Anda di halaman 1dari 86

MY BEST(BOY)FRIEND

Oleh
Bellanissa B. Zoditama

PROLOG

Happy birthday to you Happy birthday to you Happy birthday Happy birthday to
you Suara nyanyian selamat ulang tahun meramaikan suasana ulang tahun seorang anak
perempuan yang merayakan ulang tahunnya yang ke-7.
Meski perayaan ulang tahunnya tidak bertepatan dengan hari ulang tahunnya karena
menunggu kedua orang tuanya yang sibuk bekerja, namun anak itu cukup bahagia merayakan
ulang tahunnya yang dirayakan cukup meriah ini. Apalagi dalam acara ulang tahunnya kali ini, ia
dapat berkumpul dengan seluruh anggota keluarganya, dan membuat suasana semakin suka cita.
Hari ini ia juga tampil sangat cantik, memakai gaun berwarna putih dengan sayap peri
palsu di punggungnya dan bando putih. Benar-benar seperti putri yang ada di dalam dongeng
yang sering didengarnya saat ia mau tidur.
Di depannya sekarang, telah menunggu kue ulang tahunnya yang berbentuk tokoh kartun
kesukaannya, Winnie the Pooh yang sedang memegang setoples madu. Agi, begitu anak
perempuan itu biasa dipanggil, sangat senang dengan semuanya Walaupun begitu, hatinya
cukup gelisah lantaran seseorang yang berjanji akan datang pada saat pesta ulang tahunnya tidak
juga menampakkan batang hidungnya. Seorang anak laki-laki yang berjanji akan memberikan
sebuah kejutan yang istimewa untuknya
Kok dia nggak dateng juga ya? Padahal kan dia udah janji mau dateng ke pestanya
Agi. Liat aja nanti, kalo Agi ketemu dia, Agi bakal nanya dia kenapa nggak dateng batin Agi.
Agi, kenapa diem aja? Ayo, kamu tiup lilin sama potong kue dulu. Mama mendorong
Agi sampai di depan kue ulang tahunnya. Akhirn

ya dengan intruksi dari Sang Mama, Agi

pun meniup lilin dan memotong kue ulang tahunnya dengan dibantu oleh Mama dan Papa.
Potongan pertama ia berikan kepada keluarganya, potongan kedua ia berikan kepada Mbok Nar,
pembantu rumah tangga yang ia anggap sebagai keluarganya sendiri, dan berikutnya ia berikan
kepada semua teman-temannya.

Agi masih melirik-lirik tamu yang datang, apakah seseorang yang dia tunggu akan
muncul atau tidak, tapi ternyata orang itu memang tidak datang menemuinya

Keesokan harinya, seseorang yang kemarin tidak sempat menemuinya datang


menghampiri Agi ke rumahnya. Kemudian ia mengajak Agi ke taman yang tidak jauh dari rumah
mereka. Raut wajah Agi masih terlihat muram karena orang itu tidak memenuhi janjinya.
Agi kemarin maaf ya, aku nggak bisa dateng ke pesta ulang tahun kamu Anak lakilaki itu membuka percakapan, karena ia tahu ia sangat bersalah tidak menepati janjinya.
Kenapa kamu kemaren nggak dateng? Padahal Agi nungguin kamu, karena kamu kan
udah janji mau ngasih Agi kejutan yang istimewa. Mama Agi sering bilang, kalo janji itu harus
ditepatin, kalo nggak ditepatin sama aja kamu dosa ke Agi. Agi mulai mencurahkan isi hatinya.
Cowok itu membelai rambut Agi. Maaf Gi, sebenarnya kemaren aku udah mau dateng
ke pesta ulang tahun kamu, tapi mendadak Nenekku meninggal dan aku harus pergi ke Bandung.
Suer deh Gi, aku nggak boong. Cowok itu mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya
membentuk hurf V. Nah, makanya aku ngajak kamu ke sini sekalian ngasih kejutan istimewa
yang nggak sempet aku kasih ke kamu kemaren.
Oh, gitu. Maaf ya Agi nggak tau kalo Nenek kamu meninggal. Agi pikir kamu emang
nggak mau dateng ke pesta Agi. Agi mengulurkan tangan kanannya. Maafin Agi ya
Cowok itu membalas uluran tangan Agi, Aku juga minta maaf ya karena nggak ngasih
tau kamu. Cowok itu tersenyum. Agi, tolong tutup mata kamu dong. Aku mau ngasih kejutan
istimewa itu.
Agi menutup matanya, dan perlahan-lahan cowok itu menaruh sesuatu di pangkuan Agi.
Kemudian ia menyuruh Agi untuk membuka matanya. Agi perlahan-lahan membuka matanya
dan terkejut melihat ada sesuatu yang diberikan cowok itu. Barang itu terbungkus oleh sebuah
kertas kado berwarna pink dan pita warna ungu yang cantik. Agi pun sangat bersemangat
membuka sebuah kejutan itu, ternyata di dalamnya berisi sebuah buku diary kecil bersampul
plastik bergambar Winnie the Pooh bersama Piglet di sebuah rumah pohon. Agi bingung dengan

apa kegunaan buku diary itu, karena biasanya dia mendapat hadiah berupa boneka, baju, mainan
ataupun aksesoris. Tidak pernah ada yang memberinya sebuah diary
Agi bingung sekaligus senang, karena dia sendiri tidak mengerti apa kegunaan diary itu
sebenarnya. Lalu anak laki-laki itu menjelaskan bahwa di dalam diary itu Agi bebas
menceritakan apa saja yang ia alami, tanpa takut menyakiti perasaan orang lain. Ia juga bebas
menggambar di diary ini. Kemudian Agi pun bertanya, apakah anak laki-laki mempunyai buku
diary juga seperti yang dia berikan untuknya anak laki-laki itu mengangguk bersemangat, dan
mengeluarkan sebuah buku bergambar ksatria baja hitam dari dalam tas kecilnya.
Ini buku diary-ku. Tapi aku lebih duluan nulis buku diary dibanding sama kamu, karena
dari aku bisa nulis Ibu udah membiasakan aku buat menceritakan semuanya dalam buku diary
ini.
Agi mau lihat dong isi diary kamu! Agi berusaha merebut diary cowok itu, tapi cowok
itu langsung memasukkan buku diary-nya dalam tas. Gi, bukannya aku nggak mau ngasih ke
kamu, tapi kata Ibu diary itu sifatnya rahasia, jadi nggak boleh ada orang lain yang ngebaca
selain diri kita sendiri.
Agi sedikit cemberut karena tidak diberi kesempatan untuk membaca diary cowok itu.
Lalu, ia membuka bungkus plastik diary-nya yang pertama. Tiba-tiba saja karena kurang hatihati, tangannya terkena sebuah stapler yang terpasang di bungkusan plastik. Memang, stapler itu
tidak sampai masuk ke dalam tangannya, namun membuat jari telunjuknya terluka.
Agi meringis kesakitan melihat jari telunjuknya yang terluka. Cowok itu langsung
mengambil jari telunjuk Agi dan menghisap darahnya dengan mulut sampai di telunjuk Agi tidak
berdarah lagi. Nah, sekarang udah nggak apa-apa kan? Masih perih nggak?! Oiya gimana kalo
gini. Kita ketemu dua belas taun lagi di tempat ini!
Agi terkagum-kagum melihat sikap anak laki-laki itu yang tanpa rasa takut langsung
menolong Agi menghentikan darahnya. Agi mengucapkan terima kasih kepada anak laki-laki itu
yang sampai beberapa kali mereka bertemu Agi belum tahu siapa namanya. Namun apalah arti
sebuah nama, apabila Agi sudah cukup nyaman bersama anak laki-laki itu.

Agi meloncat-loncat kegirangan. Agi mau banget kalo kayak gitu. Tapi gimana kalo
misalkan Agi lupa sama janji itu? Trus kenapa harus menunggu dua belas tahun?
Anak laki-laki itu berusaha berpikir, benda apa yang akan mengikat mereka untuk
bertemu lagi di tempat ini dua belas tahun ke depan. Akhirnya ia menemukan dua buah akar
kecil yang dapat ia jadikan sebuah pengikat janji mereka.
Ini namanya akar pohon. Nah, kamu megang satu, aku juga megang satu. Nanti kalo
misalkan kita ketemu dua belas tahun lagi, akar ini kamu bawa ke sini dan jadi bukti kalo kamu
memang Agi. Cowok itu menaruh akar itu ke telapak tangan Agi. Kenapa harus dua belas
tahun? Karena pada saat itu aku dan kamu udah sama-sama gede, trus aku langsung menikah
sama kamu deh. Kamu mau kan kalo nanti menikah sama aku?
Oke, Agi janji akan ketemu kamu lagi dua belas tahun ke depan di sini. Pasti aku mau
nikah sama kamu nanti. Hehehe Agi dan cowok itu tertawa bahagia
Ternyata kebahagian mereka tidak berlangsung lama. Agi dan keluarga harus pindah dari
rumah lamanya di Bogor karena Papa mendapat pekerjaan baru di Jakarta. Ketika mereka pindah
rumah, Agi juga tidak sempat berpamitan dengan cowok itu, apalagi dia juga tidak tahu nama
cowok itu sebenarnya. Tapi dia tidak gusar, karena ia yakin dua belas tahun lagi mereka akan
bertemu lagi di tempat itu untuk saling membaca isi diary mereka satu sama lain

Sejak saat itu, Agi menjadi suka menulis sampai dia beranjak SMA Dan ia juga
memegang janjinya kepada cowok itu untuk bertemu lagi di tempat itu.

SATU

Siang ini begitu cerah, matahari tersenyum dengan begitu gembira hingga membuat Agi
menjadi mengantuk dan bosan luar biasa. Apalagi di saat seperti ini, dia sedang terkukung di
kelasnya sambil belajar Sejarah selama dua jam. Teman-temannya pun merasakan hal yang
sama, banyak yang di antara mereka yang sudah tertidur pulas menikmati dinginnya udara yang
dihembuskan oleh AC. Namun hal itu hanyalah sebuah pengecualian untuk Bu Yati, guru Sejarah
mereka. Walaupun dia mengetahui banyak anak muridnya yang tertidur, dia tetap menerangkan
pelajaran dengan penuh semangat. Suaranya sendiri seperti orang yang sedang mendongeng,
menjadikan Agi tambah mengantuk dan ingin mengikuti jejak teman-temannya yang telah
tertidur lebih dahulu.
Sebelum tidur, Agi menitipkan pesan kepada teman sebangkunya yang bernama Keysa
untuk segera membangunkannya apabila Bu Yati tiba-tiba mengaum. Keysa hanya
menganggukkan kepala sambil serius memperhatikan pelajaran. Agi mulai tertidur, ditemani
jaketnya sebagai alas tidur.
Manusia purba pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun bla.... bla... bla... Bu
Yati sedang menerangkan tentang sejarah manusia purba di Indonesia, tetapi terdengar oleh Agi
seperti Agi bobo... oo... Agi bobo...
Mendengar suara Bu Yati membuat Agi semakin terlelap dalam tidurnya. Sepertinya
kesabaran Bu Yati telah habis, karena dia melihat begitu banyak muridnya yang tertidur di tengah
pelajaran. Akhirnya dia memukul papan tulis dengan sebuah penghapus, sangat keras. Membuat
anak-anak yang sedang tertidur langsung terbangun karena kaget dan mendapat pandangan sinis
dari Bu Yati.
Apakah kalian masih mau mengikuti pelajaran saya?! bentak Bu Yati. Kalau kalian
masih ingin belajar dengan serius, tolong perhatikan, jangan ada yang TIDUR!!! Kalau tidak,
silakan keluar dan saya ijinkan untuk tidak mengikuti pelajaran saya selama SEMESTER ini.
bentak Bu Yati.
Masih, Bu. jawab anak-anak dengan serempak, termasuk Agi.

Baiklah, kalau gitu. Saya pegang omongan kalian. Kalau sampai saya masih melihat ada
yang tertidur, saya tidak segan-segan untuk mengeluarkan kalian. Saya selesaikan pelajaran
sampai di sini saja, terima kasih. Selamat siang, Anak-anak! Bu Yati membawa semua
perlengkapan mengajarnya dan meninggalkan kelas.
Selamat siang, Bu... Anak-anak pun langsung berhamburan keluar kelas, pulang.
Walaupun sebenarnya bel pulang sekolah belum berbunyi.

(*^o^*)

Sehabis pulang sekolah, Agi nggak langsung pulang. Ia memilih untuk ke tempat
tongkrongannya. Sebuah tempat gratis, tempat yang sangat tidak lazim untuk dijadikan tempat
tongkrongan. Tempat itu adalah sebuah jembatan besar yang sudah tidak terpakai lagi. Bukan
karena konstruksinya sudah jelek ataupun mau roboh, tapi karena jalannya jelek. Selain itu
letaknya agak ke pinggiran yang lumayan jauh dari hingar-bingar kota Jakarta.
Jembatan itu menghadap ke arah Pancoran, jadi banyak gedung-gedung khas kota
metropolitan juga gedung-gedung pencakar langit yang menutupi terik matahari. Di bawah
jembatan ada sebuah kali yang lumayan dangkal. Kalo sedang beruntung, ia bisa melihat anakanak berenang di kali, setengah telanjang. Selain itu, Agi juga bisa melihat cahaya matahari yang
terhalang oleh gedung ketika mulai tenggelam dan kadang ia suka lupa pulang ke rumah kalo
sudah menikmati pemandangan kota yang akan beranjak sunyi.
Agi turun dari mobilnya. Kemudian melangkahkan kaki mendekati batas jembatan.
Dihirupnya napas panjang-panjang sambil melempar kerikil ke arah sungai, ia juga meratapi
nasibnya yang jarang merasakan kasih sayang kedua orang tuanya yang selalu bepergian.
Rasanya kalo gue udah di sini perasaan gue tenang banget. Seenggaknya gue bisa
melupakan sedikit kesedihan gue. Andai aja ada seseorang yang bisa nemenin gue di sini,
berbagi cerita. Pasti gue bakal seneng banget. gumam Agi sendirian.

Seorang laki-laki sebayanya tiba-tiba berdiri di samping Agi, dan mengagetkannya,


Kulitnya agak hitam mungkin karena sering terbakar sinar matahari, tapi cukup manis.
Rambutnya seperti bintang iklan shampo yang halus terawat serta lurus dan jatuh ke bawah.
Agi terlonjak. Eh, sejak kapan lo di sini?
Dari tadi. jawab cowok itu singkat sambil tersenyum. Kamu ngapain di sini?
Ngagetin orang aja sih lo. Agi menggerutu. Gue di sini lagi merenung aja.
Wow... kenapa kamu milih tempat merenung di jembatan ini? Padahal kan masih banyak
tempat laen yang asyik buat dijadiin tempat merenung. Aneh tanya laki-laki itu lagi.
Agi menjawab pertanyaan laki-laki itu dengan sewot. Ya, jelaslah sewot, lagi enakenaknya sendiri ada orang yang nggak dikenalnya, SKSD Sok Kenal Sok Deket lagi. Yang
jelas tempat ini adalah sebuah tempat yang mengingatkan gue pada seseorang.
Anak laki-laki itu kemudian pergi meninggalkan Agi sambil berlari dan mengejek Agi.
Agi mencoba mengejarnya, namun tidak berhasil. Setelah puas menenangkan hatinya dan capek
mengejar cowok misterius itu, ia balik ke rumah. Tapi entah kenapa, wajah cowok itu sangat
familiar dalam benaknya.
Sesampainya di rumah, ia meletakkan semua atribut sekolahnya di sembarang tempat.
Sepatu ada di taman, kaos kaki ada di garasi, tas di sofa. Pokoknya bener-bener nggak beraturan
deh! Karena baginya semua itu adalah sebuah pekerjaan untuk pembantunya, Mbok Nar. Agi
menghampiri Mbok Nar yang lagi ada di dapur dan menyuruhnya untuk membawa tasnya ke
kamar. Agi naik ke atas, di tempat kamarnya berada.

Ada beberapa alasan Agi memilih kamar di atas antara lain kamarnya cukup luas,
dibanding dengan kamar lainnya yang ada di rumahnya, ada kamar mandi pribadi yang menyatu
dengan kamarnya, barang-barangnya lengkap (ada komputer, TV, DVD-Player, Radio, AC,
telpon), karena Agi sendiri adalah anak yang cinta teknologi, ada balkon di depan kamar
sehingga ia bisa ngeliat sunset karena ia suka banget ngeliat sunset, dan ia juga bisa ngeliat
kebiasaan tetangga di samping ato di depan rumah. Hehehe...

Dia mengganti seragam abu-abunya dengan tanktop merah dan celana pendek. Selesai
mengganti seragam, ia langsung tidur di tempat tidur, dan menyalakan AC.
Hm... mau ngapain ya siang-siang begini? Nonton, sinetronnya ulangan. Belajar, ntar
malem aja. Baca komik aja deh! Agi menuju lemari buku. Di situ berjajar semua koleksi bukubukunya. Dari komik, cergam, novel sampe buku tentang Hukum, Psikologi, dan Kedokteran.
Tapi tiga buku terakhir yang disebutkan tadi, nggak ada yang (baca: belom) ia baca. Jangankan
dibaca, baru liat judul sama tebel bukunya aja udah bikin mumet.
Sebenarnya itu bukan keinginannya sendiri untuk memiliki ketiga buku itu, namun itu
adalah kehendak dari orang tuanya yang sangat mengharapkan ia menjadi orang yang sukses,
entah menjadi dokter, pengacara, ataupun psikolog. Orang tuanya juga memaksanya agar masuk
ke perguruan tinggi yang mereka pilih, walau sebenarnya itu untuk kebaikan Agi juga, namun itu
semua menjadi tekanan batin tersendiri untuknya.
Dia melihat bagian komik dan tertarik dengan sebuah buku Doraemon yang judulnya
Cerita Spesial Doraemon: Nilai Nol dan Pergi dari Rumah. Agi mengambil buku itu dari
lemari, kemudian dibacanya di sofa sambil tiduran. Dibacanya bagian cerita Pergi dari Rumah
terlebih dahulu, entah kenapa.
Tok Tok Tok
Agi menyuruhnya masuk, ternyata Mbok Nar yang membawakan tasnya. Ia menanyakan
tentang keberadaan orang tuanya saat ini. Mbok Nar pun menjawab kalo Sang Papa sedang ke
Singapura, dan Sang Mama sedang ke Bandung. Mbok Nar langsung meninggalkan Agi sendiri
di kamar setelah Agi menanyakan hal itu.
Agi ngedumel sendiri karena seperti biasa orang tuanya suka pergi seenaknya tanpa
pamit. Setelah puas ngedumel sendiri, ia melanjutkan membaca komik. Selesai membaca komik,
muncul niat iseng dari otaknya. Hm gimana kalo gue coba kabur dari rumah! Kayaknya seru
banget kalo gue bisa kabur. Boleh juga gue ngikutin caranya Nobita buat ngambil simpati dari
Doraemon dan kedua orang tuanya. Abis gue kayak dinomorduakan sama pekerjaannya mereka.
Gue juga pengen tau seberapa khawatirnya mereka kalo gue kabur dari sini. gumamnya.

Agi bangkit dari tidurnya dan mulai bersiap-siap membawa barang apa yang saja yang
diperlukan saat pergi. Pertama-tama diambilnya sebuah tas punggung yang cukup besar, lalu
dimasukkannya beberapa stel pakaian beserta plus-plusnya, peralatan mandi, handuk, dan lainlain. Tidak lupa sebuah boneka beruang kecil yang menjadi teman tidurnya dan sebuah bingkai
foto. Tas yang tadinya kempespespes sekarang telah penuh terisi.
Apa lagi ya yang kurang? Kayaknya nggak ada! Hatinya membatin.
Setelah merasa tidak ada lagi yang kurang dalam usahanya kabur dari rumah,
dilemparkan tubuhnya ke tempat tidur. Saat ini waktu menunjukkan pukul empat sore. Waktu
berjalan sangat lambat... semenit... dua menit... akhirnya dia berhasil tidur pulas dalam
kelelahannya.
Lagi enak-enak tidur, telpon di kamarnya berbunyi. Agi mengangkat telepon yang
kebetulan ada di meja samping tempat tidur dengan malas-malasan. Ternyata telpon dari Mama.
Mama bertanya tentang kabarnya, serta meminta maaf karena pergi tanpa pamit. Mama juga
memberitahu kalau selama dua minggu ia akan berada di Bandung.
Abis ditelepon Mama HP-nya gantian berdering. Di layar tertulis: PapaQ... ^_^
Sama seperti Mama, Papanya juga meminta maaf tidak memberitahu Agi. Papa juga
menyampaikan tentang kepergiannya ke Singapura, persis kayak Mama.
Agi jadi nggak nafsu lagi buat tidur. Kemudian ia pergi mandi dan berendam di bathtube,
merenungi nasibnya yang malang ini. Udah nggak punya sodara, pake ditinggal Bonyok pergi
segala. Betapa malang nasib gue ini!!!
Keluar dari kamar mandi, Agi langsung pake baju, tau-tau udah jam enam sore aja.
Kruyuk... Kruyuk... Perutnya berbunyi yang menandakan perlu diisi. Agi bergegas turun ke
bawah buat makan sore sekaligus makan malam. Di meja makan telah tersedia ayam rica-rica,
buah-buahan, dan segelas orange juice. Yummy...
Agi mengambil beberapa sendok nasi dari rice cooker, kemudian diambilnya sepotong
paha ayam. Walau agak lapar tapi Agi makan dengan wajah yang penuh penyesalan. Tidak ada
yang menemaninya makan malam. Gara-gara kegundahannya itu, tanpa sadar ia sudah melahap

semua makanan di meja makan tapi tidak merasa kenyang, karena frustasi semua mungkinmungkin saja. Di kesendiriannya ini, ia membayangkan seandainya ia mempunyai seorang
saudara yang bisa diajaknya untuk berbagi suka dan duka. Tapi sayangnya...

Selesai makan malam pukul setengah tujuh, ia menelpon Keysa untuk menanyakan ada
peer apa saja buat besok. Ternyata... Besok nggak ada peer!!!.
Di

kamar,

ia

sibuk

merencanakan

misinya,

Pergi

dari

Rumah.

Setelah

mempertimbangkan segala macam tetek bengeknya, akhirnya ia memutuskan untuk... (terdengar


suara drum digebuk...) pergi dari rumahnya besok, setelah pulang sekolah. Kenapa? Karena
orang tuanya tidak ada sama sekali dan itu adalah kesempatan yang bagus baginya untuk kabur.
Agi langsung membuat surat ijin (palsu). Gini-gini dia pintar meniru tulisan dan tanda
tangan Mamanya, jadi bikin surat ijin mah gampang. Di dalam surat palsu itu Agi menulis alasan
tidak masuk sekolah karena ijin menjenguk Nenek yang sedang sakit. Untung nggak ada yang
tau kalo nenek gue dua-duanya udah meninggal. Hehehe...
Surat ijin akhirnya beres, dia kemudian langsung memasukkannya ke dalam tas sekolah
supaya tidak ketinggalan. Semua persiapan akhirnya selesai. Agi mengambil buku diary-nya
yang ditaruh di bawah tempat tidur. Ia menulis sebuah puisi. Ia luapkan semua kegundahan
hatinya saat ini.

When something loosed in my life


I find something that Im not find it
When I found it
I forgot what I ever had
When I remembered
I loosed it all

Everything are late


And time has gone
When I woke up
Im really loosed it all in my life

Sehabis menulis, buku diary-nya ditaruh di posisi semula, dan ia pergi tidur.

(*^o^*)

Jam enam lewat tiga puluh lima menit pagi. Agi bangun kesiangan dan segera bergegas
masuk kamar mandi. Ia hanya sempat membersihkan ketiak, muka, sama gosok gigi. Buru-buru
ia mengenakan seragam sekolah yang hari ini menggunakan batik. Setelah itu turun ke bawah
dengan cara meluncur pada pegangan tangga. Wush...
Mbok Nar yang lagi menyiapkan makanan kaget melihat tingkah polah anak majikan
yang sudah dirawatnya dari kecil ini. Agi hanya nyengir nakal dan bilang kalo dia kesiangan.
Diambilnya segelas susu dan roti yang dikasih selai cokelat. Susunya dihabiskan di tempat, dan
rotinya dibawa ke mobil. Sebelum berangkat, diciumnya pipi Mbok Nar yang telah dianggap
sebagai orang tua keduanya. Agi mengeluarkan mobil dari garasi, dan langsung tancap gas.
Dua puluh lima menit lagi pintu gerbang ditutup. Agi berusaha secepat mungkin datang
ke sekolah. Tapi apa mau dikata, jalanan macet bukan main. Dia mengeluarkan HP dari saku
bajunya untuk SMS Keysa nitip absen kalo misalkan telat. Belum sempet ngetik SMS, tiba-tiba
jalanan kembali lancar karena Polantas datang tepat waktunya. Nggak menyia-nyiakan
kesempatan, Agi mempercepat laju mobilnya.
Semenit lagi gerbang ditutup. Ternyata masih ada kemacetan lagi di depan SMP Ganesha
karena banyak angkot-angkot berhenti di tengah jalan, nurunin penumpang yang kebanyakan

anak Ganesha. Agi memencet klaksonnya cukup kencang supaya angkot-angkot jahat itu
minggir. Akhirnya angkot-angkot kembali jalan, setelah diklakson berkali-kali.
Lima puluh detik lagi gerbang ditutup. Pak Nendy, satpam SMA Minefarad sudah
bersiap-siap menutup pintu pagar. Ketika ia sedang menutup pintu dengan khimadnya layaknya
mengikuti upacara bendera di Istana Negara, Agi malah menyelonong masuk. Pak Nendy sampai
terlonjak kaget, sementara Agi hanya menyeringai nakal, Maaf ya Pak, saya telat nih. Makasih
ya Pak Mobilnya diparkir di bawah pohon, dan ia bergegas menuju ke kelasnya.
Sampai di dalam kelas, dilemparkan tasnya ke atas meja. Marcel, yang merupakan
sahabat cowoknya dari kecil, langsung menghampirinya dan memberondongnya dengan berbagai
pertanyaan seputar keterlambatan Agi. Dengan semangat yang menggebu-gebu, Agi
menceritakan pengalamannya yang hampir dipulangkan itu. Tiba-tiba dari luar kelas, munculnya
sesosok bayangan perempuan yang ternyata Keysa. Keysa pun ikut gabung dengan mereka.
Aduh... Agi. Akhirnya dateng juga. Gue kira lo nggak masuk hari ini!
Agi mengambil sebuah amplop dari dalam tasnya. Nih, Key. Besok sampe seminggu
gue nggak masuk ya, ijin mau ke rumah nenek gue.
Keysa dengan tanpa curiga menerima surat ijin dari Agi. Marcel yang mendengar Agi
nggak masuk besok langsung membentuk sebuah tanda tanya. Marcel langsung membelot Agi
keluar dari kelas.
Lo besok mau ke mana, Gi? tanya Marcel.
Kan tadi gue udah bilang, gue mau jenguk Nenek gue Marcel. Nenek gue sakit. Agi
memeletkan lidah.
Marcel langsung memegang wajah Agi, dan menatap matanya. Agi berusaha menghindari
tatapan Marcel yang amat tajam kepadanya. Lo boong, Gi. Nenek lo kan udah meninggal duaduanya, trus lo mau nengok siapa? Apa yang mau lo lakuin besok?
Bukan urusan lo, Cel.Agi langsung melepas tangan Marcel dan pergi ke kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, Agi menangis sejadi-jadinya. Maaf ya gue nggak bisa ngomong sama lo.

DUA

Agi telah bersiap untuk melaksanakan misinya pergi dari rumah. Dia memakai T-Shirt
pink bergambar Mickey Mouse, celana jeans panjang, juga kaos kaki semata kaki serta sepatu
Converse belel warna merah. Jaket yang akan dibawanya diikatkan di pinggul. Lalu dia turun ke
bawah bersama tas besarnya. Ia berbohong kepada Mbok Nar bahwa selama seminggu-dua
minggu ini akan menginap di rumah Rei. Untung Mbok Nar percaya-percaya aja. Dia sengaja
berbohong seperti itu supaya keadaannya tidak dapat dilacak. Mbok Nar berpesan supaya Agi
hati-hati selama di sana.
Agi melangkahkan kakinya ke luar rumah. Ia melihat sekilas rumahnya.
Selamat tinggal...
Sebersit rasa untuk tidak meninggalkan rumahnya, karena ia takut meninggalkan Mbok
Nar yang sendirian di rumah. Lantas pikiran itu dibuang jauh-jauh olehnya, ia sudah bertekad
dan tak akan merubah apa pun keputusannya ini. Agi menitikkan air mata, namun saat merasa air
matanya akan tumpah, dengan cepat ia menghapusnya.
Gue nggak boleh nangis nggak boleh batinnya.
Beberapa menit setelah Agi pergi, Marcel datang ke rumah Agi. Ia bertemu dengan Mbok
Nar dan bertanya tentang keberadaan Agi. Ternyata jawaban Mbok Nar semakin membuat
Marcel bingung karena kata Mbok Nar, Agi pergi menginap di rumah Rei. Marcel mencoba
menghubungi nomor HP Agi, ternyata nggak aktif. Setelah itu ia pergi menuju ke rumah Rei, di
rumah Rei ternyata Agi juga nggak ada.
Gi, lo ke mana sih? Kok nggak ngasih tau gue?! pikir Marcel, kebingungan. Marcel pun
berusaha untuk mencari di tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi, namun Agi urung
ditemukan, dan Marcel menjadi cemas sendiri karena Agi tidak pernah melakukan hal yang
seperti ini sebelumnya. Pantesan aja tadi gue lihat Agi nggak seperti biasanya. Air mukanya
kelihatan cemas banget. Tapi kenapa dia nggak mau cerita ke gue ya? Ya, Tuhan moga-moga
Agi nggak kenapa-napa.

Agi berjalan nggak tau ke mana. Ia tiba di sebuah jalan besar, jalan yang tak pernah
dilewatinya. Ia melihat jam tangannya, sudah jam tujuh malam. Agi duduk di emperan toko yang
sudah tutup, bingung mau ngapain. Perutnya terasa lapar sekali. Lalu ia mengambil dompet dari
saku celana. Nggak ada uang sama sekali bahkan kartu ATM-nya pun ketinggalan. Ia lupa bahwa
semua uang dan kartu ATM-nya berada di dompet yang satu lagi.
Percuma aja gue bawa dompet kalo nggak ada isinya. Kok gue bisa salah bawa dompet
gini sih? Dodol... dodol... Gini nih kalo mau kabur, nggak punya persiapan yang mateng. Agi
menggerutu sendiri, menyadari kelalaiannya.
Dik, mau makan? Seorang gelandangan perempuan menawarinya sebungkus makanan
sisa. Ia daritadi melihat gerak-gerik Agi, sadar bahwa Agi sangat kelaparan dan sadar bahwa Agi
tidak memiliki uang.
Namun, Agi masih mempertahankan egonya. Walaupun ia sangat sangat lapar tapi
ketika gelandangan itu menyodorkan sebuah makanan sisa, rasanya ia ingin muntah. Ya, harap
maklum saja lha, Agi tidak pernah merasakan apa yang namanya kekurangan. Kalau dia lapar,
tinggal minta dibikinkan Mbok Nar, tapi ketika ia sudah kenyang dan makanannya tidak habis,
dia buang begitu saja.
Dalam hati dia mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan selama ini yang tidak pernah
dia sadari.
Makasih Mbak. Buat Mbak aja, saya nggak terlalu laper kok. tolaknya halus.
Oh ya sudah, kalo adik nggak mau makan ini. Oiya Dik, saya punya kardus bekas, bisa
buat alas kalo mau tidur. Gelandangan itu memberikan beberapa buah kardus yang nggak
dipakai.
Makasih ya. Agi menerima pemberian gelandangan dengan senang hati. Kardus yang
diberikan gelandangan langsung dipakai Agi untuk tidur. Ternyata dia nggak bisa tidur nyenyak
karena selain perutnya yang keroncongan, Agi juga tidak biasa tidur dengan kasur yang hanya
beralaskan kardus.

Keesokan paginya,
Heh, gembel. Ngapain kamu tidur di depan toko saya? Seorang perempuan tua
membangunkan Agi yang sedang terlelap sambil menendang-nendang badannya.
Agi terbangun, merasa terganggu. Ingin sekali rasanya untuk membentak orang yang
membangunkannya, tapi ia ingat bahwa ia sedang sendirian sekarang. Akhirnya Agi berhasil
meredam emosinya dan meninggalkan perempuan ini. Agi berjalan tak tentu arah dengan perut
kosong. Ia terus memegang perutnya yang terus-menerus berceloteh minta makan. Ketika sampai
di sebuah perempatan lampu merah, ia sudah tak mampu lagi melangkah. Agi pingsan dan jatuh
di tengah trotoar.
Seorang loper koran yang tengah memerhatikan Agi, segera datang menghampiri ketika
melihat Agi yang pingsan di trotoar. Dengan heroik, dipanggulnya tas Agi di bahu sebelah kiri
dan digendongnya Agi di bahu kanan. Aku kayak pernah liat cewek ini sebelumnya!
Dia menitipkan pesan kepada temannya supaya menggantikannya meloper koran, karena
ia akan membawa Agi ke Pos Polisi. Dibawanya Agi ke Pos Polisi yang terletak di dekat
tempatnya meloper koran. Seorang polisi yang sedang berjaga di sana terperangah melihat ada
orang yang membawa cewek pingsan ke kantornya. Ia lalu menjelaskan kronologis kejadian itu
serta menurunkan Agi ke sofa, sedangkan ia duduk di sofa yang satu lagi. Polisi itu mengelak
seakan tak ingin tahu. Ia malah pergi begitu saja meninggalkannya dan Agi di kantornya.
Pak Polisi itu ke mana ya? Apa ia nggak peduli sama keadaan cewek ini?! Laki-laki itu
ngedumel sendiri.
Hanya menunggu berdua saja (sama orang yang pingsan lagi, mana bisa diajak ngobrol
ya?!) membuatnya menjadi tak sabar menunggu. Ia menatap cewek yang tadi ditolongnya. Rasa
cemas membawa keingintahuannya. Dengan ragu ia merasakan keakraban dengan wajah cewek
itu.
Aku inget. Ini kan cewek yang aku temui di jembatan! Cantik juga ternyata! Tapi
sepertinya aku pernah liat dia sebelumnya, udah lama banget Ia membatin.

Ternyata polisi itu memanggil sebuah ambulance. ia menyesal sekali telah berburuk
sangka kepada polisi itu. Beberapa menit kemudian, ambulance dari Rumah Sakit datang. Pak
polisi memintanya supaya mengangkat Agi ke dalam ambulance. Ketika ia mengangkatnya, tibatiba Agi sadar. Kaget melihat ada laki-laki yang tak dikenal sedang mengangkatnya bak
pengantin baru, Agi langsung berteriak histeris. Spontan ia melepas Agi, dan Agi langsung
sukses jatuh ke lantai dengan posisi tertelungkup.
Ih... Dodol!!! Kenapa lo ngelepasin gue? Sakit tau langsung nyium ubin gitu! bentak
Agi.
Lho...!? Lagian kamu ngapain coba teriak-teriak! jawabnya, santai.
Abis ngapain juga lo gendong gue kayak gitu?! Di mana gue? Agi bingung saat melihat
sekelilingnya. Dia memandang wajah cowok itu lekat-lekat seperti pernah melihatnya di suatu
tempat. Mata cokelatnya itu sangat meneduhkan dan bersahabat, raut mukanya penuh
kehangatan, dan genggaman tangannya itu begitu kuat seakan-akan dia memang sangat khawatir
dengan keadaannya, dan jangan lupa ada ciri khas dari dirinya yang sangat berbeda yaitu di
keningnya ada sebuah tahi lalat. Jangan-jangan dia adalah
Tadi kamu tuh pingsan, terus mau aku bawa ke ambulance, eh pas kamu sadar kamu
teriak, aku kaget lha. Kamu lagi ada di Pos Polisi. Laki-laki itu bertanya penuh simpati.
Kamu mau saya antar ke Rumah Sakit? Sepertinya kamu lemas, Nak. tanya Pak polisi.
Hah!? O iya, Gue kan lagi kabur dari rumah. Nggak deh, makasih Pak. Saya baikbaik aja kok. Gue cabut dulu ya. Makasih ya Pak! Dagh... Dengan slebor Agi pun pergi dari Pos
Polisi padahal jalannya aja sempoyongan kayak orang mabuk.
Beberapa saat kemudian laki-laki itu berpikir, kalau cewek kayak Agi nggak bakal
bertahan di jalanan. Dia pun menyusul Agi keluar Pos Polisi, sambil celingak-celinguk mencari
Agi. Ia pikir Agi sudah pergi jauh, ternyata Agi masih duduk di pelataran depan Pos Polisi.
Tatapan matanya kosong tanpa tujuan, sambil terus menatap ke arah jalan raya.
Boleh aku duduk di sini? pintanya.
Ya udah... Sok aja. ucap Agi yang sudah lesu. Ia duduk di samping Agi.

Nama kamu siapa? Aku Ridho.


Agi. jawab Agi singkat.
Salam kenal ya, Gi.
Agi? Jangan-jangan nih cewek yang selama ini aku cari? Agi yang akan aku temui dua
tahun ke depan? Tapi apa mungkin?! Aku harus cari tau. batin Ridho.
Sifatnya dan gestur tubuhnya kok ngingetin gue sama cowok itu ya? Tapi kan cowok itu
ada di Bogor, bukan di Jakarta. Hm batin Agi.
Perkenalan ini membawa mereka ke dalam dunia yang lebih berwarna. Agi dan Ridho
mulai bercakap-cakap. Agi yang tak punya tujuan merasa sepi dan butuh teman yang bisa diajak
bicara seperti Ridho. Percakapan mereka sangat menyenangkan, sampai-sampai waktupun
terlupakan. Seiring turunnya matahari di ujung barat, Ridho berniat pamit pulang. Ketika melihat
Agi yang pergi tanpa tujuan itu, Ridho berinisiatif mengajaknya untuk menginap di rumahnya.
Gi... kamu mau pergi ke mana lagi?
Nggak tau. Gue kan lagi kabur dari rumah. Terus terang gue juga bingung mau ke mana.
Mana gue nggak bawa uang sama sekali lagi.
Ke rumahku aja gimana? Daripada kamu luntang-lantung di jalan kayak gini. Lagian
juga udah malem. Ntar kamu kenapa-napa lagi. tawar Ridho.
Nggak ah... emangnya gue cewek apaan. Agi menolak dengan ketus.
Oh ya udah, kalo nggak mau. Aku balik dulu ya... Ridho berjalan meninggalkan Agi
sendiri. Hanya satu harapannya sekarang, supaya Agi memanggil dan datang menghampiri.
Agi yang bingung harus ke mana lagi akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran
Ridho. Dho... wait me!!!
Ridho berhenti melangkah, sambil menunggu Agi datang. Tak peduli waktu yang sudah
semakin larut, mereka melanjutkan percakapan yang akrab sambil berjalan menyusuri lampulampu kota metropolitan. Berjalan di bawah lampu-lampu pedestrian, bagi mereka seperti

berjalan di bawah kelap-kelip cahaya bintang. Agi pun menceritakan tentang alasannya untuk
pergi dari rumah.
Perjalanan ini membuat Agi merasa capek. Mukanya tiba-tiba memucat. Saat Ridho
hendak bertanya keadaannya, Agi pingsan lagi. Untung Ridho berhasil menopang badannya
supaya tidak sampai terjatuh. Tanpa pikir panjang Ridho pun membawanya sampai ke rumah
dengan cara menggendongnya.
Ketika sampai rumah Ibu kaget bukan main, karena anak laki-laki membawa seorang
perempuan yang sedang pingsan sambil membawa sebuah tas besar. Sang Ibu yang melihat
menyuruhnya untuk menidurkan Agi di tempat tidur. Ridho pun menurutinya, dibawanya Agi
dan digeletakkan di kasur yang berisi kapuk. Ibu datang membawa minyak kayu putih lalu
memberikan minyak kayu putih di bawah lubang hidung Agi. Diberinya sedikit demi sedikit
kemudian diusapkannya dengan lembut.
Beberapa detik kemudian, Agi tersadar dari pingsannya. Dilihat sekelilingnya, heran.
Gue harus pergi dari sini. Ia berusaha bangun dari tempat tidurnya, namun tak mampu.
Kondisi kamu masih lemah. Kamu masih perlu istirahat, Nak. Nasihat Ibu.
Agi menatap wajah dan mata perempuan di sampingnya ini dalam-dalam. Seorang
perempuan yang kira-kira berumur tiga puluh tahunan, yang masih keliatan fresh dan cantik
walaupun kehidupan mereka agak menyedihkan. Wajah perempuan tangguh yang telah
merasakan banyak asam garam kehidupan. Bener-bener beda banget sama nyokap gue!
Ibu merasa Agi terus memerhatikannya. Ia lalu bertanya apa yang Agi inginkan. Agi
meminta minum saja. Baru beberapa langkah Ibu keluar dari kamar Ridho, ia mendengar perut
Agi berkokok nyaring.
Ibu langsung menoleh ke belakang, karena mendengar bunyi yang lumayan aneh, dan
bertanya kepada Ridho apakah bunyi itu sebenarnya. Tanpa rasa berdosa, Ridho menunjuk Agi
dengan muka polos dan lugu tapi maksain. Agi hanya tersenyum garing, nggak ngerti harus
gimana. Ibu pun tersenyum dan melanjutkan perjalanannya ke arah dapur. Ia akan menyiapkan
sepiring makanan juga.

Makasih ya tadi lo udah nolongin gue, gue nggak tau bakal jadi apa kalo lo nggak
nolongin. Agi mengucapkan terima kasih ke Ridho karena telah menolongnya.
Sama-sama. Sesama manusia kan harus saling tolong-menolong. Hehehe kekeh
Ridho.
Ibu datang membawa sebuah nampan berisi makanan dan minuman. Setelah itu, Ibu
duduk di pinggir kasur. Ibu suapin ya?
Gi, kakak suapin ya? tanya anak laki-laki kepada adik perempuannya.
Nggak mau kakak, Agi nggak laper. rengek adik kecil itu.
Ayo dong, Gi. Ntar kamu nggak sembuh-sembuh. Nih ya, A Akhirnya kakak berhasil
menyuapi adiknya.
Nggak usah deh Bu, nggak usah. Aku bisa makan sendiri kok! tolaknya.
Ibu memaksa untuk tetap menyuapi Agi. Disendokkannya nasi beserta lauk-pauk ke
dalam mulut Agi. Secara otomatis mulut Agi terbuka, menerima suapan dari Ibu. Ridho yang
sedari tadi memerhatikan dan masih ada di dalam kamar, tertawa terkekeh melihat teman
barunya itu.
Terkadang omongan nggak sesuai sama kenyataan ya, Bu. Tadi bilangnya nggak mau
disuapin, tapi pas udah dideketin mangap juga! Hahaha... ledeknya.
Sialan lo. Ngiri lo ya ngeliat gue? balas Agi dengan mulut yang masih penuh makanan.
Udah, Nak. Omongannya si Ridho jangan didengerin. lerai Ibu. Kamu juga Dho,
ngapain ngeledekin mulu! Orang lagi makan kok diledekin.
Abis lucu sih, Bu. Agi kayak anak-anak. Hahahaha Ridho kembali ketawa.
Ibu pura-pura marah dan menyuruh Ridho untuk menjemput adiknya yang sedang
bermain di luar. Ridho pergi keluar rumah, sedangkan Ibu meneruskan menyuapi Agi.
Glek! Agi menelan makanan. Makasih ya Bu, udah mau nolong aku.

Agi lalu meminta ijin supaya bisa menginap di rumah ini. Awalnya Ibu bimbang karena ia
sendiri tidak tahu asal-usul Agi yang sebenarnya. Dengan seribu jurus pamungkas, Agi berusaha
membujuk Ibu untuk dapat mengijinkannya tinggal yaitu dengan membuat matanya berkacakaca dan menceritakan kisahnya.
Ibu berpikir sejenak. Baiklah, Ibu mengijinkan kamu tinggal di sini. Daripada kamu
berkeliaran di jalan yang tidak jelas. Tapi untuk alasan kamu pergi dari rumah, Ibu harap kamu
dapat menjalankan resikonya dengan baik.
Tenang aja, Bu. Agi tersenyum manis. Makasih ya!
Ridho datang bersama dua orang laki-laki di belakang dan di sampingnya. Di
sampingnya berdiri anak laki-laki berumur sekitar tujuh tahun. Di belakangnya berdiri laki-laki
berperawakan kurus dan tinggi. Mereka bertiga lalu masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa
yang sudah reot. Sepertinya itu adalah ruang keluarga, karena selain ada sofa di situ juga tersedia
TV 14.
Melihat seluruh keluarga telah berkumpul, Ibu menghampiri mereka. Tangannya dicium
oleh Ridho dan anak terkecilnya sedangkan ia mencium tangan suaminya. Agi memerhatikan
mereka dari celah-celah pintu kamar yang hanya ditutupi oleh gordin tipis. Betapa bahagianya
hidup mereka di tengah kesulitan yang mereka hadapi. Kapan keluarga gue bisa ngumpul kayak
mereka, lagi?
Mereka berempat asyik mengobrol di ruang keluarga. Ibu pergi ke dapur menyiapkan
kopi. Berikutnya, ia membawa segelas kopi hangat untuk suaminya. Ibu dan Ridho lupa tentang
kedatangan Orang Baru di rumah mereka sedangkan Agi yang dinotabenekan sebagai Orang
Baru itu, malah asyik memerhatikan senda gurau yang terjadi dalam keluarga yang didatanginya
dari balik tirai.
Kayaknya ada yang kurang deh, tapi apa? Ridho membatin. Diliatnya satu per satu
keluarganya. Semua lengkap. Tapi kayaknya masih ada yang kurang! Pikiran Ridho mulai
bermain-main. Akhirnya ia ingat juga. Oh iya kan ada Agi! Ia berdiri dari tempat duduknya
sambil berlari kecil menuju kamarnya. Ayah dan Arya bingung sedangkan Ibu tahu maksud
Ridho yang sesungguhnya. Ia lalu mengajak Agi keluar untuk bergabung dengan keluarganya.

Agi rada sungkan apalagi statusnya hanya sebagai TTD Tamu Tak Diundang, namun setelah
Ridho meminta, memohon dan mengiba, akhirnya hatinya luluh juga. Agi ikut berbaur dengan
anggota keluarga yang lainnya. Respon mereka menyambut baik kedatangannya. Agi merasa
senang karena kedatangannya tidak dijadikan beban.
Adik Ridho bernama Arya. Arya sendiri masih duduk di kelas tiga SD. Saking asyiknya
mengobrol, mereka tidak sadar waktu telah menunjukkan jam delapan malam. Ayah menyerukan
kepada kedua anaknya untuk belajar karena besok mereka masih sekolah. Tanpa dikomandoi,
keduanya masuk ke kamar masing-masing. Sebelum Ridho masuk ke kamar, ia mengajak Agi
juga.
Gi, kamu jangan anggep aku dan keluargaku orang laen ya. Anggep aja keluarga kamu
sendiri. Jadi kamu bisa ceritain semua yang kamu rasain ke aku atopun ke Ibu. Walaupun aku
baru ketemu sama kamu, tapi entah kenapa ya aku kok ngerasanya kita udah lama kenal deh.
Agi, kalo ada sesuatu hal yang kamu rasain ceritain aja ke Kakak! Jangan anggep
kakak orang asing!!! Kakak bakal sebisa mungkin buat nolong kamu mecahin masalah.
Iya, Dho. Sekali lagi makasih ya lo udah nolong gue.
Ibu menyelonong masuk ke kamar. Ridho keliatan kecewa melihat kedatangan Ibunya
karena dia sedang asyik mengobrol dengan Agi. Ibu menyadari raut muka Ridho yang berubah.
Ia menyinggung mereka karena hari sudah semakin larut dan sudah waktunya mereka untuk
tidur. Ibu juga menyuruh Ridho supaya tidur di luar agar Agi dapat menempati kasurnya.
Lo nggak apa-apa nih Dho tidur di luar? tanya Agi, agak sungkan. Gue nggak enak
sama lo. Biar gue aja deh yang tidur di luar.
Nyantai aja sih, aku udah biasa kok tidur di luar. Lagian kamu di sini kan tamu, jadi
harus diperlakukan istimewa. Ya kan, Bu? Ibu mengangguk. Ridho mengambil bantal dan
gulingnya lalu keluar kamar. Selamat malam, Bu, Gi...
Nah, Agi sekarang kamu bisa tidur! Si Ridho udah nggak ada. bisik Ibu.
Makasih ya, Bu. Agi menjawab dengan nada lebih berbisik lagi. Ibu mencium kening
Agi dan mematikan lampu kamar.

Agi merogoh dan mencari-mencari sesuatu dari tasnya dalam kegelapan. Kemudian ia
mengambil sesuatu dari dalam tasnya, sebuah pigura dan sebuah boneka. Di dalam pigura itu
terlihat samar-samar foto sebuah keluarga kecil bahagia dengan ayah, ibu dan satu orang anak
mereka saat sedang berlibur di Pantai Kuta. Ya itu adalah foto keluarga Agi. Dipeluknya
pigura dan boneka itu dengan erat, sangat erat. Lalu diciuminya foto Mama dan Papa, serta
bonekanya. Agi kangen kalianApa kalian kangen aku!?

Ia mengambil sebuah kotak kecil yang sudah terbungkus kertas kado dari dalam tasnya.
Diberikan bungkusannya itu kepada adik kecilnya. Adik kecil yang sangat disayanginya. Hari
ini adiknya berulang tahun yang ke-7.Buat kamu. Selamat Ulang Tahun ya, Sayang!
Makasih Kak, boleh aku buka nggak nih kadonya?
Iya, boleh kok. Buka aja.
Penuh semangat adiknya merobek kertas kado itu sampai kecil-kecil. Dibukanya kotak
itu, dan ia menemukan sebuah boneka di dalamnya. Boneka beruang kecil yang lucu. bisik
hatinya. Makasih ya, Kak.
Agi mendapat sebuah boneka beruang berukuran kecil, berwarna putih kecokelatcokelatan dan di tengah boneka itu, ada sebuah hati yang bertuliskan Forever with You
Gimana kamu suka nggak kadonya?
Suka banget Kak kadonya, lucu banget deh. Makasih ya Kakak Agi memeluk
kakaknya.
Gi, Boneka ini dijaga baik-baik ya. Jangan sampe rusak ato ilang. Trus tiap kamu mau
tidur, peluk boneka ini biar mimpi indah. Janji? Ia mengangkat kelingking kanannya.
Agi janji. Kelingking keduanya sama-sama terkait satu sama lain.
Kak, itu yang tulisan di hati beruangnya artinya apa?

Oh ini. Kakak menunjuk hati itu. Artinya selamanya denganmu, jadi kakak nggak
akan pernah ninggalin Agi. Kakak selalu sama Agi, Kakak pasti bakal jaga Agi selalu Agi
sayang nggak sama Kakak? Maaf ya Kakak cuma bisa ngasih boneka aja buat Agi. ujarnya.
Agi sayang banget sama Kakak. Nggak apa-apa kok, Kak. Walaupun Kakak cuma
ngasih Agi boneka, Agi cukup seneng Kakak masih inget Agi, nggak kayak Mama sama Papa.
Agi mulai menitikkan air mata. Kakak jangan pernah ninggalin Agi ya, Kak.
Ia menghapus air mata Agi dengan lembut. Agi nggak boleh nangis, Agi kan udah gede.
Kakak janji nggak akan pernah ninggalin Agi. Ia memeluk tubuh adiknya dengan erat. Mama
sama Papa kan pergi nyari uang buat kita. Lagian kan mereka janji minggu depan mau
ngerayain ulang tahun bareng Agi.
Tapi Agi maunya Mama sama Papa ada di sini sekarang... Agi mulai mengeluh.
Hm... Gimana kalo sekarang Kakak ajak Agi jalan-jalan? Kakak punya tempat bagus
yang belum pernah Agi datengin. Mau nggak?
Mau... mau... mau... Ayo loncat-loncat kegirangan.
Ia dan Agi pun pergi berkeliling kota Jakarta, ke jembatan tua, ke kota tua, ke Monas, ke
Museum Gajah serta ke Curug Cilember. Agi terlihat sangat gembira dan sedikit dapat
melupakan kesedihannya.

Kakak Agi sadar bahwa dia tidak akan bisa memenuhi janjinya kepada Agi untuk
menjaga Agi selamanya...

TIGA

Ridho bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Ia masuk ke kamarnya dan mendapati


Agi masih tertidur pulas. Didekatinya Agi yang tertidur, sambil memerhatikan gaya tidurnya.
Nih anak lucu juga kalo lagi tidur. Hihihi bisa-bisa kasurku jadi banyak pulaunya
gara-gara diilerin terus.
Pandangan Ridho terhenti pada satu tempat. Agi sedang memeluk sesuatu! Perlahanperlahan benda itu terlepas dari pelukan Agi. Dengan segera diambilnya pigura itu dari pelukan
Agi. Dilihatnya cermat-cermat bak detektif yang sedang mengingat foto targetnya.
Oh, jadi ini foto keluarganya Agi. Tapi kok kayak keluarga bahagia, nggak keliatan Agi
dicampakin. Senyumnya dulu, apa kini memudar? Apa ia terpisah dari keluarganya? Aku harus
bisa kembaliin kebahagiaannya dan senyumannya kayak dulu lagi. Bantu aku ya, Tuhan!!! Aku
juga harus cari tahu apakah Agi benar cewek yang selama ini aku cari.
Puas melihat foto Sang target, ia segera mengembalikan di posisi semula. Iseng, Ridho
menggoyang-goyangkan badan Agi untuk membangunkannya. Setengah sadar, kelopak mata Agi
mulai terbuka. Namun setelah melihat Ridho yang ada di depannya, Agi malah tertidur lagi.
Ya, ampun. Nih anak susah banget dibanguninnya. Kayak kebo aja! Semoga aku nggak
susah juga buat ngembaliin senyumnya!

Jam sepuluh pagi, Agi baru bangun tidur. Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Untung
nggak ada orang di sampingnya, jadi nggak ada yang kebauan deh!!! Masih terkantuk-kantuk,
diambilnya handuk dari dalam tas serta peralatan mandi dan beberapa pakaian. Ia berjalan ke
arah kamar mandi yang udah dihapalnya. Ibu menyambut Agi sambil mencuci piring bekas
sarapan Ridho, Arya, dan Ayah.
Agi masuk ke kamar mandi yang atap interknitnya bolong sehingga ia dapat melihat
langit di angkasa. Ia mengingat obrolannya kemarin malam bersama Ridho. Gaya bicara Ridho

dan perhatian Ridho kepadanya, mengingatkan Agi pada seseorang yang disayanginya dan tidak
pernah bisa ia lupakan. Apa mungkin si Ridho itu reinkarnansi dari DIA? Tapi masa sih begitu?!
Agi membuat opini tersendiri tentang Ridho dan DIA.
Selesai mandi dan sarapan, Agi diajak Ibu untuk mengantar Arya ke sekolah, ke SD
Pondok Merah 3, karena Arya masuk siang. Setelah mengantarkan Arya, mereka pergi ke pasar
untuk belanja bahan makanan. Pergi ke pasar adalah pengalaman pertama dan mungkin yang
terakhir buatnya. Agi menutup hidungnya rapat-rapat menghindari aroma pasar yang khas. Ibu
tertawa dalam hati, melihat kelakuan tamunya yang lucu. Mereka membeli dua ikat kangkung,
beberapa siung bawang merah dan bawang putih, beberapa buah tomat, serta setengah kilo cabe
merah.
Di dalam dapur, Ibu menyuruh Agi mengupas bawang merah dan bawang putih. Namun
karena baru pertama kali mengupas bawang, yang ia kupas bukan hanya kulit bawang saja, tetapi
juga daging bawangnya. Akhirnya mengupas bawang dikerjakan oleh Ibu, dan Ibu jugalah yang
mengerjakan semuanya, sedangkan Agi hanya menonton saja.
Tiga puluh menit berlalu, oseng-oseng kangkung udah jadi. Agi cukup senang walaupun
sebenarnya tidak begitu banyak membantu. Mereka berdua makan siang dengan oseng-oseng
kangkung yang tadi mereka buat. Saat makan siang, Ridho pulang dari sekolah.
Ridho disambut dengan penuh suka cita oleh Agi. Agi menarik bangku di meja makan
buat Ridho, mengambilkan nasi serta oseng-oseng kangkung ke piring Ridho. Ridho sendiri
heran dibuatnya.
Ada apa nih yang sebenarnya? Rasanya ada yang aneh. tanya Ridho.
Cobain deh masakan gue. Enak nggak?
Ridho menyuapkan satu sendok nasi dan oseng-oseng ke mulutnya. Enak. Kamu yang
bikin masakannya?
Nggak sih, yang bikin Ibu. Gue cuma bantuin ngupasin bawang aja.
Oh gitu. Emang kamu bisa ngupas bawang?

Nggak, gue malah ikut ngupas daging bawangnya juga. jawab Agi jujur.
Ridho tertawa terpingkal-pingkal mendengar celotehan Agi. Bagaimana tidak, ia pikir
masakan itu hasil bikinan Agi sendiri eh malah bukan. Agi langsung cemberut, kedua pipinya
menggembung. Seketika itu juga, Ibu mengeluarkan jurus mautnya. Hanya dengan mengucapkan
kata, Dho... Ridho langsung meminta maaf ke Agi.
Ridho yang telah selesai makan, kemudian menaruh piringnya di tempat cucian. Lalu ia
mengganti pakaian seragamnya dengan celana pendek dan kaos oblong. Ridho juga mengajak
Agi untuk meloper koran. Agi mengiyakan ajakan Ridho, daripada di rumah cuma ngerepotin
Ibu.
Agi diajak ke jalan raya di mana kedua kalinya ia bertemu Ridho. Ridho mengambil
beberapa koran dari agen langganannya, lalu menjajakan koran-korannya di perempatan lampu
merah. Sedangkan Agi menunggu Ridho di halte bus, sambil asyik membaca buku. Sampai sore
menjelang, akhirnya Ridho selesai juga melakukan pekerjaannya. Ridho langsung menghampiri
Agi yang sekarang lagi bengong.
Ridho mengejutkan Agi dari belakang. Agi langsung duduk tegap gara-gara kaget.
Kamu mau jalan-jalan nggak? Kalo mau kita ngeliat sunset aja gimana? ajak Ridho.
Sunset? Gue mau dong ke sana! Gue suka banget ngeliat sunset! ucap Agi
bersemangat.
Wah, kebetulan banget aku tau tempat liat sunset yang bagus. Ayo kalo gitu! Ridho
menggandeng tangan Agi (baca: takut Agi hilang dan pingsan lagi) dan mengajaknya ke sebuah
apartemen yang belum selesai dibangun yang tidak jauh dari jalan tempat Ridho ngeloper koran.
Agi heran plus bingung karena apartemen yang belum jadi adalah sebuah tempat nggak
lazim aja untuk melihat sunset, sama kayak tempatnya melihat sunset di jembatan. Ridho
meyakinkan Agi kalau tempat ini memang tempat yang mereka tuju. Mereka menaiki tanggatangga apartemen sampai di lantai yang paling atas yang kira-kira di lantai sepuluh. Lalu Ridho
menyuruh Agi untuk duduk di pinggir tembok apartemen.
Gimana Gi, rasanya udah sampe di sini? tanya Ridho.

Capek banget gila. Hm... tapi di sini enak ya anginnya sepoi-sepoi. Nggak kena polusi
lagi. jawab Agi. Kok lo bisa tau ada tempat kayak gini?
Yaiyalah bisa. Secara Ayah lagi ada proyek di sini, jadi aku tau deh. Tau nggak Gi, kamu
itu orang pertama yang aku ajak ke sini lho.
Agi mengernyitkan dahi, nggak percaya. Bokap lo kerja apa di sini?
Jadi kuli bangunan. Ayah yang bantu ngecor bagian atas. Aku juga suka bantu-bantu
kalo lagi nggak sekolah.
Beberapa menit mereka menunggu sambil ngobrol-ngobrol. Ternyata mereka mempunyai
banyak kesamaan. Sama-sama orang Indonesia (pastinyalah!), sama-sama suka cokelat, samasama suka Sejara, sama-sama berulang tahun tanggal 24 Juni, dan sama-sama pernah tinggal di
Bogor. Ternyata tanpa menunggu waktu dua belas tahun lamanya, mereka kembali dipertemukan
oleh yang namanya TAKDIR.
Ah, ternyata benar kalo kamu itu Agi teman kecilku dulu. ujar Ridho sambil tersenyum
simpul. Waktu aku pertama kali mendengar namamu, aku sudah curiga, tapi aku menunggu
waktu yang tepat untuk bertanya. Eh, ternyata malah secepat ini akhirnya.
Agi ikut tersenyum, Gue juga nggak nyangka bakal begini akhirnya. Apalagi dari awal
gue liat lo di Pos Polisi itu gue udah mulai nebak kalo lo adalah teman masa kecil gue.
Awan-awan berubah warna dari biru muda menjadi keoranye-oranyenan. Matahari sudah
menyentuh horison, tertelan waktu yang terus berputar. Ridho menunjuk ke arah langit. Matahari
kemudian tenggelam dengan perlahan. Agi melihat dengan takjub. Ia tidak menyangka saja bisa
melihat sunset yang begitu indah di langit Jakarta. Setelah puas melihat sunset, mereka pun
pulang.
Di rumah, Ayah belum pulang. Ibu mengintrogasi mereka karena pulang saat adzan
Maghrib. Ridho menjawab bahwa mereka tadi melihat sunset di tempat Ayah. Beberapa menit
kemudian, Ayah pulang sambil membawa seekor ayam panggang yang dibelinya di restoran.
Bagi keluarga Ridho, ayam adalah lauk yang luar biasa mewah tapi bagi Agi yang tiap hari

makan ayam, lauk itu hanya biasa aja. Mereka menikmati suasana makan malam yang begitu
kental dengan nuansa kekeluargaan.
Agi merasa begitu dekat dengan keluarga barunya ini. Ia seperti menemukan nafas
hidupnya yang baru. Ia belajar tentang segala hal dari kehidupan keluarga Ridho yang sangat
sederhana namun kaya akan nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai yang tidak pernah ia dapatkan di
rumahnya ataupun di sekolahnya. Agi berharap agar ia dapat berubah menjadi orang yang lebih
baik lagi.

(*^o^*)

Hari ini hari Sabtu. Ridho tidak pergi sekolah, karena sekolahnya cuma masuk sampai
hari Jumat. Ia membangunkan Agi yang lagi-lagi masih tertidur. Ridho menggoyang-goyangkan
badan Agi, sedang berusaha membangunkan Agi. Gi, bangun dong. Trus kita jalan-jalan yuk.
Jalan-jalan ke mana sih? tanya Agi setengah tertidur. Masih pagi juga.
Ke Rumah Corat-Coret. Kita bakal ngajar di sana.
Agi langsung terbangun mendengar sebuah tempat yang asing di telinganya. Kemudian
Ridho melemparkan sebuah handuk menyuruhnya untuk segera mandi. Ogah-ogahan, Agi
bangun dari tempat tidur, dan pergi mandi. Ridho menunggunya di ruang keluarga sambil
menonton Spongebob Square Pants. Lima belas menit kemudian, ia keluar dari kamar mandi
sudah berpakaian lengkap. Dihampirinya Ridho yang sekarang sedang menonton Rugrats.
Agi telah selesai mandi, dia berdiri di depan muka Ridho sambil bertolak pinggang.
Dho, gue udah siap nih! Kapan ke Rumah Corat-Coretnya?!
Ridho malah enggan beranjak dari televisi, ia masih asyik menonton membuat Agi
menjadi kesal. Lalu Agi berusaha menarik kedua tangan Ridho supaya beranjak dari duduknya,
Ridho malah mempertahankan diri dengan menahan berat badannya. Akhirnya Agi menyerah
dan ikut duduk di samping Ridho tapi menatapnya dengan tatapan penuh amarah.

Menurut khayalan Ridho, kepala Agi tiba-tiba muncul sepasang tanduk berwarna merah.
Ridho melihat raut muka Agi, langsung merinding. Iya deh, ayo kita berangkat!!!
(Masih menurut khayalan Ridho, tanduk di kepala Agi menghilang) Ayo!!! Nah gitu
dong!
Mereka menuju ke sebuah rumah semi permanen berukuran 8 x 6 meter. Di depan rumah,
terdapat sebuah plang dari kardus bekas yang bertuliskan Rumah Corat-Coret dengan cat
warna-warni dan coretan telapak tangan anak kecil. Di depan pintu yang hanya terbuat dari
triplek bekas, terdapat beberapa pasang sandal ukuran anak-anak. Ketika Ridho membuka pintu,
anak-anak kecil berhamburan dari dalam dan langsung menghampirinya.
Kak Ridho... teriak mereka dan memeluk Ridho. Ada delapan orang anak kecil yang
memeluk Ridho, Agi agak sedikit tersingkir. Ridho menyuruh mereka semua masuk, mereka
mengikuti. Agi sendiri masih berdiri di depan. Ridho melanjutkan ucapannya, Ayo Gi ngapain
kamu di luar. Masuk juga yuk!!! Kamu kan mau bantuin aku.
Agi ikut masuk ke dalam. Ridho memperkenalkan Agi kepada anak-anak kecil itu. Anakanak itu terlihat sangat senang karena kedatangan Agi. Nama-nama mereka yaitu, Dodo, Kiky,
Riry, Titi, Tita, Dida, Adit, dan Rio. Lalu Ridho dan Agi mengajarkan mereka menggambar,
mewarnai, origami dan lain-lain.
Saat jam dua belas, mereka selesai mengajarkan anak-anak di Rumah Corat-Coret.
Kemudian mereka pulang ke rumah dan makan siang. Agi senang sekali bisa mengajari anakanak kecil dengan ilmu yang dimilikinya. Memang lebih baik mempraktikkan ilmunya langsung
daripada hanya sekedar teori dan omong kosong.
Gi, ntar malem mau ke Monas nggak? Biasanya Monas bakal keliatan indah kalo
malem-malem. ajak Ridho. Senyumnya tersungging tipis.
Agi bingung sendiri karena Ridho selalu mengajaknya jalan-jalan ke tempat yang baru.
Ridho sepertinya tahu cara membuat perasaan Agi tidak bosan dan jenuh. Boleh, tapi ke
sananya naik apa?

Tenang Kan ada itu! Ridho menunjuk sebuah sepeda onthel yang berada di belakang
pintu. Agi langsung memasang muka bengong dengan apa yang diliatnya. Dengan segera Ridho
menambahkan ucapannya agar lebih jelas. Tenang aja, Gi Walaupun sepeda ini lebih tua dari
umurku, tapi masih bisa dipake dan nyaman dibawa. Lagian dari sini ke Monas deket kok.
Bener ya?! Nyawa gue dipegang sama lo. Oke?
Ridho mengangguk. Tenang, nggak usah khawatir.

Mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Monas. Agi mengenakan jaket dan celana
jeans yang dipakai waktu kabur, sedangkan Ridho hanya memakai celana pendek dan t-shirt
merah. Agi menyuruh Ridho untuk mengganti pakaiannya dan mengancam akan membatalkan
pergi kalo pakaiannya nggak diganti. Menurut Agi, kalo saat malam hari jangan memakai celana
pendek, karena akan datang banyak penyakit yang ditimbulkan dari udara malam. Ridho
akhirnya menuruti permintaan Agi, ia mengganti pakaiannya dengan jaket cokelat dan celana
bahan panjang.
Ridho mengeluarkan sepeda onthel-nya dari rumah menuju keluar, Agi menunggunya di
luar. Agi cepat-cepat duduk di jok belakang.
Pegang yang erat ya Gi, kalo kamu takut jatoh! pinta Ridho. Sekalian bisa ngejaga
keseimbangan sepeda ini.
Gi, pegangan ke kakak aja, kalo kamu takut.
Agi melingkarkan tangannya di pinggang Ridho. Badannya hangat banget!
Ini bukan pengalaman pertama buatnya pergi ke Monas, tapi ke Monas naik sepeda
sepeda onthel pula - itu baru pengalaman pertama. Walaupun hari sudah malam, hiruk-pikuk kota
Jakarta masih nampak, jalan-jalan masih saja macet. Untunglah mereka memakai sepeda,
kendaraan murah meriah yang bebas kemacetan.
Tiga puluh menit Ridho mengayuh sepedanya, sampailah juga mereka di Monas. Mereka
melepaskan lelah dengan duduk di sekitar taman. Ternyata Monas masih saja ramai, mungkin

karena sekarang Malem Minggu, keduanya diam terpaku. Di sana ada tukang es krim yang lagi
berhenti. Mereka pun membeli es krim yang sama rasa cokelat.
Dho, capek? tanya Agi mengawali pembicaraan mereka, setelah menghabiskan es krim.
Nggak. jawabnya singkat. Aku cuma seneng aja bisa ke Monas, apalagi bareng sama
kamu. Hehehe... Ridho melihat ke wajah Agi. Gi, bentar!
Gombal! Agi memiringkan mulutnya ke kanan dan ke kiri. Kenapa?
Ridho mengelap sisa es krim yang ada di sekitar mulut Agi dengan tangannya. Kemudian
ia membersihkan tangannya yang kotor dengan ludah. Nah, sekarang kan kamu keliatan cantik
lagi deh. Hehehe... Kamu tau nggak, Gi?
Makasih ya. Tapi lo jorok banget deh. Agi menepuk bahu Ridho. Hm... apa Dho?
Kamu liatkan emas yang ada di atas situ? Ia menunjuk emas yang ada di paling atas
tugu Monas.
Liat, itu emas asli 24 karat kan? tebak Agi.
Bukan, itu emas yang palsunya. Emas yang aslinya ada di Singapore. Di Bank apa gitu
aku lupa namanya!
Kok bisa di Singapore? Buat bayar utang ya? tebak Agi, polos.
Gini lho, Non. Waktu awal pembangunannya emas yang ada di atas Monas itu emang
emas murni 24 karat. Cuma untuk mencegah diambil orang ato negara lain, makanya emas itu
dititipin ke Singapore, biar lebih safety gitu.
Oh... iya gue inget, dulu katanya David Copperfield mau ngilangin Monas kan?
Makanya pemerintah kita sedikit paranoid. Takutnya emasnya dituker sama yang palsu.
Mencegah hal-hal seperti itu lagi, makanya emasnya disimpen. Bener nggak?
Yupz... bisa juga sih. Terus kamu tau nggak kenapa di Jakarta aja contohnya sering
banjir tiap kali musim hujan?
Nggak. Hm tapi bukannya dapet banjir kiriman dari Bogor ya?

Itu mah urutan paling bawah, yang teratasnya tuh karena di Jakarta dulu banyak rawarawa dan hutan mangrove-nya, itu kan bisa jadi daerah resapan air, bahkan sebenarnya dari
zaman kolonial Belanda udah dibuat sistem-sistem drainase di Jakarta Utara, tapi sama
pemerintah malah dijadiin pemukiman penduduk ditambah lagi di sana itu jadi tempat
pembuangan sampah. Jadinya banjir terus deh! jelasnya panjang-lebar. Agi hanya manggutmanggut, paham.
Mereka kembali ngobrol-ngobrol tentang masalah yang sedang booming di kalangan
masyarakat. Tiba-tiba hujan turun, pertama hanya rintik-rintik lalu langsung turun dengan deras.
Ridho buru-buru melepas jaketnya, dan menaruh jaketnya itu di atas kepala Agi.
Gi, ayo kita berteduh dulu... kata Ridho. Tanpa banyak basa-basi lagi Agi menuruti.
Agi dan Ridho langsung mencari tempat berteduh, akhirnya mereka menemukan sebuah
warung kopi sekalian menumpang berteduh di sana.
Agi, kamu mau mesen apa? tanya Ridho ke Agi. Bibir Agi agak membiru karena
kedinginan.
Terserah, Dho. Yang jelas gue kedinginan. Bbbrrr... Agi mengigil.
Teh manis anget dua, Pak. Saya pinjem anduk kering juga ya Pak. pinta Ridho. Bapak
itu pergi ke belakang, menyiapkan pesanan Ridho. Ridho langsung memegang telapak tangan
Agi dan menggosok-gosok telapak tangan Agi dengan telapak tangannya, kemudian ia menaruh
telapak tangan Agi yang mulai sedikit hangat ke kedua pipinya, begitu seterusnya sampai Agi
merasa lebih baik. Pesanan mereka datang, Ridho langsung mengelap rambut Agi dengan
handuk, dan menyuapi Agi teh manis dengan sendok.
Agi, maaf ya bikin kamu kedinginan kayak gini. Ridho terlihat begitu menyesal.
Nggak apa-apa kok, Dho. Gue juga seneng udah jalan sama lo. Agi tersenyum pucat.
Ini pengalaman baru buat gue Semua karena lo! Hehehe Tiba-tiba saja Ridho memeluk
Agi sangat erat, begitu erat.

EMPAT

Sudah seminggu lebih Agi menginap di rumah keluarga Ridho. Ia makin begitu dekat
dengan mereka dan telah menganggap mereka bagian dari keluarganya. Meskipun tidak begitu
betah dengan lingkungan rumahnya, ia sendiri merasa homesick. Kira-kira gimana ya keadaan
rumah sekarang?
Di rumahnya, Mbok Nar mulai merasa kesepian nggak ada Agi. Tapi Mbok Nar nggak
khawatir karena yang ia tahu, Agi sedang pergi menginap di rumah Rei.
Orang tua Agi ternyata pulang lebih cepat dari perkiraan sebelumnya, dari dua minggu
ternyata hanya seminggu saja. Jam sepuluh pagi, mereka berdua datang bersama-sama. Biasanya
ketika mereka datang pasti akan ada pesta penyambutan kecil dari Agi, tapi kali ini tidak ada
sama sekali. Mereka merasakan ada sesuatu yang janggal, lalu Mama bertanya sama Mbok Nar.
Dengan santainya Mbok Nar menjawab Agi sedang menginap di Rumah Rei seminggu ini.
Perasaan mereka hampir saja lega, kalo saja tidak ada telepon berbunyi.
Mbok Nar mengangkat teleponnya. Mama dan Papa berdiri di belakang. Ternyata telepon
dari Marcel dan menanyakan kabar terakhir Agi. Dengan santai, ia hanya menjawab Agi masih
menginap di rumah Rei. Karena emosi, Marcel sampai membentak Mbok Nar sehingga Mama
bisa mendengar bentakan Marcel dan mengambil alih telepon itu.
Cel, Agi beneran nggak ada di rumahnya Rei? ... Kamu udah cek ke semua temen-temen
kamu? Agi nggak ada di sana? Ke tempat yang biasa dia kunjungi ada nggak? Ya,
Tuhan. Ke mana perginya anak itu?! Makasih ya Marcel.
Telpon ditutup, Mama hampir saja jatuh terkulai di lantai apabila Papa tidak segera
menahannya. Mama menangis terisak, perasaan seorang Ibu yang merasa kehilangan. Papa
meminta untuk membantu mencari petunjuk di kamar Agi.
Papa, Mama pergi ke kamar Agi. Mbok Nar sendiri masih merenungi kesalahannya.
Mereka mencari-cari sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk. Papa menemukan handphone Agi
dalam keadaan mati, Mama menemukan diary Agi yang terletak di bawah tempat tidur. Papa dan
Mama duduk di atas tempat tidur sambil membaca diary Agi.

Halaman pertama, berisi biodata Agi. Halaman kedua, sebuah puisi. Mereka
membacanya.

Matahari bersinar di pagi hari


Menandai dimulainya semua hariku
Pergi untuk meninggalkan masa lalu
Pergi untuk melupakan masa lalu
Hembus nafas yang begitu sulit
Tangis tersimpan di mata
Yang sulit keluar demi DIA
Sulit untuk menampakkan diri di depan ribuan orang
Mengapa?
Padahal, apakah mereka mengenalku?
Tapi aku tak sanggup

Halaman ketiga, kali ini curhat Agi tentang kelasnya.

Dear Diary,
Hari ini tuh suram banget. Udah ulangan Jerman, Matematika, sama Fisika.
Tapi tadi ada kejadian yang lucu juga lho. Waktu pelajaran Bahasa Indonesia, Pak
Karno ngasih tugas, sambil nunggu tugasnya dikerjain, dia goyang-goyangin bangku
(mungkin pikirannya dia lagi duduk di kursi goyang kali), trus karena keasyikan gitu,
tiba-tiba kepalanya kejedot tembok. Hahaha... J Gue yang nggak ngerjain tugasnya
(dan terus ngeliatin dia. Kira-kira apalagi yang akan dia buat?!) langsung ketawa

sampe ngakak. Sampe-sampe gue disuruh maju dan disuruh ngeliatin tugas gue,
gue bilamg aja gue belom selese. Seandainya lo bisa ngeliat pasti ketawa juga.
Udah dulu ya, gue mau tidur nih! Lagian gue masih belom ngerjain peer Mat.
Dagh...

Mereka terus membaca diary Agi. Sampe akhirnya mereka membaca curhatan Agi
tentang kepergiannya.

Dear Diary,
Gue sedih banget orang tua gue pergi lagi, sekali lagi tanpa pamit lagi. Heran
gue kenapa sih mereka tuh pergi mulu. Kayaknya selama hidup gue, waktu gue
ketemu mereka bisa diitung deh. Nggak tau apa mereka punya gue. Jangan-jangan
mereka udah nggak nganggep gue anak mereka lagi. Tadi gue baca komik
Doraemon. Gue jadi punya ide, gue pengen pergi dari rumah. Gue pengen hidup
mandiri tanpa campur tangan mereka. Rencananya gue akan pergi besok. Doain
gue ya supaya selamat selama pergi. Hehehe... xp Jangan sedih ya kalo besok gue
nggak bawa lo. Tapi kalo gue udah balik, gue bakal cerita deh tentang pengalaman
gue. Im promise...
Dagh... Gue bakal ngangenin lo banget!!!

Itu adalah halaman terakhir Agi menulis di diary-nya. Di halaman belakangnya, ada puisi
lagi waktu malam sebelum Agi pergi. Mama menaruh kembali diary Agi di bawah tempat tidur.
Mama menangis mengetahui anak perempuan satu-satunya pergi. Mama juga merenung mencari
kesalahannya, mengapa Agi bisa sampai kabur dari rumah. Papa langsung memeluk Mama,
berusaha menenangkannya. Papa dan Mama langsung turun ke bawah, ambil kunci mobil dan
tancap gas. Tujuan pertama mereka adalah melapor ke kantor polisi. Setelah mereka melapor ke
kantor polisi, mereka menuju ke sebuah penerbit koran dan stasiun televisi yang merupakan
kenalan Papa. Mereka meminta supaya berita hilangnya Agi menjadi berita utama di koran itu.

Di tempat lain, Agi sedang asyik bermain dengan Ridho di sebuah taman kota. Ridho
menyanyikan lagu yang diciptakannya sendiri sambil diiringi gitar. Judul lagunya Jika Sesaat
Nanti...

Jika sesaat nanti,


Aku tiada di sini, melihat engkau pergi
Dan memang harus pergi
Terucaplah janji, aku melangkah kau mengawasi,
Seakan ini, terakhir kau temui

Pergi Pergi
Jika kita berjumpa lagi suatu saat nanti,
Satukan jemari
Ku ingin kau tak pergi, tapi kau harus pergi
Seakan ini terakhir kau temui,
Pergi Pergi*

Mendengar senandung Ridho, tanpa sadar Agi menangis tersedu. Setiap lirik yang
terucap membuat Agi teringat kembali masa lalunya, saat ditinggal pergi selamanya oleh orang
yang dikasihinya.
Ridho yang melihat Agi menangis langsung menghapus air mata itu perlahan. Kamu
kenapa nangis?

Agi sesegukan menahan tangisnya. Nggak apa-apa. Gue cuma inget sama seseorang.
Ridho mengambil sesuatu dari kantong celananya. Sebuah sapu tangan warna biru. Lalu
Ridho menghapus air mata Agi dengan menggunakan sapu tangan itu. Kamu jangan nangis lagi
ya. Jelek tau ngeliat kamu nangis!
Agi menghapus air mata yang tersisa dan sedikit tersenyum mendengar sindiran Ridho.
Lagian mana ada orang yang nangis tapi mukanya jadi cantik. Aja-aja ada lo!!!
Ada-ada aja kali, Gi. Pegang janjiku, aku janji nggak akan buat kamu menangis.
Agi melongo. Kok? Kenapa?
Karena aku... Ridho bingung harus ngomong apa nggak. Aku sayang sama kamu. Jadi
aku bakal ngejagain kamu supaya kamu selalu tersenyum untukku dan untuk dunia... Ridho
tersenyum tulus.
Apaan sih, Dho? Agi menganggap semua ucapan Ridho hanya main-main.
Ngegombal mulu sih lo!
Aku serius, Gi. Tapi terserah kamu aja sih mau percaya ato nggak. Aku juga nggak
berhak bikin kamu percaya. Seketika air muka Ridho menjadi sedih.
Maaf, Dho. Sebenernya gue juga sayang sama lo! Agi lega berhasil mengungkapkan
kata hati yang sebenarnya. Mereka berdua jadi salting sendiri.

(*^o^*)

Berita tentang hilangnya Agi telah menyebar sampai ke seluk-beluk sekolah. Marcel dan
Keysa berjalan berdua di koridor sekolah. Anak-anak berbisik-bisik melihat kedatangan mereka.
Ada yang berbisik-bisik simpatik membela Agi, ada pula yang menjelek-jelekan Agi kalau Agi
hanya ingin mencari sensasi di SMA Minefarad. Marcel begitu gerah atas penuturan mereka
mengenai Agi, dengan sabar Keysa menenangkannya. Marcel dan Keysa tiba di depan mading

sekolah. Di sana orang-orang berkerumun ingin membaca apa yang ada di dalamnya. Padahal
biasanya mading itu hanya dijadikan sebagai angin lalu saja.
Penasaran, Keysa mendekati kerumunan itu. Dibacanya apa yang ada di dalamnya. Ia
menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Keysa begitu terkejut membaca secarik kertas
koran yang masih baru yang ternyata isinya memberitakan tentang kasus hilangnya Agi. Keysa
jadi takut Agi kenapa-napa.

Ridho sedang meloper koran. Kali ini Agi tidak ikut karena lagi belajar memasak dengan
Ibu. Saat sedang menumpuk-numpuk koran yang akan dijajakan, ia kaget bukan main. Di sebuah
koran ibukota yang terkenal, terpampang sebuah artikel tentang Agi!!! Di halaman pertama pula,
dengan judul HILANGNYA ANAK PENGUSAHA TELEKOMUNIKASI
Di bawah judul, terdapat sebuah foto di mana Agi sedang bersama orang tuanya saat
menghadiri sebuah pesta pernikahan seorang pejabat. Foto Agi dilingkari dengan tinta merah.
Ridho membaca artikel itu dengan serius, sampai-sampai lupa untuk menjajakan korannya.
Tumpukan koran yang tadi diambilnya, dikembalikan kembali ke agen. Satu koran yang ada
berita tentang Agi, ia bawa pulang ke rumah.
Sampai di rumah, Agi melihat sorotan mata Ridho menyorot tajam ke arahnya. Tatapan
mata itu, persis DIA kalo lagi marah. Ridho pasti udah tau berita tentang gue. Karena tadi siang,
selagi nonton TV, Agi sendiri melihat berita tentang dirinya yang hilang. Ridho menggandeng
tangan Agi dan mengajaknya masuk ke kamar. Ridho memberikan koran yang dibawanya kepada
Agi. Agi membacanya dan Ridho mondar-mandir di depannya, Agi sendiri bingung harus bilang
apa.
Ridho berusaha untuk membujuk Agi untuk kembali pulang, dan Agi tetep kokoh untuk
tempat tinggal bersamanya di sini. Tidak kehabisan akal, dia pun berjongkok di depan Agi sambil
mengenggam kedua tangan cewek itu.
Kamu sayang sama orang tuamu? tanyanya. Agi mengangguk.

Kamu tau berapa khawatirnya mereka waktu mereka pulang dan kamu nggak ada? Agi
kembali mengangguk.
Ridho tersenyum lebar. Berarti seharusnya kamu bisa merasakan dong bagaimana
perasaan mereka saat ini. Ayo kamu pulang, aku anterin sampe rumah deh. Aku bakal bilang
sama orang tuamu
Tapi, Dho Agi menggelengkan kepala. Aku takut kalo mereka marahin aku, aku
takut kalo mereka malah nggak peduli.
Ridho membelai rambut Agi dan mencium kening, lalu kedua pipinya. Dia tersenyum
penuh arti, sinar matanya terpancar, dia sangat meyakinkan sehingga Agi berdiri dan
mengikutinya untuk keluar rumah. Dia menggandeng tangan Agi dengan sangat erat, sambil
membawakan tasnya. Dia benar-benar mengantarkan Agi untuk kembali pulang.
Kembali untuk berkumpul dengan keluarga besarnya lagi

LIMA

Ternyata jarak yang ditempuh antara rumah Agi dengan rumah Ridho lumayan jauh.
Mereka harus menggunakan beberapa angkutan umum untuk menuju ke sana. Dengan suasana
transportasi yang pas-pasan, dan keadaan Jakarta yang selalu macet perjalanan pun terasa
semakin jauh dan lama. Untunglah mereka tidak pernah kehabisan bahan untuk berbincangbincang.
Sesampai di rumah Agi disambut oleh isak haru oleh anggota keluarganya. Kebetulan di
saat itu juga Marcel dan Keysa yang datang berkunjung sambil mencari solusi yang akan diambil
untuk mencari Agi apabila dia belum juga pulang ke rumah. Mereka langsung melihat sosok Agi
lekat-lekat ketika dia sudah berdiri di depan pintu. Banyak terjadi perubahan pada diri Agi
selama dia pergi, badannya jadi terlihat lebih kurus, dan warna kulitnya agak sedikit lebih gelap,
namun aura tubuhnya sangat terpancar yang menyiratkan bahwa meski dia berubah, dia bahagia.
Agi, Sayang. Mama memeluk Agi sambil menangis, lalu disusul oleh Papa. Mereka
bertiga saling berpelukan melepas kerinduan.
Setelah Mama dan Papa melepas pelukannya, Agi disambut oleh Keysa dan Marcel. Gi,
kemana aja lo!!! Kita tuh udah cemas nyariin elo tau nggak. Kita takut lo diculik terus dibawa
keluar pulau Jawa kata Keysa sambil menangis haru.
Agi ikutan menangis. Gue nggak kemana-mana kok, gue masih di Jakarta. Gue nginep
di rumah temen kecil gue yang namanya Ridho. Ya kan, Dho? Saat Agi menengok ke belakang,
Ridho sudah tidak ada. Bahkan dia sama sekali tidak berpamitan untuk pulang.
Hei, kalian ada yang melihat Ridho? Tadi dia masih di sini kan? Agi bertanya, dan
semua menjawab dengan gelengan kepala. Dia kemudian pergi keluar dari rumahnya untuk
menyusul Ridho yang kemungkinan belum jauh dari sini.
Ternyata benar Ridho sedang duduk di depan rumah Agi sambil bengong ngeliatin jalan,
persis ketika Agi sedang kebingungan sehabis dia pingsan di Pos Polisi. Agi kemudian duduk di
sebelahnya.

Kok di luar sih, Dho? Keluarga aku mau ketemu sama kamu. Agi melihat ke arah
Ridho. Kamu malu ketemu sama mereka?
Ridho bergantian menatap Agi. Nggak kok, aku cuma nggak mau nganggu suasana temu
kangen kalian. Terus kamu ngapain ke sini? Ridho balik bertanya.
Ih, apa-apaan sih Ridho ngomong kayak gitu. Aku mau kenalin kamu ke mereka. Yuk
masuk Agi menggandeng tangan Ridho untuk masuk ke dalam rumah. Kemudian dia
memperkenalkan dengan orang tuanya dan juga sahabat-sahabatnya. Ridho sebenarnya agak
canggung bertemu dengan orang tua Agi, apalagi keluarga Agi yang tergolong dari keluarga
mapan, jauh sekali dengan keadaan keluarganya. Tapi tampaknya keluarga Agi sama sekali tidak
mempersalahkannya. Mereka malah senang akhirnya anaknya bisa belajar sedikit lebih dewasa.
Sehabis Ridho, Marcel dan Keysa pamit, orang tua Agi menyuruhnya untuk pergi ke
halaman belakang rumah. Di halaman belakang, Agi diintrogasi oleh Mama dan Papa atas
ulahnya kabur dari rumah. Selama dua jam dua puluh, dua menit, dan dua puluh dua detik, Agi
ditanyai secara beruntun oleh Papa dan Mamanya. Agi sudah seperti tawanan di rumahnya
sendiri. Mulut Papa sudah mulai berbusa, akhirnya ia mengucapkan kalimatnya yang terakhir,
Selama seminggu kamu nggak boleh keluar ke mana-mana kecuali ke sekolah, dan
selama sekolah kamu bakal dianter jemput sama Pak Nardi, dan nggak pake kelayapan ke manamana.
Nggak mau kalah dengan Papa, Mama juga memberikan hukuman, Selama sebulan
kartu kredit kamu Mama sita. Nggak ada kata protes.
Mendengar ucapan Papa dan Mama, Agi seperti mati lemas karena dengan begitu
kebebasannya untuk hang out bareng teman-temannya akan terganggu. Tak tahu apa yang mesti
diungkapkan, Agi pun menangis.
Kamu kenapa nangis? Itu adalah sebuah konsekuensi dari apa yang udah kamu buat.
Kamu tau, kamu itu udah bikin malu nama baik Papa sama Mama. Apa kata rekan bisnis Papa,
kalo mereka tau hal ini? Papa berkacak pinggang, Kredibilitas perusahaan Papa akan
terganggu, mungkin banyak perusahaan lain yang tidak ingin bekerja sama. Kamu mau apabila
perusahaan Papa bangkrut hanya karena hal ini?

Agi mulai menghapus air matanya dan berusaha membela dirinya. Agi nggak peduli
kalo akhirnya kita jatuh miskin hanya karena hal ini. Agi emang bukan anak yang baik, yang
sesuai maunya Papa sama Mama, nggak kayak Kak Zu. Tapi tolong Pa, Ma, hargai Agi sedikit
aja sebagai anak kandung kalian. Sejak Kak Zu pergi, Mama sama Papa semakin sibuk dengan
urusan kalian masing-masing, tanpa mempedulikan Agi. Kalian nggak tau kan betapa
kesepiannya Agi tanpa kalian. Agi kembali menangis.
Agi tuh cuma mencari apa artinya sebuah keluarga. Agi pun menemukan itu semua
pada keluarga Ridho. Mereka yang udah memberi Agi arti sebuah keluarga yang sebenarnya,
nggak seperti di rumah ini. Kalo Mama dan Papa nggak suka kehadiran Agi, Agi rela pergi dari
sini lagi.
Agi berlari pergi ke kamar dengan lesu, pintu kamarnya lalu dikunci, kemudian
diambilnya buku diary di bawah tempat tidur. Ia menulis sambil menangis.

Dear Diary,
Akhirnya gue balik juga. Gue nggak tau mesti seneng ato sedih nih balik ke
rumah. Senengnya mungkin gue bisa balik ke rumah lagi, sedihnya ternyata Mama
sama Papa emang gak berubah sikapnya. Mereka pikir dengan gue kabur kayak gini
dapat menghambat kredibilitas perusahaan mereka. Ah nggak ngerti juga gue,
apakah alasan itu masuk akal ato nggak. Sampe rumah, gue langsung diintrogasi
sama Mama, Papa. Gila bayangin aja selama dua jam, dua puluh dua menit, dan
dua puluh dua detik gue ditanyain macem-macem, yang sumpah konyol abis. Mana
seminggu ini gue dianter sama Pak Nardi, terus sebulan ini juga kartu kredit gue
disita. Ampun deh!
Oiya selama gue pergi gue nginep di rumah temen kecil gue yang ngebuat
gue rajin menulis di buku harian kayak gini, namanya Ridho. Sosoknya sederhana
banget, bahkan keluarganya biasa aja. Dia malah kerja jadi loper koran sehabis dia
sekolah, tapi setiap hari Sabtu ngajar di Rumah Corat-Coret. Ah, betapa baik hatinya
cowok itu. Dia itu seperti malaikat, yang menyamar jadi sesosok manusia yang
nggak bersayap.

Diary, kayaknya gue ketemu sosok DIA di diri Ridho. Tapi... mungkin nggak
sih!?

Tok... tok... tok... Pintu kamar Agi diketuk dari luar. Agi langsung menghapus air matanya
dan menaruh kembali diary-nya di tempat semula.
Siapa? tanya Agi, tanpa berpindah dari tempat tidurnya untuk membukakan pintu.
Ini Mama sama Papa. Kami ingin ngomong sama kamu, Nak. ujar Papa.
Ngapain sih mereka masih mau ngomong sama gue? Dengan ogah-ogahan Agi
membukakan pintu. Mama, Papa, dan Agi kemudian duduk di sofa. Mama kemudian menangis
dan memeluknya, memeluknya dengan erat. Ia lalu mewakili Papa meminta maaf kepada Agi,
atas sikap mereka selama ini. Setelah itu, mereka berjanji bahwa mereka akan mengurangi
kesibukan mereka untuk bisa tetap bersama Agi. Agi kemudian tersenyum bahagia. Hilang sudah
semua kegundahan hatinya selama ini. Mungkin sedikit demi sedikit, dia akan menyusun
kembali kepingan-kepingan keluarganya yang dulu pernah hilang. Tapi hukuman Agi tetap
berjalan sesuai perintah Papa dan Mama.

(*^o^*)

Untuk pertama kalinya dalam Sejarah, Agi berangkat di sekolah dianter oleh Pak Nardi.
Sebenernya bukan pertama kalinya juga sih dia dianter Pak Nardi kayak gini, tapi itu juga waktu
zaman SMP, begitu masuk SMA udah nggak pernah lagi. Sebelum turun dari mobil, Agi
mengucapkan terima kasih kepada Pak Nardi yang sudah mengantarnya.
Agi berjalan ke sekolah dengan langkah ragu-ragu. Kira-kira mereka masih mau nggak
ya nerima gue di sisi mereka?! Gue kan udah ngeboongin mereka.
Di kelas, kedatangan Agi disambut dengan meriah.

Agi... Berbondong-bondong anak-anak X-6 menyerbunya sambil memeluk Agi yang


masih berdiri di depan kelas. Beberapa detik mereka berpelukan, akhirnya mereka melepas
pelukannya juga.
Agi, gue kangen sama lo. kata Vivi.
Agi lo ke mana aja? Kok tiba-tiba lo masuk koran kayak gitu? Parah banget. tanya
Bayu.
Agi... Agi... Kok lo bisa banget sih kabur dari rumah? Ajarin gue dong! Helen nggak
mau kalah.
Banyak sekali pertanyaan yang dilontarkan oleh teman-teman sekelas sampai-sampai ia
bingung sendiri menjawabnya. Kemudian datanglah sesosok Dewa Penolong,
Marcel... teriak Agi yang melihat kedatangan Marcel di depan pintu kelas sambil
menggoyang-goyangkan tangannya di atas kepala teman-temannya.
Seperti tahu musibah yang sedang dialami sahabatnya, Marcel langsung menggandeng
tangan Agi dan dibawanya keluar dari kerumunan. Marcel mengajak Agi ke kantin yang masih
sepi, dan mereka pun sarapan sambil ngobrol.
Teng Teng Teng... Bel tanda masuk sekolah berbunyi. Agi mengajak Marcel masuk
kelas karena jam pertama pelajaran Bahasa Indonesia. Pak Karno amat bawel kalo ada muridnya
yang terlambat masuk pelajarannya.
Untung Marcel dan Agi datang tepat waktu, karena Pak Karno belum datang juga. Ketika
mereka sudah duduk di meja masing-masing, Pak Karno akhirnya datang. Setelah selesai berdoa,
Pak Karno menjelaskan tentang Perkembangan Sastra Indonesia. Agi memerhatikannya dengan
seksama, walaupun pikirannya lagi nggak fokus. Melihat Agi kembali, Pak Karno seperti
menemukan sebuah mangsa.
Ini dia Nona Sellaginella. Ke mana saja kamu selama seminggu ini, Nona?
Eh... Eh... Saya jenguk Nenek, Pak.
Jenguk Nenek apa kabur dari rumah? Sampai masuk koran dan berita segala.

Anu Pak... Agi kehabisan kata-kata. Saya... Saya...


Pak, tadi Chairil Anwar itu penyair angkatan keberapa? tanya Theo yang duduk paling
belakang. Pak Karno pun mengalihkan pembicaraan dengan menjawab pertanyaan Theo. Agi
bernapas lega. Ia menengok ke arah Theo, Makasih ya, Yo. bisiknya tanpa mengeluarkan
suara. Theo tersenyum.
Sepertinya Agi jadi terkenal dalam semalam di sekolahnya. Tiap kali ia berjalan dengan
Marcel dan Keysa ataupun teman sekelasnya, orang-orang di sekitarnya tersenyum atau berbisikbisik nggak jelas. Bahkan ulangan Geografi dibatalkan karena Bu Nata ingin mengobrol dengan
Agi seputar kepergiannya dari rumah.
Pulang sekolah, Agi nggak langsung pulang, ia harus memenuhi panggilan BP. Marcel
nggak bisa nemenin karena harus bimbel, lagipula cuma Agi saja yang dipanggil ke sana. Agi
melepaskan sepatunya dan membuka pintu BP. Sudah berpuluh-puluh kali ia keluar masuk BP
karena ulahnya sendiri. Mungkin yang kemarin itu masih bisa ditolerirlah, misalnya makan
permen karet di kelas, masukin tikus-tikusan di laci guru, ngempesin ban mobil Pak Bumbi garagara ulangan Matematika dikasih nilai jelek dan lain-lain yang kalau disebutin butuh waktu
selama tiga puluh dua tahun. Bolak-balik juga dikasih SP Surat Peringatan. Tapi kalau yang
ini? Apa masih bisa ditolerir?
Mudah-mudahan kasus gue nggak ditanganin sama Bu Emma. Kalo iya, mati aja deh
gue! Ya, Allah tolong kabulkan doaku ini! Amin... Amin...
Bu Emma adalah guru BP yang paling ditakuti oleh seluruh siswa SMA Minefarad. Kalau
kasus sudah ditangani oleh Bu Emma, dengan senang hati ia akan mengeluarkan Surat Skorsing.
Ia juga tidak memandang murid-murid itu adalah anak dari ketua Yayasan atau bukan, karena di
matanya semua murid itu sama.
Selamat siang. sapa Agi waktu memasuki ruang BP.
Siang, Nona Sellaginella.
Deg!!! Suara itu, senyuman itu, tatapan itu... Bu Emma.... Tidak...

Silakan duduk, Nona. Bu Emma mempersilakan Agi duduk di depannya. Ckckck...


Lagi-lagi kamu, Nona. Kasus yang apa lagi kamu lakukan sekarang?
Saya nggak tahu Bu, kenapa saya dipanggil ke sini. Emang ada apa ya?
Ternyata kamu itu Nona Besar Kepala... Bla... Bla... Bla... Bu Emma benar-benar
membuat Agi mati berdiri. Untungnya ia tidak memberikan Surat Skorsing seperti biasanya, ia
hanya berkata, Ingat Nona Agi, jangan mentang-mentang orang tua kamu adalah orang yang
paling berwenang di sekolah ini, kamu bisa seenaknya berbuat ulah. Kalau sampai kamu
melakukan satu kasus lagi, Ibu tidak akan segan-segan menskorsing kamu atau bahkan
mengeluarkan kamu dari sekolah ini. Kamu ini berbeda sekali dengan kakakmu.
Agi kesal karena Bu Emma telah membanding-bandingkannya dengan keluarganya.
Asal Ibu tau saja, saya juga tidak akan berlindung pada nama besar orang tua saya. Kalau saya
bisa memilih, saya juga tidak akan menggunakan nama belakang ayah saya, apabila itu menjadi
beban tersendiri buat saya. Satu lagi tolong jangan banding-bandingkan saya dengan kakak saya,
karena kami memang berbeda. Terima kasih.
Bu Emma sudah siap mengeluarkan kata-kata untuk membalas ucapan Agi, tapi ternyata
Agi sudah pergi keluar dari BP. Bu Emma hanya bisa mengelus dada..

Malam hari Marcel menelepon Agi. Agi pun curhat ke Marcel tentang apa yang
dialaminya di ruang BP tadi. Marcel dengan sabar mendengar semua rorongan Agi mengenai Bu
Emma. Memang sudah sepantasnya sahabat untuk selalu mengerti apa yang dialami oleh
sahabatnya yang lain.

(*^o^*)

Hari keenam hukuman Agi... Agi sedang asyik menoton TV di kamar. Mama dan
Papanya lagi pergi ke Hotel Hilton buat menghadiri pernikahan anak teman Papa.

Terdengar suara gitar dipetik dari balik pagar. Ah paling cuma pengamen...
Orang yang memainkan gitar mulai bernyanyi. Jika sesaat nanti, Aku tiada di sini,
melihat engkau pergi
Agi langsung turun mendengar suara yang sedang menyanyi di depan rumahnya.
Kemudian dia langsung membukakan pintu pagar. Ridho sudah berdiri manis di depannya sambil
memegang sebuah gitar kesayangannya. Hari ini dia begitu rapi dengan menggunakan celana
panjang dan juga jaket cokelatnya, rambutnya pun agak sedikit klimis, mungkin dipakaikan gel
supaya rapi.
Hei, apa kabar Gi? sapa Ridho. Agi memerhatikan Ridho dari ujung kepala hingga
ujung kaki, dia sendiri tidak bisa menahan ketawa karena melihat dandanan Ridho yang begitu
rapi seperti ini. Ridho pun sadar dengan tatapan aneh yang dipancarkan oleh sorot mata Agi.
Kenapa, Gi? Ada yang aneh ya?
Agi berusaha menahan tawanya agar tidak meledak. Nggak apa-apa kok. Yuk masuk
dulu. Kamu mau minum apa nih?
Ridho meminta sebuah es teh manis untuk menemaninya, dan Agi segera masuk dapur
untuk menyiapkan jamuannya. Ridho duduk di teras depan sambil menikmati hawa sejuk dari
pohon-pohon yang ada di depan rumah Agi.
Agi datang dengan membawa baki yang berisi 2 gelas es teh manis dan juga satu toples
kue. Ridho langsung meminum es teh manisnya, dan kemudian dia mengeluarkan sebuah surat
dari dalam tasnya.
Sebenernya aku ke sini mau ngasih kamu ini, Gi. Dia mengulurkan tangannya. Surat
dari anak-anak Rumah Corat-Coret.
Agi langsung mengambil surat itu dan membacanya.

Hai Kak Agi, apa kabar? Kami kangen nih sama kakak. Abisnya kakak pergi gitu aja nggak pamitan dulu.
Tapi kata Kak Ridho, kakak pergi gara-gara udah dicariin sama Mama dan Papanya ya, jadinya Kakak langsung
pergi mendadak gini.

Kak Agi tau nggak, sejak kakak pergi, Kak Ridho sering banget ngelamun dan manggil-manggil nama
kakak. Kami pikir dia kesepian karna nggak ada Kakak di sampingnya. Kak Agi nggak berantem sama Kak Ridho
kan?! Oh ya kak di dalam ini juga ada hasil karya kami khusus buat Kak Agi. Disimpen baik-baik ya!!! Segitu aja
deh surat dari kami. Maaf ya kalo tulisannya susah dibaca. Kami sayang Kak Agi dan Kak Ridho. Kalian berdua
akan selalu ada di hati kami.

Agi melipat kembali surat itu dan meneteskan air mata, bagaimana mungkin
pertemuannya yang hanya sekali dengan anak-anak itu memberikan sebuah kesan yang begitu
berharga. Betapa rindunya dia dengan anak-anak itu yang dia anggap seperti adiknya sendiri.
Ah, aku jahat sekali lupa berpamitan dengan mereka. kata Agi sambil menghapus air
matanya.
Nggak kok. Kan kita memang perginya juga mendadak. Mereka sudah aku kasih
penjelasan, dan mereka paham kok alasannya kenapa. jawab Ridho sambil mengusap-usap
telapak tangannya. Nanti kalo kamu nggak sibuk, Rumah Corat-Coret masih terbuka lebar-lebar
untuk kamu kok.
Hehehe makasih ya, Dho. Eh Dho tau nggak tiba-tiba aku inget omongan kamu yang
waktu masih kecil dulu!
Yang mana, Gi? Aku lupa Apa yang kita akan tukeran buku harian itu?
Agi tersenyum kecil sambil menggeleng. Bukan, bukan itu. Waktu itu kamu bilang mau
nikahin aku lho. Itu beneran? Oiya trus ngomong-ngomong soal buku harian, apa kita benarbenar harus menunggu 2 tahun lagi buat membacanya bersama?
Ridho tersedak ludahnya sendiri, dan terbatuk-batuk kecil. Kalo kamu memang jodoh
aku kenapa nggak? Toh saat ini aku memang udah nyaman sama kamu. Buat buku harian, iya
dong kita harus menunggu 2 tahun lagi. Siapa tau kan kamu bukan Agi yang selama ini kucari.
Hehe
Agi mencubit ujung perut Ridho dengan gemas.

ENAM

Hukuman Agi telah berakhir. Dengan ditemani Marcel, sehabis pulang sekolah ia datang
untuk menemui Ridho. Suasana rumah Ridho terlihat begitu sepi, beberapa kali ia mengetuk
pintu namun tidak ada jawaban. Ketika mereka berdua hendak beranjak pergi, seorang tetangga
Ridho datang menghampiri. Ia memberitahukan sebuah kabar buruk bahwa Ridho sedang
dirawat di R.S. Bustami Permadi, karena pingsan ketika sedang meloper koran.
Mereka lekas-lekas pergi ke R.S. Bustami Permadi. Marcel yang mengendarai mobil, Agi
benar-benar takut tidak dapat bertemu kembali dengan Ridho. Dengan Ridho-nya.
Ridho, moga-moga lo nggak kenapa-napa!
Ternyata Ridho masuk ke ruang ICU. Mereka berlari kecil ke ruang ICU. Agi begitu
ketakutan menuju ke ruang ICU, untuk bertemu kembali dengan Ridho. Dengan sabar, Marcel
menentramkan hatinya agar jangan takut. Tibalah mereka di selasar ruang ICU. Duduklah
keluarga Ridho lengkap. Ibu, Ayah, serta Arya. Agi menghampiri mereka dan mencium tangan
kedua orang tua Ridho.
Ridho kenapa, Bu? tanyanya.
Nggak tau Gi, tiba-tiba ketika dia sedang meloper koran dia pingsan. Untunglah saat itu
sedang lampu merah, dan ada seorang pengendara mobil yang langsung membawanya ke Rumah
Sakit kemudian mengabarkannya pada kami.
Mungkin Ridho kecapean kali ya, Bu. Dia kan suka terlalu memforsis diri trus kurang
istirahat. Agi menebak-nebak apa yang terjadi. Sabar ya, Bu. Kita berdoa aja semoga Ridho
nggak kenapa-napa. Ditepuk-tepuknya bahu Ibu, dipeluknya. Agi melihat keadaan Ridho di
jendela dekat ruang tunggu. Tubuh Ridho dipasang selang-selang infus yang tidak terhitung
banyaknya.
Kenapa gue harus ngeliat orang di sekeliling gue nangis? Kenapa gue harus ngeliat
orang-orang nggak bersalah menderita gara-gara gue? KENAPA KENAPA?

Dokter yang memantau keadaan Ridho keluar dari ruang ICU dan masih mengenakan alat
kedokteran yang lengkap. Dia pun menghampiri keluarga yang sedang menunggu.
Siapakah orang tua atau pihak keluarga pasien di sini? tanya Dokter sambil memegang
stetoskopnya. Ada hal serius yang harus saya bicarakan.
Ibu dan Ayah mengacungkan tangan, lalu Ibu yang mewakili berbicara. Iya, kenapa
Dok? Ada apa dengan Ridho?
Sebelumnya saya ingin bertanya apakah di keluarga Ibu ada yang merokok atau ada
yang mempunyai riwayat infeksi paru-paru?
Ayah dan Ibu saling bertatapan mata, mereka bingung sekaligus heran karena di keluarga
mereka sama sekali tidak ada yang merokok apalagi punya riwayat paru-paru. Mereka kemudian
menggeleng-gelengkan kepala.
Maaf saya harus mengatakan bahwa kemungkinan Ridho terserang infeksi, dia terkena
penyakit Pneumonia Dokter memperlambat intonasi suaranya, atau yang biasa kita kenal
dengan radang paru-paru.
Kok dia bisa terinfeksi, Dok? tanya Agi. Dia sendiri sering mendengar tentang istilah
radang paru-paru tapi tidak pernah berhadapan langsung dengan penderita paru-paru seperti ini.
Saya menduga dia tertular dari asap rokok dan asap kendaraan yang dia hirup setiap
harinya. Pnemonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli).
Terjadinya pnemonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus.
Untuk sementara ini yang bisa kami lakukan adalah memberikannya udara oksigen yang bersih.
Setelah sembuh pun dia harus benar-benar beristirahat yang cukup dan perlu mengatur pola
makan. Begitu penjelasan dari Dokter. Setidaknya hal itu membuat perasaan mereka lega.
Kalau saja Marcel tidak ada janji dengan pacarnya, mungkin Agi akan terus di sana,
menemani keluarga Ridho. Marcel sendiri juga tidak akan tega meninggalkan Agi sendirian naik
taksi, karena hari sudah malam. Mereka pun berpamitan dari Rumah Sakit.
Marcel mengantarkan Agi sampai di depan rumahnya. Ia meminta maaf karena nggak
bisa mampir dulu. Sampai di rumah, Agi langsung ke kamarnya, tidur.

(*^o^*)

Sehabis pulang sekolah, Agi membongkar seisi gudang di sebelah kamarnya.


Dikeluarkannya satu per satu isi dalam gudang tersebut. Ada beberapa buah kardus, majalah
bekas, dan segala sesuatu yang bekas-bekas. Akhirnya setelah mengeluarkan semua karduskardus, ia menemukan satu kardus yang memang dicarinya. Dimasukkan kembali kardus-kardus
ke dalam gudang, satu kardus diangkatnya ke kamar.
Jantung Agi berdebar kencang saat ingin membuka kardus itu. Dikeluarkan semua isinya
dari dalam kardus. Ada dua buah album foto, sebuah cologne cowok yang sudah habis, beberapa
stel baju, dan tiga buah foto yang berpigura. Agi mengambil satu buah foto yang berpigura.
Di dalam pigura itu terdapat sebuah foto keluarga. Dua orang tua dan dua anaknya, lakilaki (seumuran Agi) dan perempuan kecil sedang berfoto di sebuah studio foto. Agi menyentuh
foto anak laki-laki. Dibelai-belainya foto anak laki-laki itu.
Kak Zu... kata Agi, lirih.
Foto itu mengingatkan Agi pada peristiwa masa lampau yang kelam, sepuluh tahun yang
lalu.

IN MEMORIAM AZUL FERNANDO SOEANDRIYA

Hiduplah sebuah keluarga kecil dengan dua orang anak mereka. Laki-laki dan
perempuan. Laki-laki yang paling besar bernama Azul Fernando Soeandriya, sedangkan yang
perempuan dan paling kecil bernama Sellaginella June Soeandriya. Nama panggilan mereka Zu
dan Agi.

Zu memiliki karakteristik keras, ulet, rajin beribadah, pengalah dan sayang keluarga.
Secara fisik tubuhnya tinggi dan kekar seperti atlet, sehingga ia menjadi bintang sekolah.
Sebaliknya Agi adalah seorang anak kecil yang manja, egois, dan nggak mau mengalah.
Selisih umur mereka sendiri cukup jauh, Zu berumur 15 tahun sedangkan Agi baru
berumur 7 tahun. Walaupun begitu, kakak beradik itu saling menyayangi. Bahkan Sang Adik,
sempat berpikir untuk menikah saja dengan Zu. Pemikiran anak kecil yang masih polos,
memang.
Ada sebuah kejadian yang membuat Agi dan Zu bertengkar hebat tepat beberapa hari
setelah pesta ulang tahun Agi, dan kepindahan mereka ke Jakarta. Secara tidak sengaja, Zu
memecahkan mug kesayangan Agi, sebuah Mug Cinderella yang dibelinya saat jalan-jalan ke
DisneyLand Tokyo. Mug itu pecah dan tidak bisa digunakan lagi. Agi sangat marah sekali.
Walaupun Zu telah meminta maaf dan berjanji akan menggantinya dengan yang baru, Agi tidak
menerimanya. Ia begitu marah dan kesal!!! Dibantingnya pintu kamarnya sampai berbunyi cukup
keras.
Agi benci Kak Zu!!! Abis udah ngerusakin mug kesayanganku sih!!! umpatnya dalam
hati.
Pagi hari, Zu sudah bersiap berangkat ke sekolah sedangkan Agi masih mengurung diri di
kamarnya. Zu mengetuk pintu kamar Agi.
Gi, bangun Gi, ntar kamu kesiangan lho!!! sambut Zu.
Ketukan pintu dan sambutan Zu tidak digubrisnya. Sebenarnya ia sudah bangun dari tadi.
Diambilnya bantal untuk menutup telinganya supaya tidak mendengar apapun.
Agi nggak mau ketemu sama Kak Zu lagi!!! Kak Zu pergi aja selamanya dari sini...
Gi, kakak tau kamu masih marah sama kakak. Kakak mohon banget kamu mau maafin
kakak. Keluar dong, Sayang.
Hah??? Apa??? Tadi Kak Zu bilang apa? Agi nggak denger! Ah, biarin aja deh!!!
Telinganya masih ditutupi bantal. Agi malah ketawa cekikan.

Omongannya sama sekali diacuhkan oleh Sang Adik, akhirnya Zu berkata, Kalo Agi
nggak mau ngomong sama kakak lagi ya nggak apa-apa!!! Tapi Agi keluar dong, kamu kan
masih harus sekolah.
Agi masih tidak menggubris. Dengan putus asa, Zu berkata. Kakak berangkat dulu,
Sayang. Kamu jangan bolos sekolah ya!
Zu segera meninggalkan rumah, berangkat ke sekolah. Melihat kakaknya telah pergi, Agi
keluar kamar lalu mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah.
Siang hari, Agi asyik bermain-main di halaman depan sendirian. Ngomong-ngomong Kak
Zu pergi ke mana ya? Kok jam segini belom pulang? Apa tadi aku kelewatan ya sama Kak Zu?
Gimana nih?
Kring Kring Kring
Mbok Nar yang saat itu ada di dalam, buru-buru mengangkat telponnya. Tanpa diduga
sebelumnya, telepon itu datang dari Kepolisian yang mengabarkan bahwa Zu tertimpa musibah
dan sedang dirawat di R.S. Bustami Permadi. Mbok Nar langsung menelpon kedua orang tua Agi
dan mengabarkan keadaan Zu.
Mbok Nar pun menemani Agi yang asyik bermain di taman.
Mbok Nar kok Kak Zu belum pulang ya? Agi pengen minta maaf sama dia.
DEG!!! Jantung Mbok Nar seakan mau copot. Ia bimbang apa perlu memberitahukan
kabar Zu yang sesungguhnya kepada Agi. Akhirnya Mbok Nar berkata bohong, Mungkin Kak
Zu lagi kerja kelompok kali Non di rumah temennya.
Terdengar suara pintu pagar dibuka, dan mobil Mama masuk ke dalam garasi. Mama
mengajak Mbok Nar dan Agi untuk ikut serta dengannya dengan menaiki mobil Papa. Sambil
digendong Mbok Nar, Agi berteriak kegirangan karena Mama akan mengajaknya pergi.
Agi terheran-heran karena mobil berhenti di tempat parkir Rumah Sakit Bustami
Permadi. Mereka berempat menuju ke ruang informasi menanyakan tempat Zu dirawat. Ternyata
Zu dirawat di ruang ICU. Di depan ruang ICU, ada dua orang laki-laki yang berseragam polisi.

Papa berbicara dengan dua orang polisi itu tentang kronologis kejadian yang menimpa anaknya.
Polisi ini bercerita bahwa sepulang sekolah tadi terjadi tawuran antara SMA Maharaysa dan
SMA Merpati Putih. Zu yang berniat untuk menjauh dari tawuran itu, malah terkena sabetan
corbek dari SMA Merpati Putih di sekitar punggungnya. Kemudian polisi yang datang, langsung
membawanya ke Rumah Sakit Bustami Permadi.
Selama seminggu, ia dirawat di sana. Agi tidak pernah absen untuk merawatnya. Hari
ketujuh itulah, nyawa Zu tidak bisa diselamatkan, ia akhirnya meninggal dunia. Agi menangis
melihat kakaknya begitu cepat meninggalkannya. Agi menyesal dengan apa yang pernah ia
ucapkan dulu pada Zu. Sebelum meninggal Zu sempat berpesan,
Agi, adikku. Maafin kakak ya. Kakak nggak bisa terus ngejagain kamu selamanya
seperti janji kita yang dulu. Maafin kakak ya... Tolong bikin Mama sama Papa bangga sama
kamu.
Sejak kepergian Zu, ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak menangis. Besoknya
Zu dimakamkan. Semua teman-teman Zu datang melayat, mereka tidak ada yang pernah
menyangka akan secepat ini kehilangan Zu. Seminggu setelah kematiannya, semua barangbarang Zu dipindahkan ke dalam gudang. Bukannya keluarga Soeandriya berusaha untuk
melupakan Zu, tetapi lebih karena tidak kuat mengingat semua kenangan tentang Zu yang begitu
indah dan membiarkan kenangan itu tersimpan selamanya tanpa ada orang yang berusaha untuk
mengusiknya kembali.
Kak Zu Aku bener-bener udah ngelepasin kakak sekarang.

Agi mengambil salah satu pigura yang berisi fotonya bersama Zu waktu di tengah sawah.
Ia meletakkan pigura itu di meja belajarnya. Sudah lama sekali ia melupakan Zu, dan mungkin
kali ini sudah saatnya untuk mengenang Zu kembali.

TUJUH

Agi dan Marcel kembali menjenguk Ridho. Namun saat mereka datang, belum saatnya
jam besuk. Sehingga mereka pergi makan siang dulu di Cafetaria Rumah Sakit. Agi memesan
nasi goreng dan Teh Botol, sedangkan Marcel hanya memesan milkshake coklat.
Cel, lo yakin nggak mau makan? tanya Agi sambil menyuapkan satu sendok nasi
goreng ke mulut Marcel. Ntar sakit lho!
Yakin kok, Gi. Tadi pas istirahat kedua gue udah makan, jadi sekarang masih kenyang.
Oh... ya udah kalo gitu. Agi melahap nasi gorengnya yang sedianya ingin dia suapkan
ke Marcel. Cel, kemaren gue bongkar-bongkar barang-barangnya Kak Zu yang ada di kardus,
masa waktu dia kesabet corbek itu, ternyata dirawat di sini juga. Gue jadi takut kejadian yang
sama terjadi juga sama Ridho, Cel.
Ayolah, Gi. Sejak kapan sih lo jadi parno gitu? Lo jangan ngeliat masa lalu gitu dong.
Nanti arwah Kak Zu jadi nggak tenang.
Sekarang jam berapa, Cel?
Marcel melirik jam tangannya. Jam tiga, masih ada dua jam lagi sampe jam besuk.
Marcel dan Agi berpikir bersama. Akan pergi ke manakah mereka untuk menunggu
sampai jam besuk tiba? Ke makam Kak Zu! jawab mereka kompak.
Mereka akhirnya pergi ke makam Zu. Sebelum ke makam Agi membeli sebuket bunga
lili, bunga kesukaan Agi dan Zu. Mereka mencari-cari makam Zu yang sudah lama tidak Agi
datangi.
Hai, Kak Zu. Maaf baru sekarang Agi ke sini lagi. Agi membersihkan makam Zu dari
sampah-sampah dedaunan dan menaruh buket bunga itu di depan nisan Zu. Marcel berjongkok di
samping Agi.

Kak Zu, Agi mau cerita sama kakak, Agi dapet temen baru lho namanya Ridho. Tapi
sekarang lagi dirawat di Rumah Sakit yang sama kayak Kakak dulu. Doain ya Kak, biar Ridho
cepet sembuh. Soalnya Agi nggak mau kehilangan orang yang Agi sayang lagi. Agi tak kuat
menahan air matanya, menangis.
Hai, Kak Zu. Marcel angkat bicara. Aku masih megang janji aku untuk jagain Agi.
Agi heran. Emangnya kakak pernah minta tolong ke Marcel suruh jagain aku?
Iya dong Gi. Kak Zu kan nggak bakal ngebiarin adiknya ini nggak ada yang jaga. Ya
kan, Kak?
Huh, Kak Zu jahat!!! Masa nitipin aku sama orang kayak Marcel sih!
Nggak terasa udah jam setengah lima sore. Gi, udah jam setengah lima nih! Cabut yuk!
Kak Zu, Agi sama Marcel pulang dulu ya! Agi mencium nisan Zu. Dagh... Kak Zu!
Marcel dan Agi meninggalkan makam Zu. Di ruang rawat inap, keluarga Ridho telah
menunggunya. Agi menghampiri tempat tidur Ridho, dan duduk di kursi samping tempat tidur.
Kasian banget lo, Dho. Maafin gue ya yang udah buat lo kayak gini. Agi memegang
telapak tangan Ridho. Dingin... Dikuatkan pegangan tangannya untuk menghangatkan tangan
Ridho.
Ridho... lo bangun dong, Dho. Bangun Dho, demi gue, Ibu, Ayah, Arya, dan semua
orang-orang yang sayang sama lo, Dho. Please... Agi menundukkan kepalanya. Menangis untuk
kesekian kalinya. Lo kan janji nggak mau buat gue nangis, mana janji lo?
Perlahan-lahan tapi pasti, mata Ridho terbuka sedikit demi sedikit. Kata-kata Agi seakanakan menjadi semangat baru baginya untuk tetap hidup.
Agi... ucapnya lirih. Jangan nangis... Dengan tangan yang masih lemah, Ridho
menghapus air mata Agi yang tergenang di kedua bola mata cokelatnya.
Agi mengangkat kepalanya, kaget. Iya, bawel. Agi membantu menghapus air matanya
dan tertawa. SEMUANYA, Ridho udah siuman.

Mereka yang dipanggil berduyun-duyun mendatangi tempat tidur Ridho, Ridho


tersenyum. Ibu dan Ayah menangis melihat anaknya sadar kembali, Arya dan Marcel bahagia.
Beberapa detik kemudian, dokter beserta para suster datang dan menyuruh mereka untuk pergi
karena akan memeriksa kondisi Ridho kembali. Mereka semua mengucapkan syukur.
Agi menulis sebuah puisi:

Terima kasih Tuhan,


Aku mengucapkan syukur padaMu...
Atas semua rahmat dan anugerah yang telah Engkau limpahkan kepadaku...
Sekali lagi aku dapat melihatnya kembali tersenyum,
Melihatnya kembali bernapas untuk hidup dan menatap dunia.
Terima kasih Tuhan,
Jangan renggut kembali kebahagiaan ini...

(*^o^*)

Malam hari Agi bermimpi bertemu dengan sosok Zu. Tak banyak yang berubah dari
dirinya, masih sama seperti yang dulu. Agi melepas kangen dan memeluk Zu dengan erat. Ia juga
bercerita tentang kejadiannya sehari-hari. Agi meminta ikut, tapi buru-buru ditampis oleh Zu.
Jalan kamu masih panjang, Gi. Kakak masih pengen liat kamu jadi orang yang sukses.
Tapi Kak, Agi cuma mau sama Kakak... Agi memegang erat tangan Zu.
Maaf, Gi. Tapi nggak bisa Bayang Zu langsung menghilang.

DELAPAN

Seminggu sudah Ridho dirawat di Rumah Sakit. Akhirnya Ridho kembali pulang ke
rumah dianter sama Agi. Marcel nggak ikut katanya sih nggak enak badan padahal sebenarnya ia
nggak mau ngeganggu kemesraan Agi dan Ridho. Ridho masih harus memakai kursi roda,
karena ia sendiri belum mampu melangkah.
Selamat datang, Ridho... Agi berseru sekuat-kuatnya. Ia meniupkan terompet. PRET...
PRET...
Kak Ridho... Anak-anak Rumah Corat-Coret datang menyambut, ikut meniupkan
terompet juga. Salah satu dari mereka, si Dodo memberikan sebuket bunga.
Ridho tersenyum bahagia. Aduh makasih, kalian baik banget sama aku. Jadi terharu!
Hiks... Hiks... Hiks... Ridho pura-pura menangis.
Dasar Ridho! Mentang-mentang udah sembuh jadi bisa bercanda lagi! pikir Agi.
Semuanya makan dulu yuk! Ibu udah nyiapin makanan lho! Ibu mengajak mereka ke
meja makan. Ridho membuka tudung saji di atas meja.
Asyik makan Mpek-Mpek... teriak Ridho. Gi, kamu suka sama Mpek-Mpek kan?
Agi mengangguk, tersenyum. Suka banget, apalagi kalo itu buatan Ibu.
Mereka makan bersama dengan Mpek-Mpek asli buatan Ibu.

(*^o^*)

SMA Minefarad sedang mengadakan UTS (Ujian Tengah Semester). Minggu-minggu


terberat buat Agi dan anak-anak Minefarad yang lain. Mati-matian ia belajar, karena begitu

banyak pelajaran yang tertinggal akibat kabur dari rumah. Udah gitu ia nggak bisa bertemu dulu
sama Ridho, karena Ridho lagi UTS juga. Duh, Agi jadi kangen Ridho!!! J
Senin, pelajaran Agama dan KWN. Agi berhasil mengerjakannya dengan baik sambil
nanya sana-sini. Kadang juga ngasih tau jawaban ke temen-temennya yang nggak bisa.
Nggak terasa udah empat hari Agi menjalani UTS di sekolahnya. Semua berlangsung
dengan lancar-lancar saja, tidak ada kendala sama sekali. Tetapi besok adalah hari yang
menegangkan buatnya karena besok UTS Matematika dan Kimia, dua pelajaran yang
memberatkan baginya dan besok adalah UTS terakhir.
Selesai UTS Bahasa Inggris, Agi langsung berlari ke luar menemui Marcel yang ada di
kelas sebelah, karena nama Marcel terletak di absen awal, Ariela Marcelo.
Marcel... teriak Agi menghampiri Marcel yang baru keluar dari ruang kelasnya. Ntar
ke rumah gue dong, ajarin gue Matematika sama Kimia buat besok.
Boleh. Tapi gue pulang dulu ya.
Ya udah deh terserah lo. Pokoknya lo harus ngajarin gue dua pelajaran itu!!! Tau sendiri
dua pelajaran itu, gue nggak pernah yang namanya nggak remed.
Iya... iya... Non Sella...
Ih, jangan manggil gue Sella napa. Ya udah deh. Gue pulang dulu ya. Dagh... Agi
bergegas ke parkiran mobilnya.
Agi selesai ganti baju dan menunggu Marcel di gazebo di bawah pohon mangga sambil
membawa buku Matematika dan Kimia serta buku coretan. Agi bergerak gusar, Marcel tak
kunjung datang.
HP-nya berbunyi. Telpon dari Marcel, yang mengabarkan bahwa dia nggak bisa datang
ke rumahnya karena dia nggak boleh pergi ke mana-mana. Agi sudah kecewa berat, karena
Marcel nggak jadi datang. Tapi tunggu dulu, Marcel ternyata berbohong, sebenarnya dia sudah
sampai di depan rumah Agi.

Hai... Agi, bakekok... Sori ya udah ngeboongin lo dan bikin lo lama nunggu. Marcel
duduk di samping Agi.
Iya dimaafin karena gue orang yang baik hati. Hahaha... Lo mau minum apa?
Terserah, asal jangan susu basi aja.
Tenang aja susu di rumah gue masih fresh semua kali. Bentar ya, gue siapin dulu
minuman spesial buat lo.
Agi menuju ke dapur, menyiapkan dua gelas capucinno dan vanilalatte serta setoples
cookies coklat. Agi membawa makanan dan minumannya di atas meja. Tara... Minuman sama
cemilannya udah siap!!!
Makasih. Ayo sekarang kita belajar! Marcel sudah siap-siap membuka buku soal. Agi
sendiri belum menyiapkan otaknya untuk belajar Matematika dan Kimia, ia lalu menahan Marcel
supaya mencicipi dulu hidangan yang telah ia suguhkan.
Marcel meminum seteguk cappucinno-nya. Kemudian ia menanyakan apa yang mau
dipelajari Agi terlebih dahulu, Matematika atau Kimia. Agi lebih memilih untuk belajar
Matematika dulu. Marcel membolak-balikkan halaman untuk mencari soal-soal yang lumayan
susah. Kemudian disalin soal-soal itu ke buku coretan.
Nih, kerjain soalnya. Kalo nggak bisa nanya dan jangan ngitung pake kalkulator.
ancam Marcel.
Iya, Pak. Agi serius mengerjakan soal-soal yang dikasih Marcel. Sedangkan Marcel
asyik mengunyah cookies sambil mendengarkan MP3 dari HP-nya.
Aduh Marcel liat ke sini dong! Gue lagi kesusahan nih ngerjain soalnya.
Gimana Gi, udah ngerjain berapa nomor? Marcel mengintip pekerjaan Agi. Melihatnya
ia langsung shock. Ya ampun baru ngerjain satu nomor? Inagurasi...
Hehehe... Abisnya gue banyak yang nggak ngerti! Makanya ajarin!

Ngomong dong dari tadi. Marcel membantu Agi menyelesaikan soal-soal yang dia
kasih. Agi ber- Oo -ya, hanya sedikit penjelasan Marcel yang dimengerti.
Kayaknya emang udah dasarnya Agi lemah dalam dua pelajaran itu, jadi hampir
membuat Marcel gila sendiri mengajarinya karena Agi susah banget ngerti. Tetapi dengan
kesabaran ekstra Marcel mengajari Agi sampai benar-benar mengerti. Hampir dua setengah jam
sendiri mereka belajar Matematika.
Mungkin karena Agi udah merasa (baca: sedikit) paham dan mengerti sekarang mereka
belajar Kimia. Ia tambah nggak ngerti belajar Kimia dan dengan telaten Marcel menjelaskan
semuanya. Tanpa terasa waktu menunjukkan pukul enam sore.
Gi, gue pulang dulu ya! Udah sore, ntar gue dimarahin sama si Ridho lagi, gara-gara
deket mulu sama lo.
Ih, apa-apain sih lo, Cel. Dia kan cuma temen aja. Muka Agi memerah. Ya udah deh,
makasih ya udah susah payah ngajarin gue!
Sama-sama. Inget Gi, belajar yang rajin lagi buat dua pelajaran itu. Tadi gue liat lo
banyak yang nggak bisa. Trus jangan lupa berdoa juga ya.
Marcel pulang dari rumah Agi. Sebelumnya ia sempat mencubit pipi Agi. Sehabis
mengantarkan Marcel ke luar rumahnya, Agi belajar Matematika dan Kimia sampai jam dua
belas malam dengan serius. Sebenarnya ia pengen belajar lebih lama lagi, tapi udah ngantuk dan
begitu mulas untuk melihat angka-angka serta berbagai rumus kimia. Akhirnya Agi tertidur, amat
pulas.

Berkat kesabaran Marcel dan semangat Agi yang luar biasa untuk belajar, Agi pun
berhasil menyelesaikan UTS terakhirnya dengan baik dan lancar. Ia senang akhirnya bisa
bertemu lagi dengan Ridho. Rencananya ia akan menemui Ridho besok.

SEMBILAN

Sabtu jam sebelas siang, Agi bersiap-siap ke rumah Ridho. Agi mengenakan celana
pendek tiga per empat dan sweater hijau yang dibelikan Mama. Dikeluarkan mobilnya dan
melaju ke rumah Ridho.
Agi menunggu di depan rumah Ridho, sampai ada yang membukakan pintu. Pintu
akhirnya dibukakan Ibu. Ibu senang karena melihat Agi kembali.
Dho, liat siapa yang dateng ke sini. sahut Ibu.
Ridho yang sedang asyik menonton TV, membalikkan badannya. Ia sudah tidak memakai
kursi roda. Agi? katanya setengah tak percaya. Ridho terbatuk-batuk, salah sati efek dari
penyakitnya.
Hai... Dho apa kabar? Agi menghampiri Ridho di ruang keluarga.
Baik banget. Kamu sendiri gimana? UTS-nya bisa nggak?
Gue mah baik-baik aja, alhamdulillah. Ya Lumayanlah sedikit bikin gila.
Ibu bikin kue lho! Mau nyobain nggak, Nak Agi? Ibu membawa sepiring kue bolu
kukus yang masih hangat.
Mau banget. Agi coba ya! Agi mengambil sepotong kue bolu kukus dan mencobanya.
Enak... Al dente
Ridho mengajak Agi mengobrol sampai ia mengutarakan isi hatinya ingin pergi jalanjalan. Dengan senang hati, Agi menuruti. Mobil Agi berhenti di parkiran sebuah Mall. Agi
mengajak Ridho ke tempat food court. Agi memesan mie ayam bakso pangsit dan jus melon,
sedangkan Ridho memesan nasi goreng spesial dan Aqua.
Sehabis makan, dan jalan-jalan ke Mall tidak lengkap rasanya tanpa photo box. Agi
membujuk-bujuk Ridho untuk berfoto ria bersama dirinya terlebih dahulu, namun Ridho sedikit
banyak menolak karena dia bukan termasuk tipe cowok yang narsis. Tiba-tiba hati Ridho pun

luluh dengan bujukan Agi. Akhirnya ia menuruti Agi menuju ke studio foto. Mereka bergaya
macam-macam dengan empat gaya berbeda. Dari mulai pose jaim, sok imut, cubit-cubitan muka,
sampai moyong-moyongan mulut. Nggak keliatan sama sekali kalo Ridho orang yang mati gaya!
Selesai photo box, mereka tidak langsung keluar Mall tetapi pergi ke Distro dulu. Agi
membelikan Ridho sebuah topi berwarna biru, warna kesukaan Ridho. Ridho langsung
memakainya sebagai tanda ucapan terima kasih.
Mau ke mana lagi kita, Dho?
Ke makam Ayah aku dong. Boleh nggak?
Lah, bukannya Ayah lo masih ada?
Itu Ayah tiriku. Ayah kandungku udah meninggal waktu umurku tujuh taun.
Lo sama kayak gue, Dho. Gue juga kehilangan kakak gue waktu umur gue tujuh tahun.
Heran ya gue, kita kok bisa sama terus kayak gini. Kebetulan kali ya?
Di dunia ini nggak ada yang namanya kebetulan, Gi. Pasti ini udah jadi takdir Allah.
Jadi, kamu mau nganterin aku ke makam Ayahku nggak?
Agi mengangguk. Terus, makam Ayah lo di mana?
Agi mengantarkan Ridho ke makam Ayahnya di daerah Bogor. Selama perjalanan ke
Bogor, Agi juga seperti bernostalgia dengan masa kecilnya yang dia habiskan juga di Bogor. Tapi
dia tidak berani untuk menceritakannya ke Ridho, karena ia ingin Ridho menikmati perjalanan
ini dan juga menikmati kenangan bersama kedua orang tuanya dulu.
Selama perjalanan ke sana Ridho menceritakan perjalanan hidup keluarganya yang belum
pernah Agi dengar. Sebenarnya sebelum ayahnya meninggal, keluarganya adalah keluarga yang
cukup mapan yang hidup di daerah Bogor kemudian untuk membentangkan sayap yang lebih
luas lagi, mereka pindah ke Jakarta, namun ketika sampai di Jakarta usaha ayahnya bangkrut
karena ia ditipu oleh sebuah perusahaan fiktif dan dirugikan sampai ratusan juta rupiah sehingga
harta mereka tidak ada yang tersisa sama sekali. Akhirnya mereka hidup susah dan tidak lama
kemudian ayahnya meninggal karena depresi. Lima tahun setelah ayahnya meninggal, ibunya

menikah lagi. Hal ini membuat Ridho menjadi sosok yang mandiri, penyayang, dan teliti dalam
segala hal. Dalam hati Agi bersyukur, karena hidupnya masih lebih baik dari kehidupan Ridho.
Agi mengantarkan Ridho ke makam Ayahnya. Di depan makam, Ridho menaburkan
bunga ke makam. Ia berdoa seraya menangis, Agi ikut terbawa suasana, ia juga ikut menangis. Ia
tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Sang Ayah tercinta.
Jangan nangis dong, Dho. Nanti arwah Ayah lo nggak tenang di sana! Agi menepuk
bahu Ridho.
Iya aku nggak nangis. Kamu juga jangan nangis. Ridho menghapus air matanya.
Kamu mau nganterin aku lagi nggak, Gi? Aku pengen bernostalgia di Bogor!
Dengan senang hati. Agi tersenyum. Lo mau gue anterin ke mana lagi?
Ke rumahku yang di sini yuk, terus ke rumah nenekku. Mata Ridho menerawang jauh.
Aku kangen sama Nenek.
Tibalah Agi mengantarkan Ridho ke rumahnya yang lama, yang saat ini sangat-sangat
tidak terawat dan tidak ada yang menghuni. Mereka berdua turun dari mobil. Ridho
memerhatikan dengan seksama rumahnya yang dulu, yang penuh dengan kenangan masa lalu
dengan Ayahnya. Agi menggenggam tangan Ridho dengan kuat, sebagai tanda bahwa dia juga
dapat merasakan kesedihan yang Ridho rasakan kini. Ridho menceritakan bahwa di depan teras
rumahnya dulu, banyak tanaman hias yang ditanam oleh Ibu. Lalu ada pula bunga matahari yang
ditanam di halaman belakang, dan berbagai cerita yang terjadi di rumah tersebut.
Setelah selesai, mereka pergi ke rumah neneknya. Betapa terkejutnya Agi melihat rumah
neneknya Ridho, karena rumah itu begitu asri, banyak pepohonan dan banyak ukiran-ukiran
kuno dari kayu. Rumah yang begitu kental dengan suasana etnik.
Tok... Tok... Tok...
Beberapa detik kemudian, seorang ibu-ibu datang membukakan pintu untuk mereka.
Selamat siang... Ada yang bisa yang saya bantu? Ridho? Apa kabar? Masuk dulu yuk!
Ibu itu mempersilakan mereka masuk.

Iya Tante. Tante kenalin ini Agi, Agi kenalin ini Tante Muti. Agi dan Tante Muti
berjabatan tangan. Ridho udah gede ya sekarang, udah punya pacar.
Yee, nggak Tante. Ini temen Ridho kok! Tante, Nenek mana?
Ada kok di kamar! Tunggu di sini dulu ya, biar Tante panggilin Ibu! Tante menyuruh
mereka duduk di kursi tamu, Agi dan Ridho langsung duduk.
Di ruang tamu, Agi melihat sebuah pigura yang cukup besar. Di dalamnya ada sepasang
suami istri beserta keenam anaknya. Tiga cewek dan tiga cowok. Ridho menyuruh Agi untuk
mencari yang mana ayah kandung Ridho. Agi melihat muka Ridho sekilas, melihat kembali ke
pigura. Kok mukanya nggak ada yang mirip sama lo, Dho?
Enak aja... Ada kok yang mirip sama aku. Makanya perhatiin baik-baik.
Agi melihat kembali ke pigura dan ia menemukan jawabannya. Itu ya, Dho. Agi
menunjuk seorang laki-laki yang paling tinggi di antara yang lain. Ini kan bokap lo?
Ridho menggangguk, tersenyum. Mukanya mirip sama aku kan? Belum sempat Agi
menjawab pertanyaan Ridho, Nenek Ridho sudah datang. Mereka pun tidak membahas
pertanyaan itu lagi.
Halo, cucuku. Lama ya nunggunya? Maaf tadi nenek abis ganti baju dulu! Nenek
Ridho datang dari ruang tengah, ia mencium pipi kanan dan pipi kiri Ridho.
Tidak seperti bayangan Agi, Nenek Ridho itu tampak sangat cantik dan sehat. Keriputkeriput di mukanya hanya sedikit, bisa dihitung dengan jarilah. Padahal umurnya sudah
menginjak 57 tahun. Ridho mengenalkan Agi ke Nenek, dan mengenalkan Nenek ke Agi.
Agi mulai masuk ke dalam keluarga Ridho dari almarhum Ayahnya. Nenek dan Tante
Muti menganggap Agi bagian dari keluarga mereka. Terutama bagi Tante Muti yang telah
kehilangan suami dan kedua anak perempuannya karena kecelakaan pesawat beberapa tahun
silam.
Keluarganya Ridho emang pada ramah-ramah. Seneng banget gue bisa kenal sama
mereka semua. Agi senyam-senyum sendiri. Untung nggak ada yang liat.

Mereka berdua menghabiskan malam minggu di rumah Nenek Ridho. Nenek


mengadakan pesta bakar jagung dadakan sekalian makan malam. Selesai main bakar-bakaran
(bakar jagung maksudnya), Nenek memberikan sebuah kalung perak bermatakan tulisan dengan
kata Hara. Kalung itu pemberian dari almarhum suaminya saat mereka tengah berbulan madu.
Agi bingung, gimana bisa dia yang baru bertemu (baca: sekali-kalinya) dengan Nenek
Ridho bisa diberikan kalung yang cukup bernilai dari sisi sejarahnya. Awalnya Agi menolak,
namun Nenek memaksa. Nenek merasa kalung itu amat pantas dipakai oleh Agi, karena akan
menjadi pembuka jalan bagi kenangan yang telah tertutup lama, Agi sebenarnya agak bingung
dengan ucapan Nenek Ridho, tapi ia nggak bisa berkutik lagi. Akhirnya Agi menerima saja
kalung itu. Nenek berpesan supaya kalung itu jangan hilang dan harus selalu dipakai. Sebelum
tidur, Agi menulis diary-nya. Menceritakan pengalamannya ke rumah Neneknya Ridho.

Dear Diary,
Hari ini gue seneng banget bisa ketemu keluarganya Ridho. Ketemu sama
Nenek dan Tantenya. Padahal gue belum begitu kenal sama mereka, tapi mereka
nyambut gue dengan ramah banget. Oiya terus gue dapet kalung perak gitu dari
Neneknya. Padahal kata Nenek, kalung itu banyak sejarahnya yang bikin dia inget
sama almarhum suaminya. Gue juga bingung kenapa harus gue yang dikasih kalung
itu, tapi Neneknya maksa akhirnya gue terima aja deh. Kelungnya bagus banget lho.
Gue jadi seneng ikut jadi bagian keluarganya Ridho. Gue juga baru tau
ternyata Ridho itu anak yatim, bokapnya udah meninggal sejak umurnya tujuh taun,
sama persis kayak gue yang kehilangan Kak Zu.
Doain gue ya, siapa tau dengan gue ketemu sama keluarganya makin
memudahkan jalan gue buat jadi Nyonya Ridho Satria Firman. Hahaha... Ngarep!!!
Kan kalo Ridho jodoh gue nggak akan ke manalah. Amien....
I Love Ridho! <3

SEPULUH

Sabtu pagi, awal Desember yang cerah, Agi sedang asik menyiram tanaman yang berada
di beranda kamarnya. Tiba-tiba Mbok Nar membuka pintu kamarnya dan mengatakan ada
seseorang yang menunggunya di bawah. Seseorang yang asing yang belum pernah diliat Mbok
Nar. Agi mengganti pakaiannya terlebih dahulu supaya terlihat lebih sopan. Selesai dia berganti
pakaian, dia langsung turun ke bawah dan terkejut dengan penampakan seorang laki-laki yang
juga belum pernah diliatnya.
Kamu siapa ya? tanya Agi dengan sedikit bingung. Kayaknya saya nggak pernah
ngeliat kamu sebelumnya. Kok kamu bisa ada di sini? Ada perlu apa?
Laki-laki itu berdiri seraya tersenyum dan mengulurkan tangannya. Nama saya Zavier
Ginandjar Handoyo, atau kamu cukup panggil saya Zavi. Maksud kedatangan saya ke sini adalah
saya ingin memperkenalkan diri sebagai calon tunangan kamu, Gi
APA???? Agi setengah menjerit, sangat tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Tolong ya kamu jangan gila. Ini rumah saya dan kamu bisa saya laporkan ke kantor polisi. Jari
telunjuk Agi menunjuk ke dada Zavi. Dia benar-benar ketakutan dengan orang asing di
rumahnya, apalagi Mama dan Papanya sedang tidak ada di rumah.
Zavi langsung menurunkan tangannya dan menggenggamnya. Tolong jangan bertindak
gegabah, Nona. Biar saya telepon Mamamu ya. Zavi langsung mengambil HP dari saku
celananya dan menekan sebuah nomor, kemudian dia menempelkan HP-nya di telinganya dan
mengobrol dengan orang yang ada di seberang telepon. Setelah berbincang sebentar, dia
langsung menyerahkannya kepada Agi. Itu suara Mamamu, cepat tanyakan padanya. bisik
Zavi.
Agi melihat layar HP itu sebentar, memang itu nomor HP Mamanya, lalu dia
menempelkan HP Zavi di telinganya dengan takut-takut. Dari ujung telepon Mama menerangkan
dengan seksama siapa Zavi sebenarnya. Jadi Zavi adalah anak dari seorang teman kuliah Mama,
dan dia merupakan mahasiswa tingkat akhir jurusan Kedokteran. Alasan Mama menjodohkan

Agi adalah janjinya dengan teman kuliah Mama itu untuk menjodohkan anak mereka ketika
sudah dewasa, dan janji itu akhirnya harus dipenuhi oleh mereka berdua.
Tapi Ma, kok Mama nggak pernah bilang sebelumnya sih? Semua jadi mendadak gini.
Kenapa? tanya Agi yang masih tidak habis pikir dengan sikap Mamanya yang semaunya sendiri
itu.
Maaf, Sayang. Mama nggak sempat ngasih tau sama kamu. Nah mumpung Zavinya
udah ada di depan kamu sekarang, silakan kalian berkenalan, siapa tau kalian memang cocok.
Mama langsung menutup teleponnya setelah memberikan klarifikasi yang singkat itu. Agi hanya
menghela napas panjang berusaha memaklumi sikap Mamanya. Kemudian dia melihat sosok
Zavi yang saat ini sedang nyengir kuda kepadanya, memperlihatkan giginya yang besar-besar
namun putih dan terawat.
Gimana kamu udah percaya kan kalo saya nggak bohong sama kamu? tanya Zavi.
Agi hanya melengos sambil duduk di sofa, dia melihat sosok laki-laki yang saat ini
sedang duduk di sampingnya. Sosok laki-laki dewasa dan matang dan sudah sepertinya sudah
siap mengarungi bahtera rumah tangga. Matanya tertutup oleh bingkai kacamata, rahangnya
tegas, badannya tinggi tegap, alis matanya tebal, dan harus Agi akui kalau senyumnya itu
sungguh menawan. Tapi tetap saja Zavi masih menjadi orang asing dalam dirinya.
Nah, apa sekarang saya mengganggu malam minggumu, Nona? Gimana kalo kita makan
malam sekarang?
Agi menggeleng-geleng, dia masih shock dengan apa yang dia dengar tentang Zavi yang
menjadi tunangannya. Mending lo pergi dari sini daripada gue lempat lo INI. BURUAN
CEPET!!! bentak Agi sambil memegang benda yang berhasil dia raih. Sebuah bantal.
Iya ampun, jadi cewek galak amat sih. Tapi semakin kamu galak, aura kamu semakin
terpancar kok. Saya jadi makin suka sama kamu Dagh Agi Zavi langsung pergi dari
rumahnya. Pertemuannya dengan calon tunangannya ternyata tidak sesuai dengan perkiraan,
namun dia cukup senang karena sudah melihat Agi secara langsung, setidaknya dia sudah
menemukan sebuah chemistry dari cewek itu.

Agi kemudian mencari telepon rumahnya, dan menelpon Marcel. Marcel lo harus tau ya,
gue DIJODOHIN SAMA NYOKAP GUE dengan SEORANG MAHASISWA KEDOKTERAN.
Shock nggak sih lo?
Dari seberang telepon Marcel hanya bisa tertawa cekikan membayangkan ekspresi wajah
sahabatnya yang kaget dengan perjodohan mendadak yang dilakukan oleh Mamanya itu. Apalagi
sekarang udah nggak jaman juga ya jodoh-menjodohkan seperti zaman Siti Nurbaya. Udah
udah sabar aja, toh gue rasa si calon suami lo itu orang baik-baik kok. Apalagi profesinya nanti
dokter, ah hidup lo pasti terjamin, Gi. Hahaha
MARCEL TEGA IH. Gue kan maunya sama Ridho bukan sama orang itu Agi
pura-pura ngambek. Dia keceplosan ngomong seperti itu. Eh, kayaknya gue harus temuin dia
sama Ridho ya? Biar dia tau kalo hati gue udah milik orang lain. Cie
Haha, terserah elo. Tapi kalo kata gue sih coba aja jalanin sama dia dulu, Gi. Anggep aja
dia itu bukan calon tunangan lo, tapi cuma sebatas temen. Nggak masalah kan?
Agi berpikir benar juga apa yang dikatakan Marcel. Dia belum mencoba tapi sudah
langsung menolaknya. Padahal mungkin saja Zavi orang yang jauh lebih mengerti dirinya
dibandingkan Ridho atau sebaliknya. Iya, Cel. Bener juga kata lo

(*^o^*)

Keesokan harinya, Zavi kembali datang ke rumah dengan membawa sebuket mawar
merah. Kali ini Agi menyambutnya dengan ramah dan menyenangkan, tidak sejutek kemaren.
Bahkan ketika Zavi mengajaknya makan malam dia langsung mengiyakannya tanpa berpikir
panjang.
Ketika sedang asik menyantap makan malam mereka, HP Agi bergetar hebat, tanda
telepon masuk. Agi pun meminta ijin kepada Zavi untuk mengangkat teleponnya sebentar.
Sembari menunggu Zavi melihat ekspresi wajah Agi, dan dia semakin menyukai sosok cewek
yang akan menjadi calon istrinya nanti.

Agi langsung menghampiri Zavi dengan tergesa-gesa. Vi, bisa nemenin gue ke RSBP
sekarang nggak? Ada hal yang penting nih! Raut wajah Agi sangat panik.
Zavi kemudian berdiri sebagai jawaban dari pertanyaan Agi. Mereka pun pergi
meninggalkan restoran tanpa sempat menghabiskan makanan yang tersaji di meja. Tadi Agi dapat
telepon dari Ibu bahwa kondisi Ridho kembali menurun dan sekarang dirawat di RSBP.
Sepanjang perjalanan ke Rumah Sakit, Agi menceritakan kepada Zavi tentang sosok Ridho
sebenarnya. Bagaimana sayangnya wanita itu kepada lelakinya, membuat Zavi sedikit cemburu
jadinya.
Sesampainya di Rumah Sakit, Agi langsung memeluk Ibu yang sedari tadi menangis
menunggu kepastian dari dokter. Saat ini Ridho sudah mendapat penanganan dari dokter ahli,
namun kondisinya masih juga tidak stabil. Agi hanya bisa berdoa yang terbaik untuk Ridho
nantinya.

(*^o^*)

Sehari lagi tahun baru, Ridho masih dirawat di RSBP. Namun sekarang ia telah
dipindahkan ke ruang perawatan. Sebenarnya banyak sekali teman-teman Agi yang mengajak
hang-out bareng, menghabiskan pergantian tahun bersama. Agi menolak semua ajakan mereka,
ia memilih untuk merawat Ridho karena ia merasa tidak bisa bersenang-senang di atas penyakit
yang tengah menimpa Ridho.
Ridho sadar dari tidurnya... Agi sedang tertidur di sisi tempat tidur Ridho. Ridho
menggerak-gerakkan jari tangannya, membuat Agi terbangun dari tidurnya.
Ridho, udah bangun? tanya Agi. Ridho hanya mengangguk lemah. Ridho mau apa?
Mau minum?
Ridho menggeleng-geleng. Aku cuman mau kamu di sini aja. Ridho menggenggam
tangan Agi.

Oke... Oke... Agi bakal nunggu Ridho di sini.


Gi... Kamu liat cahaya hijau itu nggak? tunjuk Ridho tepat di depan matanya. Itu jalan
aku Gi, aku udah disuruh pulang. Nyusul Ayahku ke Sana...
Agi menurunkan tangan Ridho. Agi nggak liat apa-apa. Ridho nggak akan pulang ke
mana-mana. Ridho masih harus di sini nemenin Agi.
Tapi Gi, cahaya itu udah nunggu aku. Di sana juga udah nunggu Ayah, Kakek, Om
Windra, Metha, Cinta... Aku harus ke sana! Nama-nama yang disebutkan Ridho adalah namanama keluarganya yang sudah meninggal. Ridho menyibakkan selimutnya ingin bersiap-siap
pergi.
Agi segera menahan Ridho dan memeluknya sejenak. Ridho nggak boleh pergi... nggak
boleh... Akhirnya Ridho berhasil ditenangkan dan tidur kembali ke tempat tidur.
Agi menjadi sedih karena takut Ridho akan pergi untuk selama-lamanya...

SEBELAS

Ridho dan Agi berada di halaman belakang Nenek Ridho di Bogor. Ridho mengenakan
kemeja putih dan jas hitam sedangkan Agi mengenakan gaun berwarna putih bertali spageti yang
panjangnya sedikit di atas lutut. Mereka keliatan tampan dan anggun malam ini.
Satu sama lain saling bertatapan muka. Ridho memeluk Agi dengan erat, sebagai luapan
rasa kangen mereka.
DEG!!! Ridho manis banget!!! Kayak bukan Ridho aja. Agi terkagum-kagum.
Mau dansa? Ridho membungkukkan badannya empat puluh lima derajat.
Tapi Agi nggak bisa dansa! Musiknya juga nggak ada!
Tenang!!! Ridho menjetikkan jari. Tiba-tiba terdengar musik akustik lagu Without Younya Mariah Carey. Jadi kamu mau nggak dansa sama aku?
Agi mengangguk. Ia menggenggam tangan Ridho, mereka saling bertatapan mata.
Perasaan yang paling dalam pun terpancar dari setiap cahaya yang terpantul dari indahnya mata
cokelat Agi. Ridho melingkarkan kedua tangannya di pinggang Agi dan Agi pun meletakkan
tangannya di pundak Ridho. Mereka mulai berdansa.
Youre so beautiful to night. puji Ridho.
Thanks. Agi tersipu. Ia belum pernah mendengar Ridho memujinya seperti ini. Dho,
tangannya kok dingin banget?
Ridho angkat bahu dan tersenyum. Nggak kenapa-napa.

I cant live, if living is without you


I cant live, i cant give anymore...

Mereka terus berdansa, walaupun lagunya sudah berhenti. Mengalunlah suara denting
jam kuno yang berbunyi dua belas kali, entah dari mana. Agi jadi ketakutan sendiri, karena hanya
ia yang mendengar suara dentuman jam itu. Bukannya menghibur Agi yang ketakutan, Ridho
malah memeluk Agi dengan begitu erat dan hangat. Seakan-akan Ridho tidak mau kehilangan
Agi, Agi membalas pelukan itu dengan bingung.
Dho, kenapa?
Ridho melepas pelukannya. Nggak apa-apa, aku cuma pengin meluk kamu. Aku sayang
banget sama Sellaginella June Soeandriya Oh iya, kamu mau ikut aku lagi nggak, Gi? Kita liat
sunrise
Tapi kira-kira sekarang aja baru lewat tengah malem, liat sunrise dari mana?
Makanya ikut aku aja!!! Ridho menggandeng Agi.
Suasana berubah menjadi amat sangat terang, Agi dapat merasakan matanya kesilauan.
Dho, sebenernya kita mau ke mana?! tanya Agi sambil berseru.
Keajaiban malam telah membawa mereka menembus ruang dan waktu. Kenangan yang
indah itu menuntun mereka ke tempat yang pertama kalinya mereka datangi. Mereka sekarang
berada di lantai sepuluh apartemen yang belum jadi. Tempat mereka melihat sunset beberapa
bulan silam. Melihat keindahan alam yang terjaga dari semua yang ingin memilikinya. Matahari
yang mengawali hidup setiap makhluk yang bergantung padanya.
Kok kita bisa ada di sini, Dho? tanyanya heran. Suasana di apartemen sudah keliatan
terang tapi belum ada sinar matahari.
Ridho hanya tersenyum. Tidak lama berselang, matahari muncul dari balik gedung.
Menyisakan kekaguman yang tiada tara bagi Agi.
Ridho mengajak Agi untuk berdiri, dan menyuruhnya untuk menutup mata, ada sesuatu
yang ingin ia berikan. Agi menutup matanya. Ridho membuka kedua telapak tangan Agi,
mengulurkannya ke depan, dan menaruh sesuatu.

Aneh, kok rasanya ada bulu-bulunya gini? Anget-anget gimana gitu. gumam Agi dalam
hati, meraba-raba isi genggaman tangannya.
Sekarang buka matamu, Gi!
Agi membuka matanya. Dilihatnya genggaman tangannya itu. Seekor merpati putih.
Ternyata Ridho juga menggenggamnya seekor.
Cantik banget!!! ujarnya takjub, penuh kekaguman. Makasih ya, Dho.
Lagi-lagi Ridho tersenyum. Kamu tau nggak cerita tentang merpati?
Agi menggeleng. Agi sih pernah denger, cuma lupa!!! Emang apa?
Merpati itu bakal setia sama pasangannya, sekalipun pasangannya udah mati dia nggak
bakal nyari pengganti. Makanya merpati itu jadi simbol kesetiaan. Tapi aku nggak mau kamu
kayak gitu, kalo misalkan aku mati, dan harus ninggalin kamu, walaupun aku nggak mau,
kamu boleh kok cari pengganti lain.
Ridho jangan ngomong gitu dong! Jangan bikin Agi sedih!
Ridho mengalihkan pembicaraan. Ayo itung bareng-bareng sampe tiga, trus kita lepasin
merpatinya. Gimana? Biar mereka bisa terbang bebas ke angkasa!
SETUJU
Satu Dua Tiga Mereka serempak melepas kedua merpati dalam genggaman.
Bukannya pergi, merpati itu malah beterbangan mengelilingi mereka seakan merpati itu
tahu bahwa mereka akan berpisah. Namun Agi tidak menyadarinya, ia malah berputar-putar
mengikuti arah terbang merpati itu.
Agi tertawa lepas. Dho, asyik banget
Ridho tersenyum sendu. Maaf aku cuma bisa ngasih kayak gini ke kamu, nggak lebih.

Setelah berkeliling sebanyak tiga kali, kedua merpati itu akhirnya terbang bebas ke
angkasa, terbang bebas ke atas, menunjukan jalan pulang untuk Ridho. Agi kelelahan, mereka
pun duduk di pinggir tembok.
Ah capek juga ya keliling-keliling sama merpati! ujar Agi.
Kamunya sih kurang kerjaan banget, ikut muter-muter. Ridho mengajaknya untuk
berdiri lagi. Tutup matamu lagi, Gi.
Seru kali Dho, serasa bisa terbang! Agi mengangkat tangannya ke atas. Buat apa lagi
sekarang?
Tutup aja, aku masih punya kejutan lagi buat kamu!
Agi menutup mata untuk kedua kalinya. Perlahan-lahan ia dapat merasakan helaan napas
Ridho yang makin lama makin mendekatinya.
Deg Deg Deg Jantung Agi berdegup kencang. Aduh, si Ridho mau ngapain sih?!
PLEK!!!
Ridho memasangkan sebuah liontin merpati perak di kedua sisi kalung Agi. Mereka
sedang mengepakkan sayap, seakan ingin terbang.
Sekarang buka!!!
Ridho masang apa? tanya Agi. Karena ia mendengar suara sesuatu terpasang di sekitar
badannya.
Liat kedua sisi kalung kamu!!!
Wow Indah banget! Makasih ya, Dho! Agi memegang kalungnya itu.
Kamu tau nggak artinya dua merpati itu di kedua sisi nama Hara?
Agi menggeleng-geleng. Ia jadi bingung sendiri, hari ini banyak sekali mengelenggelengkan kepala kayak lagi dugem. Apa?

Artinya merpati itu bakal terus jagain kita. Merpati itu sebagai lambang kalo
persahabatan kita nggak bakal putus walau aku Ridho menghentikan kata-katanya. Ia merasa
sudah terlalu berlebihan memberikan keterangan.
Walau apa?
No Bukan apa-apa, ntar kamu juga tau. Untunglah Agi tidak mempersalahkannya.
Sekarang aku bisa tenang ninggalin kamu, Gi
Dagh Agi Kayaknya cukup sampe di sini perjumpaan kita!!! Ridho perlahan-lahan
menghilang menuju ke arah yang dibimbing kedua merpati tadi..
Ridho Agi menjerit. Tertunduk sedih Hujan pun turun rintik-rintik.
Tiba-tiba saja Agi sudah berada di rumah Ridho. Di rumah itu ramai sekali orang-orang
yang berpakaian hitam. Ia hanya melihat Ibu, Ayah, dan Arya, tanpa Ridho.
Siapa yang meninggal ya?! Jangan-jangan itu...

(*^o^*)

RIDHO.... Agi berteriak sekencang-kencangnya dan terbangun dari tidurnya. Ternyata


itu semua hanya sebuah mimpi.
Untung cuma mimpi! Agi menggerutu sendiri.
Agi mencoba bangun dari tidurnya. Kok rada berat? Ia langsung melihat kalungnya.
Ternyata sama persis dengan yang ada di mimpinya. Di kedua sisi nama Hara tertambat sepasang
liontin merpati. Agi kaget dibuatnya. Apa artinya ini? Padahal kan cuma mimpi
Feelingnya berubah tidak enak. Buru-buru ia pergi ke kamar mandi, mengganti
pakaiannya, dan segera pergi ke RSBP. Agi berlari cepat di lorong-lorong RSBP. Mudahmudahan Ridho nggak kenapa-napa.

Dibukanya pintu kamar Ridho. Ridho masih berbaring di situ.


Ridho Agi cepat-cepat menghampirinya. Wajah Ridho masih pucat.
Kenapa kamu, Gi?
Agi mimpi aneh semalem. Agi menceritakan mimpinya itu. Keadaan Ridho gimana?
Udah baikkan? Nggak kenapa-napa kan?!
Aku baik-baik aja. Nggak usah dipikirin sih, itu juga cuma bunga tidurmu aja. Tapi
kalungnya jadi bagus ya. Ridho menggenggam telapak tangan Agi, tangannya basah. Tangan
kamu kok basah?
Kebiasaan, kalo lagi panik pasti tangannya basah. Agi bener-bener takut Ridho pergi
Ridho tersenyum. Aku nggak akan ke mana-mana. Aku cuma akan tidur selamanya...
Agi Ridho berusaha untuk duduk di tempat tidurnya.
Kenapa, Dho?
Ridho memeluk Agi, kemudian mencium keningnya. Kamu sekolah yang rajin ya, kejar
terus cita-citamu setinggi mungkin. Jangan sampe ngecewain Mama, Papa, Kak Zu, serta orangorang yang sayang sama kamu.
Oke, Agi janji dan akan terus berusaha. Emang kenapa gitu Dho?
Krek... Terdengar suara pintu terbuka.
Gi, kayaknya ada yang mau masuk. Tolong kamu liat dulu ya.
Agi mengangguk dan berjalan ke arah pintu.
Eh, Agi. Permisi, saya mau beresin semua barang-barangnya Ridho dulu. Ternyata
seorang suster yang bernama Nilam.
Pagi, Sus. Suster mau beresin barangnya Ridho? Tapi kan Ridho masih dirawat, Sus.
Agi kaget seakan tak percaya apa yang didengarnya.

Suster Nilam mengangkat sebelah alis matanya. Ridho? Ridho udah nggak ada di sini,
Gi.
Maksud Suster apa? Agi setengah tidak percaya. Dia udah pulang ke rumah? Tapi aku
masih ngobrol kok sama Ridho.
Nggak, Gi. Ridho udah ninggalin kita semua. Ridho udah meninggal kemaren malem.
Nggak Nggak mungkin. Dia nggak mungkin meninggal. Meninggal kenapa? Agi
menggeleng. Ya kan, Dho Agi balik badan. Di depannya semua sudah rapi. Yang ada hanya
beberapa sampah plastik kecil bekas keranjang buah. Ridho juga sudah tidak berbaring lagi di
sana. Agi diam tertegun di depan pintu. Ia tidak bisa menangis, bahkan ketika ia ingin sekali
untuk menangis.
Maafkan kami, Gi, nggak bisa menyelamatkan nyawa Ridho. Dia meninggal karena
memang penyakitnya sudah sangat parah. Sebelum Ridho pergi, dia sempat menitipkan sebuah
surat untukmu. Suster Nilam memberikan sebuah surat beramplop putih kepada Agi.
Kemudian dia merangkul Agi sebentar, dan beranjak pergi.
Nggak mungkin Agi masih tidak percaya dengan apa yang dilihat dan didengarnya.
Bagaimana mungkin Ridho begitu cepat pergi meninggalkannya?! Apalagi ia tidak melihat
dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Ridho pergi dari dunia ini.
Dengan langkah lunglai ia berjalan ke tempat yang tadi. Membayangkan lagi sebuah
memori yang baru saja mereka lakukan, memang aneh tapi itu semua seakan-akan nyata.
Hempasan angin menerpa wajahnya. Agi duduk di tempat tidur, dan membaca surat itu.

Dear Agi,
Saat aku lagi nulis surat ini, aku masih terbaring nggak berdaya di
tempat tidur. Ada beberapa hal yang pengen aku ceritain ke kamu, tapi kamu
jangan nangis ya!!! Karena aku paling nggak suka ngeliat kamu nangis.

Beberapa hari ini aku selalu ngebayangin kematianku sendiri. Aku


selalu berada dalam bayang-bayang umurku. Aku tau, aku belum sanggup
buat ninggalin keluargaku, kamu, anak-anak, dan semua teman-temanku.
Namun ini hidup yang harus kita jalanin! Setiap orang yang hidup, pasti
suatu saat mereka bakal mati. Tapi nggak ada yang tau kapan kita mati,
tentu aja.
Aku harap kamu nggak ngelupain semua hal yang udah kita jalanin
selama ini. Aku minta jaga anak-anak ya demi aku dan masa depan mereka.
Gantiin aku jadi guru di Rumah Corat-Coret. Kalo bisa cari orang yang bisa
bantu kamu didik mereka. Aku juga minta setiap tanggal kematianku, kamu
tolong pake jaket cokelatku yang waktu itu aku pake ke Monas bareng kamu.
Mungkin cuma itu satu-satunya barang berhargaku yang bisa kukasih.
Hehehe
Agi, maafin aku atas semua kesedihan yang kamu alami ketika kamu
sama aku, maaafin atas sifatku yang cenderung maksa kamu. Maafin atas
semua salahku ya, biar aku tenang di Sana.
Maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, dan maaf. Mungkin seribu
maaf pun nggak akan cukup, buat ngobatin sakit hatinya kamu ke aku.
Tolong simpen dan jaga surat ini baik-baik. Makasih atas semua
kenangan yang kamu beri. Aku seneng karena ketika hidupku ini aku masih
dikasih kesempatan buat ketemu sama kamu. Yang jelas aku bersyukur, Aku
bisa menyayangimu. Nggak ada yang bisa gantiin kamu. Semuanya akan
tersimpan selamanya di hatiku, dan aku harap di hatimu juga.
Satu lagi, tanggal tiga nanti, Ibu ulang tahun. Kamu jangan lupa ngasih
selamat ya!!! Sekalian wakilin ucapan selamatku buat dia.
I love you til my Death...
Ridho

Simpan sedihmu... Pendam yang dalam. Jalani hidup seperti kemarin...


Sebelum hatimu menemukan aku, Sebelum mentari dikalahkan malam...

Agi melipat kembali kertas itu dan langsung pergi ke rumah Ridho. Di rumah Ridho,
banyak orang berkumpul mengucapkan berbela sungkawa. Agi menyempil-nyempil dari
kerumunan itu, ingin bertemu anggota keluarga Ridho. Akhirnya ia bertemu dengan Ibu. Muka
Ibu terlihat pucat, matanya bengkak mungkin karena kebanyakan menangis. Dipeluknya Ibu,
erat. Ibu kembali menangis, menceritakan kesedihan yang teramat sangat.
Gi, Ibu belum siap kehilangan Ridho. Ibu masih belum bisa bikin Ridho bahagia.
Tangis Ibu pecah. Agi merangkul Ibu terus-menerus. Ia juga belum siap untuk kehilangan Ridho
secepat ini. Di depan Ibu, Agi dapat melihat jenazah Ridho yang telah terbungkus kain kafan.
Wajah Ridho tampak tenang dan tersenyum. Melihat Ridho yang telah terbujur kaku, Agi
menangis. Kenapa orang-orang yang gue sayangi, selalu cepet pergi?! Kak Zu, Ridho terus
siapa lagi?
Agi memberanikan diri untuk mendekatkan diri ke arah jenazah Ridho. Ia kemudian
mencium dahi serta pipi Ridho sebagai ucapan perpisahan untuk selamanya...
Gue janji nggak akan ngecewain lo, Dho. Gue juga minta maaf ya kalo gue punya salah
sama lo!
Siang harinya, jenazah Ridho dimakamkan di samping makam ayah kandungnya di
Bogor. Cuaca saat itu mendung berawan. Setelah semua pelayat pergi dari pemakaman hujan
turun dengan deras.
Ridho lo pasti bahagia di Sana. Titip salam buat Kak Zu ya! Agi tersenyum menikmati
hujan yang turun.
Sepulang dari pemakaman, Agi menulis sebuah puisi di secarik kertas. Hujan telah
berhenti.

Aku beranjak dari hidupku, dari masalah, dari belenggu.


Telah kau sakiti, telah kau khianati semua mimpi-mimpi indahku.
Aku menyerah untuk mencinta.
Ajari aku melupakanmu
Ku sadari di dalam mimpi,
Walau perih...
Cinta tak ada lagi.

DUA BELAS

Satu-satunya pemisah antara orang yang kita sayangi adalah KEMATIAN

Ya, kematian telah memisahkan rasa sayang Agi kepada Ridho, kematian pulalah yang
membawa Ridho dapat kembali bertemu dengan Ayahnya yang sudah lama pergi. Sejak Ridho
pergi, Agi menjadi sosok yang pemurung. Dia seperti benar-benar kehilangan semangat untuk
hidup. Zavi datang ke kamarnya, dan sedih melihat keadaan Agi saat ini. Rambutnya acakacakan, wajahnya pucat pasi, lingkar matanya menghitam.
Agi, boleh gue nemenin elo di sini? tanya Zavi. Agi hanya mengangguk saja. Zavi pun
memposisikan dirinya duduk di sebelah kanan Agi. Dengan hati-hati dia menggenggam jemari
Agi dengan lembut.
Gue turut berduka cita ya Gi, atas meninggalnya Ridho. Walaupun gue nggak pernah tau
siapa dia, gue ngerasa dia sangat-sangat berarti buat elo.
Yap, hes my best ever I had jawab Agi singkat.
Tapi lo nggak perlu terus-terusan terpuruk kayak gini kan, Gi. Masih banyak cita-cita
dan harapan yang harus elo penuhin. Bukankah Ridho nggak pengen liat lo sedih? Trus gimana
nasib anak-anak Rumah Corat-Coret kalo ngeliat elo kayak gini?!
Setelah mendengar kata-kata Rumah Corat-Coret Agi langsung bangkit kembali. Ya, dia
masih memiliki tanggung jawab untuk mengajar di sana. Setelah itu dia meminta Zavi untuk
mengantarkannya ke sana. Dia ingin bertemu dengan anak-anak itu, dia rindu dengan mereka.
Di Rumah Corat-Coret, dia dapat kembali tertawa, setidaknya dia dapat melupakan
sedikit kesedihannya akibat kehilangan Ridho. Dengan Zavi yang berada di sampingnya dan
orang-orang yang menyayanginya di sekelilingnya, dia dapat kembali menata hidupnya tanpa
Ridho dan membuka hatinya untuk menerima Zavi sebagai calon tunangannya.

(*^o^*)

Tepat tanggal tiga Januari, sehabis pulang sekolah Agi pergi ke rumah Ridho, karena hari
ini ulang tahun Ibu. Sekaligus hari ini adalah hari terakhir semester pertama, dan mulai besok
sekolah Agi akan libur selama dua minggu. Seperti yang tertulis dalam suratnya, Ridho
menginginkan Agi untuk mengucapkan selamat ulang tahun untuk Ibu. Sebelum ke rumah
Ridho, ia menyempatkan diri untuk mengambil pesanan blueberry cheesecake di Dhanissa
Bakery sekalian ganti baju bebas.
Tok... Tok... Tok...
Agi mengetuk pintu rumah Ridho dengan susah payah karena sambil membawa kue di
tangan kirinya.
Assalammualaikum...
Walaikumsalam... Ibu membukakan pintu sambil tergopoh-gopoh. Dia agak kaget
melihat kehadiran Agi, apalagi melihat kue di sebelah tangan kirinya. Eh, Nak Agi. Masuk dulu,
Gi. Kebetulan Ibu lagi masak pepes ikan sama soto Betawi.
Makasih, Bu. Aku juga bawa kejutan buat Ibu. Selamat ulang tahun ya, Bu... Agi
menghadiahkan kue ulang tahun itu ke Ibu dan mencium pipi Ibu.
Ibu langsung menangis haru. Makasih, Nak Agi... Ayo kita makan bersama dulu.
Kedatangan Agi disambut suka cita oleh keluarga Ridho, terutama Ibu. Ayah juga sengaja
di rumah saja hari ini untuk merayakan hari ulang tahun Ibu. Kue ulang tahun tidak lengkap
tanpa lilin ulang tahun. Tenang, Agi sudah menyiapkan semuanya.
Agi meletakkan lilin ulang tahun yang berbentuk tiga dan empat di atas kue ulang tahun,
kemudian menyalakan lilin itu dengan korek api. Ayo, nyanyi selamat ulang tahun terus
langsung tiup lilinnya ya!

Semua bernyanyi selamat ulang tahun dengan semangat. Selamat ulang tahun, selamat
ulang tahun... Bahagia sejahtera, selamat ulang tahun... Setelah menyanyi lagu selamat ulang
tahun dilanjutkan dengan acara tiup lilin dan potong kue.
Sebelum ditiup lilinnya, make a wish dulu ya, Bu... pinta Agi. Supaya keinginan Ibu
bisa dikabulin. Hehehe...
Sebelum meniup lilin, Ibu memejamkan mata seraya berdoa. Semoga di tahun ini bisa
lebih baik lagi dan semoga Ridho bisa tenang di Surga-Mu. Amien... Selesai mengucapkan
permohonannya, Ibu langsung meniup lilinnya.
Kue ulang tahun Ibu kemudian dipotong. Suapan kue pertama diberikan kepada Ayah,
lalu Arya, dan terakhir kepada Agi.
Makasih ya, Nak Agi. kata Ibu. Ibu memeluk Agi dengan erat sambil menangis. Ibu
nggak tau kalo nggak ada kamu, nggak tau apa yang harus Ibu lakuin waktu nggak ada Ridho di
sini. Sekali lagi makasih ya, Agi. Kamu seperti malaikat buat keluarga ini.
Agi mengelus-ngelus punggung Ibu dengan lembut, dia ikut menangis. Ibu, nggak usah
berterima kasih sama Agi. Terima kasihlah sama Allah, karena Dia kita dapat dipertemukan,
menjadi sebuah keluarga.
Ayah dan Arya ikut memeluk Agi dan Ibu. Kehangatan keluarga ini kembali lagi,
walaupun ada yang hilang di antara mereka.
Agi melihat ke atas, seakan mencari-cari sesuatu. Dho Gue udah nepatin janji gue!
Moga-moga lo tersenyum ya di Sana!
Ternyata Ridho memang hadir di sana. Ia memang tersenyum, ikut merasakan kebahagian
mereka. Walaupun Agi dan yang lainnya tidak dapat lagi melihat kehadiran Ridho. Di samping
Ridho pun ada sosok Zu. Mereka berdua sama bahagia melihat seseorang yang mereka sayangi
dapat membagi kebahagiaannya dengan orang lain.
Di tengah-tengah acara, Ibu memberikan sebuah buku diary Ridho yang seharusnya
dibaca oleh mereka bersama dua tahun kemudian beserta sebuah akar pohon. Agi kembali
menitikkan air mata kesedihan.

EPILOG

Hei, Agi elo keliatan cantik banget! puji Marcel ketika melihat Agi yang mengenakan
kebaya berwarna putih serta rambutnya yang disanggul rapi.
Iya, Gi Cantik banget. Ya ampun nggak nyangka akan secepat ini cerita elo, Gi.
Ledek Keysa.
Agi mendekati Marcel dan Keysa yang terlihat cantik dan tampan dengan kebaya dan jas
yang mereka kenakan. Ah, pokoknya taun depan kalian berdua harus nyusul gue. Gue nggak
mau terlihat tua sendirian
Hari ini hari yang istimewa untuknya karena hari ini tepat dia akan melepas masa
lajangnya setelah dia menyelesaikan kuliahnya di bidang Psikologi. Ya, hari ini Agi akan
menikah dengan seseorang yang dulu tidak pernah dia sangka akan datang. Seseorang yang saat
kedatangan awalnya yang membuat dia geram sampai mau dilempar panci, seseorang yang
menyebalkan namun ternyata seiring dengan berjalannya waktu dia belajar bahwa cinta memang
akan datang pada saat yang tepat dan cinta perlu belajar untuk saling mengenal. Orang itu tidak
lain dan tidak bukan adalah Zavi, seseorang yang dia kenal dari perjodohan yang konyol dari
orang tuanya, dan ternyata malah menjadi jodoh dunia dan akhiratnya, semoga saja.
Agi keluar dari kamar dan berjalan anggun menuju tempat pelaminan. Hari ini adalah
akad nikahnya dengan Zavi. Dan seperti kata orang-orang, suasana pernikahan sungguh sangat
sakral, jantungnya terpacu dengan cepat seperti berlari-lari. Orang-orang melihatnya dengan
tatapan takjub luar biasa. Kemudian Agi duduk di sebelah Zavi, orang yang akan menjadi
suaminya. Selendang putih pun dipasangkan oleh Mama sebagai salah satu pengikat pernikahan
mereka. Setelah mengucapkan ijab kabul, dan memasangkan cincin di kedua jemari masingmasing, Agi dan Zavi pun resmi menjadi sepasang suami-istri.
Semoga kehidupan mereka bahagia

Anda mungkin juga menyukai