Anda di halaman 1dari 7

SELF-DIRECTED LEARNING

Harsono
Bagian Pendidikan Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Pengantar
Proses belajar sering melibatkan ketrampilan dan perilaku baru bagi peserta didik.
Apabila belajar bukan sekedar suatu proses pengumpulan informasi baru maka peserta
didik harus melibatkan diri secara total dalam pengalaman belajar. Belajar bukanlah
sekedar menerima informasi dari orang lain tentang apa yang ingin diketahuinya. Belajar
yang sesungguhnya memerlukan motivasi yang tinggi dan suasana yang mendukung
proses belajar. Untuk itu peserta didik memerlukan classroom of life di mana di dalamnya
terdapat semangat self-directed learning.1
SDL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (studentcentred approach) di mana proses dan pengalaman belajar diatur dan dikontrol oleh
peserta didik sendiri. Para peserta didik memutuskan sendiri tentang bagaimana, di
mana, dan kapan belajar tentang suatu hal yang mereka anggap merupakan hal yang
penting.2 Di dalam konteks problem-based learning (PBL), SDL merupakan bagian
yang melekat pada proses pembelajaran. Dalam hal ini SDL menuntut peserta didik untuk
mengidentifikasi berbagai masalah yang perlu dipelajari lebih jauh (investigation), tahu
di mana harus mencari sumber-sumber belajar yang berkaitan dengan masalah tadi,
mampu menentukan prioritas dan merancang penelusuran sumber belajar, mampu
mempelajari materi yang ada di dalam sumber belajar tadi, dan kemudian
menghubungkan informasi yang telah terkumpul dengan topik bahasan yang sedang
dipelajarinya.3
Ditinjau dari perspektif inovasi pendidikan, SDL merupakan inovasi dalam pembelajaran
guna memperoleh efisiensi yang tinggi dan keefektivan yang lebih bermakna sehingga
peserta didik bukan hanya mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan di dalam
kurikulum melainkan juga mendapatkan tujuan belajar yang lebih maju, lebih banyak,
dan lebih bermanfaat baginya. Di dalam konteks SDL, batas ruang dan waktu menjadi
tidak jelas karena batas tadi telah diterobos oleh peserta didik.
Hakekat SDL
SDL tidak bergantung pada subyek ataupun metoda instruksional. SDL bergantung pada
siapa yang belajar (peserta didik): siapa yang memutuskan tentang apa yang akan
dipelajari, siapa yang harus mempelajari sesuatu hal, metoda dan sumber apa saja yang
akan dipegunakan, dan bagaimana cara mengukur keberhasilan upaya belajar yang telah
dilaksanakan.4

Situasi belajar
Belajar merupakan aktivitas yang bersifat plastis dan secara biologis mudah dimodifikasi.
Hal ini bertolak belakang dengan mengajar yang secara sosial telah terstruktur
sehingga bersifat lebih kaku dan lebih sulit diubah. Seiring dengan kemajuan ilmu dan
teknologi, yang secara spesifik dikenal sebagai era elektronik, baik belajar maupun
mengajar mengalami perubahan yang cepat dan berarti.5
Sebagai pembanding terhadap SDL, uraian di bawah ini dapat memperjelas perbedaan
antara hakekat SDL dengan belajar yang dikontrol oleh institusi:4

Belajar secara formal (formal learning): institusi, bukan peserta didik, mengontrol
tujuan belajar dan tatacara belajar peserta didik
Belajar secara nonformal (nonformal learning): peserta didik mengontrol tujuan
belajar, sementara itu institusi mengontrol tatacara belajar peserta didik
Belajar secara informal (informal learning): institusi mengontrol tujuan belajar
tetapi peserta didik mengontrol tatacara belajar mereka sendiri

Dengan adanya era elektronik maka setiap peserta didik harus mampu menyesuaikan
dirinya dengan kemajuan dan perkembangan yang ada. Adaptasi ini sangat diperlukan
agar peserta didik dapat belajar dalam suasana yang nyaman dan mempunyai gairah
belajar yang tinggi. Dengan demikian proses belajar didorong oleh dirinya sendiri dan
bukan semata-mata dituntut dari pihak luar. Suasana belajar demikian ini akan
meningkatkan academic atmosphere di Perguruan Tinggi yang pada akhirnya akan
mempengaruhi sikap dan perilaku para pengajar untuk dapat mengakomodasi SDL yang
tengah berkembang.
Self-directed learning
SDL merupakan suatu proses pembelajaran di mana peserta didik mengambil inisiatif
dengan atau tanpa bantuan pihak lain dalam mendiagnosis kebutuhan belajar, membuat
formulasi tujuan belajar, identifikasi sumber belajar (narasumber dan materi belajar),
memilih dan menjalani strategi belajar yang sesuai, serta mengevaluasi hasil belajar
(outcomes).6 SDL merupakan proses dan sekaligus hasil (outcome). Peserta didik
memperoleh manfaat ketrampilan belajar selama aktif menjalani SDL sekaligus akan
mengalami perubahan yang menguntungkan dalam sikap dan perilaku belajar.7
Ada banyak jenis program dan tata cara pelaksanaan SDL; dengan demikian ada
beberapa pengertian yang sedikit berbeda tentang SDL. Sebagai contoh, SDL adalah
setiap upaya atau aktivitas untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, atau kinerja
yang dilakukan oleh setiap peserta didik untuk mencapai cita-cita atau keinginannya
dengan menggunakan berbagai cara, di manapun, kapanpun, dan umur berapapun.8

Konsep kemandirian

Kemandirian (self-direction) merupakan konsep organisasi untuk pendidikan tinggi;


dengan demikian kemandirian berkaitan erat dengan politik pendidikan. SDL memiliki
komitmen demokratis terhadap perubahan posisi dan peran peserta didik di mana peserta
didik memegang kontrol yang lebih besar terhadap dirinya sendiri dalam hal
konseptualisasi, perancangan, pelaksanaan, dan evaluasi belajar serta penetapan cara-cara
pemanfaatan sumber belajar guna proses belajar lebih lanjut.9
Independent learning
Konsep ini mempunyai konotasi belajar dalam keadaan terisolasi, atau menggambarkan
peserta didik belajar sendiri yang seluruh kegiatannya (menentukan tujuan belajar, isi,
usaha, waktu, evaluasi, dan sebagainya) ditentukan sendiri olehnya. Bantuan dari pihak
lain dapat diterima atau ditolak oleh peserta didik sesuai dengan standar atau kemauan
peserta didik tersebut.5
Distance learning
Konsep ini mempunyai konotasi jarak secara fisik antara peserta dan seorang guru atau
instruktur di mana peserta didik mengalami hambatan dalam berbagai tingkat sehubungan
dengan kurikulum.5
Psychological control
Konsep ini mengandung konotasi pentingnya arti psychological independence dalam
definisi SDL daripada elemen sosial atau kurikulum. Konsep ini ada dalam definisi
berikut ini: SDL adalah suatu proses mental yang bertujuan, biasanya disertai dan
disokong oleh aktivitas perilaku yang terlibat di dalam identifikasi dan pencarian
informasi. Individu secara sadar menerima tanggung jawab untuk menentukan keputusan
tentang tujuan dan usaha, dan dengan demikian menjadi agen perubahan pembelajaran
bagi diri sendiri.5
Spektrum SDL
Spektrum ini merupakan rentang antara teacher-directed learning (TDL) sampai SDL.
Pada TDL guru atau instruktur memilih dan menentukan apa saja yang akan diajarkan
(dipelajari oleh peserta didik), mengapa hal itu perlu dipelajari, bagaimana peserta didik
mempelajari hal tersebut, kapan, di mana, dan untuk golongan umur berapa.8
Incidental self-directed learning
SDL model ini dikenalkan pada kursus atau program yang bercirikan TDL, misalnya
pada proyek individual atau kursus singkat.8
Teaching students to think independently
Kursus atau program yang menekankan kemampuan personal dalam kegiatan eksplorasi,
penelusuran, pemecahan masalah (problem solving) dan aktivitas kreatif (debat, studi
kasus, penelitian, percobaan, dramatisasi, kerja lapangan).8
Self-managed learning
Kursus atau program yang disajikan melalui panduan bejalar di mana peserta didik
belajar secara independen sepenuhnya.8
Self-planned learning
Kursus atau program yang memberi kesempatan sepenuhnya kepada individu untuk
merancang aktivitas belajar dengan tujuan belajar yang telah ditentukan.8
Self-directed learning

Kursus atau program yang memberi kesempatan kepada individu untuk memilih
outcome, merancang aktivitas mereka sendiri dan melaksanakan aktivitasnya sesuai
dengan pilihan mereka.8
Manfaat SDL
Dari tahun ke tahun SDL makin berkembang dan kemudian bergerak dari situasi perifer
menuju ke arus utama pengembangan manajemen dan bisnis. Sebagian besar program
pengembangan saat ini menggunakan elemen SDL dalam rancangan dan pelaksanaan
secara keseluruhan. Secara individual, SDL memiliki daya tarik yang spesifik misalnya
kebebasan yang lebih besar untuk memilih, fleksibel, dan mengakomodasi individu
tentang apa yang dikehendaki olehnya.10
Dukungan staf pengajar dalam SDL
Peran guru atau instruktur dalam SDL sungguh berbeda dengan pengajar dalam proses
belajar secara konvensional. Di antara dua hal tadi terdapat transisi, ialah situasi trainerled menuju ke learner-led development.
Tanggung jawab pengajar dalam konteks SDL 10
Pengajar mendorong individu untuk membuat pilihan tentang tujuan yang
diinginkan
Pengajar siap memberi bantuan dalam tingkat perorangan, sesuai dengan
permintaan bantuan yang bersifat spesifik
Pengajar menyediakan materi dan sumber belajar yang diperlukan individu
Pengajar memberi bimbingan, penyuluhan, dan bantuan individu dalam hal
penggunaan sumber belajar agar diperoleh hasil yang paling baik
Untuk individu yang baru mengenal disiplin SDL maka kepada mereka perlu diberikan
latihan awal yang meliputi hal-hal sebagai berikut:10
Ketrampilan belajar dalam hal perencanaan: apa, kapan, dan bagaimana cara
belajar
Tanggung jawab individu dalam manajemen pengembangan diri
Mengenal dan memanfaatkan kesempatan untuk belajar dan pengembannya dari
hari ke hari
Menghubungan SDL dengan pekerjaan yang akan ditekuni serta
pengembangannya dalam jangka panjang.
Memilih dan menggunakan materi dan sumber lainnya secara tepat dan efektif
Peran institusi pendidikan
Hal-hal sebagai berikut ini perlu diperhatikan oleh setiap institusi pendidikan yang
menggunakan SDL: 11,12

Institusi menyediakan waktu untuk pertemuan secara teratur dengan panel ahli
yang dapat memberi saran tentang kurikulum dan kriteria evaluasi

Institusi melaksanakan penelitian tentang kecenderungan dan keinginan peserta


didik
Institusi menyiapkan alat yang tepat untuk mengevaluasi kinerja peserta didik dan
mengevaluasi kinerja mereka pada akhir pendidikan
Institusi menyediakan kesempatan bagi peserta didik untuk membuat refleksi bagi
mereka tentang hal-hal yang telah mereka pelajari
Institusi memberi penghargaan kepada peserta didik apabila mereka mencapai
tujuan belajar
Institusi mempromosikan jejaring belajar, lingkaran studi, dan pertukaran belajar
Institusi menyelenggarakan pelatihan bagi para staf tentang SDL dan memberi
kesempatan yang lebih luas agar para staf mampu mengimplementasikan
pengetahuan baru yang telah diperolehnya selama pelatihan.

Resistensi pendidik terhadap SDL


Resistensi pendidik terhadap SDL bukanlah barang baru. Berbagai macam alasan
dilontarkan oleh para pendidik yang menolak diberlakukannya SDL. Namun demikian,
dari berbagai macam alasan tadi dapat diringkas menjadi dua hal pokok, ialah
miskonsepsi terhadap terminologi SDL dan kesenjangan antara kepercayaan yang
dianut dengan kenyataan di dalam praktik mengajar.13
Miskonsepsi tentang istilah SDL
Istilah SDL ternyata memiliki berbagai macam arti bagi individu-individu yang berbeda.
Miskonsepsi ini merupakan sumber kebingungan bagi para pendidik yang ingin
memahami dan melaksanakan SDL di institusinya. Ada sekelompok pemerhati SDL yang
menganggap bahwa SDL lebih bersifat karakteristik kepribadian dan di pihak lain ada
yang menganggap bahwa SDL lebih merupakan metoda instruksional.13
Kesenjangan antara kepercayaan dengan pengalaman praktik
Para instruktur mempunyai kesan akan adanya kesenjangan antara theories-in-use dan
espoused theories. Instruktur beranggapan bahwa evaluasi persepsi peserta didik
merupakan hal yang penting tetapi instruktur tadi tidak pernah menanyakan persepsi
mahasiswa tentang sistem yang tengah dijalaninya. Hal ini merupakan contoh bahwa ada
kesenjangan di lapangan. Contoh lain: pengajar setuju dengan konsep dalam suatu teori,
tetapi dia diam seribu bahasa apabila diminta untuk menmgaplikasikan teori tadi.13
Beberapa tips berkenaan dengan SDL 6
Pendidik beralih fungsi, menjadi fasilitator proses belajar dan siap membantu
peserta didik, bukan lagi sebagai director of learning.
Pada awalnya instruktur/pengajar memberi sedikit pengarahan di dalam kelas,
memberi tugas untuk dikerjakan oleh peserta didik, merancang presentasi untuk
suatu seminar, dan bersama-sama peserta didik menyusun tujuan belajar di mana
peserta didik dapat menambah, merevisi, atau bahkan menolaknya.

Sebagian besar pengajar/instruktur mengalami proses yang berulang. Dari


pengalaman ini dapat ditarik kesan bahwa pada awalnya para peserta didik
mengalami rasa cemas atau ketidakpastian, atau kadang-kadang merasa tertipu.
Peserta didik memerlukan penjelasan secara bertahap tentang SDL, khususnya
tentang bagaimana caranya belajar untuk dapat menjadi mandiri dalam belajar.
Kepada para peserta didk perlud diberikan catatan tentang filosofi SDL.
Pada awalnya peserta didik akan merasa canggung, tidak nyaman, dan bahkan
bingung; pada saat itu peserta didik mengharapkan para pengajar bertindak
sebagai expert.
Adalah hal biasa apabila pada awal proses pembelajaran ada peserta didik yang
mudah marah (uring-uringan) karena mereka belum tahu akan apa yang harus
mereka kerjakan. Hal ini dapat diatasi dengan menyediakan instruksi, handout,
agenda, atau arahan yang diberikan mingguan.
Pada awal pembelajaran sangat diperlukan adanya pertemuan dan diskusi
antarpeserta didik dan antara peserta didik dengan pengajar tentang situasi belajar
yang terasa aneh bagi mereka.
Peserta didik tertentu dapat merasa sangat canggung dengan situasi pembelajaran
yang berlaku sehingga mereka ingin mengundurkan diri dari institusi, Hal ini
dapat diatasi dengan penyuluhan secara lisan maupun melalui media cetak.
Secara bertahap para peserta didik diberi kebebasan (otonomi) yang lebih besar
dan diberi hak untuk menentukan keputusan oleh mereka sendiri; semuanya
dalam koridor deadlines for assignments.
SDL melibatkan pengetahuan dan pengalaman terdahulu. Dengan perkataan lain,
SDL memerlukan prior knowledge dan prior experience.
Self-evaluation merupakan bagian penting dalam pelaksanaan SDL karena selfevaluation merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan professional
dan sangat diperulkan untuk life long learning.

Ringkasan
SDL merupakan proses pembelajaran yang menuntut peserta didik menjadi subyek yang
harus merancang, mengatur dan mengontrol kegiatan mereka sendiri secara bertanggung
jawab. Hal ini bertolak belakang dengan prinsip pembelajaran yang disebut sebagai
teacher-directed learning. Namun demikian, institusi pendidikan tetap bertanggung
jawab sepenuhnya, baik secara teknis, fisik, dan moral, terhadap seluruh program
pendidikan yang ditawarkan kepada para peserta didik.
SDL menuntut peserta didik untuk menentukan tujuan belajar mereka sendiri, merancang
strategi untuk mencapai tujuan belajar, dan kemudian merancang metoda evaluasi
terhadap hasil belajar yang telah mereka capai. Tujuan belajar merupakan hal yang sulit
untuk dirancang sehingga pengajar atau instruktur harus membantu peserta didik dalam
perancangan tujuan belajar.
SDL memerlukan negosiasi dalam perancangan pembelajaran secara keseluruhan.
Perancangan pembelajaran ini merupakan alat yang fleksibel tetapi efektif untuk

membantu peserta didik dalam penentuan tujuan belajar secara individual. Tanggung
jawab peserta didik dan pengajar harus dibuat secara eksplisit dalam perancangan
pembelajaran. Partisipasi para peserta didik dalam penentuan tujuan belajar akan
membuat mereka menjadi committed terhadap proses pembelajaran.
Kepustakaan
1. McNamara C. Basic requirements of learners in training and development.
Available from: URL http://www.mapnp.org/library/trng_dev/basics/learner.htm.
Cited 12/2/2002.
2. Hammond M, Collins R. Self-directed learning: critical practice. New Jersey:
Nichols-GP Printing; 1991.
3. Barrows HS, Tamblyn RM. Problem-based learning. An approach to medical
education. New York: Springer; 1980.
4. Lowry CM. Supporting and facilitating self-directed learning. Available from:
URL http://www.ntlf.com/htm/lib/bib/89dig/htm.
5. 4. Long HB. Skills for self-directed learning. Available from: URL http://facultystaff.ou.edu/L/Huey.B.Long-1/Articles/sd/selfdirected.html. Cited 12/2/2002.
6. Knowles M. Self-directed learning: a guide for learners and teachers. New York:
Association Press; 1975.
7. Cranten P. Working toward self-directed learning. Ontario: Wall & Emerson Inc;
1992.
8. Gibbons M. The Self-directed Learning Handbook. Vancouver: Wiley; 2002
9. Brookfield S, Self-directed learning, political clarity and the critical practice of
adult education. Adult Educ Quart;43(4):225-30.
10. Anonymous. Self-directed learning as a development method. Available from:
URL http://www.dba.co.uk/tips/voll/self.htm.
11. Brockett RG, Hiemstra R. Bridging the theory-practice gap in self-directed
learning. In Brookfield S (ed);Self-directed Learning: from Theory to Practice.
New Directions for Continuing education No.25. San Fransisco: Jossey-Bass Inc.
Publishers; 1985.
12. Hiemstra R. Self-directed adult learning: some implications for practice. ERIC
document Reproduction Service No.ED 262 259; March 1982.
13. Hiemstra R, Brockett RG. Overcoming Resistance to self-Direction in Adult
Learning. San Fransisco: Jossey-Bass Inc. Publishers; 1994.

Anda mungkin juga menyukai