PENDAHULUAN
Kata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang
menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian
obat dengan tujuan menghilangkan nyeri pembedahan. Anestesiologi ialah ilmu
kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan rasa nyeri dan rumatan
pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan (Latief dkk, 2009).
Obat untuk menghilangkan rasa nyeri terbagi ke dalam dua kelompok,
yaitu analgetik dan anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai
hilangnya kesadaran secara total. Seseorang yang megkonsumsi analgetik tetap
berada dalam keadaan sadar. Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya
kesadaran sedangkan jenis yang lainnya hanya menghilangkan nyeri di bagian
tubuh tertentu dan pemakainya tetap sadar.
Secara umum anestesi dibagi menjadi dua, yaitu anestesi umum, yaitu
hilangnya kesadaran secara total dan anestesi regional, yaitu hilangnya rasa pada
bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau
saraf yang berhubungan.
Anestesi umum adalah suatu tindakan yang membuat pasien tidak sadar
selama prosedur medis, sehingga pasien tidak merasakan atau mengingat apa pun
yang terjadi. Anestesi umum biasanya dihasilkan oleh kombinasi obat intravena
dan gas yang dihirup. Tidur pasien yang mengalami anestesi umum berbeda dari
tidur seperti biasa. Otak yang dibius tidak merespon sinyal rasa sakit atau
manipulasi bedah.
Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan pasien
dan memantau fungsi vital tubuh pasien selama prosedur anestesi berlangsung.
Tahapannya mencakup induksi, maintenance, dan pemulihan. Anestesi umum
diberikan oleh dokter yang terlatih khusus, yang disebut ahli anestesi, ataupun
bisa juga dilakukan oleh perawat anestesi yang berkompeten.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI ANESTESI UMUM
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan berisfat pulih kembali atau reversibel.
Komponen anestesia yang ideal terdiri dari hipnotik, analgesia dan relaksasi
otot. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentolerir tindakan pembedahan
yang dapat menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang berpotensi
menyebabkan perubahan fisiologis tubuh yang ekstrim, dan menghasilkan
kenangan yang tidak menyenangkan.
Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi
untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana akan
dilakukan operasi. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum
mungkin tidak selalu menjadi pilihan terbaik, tergantung pada presentasi
klinis pasien, anestesi lokal atau regional mungkin lebih tepat.
B. TEORI ANESTESIA UMUM
1. Meyer dan Overton (1899) mengemukakan teori kelarutan lipid (lipid
solubility theory). Obat anestetika larut dalam lemak. Efeknya
berhubungan langsung terhadap kelarutan dalam lemak. Semakin mudah
larut di dalam lemak, semakin kuat daya anestesinya. Ini hanya berlaku
pada obat inhalasi (volatile anaesthetics), tidak pada obat anestetika
parenteral seperti pentotal.
2. Ferguson (1939) mengemukakan teori efek gas inert (the inert gas effect).
Potensi analgesia gas-gas yang lembab dan menguap terbalik terhadap
tekanan gas-gas dengan syarat tidak ada reaksi secara kimia. Jadi
tergantung dari konsentrasi molekul-molekul bebas aktif.
4.
Stadium IV
Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut stadium
over dosis atau stadium paralisis. Ditandai dengan hilangnya semua
refleks, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan dikuti dengan
circulatory failure.
derajat III IV, AV blok derajat II total (tidak ada gelombang P).
Kontraindikasi relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110),
8
dihindarkan pemakaian
obat yang
bersifat
pada
porfiria
dan
kehamilan.
Dosis
10
12
13
Selesai dilakukan induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata
hilang, sungkup muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan
atau sedikit ditarik kebelakang (posisi kepala ekstensi) agar jalan napas
bebas dan pernapasan lancer. N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2
L/menit untuk memperdalam anestesi, bersamaan dengan ini halotan
dibuka sampai 1% dan sedikit demi sedikit dinaikkan dengan 1% sampai 3
atau 4 % tergantung reaksi dan besar tubuh penderita. Kedalaman anestesi
dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata menetap), nadi tidak cepat, dan
terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah. Kalau stadium anesthesia
sudah cukup dalam, rahang sudah lemas, masukan pipa orofaring (guedel).
Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1,5% tergantung respon terhadap
rangsang operasi. Halotan dikurangi dan dihentikan beberapa menit
sebelum operasi selesai. Selesai operasi, N2O dihentikan dan penderita
diberi O2 100% beberapa menit untuk mencegah hipoksi difusi (Latief dkk,
2009).
b. Teknik anestesi napas spontan dengan pipa endotrakea
Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan napas bebas
pada anestesi dengan sungkup muka. Setelah induksi, dapat dilakukan
intubasi. Balon pipa endotrakea dikembangkan sampai tidak ada
kebocoran pada waktu melakukan napas buatan dengan balon napas.
Harus yakin bahwa pipa endotrakea ada di dalam trakea dan tidak masuk
terlalu dalam yaitu di salah satu bronkus atau di esofagus. Pipa endotrakea
di fiksasi, lalu pasang guedel di mulut supaya pipa endotrakea tidak
tergigit. Lalu mata ditutup dengan plester supaya tidak terbuka dan kornea
tidak menjadi kering. Lalu pipa endotrakea dihubungkan dengan konektor
pada sirkuit napas alat anestesi (Latief dkk, 2009).
c. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan napas kendali
Teknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas. Napas
dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila menggunakan
respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan + 10 ml/kgBB dengan
frekuensi 10/14 per menit. Apabila napas dikendalikan secara manual,
harus diperhatikan pergerakan dada kanan dan kiri yang simetris.
14
15
anamnesis,
pemeriksaan
fisik,
laboratorium,
dan
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi,
tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting untuk diketahui
apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek
dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan
rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh
dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua
sistem organ tubuh pasien (Latief dkk, 2009).
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan
lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4
gradasi (Latief dkk, 2009):
Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior orofaring, pilar
tonsil
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula
Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
Mallampati 4 : Palatum durum saja
Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya
diperkirakan mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.
17
c. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang
mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat
untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit,
masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien
di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks.
Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang
harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik
anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus, induksi
18
pada
pasien-pasien
yang
menjalani
anesthesia.
Untuk
19
4)ASA IV
berat
:
tak
melakukan
aktivitas
rutin
dan
mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg
atau ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz) (Latief dkk, 2009).
3. Persiapan peralatan anestesi
Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan
anestesi yang baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih
berarti berfungsi, sesuai dengan tujuan kita member anesthesia yang lancar
dan aman (Latief dkk, 2009).
a. Mesin anestesi
Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau
campuran gas anestetik yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang
kemudian dihisap oleh pasien dan membuang sisa campuran gas dari
pasien. Rangkaian mesin anestesi sangat banyak ragamnya, mulai dari
yang sangat sederhana sampai yang diatur oleh computer. Mesin yang
aman dan ideal ialah mesin yang memenuhi persyaratan berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
N2
n
Putih
O
Biru
Udara
CO2
Halota
Enflura
Isoflura
Desflura
Sevoflura
Putih-
Abu
n
Merah
n
Jingga
n
Ungu
n
Biru
n
kuning
hitam
-abu
kunin
g
b. Sirkuit anestesi
Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi
ialah alat yang bukan saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan
oksigen dari mesin ke jalan napas atas pasien, tetapi juga harus sanggup
membuang CO2 dengan mendorongnya dengan aliran gas segar atau
dengan menghisapnya dengan kapur soda.
Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:
1. Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea
2. Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring
valve, pop-off valve, APL, adjustable pressure limiting valve)
22
c. Sungkup muka
Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen
atau gas anestesi ke pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan
sungkup trasparan berguna untuk obervasi kelembapan udara yang
diekshalasi dan mengetahui jika pasien muntah. Sungkup karet hitam
dapat digunakan untuk mengadaptasi struktur muka yang tidak biasa.
Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara dan
jalan napas yang baik. Teknik sungkup muka yang salah dapat berakibat
deflasi yang berkelanjutan pada reservoir bag saat katup tekanan
ditutup, biasanya mengindikasikan adanya kebocoran di sekitar
sungkup. Sebaliknya pembentukan tekanan pernapasan yang tinggi
dengan gerakan dada minimal dan suara pernapasan menandakan
obstruksi jalan napas.
Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah pada
badan sungkup dilakukan dengan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari
tengah dan manis memegang mandibula untuk membantu ekstensi
sendi atlantooksipital. Jari kelingking diletakkan di bawah sudut rahang
dan digunakan untuk menahan dagu ke depan, maneuver paling penting
untuk ventilasi pasien.
d. Endotracheal tube (ETT)
23
24
gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan
induksi anestesi, sebaiknya diingat kata STATICS:
S : Scope
Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop
untuk membuka mulut dan membuat area mulut lebih luas serta melihat
daerah faring dan laring, mengidentifikasi epiglotis, pita suara dan trakea.
Laringoskop pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien.
Lampu harus cukup terang. Ada dua jenis laringoskop, yaitu:
a. Blade lengkung (Macintosh). Biasa digunakan pada laringoskopi
dewasa. Paling sering digunakan untuk tindakan intubasi karena kurang
traumatis dan lapangan pandangan luas serta kemungkinan timbul
refleks vagal berkurang.
b. Blade lurus (Miller, Magill). Biasa digunakan oleh ahli THT pada
waktu laringoskopi, trakeoskopi, bronkoskopi.
T : Tubes
Pipa trakea. Endotracheal tube mengantarkan gas anastetik langsung
ke dalam trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan
usia > 5 tahun dengan balon (cuffed). Laryngeal mask airway (LMA).
Indikasi pemasangan LMA ialah sebagai alternatif dari ventilasi face mask
atau intubasi ET. Kontraindikasi pemasangan LMA pada pasien-pasien
dengan resiko aspirasi isi lambung dan pasien-pasien yang membutuhkan
dukungan ventilasi mekanik jangka panjang. LMA terdiri dari 2 macam :
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas.
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan
pipa tambahan dengan ujung distal yang berhubungan dengan
esophagus
25
(a)
(b)
(mandren)
digunakah
untuk
mengatur
kelengkungan
pipa
endotrakeal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forseps intubasi (Mcgill)
digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakeal nasal atau pipa
nasogastrik melalui orofaring.
C : Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
S : Suction
Penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya
Induksi anestesi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,
intramuskular, atau rektal.
a. Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi
sudah terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi
intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan,
lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan
antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi,
dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi
cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan
kepekatan 2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena
menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula digunakan dosis rendah dan
dewasa muda sehat dosis tinggi.
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1%
menggunakan dosis 2-3 mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering
menyebabkan nyeri, sehingga satu menit sebelumnya sering diberikan
lidokain 1 mg/kgBB secara intravena.
Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca
anestesi dengan ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu
sebelumnya dianjurkan menggunakan sedativa seperti midasolam
(dormikum). Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan
27
c. Induksi inhalasi
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau
sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum
terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut disuntik.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O
dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran
N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol%
sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi
halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi
sampai konsentrasi yang diperlukan. Induksi dengan sevofluran lebih
disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun langsung diberikan
dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. seperti dengan halotan
konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan. Induksi dengan enfluran
(etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang dilakukan, karena
pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
d. Induksi per rektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam. Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu
mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.
5. Rumatan anestesi (maintenance)
Rumatan
anestesi
dapat
dikerjakan
dengan
secara
intravena
28
gerak bertujuan
29
Pernafasan
Kesadaran
tidak bergerak
batuk, menangis
0
2
perlu bantuan
Menangis
0
2
Bereaksi
terhadap
rangsangan
1
0
Tidak bereaksi
2)
3)
2)
3)
4)
Komplikasi
lain
kornea
mata
luka
karena
31
BAB III
KESIMPULAN
Anastesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesia
yang ideal (trias anestesi) terdiri dari hipnotik, analgesia, dan relaksasi otot.
Sebelum dilakukan anestesi, perlu dilakukan persiapan pre-anestesi, yaitu
persiapan mental dan fisik pasien yang terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, selain itu juga perencanaan anastesia, merencanakan
prognosis, serta persiapan pada hari operasi.
Cara pemberian anestesi umum dapat berupa parenteral yaiu melalui
intramuscular atau intravena, per rektal, dan melalui inhalasi. Teknik anestesi ada
bermacam-macam yaitu teknik anestesi spontan dengan sungkup muka, teknik
anestesi spontan dengan pipa endotrakel, serta teknik anestesi pipa endotrakeal
dan napas kendali.
32
DAFTAR PUSTAKA
American Society of Anesthesiologists (ASA), ASA Physical Status Classification
System, diakses dari www.asahq.org pada tanggal 9 Mei 2015.
Dachlan R. Farmakologi Obat-Obat Anestesia Inhalasi. Dalam: Muhiman, M.,
Latief, S.A., Basuki, G., Anestesiologi, 2004, Jakarta: CV. Infomedika.
Eulianto, TY, dkk, 2011, Essential Anesthesia: From Science to Practice, Second
Edition, Cambridge: Cambridge University Press.
Joenoerham J., Latief SA. Anestesia Umum. Dalam: Muhiman, M., Latief, S.A.,
Basuki, G., Anestesiologi, 2004, Jakarta: CV. Infomedika.
Latief, S.A., Suryadi, K.A., 2009, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Mahadevan, SV, dan Garmel, GM, 2005, An Introduction to Clinical Emergency
Medicine, Cambridge: Cambridge University Press.
Muhiman M, Latief SA, Basuki G.
33