Anda di halaman 1dari 54

1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Radikal bebas adalah molekul yang mempunyai sekelompok atom dengan
elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas mempunyai waktu paruh yang
sangat pendek. Elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut
sangat reaktif mencari pasangan dengan cara menyerang dan mengikat elektron
molekul yang berada di sekitarnya. Radikal bebas tersebut dapat mengoksidasi
asam nukleat, protein, lemak, bahkan DNA sel dan menginisiasi timbulnya
penyakit degeneratif (Rohmatussolihat, 2009). Radikal bebas masuk kedalam
tubuh manusia melalui asap rokok, polusi udara, bahan kimia pencemar
lingkungan, obat-obatan, serta makanan olahan dengan banyak pengawet (Arista,
2013). Salah satu bahan kimia sering digunakan dan bersifat radikal bebas adalah
karbontetraklorida.
Karbontetraklorida (CCl4) banyak digunakan sebagai bahan pendingin
(refrigerator) lemari es dan bahan profelan untuk kaleng aerosol. CCl4 juga
digunakan sebagai bahan pembersih untuk keperluan rumah tangga dan sebagai
pemadam api karena sifatnya yang tidak mudah terbakar. Saat ini, CCl4 masih
banyak digunakan sebagai pestisida dari golongan chloride hydrocarbon oleh
petani di Indonesia (Faridah, 2011). CCl4 masuk kedalam tubuh bisa secara
inhalasi, ingesti dan kontak langsung dengan kulit (Junieva, 2006). Organ yang
sering menjadi target perusakan adalah hati.
Hati menjadi salah satu target perusakan karena sebagian besar zat atau
bahan yang masuk dalam tubuh dimetabolisme oleh hati termasuk CCl4 (Guyton
dan Hall, 2006). CCl4 akan masuk kedalam sirkulasi portal hepatik dan
dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) menjadi radikal bebas
triklorometil (CCl3) dalam retikulum endoplasmik hati. Dalam endoplasmik
retikulum hati CCl4 dimetabolisme oleh sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) menjadi
radikal bebas triklorometil (CCl3). CCl3 dengan oksigen akan membentuk radikal
triklorometil peroxi (CCl3O2) yang dapat menyerang lipid membrane endoplasmic
reticulum sehingga mengganggu homeostasis Ca2+, dan akhirnya menyebabkan

kematian sel (Panjaitan et al., 2007). Salah satu pemeriksaan laboratorium pada
kerusakan hati adalah pemeriksaan integritas hepatosit dengan pengukuran serum
yaitu enzim sitosol sel hati Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT).
(Wibowo, 2005)
Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau
lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat
diredam (Kuncahyo, 2007). Ada dua cara dalam mendapatkan antioksidan, yaitu
dari luar tubuh (eksogen) dan dalam tubuh (endogen). Antioksidan eksogen
didapat dengan mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung vitamin
C dan E, -karoten maupun antioksidan sintetik seperti BHA, BHT dan TBHQ.
Contoh antioksidan endogen adalah enzim superoksida dismutase (SOD),
glutation peroksidase (GSH.Px) dan katalase. Antioksidan endogen sering kali
tidak mampu mengatasi stress oksidatif yang berlebih sehingga diperlukan
antioksidan eksogen untuk mengatasinya (Hartanto, 2012).
Indonesia memiliki banyak tanaman yang diketahui memiliki aktivitas
antioksidan, salah satunya yaitu daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr).
Masyarakat biasa menggunakan daun katuk sebagai obat diare, demam, bisul serta
memperlancar air susu ibu (ASI)(Andari, 2010).
Daun katuk memiliki kandungan minyak atsiri, sterol, saponin, flavonoid,
asam-asam organik, asam-asam amino, alkaloid, dan tannin (Khalasa et-al., 2013).
Flavonoid merupakan kandungan yang memiliki aktivitas antioksidan dalam daun
katuk, dengan jumlah sekitar 143 mg/100 g fw. Daun katuk, dengan kadar
flavonoid tersebut, adalah ekstrak yang memiliki kadar flavonoid tertinggi dari
sebelas ekstrak yang diuji dalam penelitian terdahulu (Andarwulan et-al., 2010).
Mekanisme kerja flavonoid sebagai antioksidan adalah dengan cara menghelat
logam dan menangkap oksigen radikal dan radikal bebas atau sebagai scavenger,
dan

menghambat

kerja

enzim

prooksidan

antara

lain

lipoxygenase,

myeloperoxidase (Rukmiasih et-al., 2011).


Dalam penelitian tentang daun katuk terdahulu, didapatkan bahwa adanya
aktivitas antioksidan pada hewan coba yang diinduksi paracetamol. Ekstrak yang
digunakan adalah ekstrak etanol 96% daun katuk (Joniada, 2011). Penelitian lain

menyebutkan ekstrak etanol 80% lebih baik dalam mendukung efek antioksidan
dari daun katuk dibandingkan dengan etanol 96% (Arista, 2013).
Berdasarkan latar belakang di atas, diperlukan suatu penelitian mengenai
uji aktivitas antioksidan ekstrak etanol 80% daun katuk.

Untuk mengetahui

aktivitas antioksidan tersebut digunakan parameter kadar SGPT yang merupakan


indikator terjadinya kerusakan hati.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan
adalah :
1. Apakah ada perbedaan efektifitas hepatoprotektor ekstrak etanol 80%
daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr) dalam mencegah
peningkatan kadar SGPT dari tikus putih galur wistar (Rattus
novergicus) yang diinduksi CCl4?
2. Apakah ada hubungan dosis respon ekstrak etanol 80 % daun katuk
(Sauropus androgynus (L) Merr) dalam mencegah peningkatan kadar
SGPT dari tikus putih galur wistar (Rattus novergicus) yang diinduksi
CCl4?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek ekstrak
etanol 80% daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr) dalam mencegah
peningkatan kadar SGPT pada tikus putih galur wistar (Rattus novergicus)
yang diinduksi CCl4.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain:
1. Untuk mengetahui perbedaan efektifitas hepatoprotektor ekstrak etanol
80% daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr) dalam mencegah

peningkatan kadar SGPT pada tikus putih galur wistar (Rattus novergicus)
yang diinduksi CCl4.
2. Untuk mengetahui hubungan dosis respon ekstrak etanol 80% daun katuk
(Sauropus androgynus (L) Merr) dalam mencegah peningkatan kadar
SGPT pada tikus putih galur wistar (Rattus novergicus) yang diinduksi
CCl4.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian ini terbagi dua, yaitu manfaat ilmiah dan manfaat praktis.
1. Manfaat Ilmiah
Secara ilmiah, hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan informasi
tentang efektifitas ekstrak etanol 80% daun katuk (Sauropus androgynus
(L) Merr) dalam mencegah peningkatan kadar SGPT pada tikus putih
galur wistar (Rattus novergicus) yang diinduksi CCl4. .
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat sebagai:
1. Data acuan dan informasi ilmiah untuk penelitian lebih lanjut mengenai
efektifitas ekstrak etanol 80% daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr)
dalam mencegah peningkatan kadar SGPT pada tikus putih galur wistar
(Rattus novergicus) yang diinduksi CCl4.
2. Bahan pertimbangan ekstrak etanol 80% daun katuk (Sauropus
androgynus) menjadi bahan antioksidan di masyarakat.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Radikal Bebas


Radikal bebas adalah molekul yang mempunyai sekelompok atom dengan
elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas mempunyai waktu paruh yang
sangat pendek. Elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut
sangat reaktif mencari pasangan dengan cara menyerang dan mengikat elektron
molekul yang berada di sekitarnya. Radikal bebas tersebut dapat mengoksidasi
asam nukleat, protein, lemak, bahkan DNA sel dan menginisiasi timbulnya
penyakit degeneratif (Rohmatussolihat, 2009). Radikal bebas masuk kedalam
tubuh manusia melalui asap rokok, polusi udara, bahan kimia pencemar
lingkungan, obat-obatan, serta makanan olahan dengan banyak pengawet (Arista,
2013).
Radikal bebas terpenting adalah kelompok oksigen reaktif (reactive
oxygenspecies/ROS), termasuk didalamnya adalah triplet (3O2), tunggal
(singlet/1O2), anion superoksida (O2-), radikal hidroksil (-OH), nitrit oksida (NO), peroksi nitrit (ONOO), asam hipoklorus (HOCl), hidrogen peroksida (H2O2),
radikal alkosil (LO-), dan radikal peroksil (LO-2). Radikal bebas yang
mengandung karbon (CCL3-) yang berasal dari oksidasi radikal molekul organik,
dan radikal hidrogen hasil dari penyerangan atom H (H-) (Sholihah, 2008). Jenisjenis radikal bebas biologi dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Jenis Radikal Bebas
Kelompok oksigen reaktif
O2 .
.

Radikal Superoksida (Superoxide radical)


Radikal hidroksil (Hydroxyl radical)

OH

ROO

H2O2
1

Radikal peroksil (Peroxyl radical)


Hidrogen peroksida (Hydrogen peroxide)

O2

Oksegen tunggal (Singlet oxygen)

NO.

Nitrit oksida (Nitric oxide)

ONOO

Nitrit peroksida (Peroxynitrite)

HOCl

Asam hipoklor (Hypochlorous acid)

2.1.1. Reaksi Perusakan


Kerusakan molekul lemak karena rentan terhadap radikal bebas terjadi pada
proses berikut. (1). Kerusakan DNA, kerusakan di DNA menjadi suatu reaksi
berantai, biasanya kerusakan terjadi bila ada delesi pada susunan molekul, apabila
tidak dapat diatasi, dan terjadi sebelum replikasi maka akan terjadi mutasi.
Radikal oksigen dapat menyerang DNA jika terbentuk disekitar DNA seperti pada
radiasi biologis. (2). Kerusakan protein, dimana protein dan asam nukleat lebih
tahan terhadap radikal bebas daripada PUFA. Serangan radikal bebas terhadap
protein sangat jarang kecuali bila sangat ekstensif. (3). Peroksidasi lipid, dimana
terjadi kerusakan pada membran sel yang kaya akan sumber poly unsaturated fatty
acid (PUFA), yang mudah dirusak oleh bahan-bahan pengoksidasi (Panjaitan etal., 2008). Efek merusak tersebut akibat produksi radikal bebas (ROO, RO,
OH) pada proses pembentukan peroksida dari asam lemak. Peroksidasi lipid
merupakan reaksi berantai yang memberikan pasokan radikal bebas secara terusmenerus yang menginisiasi peroksidasi lebih lanjut. Proses secara keseluruhan
dapat digambarkan sebagai berikut
a.

Inisiasi

ROOH + logam(n)
X + RH
b.

ROO + Logam(n-1) + H+

R + XH

Propagasi

R + O2

ROO

ROO + RH

ROOH + R

c.

Terminasi

ROO + ROO

ROOR + O2

ROO + R

ROOR

R + R

RR (Pazil, 2009)

2.1.2. Kerusakan Sel Hati Akibat Obat dan Bahan Kimia


Kerusakan sel hati karena radikal bebas dapat disebabkan oleh berbagai
macam zat, baik itu obat atau bahan kimia. Pada kerusakan yang disebabkan obat,
kerusakan sel hati dapat terjadi dalam berbagai macam mekanisme Ada 3 jenis

mekanisme, yaitu kerusakan bergantung dosis (dose-dependent toxicity),


kerusakan idiosinkratik (idiosyncratic toxicity), dan alergi obat (drug allergy).
Kerusakan sel hati tergantung dosis cukup sering terjadi dan dapat karena dosis
obat terlalu tinggi. Kerusakan idiosinkratik ditemukan pada orang yang mewarisi
gen spesifik yang mengontrol perubahan senyawa kimia obat tertentu dan
mengakibatkan akumulasi obat tersebut atau produk metabolitnya yang berbahaya
bagi hati. Resiko kerusakan idiosinkrasi rendah, namun jenis ini yang umum
terjadi karena banyaknya pemakaian obat dan penggunaan beberapa macam obat.
kerusakan idiosinkrasi sulit dideteksi dalam uji klinis awal yang biasanya
melibatkan paling banyak beberapa ribu pasien. Alergi obat juga dapat
menyebabkan kerusakan sel hati, meskipun jarang. Pada alergi obat, hati
mengalami peradangan ketika terjadi reaksi antigen-antibodi antara sel imun
tubuh terhadap obat. Gangguan fungsi hati akibat obat berupa kerusakan
hepatoseluler dan kolestasis parah bahkan berakibat fatal. Mekanisme
kerusakannya disebabkan langsung atau reaksi hipersensitivitas sekunder
(dimediasi sistem imun). (Rianyta, 2013)
Kerusakan sel hati karena bahan kimia yang sering terjadi adalah kerusakan
akibat pemakaian etanol. Etanol atau disebut juga sebagai etil alkohol merupakan
senyawa kimia yang penggunaannya sering digunakan pada kehidupan seharihari, sebagai bahan farmako kinetik maupun sebagai bahan minuman yang dikenal
dengan minuman beralkohol. Penggunaan etanol yang berlebihan atau dalam
jangka waktu yang panjang dapat menyebabkan kerusakan pada hati, karena
metabolisme etanol sebagian besar terjadi didalam hepar. Kerusakan akibat etanol
dapat menyebabkan degenerasi pada sel hepar, steatosis sampai nekrosis. Etanol
dapat menimbulkan kerusakan pada hepar disebabkan karenaradikal bebas,
asetaldehid dan rasio NAD : NADH. Metabolisme etanol di dalamsel hepar
menyebabkan peningkatan produksi radikal bebas dengan berbagaimekanisme
sehingga terjadi stres oksidatif yang akan merusak jaringan hati. (Nabila, 2011)

2.2. Karbontetraklorida (CCl4)


Karbontetraklorida (CCl4) adalah produk hasil karbon disulfida atau reaksi
dari disulfida dengan sulfur monoklorida. CCl4 tidak dapat larut dalam air namun
dapat larut dalam alkohol, kloroform, ether, dan minyak volatil. CCl4 cair
berwarna jernih dan mudah menguap sehingga jarang ditemukan dalam bentuk
cair. Sebagian besar CCl4 di lingkungan dapat ditemukan dalam bentuk gas, hanya
sedikit yang terlarut dalam air. Sifatnya stabil, meskipun dapat diuraikan oleh
reaksi kimia untuk mencapai kadar separuhnya. Pada rentang tahun 1980-1990
diperkirakan kadar CCl4 di atmosfer mencapai 0,5-1 mg/m3. Karbon tetraclorida
menyebabkan kerusakan lapisan ozon dan pemanasan global (Faridah, 2011).
CCl4 banyak digunakan sebagai bahan pendingin (refrigerator) lemari es
dan bahan profelan untuk kaleng aerosol. CCl4 juga digunakan sebagai bahan
pembersih untuk keperluan rumah tangga dan sebagai pemadam api karena
sifatnya yang tidak mudah terbakar. Saat ini, karbon tetraclorida masih banyak
digunakan sebagai pestisida dari golongan chloride hydrocarbon oleh petani di
Indonesia. Sumber radikal bebas yang dihasilkan dari luar yang dapat
menimbulkan stress oksidatif adalah senyawa toksik seperti karbon tetraklorida
(CCl4) (Faridah, 2011). CCl4 masuk kedalam tubuh bisa secara inhalasi, ingesti
dan kontak langsung dengan kulit (Junieva, 2006).
CCl4 merupakan xenobiotik yang lazim digunakan untuk menginduksi
peroksidasi lipid dan keracunan. CCl4 akan masuk kedalam sirkulasi portal
hepatik dan dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) menjadi
radikal

bebas

triklorometil

(CCl3)

dalam

retikulum

endoplasmik

hati.

Triklorometil dengan oksigen akan membentuk radikal triklorometil peroksi


(CCl3O2) yang dapat menyerang lipid membran retikulum endoplasmik dan
menyebabkan peroksidasi lipid sehingga mengganggu homeostasis Ca2+ dan
akhirnya menyebabkan kematian sel (Panjaitan et al., 2007).

2.2.1. Kerusakan Hati Akibat Karbon Tetraklorida (CCl4)


Asam lemak penyusun membran sel khususnya asam lemak rantai panjang
tak jenuh (PUFAs) amat rentan terhadap radikal bebas. Jumlah PUFAs dalam

fosfolipid membran retikulum endoplasmik akan berkurang sebanding dengan


jumlah CCl4 yang diinduksikan. Pemberian CCl4 dalam dosis tinggi dapat
merusak retikulum endoplasmik, mengakumulasi lipid, mengurangi sintesis
protein, mengacaukan proses oksidasi, menurunkan berat badan, menyebabkan
pembengkakan hati sehingga berat hati menjadi bertambah, dan pemberian jangka
panjang dapat menyebabkan nekrosis sentrilobular serta degenerasi lemak di hati
(Panjaitan et al., 2007).

2.3. Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau
lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat
diredam. Penggunaan senyawa antioksidan juga anti radikal saat ini semakin
meluas seiring dengan semakin besarnya pemahaman masyarakat tentang
peranannya dalam menghambat penyakit degeneratif seperti penyakit jantung,
arteriosklerosis, kanker, serta

gejala penuaan. Masalah-masalah ini berkaitan

dengan kemampuan antioksidan untuk bekerja sebagai inhibitor (penghambat)


reaksi oksidasi oleh radikal bebas reaktif yang menjadi salah satu pencetus
penyakit-penyakit di atas (Kuncahyo, 2007).
Fungsi utama antioksidan digunakan sebagai upaya untuk memperkecil
terjadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses
kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam industri
makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan serta
mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi. Peroksidasi lipid merupakan
salah satu faktor yang cukup berperan dalam kerusakan selama dalam
penyimpanan dan pengolahan makanan. Antioksidan

tidak hanya digunakan

dalam industri farmasi, tetapi juga digunakan secara luas dalam industri makanan,
industri petroleum, industri karet, dan sebagainya (Kuncahyo, 2007).
Antioksidan memberikan perlindungan pada hati secara langsung maupun
tidak langsung. Secara langsung, antioksidan melindungi sel hati dari gangguan
radikal bebas dengan mekanisme menghambat oksidasi radikal bebas. Secara
tidak langsung, antioksidan menjaga fungsi hati dengan menetralisir radikal bebas

10

yang dapat mengganggu fungsi hati misalnya dengan menetralisir radikal bebas
yang dapat menghambat laju asupan nutrisi dan mineral yang dibutuhkan hati
untuk kelangsungan fungsi hati. (Joniada, 2011)

2.3.1. Jenis Antioksidan


Antioksidan terbagi menjadi antioksidan enzim dan vitamin. Antioksidan
enzim meliputi superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase
(GSH.Px). Antioksidan vitamin lebih populer sebagai antioksidan dibandingkan
enzim. Antioksidan vitamin mencakup alfa tokoferol (vitamin E), beta karoten
dan asam askorbat (vitamin C) yang banyak didapatkan dari tanaman dan hewan.
(Kuncahyo, 2007).
Berdasarkan mekanismenya, Antioksidan dibagi menjadi lima yaitu
Antioksidan primer, antioksidan sekunder, antioksidan tersier, oxygen scavenger
dan

Chelators/Sequesstrants.

Antioksidan

primer

mengikuti

mekanisme

pemutusan rantai reaksi radikal dengan mendonorkan atom hidrogen secara cepat
pada suatu lipid yang radikal, produk yang dihasilkan lebih stabil dari produk
inisial. Contohnya flavonoid, tokoferol, senyawa thiol, yang dapat memutus rantai
reaksi propagasi dengan menyumbang elektron pada peroksi radikal dalam asam
lemak. Antioksidan sekunder dapat menghilangkan penginisiasi oksigen maupun
nitrogen radikal atau bereaksi dengan komponen atau enzim yang menginisiasi
reaksi radikal antara lain dengan menghambat enzim pengoksidasi dan
menginisiasi enzim pereduksi atau mereduksi oksigen tanpa membentuk spesies
radikal yang reaktif. Contohnya adalah sulfit, vitamin C, betakaroten, asam urat,
bilirubin dan albumin. Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki
sel-sel jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas. Contohnya adalah
metionin sulfoksidan reduktase yang dapat memperbaiki DNA dalam inti sel.
Enzim tersebut bermanfaat untuk perbaikan DNA pada penderita kanker. Oxygen
Scavenger bekerja dengan mengikat oksigen sehingga tidak mendukung oksidasi.
Chelators/Sequesstrants berkerja dengan cara mengikat logam yang mampu
mengkatalisis reaksi oksidasi seperti asam sitrat dan asam amino. (Joniada, 2011)

11

Berdasarkan sumbernya, antioksidan dibagi menjadi dua yaitu antioksidan


eksogen dan endogen. Antioksidan eksogen didapat dengan mengkonsumsi
makanan dan minuman yang mengandung vitamin C dan E, -karoten maupun
antioksidan sintetik seperti BHA, BHT dan TBHQ. Antioksidan endogen adalah
enzim superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase (GSH.Px) dan
katalase. Antioksidan endogen seringkali tidak mampu mengatasi stres oksidatif
yang berlebih sehingga diperlukan antioksidan eksogen untuk mengatasinya
(Hartanto, 2012).

2.4. Vitamin E
Vitamin E adalah vitamin yang larut lemak dan dibutuhkan tubuh. Vitamin
E dapat disimpan didalam tubuh sehingga tidak harus dikonsumsi setiap hari.
Vitamin E biasanya dicerna bersama makan yang mengandung lemak. Makanan
yang mengandung vitamin E diantaranya adalah minyak zaitun, kacang, kuning
telur, margarin, soya, keju dan sayuran hijau (Colombo, 2010).
Vitamin E berfungsi melindungi asam-asam lemak dari oksidasi dengan
cara menangkap radikal-radikal bebas. Radikal vitamin E bersifat stabil dan tidak
bereaksi dengan asam-asam lemak PUFA. Dari penelitian yang dilakukan secara
in vitro diperoleh informasi bahwa antara vitamin E terdapat interaksi yang
bersifat senergistik dalam fungsinya sebagai antioksidan. Vitamin E berperan
sebagai antioksidan lipofilik. Vitamin E dalam pakan akan dideposit ke dalam
daging banyaknya Vitamin E yang dideposit (mg/kg) tergantung pada dosis
vitamin E dalam pakan dan lamanya pemberian (Rukmiasih et-al., 2011)

2.5. Katuk (Sauropus androgynus (L) Merr).


Indonesia memiliki banyak tanaman yang diketahui memiliki aktivitas
antioksidan, salah satunya yaitu daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr).
Masyarakat biasa menggunakan daun katu sebagai obat diare, demam, bisul serta
memperlancar air susu ibu (ASI)(Andari, 2010).
Klasifikasi Ilmiah Katuk (Sauropus androgynus (L) Merr)
Klasifikasi katu (Sauropus androgynus (L) Merr) adalah.

12

Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Ordo

: Euphorbiales

Famili

: Euphorbiaceae

Genus

: Sauropus

Spesies

: Sauropus androgynus (L.) Merr

Katuk berdasarkan penamaan ilmiah berarti Sauropus androgynus (L.) Merr


dan memiliki sinonim Sauropus albicus Bl., S. indicus Wight., S. sumatranus Miq.
Katuk memiliki beberapa nama daerah yaitu Memata (bahasa Melayu), katuk
(Sunda), kebing dan katukan (Jawa), karekur (Madura), simani (Minangkabau)
(Yuniarty, 2011).
Katuk diduga berasal dari India, kemudian menyebar ke Malaysia,
Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Tumbuhan ini dapat tumbuh
di daerah berketinggian 8 m sampai 1300 m di atas permukaan laut, tetapi tumbuh
paling baik di daerah berhawa sejuk dengan kelembaban dan curah hujan yang
tinggi (Wijono, 2003).

Gambar 2.1 Katuk (Sauropus androgynus (L) Merr)


Tanaman katuk tumbuh menahun, berbentuk semak perdu dengan
ketinggian antara 21/2 m 5 m. Tanaman katu terdiri dari akar, batang, daun,
bunga, buah dan biji. Sistem perakarannya menyebar ke segala arah dan dapat
mencapai kedalaman antara 30-50 cm. Batang tanaman tumbuh tegak dan
berkayu. Tanaman katuk mempunyai daun majemuk genap, berukuran kecil,

13

berbentuk bulat seperti daun kelor. Permukaan atas daun berwarna hijau gelap,
sedangkan permukaan bawah daun berwarna hijau muda. Produk utama tanaman
katuk berupa daun yang masih muda. Daun katuk sangat potensial sebagai sumber
gizi karena memiliki kandungan gizi yang setara dengan daun singkong, daun
papaya, dan sayuran lainnya (Manik, 2011).

2.5.1. Morfologi Katuk


Tanaman katuk memiliki karakteristik antara lain : bentuk tanaman seperti
semak kecil dan bisa mencapai tinggi 3 m, batang muda berwarna hijau dan yang
tua berwarna coklat, daun tersusun selang-seling pada satu tangkai, seolah-olah
terdiri dari daun majemuk. Bentuk helaian daun lonjong sampai bundar, kadangkadang permukaan atasnya berwarna hijau gelap. Bunganya tunggal atau terdapat
diantara satu daun dengan daun lainnya. Bunga sempurna mempunyai helaian
kelopak berbentuk bulat telur sungsang atau bundar, berwarna merah gelap atau
merah dengan bintik-bintik kuning. Cabang dari tangkai putik berwarna merah,
tepi kelopak bunga berombak atau berkuncup enam, berbunga sepanjang tahun
(Gaol, 2011).

2.5.2. Efektifitas Daun Katuk sebagai Antioksidan


Berdasarkan penelitian yang dilakukan Joniada yang berjudul Pengaruh
Pemberian Ekstrak Etanol Daun Katuk (Sauropus androgynous L) Sebagai
Hepatoprotektor pada Mencit yang Diinduksi Paracetamol, dosis ekstrak etanol
daun katuk dibagi menjadi tiga dosis yaitu 400, 600, dan 800 mg/kgBB. Perlakuan
tersebut diberikan selama tujuh hari dan pada hari kedelapan dilakukan
pembedahan dan pengambilan darah dari ventrikel kanan. Ketiga dosis tersebut
dapat mencegah peningkatan dari SGOT dan SGPT dari mencit yang diinduksi
paracetamol (Joniada, 2011).

2.5.3. Ekstrak Etanol 80% Daun Katuk


Ekstrak daun katuk yang digunakan merupakan sediaan yang dibuat dengan
mengekstraksi daun katuk dengan menggunakan pelarut etanol 80% sebanyak 800

14

ml dengan metode maserasi, lalu pelarutnya diuapkan. Etanol 80% dipilih sebagai
pelarut dikarenakan etanol 80% memiliki nilai EC50 lebih rendah jika
dibandingkan dengan etanol 96%. Menurut Arista (2013), ekstrak etanol 80%
daun katuk lebih baik sebagai pengikat radikal bebas dibandingkan dengan
ekstrak etanol 96% daun katuk. Hal ini dikarenakan adanya kemungkinan
senyawa yang berperan sebagai antioksidan lebih bersifat polar dan lebih banyak
terekstrak pada etanol 80% (Arista, 2013)

2.5.4. Kandungan Gizi Katuk


Katuk memiliki banyak kandungan gizi yang bermanfaat bagi tubuh.
Kandungan gizi katuk dapat dilihat pada Tabel 2.1. Flavonoid merupakan
kandungan yang memiliki aktivitas antioksidan dalam daun katuk, dengan jumlah
sekitar 143 mg/100 g fw. Daun katuk, dengan kadar flavonoid tersebut, adalah
ekstrak yang memiliki kadar flavonoid tertinggi dari sebelas ekstrak yang diuji
dalam penelitian terdahulu.
Tabel 2.2 Kandungan Gizi Katu per 100 mg
No.

Komponen gizi (satuan)

Jumlah

1.

Kalori (kal)

59

2.

Protein (g)

4,8

3.

Lemak (g)

1,0

4.

Karbohidrat (g)

11,0

5.

Kalsium (g)

204

6.

Fosfor (g)

83

7.

Besi (mg)

2,7

8.

-karoten (g)

10370

9.

Thiamin (mg)

0,10

10.

Asam askorbat (mg)

239

11.

Air (%)

81

12.

Vitamin C (mg)

66

13.

Flavonoid (mg/100 g fw)

1436

(Joniada, 2011 dan Andarwulan et al., 2010)

15

2.6. Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder
yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman. Flavonoid termasuk
dalam golongan senyawa phenolik dengan struktur kimia C6-C3-C6. Kerangka
flavonoid terdiri atas satu cincin aromatik A, satu cincin aromatik B, dan cincin
tengah berupa heterosiklik yang mengandung oksigen dan bentuk teroksidasi
cincin ini dijadikan dasar pembagian flavonoid ke dalam sub-sub kelompoknya.
Sistem penomoran digunakan untuk membedakan posisi karbon di sekitar
molekulnya. Berbagai jenis senyawa, kandungan dan aktivitas antioksidatif
flavonoid sebagai salah satu kelompok antioksidan alami yang terdapat pada
sereal, sayur-sayuran dan buah, telah banyak dipublikasikan (Redha, 2010 dan
Joniada, 2011).

2.6.1. Mekanisme Kerja Flavonoid


Flavonoid adalah antioksidan kuat terhadap radikal bebas sebagai radikal
bebas scavengers. Aktivitas ini didukung dengan kemampuan menyumbang
hidrogen flavonoid. Kelompok phenolik dari flavonoid merupakan sumber atom
hidrogen yang dapat melokalisasi pembentukan radikal. Aktivitas pengikatan
radikal bebas dapat digambarkan sebagai berikut.
F-OH + R.

F-O. + RH

Gambar 2.2 Aktivitas Pengikatan Radikal Bebas


Gambar tersebut menjelaskan flavonoid (F-OH) dapat mendonorkan atom
hidrogennya untuk mengikat radikal bebas (R.). Aktivitas ini juga terjadi pada
proses pencegahan peroksidasi lipid. Flavonoid menyumbangkan atom hidrogen
kepada peroksi radikal untuk memotong rantai reaksi radikal (Sandhar et al.,
2011).

2.6.2. Flavonoid dalam Daun Katuk


Flavonoid terdiri atas banyak golongan yang mempunyai aktivitas
antioksidan. Golongan tersebut terdiri atas flavon, flavonol, flavanon, isoflavon,
dll. Kandungan flavonoid dalam daun katuk adalah sebesar 1436 mg/100 g fw

16

(Andarwulan et al., 2010). Senyawa flavonoid yang terkandung dalam daun katuk
diketahui ada enam jenis. Salah satunya adalah rutin dan lima yang lain adalah
senyawa flavonol dan flavon. Rutin dan flavonol merupakan antioksidan kuat
terhadap peroksidasi lipid (Sandhar et al., 2011; Redha, 2010 dan Wijono, 2003).

2.6.3. Lethal Dose 50 (LD50) Daun Katuk


Nilai LD50 adalah besarnya dosis dalam satu kali pemberian yang dapat
menyebabkan kematian sebanyak 50% dari jumlah hewan dalam satu kelompok.
LD50 merupakan salah satu cara untuk mengukur potensi toksisitas akut suatu
senyawa. Semakin rendah nilai LD50 maka semakin toksik senyawa tersebut dan
juga sebaliknya. Klasifikasi toksisitas akut dapat dilihat pada table berikut.
Tabel 2.3 Klasifikasi Toksisitas Akut
No.

Kelas

Dosis (mg/KgBB)

Luar biasa toksik

1 atau kurang

Sangat toksik

1-50

Cukup toksik

50-500

Sedikit toksik

500-5000

Praktis tidak toksik

5000-15000

Relative kurang berbahaya

Lebih dari 15000

(Wisnuaji, 2012)
Berdasarkan penelitian Wisnuaji yang berjudul Identifikasi Efek Toksik
Akut Jus Daun Katuk (Sauropus androgynus (L) Merr) pada Hepar Tikus Galur
Wistar disimpulkan bahwa nilai LD50 jus daun katuk pada tikus betina galur
wistar adalah >5000 mg/KgBB sehingga jus daun katuk tergolong praktis tidak
toksik pada uji toksisitas akut (Wisnuaji, 2012)

2.7. Organ Hati


Hati merupakan organ terbesar tubuh, menyumbang sekitar 2 persen berat
tubuh total, atau sekitar 1,5 kg pada rata-rata manusia dewasa. Hampir semua zat
yang masuk dalam tubuh dimetabolisme oleh hati. Organ ini memiliki banyak
fungsi namun tetap merupakan organ tersendiri, dan berbagai fungsinya tersebut
saling berhubungan satu sama lain (Guyton dan Hall, 2006).

17

2.7.1. Anatomi Hati


Posisi

terletak

di

sebelah

kanan

atas

rongga

perut

di

bawah

diafragma.Sebagian besar posisi hati terdapat pada daerah hipokondrium kanan


dan memanjang ke daerah epigastrium. Hati terdiri dari dua lobus besar, kanan
dan kiri, lobus kanan lebih besar dari lobuskiri.Batas atas hati berada sejajar
dengan ruang intercostal V kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga IX
kanan ke iga VIII kiri. Secara mikroskopis di dalam hati terdapat 50.000-100.000
lobuli, setiap lobules berbentuk heksgonal yang terdiri atas sel hati berbentuk
kubus yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Di antara lembaran sel hati
terdapat kapiler yang disebut sinusoid yang merupakan cabang vena porta dan
arteri hepatica. Sinusoid dibatasi oleh sel fagopazilk (sel kupffer) yang merupakan
system retikuloendotelial dan berfungsi menghancurkan bakteri dan benda asing
lain di dalam tubuh, jadi hati merupakan salah satu organ utama pertahanan tubuh
terhadap serangan bakteri dan organ toksik (Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia, 2009).

2.7.2. Fungsi Hati


Hati mempunyai fungsi yang banyak yaitu sebagai berikut :
a. Fungsi sekresi dan ekskresi empedu
Fungsi utama hati adalah pembentukan dan eksresi empedu. Hati
mengekskresikan empedu sebanyak 1 liter per hari kedalam usus halus.
Unsur utama empedu adalah air (97%), elektrolit, garam empedu.
Bilirubin merupakan hasil akhir metabolisme dan secara fisiolois tidak
mempunyai peran aktif, tapi penting sebagai indikator penyakit hati dan
saluran empedu, karena bilirubin dapat memberi warna pada jaringan dan
cairan yang berhubungan dengannya.
b. Fungsi metabolism
Hati mempunyai peran penting pada metabolism karbohidrat, lemak dan
protein. Hasil metabolisme monosakarida dari usus halus diubah menjadi
glikogen dan disimpan di hati (glikogenesis). Dari simpanan glikogen ini,
glikogen dapat diubah menjadi glukosa lagi (glikogenolisis) untuk

18

memenuhi kebutuhan tubuh. Sebagian glukosa dimetabolisme dalam


jaringan untuk menghasilkan tenaga dan sisanya diubah menjadi
glikogen yang disimpan dalam otot atau lemak yang disimpan dalam
jaringan adiposa. Fungsi hati selanjutnya adalah menghasilkan protein
plasma berupa albumin (yang diperlukan untuk mempertahankan tekanan
osmotic koloid), protrombin, fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya.
Fungsi hati dalam metabolisme lemak adalah menghasilkan lipoprotein,
kolesterol, fosfolipid dan asam asetoasetat.
c. Fungsi penyimpan darah
Hati merupakan organ yang dapat diperluas karena itu sejumlah besar
darah dapat disimpan di dalam pembuluh darah hati. Volume darah
normal hati, meliputi yang di dalam vena hati dan yang di dalam jaringan
hati, adalah sekitar 450 ml, atau hamper 10% dari total volume darah
tubuh. Bila tekanan tinggi atrium kanan, hal ini menyebabkan tekanan
balik di dalam hati, hati meluas dan oleh karena itu 0,5 sampai 1 liter
cadangan darah dapat disimpan di dalam vena hepatica dan sinus
hepatica
d. Fungsi imunologi
Hati merupakan komponen sentral imun. Sel kupffer, yang meliputi 15%
dari massa hati serta 80% dari total populasi fagosit tubuh, merupakan sel
yang sangat penting dalam menanggulangi antigen yang berasal dari luar
tubuh dan mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit (Joniada,
2011).

2.8. Diagnosis Enzimatik Hati


Penanda

dini

dari

hepatotoksik

adalah

peningkatan

enzim-enzim

transaminase dalam serum alanine aminotransferase/Serum glutamate pyruvate


transaminase (ALT/ SGPT). SGPT adalah suatu enzim golongan transferase yang
mengatalisis pemindahan reversibel sebuah gugus amino dari alanine ke ketoglutarat untuk membentuk glutamate dan piruvat (Dorland, 2007). World
Health Organization mengklasifikasikan hepatotoksik menjadi 4 gradasi. Grade I

19

ditandai dengan peningkatan SGPT 1,25-2,5 normal, grade II SGPT meningkat


2,6-5 normal, grade III SGPT meningkat 5,1-10 normal dan grade IV bila
SGPT meningkat > 10 normal (Prihatni, 2004).
Peningkatan kadar SGPT akan terjadi jika adanya pelepasan enzim secara
intaraseluler kedalam darah yang disebabkan nekrosis sel-sel hati atau adanya
kerusakan hati secara akut misalnya nekrosis hepatoselular atau infark miokardial.
Pada kerusakan peradangan akut, SGPT memiliki sensitivitas tinggi. Didalam
tubuh, SGPT terdapat pada hati dan sedikit pada jaringan lain karena itu SGPT
meski termasuk penanda kerusakan hati yang banyak digunakan, SGPT tidak
spesifik menilai kerusakan hanya di hati saja (Panjaitan., 2007 dan Joniada.,
2011).

20

2.9. Kerangka Konseptual


CCL4

Sirkulasi portal hepatik

retikulum endoplamik
hati

Ekstrak etanol 80%


daun katuk
(Sauropus androgynus
(L) Merr)

metabolisme sitokrom
P-450 2E1 (CYP2E1)
Flavonoid
triklorometil (CCl3)
radikal bebas
Atom H
Berikatan dengan
Oksigen menjadi
triklorometil peroksi

Peroksidasi lipid sel hati

mengganggu
homeostasis Ca2+

Kematian sel hati

Peningkatan SGPT
Gambar 2.3 Kerangka Konseptual Penelitian

21

Keterangan :
: merangsang
: mengikat
Kerangka konseptual pada Gambar 2.3 menjelaskan bahwa CCl4 akan
masuk ke dalam sirkulasi portal hepatik dan dimetabolisme dalam retikulum
endoplamik hati oleh sitokrom P-450 2E1 (CYP2E1) menjadi bentuk radikal
bebas triklorometil (CCl3). Selanjutnya CCl3 akan bergabung dengan Oksigen
dan membentuk radikal triklorometil peroksi (CCl3O2) yang dapat menyerang
lipid membran retikulum endoplasmik dan menyebabkan peroksidasi lipid
sehingga mengganggu homeostasis Ca2+ dan akhirnya menyebabkan kematian sel
hati. Kerusakan sel-sel hati menyebabkan menyebabkan enzim-enzim hati (SGPT)
keluar ke ekstrasel dan meningkat di sirkulasi. Kandungan ekstrak etanol 80%
daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr), flavonoid, berperan sebagai
antioksidan (radikal bebas scavenger) akan mendonorkan atom Hidrogen (H)
untuk mengikat radikal bebas (CCl3) dan memotong rantai radikal. Aktivitas
tersebut akan mencegah kerusakan sel-sel hati sehingga diharapkan mampu
mencegah peningkatan kadar SGPT.

2.10 Hipotesis Penelitian


Hipotesis penelitian ini adalah
1. Terdapat perbedaan efektifitas ekstrak etanol 80% daun katuk (Sauropus
androgynus (L) Merr) dapat mencegah peningkatan kadar SGPT pada
tikus yang diinduksi CCl4.
2. Terdapat hubungan dosis respon ekstrak etanol 80% daun katuk
(Sauropus androgynus (L) Merr) dapat mencegah peningkatan kadar
SGPT pada tikus yang diinduksi CCl4.

22

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian eksperimental yang bertujuan untuk
mengetahui suatu gejala atau pengaruh yang timbul sebagai akibat dari adanya
perlakuan tertentu. Jenis penelitian eksperimental yang digunakan adalah True
Experimental. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Posttest Only
Control Group Design (Notoadmodjo, 2002).

3.2 Rancangan penelitian


Rancangan penelitian ditunjukkan pada Gambar 3.1
Adaptasi
7 hari

Po

Perlakuan
7 hari

Induksi CCl4
Hari ke 8

Pengambilan serum
Hari ke 9

K(N)

Na-CMC

T1

K(-)

Na-CMC

i.p CCL4

T2

K(+)

p.o vit E

i.p CCL4

T3

p.o I

i.p CCL4

p.o II

i.p CCL4

T5

p.o III

i.p CCL4

T6

S
P1
P2
P3

Gambar 3.1 Skema Rancangan Penelitian

Keterangan :
Po
R
S
K (N)
K (-)

: populasi normal diet.


: randomisasi
: sampel normal diet
: kontrol dengan pemberian Na-CMC 1 % 3 ml
: kelompok kontrol negatif dengan pemberian Na-CMC 1 % 3 ml dan
CCl4 1 ml/kgBB
K (+) : kelompok kontrol positif dengan pemberian vitamin E 7 mg/200

T4

23

g/bb/haridan CCl41 ml/kgBB


: kelompok perlakuan dengan pemberian ekstrak etanol 80% daun katu
(Sauropus androgynus (L) Merr) dosis 2800 mg/kg BB dan CCl4 1
ml/kgBB
P2
: kelompok perlakuan dengan pemberian ekstrak etanol 80% daun katu
(Sauropus androgynus (L) Merr) dosis 4200 mg/kg BB dan CCl4 1
ml/kgBB
P3
: kelompok perlakuan dengan pemberian ekstrak etanol 80% daun katu
(Sauropus androgynus (L) Merr) dosis 5600 mg/kg BB dan CCl4 1
ml/kgBB
Na-CMC
: Perlakuan dengan pemberian Na-CMC 1% 3 ml per oral selama 7
hari
p.o. vit. E
: Perlakuan dengan pemberian vitamin E 7 mg/200 g/bb/hari per
oral selama 7 hari
p.o. I : Perlakuan dengan pemberian ekstrak etanol 80% daun katu (Sauropus
androgynus (L) Merr) dosis 2800 mg/kg BB per oral selama 7 hari
p.o. II : Perlakuan dengan pemberian ekstrak etanol 80% daun katu (Sauropus
androgynus (L) Merr) dosis 4200 mg/kg BB per oral selama 7 hari
p.o. III : Perlakuan dengan pemberian ekstrak etanol 80% daun katu (Sauropus
androgynus (L) Merr) dosis 5600 mg/kg BB per oral selama 7 hari
i.p CCL4
: Induksi kelompok kontrol negatif dengan CCl4 1 ml/kgBB secara
intraperitoneal pada hari ke 8
T1-6 : Pembedahan tikus dan pengambilan serum 3 ml dari ventrikel kanan pada
hari ke-9
P1

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1

Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah Rattus novergicus Wistar Jantan yang
diperoleh dari peternak tikus yang ada di Malang.

3.3.2

Sampel
Pada penelitian ini terdapat kriteria inklusi dan eksklusi yang bertujuan
untuk membuat homogen sampel yang akan digunakan. Kriteria inklusi
sampel penelitian adalah sebagai berikut:
a. Rattus Novergicus galur wistar jantan.
b. Tikus berwarna bulu putih dan sehat(bergerak aktif).
c. Umur 2 bulan.
d. Berat 150-200 gram.
Sedangkan kriteria eksklusi sampel penelitian adalah tikus yang sakit,
yang mati sebelum proses randomisasi

24

3.3.3

Jumlah Sampel
Sampel dipilih dengan menggunakan teknik simple random sampling yang
kemudian dibagi menjadi 6 kelompok. Penelitian eksperimen dengan
rancangan acak lengkap, acak kelompok atau faktorial secara sederhana
untuk estimasi jumlah pengulangan atau besar sampel dalam penelitian ini
dapat dihitung dengan menggunakan rumus Federer sebagai berikut:
(t-1) (n-1)

15

(6-1) (n-1)

15

5(n-1)

15

5n-5

15

5n

20

Keterangan :
n

: jumlah sampel tiap kelompok perlakuan

: jumlah kelompok perlakuan

Besar sampel yang dibutuhkan berdasarkan perhitungan dengan rumus di atas


minimal sebanyak 4 ekor tikus masing-masing kelompok. Dalam penelitian ini
jumlah sampel yang digunakan untuk 6 kelompok adalah 24 ekor tikus.

3.4 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Jember untuk perawatan tikus, penyondean ekstrak daun katuk
dan pembedahan tikus. Laboratorium Biologi Farmasi Fakultas Farmasi
Universitas Jember untuk pembuatan ekstrak daun katuk. Laboratorium
Piramida Jember untuk uji pengukuran kadar enzim SGPT. Penelitian ini
dilakukan bulan September 2014.

3.5 Variabel Penelitian


3.5.1

Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dosis ekstrak etanol 80% daun
katuk (Sauropus androgynus (L) Merr).

25

3.5.2

Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kadar SGPT tikus putih galur
wistar (Rattus novergicus).

3.5.3

Variabel Terkendali
Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah:
a. Usia tikus
b. Jenis kelamin dan galur hewan coba
c. Berat badan tikus
d. Pemeliharaan dan perlakuan hewan coba
e. Lama perlakuan hewan coba
f. Dosis dan frekuensi pemberian CCl4
g. Frekuensi pemberian ekstak daun katuk

3.6 Definisi Operasional


3.6.1

Ekstrak Etanol 80% Daun Katuk


Daun katuk yang digunakan adalah daun katuk yang segar. Ekstrak daun
katuk

yang digunakan merupakan sediaan

yang dibuat dengan

mengekstraksi daun katuk dengan menggunkan pelarut etanol 80%


sebanyak 800 ml dengan metode maserasi, lalu pelarutnya diuapkan
(Arista, 2013). Ekstrak daun katuk dalam bentuk serbuk dilarutkan dengan
Na-CMC lalu diinduksi setiap hari selama 7 hari secara peroral.

3.6.2

Natrium Karboksi Methyl Selulosa (Na-CMC)


Natrium Karboksi Methyl Selulosa (Na-CMC) adalah bahan kimia yang
umum digunakan sebagai formula obat-obatan baik secara oral maupun
topikal.Untuk bahan bentuk serbuk, Na-CMC banyak digunakan sebagai
pelarut untuk mendukung penggunaan obat yang dalam penelitian ini
sebagai pembantu absorbsi ekstrak ethanol daun katu (Rowe et-al., 2009).

26

3.6.3

Dosis CCl4
Dosis larutan CCl4 yang digunakan adalah 1 ml/kgBB hanya diberikan 1
kali selama percobaan yaitu diberikan pada hari ke-7 setelah pemberian
proteksi ekstrak daun katuk selama 7 hari. Pemberian dosis larutan CCl4 1
mg/KgBB karena dengan dosis tersebut dalam 24 jam mampu merusak
membran sel dan komponen intrasel hati (Panjaitan et-al., 2007).

3.6.4

Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT)


Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT) merupakan enzim yang
banyak ditemukan pada sel hati serta efektif untuk mendiagnosis destruksi
hepatoseluler. Enzim ini dalam jumlah yang kecil dijumpai pada otot
jantung, ginjal dan otot rangka. Pemeriksaan kadar SGPT menggunakan
darah yang dibutuhkan sebanyak 3 ml yang diambil ventrikel kanan
jantung tikus.

3.6.5

Hewan coba
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus galur wistar
berjenis kelamin jantan yang sehat (bergerak aktif), berbulu putih dengan
berat badan berkisar 150-200 gram dan usia berkisar 2bulan.

3.7 Alat dan Bahan


3.7.1

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:


a. Alat untuk pemeliharaan tikus adalah bak plastik ukuran 30 cm x 15
cm, penutup kawat berukuran 30 cm x 15 cm, botol air,dan label.
b. Alat untuk pembuatan ekstrak daun katuk adalah blender, ayakan 30
mesh, timbangan, pengaduk, rotary evaporator dan waterbash.
c. Alat yang digunakan untuk menyonde tikus adalah handscoone, masker,
beeker glass, pengaduk dan spuit sonde.
d. Alat yang digunakan untuk pengambilan darah tikus adalah spuit.

27

3.7.2

Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Bahan untuk pemeliharaan tikus adalah makanan standar, minuman dan
sekam.
b. Bahan untuk pembuatan ekstrak daun katuk adalah daun katuk segar,
air, etanol 80% dan Na-CMC.
c. Bahan untuk menyonde tikus adalah vitamin E, CCl4 dan ekstrak daun
katuk.
d. Tikus wistar jantan

3.8 Prosedur Kerja


3.8.1

Pemilihan Tikus Wistar Jantan


Jumlah hewan coba adalah 24 ekor tikus wistar dibagi menjadi 6
kelompok dengan kriteria: berjenis kelamin jantan yang sehat (bergerak
aktif), berbulu putih dengan berat badan berkisar 150-200 gram dan usia
berkisar 2bulan.

3.8.2

Persiapan Tikus Wistar Jantan


Sebelum perlakuan,tikus diadaptasi pada kondisi laboratorium selama 7
hari dengan tujuan untuk menyesuaikan dengan lingkungan baru. Selama
adaptasi tikus diletakkan di kandang dan diberi makanan standar dan
diberi minuman ad libitum.

3.8.3

Pembagian Kelompok Perlakuan


Jumlah kelompok pada penelitian ini adalah 6 kelompok sehingga tikus
wistar jantan dibagi menjadi 6 kelompok :

a. Kelompok K(N)

: Pemberian Na-CMC 1 % 3 ml

b. Kelompok K(-)

: Pemberian Na-CMC 1 % 3 ml dan CCl4 1 ml/kgBB

c. Kelompok K(+)

: Pemberian Vitamin E 7 mg/200g/bb/hari+ CCl4 1


ml/kgBb

28

d. Kelompok P1

: Pemberian ekstrak daun katu (Sauropus androgynus (L)


Merr) dosis 2800 mg/ kgBB + CCl4 1 ml/kgBB

e. Kelompok P2

: Pemberian ekstrak daun katu (Sauropus androgynus (L)


Merr) dosis 4200 mg/ kgBB + CCl4 1 ml/kgBB

f. Kelompok P3

: Pemberian ekstrak daun katu (Sauropus androgynus (L)


Merr) dosis 5600 mg/ kgBB + CCl4 1 ml/kgBB

3.8.4

Pembuatan Ekstrak Daun Katuk


Daun katuk segar dicuci bersih dengan air, dikeringkan dengan cara
diangin-anginkan (tanpa terkena sinar matahari langsung).Daun katuk
yang sudah kering kemudian dihaluskan menggunakan blender hingga
menjadi serbuk, ditimbang kemudian diayak menggunakan mesh 30
hingga diperoleh serbuk halus. 100 gram serbuk daun katuk yang telah
dikeringkan dan dihaluskan dimaserasi kinetik selama 1 jam dengan
menggunakan peralut etanol 80 % sebanyak 800 ml, didiamkan semalam
kemudian disaring dan dipisahkan ampas dan filtratnya.Pada ampas
dilakukan maserasi kinetik ulang (maserasi kinetik ulang dilakukan 3 kali).
Cara maserasi kinetik dilakukan dengan cara merendam simplisia dengan
etanol kemudian diaduk secara terus-menerus. Dari filtrat yang didapat
dikumpulkan dan campuran ekstrak tersebut dipekatkan dengan rotatory
evaporator dan diuapkan di atas waterbash 60 sampai didapatkan bobot
konstan (Arista, 2013).

3.8.5

Dosis Vitamin E
Beradasarkan penelitian terdahulu, dosis vitamin E sebesar 7 mg/200
g/bb/hari pada tikus dapat digunakan sebagai antioksidan (Suarsana,
2011).

3.8.6

Penginduksian CCl4
Masing-masing tikus pada kelompok (-),(+),(P1),(P2) dan (P3) diberi CCl4
secara intraperitoneal dengan dosis 1 mg/KgBB.CCl4 hanya diberikan 1

29

kali selama percobaan yaitu pada hari ke-8. Pengamatan dilakukan sampai
dengan 24 jam setelah pemberian. Selanjutkan dilakukan pengukuran
terhadap kadar SGPT (Panjaitan et al., 2007).

3.8.7

Pemeriksaan SGPT
Pemeriksaan SGPT dilakukan di Laboratorium Klinik Piramida dengan
menggunakan metode kinetik rekomendasi dari International Federation
of Clinical Chemistry (IFCC). Sampel yang digunakan yaitu (1) Serum, (2)
Plasma: Li-heparin atau K2-EDTA plasma.

3.8.8

Perlakuan Hewan Coba


Sejumlah 24 ekor tikus ditempatkan di dalam kandang dengan diberi
makan standart dan minuman.Setelah tikus diadaptasikan selama 1
minggu, tikus dibagi menjadi 6 kelompok terdiri dari 4 ekor tikus yang
dipilih secara acak. Tikus-tikus tersebut diberi perlakuan selama 8 hari
dengan perlakuan sebagai berikut:

a. Kelompok K(N)

: tikus diberi Na-CMC 1% 3 ml selama 7 hari

b. Kelompok K(-)

: tikus diberi Na-CMC 3 ml selama 7 hari dan diberi CCl4


1 ml/kgBB secara intraperitoneal pada hari ke-8

c. Kelompok K(+)

: tikus diberi Vitamin E 7 mg/200g/bb/hari selama 7 hari


dan diberi CCl4 1 ml/kgBb secara intraperitoneal pada
hari ke-8

d. Kelompok P1

: tikus diberi ekstrak daun katu (Sauropus androgynus (L)


Merr) dosis 2800 mg/ kgBB dan diberi CCl4 1 ml/kgBB
intraperitoneal pada hari ke-8

e. Kelompok P2

: tikus diberi ekstrak daun katu (Sauropus androgynus (L)


Merr) dosis 4200 mg/kgBB selama 7 hari dan diberi CCl4
1ml/kgBBsecara intraperitoneal pada hari ke-8

f. Kelompok P3

: tikus ekstrak daun katu (Sauropus androgynus (L) Merr)


dosis 5600 mg/ kg BB selama 7 hari dan diberi CCl4

30

1 ml/kgBB secara intraperitoneal pada hari ke-8


Pada hari ke-9 seluruh tikus kemudian diambil organ hepar untuk dilakukan
pengukuran kadar SGPT tikus.

3.9 Analisis Data


Analisis data perbedaan efektifitas dosis secara statistik dilakukan uji
normalitas dan homogenitas varian p > 0,05. Jika data yang diperoleh normal dan
homogen, maka dilanjutkan uji One Way ANOVA (p < 0,05). Apabila data yang
diperoleh tidak homogen, maka dilanjutkan uji Kruskal Wallis (p < 0,05). Jika
data yang diperoleh terdapat perbedaan nyata antara kelompok kontrol dan
perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji LSD (Least Significantly Different) (p <
0,05) sebagai lanjutkan uji One Way ANOVA dan Mann Whitney. Untuk
mengetahui hubungan antar dosis terhadap respon pencegahan peningkatan SGPT
dilakukan uji Pearson Correlation.

3.10 Uji Kelayakan Etik


Sebelum melakukan penelitian, prosedur penelitian telah dimintakan ijin
ethical clearance dari Komisi Etika Penelitian Kedokteran Fakultas Kedokteran
Universitas Jember.

31

3.11 Alur Penelitian


3.11.1 Skema Pembuatan Ekstrak daun katuk
Daun Katuk Segar

Dicuci bersih dengan air

Dikeringkan dengan cara diangin-anginkan (tanpa terkena


matahari langsung)

Dihaluskan dengan blender hingga jadi serbuk

Ditimbang, diayak menggunakan 30 mesh

100 mg serbuk daun katuk

Di maserasi kinetik selama 1 jam menggunakan etanol


80% sebanyak 800 ml

Didiamkan semalan
Disaring, pisahkan ampas dan filtrat

Filtrat

Ampas
Dimaserasi kinetik ulang 3 kali

Dikumpulkan

campuran ekstrak tersebut dipekatkan dengan rotatory evaporator


dan diuapkan di atas waterbash 60 sampai didapatkan bobot konstan
Gambar 3.2 Skema Pembuatan Ekstrak Daun Katuk

32

3.11.2 Skema Perlakuan Terhadap Hewan Coba


24 Sampel

Randomisasi

K(N)

K(-)

P1

P2

Vit E 7

Ekstrak

Ekstrak

Ekstrak

K(+)

P3

Na-CMC 3

Na-CMC 3

mg/200

daun katuk

daun katuk

daun katuk

ml peroral,

ml peroral

g/bb/hari

2800 mg/

4200mg/

5600mg/

selama 7

selama 7

selama 7

kgBB

kgBB

kgBB

hari

hari

hari

selama 7

selama 7

selama 7

hari

hari

hari

CCl4 1 ml/kgBB secara intraperitoneal pada hari ke-8

Pembedahan tikus dan pengambilan serum pada hari ke-9

Pengukuran kadar SGPT tikus

Analisis Statistik

Gambar 3.3 Skema Perlakuan Hewan Coba

33

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Katuk
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun katuk (Sauropus
androgynus (L.) Merr.). Daun katuk segar dikeringkan dengan cara dianginanginkan (tanpa terkena sinar matahari langsung) selama 3 hari kemudian
dihaluskan sehingga didapatkan 790 gram serbuk kering. Sebanyak 790 gram
serbuk kering kemudian diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan
larutan etanol 80% sehingga didapatkan 130 gram ekstrak kental.

4.1.2

Perlakuan pada Hewan Coba


Sampel penelitian yaitu 24 ekor tikus putih diberikan perlakuan selama 7

hari, kemudian pada hari ke-8 diberikan induksi CCl4 pada semua kelompok
kecuali kelompok K (N). Penghitungan kadar SGPT serum darah sampel
penelitian dilakukan di Laboratorium Klinik Piramida dengan menggunakan
metode kinetic pada hari ke 9. Data SGPT dari masing-masing kelompok dapat
dilihat pada lampiran. Rata-rata kadar SGPT serum tikus berdasarkan data
tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil Kadar SGPT
Kelompok Perlakuan

Rata-Rata Kadar SGPT (U/LSD)

K(N)

83,7515,22

K(-)

203,2530,68

K(+)

17158,58

P1

116,7560,6

P2

1098,45

P3

94,2564,75

Hasil pemeriksaan kadar SGPT serum darah tikus dalam bentuk grafik
terdapat pada gambar di bawah ini.

34

203,2530,68
17158,58

83,7515,22

116,7560,6
1098,45

94,2564,75

Gambar 4.1 Grafik Perbandingan Nilai Rata-Rata Kadar SGPT

Tabel 4.1 dan Gabar 4.1 memperlihatkan bahwa kelompok K(-) yang
diberikan induki CCl4 memiliki kadar SGPT yang lebih tinggi daripada kelompok
K(N). Hal ini menunjukkan pemberian CCl4 dapat meningkatkan kadar SGPT jika
dibandingkan dengan kelompok K(N) yang hanya diberikan Na CMC 1%. Pada
kelompok K(+) yang diberikan CCl4 dan vitamin E terlihat terjadi penurunan
kadar SGPT dibandingkan K(-). Berdasarkan tabel dan gambar diatas terlihat
adanya penurunan SGPT pada kelompok dosis ekstrak daun katuk yaitu P1, P2
dan P3 dibandingkan kelompok K(-).
Data persentase pencegahan peningkatan kadar SGPT dapat digunakan
untuk mengetahui efek dari perlakuan pada kelompok perlakuan dosis ekstrak
daun katuk dalam menurunkan kadar SGPT. Hasil perhitungan persentase
penurunan kadar SGPT terhadap kelompok K(-) dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Persentase Pencegahan Peningkatan SGPT
Kelompok Perlakuan

Persentase pencegahan peningkatan SGPT

P1

42,81 %

P2

46,38 %

P3

53,63 %

35

Dalam grafik, data tersebut dapat dilihat sebagai berikut

Gambar 4.2 Grafik Persentase Pencegahan Peningkatan SGPT

4.1.3

Analisis Data
Uji normalitas yang digunakan pada analisis data penelitian ini adalah uji

Shapiro Wilk. Kelompok K(N) mendapatkan hasil p = 0,962, kelompok K(-)


mendapatkan hasil p = 0,975, kelompok K(+) mendapatkan hasil p = 0,433,
kelompok P1 mendapatkan hasil p = 0,862, kelompok P 2 mendapatkan hasil p =
0,686 dan P3 mendapatkan hasil p = 0,757. Pada uji ini menunjukkan bahwa data
kadar SGPT serum terdistribusi normal dengan nilai p > ( = 0,05).
Uji yang digunakan untuk mengetahui data homogen atau tidak dengan
menggunakan uji Levene Test. Berdasarkan hasil uji tersebut didapatkan data p =
0,141. Hasil tersebut menunjukkan bahwa data kadar SGPT serum memiliki
varian yang homogen dengan nilai p > ( = 0,05).
Berdasarkan hasil uji Saphiro Wilk dan uji Levene Test dapat disimpulkan
bahwa data terdistribusi dengan normal dan memiliki varian yang homogen. Hal
ini menunjukkan syarat untuk menggunakan One Way ANOVA sudah terpenuhi.
Hasil uji ANOVA menunjukkan p = 0,010 (p < 0,05) sehingga dapat dikatakan
terdapat perbedaan yang signifikan diantara keenam kelompok. Uji ANOVA
dilanjutkan dengan LSD (Least Significant Difference) untuk mengetahui

36

kelompok mana yang memiliki perbedaan selisih rerata kadar SGPT tikus yang
signifikan.
Berdasarkan hasil uji LSD kadar SGPT antar kelompok perlakuan diketahui
bahwa kelompok K(N) berbeda signifikan dengan kelompok K(-), dan K(+),
tetapi tidak berbeda signifikan terhadap kelompok P1, P2 dan P3. Kelompok K(-)
berbeda signifikan dengan kelompok K(N), P1, P2 dan P3. Kelompok K(+) hanya
berbeda signifikan dengan K(N) dan P3. Antar kelompok P1, P2 dan P3
menunjukkan hasil yang tidak berbeda signifikan.
Uji korelasi pada penelitian ini menggunakan uji Pearson Correlation.
Untuk hubungan antara dosis ekstrak daun katuk dengan penurunan kadar SGPT
diperoleh nilai sig = 0,113. Nilai tersebut menunjukkan bahwa korelasi antar
ketiga dosis ekstrak daun katuk adalah tidak bermakna. Nilai Pearson Correlation
sebesar -0,984 menunjukkan korelasi negatif.

4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa rata-rata kadar SGPT
kelompok K(N) adalah 83,75 U/L. Berdasarkan rata-rata kadar tersebut dapat
diketahui bahwa pemberian Na CMC 1% pada K(N) tidak mempengaruhi kadar
SGPT. Jika dibandingkan dengan kelompok

K(-) terlihat perbedaan yang

signifikan (p < 0,05), kelompok K(-) yang diberikan CCl4 1 ml/kgBB terlihat
adanya peningkatan rata-rata kadar SGPT dengan nilai 203,25 U/L. Dari hasil
tersebut, pemberian karbon tetraklorida (CCl4) dapat meningkatkan kadar SGPT.
CCl4 akan masuk kedalam sirkulasi portal hepatik dan dimetabolisme oleh enzim
sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) menjadi radikal bebas triklorometil (CCl3) dalam
retikulum endoplasmik hati. Triklorometil dengan oksigen akan membentuk
radikal triklorometil peroksi (CCl3O2) yang dapat menyerang lipid membran
retikulum endoplasmik dan menyebabkan peroksidasi lipid sehingga mengganggu
homeostasis Ca2+ dan akhirnya menyebabkan kematian sel (Panjaitan et al.,
2007).
Kelompok K(N) dibandingkan dengan kelompok P1, P2 dan P3 tidak
memiliki perbedaan yang signifikan. Ini berarti kelompok P1, P2 dan P3 yang

37

masing diberi dosis ekstrak 2800, 4200 dan 5600 mg/ kgBB dapat menurunkan
kadar SGPT mendekati kelompok K(N) yang sebagai kontrol normal.
Berdasarkan gambar 4.1, grafik kadar SGPT dari masing-masing dosis
menunjukkan bahwa penambahan dosis dapat menambah pencegahan peningkatan
kadar SGPT tikus wistar. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang menjadi
acuan penelitian ini. Penelitian terdahulu yang memakai mencit sebagai hewan
coba, menunjukkan dosis 800 mg/ kgBB memiliki kadar SGPT paling rendah
(Joniada, 2011).
Kelompok K(N) memiliki perbedaan yang signifikan dengan kelompok
K(+). Kelompok K(+), sebagai kontrol positif yang diberi vitamin E 7
mg/200g/bb/hari diharapkan dapat mencegah peningkatan kadar SGPT agar dapat
dijadikan tolak ukur pencegahan pengingkatan SGPT dari ekstrak etanol 80%
daun katuk. Vitamin E dipilih sebagai kontrol positif karena mekanisme kerja dari
vitamin E sama dengan flavonoid dari ekstark daun katuk yang berfungsi
melindungi asam-asam lemak dari oksidasi dengan cara menangkap radikal bebas
(Rukmiasih et-al., 2011). Dalam penelitian ini terjadi sebaliknya. Jika
dibandingkan dengan kelompok K(-), kelompok K(+) tidak memiliki perbedaan
yang signifikan. Ini berarti terjadi sesuatu yang menghambat mekanisme
perlindungan dari vitamin E terhadap kerusakan yang disebabkan CCl4. Ternyata
dalam pemberiannya, CCl4 selain mengakibatkan perusakan lipid membran, CCl4
juga menghambat kerja berbagai antioksidan enzimatik seperti superoxide
dismutase (SOD), katalase (CAT) dan hepatik glutation (GSH) (Ganie et al,
2010). GSH sendiri berfungsi mengubah radikal vitamin E, yang terbentuk setelah
vitamin E mengikat radikal bebas, menjadi vitamin E kembali. Karena GSH
dihambat oleh CCl4, vitamin E tetap dalam bentuk radikal dan menjadi
prooksidan, sehingga terjadilah perusakan sel hati (Lone et al, 2013).
Kelompok K(-) memiliki perbedaan yang signifikan dengan kelompok P1,
P2 dan P3. Hal ini menunjukkan bahwa pada ketiga kelompok tersebut dengan
dosis masing-masing 2800, 4200 dan 5600 mg/kgBB mampu menurunkan kadar
SGPT secara signifikan terhadap kelompok K(-). Penurunan kadar SGPT pada
ketiga kelompok menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun katuk memiliki

38

kemampuan sebagai hepatoprotektor dari kerusakan sel hati akibat adanya radikal
bebas. Flavonoid merupakan kandungan yang memiliki aktivitas antioksidan
dalam daun katuk, dengan jumlah sekitar 143 mg/100 g fw yang terdiri dari rutin
dan senyawa flavonol dan flavon. Rutin dan flavonol merupakan antioksidan kuat
terhadap peroksidasi lipid (Sandhar et al., 2011; Redha, 2010 dan Wijono, 2003).
Aktivitas pengikatan radikal bebas dapat digambarkan sebagai berikut.
F-OH + R.
F-O. + RH
Flavonoid (F-OH) dapat mendonorkan atom hidrogennya untuk mengikat
radikal bebas (R.). Aktivitas ini juga terjadi pada proses pencegahan peroksidasi
lipid. Flavonoid menyumbangkan atom hidrogen kepada peroksi radikal untuk
memotong rantai reaksi radikal (Sandhar et al., 2011).
Kelompok K(+) memiliki perbedaan yang signifikan dengan kelompok
K(N) dan P3 tetapi tidak dengan kelompok K(-), P1 dan P2. Perbedaan signifikan
dengan kelompok K(N) dan P3 ini dikarenakan vitamin E dari kelompok K(+)
menjadi prooksidan dan menyebabkan perusakan sel hati. Hal ini juga menjadi
alasan terjadi perbedaan yang tidak signifikan antara kelompok K(+) dan K(-).
Perbedaan yang tidak signifikan dengan kelompok P1 dan P2 menunjukkan
bahwa kelompok P1 dan P2 masih belum dapat mencegah peningkatan kadar
SGPT tikus wistar sebaik kelompok P3.
Kelompok P1, P2 dan P3 menunjukkan adanya pencegahan peningkatan
kadar SGPT pada tikus wistar.

Gambar 4.1 juga menunjukkan bahwa

peningkatan dosis dari ekstrak etanol daun katuk dapat meningkatkan pencegahan
peningkatan kadar SGPT lebih baik. Dari hasil LSD, kelompok P1, P2 dan P3
tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa
pencegahan peningkatan kadar SGPT pada setiap kelompok perlakuan tidak
berbeda secara nyata.

39

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitin dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Terdapat perbedaan efektifitas hepatoprotektor ekstrak etanol 80% daun
katuk (Sauropus androgynus (L) Merr) dalam mencegah peningkatan
kadar SGPT dari tikus putih galur wistar (Rattus novergicus) yang
diinduksi CCl4
2. Tidak terdapat hubungan dosis respon ekstrak etanol 80 % daun katuk
(Sauropus androgynus (L) Merr) dalam mencegah peningkatan kadar
SGPT dari tikus putih galur wistar (Rattus novergicus) yang diinduksi
CCl4

5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, telah terbukti ekstrak etanol 80% daun katuk
(Sauropus androgynus (L) Merr) dapat digunakan sebagai hepatoprotektor pada
tikus putih galur wistar (Rattus novergicus) yang diinduksi CCl4 dalam mencegah
peningkatan kadar SGPT. Saran yang diberikan oleh peneliti yaitu :
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai aktivitas hepatoprotektor
daun katuk dengan pemeriksaan fungsi hati yang berbeda.
2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai aktivitas hepatoprotektor
daun katuk dengan pemeriksaan histopatologi hati.
3. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengisolasi senyawa aktif
daun katuk sehingga dimungkinkan digunakan dosis yang lebih efektif.

40

DAFTAR PUSTAKA

Andari, A. 2010. Uji Aktifitas Ekstrak Daun Katu (Sauropus androgynus (L)
Merr) Sebagai Antioksidan Pada Minyak Kelapa. Yogyakarta: Fakultas
SAINS dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Andarwulan, Batari, Sandrasari, Bolling, dan Wijaya. 2010. Flavonoid Content


and Antioxidant Activity of Vegetables From Indonesia. Food Chemistry.
Vol 121: 1231-1235.

Arista, M. 2013. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol 80% dan 96% Daun Katuk
(Sauropus androgynus (L.) Merr). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas
Surabaya. Vol 2 (2) : 2-5.

Colombo, M. L. 2010. An Update on Vitamin E, Tocopherol and TocotrienolPerspectives. Torino: Department of Drug Science and Technology,
University of Torino.

Faridah, H. 2009. Pengaruh Pemberian buah Pepaya (Carica Papaya L)


Terhadap Anatomi Alveolus Paru-Paru Mencit (Mus Musculus) yang
Diinhalasi CCL4 (Carbon Tetraclorida). Malang : Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Malang.

Ganie, Haq, Masood, dan Zargar. 2010. Podophyllum Hexandrum Rhizome


Methanolic Extract Ameliorates Carbon Tetrachloride Induced
Hepatotoxicity In Albino Rats. Pharmacologyonline 2: 496-506

Gaol, J. F. L. 2011. Isolasi Zat Warna Hijau Daun Katuk (Sauropus androgynus
Merr.) Sebagai Pewarna Tablet. Medan: Fakultas Farmasi Unversitas
Sumatera Utara.

Guyton, A. C. & Hall, J. E. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedeokteran, Edisi 11.
Jakarta: EGC.

Hartanto, H. 2012. Identifikasi Potensi Antioksidan Minuman Cokelat dari Kakao


Lindak (Theobroma Cacao L.) dengan Berbagai Cara Preparasi: Metode

41

Radikal Bebas 1,1 Diphenyl-2-Picrylhidrazyl (DPPH). Surabaya: Fakultas


Teknologi Pertanian Universitas Katolik Widya Mandala.

Joniada, I. M. 2009. Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Katuk (Sauropus


androgynous L) Sebagai Hepatoprotektor pada Mencit yang Diinduksi
Paracetamol. Jember: Fakultas Farmasi Universitas Jember.

Junieva, P. N. 2006. Pengaruh Pemberian Ekstrak Meniran ( Phyllanthus sp. )


Terhadap Gambaran Mikroskopik Paru Tikus Wistar yang Diinduksi
Karbon Tetraklorida. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro

Khalasa, T., Winarsih, S., dan Widodo, M. A. 2013. Uji Efektivitas Ekstrak Etanol
Daun Katuk (Sauropus androgynus) Sebagai Antibakteri Terhadap
Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Secara In Vitro.
Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

Kuncahyo, I. & Sunardi. 2007. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Belimbing


Wuluh (Averrhoa bilimbi, L.) Terhadap 1,1-Diphenyl-2-Picrylhidrazyl
(DPPH). Yogyakarta: Teknologi Farmasi Fakultas Teknik Universitas Setia
Budi.
Lone, Ganai, Ahanger, Bhat1, Wani, dan Bhat2. 2013. Free radicals and
antioxidants: Myths, facts and mysteries. India : Sher-e-Kashmir University
of Agricultural Sciences and Technology.

Manik, N. D. 2011. Penetapan Kadar Kalsium Pada Daun Katuk (Sauropus


androgynus (L.) Merr.) Dari Daerah Karo Dengan Daerah Pematang Johar
Secara Spektrofotometri Serapan Atom. Medan: Fakultas Farmasi
Unversitas Sumatera Utara.

Nabila, N. 2011. Pengaruh Pemberian Metanol dan Etanol Terhadap Tingkat


Kerusakan Sel Hepar Tikus Wistar. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.

Notoatmojo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

42

Panjaitan, Handharyani, Chairul, Masriani, Zakiah, dan Manalu. 2007. Pengaruh


Pemberian Karbon Tetraklorida Terhadap Fungsi Hati dan Ginjal Tikus.
Makara, Kesehatan, Vol. 11. (1): 11-16.

Panjaitan, T. D., Prasetyo, B., dan Limantara, L. 2008. Peranan Karotenoid Alami
dalam Menangkal Radikal Bebas. Info Kesehatan Masyarakat, Vol. 12 (1):
79-86.

Pazil, Siti N.BT. 2009. Perbandingan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daging


Pisang Raja (Musa AAB Pisang Raja) dengan Vitamin A, Vitamin C, dan
Katekin Melalui Penghitungan Bilangan Peroksida. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2009. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Prihatni, Parwati, Sjahid, dan Rita. 2005. Efek Hepatotoksik Anti Tuberkulosis
Terhadap Kadar Aspartate Aminotransferase dan Alanine Aminotransferase
Serum Penderita Tuberkulosis Paru. Indonesian Journal of Clinical
Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, (1), 1-5.

Redha, A. 2010. Flavonoid: Struktur, Sifat Antioksidatif dan Peranannya Dalam


Sistem Biologis. Jurnal Belian Vol. 9 (2): 196 202.

Rianyta & Utami, S. 2013. Drug-Induced Liver Injury (DILI) pada Penggunaan
Propiltiourasil (PTU). CDK-203. Vol. 40 (4): 278-281.

Rohmatussolihat. 2009. Antioksidan, Penyelamat Sel-Sel Tubuh Manusia.


BioTrends. Vol. 4 (1): 5-9.

Rowe, R. C., Sheskey, P. J., dan Quinn, M. E. 2009. Handbook of Pharmaceutical


Excipients, Sixth Edition. Great Britain: Pharmaceutical Press.

Rukmiarsih, Hardjosworo, Ketaren, dan Matitaputty. 2011. Penggunaan Beluntas,


Vitamin C dan E sebagai Antioksidan untuk Menurunkan Off-Odor Daging
Itik Alabio dan Cihateup. JITV Vol. 16 (1): 9-16.

43

Sandhar, Kumar, Prasher, Tiwari, Salhan, dan Sharma. 2011. A Review of


Phytochemistry and Pharmacology of Flavonoids. Phagwara: Dept. of
Pharmaceutical Sciences, Lovely Professional University.

Sholihah, Q. & Widodo, M. A. 2008. Pembentukan Radikal Bebas Akibat


Gangguan Ritme Sirkadian dan Paparan Debu Batubara. Jurnal Kesehatan
Lingkungan, VOL.4, (2): 89 100.

Suarsana, Utama, Agung, dan Suartini. 2011. Pengaruh Hiperglikemia dan


Vitamin E pada Kadar Malonaldehida dan Enzim Antioksidan Intrasel
Jaringan Pankreas Tikus. MKB, Volume 43 (2): 72-76.

Wibowo, W.A., Maslachah, L., dan Bijanti, R. 2005. Pengaruh Pemberian


Perasan Buah Mengkudu (Morinda citrifolia) Terhadap Kadar SGOT dan
SGPT Tikus Putih (Rattus norvegicus) Diet Tinggi Lemak. Surabaya:
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

Wijono, S. H. S. 2003. Isolasi dan Identifikasi Flavonoid Pada Daun Katu


(Sauropus androgynus (L.) Merr). Makara, SAINS, VOL. 7, NO. 2.

Wisnuaji, L. K. 2012. Identifikasi Efek Toksik Akut Jus Daun Katuk (Sauropus
androgynous) Pada Hepar Tikus Galur Wistar. Surabaya : Fakultas Farmasi
Universitas Surabaya.

Yuniarty, D. S. T. 2011. Persentase Berat Karkas dan Berat Lemak Abdominal


Broiler yang Diberi Ransum Mengandung Tepung Daun Katuk (Sauropus
androgynus), Tepung Rimpang Kunyit (Curcuma domestica) dan
Kombinasinya. Makassar: Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.

44

LAMPIRAN

A. Volume Maksimal Pemberian Larutan Sediaan Uji Pada Beberapa Hewan Uji
Jenis hewan uji

Voluma maksimal (mL) sesuai jalur pemberian


i.v
i.m
i.p
s.c
p.o
Mencit (20-30 g)
0,5
0,05
1,0
0,5-1,0
1,0
Tikus (100 g)
1,0
0,1
2-5
2-5
5,0
Hamster (50 g)
0,1
1-2
2,5
2,5
Marmot (250 g)
0,25
2-5
5,0
10,0
Kelinci (2,5 Kg)
5-10
0,5
10-20
5-10
20,0
Kucing (3 Kg)
5-10
1,0
10-20
5-10
50,0
Anjing (5 Kg)
10-20
5,0
20-50
10,0
100,0
Dikutip dari: Ritschell. 1974. Laboratory Manual of Biopharmaceutics. Hamilton:
Drug Intellegence Publication.

45

B. Tabel Konversi Perhitungan Dosis Untuk Berbagai Jenis (Spesies) Hewan Uji
Menurut Laurence & Bacharah, 1984

Mencit
20 gr
Tikus
200 gr
Marmut
400 gr
Kelinci
1,5 Kg
Kucing
2 Kg
Kera 4
Kg
Anjing
12 Kg
Manusia
70 Kg

Mencit
20 gr

Tikus
200 gr

Marmut
400 gr

Kelinci
1,5 Kg

Kucing
2 Kg

Kera
4 Kg

Anjing
12 Kg

Manusia
70 Kg

1,0

7,0

13,25

27,8

29,7

64,1

124,2

387,9

0,14

1,0

1,74

3,9

4,2

9,2

17,8

56,0

0,08

0,57

1,0

2,25

2,4

5,2

10,2

31,5

0,04

0,25

0,44

1,0

1,08

2,4

4,5

14,2

0.,03

0,23

0,41

0,92

1,0

2,2

4,1

13,0

0,016

0,12

0,19

0,42

0,45

1,0

1,9

6,1

0,008

0,06

0,10

0,22

0,24

0,52

1,0

3,1

0,0026

0,018

0,031

0,07

0,076

0,16

0,32

1,0

46

C. Data Hasil Penelitian

47

48

D. Hasil Analisis Data

Tests of Normality
kelompok

Kolmogorov-Smirnova
Statistic
df
Sig.
kontrol normal .165
4
.
kontrol negatif .155
4
.
kontrol positif
.284
4
.
SGPT
dosis 2800
.219
4
.
dosis 4200
.223
4
.
dosis 5600
.212
4
.
a. Lilliefors Significance Correction

Shapiro-Wilk
Statistic
df
.991
4
.994
4
.900
4
.973
4
.945
4
.956
4

Test of Homogeneity of Variances


SGPT
Levene
df1
df2
Sig.
Statistic
1.920
5
18
.141

Between Groups
Within Groups
Total

Sum of
Squares
44318.333
37619.000
81937.333

ANOVA
SGPT
df
Mean Square
5
18
23

8863.667
2089.944

Sig.

4.241

.010

Sig.
.962
.975
.433
.862
.686
.757

49

Multiple Comparisons
Dependent Variable: SGPT
LSD
(I) kelompok (J) kelompok
Mean
Std. Error
Sig.
Difference (IJ)
kontrol negatif -119.500*
32.326
.002
*
kontrol positif
-87.250
32.326
.015
kontrol normal dosis 2800
-33.000
32.326
.321
dosis 4200
-25.250
32.326
.445
dosis 5600
-10.500
32.326
.749
*
kontrol normal 119.500
32.326
.002
kontrol positif
32.250
32.326
.332
kontrol negatif dosis 2800
86.500*
32.326
.015
*
dosis 4200
94.250
32.326
.009
dosis 5600
109.000*
32.326
.003
*
kontrol normal
87.250
32.326
.015
kontrol negatif
-32.250
32.326
.332
kontrol positif dosis 2800
54.250
32.326
.111
dosis 4200
62.000
32.326
.071
*
dosis 5600
76.750
32.326
.029
kontrol normal
33.000
32.326
.321
kontrol negatif
-86.500*
32.326
.015
dosis 2800 kontrol positif
-54.250
32.326
.111
dosis 4200
7.750
32.326
.813
dosis 5600
22.500
32.326
.495
kontrol normal
25.250
32.326
.445
*
kontrol negatif
-94.250
32.326
.009
dosis 4200 kontrol positif
-62.000
32.326
.071
dosis 2800
-7.750
32.326
.813
dosis 5600
14.750
32.326
.654
kontrol normal
10.500
32.326
.749
kontrol negatif -109.000*
32.326
.003
*
dosis 5600 kontrol positif
-76.750
32.326
.029
dosis 2800
-22.500
32.326
.495
dosis 4200
-14.750
32.326
.654
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

95% Confidence Interval


Lower Bound Upper Bound
-187.41
-155.16
-100.91
-93.16
-78.41
51.59
-35.66
18.59
26.34
41.09
19.34
-100.16
-13.66
-5.91
8.84
-34.91
-154.41
-122.16
-60.16
-45.41
-42.66
-162.16
-129.91
-75.66
-53.16
-57.41
-176.91
-144.66
-90.41
-82.66

-51.59
-19.34
34.91
42.66
57.41
187.41
100.16
154.41
162.16
176.91
155.16
35.66
122.16
129.91
144.66
100.91
-18.59
13.66
75.66
90.41
93.16
-26.34
5.91
60.16
82.66
78.41
-41.09
-8.84
45.41
53.16

50

Correlations
SGPT
Pearson Correlation
1
SGPT
Sig. (2-tailed)
N
3
Pearson Correlation -.984
dosis
Sig. (2-tailed)
.113
N
3

dosis
-.984
.113
3
1
3

51

E. Ethical Clearance

52

53

F. Gambar Penelitian

Daun katuk yang dikeringkan

Maserasi ekstrak

Rotary evaporator

Proses pembuatan ekstrak

54

Hewan coba
Perlakuan per oral pada hewan
NB : Ukuran kandang : 35 x 45 x 2,5 coba
cm

Pemberian CCl4 secara intraperitoneal

Pengambilan serum dari ventrikel


kanan

Anda mungkin juga menyukai