Namun, terdapat beberapa perbedaan mendasar pada rancangan-rancangan Instruksi Presiden tersebut. Dampak
Instruksi Presiden yang akan ditetapkan akan bergantung pada beberapa hal penting berikut, yaitu:
Tujuan Apakah peraturan ini dapat menjelaskan tujuan penghentian sementara pemberian izin baru untuk
memperbaiki proses perencanaan penggunaan lahan dan pemberian izin baru di masa yang akan datang?
Definisi Apakah istilah dan terminologi yang digunakan cukup jelas dan konsisten dengan pencapaian tujuan
yang ada? Beberapa istilah yang belum didefinisikan dengan baik termasuk: konversi, hutan alam, hutan primer,
hutan sekunder, dan lahan gambut.
Data Apakah data dan peta yang digunakan atau yang akan dibuat untuk menentukan daerah yang termasuk
dalam moratorium ini akurat dan sesuai? Data yang sesuai akan tergantung pada definisi yang ditentukan.
Namun setidaknya data yang dimasukkan mencakup penutupan lahan, fungsi kawasan hutan, penggunaan
lahan, status legalnya, dan persoalan-persoalan mengenai kepemilikan lahan.
Izin Kejelasan tentang izin mana yang termasuk dan tidak termasuk dalam moratorium ini. Hal tersebut
menentukan peluang-peluang bisnis dan pembangunan yang dimiliki oleh perusahaan, komunitas, dan
pemerintah daerah (masing-masing dengan keuntungan dan kerugian ekonomi, lingkungan, dan sosial yang
berbeda).
Lembaga dan Institusi Lembaga/Institusi/Kementerian mana yang akan diberikan wewenang untuk
mengimplementasikan moratorium ini? Institusi/Kementerian mana yang akan membuat peta-peta yang
berhubungan dengan moratorium ini? Apabila terdapat pengecualian terhadap izin yang sudah dikeluarkan dan
yang dinilai legal, perlu ada definisi yang baik atau proses yang jelas untuk mengkaji ulang legalitas izin
tersebut.
Proses Proses apa saja yang akan digarap untuk mengkaji ulang legalitas izin, kerjasama dan koordinasi dengan
berbagai lembaga pemerintah, meningkatkan transparansi dan partisipasi, membuat peta dan data spasial
publik, dan menyelesaikan konflik lahan?
Di Indonesia, Kawasan Hutan adalah sebuah status hukum lahan di mana yang mempunyai wewenang untuk menunjukkan dan
mengukuhkan kawasan tersebut adalah Kementerian Kehutanan (proses ini kurang melihat apabila lahan tersebut ditutupi pohon
atau hutan). Terdapat lahan yang dimasukkan dalam APL atau daerah bukan kawasan hutan meskipun terdapat tutupan pohon dan
lahan gambut di daerah tersebut.
2
Kementerian Kehutanan dengan menggunakan gambar Landsat 7 ETM+ tahun 2005/2006 (217 gambar). Diinterpretasikan 2007 dan
dipublikasikan 2008.
3
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2009. Reducing carbon emissions from Indonesias peat lands. Table 1:
Land Use allocation (conservation, protection or development) and land cover in Indonesias peat land by main island with peat in
2006. Data provided is for Sumatra, Kalimantan, and Papua only. These three regions contain the majority of peat in Indonesia.
4
Kementerian Kehutanan dengan menggunakan gambar Landsat 7ETM+ tahun 2005/2006 (217 gambar). Diinterpretasikan 2007 dan
dipublikasikan 2008.
Karena tidak ada satupun rancangan Inpres yang menjelaskan definisi tersebut
ataupun petunjuk mengenai peta atau data yang akan digunakan oleh
pemerintah untuk menjalankan moratorium ini, maka tidak jelas berapa
banyak dan tipe hutan apa yang akan terkena dampak. Pemerintah Indonesia
memperkirakan moratorium ini dapat diberlakukan pada 64 juta hektar area di
Indonesia, meskipun kemungkinan prediksi ini termasuk daerah berhutan yang
sudah dilindungi.
Sebuah faktor penting yang tidak mendapat banyak sorotoan media adalah
izin mana yang akan dimasukkan dalam moratorium ini. Karena moratorium ini
Lahan gambut yang bekas terbakar, Kalimantan hanya merupakan penghentian sementara konversi hutan, daerah yang akan
Tengah. Kredit Foto: Yayasan Puter
terkena dampak bukan semua daerah hutan alam dan lahan gambut,
melainkan daerah hutan alam dan lahan gambut yang tidak dilindungi oleh
peraturan tertentu dan belum ada izin atas daerah tersebut.
Semua rancangan Inpres membuat pengecualian atas izin yang masih berlaku. Hal ini konsisten dengan isi kesepakatan
Indonesia-Norwegia. Beberapa draft menyebutkan izin-izin tertentu seperti izin pemanfaatan kayu, izin perkebunan, dan
izin pertambangan, sementara terdapat draft lainnya yang menyebutkan izin baru yang hanya berhubungan dengan
konversi hutan saja. Tidak satupun draft yang membahas persoalan hutan masyarakat atau hak-hak masyarakat lainnya.
Tidak ada draft yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan izin legal atau mengacu pada sebuah proses yang dapat
digunakan untuk mengkaji tingkat legalitas suatu izin. Prosedur bagaimana caranya untuk mencabut izin yang dinilai
melanggar hukum, sebagaimana dilakukan baru-baru ini oleh Menteri Kehutanan, tidak dimasukkan pula dalam draftdraft yang ada. Ketidakjelasan tentang izin ditambah dengan kurangnya data publik yang akurat tentang status hutan
dan lokasi izin yang telah diterbitkan oleh lembaga-lembaga pemerintah di berbagai tingkat (pusat, propinsi, dan
kabupaten) membuat analisa kuantitatif pada rancangan Inpres sangat sulit dilakukan. Namun, daerah-daerah yang
masuk dalam moratorium ini benar-benar berkurang ketika data publik mengenai izin yang masih berlaku dimasukkan.
Apa kegiatan utama yang perlu dilakukan ketika moratorium dua tahun ini keluar?
Kesuksesan moratorium ini tidak hanya bergantung pada isi dari Instruksi Presiden yang ditandatangani, tapi juga pada
apa yang akan dicapai oleh pemerintah Indonesia dengan partisipasi dari industri dan lembaga swadaya masyarakat
dalam dua tahun ke depan. Supaya Indonesia dapat mencapai target ambisiusnya untuk melakukan pembangunan
ekonomi dengan beremisi karbon rendah, pemerintah dapat memanfaatkan moratorium dua tahun ini untuk mulai
melaksanakan kegiatan-kegiatan berikut ini:
Memproduksi data spasial dan peta-peta yang lengkap, akurat, dan yang diperbarui secara teratur mengenai
tutupan lahan dan tipe hutan, penggunaan lahan, status lahan, dan hak-hak atas tanah termasuk informasi tentang
lokasi izin yang telah diberikan yang dapat dengan mudah diakses publik melalui internet.
Merevisi perencanaan penggunaan lahan (zoning) sehingga hutan alam dan lahan gambut yang sesuai
diklasifikasikan untuk konservasi atau dengan tata pengelolaan yang berkesinambungan. Lahan terdegredasi juga
harus diidentifikasikan sehingga dapat digunakan untuk kegiatan perkebunan atau penggunaan lainnya melalui
proses yang menggunakan praktek-praktek terbaik dalam kegiatan perencanaan tata ruang secara partisipatif.
Mengembangkan proses yang transparan dan partisipatif untuk mengkaji ulang, mencabut, menerbitkan kembali
izin-izin yang ilegal atau yang dilihat tidak sesuai untuk pembangunan, dan menggunakan praktek-praktek terbaik
untuk berhubungan dengan instansi-instansi yang berkepentingan termasuk terjaminnya pemberian informasi
kepada masyarakat setempat secara bebas, sebelum terjadinya konversi lahan (prinsip FPIC).
Instruksi Presiden yang jelas dan benar-benar dipikirkan secara matang akan menghasilkan moratorium efektif yang
menghentikan sementara pemberian izin baru konversi hutan dapat membantu Indonesia menarik nafas sejenak
untuk membuat perubahan kebijakan fundamental dan memastikan tidak terjadinya skenario business as usualbisnis
seperti biasa pada akhir dua tahun tersebut. Apabila dilakukan secara efektif, moratorium ini akan membuat
keuntungan jangka panjang bagi hutan dan industri di Indonesia.