Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, menyebutkan Cagar
Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku
kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah,
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya
pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan
nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Anonim, 2010).
Upaya pelindungan terhadap Cagar Budaya diperlukan dalam rangka mencegah
dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan, diantaranya
dengan cara penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran Cagar
Budaya. Menurut pasal 53 ayat (4) Undang Undang no 11 tahun 2010 tentang cagar
Budaya, pelestarian Cagar Budaya harus didukung oleh kegiatan pendokumentasian
sebelum dilakukan kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan
keasliannya (Anonim, 2010). Candi Gebang merupakan Candi Hindu yang ditemukan
pada tahun 1936 dan diperkirakan dibangun pada sekitar abad ke-8 M. Sebuah Yoni
berada di ruang candi, dan sebelah barat Candi Gebang terdapat arca Ganesha, dimana
Candi Gebang menghadap ke timur.
Salah satu kegiatan dokumentasi Cagar Budaya dapat dilakukan dengan
menggunakan fotogrametri jarak dekat, merupakan lingkup fotogrametri diluar
pemetaan yang menggunakan foto sebagai sarana pengukuran. Prinsip pengukuran
metode ini adalah pengukuran antar titik (tie point) pada posisi yang sama dari
sepasang foto stereo yang terorientasi sehingga menghasilkan model tiga dimensi
(3D). Proses dilakukan dengan cepat karena data yang diperoleh menggunakan sarana
foto yang diproses secara digital. Hasil dari metode ini memiliki kualitas yang baik
dan akurat karena menggunakan kamera resolusi tinggi dan pencocokan antar titik
yang mencapai sub-pixel, (Aulejtner, 2011). Seiring perkembangan teknologi

komputer dan digital, metode ini menjadi semakin cepat, efektif, dan fleksibel,
dibanding teknologi sejenis untuk dokumentasi lainnya (TLS, Imaging TS, dll), dan
metode ini jauh lebih murah (Alby, 2009). Model tiga dimensi (3D) yang dihasilkan
oleh sepasang foto dua dimensi (2D) secara tumpang tindih bisa digunakan untuk
membuat dokumentasi Cagar Budaya tersebut secara cepat, murah, dan teliti.
Berdasarkan uraian mengenai kondisi dan kenyataan yang telah diuraikan
tersebut, bisa diketahui bahwa Candi Gebang perlu untuk didokumentasikan sebagai
warisan Cagar Budaya yang tak ternilai harganya, dan menjadi salah satu dari sekian
banyak situs Cagar Budaya di Indonesia terancam kelestarianya dan perubahan
keaslianya. Dokumentasi secara piktorial (gambar, foto, dan video) diperlukan dengan
baik, dan periodik, serta fotogrametri jarak dekat menawarkan solusi yang murah,
cepat, dan teliti, sehingga fotogrametri jarak dekat diharapkan dapat mendukung solusi
penanganan yang tepat dan ideal.
I.2. Lingkup Kegiatan
1. Lokasi proyek adalah Candi Gebang terletak di Dusun Gebang, Desa Wedomartani,
Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta.
2. Kamera yang digunakan adalah Canon 5D Mark II dengan lensa 50mm f1.4.
3. Data Ground Control Point (GCP) diukur dengan menggunakan sistem koordinat
lokal yang diperoleh dari alat Total Station Reflectorless.
4. Kalibrasi kamera dilakukan menggunakan software PhotoModeler Scanner.
5. Pengolahan data fotogrametri dalam pembentukan model 3D Candi Gebang
menggunakan software PhotoModeler Scanner.
6. Dokumentasi hanya berupa model tiga dimensi Candi Gebang.
I.3. Tujuan
Tujuan dari pekerjaan ini adalah melakukan pemodelan tiga dimensi (3D) yang
digunakan untuk pendokumentasian Candi Gebang, dengan patung Ganesha sebagai
karakteristik Candi Gebang, dimana nilai resolusi spasial yang dihasilkan adalah
kurang dari 5mm.

I.4. Manfaat
Manfaat dari kegiatan aplikatif ini adalah dapat mengetahui metode pembuatan
model tiga dimensi (3D) dan tingkat ketelitiannya. Secara umum hasil pemodelan tiga
dimensi (3D) dapat dimanfaatkan sebagai dasar dokumentasi untuk berbagai keperluan
Cagar Budaya.
Hasil kegiatan aplikatif ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi
bagi penelitian-penelitian selanjutnya, dengan menerapkan metode fotogrametri jarak
dekat menggunakan kamera non metrik di berbagai keperluan pemodelan tiga dimensi
(3D), terutama pada penelitian yang memfokuskan pada perbandingan ketelitian.
I.5. Landasan Teori
I.5.1. Cagar Budaya
Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pasal 5, mengenai
kriteria Cagar Budaya, yaitu benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai
Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila
memenuhi kriteria, (Anonim, 2010):
1. Berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih.
2. Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun.
3. Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan.
4. Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Pelindungan terhadap Cagar Budaya dilakukan untuk menghindari terjadinya
perubahan keasliannya, sehingga pentingnya kegiatan pendokumentasian Cagar
Budaya merupakan upaya perekaman dan pencatatan dalam rangka pelestarian Cagar
Budaya. Dokumentasi piktorial adalah dokumen hasil perekaman data tentang obyek
dan kondisi terkait dengan obyek yang meliputi, pembuatan sketsa, gambar, denah,
peta, foto dan rekaman video, sehingga kamera sebagai salah satu alat dalam kegiatan
pendokumentasian. (Anonim, 2013)

I.5.2. Kamera.
Kamera adalah alat perekam yang dapat menyajikan informasi dan menghasilkan
foto yang dari suatu obyek. Salah satu jenis kamera yang menghasilkan kualitas foto
yang baik yaitu kamera Digital Single Lens Reflex (DSLR), adalah refleksi lensa
tunggal yang digunakan pada kamera digital dalam perekaman obyek. Sensor gambar
dan jendela bidik adalah tempat yang dituju berkas cahaya, sehingga memungkinkan
pengguna kamera untuk merekeam obyek sesuai apa yang dilihat pada jendela bidik.
Seluruh kamera Digital Single Lens Reflex (DSLR) pada umumnya memiliki
mekanisme yang sama, pada saat perekaman berkas cahaya (Anonim,2013).

Gambar.I.1. Kamera Digital Single Lens Reflex (DSLR) (Anonim, 2013)


Mekanisme pangambilan gambar pada kamera Digital Single Lens Reflex
(DSLR) pada umumnya tiap kamera Digital Single Lens Reflex (DSLR) sama. Cahaya
yang masuk melewati lensa (1) selanjutnya cahaya akan dipantulkan oleh cermin
refleksi (2) yang dipasang pada posisi kemiringan 45 derajat dan cahaya diproyeksikan
ke layar fokus (3). Cahaya dipantulkan di dalam penta prisma (4), sehingga gambar
obyek dapat dilihat oleh mata manusia melalui jendela bidik (5). Ketika pengambilan
obyek maka cermin refleksi (2) akan melipat/naik ke arah panah, sehingga cahaya dari
lensa (1) langsung menuju ke arah dan membuka rana (6) , kemudian cahaya akan
direkam oleh sensor gambar digital (7) dan hasil rekaman diteruskan ke prosesor
kemudian gambar disimpan di media penyimpanan.

I.5.2.1. Sensor kamera. Ada 2 jenis sensor pada kamera dengan berbasis CCD (Charge
Coupled Device) atau CMOS (complementary metal oxide semi-conductor). Perbedaan
antara CCD dan CMOS adalah pada bahan yang digunakan dan transportasi informasi
elektro-magnetik. CMOS memiliki konsumsi daya yang lebih kecil, high dynamic
range (frekuensi gambar yang tinggi), kisaran dinamis tinggi dan noise yang lebih
rendah. Unsur-unsur sensor kamera meliputi, (Aulejtner, 2011) :
1. Resolusi spasial. Resolusi spasial kamera adalah sebuah pixel yang memiliki
ukuran (size). Ground Sampling Distance (GSD) adalah foto yang memiliki ukuran
piksel pada waktu perekaman, (Soetaat, 2011).
GSD = Angka skala foto X Resolusi spasial.......(I.1)
Angka skala foto = panjang fokus (f) / jarak pemotretan (H).(I.2)
Resolusi spasial = ukuran sensor / resolusi..(I.3)

2. Resolusi warna. Resolusi warna adalah tingkat kepekaan warna-warna dari gelap
ke terang, dengan paling gelap (hitam) memiliki nilai 0 dan paling terang (putih)
memiliki nilai 255, (Soetaat, 2011).
I.5.2.2. Field of view (sudut kamera). Kamera dengan sudut field of view yang besarnya
di bedakan menjadi, (Soetaat 2011):
a. Normal angel jika besar sudutnya sampai dengan 75
b. Wide angel jika besar sudutnya dari 75 sampai dengan 100
c. Super wide angel jika besar sudutnya lebih besar dari 100
Besar sudut dapat ditentukan dengan cara mengetahui ukuran sensor dan panjang
fokus kamera, sehingga di rumuskan sebagai berikut, (Soetaat 2011) :
Field of view = sudut suatu kamera A
A dihitung dari :
A = 2 arc Tan (d/2f)..........(I.4)
Keterangan :
d : diameter sensor,
f : panjang fokus kamera

I.5.2.3. Eksposur. Eksposur adalah jumlah cahaya yang diterima oleh sensor yang
ditentukan oleh seberapa luas membuka diafragma lensa (aperture) dan seberapa lama
penyimpanan cahaya pada sensor ditentukan oleh rana (shutterspeed). Hasil foto yang
kekurangan sinar lebih sering disebut under eksposur dan sebaliknya pada foto yang
kelebihan sinar sering di sebut over eksposur. Hal ini di pengaruhi oleh pengaturan
diameter diafragma (aperture), pengaturan kecepatan pengambilan gambar
(shutterspeed), dan sensivitas tingkat kecerahan (ISO), sehingga persamaan (I.6) untuk
mengetahui diameter lubang diafragma, (Soetaat 2011).
Diameter lubang diafragma :
F-stop = f/d ....(I.6)
Luas lubang diafragma :
Luas lubang diafragma = ( . d2 ) / 4 ...(I.7)
Keterangan :
d : f / f-stop
d : diameter lubang
f : panjang fokus kamera
I.5.2.4. Kalibrasi Kamera. Fungsi kalibrasi kamera dalam fotogrametri jarak dekat
adalah menentukan parameter-parameter geometrik lensa dan mengevaluasi baik
kinerja maupun stabilitas antara lensa dan kamera. PhotoModeler Scanner memiliki
program kalibrasi built-in yang sederhana untuk memproses dan menyimpan Interior
Orientation Parameters (IOPs).
Proses kalibrasi pada umumnya dilakukan dengan memotret sejumlah target,
kemudian hasil pemotretan dihitung posisi dari target tersebut. Pada kamera non
metrik perlu dikalibrasi, sehingga memperoleh parameter-parameter sebagai berikut,
(Alan Walford, 2013) :
1. Focal Length (panjang fokus)
2. W, H (ukuran sensor)
3. xp , yp (koordinat titik utama)
4. K1 , K2 , K3 (parameter distorsi radial)
5. P1 , P2 (parameter distorsi de-centering).

I.5.3. Fotogrametri Jarak Dekat


Fotogrametri jarak dekat merupakan fotogramerti non pemetaan. Hal yang
membedakan pada konsep fotogrametri jarak dekat dengan fotogrametri pada
umumnya adalah obyeknya. Kualitas obyek pada foto ditentukan dari kemampuan
kamera yang digunakan. Prinsip dasar dari proses fotogrametri jarak dekat adalah
adalah model tiga dimensi (3D) diperoleh dari pengukuran tumpang tindih antar foto
dengan sudut pandang yang berbeda dan pengukuran dari orientasi kamera. Kalibrasi
pada kamera non metrik dapat di selesaikan dengan bantuan komputerisasi sehingga
mengetahui parameter kamera dan lokasi kamera, yang nantinya mendapatkan nilai
dari hasil pengukuran orientasi kamera (interior orientation , eksterior orientation,
absolut orientation, dan bundle adjustment), (Aulejtner, 2011).
Model tiga dimensi (3D) dibentuk dari point clouds yang dihasilkan oleh foto
stereo secara otomatis, di proses secara komputerisasi. Pembuatan point clouds
terkadang tidak sesuai , sehingga perlunya pemilihan data point clouds yang sesuai
dengan kerapatan yang diinginkan dan keaslian bentuk obyek.

Gambar.I.2. Prinsip fotogrametri dari pengukuran 3D, (Luhmann et al, 2006)


Pengukuran titik tiga dimensi (3D) dengan obyek (P) diperoleh dari sepasang
kamera dengan pusat proyeksi (O,O) yang menghasilkan proyeksi (P), sehingga
dapat mengetahui posisi arah sumbu kamera (c), jarak antara sepasang kamera (b), dan
jarak antara sepasang kamera (h) terhadap obyek saat pemotretan dilakukan.

I.5.3.1. Sistem koordinat piksel. Foto dari hasil pemotretan memiliki ukuran resolusi
piksel yang dibagi menjadi kotak kotak. Kotak-kotak (grid) piksel dimulai dari pojok
kiri atas. Nomor baris di mulai dari paling atas dan semakin membesar kearah bawah,
sedangkan untuk nomor kolom di mulai dari kiri atas dan semakin membesar kearah
kanan (Gambar 1.3). Penempatan nilai koordinat baris pada sisi kiri dan kolom pada
sisi kanan, (Soetaat,2011).

(1,1)

(1,2)

(1,3)

(2,1)

(2,2)

(2,3)

(3,1)

(3,2)

(3,3)

Kolom
Piksel baris ke 2 dan kolom ke 3

Baris
Gambar 1.3. Sistem koordinat piksel (Soetaat,2011).
I.5.3.2. Sistem koordinat foto. Sistem koordinat foto adalah foto dari kamera nonmetrik maupun kamera metrik dengan sistem kartesi 3D, yang di mulai dari piksel
yang berada di bagian tengah foto, dan mempunyai unit metrik (mm). Sumbu x positif
ke arah kanan, sedangkan sumbu y positif kearah atas (tegak lurus terhadap sumbu x),
dan sumbu z menggunakan sistem tangan kanan, (Soetaat, 2011).
I.5.3.3. Sistem koordinat obyek. Sistem koordinat Cartesian, dikenal sebagai sistem
koordinat dunia, atau global. Sistem ini digunakan untuk semua foto-foto yang
didefinisikan oleh titik referensi pada obyek, sehingga semua foto-foto yang
direferensikan menjadi sebuah sistem koordinat yang digunakan, (Aulejtner, 2011).

I.5.3.4. Orientasi dalam (interior orientation). Tujuan dari orientasi dalam adalah
membuat kembali atau merekonstruksi arah-arah sinar dengan bentuk geometri sinarsinar yang diproyeksikan sama dengan geometri foto aslinya, (Suharsana, 1999).
I.5.3.5. Orientasi luar (exterior orientation).Orientasi luar adalah orientasi kamera
dalam ruang, terdiri enam parameter yang menggambarkan posisi sistem koordinat
kamera (Gambar I.4). Orientasi luar digunakan pada fotogrametri jarak dekat,. Enam
parameter dalam sumbu koordinat (X, Y, Z) orientasi luar adalah sebagai berikut,
(Aulejtner, 2011) :
1. Xo, Yo, Zo (koordinat saat pemotretan)
2. , , (rotasi sudut )

Gambar.I.4. Orientasi luar. (Luhmann et al, 2006)


Orientasi luar digunakan untuk menentukan posisi (X, Y, Z) dan rotasi (, , )
dari sebuah kamera pada saat pemotretan dilakukan. Posisi dan rotasi kamera tersebut
di hitung dari persamaan kolinier yang telah dilakukan digitasi terhadap foto (paling
tidak pada 3 buah titik kontrol) yang tidak segaris. Model matematik yang
menghubungkan sistem koordinat kamera (x,y) dengan orientasi kamera dikenal
sebagai persamaan garis (berkas) sinar atau persamaan kolinier pada persamaan (I.14)
dan (I.15), (Soetaat, 2011).

10

I.5.3.6. Bundle adjustment. Menghubungan secara langsung sistem koordinat foto ke


sistem koordinat peta merupakan prinsip dari bundle adjustment (Gambar.I.5), dimana
tahap orientasi absolut dan orientasi relatif tidak dilakukan, (Harintaka, 2008).

Gambar I.5. Hubungan antara sistem koordinat foto dan sistem koordinat peta.
(Harintaka, 2008)
Persamaan kolinier adalah inti dari fotogrametri jarak dekat, sehingga mendasari
perhitungan bundle adjustment. Koordinat obyek di dapat dari persamaan kolinier dari
yang berasal dari koordinat foto. Sehingga persamaan kolinier sebagai berikut,
(Soetaat, 2011) :

Y
Z

XO

X
=

. R.

y
-f
-f

YO
ZO

....(I.8)

11

Keterangan :
X,Y,Z
x,y
f

Xo , Yo , Zo
R

R=

: Sistim koordinat obyek (model)


: Sistem koordinat foto (piksel)
: Panjang fokus kamera
: Skala foto
: Koordinat saat pemotretan
: Matriks rotasi 3D

r11

r12

r13

r21

r22

r23

r31

r32

r33

..(I.9)

Keterangan :
r11
r12
r13
r21
r22
r23
r31
r32
r33

: cos . cos
: sin . sin . cos + cos . sin
: - cos . sin . cos + sin . sin
: - cos . sin
: - sin . sin . sin + cos . cos
: cos . sin . sin + sin . cos
: sin
: - sin . cos
: cos . cos
Matrik R adalah orthogonal, sehingga R T = R-1. Bila -1 = s , maka persamaan

(I.8) menjadi, (Soetaat, 2011) :

X XO

x
y
-f

= s . RT.

Y YO
Z ZO
.(I.10)

12

Atau :
x

s [ r11 ( X - XO ) + r21 ( Y - YO ) + r31 ( Z - ZO ) ] (I.11)

s [ r12 ( X - XO ) + r22 ( Y - YO ) + r32 ( Z - ZO ) ] (I.12)

-f

s [ r13 ( X - XO ) + r23 ( Y - YO ) + r33 ( Z - ZO ) ].... (I.13)

Apabila persamaan (I.11) dibangi dengan persamaan (I.13), sehingga diperoleh


persamaan (I.14) dan persamaan (I.12) dibangi dengan persamaan (I.13), sehingga
diperoleh persamaan (I.15) adalah persamaan kolinier, (Soetaat, 2011) :

xf

r11( X XO) r 21(Y YO) r 31( Z ZO)


...(I.14)
r13( X XO) r 23(Y YO) r 33( Z ZO)

yf

r12( Z XO) r 22( Z YO) r 32( Z ZO)


...(I.15)
r13( Z XO) r 23( Z YO) r 33( Z ZO)

I.5.3.7. Pengambil foto. Foto yang diambil harus dengan tumpang tindih. Posisi
kamera berpindah sepanjang obyek dalam pengambilan foto, dan membuat foto-foto
yang diambil merupakan sepasang foto stereo, sehingga posisi kamera tidak pada
posisi yang sama dan mengambil foto dengan berputar di satu lokasi. Tumpang tindih
antara posisi kamera yang untuk model 360 derajat (Gambar I.6), sebaliknya
pengambil foto dengan posisi sejajar terhadap obyek (Gambar I.7). Foto-foto harus
diambil dari posisi yang dekat satu sama lain, dan pada sudut rendah, (Alan Walford,
2013).

Gambar.I.6. Pemotretan obyek 360 derajat, (Alan Walford, 2013).

13

Gambar.I.7. Pemotretan sejajar terhadap obyek (Alan Walford, 2013).


I.5.3.8. Base to height ratio. Base to height (b/h) ratio adalah istilah yang digunakan
dalam fotogrametri. Hal ini didefinisikan sebagai rasio pemisaha atau perbandingan
antara jarak sepasang kamera dan jarak dari kamera ke permukaan, (Gambar I.8).
Rasio terbaik yang sesuai software PhotoModeler Scanner sekitar 0,3 , tetapi ada
beberapa toleransi, dimana rasio lebih kecil (paling kecil 0.2 ) atau lebih besar juga
dapat bekerja (paling besar 1.0) . Base adalah jarak antara kamera dengan kamera
lainya, sedangkan height adalah jarak dari kamera ke permukaan. (Alan Walford,
2013).

Gambar.I.8. Perbandingan jarak antara sepasang kamera dan jarak antara kamera
terhadap obyek. (Anonim,2013)

14

I.5.4 Distribusi Titik kontrol dan Titik Ikat.


Ground Control Point (GCP) atau titik kontrol adalah titik lokasi yang diketahui
atau diidentifikasi dalam ruang nyata (di tanah), dan Ground Control Point (GCP)
digunakan untuk verifikasi posisi fitur peta. Ground Control Point (GCP) berfungsi
sebagai titik sekutu antara sistem koordinat peta dan sistem koordinat foto.
Independent Check Point (ICP) atau titik cek adalah sebagai kontrol kualitas dari
obyek dengan cara membandingkan koordinat model dengan koorsinat sebenarnya.
Ground Control Point (GCP) dan Independent Check Point (ICP) pada umumnya
dibuat menyebar dipinggiran foto dan diadakan sengan dua cara, yaitu (Harintaka,
2008) :
1. Pre-marking adalah mengadakan titik target sebelum pemotretan dilaksanakan.
2. Post-marking adalah mengidentifikasi obyek yang terdapat pada foto, kemudian
ditentukan koordinat petanya.
Tie point atau titik ikat adalah titik sekutu yang merupakan titik sekutu antar foto
yang saling bertampalan. Tie point selalu dibuat dengan cara post-marking, yaitu
menidentifikasi obyek yang sama pada daerah foto yang bertampalan.
Akurasi dan presisi adalah faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan
Ground Control Point (GCP) yang berkualitas. Perbendaan antara akurasi dan presisi
pada Gambar I.9.

Gambar I.9. Akurasi dan presisi (Sedorovich, 2010)


Pada Gambar I.9 adalah menjelaskan perbedaan antara akurasi dan presisi.
Gambar I.9.a adalah ketepatan akurasi dan presisi yang baik, dimana posisi titik-titik
yang berkelompok pada target. Gambar I.9.b adalah presisi yang baik dan kurang
akurasi, dimana pengelompokan masih tepat tetapi tidak akurat karena posisi titik-titik

15

tidak berpusat pada target. Gambar I.9.c menunjukkan ketidaktepatan pada akurasi dan
presisi, dimana titik-titik tidak berkelompok dan tidak berpusat pada target.
Keakuratan proses akurasi dievaluasi dengan menghitung Root Mean Square
(RMS) Error disetiap titik. Root Mean Square (RMS) Error adalah perbedaan antara
hasil koordinat Ground Control Point (GCP) yang diinginkan dan hasil koordinat
sebenarnya (koordinat tanah), dititik yang sama. Root Mean Square (RMS) Error pada
Ground Control Point (GCP) dihitung sesuai dengan persamaan berikut, (ELtohamy,
2009) :

RMS (X) =

.......(I.16)

RMS (Y) =

......(I.17)

RMS (T) =

......(I.18)

Keterangan :
Xi , Yi = resid.uals dari titik ( i ) pada arah X and Y.
T = total RMS error
n = jumlah dari GCP
i = nomer GCP

Beberapa faktor yang mempengaruhi keakuratan kegiatan fotogrametri jarak


dekat dari yang paling penting adalah (Alan Walford, 2013) :
1. Resolusi Foto. Resolusi foto ditentukan oleh kemampuan dari kamera digital.
Penggunaan peralatan (kamera dan lensa) untuk mendapatkan hasil foto yang baik.
2. Kalibrasi kamera. Kalibrasi merupakan proses penentuan kamera panjang fokus
(focal length), ukuran sensor (format size), titik utama (principal point), dan distorsi
lensa (lens distortion).

16

3. Sudut antar Foto. Sudut antar foto merupakan pengambilan obyek foto dengan
lokasi kamera yang berbeda. Untuk memberikan hasil sudut terbaik dilakukan
penyebaran posisi kamera
4. Kualitas orientasi foto. Proses Orientasi pada pengolahan foto dilakukan oleh
software PhotoModeler Scanner, dengan cara menghitung lokasi dan sudut kamera
untuk setiap foto. Orientasi yang akurat untuk setiap lokasi kamera merupakan
salah satu faktor yang signifikan terhadap akurasi proyek.

Anda mungkin juga menyukai