Anda di halaman 1dari 4

Moratorium Indonesia:

Kesempatan bagi Hutan dan Industri


Oleh: Beth Gingold, Moray McLeish, Kemen Austin, Rauf Prasodjo --- April 22, 2011

Sebuah moratorium yang akan menghentikan pengeluaran izin baru konversi


hutan selama dua tahun sedang ditunggu-tunggu. Kebijakan ini dapat memperbaiki
tata kelola hutan dan penggunaan lahan di Indonesia.
Pada pertengahan 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diperkirakan akan
menandatangani sebuah Instruksi Presiden (Inpres) yang menghentikan
sementara pengeluaran izin-izin baru untuk konversi hutan alam dan lahan
gambut. Rencana pembuatan moratorium ini diumumkan bulan Mei 2010 dan
merupakan bagian dari kesepakatan kerjasama antara Indonesia dan Norwegia
senilai 1 milyar dolar Amerika, untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan (juga dikenal dengan sebutan REDD+).
Sebuah moratorium yang efektif dapat memberikan waktu bagi pemerintah
Indonesia tentu saja dengan dukungan dari sektor industri dan lembaga
Danau Sentarum, Kalimantan Barat. Kredit
swadaya masyarakat untuk memperbaiki perencanaan penggunaan lahan dan
foto: Moray McLeish, WRI.
proses mengeluarkan izin baru baik di kawasan hutan maupun areal
penggunaan lain (APL), menciptakan sistem informasi yang memadai, serta membangun lembaga-lembaga yang dapat
mendukung target Indonesia yang pro-growth dan pro-green. Target yang dinilai cukup ambisius ini termasuk
mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 26 persen dan
meningkatkan produksi kelapa sawit sebanyak dua kali lipat pada
tahun 2020.
Apa yang dimaksud dengan konversi?
Moratorium ini harus dipikirkan secara matang. Instruksi Presiden
tersebut harus jelas dan konsisten dengan rencana pembangunan
Indonesia. Berbagai instansi pemerintahan perlu mendukung dan
bekerja sama supaya peraturan ini berjalan dengan efisien. Penundaan
penandatangan selama beberapa bulan ini telah memberikan waktu
bagi pemerintah untuk mempertimbangkan kekhawatiran sektor
industri dan merundingkan jalur tengah atas beberapa rancangan
Inpres yang diserahkan oleh berbagai kementerian dan mengandung
penafsiran berbeda tentang bagaimana moratorium ini akan
dijalankan. Kebijakan yang dibuat akan sangat mempengaruhi
kehidupan masyarakat setempat dan kelestarian hutan.
Berikut adalah kajian dari beberapa rancangan Inpres yang dapat
diakses publik. Analisa ini mengidentifikasikan elemen-elemen penting
dari Inpres yang akan ditetapkan dan merekomendasikan langkahlangkah yang perlu dilakukan dalam moratorium dua tahun ini, supaya
menghasilkan manfaat yang berkelanjutan bagi hutan Indonesia,
masyarakat setempat dan dunia usaha yang bergantung pada sektor
ini.

1 The World Resources Institute www.wri.org

Izin yang akan dimasukkan ke dalam


moratorium sangat bergantung pada
penafsiran dan definisi konversi. Konversi
telah diartikan dalam beberapa konteks
sebagai perubahan fisik suatu tutupan lahan
(misalnya dari daerah berhutan menjadi
daerah tidak berhutan), untuk menandai
adanya perubahan dalam penggunaan lahan
(seperti dari hutan menjadi perkebunan),
atau untuk mengubah status legal suatu
kawasan (seperti dari Kawasan Hutan
menjadi Areal Penggunaan Lain APL).
Menurut definisi internasional, penebangan
kayu atau logging tidak dianggap
deforestasi apabila tidak diikuti dengan
perubahan penggunaan lahan jangka
panjang.

Apa yang bisa dicapai oleh moratorium yang efektif?


Moratorium yang efektif dapat memperbaiki proses pemberian izin dan
perencanaan penggunaan lahan yang mendukung target pembangunan ekonomi
nasional dan menghormati hak-hak masyarakat setempat. Diharapkan efek
moratorium ini bisa dirasakan lebih dari dua tahun.
Persepsi salah yang sering disebut dalam media adalah moratorium ini dibuat
untuk menghentikan semua penebangan hutan di Indonesia dan menghambat
ekspansi industri-industri seperti industri kelapa sawit, HTI, dan tambang.
Namun, menurut isi dari kesepakatan Indonesia-Norwegia, moratorium ini adalah
suspensi atas pemberian izin baru konversi hutan alam dan lahan gambut.
Pencabutan izin-izin yang sudah dikeluarkan banyak di antaranya yang mungkin
ilegal sepertinya berada di luar rancangan moratorium ini. Selain itu, karena
moratorium hanya diberlakukan pada izin baru konversi hutan alam dan lahan
gambut, kemungkinan besar peraturan ini tidak mencakup izin penebangan
pohon selektif (selective logging permits) atau izin perkebunan kelapa sawit di
daerah APL.
Jangka waktu dua tahun, di mana tidak ada izin baru konversi hutan, memberi
kesempatan bagi pemerintah Indonesia untuk mulai menjalankan kebijakan
REDD+, seperti memperbaiki perencanaan penggunaan lahan, mengkaji dan
mencabut izin ilegal, mendorong ekspansi perkebunan kelapa sawit yang
berkesinambungan di lahan terdegredasi, dan mengembangkan insentif untuk
melakukan landswap untuk pembangunan antara daerah berhutan dengan
lahan yang tingkat karbonnya rendah.

Apa elemen-elemen utama dalam rancangan Instruksi


Presiden?
Setidaknya tiga rancangan Inpres dapat diakses publik sejak bulan Februari 2011.
Draft-draft tersebut telah diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono oleh beberapa lembaga pemerintah.
Semua draft mengandung hal-hal berikut:

Penghentian pengeluaran izin baru konversi hutan selama dua tahun.


Instruksi kepada lembaga-lembaga pemerintah terkait untuk
menghentikan pemberian izin baru yang berhubungan dengan konversi
hutan alam dan lahan gambut.
Pengecualian atas peraturan ini terhadap izin legal dan kegiatan yang
dinilai menyangkut kepentingan nasional (seperti di bidang energi).
Sebuah peta yang menjadi panduan pelaksanaan moratorium yang dapat
di-update secara teratur. Perlu dicatat bahwa peta ini belum ada
sehingga tidak dapat dianalisa.

Keadaan saat ini


tentang lahan dan
pengalokasian izin
Proses yang dilakukan selama ini
dalam pengalokasian konsesi lahan
dapat dinilai kurang efektif dan adil.
Pemberian izin dilihat tidak konsisten
dengan target pembangunan
Indonesia. Sebagai contoh:
Di banyak daerah, lahan yang
tidak berhutan berstatus hutan
atau berada dalam Kawasan
Hutan sehingga tidak dapat
digunakan untuk ekspansi
pertanian dan perkebunan.
Sementara itu, banyak lahan
berhutan tapi secara hukum
berada di daerah yang
diklasifikasikan sebagai Areal
Penggunaan Lain (APL) dan
secara legal dapat dikonversi.
Menurut Gabungan Pengusaha
Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)
setengah dari semua konsesi
yang diterbitkan tidak dapat
digunakan karena lahan tersebut
tidak sesuai untuk dijadikan
perkebunan kelapa sawit atau
ditempati oleh warga yang sering
kali menyatakan lahan tersebut
milik mereka.
Banyak laporan terjadinya konflik
sosial di Hutan Tanaman Industri
(HTI) dan perkebunan kelapa
sawit ketika adanya ekspansi
industri-industri ini dimana hak
masyarakat setempat sering tidak
dihormati.
Izin-izin sering tumpang-tindih
dan dikeluarkan di daerah hutan
dengan nilai konservasi tinggi
(HCV) dan daerah hutan yang
sebenarnya dilindungi secara
hukum.

2 The World Resources Institute www.wri.org

Namun, terdapat beberapa perbedaan mendasar pada rancangan-rancangan Instruksi Presiden tersebut. Dampak
Instruksi Presiden yang akan ditetapkan akan bergantung pada beberapa hal penting berikut, yaitu:

Tujuan Apakah peraturan ini dapat menjelaskan tujuan penghentian sementara pemberian izin baru untuk
memperbaiki proses perencanaan penggunaan lahan dan pemberian izin baru di masa yang akan datang?
Definisi Apakah istilah dan terminologi yang digunakan cukup jelas dan konsisten dengan pencapaian tujuan
yang ada? Beberapa istilah yang belum didefinisikan dengan baik termasuk: konversi, hutan alam, hutan primer,
hutan sekunder, dan lahan gambut.
Data Apakah data dan peta yang digunakan atau yang akan dibuat untuk menentukan daerah yang termasuk
dalam moratorium ini akurat dan sesuai? Data yang sesuai akan tergantung pada definisi yang ditentukan.
Namun setidaknya data yang dimasukkan mencakup penutupan lahan, fungsi kawasan hutan, penggunaan
lahan, status legalnya, dan persoalan-persoalan mengenai kepemilikan lahan.
Izin Kejelasan tentang izin mana yang termasuk dan tidak termasuk dalam moratorium ini. Hal tersebut
menentukan peluang-peluang bisnis dan pembangunan yang dimiliki oleh perusahaan, komunitas, dan
pemerintah daerah (masing-masing dengan keuntungan dan kerugian ekonomi, lingkungan, dan sosial yang
berbeda).
Lembaga dan Institusi Lembaga/Institusi/Kementerian mana yang akan diberikan wewenang untuk
mengimplementasikan moratorium ini? Institusi/Kementerian mana yang akan membuat peta-peta yang
berhubungan dengan moratorium ini? Apabila terdapat pengecualian terhadap izin yang sudah dikeluarkan dan
yang dinilai legal, perlu ada definisi yang baik atau proses yang jelas untuk mengkaji ulang legalitas izin
tersebut.
Proses Proses apa saja yang akan digarap untuk mengkaji ulang legalitas izin, kerjasama dan koordinasi dengan
berbagai lembaga pemerintah, meningkatkan transparansi dan partisipasi, membuat peta dan data spasial
publik, dan menyelesaikan konflik lahan?

Apakah arti dari perbedaan beberapa rancangan Instruksi Presiden?


Beberapa laporan media menggambarkan kebingungan mengenai tujuan, isi, dan implikasi beberapa rancangan Inpres.
Sebagian besar debat publik mengenai pilihan-pilihan yang ada terpusat pada berapa banyak dan tipe hutan yang akan
terkena dampak dalam moratorium ini. Pertanyaan-pertanyaan yang beredar termasuk: Apakah moratorium ini akan
berlaku pada hutan sekunder atau hutan terdegredasi, dan lahan gambut dangkal (gambut dengan kedalaman kurang
dari tiga meter)? Apakah daerah berhutan di luar kawasan hutan akan dimasukkan dalam moratorium ini?1
Hal-hal ini mempunyai pengaruh yang signifikan bagi hutan, manusia, dan perubahan iklim. Menurut statistik yang
dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan:

58 persen hutan (58 juta hektar) di Indonesia adalah hutan sekunder.2


80 persen lahan gambut (17 juta hektar) di Sumatera, Kalimantan, dan Papua adalah lahan gambut dangkal.3
8 persen daerah dengan tutupan hutan di Indonesia (8 juta hektar) berada diluar Kawasan Hutan.4

Di Indonesia, Kawasan Hutan adalah sebuah status hukum lahan di mana yang mempunyai wewenang untuk menunjukkan dan
mengukuhkan kawasan tersebut adalah Kementerian Kehutanan (proses ini kurang melihat apabila lahan tersebut ditutupi pohon
atau hutan). Terdapat lahan yang dimasukkan dalam APL atau daerah bukan kawasan hutan meskipun terdapat tutupan pohon dan
lahan gambut di daerah tersebut.
2
Kementerian Kehutanan dengan menggunakan gambar Landsat 7 ETM+ tahun 2005/2006 (217 gambar). Diinterpretasikan 2007 dan
dipublikasikan 2008.
3
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2009. Reducing carbon emissions from Indonesias peat lands. Table 1:
Land Use allocation (conservation, protection or development) and land cover in Indonesias peat land by main island with peat in
2006. Data provided is for Sumatra, Kalimantan, and Papua only. These three regions contain the majority of peat in Indonesia.
4
Kementerian Kehutanan dengan menggunakan gambar Landsat 7ETM+ tahun 2005/2006 (217 gambar). Diinterpretasikan 2007 dan
dipublikasikan 2008.

3 The World Resources Institute www.wri.org

Karena tidak ada satupun rancangan Inpres yang menjelaskan definisi tersebut
ataupun petunjuk mengenai peta atau data yang akan digunakan oleh
pemerintah untuk menjalankan moratorium ini, maka tidak jelas berapa
banyak dan tipe hutan apa yang akan terkena dampak. Pemerintah Indonesia
memperkirakan moratorium ini dapat diberlakukan pada 64 juta hektar area di
Indonesia, meskipun kemungkinan prediksi ini termasuk daerah berhutan yang
sudah dilindungi.
Sebuah faktor penting yang tidak mendapat banyak sorotoan media adalah
izin mana yang akan dimasukkan dalam moratorium ini. Karena moratorium ini
Lahan gambut yang bekas terbakar, Kalimantan hanya merupakan penghentian sementara konversi hutan, daerah yang akan
Tengah. Kredit Foto: Yayasan Puter
terkena dampak bukan semua daerah hutan alam dan lahan gambut,
melainkan daerah hutan alam dan lahan gambut yang tidak dilindungi oleh
peraturan tertentu dan belum ada izin atas daerah tersebut.
Semua rancangan Inpres membuat pengecualian atas izin yang masih berlaku. Hal ini konsisten dengan isi kesepakatan
Indonesia-Norwegia. Beberapa draft menyebutkan izin-izin tertentu seperti izin pemanfaatan kayu, izin perkebunan, dan
izin pertambangan, sementara terdapat draft lainnya yang menyebutkan izin baru yang hanya berhubungan dengan
konversi hutan saja. Tidak satupun draft yang membahas persoalan hutan masyarakat atau hak-hak masyarakat lainnya.
Tidak ada draft yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan izin legal atau mengacu pada sebuah proses yang dapat
digunakan untuk mengkaji tingkat legalitas suatu izin. Prosedur bagaimana caranya untuk mencabut izin yang dinilai
melanggar hukum, sebagaimana dilakukan baru-baru ini oleh Menteri Kehutanan, tidak dimasukkan pula dalam draftdraft yang ada. Ketidakjelasan tentang izin ditambah dengan kurangnya data publik yang akurat tentang status hutan
dan lokasi izin yang telah diterbitkan oleh lembaga-lembaga pemerintah di berbagai tingkat (pusat, propinsi, dan
kabupaten) membuat analisa kuantitatif pada rancangan Inpres sangat sulit dilakukan. Namun, daerah-daerah yang
masuk dalam moratorium ini benar-benar berkurang ketika data publik mengenai izin yang masih berlaku dimasukkan.

Apa kegiatan utama yang perlu dilakukan ketika moratorium dua tahun ini keluar?
Kesuksesan moratorium ini tidak hanya bergantung pada isi dari Instruksi Presiden yang ditandatangani, tapi juga pada
apa yang akan dicapai oleh pemerintah Indonesia dengan partisipasi dari industri dan lembaga swadaya masyarakat
dalam dua tahun ke depan. Supaya Indonesia dapat mencapai target ambisiusnya untuk melakukan pembangunan
ekonomi dengan beremisi karbon rendah, pemerintah dapat memanfaatkan moratorium dua tahun ini untuk mulai
melaksanakan kegiatan-kegiatan berikut ini:

Memproduksi data spasial dan peta-peta yang lengkap, akurat, dan yang diperbarui secara teratur mengenai
tutupan lahan dan tipe hutan, penggunaan lahan, status lahan, dan hak-hak atas tanah termasuk informasi tentang
lokasi izin yang telah diberikan yang dapat dengan mudah diakses publik melalui internet.
Merevisi perencanaan penggunaan lahan (zoning) sehingga hutan alam dan lahan gambut yang sesuai
diklasifikasikan untuk konservasi atau dengan tata pengelolaan yang berkesinambungan. Lahan terdegredasi juga
harus diidentifikasikan sehingga dapat digunakan untuk kegiatan perkebunan atau penggunaan lainnya melalui
proses yang menggunakan praktek-praktek terbaik dalam kegiatan perencanaan tata ruang secara partisipatif.
Mengembangkan proses yang transparan dan partisipatif untuk mengkaji ulang, mencabut, menerbitkan kembali
izin-izin yang ilegal atau yang dilihat tidak sesuai untuk pembangunan, dan menggunakan praktek-praktek terbaik
untuk berhubungan dengan instansi-instansi yang berkepentingan termasuk terjaminnya pemberian informasi
kepada masyarakat setempat secara bebas, sebelum terjadinya konversi lahan (prinsip FPIC).

Instruksi Presiden yang jelas dan benar-benar dipikirkan secara matang akan menghasilkan moratorium efektif yang
menghentikan sementara pemberian izin baru konversi hutan dapat membantu Indonesia menarik nafas sejenak
untuk membuat perubahan kebijakan fundamental dan memastikan tidak terjadinya skenario business as usualbisnis
seperti biasa pada akhir dua tahun tersebut. Apabila dilakukan secara efektif, moratorium ini akan membuat
keuntungan jangka panjang bagi hutan dan industri di Indonesia.

4 The World Resources Institute www.wri.org

Anda mungkin juga menyukai