Anda di halaman 1dari 7

Kekerasan Anak

A. Pengertian
Kekerasan merupakan tindakan agresif dan pelanggaran (penganiayaan,
penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, perlakuan salah, dan lain-lain) yang
dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain. Istilah
kekerasan juga mengandung kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku
yang merusak.
Kerusakan harta benda biasanya dianggap masalah kecil dibandingkan dengan
kekerasan terhadap orang. Menurut WHO (dalam Bagong S., dkk, 2000),
kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau
tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat
yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma,
kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Kekerasan seksual merupakan bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak
diinginkan secara seksual. Kekerasan seksual biasanya disertai dengan tekanan
psikologis atau fisik (OBarnett et al., dalam Matlin, 2008). Perkosaan merupakan
jenis kekerasan seksual yang spesifik. Perkosaan dapat didefinisikan sebagai
penetrasi seksual tanpa izin atau dengan paksaan, disertai oleh kekerasan fisik
(Tobach, dkk dalam Matlin, 2008).
Kekerasan terhadap anak dalam arti kekerasan dan penelantaran adalah semua
bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik maupun emosional, pelecehan seksual,
penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain yang mengakibatkan
cidera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak,
kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak yang
dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan, atau
kekuasaan. Sementara pengertian menurut UU Perlindungan Anak pasal 13 yang
dimaksud kekerasan terhadap anak adalah diskriminasi, eksploitasi baik fisik
maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan,
ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.
Kekerasan terjadi ketika seseorang menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan
posisinya untuk menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan karena kebetulan

(Andez, 2006). Kekerasan juga meliputi ancaman, dan tindakan yang bisa
mengakibatkan luka dan kerugian. Luka yang diakibatkan bisa berupa luka fisik,
perasaan, pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental. Menurut Andez (2006)
kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan
fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: penelantaran dan perlakuan
buruk, eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking/jual-beli anak.
Sedangkan child abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang
dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut
atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di
percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.
B. Ekspresi Tindak Kekerasan
Secara alami seseorang akan mengekspresikan tindakan-tindakan atau
perilaku-perilakunya cenderung berdasarkan pengalaman-pengalaman masa
lalunya. Demikian pula, hal ini akan berlaku terhadap perilaku anak. Semakin
besar seseorang anak mendapatkan pengalaman-pengalaman melalui sosialisasi
sikap dan tindak kekerasan, maka ada kecenderungan terhadap anak tersebut
untuk mengekspresikan berdasarkan pengalaman yang telah diperolehnya, yaitu
pengalaman-pengalaman dalam bentuk kenakalan. Tetapi perlu diingat bahwa
sebenarnya kecenderungan-kecenderungan ini sangat tergantung kepada peluang
yang ada di lingkungan sekitarnya. Semakin terbuka peluang tersebut berbentuk
tindak kekerasan dengan segala implikasinya, maka semakin besar pula pola dan
sikap perilaku anak tersebut akan terbentuk.
Terbentuknya perilaku anak yang cenderung mengekspresikan kenakalan lebih
disebabkan karena:
1. Fungsi kontrol keluarga yang lemah
Ada kecenderungan orang tua yang mengabaikan fungsi utama keluarga
terhadap pengawasan anggota keluarganya. Berfungsinya peran ganda
wanita (baca: Ibu) yang menjadikan frekwensi interaksi dan komunikasi
anggota keluarga semakin menurun, sehingga fungsi kontrol terhadap
sikap perilaku anak juga menjadi terabaikan atau menurun.
2. Lemahnya fungsi kontrol di sekolah

Hal ini dapat terjadi apabila kewibawaan lingkungan sekolah dan


sekaligus fungsi pengawasan sekolah merosot. Kondisi demikian akan
mengakibatkan semakin lama seorang anak (pelajar) berinteraksi di
lingkungan sekolah justru ada kecenderungan semakin tinggi anak tersebut
mengekspresikan kenakalannya dengan berbagai bentuk. Kondisi ini akan
lebih diperparah lagi apabila orientasi sekolah hanya terfokus ke arah
kesejahteraan guru dan menomorduakan pembinaan akhlak pada anak
didik.
3. Sikap masyarakat yang kurang peduli
Kita semua menyadari bahwa era dewasa ini manusia sedang dihadapkan
pada suatu kondisi perubahan dan peralihan yang lazim disebut dengan
masa transisi. Keadaan ini akan menambah kompleksitas permasalahan di
masyarakat. Masyarakat akan mencoba membebaskan nilai-nilai masa lalu
dengan berupaya menggapai masa depan dengan cara membentuk nilainilai baru. Kondisi demikian akan memunculkan benturan-benturan nilai
lama dengan nilai baru yang dapat menimbulkan kesimpangsiuran norma.
Keadaan ini akan sangat membuka peluang bagi generasi muda,
khususnya anak untuk melakukan kenakalan.
C. Bentuk-bentuk Kekerasan
Beberapa bentuk kekerasan terhadap anak dikemukakan oleh Terry E. Lawson
(dalam Huraerah, 2007), psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang
child abuse, menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal
abuse, physical abuse, dan sexual abuse.
1. Kekerasan emosional (emotional abuse)
Emotional abuse, kekerasan yang terjadi ketika orang tua, pengasuh dan
pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian,
mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu
terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi
mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan
mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu
berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada

anaknya akan terus menerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan


anak itu.
2. Kekerasan verbal (verbal abuse)
Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola
komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan
anak. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan,
melabeli, atau juga mengkambinghitamkan.
3. Kekerasan fisik (physical abuse)
Physical abuse, kekerasan ini terjadi bila orang tua, pengasuh dan
pelindung anak memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan
perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu
berlangsung dalam periode tertentu. Kekerasan yang dilakukan seseorang
berupa melukai bagian tubuh anak.
4. Kekerasan seksual (sexual abuse)
Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut
(seperti istri, anak dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan
bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan
hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar
dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain
untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.
Suharto (1997) mengelompokkan kekerasan pada anak menjadi empat hal:
1. Kekerasan anak secara fisik
Kekerasan secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan
terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang
menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat
berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul,
seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa
luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau
setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut,
pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan
terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang
tidak disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus,

minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat, memecahkan


barang berharga.
2. Kekerasan anak secara psikis
Kekerasan secara psikis meliputi penghardikkan, penyampaian kata-kata
kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada
anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala
perilaku maladaptif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati,
takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.
3. Kekerasan anak secara seksual
Kekerasan secara seksual dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara
anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual,
exhibisionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara
anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).
4. Kekerasan anak secara social
Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi
anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak
memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak.
Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan
pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak
menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang
terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh,
memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial,
atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan
perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan status
sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang
membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan
tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau
dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas
kemampuannya.
Di samping itu, berbagai bentuk perlakuan terhadap anak yang dapat
memunculkan bentuk kekerasan terhadap anak antara lain, yaitu:
1. Hukuman

Bentuk ini adalah kekuasaan/otoritas yang dimanipulasi sebagai hukuman


dengan tujuan untuk membiasakan anak menjadi disiplin. Institusi pertama
yang menerapkan model/bentuk ini adalah keluarga, sehingga orang tua
harus tetap dalam memberikan hukuman kepada anak agar tidak
berimplikasi terhadap bentuk pola tindak kekerasan sebagai akibat reksi
spontan anak. Pemberian hukuman yang tidak proporsional akan dapat
berdampak terhadap perilaku yang diperankan anak di dalam pola interkasi
sosial.
Menurut Fauziah Aswin H (1999) dikatakan bahwa otoritas yaitu orang
tua, guru, aparat lain yang menjadi penentu tindakan anak dan mempunyai
orientasi pada kekuasaan, kekuatan dan kepentingan orang tua/otoritas dan
bukan berorientasi kepada child centered, yaitu tuntutan kepada anak
diarahkan kepada kepentingan orang tua.
Secara implisit menunjukan bahwa orang tua maupun penentu tindakan
kurang mengetahui dan memahami tentang perasaan dan kebutuhan yang
dirasakan oleh anak, sehingga dalam sosialisasi ini anak sering menjumpai
kekuasaan, kekuatan, maupun otoritas orang tua. Dengan demikian
kekerasan yang dimanipulasi dengan tujuan mendisiplinkan anak atau
sebagai hukuman sering dapat ditolerir di dalam masyarakat.
2. Adanya tokoh tindak kekeraan dalam keluarga
Dijumpainya figur-figur yang memerankan tindak kekerasan di dalam
keluarga, yaitu para anggota keluarga atau siapa saja yang tinggal dalam
satu rumah. Pertentangan-pertentangan atau pertengkaran yang dilakukan
secara terbuka dan bebas serta disaksikan oleh anggota keluarga lainnya
terutama anak-anak akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan jiwa
dan mentalnya.
3. Kekerasan di masyarakat
Sebagaimana lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat juga turut
memberi andil yang sangat besar dalam pembetukan kepribadian dan
mental anak. Justru di dalam masyarakat yang telah dikondisikan dengan
bentuk tindak kekerasan, maka besar kemungkinan perilaku tindak
kekerasan akan mudah tersosialisasikan kepada anak. Bentuk-bentuk
kekeraan

di

masyarakat

dapat

dicontohkan,

misalnya

perilaku

pertengkaran, pengrusakan, minum-minuman keras, dan lain sebagainya.


Contoh-contoh tersebut sangat mudah diadopsi oleh anak yang sedang
belajar menerapkan dan mencari pola yang cocok untuk dirinya.
4. Saluran-saluran informasi di media massa
Semakin canggih dan mudahnya saluran informasi dapat diperoleh dengan
model penyajian yang menarik serta sistem pengawasan/sensor yang tidak
ketat, membuat bentuk-bentuk kekerasan dapat dinikmati oleh anak-anak
dengan bebas. Tontonan-tontonan melalui VCD, internet, televisi, bioskop,
majalah/koran yang menyajikan gambar-gambar atau visualisasi tindak
kekerasan akan dapat dengan mudah diadopsi oleh anak.
Pengawasan dari keluarga yang longgar ikut memberi sumbangan dalam
bentuk kepribadian seorang anak. Film-film action, gambar-gambar porno
yang disajikan melalui VCD dan media cetak lainnya, serta mudahnya
mengakses tontonan kekerasan dan kebrutalan melalui internet akan
semakin memperparah pengaruhnya terhadap pembentukan kepribadian
anak terutama terhadap anak pada periode adolesen (periode goyah).

Tjahjono B. Fenomena Tindak Kekerasan Di Lingkungan Anak.


http://bbppksjogja.depsos.go.id/index.php?
action=mading.detail&id_mading=17. Tanggal Akses: 28
November 2013.

Anda mungkin juga menyukai