukan dengan menggunakan DNA orang tua. Pada
dasarnya adalah proses yang digunakan dalam pengujian paternitas.
Mengingat sifat dari tes DNA itu 100% handal dalam membuat
pengecualian yaitu korban bukanlah orang yang hilang tertentu.
Identifikasi visual terbukti menjadi yang paling dapat diandalkan.
2.1.2 Prosedur Identifikasi DVI (Disaster Victim Identification)
2.1.2.1. Prosedur Umum
Prosedur umum DVI terdiri dari 5 fase yaitu The Scene, Post
Mortem

Examination,

Ante

Mortem

Information

Retrieval,

Reconciliation dan Debriefing.


Pada fase pertama, tim awal yang datang ke TKP melakukan
pemilahan antara korban hidup dan korban mati selain juga
mengamankan barang bukti yang dapat mengarahkan pada pelaku
apabila bencana yang terjadi merupakan bencana yang diduga akibat
ulah manusia. Pada korban mati diberikan label sebagai penanda.
4

Label ini harus memuat informasi tim pemeriksa, lokasi penemuan,


dan nomor tubuh/mayat. Label ini akan sangat membantu dalam proses
penyidikan selanjutnya
Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat.
Fase ini dapat berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan fase
ketiga. Pada fase ini, para ahli identifikasi, dokter forensik dan dokter
gigi forensik melakukan pemeriksaan untuk mencari data postmortem
sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh
tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat. Dilakukan pula
pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data ini
dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar Interpol.
Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem
dimana ada tim kecil yang menerima laporan orang yang diduga
menjadi korban. Tim ini meminta masukan data sebanyak-banyaknya
dari keluarga korban. Data yang diminta mulai dari pakaian yang
terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat, bekas
operasi, dan lainlain), data rekam medis dari dokter keluarga dan
dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak berwenang (kelurahan
atau kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga memilikinya.
Apabila tidak ada data sidik DNA korban maka dilakukan
pengambilan sampel darah dari keluarga korban. Data Ante Mortem
diisikan ke dalam yellow form berdasarkan standar Interpol.
Seseorang dinyatakan teridentifikasi pada fase keempat yaitu
fase rekonsiliasi apabila terdapat kecocokan antara data Ante Mortem
dan Post Mortem dengan kriteria minimal 1 macam Primary
Identifiers atau 2 macam Secondary Identifiers.
Setelah selesai keseluruhan proses identifikasi, dengan hasil
memuaskan maupun tidak, proses identifikasi korban bencana ini
belumlah selesai. Masih ada satu fase lagi yaitu fase kelima yang
disebut fase debriefing. Fase ini dilakukan 3-6 bulan setelah proses
identifikasi selesai. Pada fasedebriefing, semua orang yang terlibat
dalam proses identifikasi berkumpul untuk melakukan evaluasi
5

terhadap semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses


identifikasi korban bencana, baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur,
serta hasil identifikasi. Hal-hal baik apa yang dapat terus dilakukan di
masa yang akan datang, apa yang bisa ditingkatkan, hal-hal apa yang
tidak boleh terulang lagi di masa datang, kesulitan apa yang ditemui
dan apa yang harus dilakukan apabila mendapatkan masalah yang
sama di kemudian hari, adalah beberapa hal yang wajib dibahas pada
saat debriefing.
2.1.2.2. Alat-alat Identifikasi DVI
a. X-Ray
b. Kamera
c. Instrumen Kedokteran Gigi dan Bedah
1) Kaca mulut
Kaca mulut, yaitu sebuah kaca kecil berbentuk bundar dan
diberi gagang. Alat ini akan dimasukkan ke dalam rongga
mulut untuk melihat keadaan gigi dan jaringan di sekitar gigi.

Gambar 2.1: Kaca mulut

2) Sonde
Sonde, yaitu alat yang ujungnya tajam, bisa berbentuk
melengkung atau lurus. Gunanya untuk mendeteksi adanya
karies atau lubang gigi, terutama di daerah yang tersembunyi
atau di antara gigi.

Gambar 2.2: Sonde lurus dan sonde halfmoon

3) Pinset
6

Pinset (yang ujungnya lancip), digunakan untuk mengambil


atau menarik bagian alat-alat tubuh mayat yang dibedah,
memisahkan organ yang satu dengan yang lain. Pinset ada dua
jenis, pinset anatomis jika ujung dari pinset tidak mempunyai
gigi, disebut juga pinset traumatis, yang ke dua, pinset sirurgis
jika ujungnya mempunyai gigi dan disebut pinset atraumatis.
Bentuk keseluruhan pinset juga bermacam-macam, ada yang
panjang dan kecil, ada pinset Addson jika bentuknya pendek
gemuk.

Gambar 2.3: Pinset

4) Gunting bedah
Gunting bedah (lurus), digunakan untuk menggunting bagianbagian

alat

tubuh

seperti usus, jantung, pembuluh

yang

akan

darah dan

diamati,
sebagainya.

Umumnya digunakan untuk mengadakan bukaan pertama pada


bagian tubuh yang akan diperiksa. Gunting sangat banyak
macamnya, ada gunting verband, ada gunting metzembaum
untuk menggunting jaringan, gunting Potts untuk pembedahan
jantung dan pembuluh darah, gunting benang dengan kedua
ujung tajam atau salah satunya yang tajam, ada juga gunting
benang dengan salah satu ujung bilah berlekuk.

Gambar 2.4: Gunting bedah

2.2 Data Post-mortem dan Ante-mortem


Identifikasi adalah penentuan atau pemastian identitas orang yang hidup
maupun mati, berdasarkan beberapa ciri yang khas yang terdapat pada orang
tersebut (Chadha, 1995). Dikenal ada sembilan macam metode identifikasi
personal yaitu: 1) secara visual, 2) dengan dokumen atau surat, 3) pakaian, 4)
perhiasan, 5) identifikasi medis, 6) odontologi, 7) sidik jari, 8) serologi dan 9)
eksklusi (Idris, 1989). Dokter dalam hal ini berperan terutama dalam identifikasi
medis, yang prinsipnya membandingkan data post mortem dan data ante mortem
setelah sebelumnya datanya dikumpulkan (Zainuri S.N., 2004).
Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan
data ante mortem yaitu data-data yang penting dari korban sebelum kejadian atau
pada waktu korban masih hidup,termasuk data vital tubuh, data gigi, data sidik
jari, dan data kepemilikan yang dipakai ataudibawa dan post mortem yaitu datadata hasil pemeriksaan forensik yang dilihat dan ditemukan pada jenazah korban,
semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Primary Identifier
smempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary
Identifiers (Zainuri S.N., 2004).
Data post mortem diperolah dari pemeriksaan pada mayat atau kerangka
yang ditemukan, baik berupa kerangka utuh atau berupa fragmen-fragmen yang
tidak lengkap. Data ante mortem diperoleh dari keterangan-keterangan keluarga,
data dari polisi, data dokter atau dokter gigi dan benda-benda peninggalan korban.
Selain metode membandingkan, dikenal juga metode rekonstruksi, dengan
mengevaluasi data post mortem. Semakin banyak data yang bisa dikumpulkan
akan semakin memudahkan untuk memastikan identitas korban (Zainuri S.N.,
2004).
a. Forensik Pathologis menentukan:
1) Sebab-sebab kematian (penjelasan medis mengenai kematian)
2) Cara kematian (penjelasan sosial tentang kematian-pembunuhan, bunuh-diri,
alam dan kecelakaan)
3) Model kematian (alat-alat atau instrumen yang digunakan-tumpul, tajam,
ujung senjata/senjat api)
8

4) Luka luar dan dalam


5) Luka yang didapat selama hidup (annte-mortem), pada saat meninggal,
(peri-mortem), atau setelah meninggal (post-mortem)
6) Bukti-bukti dari badan, agar dapat mengidentifikasi posibility terhadap
penyerang.
7) Barangkali dapat melalui metode atau senjata yang digunakan dalam aksi.
b. Forensik Antrhopologis menentukan:
Identifikasi terhadap tulang-tulang yang dibandingkan dengan ujian postmortem dan digabungkan dengan informasi ante-mortem yang diberikan oleh
anggota keluarga. Forensik Antrhopologis memperkirakan riwayat

biologis

individual yang termasuk dalam penentuan: umur, jenis-kelamin (perempuan atau


laki-laki), tinggi badan, latar belakang nenek moyang (secara geografi).
Pengalian adalah pencarian kembali mayat-mayat yang dikuburakan
sebelumnya dengan tujuan untuk melakukan ujian post-mortem. Suatu ujian
dilakukan oleh suatu tim yang terdiri dari seorang Forensik Pathologis, Forensik
Archelogis, Pegawai Crime Scene dan Polisi dan juga Pegawai Investigasi.
Suatu pengalian dapat memakan waktu selama 2-4 jam, tergantung pada
tingkat kerja sama dengan anggota keluarga, cuaca (hujan), tanah yang
mempersulit, jumlah individu yang banyak dalam sebuah makam dan kondisi
terhadap tulangtulang. Sebuah Ujian post-mortem (termasuk membersihkan dan
mengeringkan tulangtulang) yang dapat memakan waktu 2-4 hari, tergantung pada
kondisi tulang yang dimaksud. Jika tulang-tulang telah retak atau berpisah, proses
rekontruksi dapat dilakukan yang memerlukan banyak waktu.

2.2.1 Pengertian Data Post-mortem


Data post-mortem adalah data yang diperoleh setelah kematian.
Kegiatan penggumpulan data post-mortem (fase Collecting Post Mortem
Data) dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi
yang memimpin komando DVI. Dalam fase ini dilakukan berbagai
pemeriksaan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap lengkapnya
mengenai korban. Data post-mortem diantaranya meliputi foto kondisi
9

jenazah korban. Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar maupun


pemeriksaan dalam jika diperlukan, pemeriksaan sidik jari, pemeriksaan
rontgen, pemeriksaan odontologi forensik (bentuk gigi dan rahang
merupakan ciri khusus setiap orang, tidak ada gigi yang identik pada 2 orang
yang berbeda), pemeriksaan DNA, pemeriksaan antropologi forensik, yaitu
pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat
badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban
(Yudha, 2004).
Data post-mortem digolongkan menjadi data primer dan data sekunder.
Data primer berasal dari sidik jari, profil gigi, DNA, sedangkan data
sekunder berasal dari pemeriksaan visual, fotografi, properti jenazah, medikantropologi , tinggi badan, ras (Yudha, 2004).
2.2.2 Fungsi Data Post-Mortem
Profil postmortem gigi biasanya akan memberikan informasi tentang
umur, latar belakang keturunan, jenis kelamin dan status sosial ekonomi.
Dalam beberapa kasus adalah mungkin untuk memberikan informasi
tambahan mengenai pekerjaan, kebiasaan diet, kebiasaan perilaku, dan
kadang-kadang pada penyakit gigi atau sistemik. Antropolog forensik paling
sering memberikan rincian studi osteological, namun dokter gigi forensik
dapat membantu dalam proces (Jones,1998).
Penentuan jenis kelamin dan keturunan dapat dinilai dari bentuk
tengkorak dan bentuk gigi. Umumnya, dari penampilan tengkorak, dokter
gigi forensik dapat menentukan ras dalam tiga kelompok utama: Caucasoid,
Mongoloid dan bersifat Negro. Karakteristik tambahan, seperti cusp
Carabelli, berbentuk sekop gigi seri dan multi-cusped premolar, juga dapat
membantu dalam penentuan seks yang biasanya didasarkan pada penampilan
kranial, karena tidak ada perbedaan jenis kelamin yang jelas dalam morfologi
gigi. Pemeriksaan mikroskopis gigi dapat mengkonfirmasi seks dengan ada
atau tidak adanya Y-kromatin dan analisis DNA juga dapat mengungkapkan
sex (Adachi,1989).
2.2.3 Pengertian Data Ante Mortem
Data Ante-mortem adalah data mengenai jenazah sebelum kematian.
10

Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang
terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto korban
semasa hidup, interpretasi ciri ciri spesifik jenazah (tato, tindikan, bekas
luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa
hidup, sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi
informasi lain yang relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan
identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian terakhir yang dikenakan
korban. Pada saat kejadian bencana, kegiatan pengumpulan data mengenai
jenazah sebelum kematian ini disebut fase Collecting Ante Mortem Data
(Yudha, 2004).
Elemen yang paling penting dalam forensic kedokteran gigi adalah
bahwa praktisi umum menyediakan rekam antemortem (sebelum kematian)
untuk membantu identifikasi korban. Dokter gigi forensic bisa dipangil untuk
mengidentifikasi korban yang tidak dapat diidentifikasi secara visual. Hal ini
meliputi kasus korban terbakar, korban yang sudah membusuk atau korban
mutilasi. Data ante-mortem bisa berupa rekam medis.Rekam medis
merupakan kumpulan data-data pasien. Karena data-data yang disimpan
tersebut sangat dibutuhkan bagi pasien, dokter dan dokter gigi. Data rekam
medis dapat berupa manual maupun elektronik (Whittaker, 1998).
2.2.4 Fungsi Data Ante- Mortem
Dalam laporan singkat rekam medis pasien merupakan uraian lengkap
mengenai riwayat, pemeriksaan fisik, diagnosa, tindakan pasien. Rekam
medik dapat meliputi beberapa elemen berbeda

yang paling sering

dimasukkan adalah catatan tertulis, radiografi, study model, surat konsul,


laporan konsultan, fotografi klinis, hasil dari pemeriksaan khusus, serep obat,
hasil laboratorium, informasi pemeriksaan pasien, dan riwayat medis secara
keseluruhan. Dental record juga merupakan alat bukti yang sah menurut
hukum, menurut yang tercantum dalam Menteri Kesehatan Siti Fadillah
Supari yangmenertibkan aturan baru yang lebih fleksibel, yakni Permenkes
No. 269/Menkes/Per/III/2008 (Whittaker, 1998).
Peran yang paling umum dari dokter gigi forensik adalah identifikasi
korban. Pertama, pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah
11

identifikasi

dengan membandingkan barang yang dikenakan atau ada

disekitar korban dengan sebelum kejadian. Data antemortem (sebelum


kematian) seperti dental record berguna untuk memastikan bahwa seseorang
itu adalah individu yang sama. Informasi dari tubuh atau keadaan biasanya
berisi petunjuk dari korban yang telah meninggal. Jika dalam kasus-kasus di
mana data antemortem tidak tersedia, dan tidak ada petunjuk tentang identitas
, dapat dilakukan identifikasi data postmortem (setelah kematian) saja secara
maksimal (Sweet, 1998).
Dental record oleh dokter gigi dapat menjadi data antemortem.
Pengumpulan data antemortem dan postmortem digunakan untuk proses
perbandingan. Perbandingan metodis dan sistematis hasil pemeriksaan setiap
gigi dan struktur sekitarnya oleh dokter gigi forensik diperlukan. Adanya
restorasi gigi akan memudahkan proses identifikasi. Ketika dental record
antemortem tidak tersedia dan metode lain untuk identifikasi yang tidak
mungkin, dokter gigi forensik dapat membantu membuat profil gigi
postmortem (Adachi,1989).
2.3 Pencocokan Data Post-mortem dan Ante-mortem
Data gigi antemortem atau disebut juga data-data prakematian gigi-geligi
adalah keterangan tertulis, catatan atau gambaran dalam kartu perawatan gigi atau
keterangan dari keluarga atau orang yang terdekat (Depkes RI, 2006).
Keterangan data-data biasanya berisi (Depkes RI, 2006):
a. Nama penderita
b. Umur
c. Jenis kelamin
d. Pekerjaan
e. Tanggal perawatan, penambalan , pencabutan, dan lain-lain
f. Pembuatan gigi tiruan ,orthodonti, dan lain-lain
g. Foto Roentgen
Sumber data-data antemortem tentang kesehatan dan gigi diperoleh dari
(Depkes RI, 2006) :
a. Klinik gigi rumah sakit pemerintah, TNI / Polri, dan swasta
b. Lembaga-lembaga pendidikan
12

c. Praktek pribadi dokter gigi


Semua data-data yang diperoleh dalam identifikasi dituangkan dalam
formulir baku mutu nasional, yaitu ke dalam formulir korban tindak pidana yang
berwarna merah atau disebut dengan data postmortem, pada korban hidup tetap
pula ditulis ke dalam formulir yang sama, sedangkan data-data semasa hidup
ditulis ke dalam formulir antemortem yang berwarna kuning. Hal ini berlaku pula
pada pelaku, ia mempunyai kedua penulisan data pula, antemortem dan
postmortem pada kertas yang berwarna kuning dan merah (Lukman, 2006).
Rekonsiliasi merupakan fase pencocokan data antemortem dengan data
postmorten. Seseorang dinyatakan teridentifikasi apabila pada fase rekonsiliasi
terdapat kecocokan antara data Ante Mortem dan Post Mortem dengan kriteria
minimal 1 macam Primary Identifiers atau 2 macam Secondary Identifiers.
2.3.1 Primary Identifiers:
Merupakan identifikasi yang dapat berdiri sendiri tanpa perlu dibantu
oleh kriteria identifikasi lain. Teknik identifikasi primer yaitu :
1) Dental Record
Profil gigi dapat digunakan untuk melihat bagaimana kondisi gigi korban,
apakah ada tambalan ,pernah treatment apa, dsb. Kalau bisa diidentifikasi,
dapat ditanyakan ke dokter gigi yang pernah menangani untuk dapat
mendapatkan deskripsi fisik dari korban.

Gambar 2.5: Oklusi gigi geligi

Walaupun identifikasi dengan menggunakan gigi-geligi sudah banyak


terbukti keakuratannya namun tetap saja ada berbagai syarat yang harus
terdapat pada data-data untuk identifikasi kedokteran gigi forensik agar
data tersebut bisa dikatakan valid.
2) Finger print

13

Sedangkan sidik jari digunakan karena tiap orang pasti memilik sidik jari
yang berbeda. Dari hasil penelitian, kemungkinan sidik jari orang sama
adalah 1: 64 x 10^9. Selain itu, sidik jari juga tidak berubah dan tetap dari
kecil sampai dewasa (kecuali memang kalau ada luka, dsb).
Gambar 2.6: Sidik jari

Kuntungan dari metode ini mudah dilakukan secara massal dan biaya yang
murah. Metode ini membandingkan sidik jari jenazah dengan data sidik
jari antemortem. Sampai sekarang, pemeriksaan sidik jari merupakan
pemeriksaan yang diakui paling tinggi ketepatannya untuk menetukan
identitas seseorang. Dengan demikian harus dilakukan penanganan yang
sebaik-baikbya terhadap jari tangan jenazah untuk pemeriksaan sidik hari,
misalnya dengan melakukan pembungkusan kedua tangan jenazah dengan
kantong plastik.
Daktiloskopi adalah suatu sarana dan upaya pengenalan identitas diri
seseorang melalui suatu proses pengamatan dan penelitian sidik jari, yang
dipergunakan untuk berbagai keperluan/kebutuhan, tanda bukti, tanda
pengenal, ataupun sebagai pengganti tanda tangan.
Sidik jari adalah suatu impresi dari alur-alur lekukan yang menonjol dari
epidermis pada telapak tangan dan jari-jari tangan atau telapak kaki dan
jari-jari kaki, yang juga dikenal sebagai "dermal ridges" atau " dermal
papillae", yang terbentuk dari satu atau lebih alur-alur yang saling
berhubungan. Sidik jari mulai tumnuh sejak janin berusia empat minggu
hingga sempurna saat enam bulan di dalam kandungan.
Sifat-sifat khusus yang dimiliki sidik jari :
i.

Perennial nature : yaitu guratan-guratan pada sidik jari yang melekat


pada kulit manusia seumur hidup.

14

ii.

Immutability : yaitu sidik jari seseorang tidak pernah berubah,


kecuali mendapatkan kecelakaan yang serius.

iii.

Individuality : pola sidik jari adalah unik dan berbeda untuk setiap
orang.

Gambar 2.7: Perbedaan pola fingerprint pada setiap orang

Mengenai bentuk dan pola sidik jari yang terdiri dari tiga jenis di atas
memiliki ciri-ciri yang khas yaitu :
Whorl (melingkar) yaitu bentuk pokok sidik jari, mempunyai 2 delta dan
sedikitnya satu garis melingkar di dalam pattern area, berjalan di depan
15

kedua delta. Jenis whorl terdiri dari Plain whorl, Central pocket loop
whorl, Double loop whorl dan Accidental whorl.
Whorl bisa berbentuk sebuah Spiral, Bulls-eye, atau Double Loop. Whorl
adalah titik-titik menonjol dan kontras, dan bisa dilihat dengan mudah.
Cetakan

Spiral

dan

Bulls-eye

adalah

persis

sebangun

dalam

interpretasinya, namun yang kedua memberikan sedikit lebih banyak


fokus. Di mana pun di bagian tangan, Whorl menyoroti dan menekankan
kepada daerah tertentu, menjadikannya sebuah wilayah fokus di dalam
kehidupan subyek.
Loop adalah bentuk pokok sidik jari dimana satu garis atau lebih datang
dari satu sisi lukisan, melereng, menyentuh atau melintasi suatu garis
bayangan yang ditarik antara delta dan core, berhenti atau cenderung
berhenti ke arah sisi semula. Loop dapat menaik ke arah ujung jari, atau
menjatuh ke arah pergelangan tangan. Common Loop bergerak ke arah ibu
jari, sementara Radial Loop (Loop terbalik) bergerak mengarahkan ujung
pemukulnya ke sisi lengan.
Arch merupakan bentuk pokok sidik jari yang semua garis-garisnya
datang dari satu sisi lukisan, mengalir atau cenderung mengalir ke sisi
yang lain dari lukisan itu, dengan bergelombang naik di tengah-tengah.
Pola ini bisa terlihat sebagai sebuah Flat Arch, atau Tented Arch.
Perhatikan setiap pola Arch menaik sangat tinggi.
3) DNA Analysis
DNA dapat dipakai karena dapat menunjukkan secara genetik apakah
benar ada kerabat antara korban dan orang yang mengaku. Selain itu DNA
juga dapat diambil dari bagian tubuh korban mana saja apakah rambut,
kulit, ketombe, kuku, dsb.

16

Gambar 2.8: Rantai DNA

DNA adalah materi genetik yang membawa informasi yang dapat


diturunkan. Di dalam sel manusia DNA dapat ditemukan di dalam inti sel
dan di dalam mitokondria. Hampir semua sampel biologis dapat dipakai
untuk tes DNA, seperti buccal swab (usapan mulut pada pipisebelah
dalam), darah, rambut beserta akarnya, walaupun lebih dipilih penggunaan
darah dalam tabung (sebanyak 2 ml) sebagai sumber DNA.
Identifikasi dengan menggunakan faktor dental biasanya digunakan
apabila metode umum lainnya seperti metode pengamatan dan sidik jari
tidak mampu menghasilkan hasi lyang diharapkan, atau sebagai
identifikasi tambahan bila diperlukan. Idealnya identifikasi positif ( yang
berhasil ) harus berdasarkan dari 2 identifikasi atau lebih. Identifikasi
visual adalah metode yang sangat umum dilakukan oleh polisi atau yang
berwenang. Namun metode ini tidak dapat dilakukan bila mayat atau
jenazah

mengalamikerusakan

yang

sangat

parah,

terbakar

atau

terdekomposisi. Terutama apabila terjadi bencanaalam yang menghasilkan


banyak korban, pengamatan secara visual hamper tidak bisa dilakukan.
Identifikasi melalui sidik jari pun tidak selalu menghasilkan identifikasi
postif, karena tidak semua orang memiliki catatan mengenai sidik jari
mereka, hanya tentara serta pelakucriminal saja yang biasanya memiliki
data mengenai sidik jari mereka. Dengan beberapa kelemahan yang ada
pada metode lainnya, identifikasi secara dental menjadi salah satu metode
yang diandalkan untuk melengkapi metode lainnya.
2.3.2

Secondary Identifiers
17

Pemeriksaan dengan menggunakan data identifikasi sekunder tidak


dapat berdiri sendiri dan perlu didukung kriteria identifikasi yang lain.
Identifikasi sekunder terdiri atas cara sederhana dan cara ilmiah. Cara
sederhana yaitu melihat langsung ciri seseorang dengan memperhatikan
perhiasan, pakaian dan kartu identitas yang ditemukan. Cara ilmiah yaitu
melalui teknik keilmuan tertentu seperti pemeriksaan medis. Ada beberapa
cara identifikasi yang biasa dilakukan, yaitu:
1) Analisis medis
Pemeriksaan fisik secara keseluruhan, yang meliputi bantuk tubuh, tinggi
tubuh dan berat badan, warna tirai mata, adanya cacat tubuh serta kelainan
bawaan, jaringan parut bekas operasi serta tato, dapat memastikan siapa
jati diri korban.
Pada beberapa keadaan khusus, tidak jarang harus dilakukan pemeriksaan
radiologis, yaitu untuk mengetahui keadaan sutura, bekas patah tulang atau
pen serta pasak yang dipakai pada perawatan penderita patah tulang.
Bentuk gigi dan bentuk rahang merupakan ciri khusus dari seseorang,
sehingga dapat dikatakan tidak ada gigi atau rahang yang identik pada dua
orang yang berbeda. Menjadikan pemeriksaan gigi ini mempunyai nilai
yang tinggi dalam hal penetuan jati diri seseorang.
Pemeriksaan atas gigi ini menjadi lebih penting bila keadaan korban sudah
rusak atau membusuk, dimana dalam keadaan tersebut pemeriksaan sidik
jari tidak dapat dilakukan, sehingga dapat dikatakan gigi merupakan
pengganti dari sidik jari.
Satu keterbatasan pemanfaatan gigi sebagai sarana identitas adalah belum
meratanya sarana untuk pemeriksaan gigi, demikian pula pendataannya
(dental record), oleh karena pemeriksaan gigi masih merupakan hal yang
mewah bagi kebanyakan rakyat Indonesia. Dengan demikian, pemeriksaan
gigi sifatnya lebih selektif.
2) Properti
Dengan memperhatikan dengan cermat atas korban, terutama wajahnya
oleh pihak keluarga atau rekan dekatnya, maka jati diri korban dapat
diketahui. Walaupun metode ini sederhana, untuk mendapatkan hasil yang
diharapkan perlu diketahui bahwa metode ini baru dapat dilakukan bila

18

keadaan tubuh dan terutama wajah korban dalam keadaan baik dan belum
terjadi pembusukan yang lanjut.
Selain itu perlu diperhatikan faktor psikologis, emosi, latar belakang
pendidikan; oleh karena faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi hasil
pemeriksaan.
Pakaian
Pencatatan yang teliti atas pakaian, hal yang dipakai, mode serta adanya
tulisan-tulisan seperti merek, penjahit, laundry atau initial nama, dapat
memberikan informasi yang berharga, milik siapakah pakaian tersebut.
Bagi korban yang tidak dikenal, menyimpan pakaian secara keseluruhan
atau potongan-potongan dengan ukuran 10cmx10cm, adalah merupakan
tindakan yang tepat agar korban masih dapat dikenali walaupun tubuhnya
telah dikubur.
Perhiasan
Anting-anting, kalung, gelang serta cincin yang ada pada tubuh korban,
khususnya bila pada perhiasan terdapat initial nama seseorang yang
biasanya terdapat pada bagian dalam dari gelang atau cincin. Akan
membantu dokter atau pihak penyidik di dalam menetukan identitas
korban. Mengingat kepentingan tersebut, maka penyimpanan dari
perhiasan haruslah dilakukan dengan baik.

Dokumen
Kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, paspor, kartu golongan
darah, tanda pembayaran dan lainnya yang ditemukan dalam dompet atau
tas korban dapat menunjukka jati diri korban.
Khusus pada kecelakaan masal, perlu diingat akan kebiasaan seseorang di
dalam menaruh dompet dan tasnya. Pada pria dompet biasanya terdapat
dalam saku baju atau celana, sedangkan pada wanita tas biasanya
dipegang, sehingga pada kecelakaan masal tas dapat terlempar dan sampai
pada orang lain bukan pemiliknya. Jika hal ini tidak diperhatikan,
kekeliruan identitas dapat terjadi, khususnya bila kondisi korban sudah
busuk atau rusak.
3) Fotografi
19

Identifikasi melalui fotografi kedokteran gigi forensik, misalnya teknik


fotografi superimposisi yang dilakukan dengan menumpang-tindihkan foto
postmortem dan foto wajah antemortem, teknik ini dilakukan apabila
identifikasi dengan teknik lain seperti rekam medik gigi, sidik jari, dan
DNA tidak dapat dilakukan, selain itu harus tersedia foto antemortem yang
fokus pada wajah.
Reconciliation Pada fase ini dilakukan pembandingan data post
mortem dengan data ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang
terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah temuan post mortem
pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai
sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka
dikatakan identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang
dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap negatif dan
data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem
yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah.
Semakin banyak kecocokan antara data antemortem dan postmortem,
maka akan semakin baik hasil identifikasi korban. Primary Identifiers
mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary
Identifiers. Selanjutnya dalam identifikasi tidak hanya menggunakan satu
cara saja, segala cara yang mungkin harus dilakukan, hal ini penting oleh
karena semakin banyak kesamaan yang ditemukan akan semakin akurat.
Identifikasi tersebut minimal harus menggunakan 2 cara yang digunakan
memberikan hasil yang positif (tidak meragukan). Identifikasi terhadap mayat
dapat dikatakan positif apabila minimal satu dari metode identifikasi primer
adalah cocok atau jika tidak ada yang cocok dari metode identifikasi primer,
maka seluruh metode identifikasi sekunder harus cocok. Prinsip dari proses
identifikasi, mudah yaitu dengan membandingkan data-data tersangka korban
dengan data dari korban yang tak dikenal, semakin banyak kecocokan
semakin tinggi nilainya. Data gigi, sidik jari, atau DNA secara tersendiri
sudah dapat digunakan sebagai faktor determinan primer. Sedangkan, data
medis, properti dan ciri fisik harus dikombinasikan setidaknya dua jenis
untuk dianggap sebagai ciri identitas yang pasti.
20

Beberapa kategori yang disarankan digunakan dalam menentukan hasil


investigasi identifikasi odontology forensik. American Board of Forensic
Odontology merekomendasikannya dalam 4 kesimpulan hasil, antara lain:
1. Positif Identification (identifikasi posistif) : jika dental record
antemortem dan postmortem memiliki kesesuaian untuk dapat diputuskan
bahwa kedua datatersebut berasal dari orang yang sama. Sebagai
tambahan tidak terdapat perbedaan yang tidak dapat dijelaskan.
2. Possible Identification (kemungkinan identifikasi) : jika pada dental
recordantemortem dan postmortem memiliki bagian-bagian yang sesuai
namun karena kualitas keadaan sisa-sisa tubuh postmortem atau bukti
antemortemsehingga

tidak

memungkinkan

mengambil

keputusan

identitas adalah positif.


3. Insufficient Evidence (barang bukti kurang) : jika data-data yang
didapatkantidak mencukupi untuk menjadi dasar dalam mengambil
keputusan.
4. Exclusion (pengecualian): data antemortem dan postmortem jelas tidak
sama.
Gigi merupakan suatu cara identifikasiyang dapat dipercaya,
khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yangpernah
dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat
pentingapabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti
halnya kebakaran. Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui
gigi, kita dapatkan 2 kemungkinan:
1) Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau
menyempitkan identifikasi. Informasi ini dapat diperoleh antara lain
mengenai:
a. umur
b. jenis kelamin
c. ras
d. golongan darah
e. bentuk wajah
f. DNA
21

Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas umur korban


misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada data-data orang hilang yang
berada disekitar umur korban. Dengan demikian penyidikan akan menjadi
lebih terarah.
2) Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut. Di
sini dicatat ciri-ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secara
lebih akurat dari pada sekedar mencari informasi tentang umur atau jenis
kelamin.
Identifikasi dalam kedokteran gigi forensik ada beberapa macam, yaitu
(Lukman, 2006):
a. Identifikasi ras korban maupun pelaku melalui gigi-geligi dan
antropologi ragawi.
b. Identifikasi seks atau jenis kelamin korban melalui gigi-geligi, tulang
rahang, dan antropologi ragawi.
c. Identifikasi umur korban (janin) melalui benih gigi.
d. Identifikasi umur korban melalui gigi susu (decidui).
e.

Identifikasi umur korban melalui gigi campuran.

f. Identifikasi umur korban melalui gigi tetap.


g. Identifikasi korban melalui kebiasaan menggunakan gigi.
h. Identifikasi korban melalui pekerjaan menggunakan gigi.
i. Identifikasi golongan darah korban melalui air liur.
j. Identifikasi golongan darah korban melalui pulpa gigi.
k. Identifikasi DNA korban melalui analisa air liur dan jaringan dari sel
dalam rongga mulut.
l.

Identifikasi korban melalui gigi palsu yang dipakainya.

m. Identifikasi wajah korban melalui rekontruksi tulang rahang dan tulang


facial.
n. Identifikasi melalui wajah korban.
o. Identifikasi korban melalui pola gigitan pelaku.
p. Identifikasi korban melalui eksklusi pada korban bencana massal.
q. Identifikasi melalui radiologi kedokteran gigi forensik.

22

r. Identifikasi melalui fotografi kedokteran gigi forensik, misalnya


teknik fotografi superimposisi yang dilakukan dengan menumpangtindihkan foto postmortem dan foto wajah antemortem, teknik ini
dilakukan apabila identifikasi dengan teknik lain seperti rekam medik
gigi, sidik jari, dan DNA tidak dapat dilakukan, selain itu harus
tersedia foto antemortem yang fokus pada wajah.
3) Identifikasi melalui formulir identifikasi korban.
Walaupun identifikasi dengan menggunakan gigi-geligi sudah banyak
terbukti keakuratannya namun tetap saja ada berbagai syarat yang harus
terdapat pada data-data untuk identifikasi kedokteran gigi forensik agar
data tersebut bisa dikatakan valid. Ada beberapa kriteria yang merupakan
syarat untuk validitas identifikasi dengan gigi-geligi, yaitu ( Sopher,
1976):
1) Data yang tersedia harus bersifat multipel, permanen, dapat diukur
atau diteliti, sehingga menjamin individualitas dari data yang tersedia.
2) Terdapat registrasi yang akurat mengenai karakteristik individu (data
antemortem) yang memungkinkan untuk dibandingkan dengan data
postmortem.
3) Data dilengkapi dengan gambaran spesifik yang tahan terhadap gaya
destruktif,

sehingga

dapat

tetap

menjadi

jaminan

untuk

keindividualitasan data walaupun tidak tersedia gambaran identifikasi


lainnya.
Gigi mempunyai nilai spesifik atau individualitas yang sangat tinggi
mengingat begitu tidak terbatasnya kemungkinan kombinasi ciri-ciri khas
pada gigi, baik ciri alami maupun akibat tindakan perawatan terhadap gigigeligi. Ciri-ciri khas tersebut antara lain (Ardan, 1999):
a. Jumlah gigi
Jumlah gigi dapat menjadi suatu ciri yang khas pada seseorang. Hal ini
karena jumlah gigi pada seseorang dapat berbeda-beda. Satu atau
beberapa gigi pada rahang dapat tidak ada, baik secara klinis atau
radiologis, selain itu sering juga ditemukan jumlah gigi lebih banyak
dari normal. Jumlah gigi yang berkurang dapat disebabkan gigi yang
23

lepas alami, pencabutan, trauma (benturan dengan benda tumpul),


kongenital (tidak terbentuknya benih gigi molar ketiga, premolar
kedua, incisivus kedua), impaksi, dan pergeseran gigi.
b. Restorasi mahkota dan protesa
Restorasi mahkota dan protesa sangat bersifat individual karena dibuat
sesuai kebutuhan masing-masing individu. Beberapa ciri khas dari
protesa yang dapat diamati adalah bentuk daerah relief dari langitlangit, bentuk dan kedalaman post-dam, desain sayap labial, penutupan
daerah retromolar, warna akrilik, bentuk, ukuran dan bahan gigi
artifisial, serta bentuk dan ukuran linggir alveolar.
c.

Karies Gigi
Jumlah gigi yang karies dan letaknya dicatat dalam odontogram. Ada
kemungkinan gigi yang karies sudah ditambal, maka harus dilakukan
juga pemeriksaan catatan perawatan.
Fraktur dari gigi yang karies bentuknya tidak teratur, berwarna coklat,
umumnya terjadi pada gigi posterior, dilapisi sisa-sisa makanan, dan
bekas rokok. Adanya dentin sekunder menunjukkan bahwa fraktur
sudah lama terjadi. Fraktur gigi mahkota karena trauma yang baru
terjadi atau pascakematian dengan bagian tepi gigi tidak menunjukkan
karies maka permukaan frakturnya cenderung tajam.

d. Gigi yang malposisi dan malrotasi


Malposisi

dapat

berupa

gigi

berjejal,

gigi

saling

menutup

(overlapping), miring, bergeser, dan jarang-jarang. Malrotasi dapat


berupa terputarnya gigi. Keadaan malposisi dan malrotasi seringkali
tidak dicatat pada pemeriksaan sehari-hari (antemortem), maka untuk
mengatasinya keadaan malposisi dan malrotasi dapat diperiksa data
postmortem dari model cetakan atau dari foto roentgen.
e. Gigi berbentuk abnormal
Gigi dapat berbentuk abnormal karena faktor kongenital atau dapatan.
Gigi abnormal yang disebabkan faktor kongenital dapat berupa
hutchinson dan gigi incisivus lateral berbentuk runcing (peg shaped).

24

Bentuk gigi abnormal yang disebabkan faktor dapatan antara lain


akibat pekerjaan dan kebiasaan yang akan mempengaruhi bentuk gigi.
f. Perawatan endodontik
Perawatan endodontik merupakan perawatan bagian pulpa (rongga
pulpa dan atau saluran akar). Jaringan pulpa pada rongga pulpa dan
atau saluran akar sudah non-vital atau sudah didevitalisasi, yang
kemudian diawetkan dengan bahan mumifikasi atau diisi dengan bahan
pengisi berisi obat, sehingga tidak akan jadi sumber infeksi.
Sebagai bahan pengisi pulpa diberi bahan yang akan memberikan
kontras, sehingga dapat terlihat jelas pada foto roentgen. Bentuk bahan
pengisi, maupun kesempurnaan pengisian pulpa dapat memberikan
gambaran foto roentgen yang spesifik. Biasanya mahkota gigi yang
sudah mengalami perawatan saluran akar dibungkus dengan mahkota
tiruan dari bahan logam atau bahan porselen.
g. Pola trabekulasi tulang
Pola trabekulasi tulang dapat dilihat pada foto roentgen antemortem
maupun foto roentgen postmortem. Dari foto roentgen tersebut dapat
juga dilihat kemiringan gigi, ruang interproksimal, resorpsi tulang
akibat penyakit periodontal, perubahan pada ruangan pulpa, dan
bentuk saluran akar.
h. Oklusi gigi
Oklusi gigi adalah hubungan kontak oklusal antara gigi di rahang atas
terhadap gigi di rahang bawah. Oklusi gigi diklasifikasikan menurut
klasifikasi Angle, yaitu oklusi kelas I, kelas II, dan kelas III. Masingmasing kelas mempunyai subkelas tergantung keadaan gigi yang lain
(berjejal, gigitan bersilang, dll).
i. Patologi oral
Kelainan struktur oral dapat merupakan suatu ciri yang khas pada
individu. Macam-macam kelainan struktur rongga mulut tersebut dapat
berupa:
Torus mandibularis dan torus palatinus
25

Torus mandibularis adalah protuberansia perkembangan tulang yang


kadang-kadang terdapat pada aspek lingual mandibula di daerah
premolar. Torus palatinus adalah eminensia perkembangan tulang
yang kadang-kadang terdapat pada garis median palatum keras
(Harty dan Ogston, 1993).
Kelainan lidah
Kelainan lidah yang khas pada individu dapat membantu proses
identifikasi. Kelainan yang biasa terjadi pada lidah dapat berupa
pendeknya frenulum lingualis (ankyloglossia), lesi yang berbentuk
seperti peta (geographic tongue), fissure tongue, Fordices granules,
dan Median Rhomboid Glossitis (Sonis, et al., 1995).
Hiperplasia gusi karena dilantin
Hiperplasia gusi adalah pembengkakkan gingiva akibat proliferasi
sel. Hal tersebut bisa timbul akibat pengobatan (Harty dan Ogston,
1993).
Pigmentasi gusi
Pigmentasi merupakan pewarnaan yang dihasilkan oleh tubuh
melalui deposisi pigmen (Harty dan Ogston, 1993). Deposisi pigmen
ini bisa berasal dari sumber eksogen dan endogen. Sumber eksogen
dapat dikarenakan dari deposit bahan asing pada jaringan, bakteri,
fungi, dan ingesti dari bahan logam yang terdeposit di jaringan.
Sumber endogen disebabkan oleh melanin, bilirubin, dan besi (Sonis,
et al., 1995). Jadi dari pigmentasi gusi ini dapat diperkirakan
penyakit sistemis yang diderita korban dan pekerjaan korban.
Adanya kista pada tulang rahang
Kista adalah kantung atau rongga abnormal pada jaringan yang
dikelilingi epitel. Kista memiliki batas jelas dan mengandung cairan
atau bahan semi cair (Harty dan Ogston, 1993).
Gigi-geligi juga dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin
korban, ras korban, dan umur korban. Hal-hal tersebut dibutuhkan
sebagai data tambahan dan dapat juga digunakan sebagai alat
mempersempit populasi untuk memudahkan proses identifikasi.
26

2.3.3

Penentuan jenis kelamin


Pada kasus-kasus tertentu seperti mutilasi atau korban bencana massal

dengan tubuh yang sudah terpisah-pisah, penentuan jenis kelamin tidak dapat
dilakukan dengan mudah seperti penentuan jenis kelamin pada orang hidup
atau mayat yang masih utuh. Penentuan jenis kelamin pada kasus-kasus
tersebut dapat ditentukan melalui gigi-geligi.
Penentuan jenis kelamin melalui gigi-geligi dapat dilakukan dengan
melihat bentuk lengkung gigi, ukuran diameter mesio-distal gigi, dan
kromosom yang terdapat pada pulpa. Bentuk lengkung gigi pada pria
cenderung tapered, sedangkan wanita cenderung oval, ukuran diameter
mesio-distal gigi taring bawah wanita = 6,7 mm dan pria = 7 mm. Kromosom
X dan Y dapat ditentukan dengan menggunakan sel pada pulpa gigi sampai
dengan lima bulan setelah pencabutan gigi dan kematian (Astuti, 2008).
2.3.4

Penentuan ras korban


Ras korban dapat diketahui dari struktur rahang dan gigi-geliginya.

Secara antropologi, ras dibagi tiga yaitu ras kaukasoid, ras negroid, dan ras
mongoloid. Masing-masing ras memiliki bentuk rahang dan struktur gigigeligi yang berbeda (Astuti, 2008).
Penentuan umur korban atau lebih tepatnya perkiraan umur juga dapat
dilakukan melalui pemeriksaan gigi-geligi (Astuti, 2008):
a. Melihat pertumbuhan dan perkembangan gigi
Perkembangan gigi mulai dapat dipantau sejak mineralisasi gigi susu,
yaitu umur empat bulan dalam kandungan hingga mencapai saat
sempurnanya gigi molar kedua tetap. Pemanfaatan molar ketiga mulai
terbatas karena sudah mulai banyaknya molar tersebut yang tidak tumbuh
sempurna. Sehubungan dengan ini dikenal beberapa tahap yang dapat
dipantau dengan baik, yaitu:
1)

Intrauteri:

dipantau

melalui

sediaan,

dengan

melihat

tahap

mineralisasi gigi dapat diketahui usia kandungan.


2)

Postnatal tanpa gigi: berkisar antara umur 0 6 bulan, yaitu saat


tumbuhnya gigi susu yang pertama. Penentuan umur secara tetap disini
masih memerlukan sediaan mikroskopis dengan melihat mineralisasi.
27

Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan terhadap tahap


perkembangan gigi yang belum tumbuh atau masih di dalam tulang
dengan bantuan roentgen.
3)

Masa pertumbuhan gigi susu: berkisar antara umur 6 bulan 3 tahun,


saat

bermunculannya

gigi

susu

ke

dalam

mulut.

Dengan

memperhatikan gigi mana yang sudah tumbuh dan belum tumbuh,


umur dapat diperkirakan dengan kisaran yang relatif sempit.
4)

Masa statis gigi susu: berkisar antara umur 3 6 tahun. Pada masa ini
penentuan umur melihat tingkat keausan gigi susu dan jika diperlukan
dengan bantuan roentgen untuk melihat tahap pertumbuhan gigi tetap.

5)

Masa gigi-geligi campuran: berkisar antara 6 12 tahun. Pada masa


ini umur dapat dilihat dari gigi susu yang tanggal dan gigi tetap yang
tumbuh.

6)

Masa penyelesaian pertumbuhan gigi tetap: yaitu saat tidak adanya


gigi susu yang tanggal dan selesainya pembentukan akar gigi yang
terakhir tumbuh, yaitu molar kedua tetap.

b. Metode Gustafson
Setelah masa pertumbuhan gigi tetap selesai, maka pertumbuhan dan
perkembangan gigi tidak banyak lagi memberikan bantuan untuk
menentukan umur karena kondisinya dapat dikatakan menetap. Untuk itu
Gustafson (1950) menemukan 6 metode dalam menentukan umur:
1) Atrisi: akibat penggunaan rutin pada saat makan, sehingga permukaan
gigi mengalami keausan.
2) Penurunan

tepi

gusi:

sesuai

dengan

pertumbuhan

gigi

dan

pertambahan umur, maka tepi gusi (margin-gingival attachment) akan


bergerak ke arah apikal.
3) Pembentukan dentin sekunder: sebagai upaya perlindungan alami pada
dinding pulpa gigi akan dibentuk dentin sekunder yang bertujuan
menjaga ketebalan jaringan gigi yang melindungi pulpa. Semakin tua
seseorang semakin tebal dentin sekundernya.
4) Pembentukan semen sekunder: dengan bertambahnya umur, maka
semen sekunder di ujung akar pun bertambah ketebalannya.
28

5) Transparansi dentin: karena proses kristalisasi pada bahan mineral


gigi, maka jaringan dentin gigi berangsur menjadi transparan. Proses
transparan ini dimulai dari ujung akar gigi meluas ke arah mahkota
gigi.
6) Penyempitan atau penutupan foramen apicalis: akan semakin
menyempit dengan bertambahnya umur dan bahkan akan menutup.
Garis besar yang perlu diperhatikan dalam penentuan umur dengan gigi
setelah masa pertumbuhan gigi tetap selesai adalah sebagai berikut
(Harmaini, 2001):
1) Keausan pada gigi menunjukkan seseorang berusia di atas 50 tahun.
2) Banyaknya tulang yang hilang terjadi pada usia lebih dari 40 tahun.
3) Penutupan foramen apicalis molar ketiga tidak terjadi sebelum usia 20
tahun.
Ada beberapa keuntungan dengan menjadikan gigi sebagai objek
pemeriksaan, yaitu (Lukman, 2006) :
1) Gigi-geligi merupakan rangkaian lengkungan secara anatomis,
antropologis, dan morpologis mempunyai letak yang terlindung
dengan otot-otot, bibir, dan pipi. Apabila terjadi trauma, maka akan
mengenai otot-otot tersebut terlebih dahulu.
2) Gigi-geligi sukar untuk membusuk walaupun dikubur kecuali gigi
tersebut sudah mengalami nekrotik atau gangren. Umumnya organorgan lain bahkan tulang telah hancur tetapi gigi tidak (masih utuh).
3) Gigi-geligi di dunia ini tidak ada yang sama. Menurut Sims dan
Furnes, gigi manusia kemungkinan sama adalah 1 : 2.000.000.000.
4) Gigi-geligi mempunyai ciri-ciri yang khusus apabila ciri-ciri gigi
tersebut rusak atau berubah, maka sesuai dengan pekerjaan dan
kebiasaan menggunakan gigi bahkan setiap ras memiliki ciri yang
berbeda.
5) Gigi-geligi tahan asam keras, terbukti pada peristiwa Haigh yang
terbunuh dan direndam di dalam drum berisi asam pekat, jaringan
ikatnya hancur tetapi giginya masih utuh.

29

6) Gigi-geligi tahan panas, apabila terbakar sampai dengan suhu 400 C


gigi tidak akan hancur, terbukti pada peristiwa Parkman yang terbunuh
dan dibakar tetapi giginya masih utuh. Kemudian pada peristiwa aktor
perang dunia kedua, yaitu Hitler, Eva Brown, dan Arthur Boorman
mereka membakar diri kedalam tungku yang besar di dalam bunker
tahanan tetapi giginya masih utuh dan gigi palsunya bisa dibuktikan.
Kecuali dikremasi karena suhunya di atas 1000 C. Gigi menjadi abu
sekitar suhu lebih dari 649 C. Apabila gigi tersebut ditambal
menggunakan amalgam, maka bila terbakar akan menjadi abu sekitar
di atas 871 C. Apabila gigi tersebut memakai mahkota logam atau
inlay alloy emas, maka bila terbakar akan menjadi abu sekitar suhu
871-1093 C.
7) Gigi-geligi dan tulang rahang secara roentgenografis, walaupun
terdapat pecahan-pecahan rahang pada roentgenogramnya dapat dilihat
(interpretasi) kadang-kadang terdapat anomali dari gigi dan komposisi
tulang rahang yang khas.
8) Apabila korban telah dilakukan pencabutan gigi umumnya ia memakai
gigi tiruan dengan berbagai macam model gigi tiruan dan gigi tiruan
tersebut dapat ditelusuri atau diidentifikasi. Menurut Scott, gigi tiruan
akrilik akan terbakar menjadi abu pada suhu 538 C sampai 649 C.
Apabila memakai jembatan dari porselen maka akan menjadi abu pada
suhu 1093 C.
9) Gigi-geligi merupakan sarana terakhir di dalam identifikasi apabila
sarana-sarana lain atau organ tubuh lain tidak ditemukan.
Berbagai keuntungan yang dapat diperoleh dengan menjadikan gigi-geligi
sebagai objek pemeriksaan tersebut dapat diperoleh dari data gigi-geligi
yang memenuhi berbagai syarat validitas.

30

BAB 3
DISKUSI
Contoh kasus :
Pada 28 Februari 1996 terjadi kecelakaan berupa tabrakan antara mobil
dengan sebuah bus berisi 57 pemnumpang di satu jalanan di Spanyol bagian
selatan. Kejadian tersebut terjadi sekitar pukul 22.00 waktu setempat. Beberapa
detik setelah tabrakan terjadi, bus kemudian terbakar. Kebakaran tersebut
menyebabkan 28 orang meninggal karena terbakar.
Beberapa saat setelah api berhasil dipadamkan, segera dilakukan evakuasi
korban meninggal untuk mulai dilakukan proses identifikasi. Proses yang
dilakukan pertama kali adalah pengumpulan dan pemeriksaan data postmortem
lengkap dari 28 korban. Pemeriksaan ini dilakukan oleh Multidisciplinary
31

Identification Commission. Komisi ini terdiri dari sepuluh petugas polisi (dari
Departemen Identifikasi Guardia Civil), dua ahli odontologi forensik dan patologi
forensik (dari Departemen Kedokteran Forensik dari Universitas Granada,
Spanyol), dua dokter gigi umum, satu ahli patologi forensik dan satu asisten ahli
radiologi.
Pemeriksaan untuk identifikasi dilakukan pada 28 korban (13 perempuan
dan 15 laki-laki). Usia rata-rata dari korban adalah 22 tahun (rentang usia 5-48
tahun) dan 17 korban (60%) berada di bawah 20 tahun. Standar pengumpulan data
postmortem sesuai dengan prosedur forensik, termasuk pemeriksaan keadaan luar
tubuh secara umum pada tiap korban oleh ahli patologi forensik dengan fotografi,
radiografi umum dan metode biologis (analisis DNA).
Selain itu, dilakukan pendataan postmortem pada gigi secara rinci pada
dilakukan dalam kasus tersebu. Data yang dikumpulkan antara lain: keutuhan gigi,
adanya restorasi (beserta restorasi yang digunakan), gigi yang hilang (misalnya
gigi yang dicabut, atau kehilangan gigi saat kejadian kecelakaan) dan prostetik
yang ada (baik yang tetap seperti mahkota dan jembatan maupun yang lepasan).
Gangguan pada erupsi gigi (yaitu ektopik, gigi yang impaksi) dan berbagai jenis
maloklusi (seperti deepbite, crossbite, crowding), fraktur gigi dan tulang rahang
dan setiap perubahan patologis dalam jaringan lunak atau tulang rahang juga
dicatat. Pemeriksaan gigi dilakukan oleh dua dokter gigi pada kasus tersebut (satu
dokter gigi umum dan satu ahli odontologi forensik). Ahli odontologi forensik
memeriksa gigi sementara dokter gigi yang lain mengisi formulir data postmortem
dan memantau proses pemeriksaan.
Pengumpulan data postmortem juga diambil dalam bentuk radiografi gigi.
Radiografi tengkorak lateral dan posteroanterior dibuat dengan alat X-ray mobile,
dengan eksposur yang diambil pada 7 mA / sg dan 60 kV. Kegiatan radiografi
tersebut dilakukan oleh seorang asisten ahli radiologi yang mengambil radiografi
umum ekstraoral. Radiografi yang lainnya dilakukan di rumah sakit terdekat.
Setelah itu pengumpulan data antemortem korban mulai dilakukan oleh
petugas kepolisian. Sebagian besar data dikumpulkan dari informasi teknis dengan
menanyakan pertanyaan kepada penumpang lain yang selamat serta kerabat
korban. Foto antemortem korban diperoleh dari kerabat. Sedangkan dental record
32

dan rekam medis diperoleh dengan menghubungi langsung dokter gigi dan dokter
keluarga dari korban. Dental record dan rekam medis antemortem diberikan
setelah ditranskripsi ke bentuk DVI Interpol oleh ahli patologi forensik dan ahli
odontologi forensik.
Kecelakaan ini terjadi sangat dekat kota tempat korban tinggal
memudahkan pengumpulan bahan antemortem menjadi relatif mudah dan cepat.
Dokter gigi umum membantu untuk menafsirkan dental record pasien yang telah
mereka rawat. Hal ini ditujukan agar meminimalkan kesalahan dalam transkripsi
data antemortem gigi ke bentuk DVI Interpol. Radiograf antemortem diperoleh
sebanyak 11 buah dari 28 yang dibutuhkan, tetapi hanya enam yang
memperlihatkan

gambaran

eksposur

gigi

baik

secara

periapikal

atau

roentgenogram.
Data antemortem dan postmortem yang sudah berupa bentuk formulir
Interpol DVI dan radiografi dibandingkan secara manual oleh dua tim terpisah,
satu untuk korban berjenis kelamin perempuan dan satu tim untuk korban berjenis
kelamin laki-laki. Setiap tim terdiri dari satu ahli odontologi dan patologi forensic,
satu dokter gigi dan tiga petugas polisi. Hasil yang diperoleh kedua tim kemudian
didiskusikan kemudian dibahas untuk menarik kesimpulan.
Dari 28 korban, hanya terdapat 16 korban yang mungkin untuk dilakukan
identifikasi secara metode odontologi forensik. Sebab, data ante dan post mortem
pada 12 korban lainnya tersebut sangat minim, Karena gigi telah hancur semua
dan tidak adanya data antemortem berupa dental record. Setelah proses
pencocokan, didapatkan hasil 16 korban yang dilakukan pencocokan tersebut
berhasil diidentifikasi sebab terdapat banyak kecocokan antara data antemortem
dengan data postmortem. Setelah proses identifikasi selesa, kemudian dibuat
sebuah laporan dengan pernyataan identitas untuk setiap korban
ditandatangani

oleh

anggota

perwakilan

Multidisciplinary

dan

Identification

Commission, termasuk dua ahli odontologi dan patologi forensik dan tiga anggota
tim identifikasi Guardia Civil. (sumber : http://is.gd/uxuwom)

33

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1) Prosedur umum DVI dalam menangani kasus bencana antara lain; the
Scene, Post Mortem Examination, Ante Mortem Information Retrieval,
Reconciliation dan Debriefing.
2) Identifikasi korban bencana alam maupun kriminal dapat dilakukan
dengan pencocokan data antemortem dan postmortem atau rekonsiliasi.
3) Rekonsiliasi dibagi menjadi primary identifiers yang terdiri dari dental
record, fingerprint, dan analisis DNA, serta secondary identifiers yang
terdiri dari analisis medis, property, dan fotografi.
4) Data postmortem merupakan data yang diperoleh setelah korban
mengalami bencana. Bertujuan untuk mengidentifikasi jenis kelamin, ras,
status keturunan, ekonomi dan social.
5) Data antemortem adalah data yang diperoleh sebelum terjadi bencana.
Dibuat oleh dokter ataupun dokter gigi dengan tujuan sebagai acuan
pencocokan dengan data postmortem.

34

DAFTAR PUSTAKA
Adachi H. Studies on sex determination using human dental pulp. II. Sex determination of teeth
left in a room. Nippon Hoigaku Zasshi 1989; 43: 27-39.
Disaster Victim Identification Workshop on enhancing operational preparedness in Eastern
Region of Indonesia. In conjunction with the Center for Human Identification Victorian
Institute of Forensic Medicine / Monash University, the Singapore Health Sciences
Authority, and Universitas Airlangga. Surabaya, 24-26 November 2007.
http://www.anzpaa.org.au/resources-and-links/disaster-victim-identification
http://www.bonaparte-dvi.com/en/bonaparte.html
http://www.interpol.int/INTERPOL-expertise/Forensics/DVI
INTERPOL. Disaster victim identification guide 2009. Diakses 14 Jan 2012. Diunduh dari: URL:
www.interpol.int/Media/Files/INTERPOLExpertise/DVI/ DVI-Guide.
Jones D G. Odontology often is final piece to grim puzzle. J Calif Dent Assoc 1998; 26:650-651.
Mulyono A, dkk., 2006, Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana
Massal. 2nd ed. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Pusponegoro AD, dkk., 2006, Identifikasi Korban Bencana Massal. In: Paturusi IA, Pusponegoro
AD, Hamuworno GB, (Eds)., Penatalaksanaan korban bencana massal. 3 rd ed,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, pages 123-30.
Sweet D, DiZinno J A. Personal identification through dental evidence-tooth fragments to DNA. J
Calif Dent Assoc 1996; 24: 35-42.
Whittaker, 1998 D K, Richards B H, Jones M L. Orthodontic reconstruction in a victim of murder.
Br J Orthod 1998; 25: 11-14.
Yudha N., 2004, Management of Dead Victims in Mass Disaster. Interpol dead victim
identification

guideline,

diunduh

dari

http://www.interpol.int/Public/DisasterVictim/Guide/Guide

35

Anda mungkin juga menyukai

  • TB RONGGA MULUT
    TB RONGGA MULUT
    Dokumen9 halaman
    TB RONGGA MULUT
    fitrianugraha
    100% (1)
  • Abstrak 1
    Abstrak 1
    Dokumen10 halaman
    Abstrak 1
    Nanda Didana
    Belum ada peringkat
  • Cover Ekso
    Cover Ekso
    Dokumen3 halaman
    Cover Ekso
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat
  • PMK No. 42 TTG Penyelenggaraan Imunisasi PDF
    PMK No. 42 TTG Penyelenggaraan Imunisasi PDF
    Dokumen100 halaman
    PMK No. 42 TTG Penyelenggaraan Imunisasi PDF
    Irma Okta Wardhani
    100% (4)
  • Cover Dental Forensik
    Cover Dental Forensik
    Dokumen3 halaman
    Cover Dental Forensik
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat
  • Pustaka Unpad Anamnesa
    Pustaka Unpad Anamnesa
    Dokumen10 halaman
    Pustaka Unpad Anamnesa
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat
  • Makala H
    Makala H
    Dokumen13 halaman
    Makala H
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat
  • Komunikasi
    Komunikasi
    Dokumen6 halaman
    Komunikasi
    Adistri Kim
    Belum ada peringkat
  • Pengobatan
    Pengobatan
    Dokumen2 halaman
    Pengobatan
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat
  • TBC
    TBC
    Dokumen16 halaman
    TBC
    Adhitia Mahardika
    Belum ada peringkat
  • 2nd Opinion
    2nd Opinion
    Dokumen3 halaman
    2nd Opinion
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat
  • Om Ii
    Om Ii
    Dokumen12 halaman
    Om Ii
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat
  • Imunisasi
    Imunisasi
    Dokumen38 halaman
    Imunisasi
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat
  • Cover 3 Kelompok
    Cover 3 Kelompok
    Dokumen4 halaman
    Cover 3 Kelompok
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat
  • Pengobatan
    Pengobatan
    Dokumen2 halaman
    Pengobatan
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat
  • Odontologiforensik p02
    Odontologiforensik p02
    Dokumen14 halaman
    Odontologiforensik p02
    Faizah Hanny
    Belum ada peringkat
  • Imunisasi
    Imunisasi
    Dokumen38 halaman
    Imunisasi
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat
  • KERATONEMIA
    KERATONEMIA
    Dokumen9 halaman
    KERATONEMIA
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat
  • Kasus Perio
    Kasus Perio
    Dokumen12 halaman
    Kasus Perio
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat
  • Makalah Agama Mak Enong
    Makalah Agama Mak Enong
    Dokumen20 halaman
    Makalah Agama Mak Enong
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat
  • Sumber
    Sumber
    Dokumen13 halaman
    Sumber
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat
  • Sumber Makanan Dan Minuman Halal
    Sumber Makanan Dan Minuman Halal
    Dokumen41 halaman
    Sumber Makanan Dan Minuman Halal
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat
  • Makala H
    Makala H
    Dokumen16 halaman
    Makala H
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat
  • TM Forensik 2012
    TM Forensik 2012
    Dokumen22 halaman
    TM Forensik 2012
    Haura Nadya Amalia
    Belum ada peringkat
  • Cover Laporan Hasil Diskusi Perio 2
    Cover Laporan Hasil Diskusi Perio 2
    Dokumen20 halaman
    Cover Laporan Hasil Diskusi Perio 2
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat
  • Dokter Gigi Keluarga
    Dokter Gigi Keluarga
    Dokumen10 halaman
    Dokter Gigi Keluarga
    Riska Nurprilaely
    Belum ada peringkat
  • Triger Kasus
    Triger Kasus
    Dokumen1 halaman
    Triger Kasus
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    Geby Winanda
    Belum ada peringkat