Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
Kata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang
menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian
obat dengan tujuan menghilangkan nyeri pembedahan. Anestesiologi ialah ilmu
kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan rasa nyeri dan rumatan
pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan (Latief dkk, 2009).
Obat untuk menghilangkan rasa nyeri terbagi ke dalam dua kelompok,
yaitu analgetik dan anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai
hilangnya kesadaran secara total. Seseorang yang megkonsumsi analgetik tetap
berada dalam keadaan sadar. Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya
kesadaran sedangkan jenis yang lainnya hanya menghilangkan nyeri di bagian
tubuh tertentu dan pemakainya tetap sadar.
Secara umum anestesi dibagi menjadi dua, yaitu anestesi umum, yaitu
hilangnya kesadaran secara total dan anestesi regional, yaitu hilangnya rasa pada
bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau
saraf yang berhubungan.
Anestesi umum adalah suatu tindakan yang membuat pasien tidak sadar
selama prosedur medis, sehingga pasien tidak merasakan atau mengingat apa pun
yang terjadi. Anestesi umum biasanya dihasilkan oleh kombinasi obat intravena
dan gas yang dihirup. Tidur pasien yang mengalami anestesi umum berbeda dari
tidur seperti biasa. Otak yang dibius tidak merespon sinyal rasa sakit atau
manipulasi bedah.
Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan pasien
dan memantau fungsi vital tubuh pasien selama prosedur anestesi berlangsung.
Tahapannya mencakup induksi, maintenance, dan pemulihan. Anestesi umum
diberikan oleh dokter yang terlatih khusus, yang disebut ahli anestesi, ataupun
bisa juga dilakukan oleh perawat anestesi yang berkompeten.
1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI ANESTESI UMUM
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan berisfat pulih kembali atau reversibel.
Komponen anestesia yang ideal terdiri dari hipnotik, analgesia dan relaksasi
otot. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentolerir tindakan pembedahan
yang dapat menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang berpotensi
menyebabkan perubahan fisiologis tubuh yang ekstrim, dan menghasilkan
kenangan yang tidak menyenangkan.
Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi
untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana akan
dilakukan operasi. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum
mungkin tidak selalu menjadi pilihan terbaik, tergantung pada presentasi
klinis pasien, anestesi lokal atau regional mungkin lebih tepat.
B. TEORI ANESTESIA UMUM
1. Meyer dan Overton (1899) mengemukakan teori kelarutan lipid (lipid
solubility theory). Obat anestetika larut dalam lemak. Efeknya
berhubungan langsung terhadap kelarutan dalam lemak. Semakin mudah
larut di dalam lemak, semakin kuat daya anestesinya. Ini hanya berlaku
pada obat inhalasi (volatile anaesthetics), tidak pada obat anestetika
parenteral seperti pentotal.
2. Ferguson (1939) mengemukakan teori efek gas inert (the inert gas effect).
Potensi analgesia gas-gas yang lembab dan menguap terbalik terhadap
tekanan gas-gas dengan syarat tidak ada reaksi secara kimia. Jadi
tergantung dari konsentrasi molekul-molekul bebas aktif.

3. Pauling (1961) mengemukakan teori kristal mikro hidrat (the hidrate


micro-crystal theory). Obat anestetika berpengaruh terutama pada
interaksi molekul-molekul obatnya dengan molekul-molekul di otak.
4. Trudel (1963) mengemukakan molekul obat anestetika mengadakan
interaksi dengan membrana lipid meningkatkan keenceran (mengganggu
membran).
Banyak teori telah dikemukakan, tetapi belum ada keterangan yang
memuaskan bagaimana kerja obat anestetika. Obat anestetika yang masuk ke
pembuluh darah/sirkulasi kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama
terpengaruh oleh obat anestetika ialah jaringan yang kaya pembuluh darah
seperti otak, sehingga kesadaran menurun/hilang, serta hilangnya rasa sakit.
C. TANDA DAN STADIUM ANESTESI
Trias anestesi terdiri dari analgesia, hipnosis, dan arefleksia/relaksasi.
Tetapi tindakan anestesia tidak selalu mencakup ketiga komponen tersebut,
karena bergantung pada jenis pembedahan yang akan dilakukan. Komponen
anestesia yang ideal (trias anestesi) terdiri dari :
(1) Hipnotik, hipnotik didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran,
isofluran, sevofluran).
(2) Analgesia, analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID
tertentu.Sedangkan relaksasi otot didapatkan dari obat pelemas otot
(muscle relaxant).
(3) Relaksasi otot, relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya
tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan.
Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi
anestesi, agar tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita,
tetapi cukup adekuat untuk melakukan operasi. Kedalaman anestesi dinilai
berdasarkan tanda klinik yang didapat. Guedel membagi kedalaman anestesi
menjadi 4 stadium dengan melihat pernapasan, gerakan bola mata, tanda pada
pupil, tonus otot dan refleks pada penderita yang mendapat anestesi eter.
1. Stadium I

Disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai sejak


diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini operasi
kecil bisa dilakukan.
2. Stadium II
Disebut juga stadium delirium atau stadium eksitasi. Dimulai dari
hilangnya kesadaran sampai napas teratur. Dalam stadium ini penderita
bisa meronta ronta, pernapasan irregular, pupil melebar, refleks cahaya
positif gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi, tonus otot meninggi,
reflex fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-kadang
kencing atau defekasi. Stadium ini diakhiri dengan hilangnya refleks
menelan dan kelopak mata dan selanjutnya napas menjadi teratur. Stadium
ini membahayakan penderita, karena itu harus segera diakhiri. Keadaan ini
bisa dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat, persiapan
psikologi penderita dan induksi yang halus dan tepat. Keadaan emergency
delirium juga dapat terjadi pada fase pemulihan dari anestesi.
3. Stadium III
Disebut juga stadium operasi atau pembedahan. Dimulai dari napas teratur
sampai paralise otot napas. Dibagi menjadi 4 plane:
-

Plana I: Dari napas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.


Ditandai dengan napas teratur, napas torakal sama dengan abdominal.
Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+),
lakrimasi meningkat, reflex faring dan muntah menghilang, tonus otot
menurun.

Plana II: Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan


paralisa otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan teratur, volume
tidak menurun dan frekuensi napas meningkat, mulai terjadi depresi
napas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks
cahaya menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot makin
menurun.

Plana III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise


seluruh otot Interkostal. Ditandai dengan pernapasan abdominal lebih
4

dorninan dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil


makin melebar dan reflex cahaya menjadi hilang, lakrimasi negafif,
reflex laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun.
-

Plana IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise


diafragma. Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernapasan
lambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralise
diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil
melebar, refleks cahaya negatif refleks spincter ani negative.

4.

Stadium IV
Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut stadium
over dosis atau stadium paralisis. Ditandai dengan hilangnya semua
refleks, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan dikuti dengan
circulatory failure.

D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI UMUM


Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum antara lain:
1. Faktor respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam
paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial
tertentu. Kemudian zat anestesika akan berdifusi melalui membran
alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat difusi zat anestesika, sehingga
tekanan parsial dalam alveolus sama dengan tekanan parsial dalam arteri
pulmonaris. Hal- hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika
dalam alveolus adalah:
a. Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi
konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam
alveolus.
b. Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat
meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada
hipoventilasi.
Sesudah obat anestesi inhalasi sampai di alveoli, maka akan mencapai
tekanan parsial tertentu, makin tinggi konsentrasi zat yang dihirup maka
tekanan parsialnya semakin tinggi. Perbedaan tekanan parsial zat anestesi
5

dalam alveoli dan di dalam darah menyebabkan terjadinya difusi. Bila


tekanan di dalam alveoli lebih tinggi maka difusi terjadi dari alveoli ke
dalam sirkulasi dan sebaliknya difusi terjadi dari sirkulasi ke dalam alveoli
bila tekanan parsial di dalam alveoli lebih rendah (keadaan ini terjadi bila
pemberian obat anestesi dihentikan).
Makin tinggi perbedaan tekanan parsial makin cepat terjadinya difusi.
Proses difusi akan terganggu bila terdapat penghalang antara alveoli dan
sirkulasi darah misalnya pada udem paru dan fibrosis paru. Pada keadaan
ventilasi alveolus meningkat atau keadaan ventilasi yang menurun
misalnya pada depresi respirasi atau obstruksi respirasi.
2. Faktor sirkulasi
Faktor sirkulasi terdiri atas sirkulasi arterial dan sirkulasi vena. Aliran
darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru ke jaringan
dan sebaliknya. Pada gangguan pembuluh darah paru makin sedikit obat
yang dapat diangkut demikian juga pada keadaan cardiac output yang
menurun. Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat
anestesi dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan
keseimbangan. Bila kelarutan zat anestesi dalam darah tinggi/BG koefisien
tinggi maka obat yang berdifusi cepat larut di dalam darah, sebaliknya
obat dengan BG koefisien rendah, maka cepat terjadi keseimbangan antara
alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya penderita mudah tertidur waktu
induksi dan mudah bangun waktu anestesi diakhiri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi:
a. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus
dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap
jaringan dan sebagian kembali melalui vena. Semakin lama jaringan
tersebut menjadi jenuh, sehingga zat anestetika yang kembali ke paruparu dan vena lebih banyak. Akibatnya tekanan parsial dalam vena
semakin tinggi dan hal ini akan memengaruhi difusi zat anestetika
melalui membran alveolus
b. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika
dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam
keadaan seimbang. Bila zat anestetika mempunyai koefisien partisi
6

darah/gas rendah (kurang larut), konsentrasi alveolus akan meningkat


cepat tergantung ventilasi. Karena konsentrasi ini menentukan tekanan
zat anestetika dalam darah arteri, maka tekanan parsial dalam darah
pun naik dengan cepat, anestesia dapat cepat didalamkan dan zat
anestestika ini tergolong kuat (poten). Contoh N2O dan siklopropan.
Karena otak mendapat aliran yang banyak, maka tekanan parsial zat
anestetika dalam otak cepat naik sehingga pasien cepat kehilangan
kesadaran. Demikian pula waktu pulih sadar cepat. Makin tinggi nilai
koefisien partisi darah/gas makin lama diperlukan untuk mencapai
anestesia yang adekuat, masa pulihpun lebih lambat.
c. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak
aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang
diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi
lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
tingkat anestesia yang adekuat.
3. Faktor Jaringan
a. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan
jaringan
b. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat
anestesika, kecuali halotan
c. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
i. Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD): otak, jantung, hepar, ginjal.
Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan
parsial zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ
ini. Otak menerima 14% curah jantung.
ii. Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
iii. Lemak : jaringan lemak
iv. Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relatif tidak ada aliran
darah diantaranya ligament dan tendon.
Penggolongan ini penting untuk zat anestetika yang kurang dapat
larut, misalnya N2O yang mula-mula akan memasuki jaringan kaya
pembuluh darah terlebih dahulu dan keseimbangan dalam alveolus dan
jaringan sedikit pembuluh darah ini tercapai dalam 10 menit, setelah itu
masuk kelompok lain.
7

4. Faktor zat anestesi


Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk
mengukur potensi obat anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal
alveolar concentration). Menurut Merkel dan Eger (1963), MAC adalah
konsentrasi obat anestesi inhalasi minimal pada tekanan udara 1 atm yang
dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai respon rangsang sakit supra
maksimal pada 50% pasien. Makin rendah MAC makin tinggi potensi obat
anestesi tersebut.
5. Faktor Lain
a. Ventilasi : zat anestetika dengan koefisien partisi darah/gas rendah, efek
ventilasi minimal terhadap kecepatan pendalaman anestesi. Pada
koefisien partisi gas/darah tinggi, makin besar ventilasi makin cepat
meninggi tekanan parsial dalam alveolus dan darah ini mempercepat
dalam anestesia
b. Curah jantung : zat anestetika dengan koefisien partisi gas/darah
rendah, efek terhadap curah jantung minimal. Pada zat anestetika
dengan koefisien partisi darah/gas tinggi, makin tinggi curah jantung,
makin lambat induksi dan kedalaman anestesia demikian sebaliknya.
c. Suhu : makin turun suhu makin banyak larut dalam darah makin banyak
zat anestetika masuk ke dalam darah, sehingga makin cepat dalam
anestesia (Joeneoerham dan Latief, 2004).
E. INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI ANESTESI UMUM
Indikasi anestesi umum adalah:
1. Berpotensi gagal dalam mendapatkan kerja sama dengan pasien,
2.
3.
4.
5.
6.
7.

terutama pasien dengan kesulitan belajar.


Pasien memiliki fobia, terutama klaustrofobia berat.
Anak anak
Pembedahan lama
Pembedahannya luas atau ekstensif
Memiliki riwayat alergi terhadap anestesi lokal
Pasien yang memilih anestesi umum
Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi kordis

derajat III IV, AV blok derajat II total (tidak ada gelombang P).
Kontraindikasi relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110),
8

DM tak terkontrol, infeksi akut, sepsis, GNA. Tergantung pada efek


farmakologi pada organ yang mengalami kelainan. Pada pasien dengan
gangguan hepar, harus

dihindarkan pemakaian

obat yang

bersifat

hepatotoksik. Pada pasien dengan gangguan jantung, obat obatan yang


mendepresi miokard atau menurunkan aliran koroner harus dihindari atau
dosisnya diturunkan. Pasien dengan gangguan ginjal, obat obatan yang
diekskresikan melalui ginjal harus diperhatikan. Pada paru, hindarkan obat
yang memicu sekresi paru, sedangkan pada bagian endokrin hindari obat
yang meningkatkan kadar gula darah, obat yang merangsang susunan saraf
simpatis pada penyakit diabetes karena dapat menyebabkan peningkatan
kadar gula darah.
F. OBAT-OBATAN ANESTESI UMUM
1. Premedikasi
Obat-obatan yang biasa digunakan untuk premedikasi, yaitu:
a. Obat golongan antikolinergik
Atropin diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah,
antimual dan muntah, melemaskan tonus otot polos organ organ dan
menurunkan spasme gastrointestinal. Dosis 0,4 0,6 mg IM bekerja
setelah 10 15 menit.

b. Obat golongan hipnotik sedatif


Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital) diberikan untuk sedasi dan
mengurangi kekhawatiran sebelum operasi. Obat ini dapat diberikan
secara oral atau IM. Dosis dewasa 100 200 mg, pada bayi dan anak 35 mg/kgBB. Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak diperpanjang
dan efek depresannya yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi
serta jarang menyebabkan mual dan muntah.
c. Obat golongan analgetik narkotik
i. Morfin

Diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan menjelang


operasi.Dosis premedikasi dewasa 10 20 mg. Kerugian
penggunaan morfin ialah pulih pasca bedah lebih lama, penyempitan
bronkus pada pasien asma, mual dan muntah pasca bedah ada.
ii. Pethidin
Dosis premedikasi dewasa 25 100 mg IV. Diberikan untuk
menekan tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot polos.
Pethidin juga berguna mencegah dan mengobati menggigil pasca
bedah.
d. Obat golongan Transquilizer
Diazepam (Valium) merupakan golongan benzodiazepine. Pemberian
dosis rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik. Dosis
premedikasi dewasa 0,2 mg/kgBB IM.
2. Induksi
a. Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi
intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan,
lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan
antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi,
dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi
cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Obat-obat yang sering
digunakan:
i. Benzodiazepine
Bersifat hipnotik sedative, amnesia anterograd, atropine like effect,
pelemas otot ringan, dan cepat melewati barier plasenta. Obat ini
dikontraindikasikan

pada

porfiria

dan

kehamilan.

Dosis

benzodiazepine yakni Diazepam : induksi 0,2 0,6 mg/kg IV,


Midazolam : induksi : 0,15 0,45 mg/kg IV.
ii. Propofol

10

Merupakan salah satu anestetik intravena yang sangat penting.


Propofol dapat menghasilkan anestesi kecepatan yang sama dengan
pemberian barbiturat secara intravena, dan waktu pemulihan yang
lebih cepat. Dosis propofol yakni 2 2,5 mg/kg IV.
iii. Ketamin
Ketamin adalah suatu rapid acting nonbarbiturat general anaesthetic.
Indikasi pemakaian ketamin adalah prosedur dengan pengendalian
jalan napas yang sulit, prosedur diagnosis, tindakan ortopedi, pasien
resiko tinggi dan asma. Dosis pemakaian ketamin untuk bolus 1- 2
mg/kgBB dan pada pemberian IM 3 10 mg/kgBB.
iv. Thiopentine Sodium
Merupakan bubuk kuning yang bila akan digunakan dilarutkan
dalam air menjadi larutan 2,5% atau 5%. Indikasi pemberian
thiopental adalah induksi anestesi umum, operasi singkat, sedasi
anestesi regional, dan untuk mengatasi kejang. Keuntungannya
:induksi mudah, cepat, tidak ada iritasi mukosa jalan napas. Dosis 5
mg/kg IV, hamil 3 mg/kg IV.
b. Induksi Inhalasi
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi memiliki sifat:
1) Tidak berbau menyengat / merangsang
2) Baunya enak
3) Cepat membuat pasien tertidur
Obat-obat yang sering digunakan untuk induksi inhalasi antara lain:
1) N2O
Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak
berbau, tidak berasa dan lebih berat daripada udara. N2O biasanya
tersimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja,
tekanan penguapan pada suhu kamar 50 atmosfir. N2O mempunyai
efek analgesic yang baik, dengan inhalasi 20% N2O dalam oksigen
efeknya seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk
mendapatkan efek analgesic maksimum 35% .gas ini sering
digunakan pada partus yaitu diberikan 100% N 2O pada waktu
kontraksi uterus sehingga rasa sakit hilang tanpa mengurangi
kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu relaksasi untuk
mencegah terjadinya hipoksia. Anestetik tunggal N2O digunakan
11

secara intermiten untuk mendapatkan analgesic pada saat proses


persalinan dan Pencabutan gigi. H2O digunakan secara umum untuk
anestetik umum, dalam kombinasi dengan zat lain.
2) Halotan
Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah
terbakar dan tidak mudah meledak meskipun dicampur dengan
oksigen.Halotan bereaksi dengan perak, tembaga, baja, magnesium,
aluminium, brom, karet dan plastic.Karet larut dalam halotan,
sedangkan nikel, titanium dan polietilen tidak sehingga pemberian
obat ini harus dengan alat khusus yang disebut fluotec. Efek
analgesik halotan lemah tetapi relaksasi otot yang ditimbulkannya
baik. Dengan kadar yang aman waktu 10 menit untuk induksi
sehingga mempercepat digunakan kadar tinggi (3-4 volume %).
Kadar minimal untuk anestesi adalah 0,76% volume.
3) Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Secara
kimiawi mirip dengan efluran, tetapi secara farmakologi berbeda.
Isofluran berbau tajam sehingga membatasi kadar obat dalam udara
yang dihisap oleh penderita karena penderita menahan napas dan
batuk. Setelah pemberian medikasi preanestetik stadium induksi
dapat dilalui dengan lancer dan sedikit eksitasi bila diberikan
bersama N2O dan O2. Isofluran merelaksasi otot sehingga baik untuk
intubasi. Kemungkinan timbul aritmia amat kecil sebab isofluran
tidak menyebabkan sensitisasi jantung terhadap ketokolamin.
Peningkatan frekuensi nadi dan takikardiadihilangkan dengan
pemberian propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil narkotik (8-10 mg
morfin atau 0,1 mg fentanil), sesudah hipoksia atau hipertemia
diatasi terlebih dulu. Penurunan volume semenit dapat diatasi
dengan mengatur dosis. Pada anestesi yang dalam dengan isofluran
tidak terjadi perangsangan SSP seperti pada pemberian enfluran.
Isofluran meningkatkan aliran darah otak pada kadar labih dari 1,1

12

MAC (Minimal Alveolar Concentration) dan meningkatkan tekanan


intrakranial.
4) Sevofluran
Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling
disukai untuk induksi inhalasi.
5) Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi
napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas
sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
6) Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat disbanding halotan dan enfluran lebih
iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat
disbanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek
relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan
3. Maintenance
Rumatan anestesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara
intravena (anestesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan
campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesia biasanya mengacu pada
trias anestesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia
cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri
dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis
tinggi, fentanil 10-50 mikrogram/kgbb. Dosis tinggi opioid menyebabkan
pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan
relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan
opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12
mg/kgbb/jam. Bedah lama dengan anestesia total intravena menggunakan
opioid, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru
digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.
G. TEKNIK-TEKNIK ANESTESI UMUM
a. Teknik anestesi napas spontan dengan sungkup muka
Indikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka
rongga perut, keadaan umum pasien cukup baik, lambung harus kosong.

13

Selesai dilakukan induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata
hilang, sungkup muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan
atau sedikit ditarik kebelakang (posisi kepala ekstensi) agar jalan napas
bebas dan pernapasan lancer. N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2
L/menit untuk memperdalam anestesi, bersamaan dengan ini halotan
dibuka sampai 1% dan sedikit demi sedikit dinaikkan dengan 1% sampai 3
atau 4 % tergantung reaksi dan besar tubuh penderita. Kedalaman anestesi
dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata menetap), nadi tidak cepat, dan
terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah. Kalau stadium anesthesia
sudah cukup dalam, rahang sudah lemas, masukan pipa orofaring (guedel).
Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1,5% tergantung respon terhadap
rangsang operasi. Halotan dikurangi dan dihentikan beberapa menit
sebelum operasi selesai. Selesai operasi, N2O dihentikan dan penderita
diberi O2 100% beberapa menit untuk mencegah hipoksi difusi (Latief dkk,
2009).
b. Teknik anestesi napas spontan dengan pipa endotrakea
Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan napas bebas
pada anestesi dengan sungkup muka. Setelah induksi, dapat dilakukan
intubasi. Balon pipa endotrakea dikembangkan sampai tidak ada
kebocoran pada waktu melakukan napas buatan dengan balon napas.
Harus yakin bahwa pipa endotrakea ada di dalam trakea dan tidak masuk
terlalu dalam yaitu di salah satu bronkus atau di esofagus. Pipa endotrakea
di fiksasi, lalu pasang guedel di mulut supaya pipa endotrakea tidak
tergigit. Lalu mata ditutup dengan plester supaya tidak terbuka dan kornea
tidak menjadi kering. Lalu pipa endotrakea dihubungkan dengan konektor
pada sirkuit napas alat anestesi (Latief dkk, 2009).
c. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan napas kendali
Teknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas. Napas
dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila menggunakan
respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan + 10 ml/kgBB dengan
frekuensi 10/14 per menit. Apabila napas dikendalikan secara manual,
harus diperhatikan pergerakan dada kanan dan kiri yang simetris.
14

Menjelang akhir operasi setelah menjahit lapisan otot selesai diusahakan


napas spontan dengan membantu usaha napas sendiri secara manual.
Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit terjahit. N 2O
dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit. Ekstubasi dapat dilakukan
setelah napas spontan normal kembali dengan volume tidal 300 ml. O 2
diberi terus 5-6 L selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi (Latief
dkk, 2009).
d. Ekstubasi
Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak
disertai batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan napas,
hipoksia sianosis (Latief dkk, 2009).
e. Pasca Bedah
Pasien harus diobservasi terus (pernapasan, tekanan darah dan nadi)
sesudah opersais dan anestesi selelsai sewaktu masih di kamar bedah dan
kamar pulih. Bila pasien gelisah harus diteliti apakah karena kesakitan atau
karena hipoksia (tekananan darah menuruh, nadi cepat) misalnya karena
hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan). Bila
kesakitan harus segera diberi analgetik seperti petidin 15-25 mg intravena,
tetapi kalau gelisah karena hipoksia harus diobati sebabnya, misalnya
dengan menambah cairan elektrolit (ringer laktat), koloid (dekstran) atau
darah. Oksigen selalu diberikan sebelum pasien sadar betul. Pasien
hendaknya jangan dikirim ke ruangan sebelum sadar, tenang, reflek jalan
napas sudah aktif, tekanan darah dan nadi dalam batas-batas normal.
H. PROSEDUR ANESTESI UMUM
1. Persiapan pra anestesi umum
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif
maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan
anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi.
Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari
sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih
singkat (Latief dkk, 2009).
Tujuan kunjungan pra anestesi:

15

a. Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan


melakukan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik,

laboratorium,

dan

pemeriksaan penunjang lainnya.


b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
keadaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang
mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin.
c. Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik,
dalam hal ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of
Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien secara umum.
2. Persiapan pasien
a. Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau
melalui keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat
mengadakan pendekatan psikologis serta berkenalan dengan pasien.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis:
1) Identifikasi pasien, misal: nama, umur, alamat, pekerjaan.
2) Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin
dapat menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi,
diabetes mellitus, penyakit paru-paru kronik (asma bronchial,
pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark
miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan
penyakit ginjal.
3) Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya
kortikosteroid, obat antihipertensi, obat-obat antidiabetik, antibiotika
golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti digitalis,
diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor,
bronkodilator.
4) Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu,
berapa kali, dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami
komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif
pasca bedah.
5) Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi
jalannya anestesi seperti: merokok dan alkohol.
16

b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi,
tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting untuk diketahui
apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek
dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan
rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh
dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua
sistem organ tubuh pasien (Latief dkk, 2009).
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan
lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4
gradasi (Latief dkk, 2009):
Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior orofaring, pilar
tonsil
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula
Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
Mallampati 4 : Palatum durum saja
Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya
diperkirakan mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.

17

Gambar 1.(a) Klasifikasi Malampati, dan (b) Laringoskopi berdasarkan


Klasifikasi Cormack dan Lehane

c. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang
mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat
untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit,
masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien
di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks.
Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang
harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik
anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus, induksi
18

tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia.


Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan
dengan teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat
kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan perencanaan
anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu
pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.
d. Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi
cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
e. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama

pada

pasien-pasien

yang

menjalani

anesthesia.

Untuk

meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk


operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien
dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan
untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1
jam sebelum induksi anesthesia.
f. Klasifikasi status fisik
Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (The American
Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien
ke dalam 6 kelompok atau kategori sebagai berikut (Latief dkk, 2009):
1)ASA I:
Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik,
biokimia.
2)ASA II

Pasien dengan penyakit sistemik

ringan atau sedang.


3)ASA III
:
Pasien dengan penyakit sistemik
berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.

19

4)ASA IV
berat

:
tak

Pasien dengan penyakit sistemik


dapat

melakukan

aktivitas

rutin

dan

penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap


saat.
5)ASA V

Pasien sekarat yang diperkirakan

dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan


lebih dari 24 jam.
6)ASA VI
:
Pasien penyakit bedah yang telah
dinyatakan mati otaknya yang mana organnya akan
diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ donor
bagi yang membutuhkan
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito)
dengan mencantumkan tanda darurat (E=emergency), misalnya ASA I E
atau II E.
g. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan
bangun dari anesthesia diantaranya (Latief dkk, 2009):
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan
2. Memperlancar induksi anesthesia
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik
5. Mengurangi mual muntah pasca bedah
6. Menciptakan amnesia
7. Mengurangi isi cairan lambung
8. Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada
situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat
membangun kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda
kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam
sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat
diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan
pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat
diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin 600
20

mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg
atau ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz) (Latief dkk, 2009).
3. Persiapan peralatan anestesi
Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan
anestesi yang baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih
berarti berfungsi, sesuai dengan tujuan kita member anesthesia yang lancar
dan aman (Latief dkk, 2009).
a. Mesin anestesi
Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau
campuran gas anestetik yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang
kemudian dihisap oleh pasien dan membuang sisa campuran gas dari
pasien. Rangkaian mesin anestesi sangat banyak ragamnya, mulai dari
yang sangat sederhana sampai yang diatur oleh computer. Mesin yang
aman dan ideal ialah mesin yang memenuhi persyaratan berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat


Ruang rugi (dead space) minimal
Mengeluarkan CO2 dengan efisien
Bertekanan rendah
Kelembaban terjaga dengan baik
Penggunaannya sangat mudah dan aman

Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari:


1. Sumber O2, N2O, dan udara tekan.
Dapat tersedia secara individual menjadi satu kesatuan mesin
anestetik atau dari sentral melalui pipa-pipa. Rumah sakit besar
biasanya menyediakan O2, N2O, dan udara tekan secara sentral
untuk disalurkan ke kamar bedah sentral, kamar bedah rawat jalan,
ruang obstetrik, dll.
2. Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)
Berfungsi untuk mengetahui tekanan gas pasok. Kalau tekanan gas
O2 berkurang, maka akan ada bunyi tanda bahaya (alarm)
3. Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve)
21

Berfungsi untuk menurunkan tekanan gas pasok yang masih tinggi,


sesuai karakteristik mesin anestesi.
4. Meter aliran gas (flowmeter)
Untuk mengatur aliran gas setiap menitnya.
5. Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers)
Dapat tersedia satu, dua, tiga, sampai empat.
6. Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)
7. Kendali O2 darurat (oxygen flush control)
Berfungsi untuk keadaan darurat yang dapat mengalirkan O2 murni
sampai 35-37 liter/menit tanpa melalui meter aliran gas.

Tabung gas beserta alat tambahannya dan penguap diberi warna


khusus untuk menghindari kecelakaan yang mungkin timbul. Kode
warna internasional yang telah disepakati ialah:
Tabel 1. Kode Warna Internasional
Oksige

N2

n
Putih

O
Biru

Udara

CO2

Halota

Enflura

Isoflura

Desflura

Sevoflura

Putih-

Abu

n
Merah

n
Jingga

n
Ungu

n
Biru

n
kuning

hitam

-abu

kunin
g

b. Sirkuit anestesi
Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi
ialah alat yang bukan saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan
oksigen dari mesin ke jalan napas atas pasien, tetapi juga harus sanggup
membuang CO2 dengan mendorongnya dengan aliran gas segar atau
dengan menghisapnya dengan kapur soda.
Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:
1. Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea
2. Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring
valve, pop-off valve, APL, adjustable pressure limiting valve)
22

3. Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube)


Bahan karet hitam (karbon) atau plastic transparent anti static, anti
tertekuk
4. Kantong cadang (reservoir bag)
5. Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet).
Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan
gas yang mendadak tinggi, katup membatasi tekanan sampai 50 cm
H2O. Sirkuit anestesi yang popular sampai saat ini ialah sirkuit lingkar
(circle system), sirkuit Magill, sirkuit Bain, dan sistem pipa T atau pipa
Y dari Ayre.

c. Sungkup muka
Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen
atau gas anestesi ke pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan
sungkup trasparan berguna untuk obervasi kelembapan udara yang
diekshalasi dan mengetahui jika pasien muntah. Sungkup karet hitam
dapat digunakan untuk mengadaptasi struktur muka yang tidak biasa.
Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara dan
jalan napas yang baik. Teknik sungkup muka yang salah dapat berakibat
deflasi yang berkelanjutan pada reservoir bag saat katup tekanan
ditutup, biasanya mengindikasikan adanya kebocoran di sekitar
sungkup. Sebaliknya pembentukan tekanan pernapasan yang tinggi
dengan gerakan dada minimal dan suara pernapasan menandakan
obstruksi jalan napas.
Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah pada
badan sungkup dilakukan dengan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari
tengah dan manis memegang mandibula untuk membantu ekstensi
sendi atlantooksipital. Jari kelingking diletakkan di bawah sudut rahang
dan digunakan untuk menahan dagu ke depan, maneuver paling penting
untuk ventilasi pasien.
d. Endotracheal tube (ETT)
23

ETT dapat digunakan

untuk memberikan gas anestesi secara

langsung ke trakea dan memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol.


Bentuk dan kekerasan ETT dapat diubah dengan stilet. Resistensi
terhadap aliran udara tergantung pada diameter tabung, tetapi juga
dipengaruhi oleh panjang tabung dan kurvatura.
Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa diameter
internal 7-7.5 mm dengan panjang 24 cm. pada pria dewasa diameter
internal 7.5-9 mm dengan panjang 24cm.

e. Sungkup laring (Laringeal mask airway = LMA)


LMA digunakan untuk menggantikan sungkup muka atau ETT
saat pemberian anestesi, untuk membantu ventilasi dan jalur untuk ETT
pada pasien dengan jalan napas sulit dan membantu ventilasi saat
bronkoskopi.
Pemakaian LMA memerlukan anestesi lebih kuat dibandingkan
dengan insersi jalan napas oral. Kontraindikasi LMA pada pasien
dengan patologi faring seperti abses, obstruksi faring, perut penuh
seperti hamil atau komplians paru rensah seperti penyaki jalan napas
restriktif.
4. Induksi Anestesi
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesi langsung
dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan pembedahan
selesai.
Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan
dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan

24

gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan
induksi anestesi, sebaiknya diingat kata STATICS:
S : Scope
Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop
untuk membuka mulut dan membuat area mulut lebih luas serta melihat
daerah faring dan laring, mengidentifikasi epiglotis, pita suara dan trakea.
Laringoskop pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien.
Lampu harus cukup terang. Ada dua jenis laringoskop, yaitu:
a. Blade lengkung (Macintosh). Biasa digunakan pada laringoskopi
dewasa. Paling sering digunakan untuk tindakan intubasi karena kurang
traumatis dan lapangan pandangan luas serta kemungkinan timbul
refleks vagal berkurang.
b. Blade lurus (Miller, Magill). Biasa digunakan oleh ahli THT pada
waktu laringoskopi, trakeoskopi, bronkoskopi.
T : Tubes
Pipa trakea. Endotracheal tube mengantarkan gas anastetik langsung
ke dalam trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan
usia > 5 tahun dengan balon (cuffed). Laryngeal mask airway (LMA).
Indikasi pemasangan LMA ialah sebagai alternatif dari ventilasi face mask
atau intubasi ET. Kontraindikasi pemasangan LMA pada pasien-pasien
dengan resiko aspirasi isi lambung dan pasien-pasien yang membutuhkan
dukungan ventilasi mekanik jangka panjang. LMA terdiri dari 2 macam :
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas.
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan
pipa tambahan dengan ujung distal yang berhubungan dengan
esophagus

25

Gambar 2. Laryngeal Mask Airway (LMA)


A : Airway
Pipa mulut-faring (Guedel,oropharygeal airway) dan pipa hidungfaring (naso-pharyngeal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien
tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
a. Alat bantu jalan napas orofaring (oropharyngeal airway)
Alat bantu jalan napas orofaring menahan pangkal lidah dari dinding
belakang faring. Alat ini berguna pada pasien yang masih bernapas
spontan, alat ini juga membantu saat dilakukan pengisapan lendir dan
mencegah pasien mengigit pipa endotrakheal (ETT)
(a)

(a)

(b)

Gambar 3. (a) Oral pharyngeal airway dan (b) Nasopharyngeal airway


b. Alat bantu napas nasofaring (nasopharyngeal airway)
Digunakan pada pasien yang menolak menggunakan alat bantu jalan
napas orofaring atau apabila secara tehnis tidak mungkin memasang alat
bantu jalan napas orofaring (misalnya trismus, rahang mengatup kuat dan
cedera berat daerah mulut).
c. Sungkup muka (face mask) berguna untuk mengantarkan udara/gas
anastesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke jalan napas pasien.
T : Tape
26

Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut


I : Introducer
Stilet

(mandren)

digunakah

untuk

mengatur

kelengkungan

pipa

endotrakeal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forseps intubasi (Mcgill)
digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakeal nasal atau pipa
nasogastrik melalui orofaring.
C : Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
S : Suction
Penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya
Induksi anestesi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,
intramuskular, atau rektal.
a. Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi
sudah terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi
intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan,
lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan
antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi,
dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi
cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan
kepekatan 2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena
menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula digunakan dosis rendah dan
dewasa muda sehat dosis tinggi.
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1%
menggunakan dosis 2-3 mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering
menyebabkan nyeri, sehingga satu menit sebelumnya sering diberikan
lidokain 1 mg/kgBB secara intravena.
Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca
anestesi dengan ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu
sebelumnya dianjurkan menggunakan sedativa seperti midasolam
(dormikum). Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan

27

darah tinggi (tekanan darah > 160 mmHg). Ketamin menyebabkan


pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.
b. Induksi intramuskular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur.

c. Induksi inhalasi
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau
sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum
terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut disuntik.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O
dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran
N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol%
sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi
halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi
sampai konsentrasi yang diperlukan. Induksi dengan sevofluran lebih
disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun langsung diberikan
dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. seperti dengan halotan
konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan. Induksi dengan enfluran
(etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang dilakukan, karena
pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
d. Induksi per rektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam. Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu
mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.
5. Rumatan anestesi (maintenance)
Rumatan

anestesi

dapat

dikerjakan

dengan

secara

intravena

(anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran


intravena inhalasi. Rumatan anestesi biasanya mengacu pada trias anestesi
yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup,

28

diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan


relaksasi otot lurik yang cukup (Latief dkk, 2009).
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis
tinggi, fentanil 10-50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien
tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis
biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam.
Bedah lama dengan anestesi total intravena menggunakan opioid,
pelumpuh otot, dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan
inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4
vol%, atau sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas
spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan (controlled) (Latief dkk,
2009).
I. POST ANESTESI UMUM
Setelah melewati prosedur pembedahan, pasien dirawat di Post
Anesthesia Care Unit (PACU), dan dinilai tingkat pulih-sadarnya untuk
kriteria pemindahan ke ruang perawatan biasa berdasarkan skor Aldrete. Jika
skor Aldrete 9 atau 10 maka pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan
biasa (Eulianto dkk, 2011).
Tabel 2. Skor Aldrete
Sedangkan pada anak digunakan skor Steward untuk menentukan
dipindahkannya pasien dari PACU ke ruang perawatan biasa. Jika skor
Steward lebih dari 5, maka pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan
biasa.
Tabel 3. Skor Steward
Pergerakan

gerak bertujuan

gerak tak bertujuan

29

Pernafasan

Kesadaran

tidak bergerak
batuk, menangis

0
2

Pertahankan jalan nafas

perlu bantuan
Menangis

0
2

Bereaksi

terhadap

rangsangan

1
0

Tidak bereaksi

J. KOMPLIKASI ANESTESI UMUM


1. Komplikasi Anestesi Umum :
a. Selama Induksi :
1)

Suntikan keluar dari vena. Cara mengatasinya yaitu dengan

2)

menghentikan suntikan dan cari vena lain.


Batuk dan laring spasme. Cara mengatasinya yaitu dengan
menghentikan narkose, beri O2 sampai sianosis hilang dan respirasi

3)

rate normal kembali.


Sumbatan jalan napas. Bunyi snoring dapat diatasi dengan menarik

dagu pasien ke depan dan ke belakang.


4) Muntah. Cara mengatasinya yaitu dengan memposisi kepala pasien
menjadi miring, meja dalam posisi Trendelenberg.
b. Selama narkose dan operasi
1)

Gangguan Airway (tanda sianosis): depresi pernapasan,


sumbatan jalan napas, pangkal lidah yang jatuh ke belakang,
kelainan di dalam faring, laring spasme, bronchospasme.Tanda-tanda
lain : kulit panas, merah + berkeringat, TD meningkat, takikardi, RR
cepat dan dalam, perdarahan yang difus dari luka operasi
30

2)

Komplikasi sistem kardiovaskular


a. Perubahan tekanan darah (hipotensi dan hipertensi)
b. Perubahan irama denyut jantung (takikardi,bradikardi,aritmia)

3)

Komplikasi saluran pencernaan : muntah, regurgitasi,


distensi

4)

Komplikasi

lain

kornea

mata

luka

karena

masker/kap/duk operasi; kelumpuhan ekstremitas; gigi rontok, mulut


dan bibir luka; kulit terbakar karena pemakaian diatermi dan retensi
urin.

31

BAB III
KESIMPULAN
Anastesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesia
yang ideal (trias anestesi) terdiri dari hipnotik, analgesia, dan relaksasi otot.
Sebelum dilakukan anestesi, perlu dilakukan persiapan pre-anestesi, yaitu
persiapan mental dan fisik pasien yang terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, selain itu juga perencanaan anastesia, merencanakan
prognosis, serta persiapan pada hari operasi.
Cara pemberian anestesi umum dapat berupa parenteral yaiu melalui
intramuscular atau intravena, per rektal, dan melalui inhalasi. Teknik anestesi ada
bermacam-macam yaitu teknik anestesi spontan dengan sungkup muka, teknik
anestesi spontan dengan pipa endotrakel, serta teknik anestesi pipa endotrakeal
dan napas kendali.

32

DAFTAR PUSTAKA
American Society of Anesthesiologists (ASA), ASA Physical Status Classification
System, diakses dari www.asahq.org pada tanggal 9 Mei 2015.
Dachlan R. Farmakologi Obat-Obat Anestesia Inhalasi. Dalam: Muhiman, M.,
Latief, S.A., Basuki, G., Anestesiologi, 2004, Jakarta: CV. Infomedika.
Eulianto, TY, dkk, 2011, Essential Anesthesia: From Science to Practice, Second
Edition, Cambridge: Cambridge University Press.
Joenoerham J., Latief SA. Anestesia Umum. Dalam: Muhiman, M., Latief, S.A.,
Basuki, G., Anestesiologi, 2004, Jakarta: CV. Infomedika.
Latief, S.A., Suryadi, K.A., 2009, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Mahadevan, SV, dan Garmel, GM, 2005, An Introduction to Clinical Emergency
Medicine, Cambridge: Cambridge University Press.
Muhiman M, Latief SA, Basuki G.

2004, Anestesiologi. Jakarta: Bagian

Anestesiologi dan terapi Intensif FKUI.


Satoto, D., Thaib M.R. Obat Anestetika Intravena. Dalam: Muhiman, M., Latief,
S.A., Basuki, G., Anestesiologi, 2004, Jakarta: CV. Infomedika.

33

Anda mungkin juga menyukai