Anda di halaman 1dari 12

LIMFAGRANULOMA VENERUM

Latar Belakang
Limfogranuloma venereum (LGV) adalah penyakit menular seksual yang disebabkan
oleh bakteri obligat intraseluler Chlamydia trachomatis (C. trachomatis) sub tipe L1, L2, dan
L3. LGV terjadi di seluruh dunia dengan beberapa gejala klinis, gejala yang tersering berupa
papula atau ulkus dengan limfadenopati inguinal, diikuti dengan proktitis. Meskipun LGV
secara klasik merupakan proses infeksi yang sangat invasif, namun pasien kadang tidak
memiliki gejala klinis limfadenopati yang signifikan atau memiliki gejala kilinis yang sedang.
LGV endemik pada pada beberapa area, seperti Afrika, Asia Tenggara, Amerika
Selatan, dan Carribean. Secara historis angka kejadian LGV sangat rendah pada negaranegara industri sejak pertengahan tahun 1960. Sejak tahun 2003 terjadi wabah LGV pada
beberapa kota di Eropa, terutama diantara kaum laki-laki dengan HIV positif yang
berhubungan seksual dengan sesama jenis (kaum homoseksual). Mayoritas kasus (> 75%)
telah terdiagnosis positif HIV, dan beberapa pasien memiliki infeksi menular seksual yang
menyertai seperti gonore atau hepatitis C.
Pengalaman klinis menunjukkan bahwa LGV sangat responsif terhadap terapi
antibakterial golongan siklin seperti doksisklin atau tetrasiklin. Namun jika LGV tidak
diterapi, akan terjadi kerusakan jaringan yang luas yang berlanjut menjadi abses jaringan
yang dalam, kronik fisura, striktur, dan abdominal pain yang berat.

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Limfogranuloma Venereum


Limfogranuloma venereum (LGV) adalah infeksi menular seksual yang mengenai
system saluran pembuluh limfe dan kelenjar limfe, terutama pada daerah genital, inguinal,
anus dan rektum. LGV termasuk dalam subtipe penyakit ulkus pada genital dengan
karakteristik dari penyakit ini berupa papul atau ulkus self-limited diikuti nyeri limfadenopati
inguinal dan/atau femoral.
Limfogranuloma venereum (LGV) penyakit venerik yang disebabkan oleh Clamydia
trachomatis, afek primer biasanya cepat hilang, bentuk yang tersering adalah sindrom
inguinal. Sindrom tersebut berupa limfadenitis dan peridenitis beberapa kelenjar getah bening
inguinal medial dengan kelima tanda radang akut dan disertai gejala konstitusi, dan kemudian
mengalami perluinakan yang tak serentak
Limfogranuloma venereum (LGV) adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh
bakteri obligat intraseluler Chlamydia trachomatis (C. trachomatis) sub tipe L1, L2, dan L3.
Bentuk yang tersering adalah sindrom inguinal, sindrom tersebut berupa limfadenitis dan
periadenitis beberapa kelenjar getah bening inguinal medial dengan kelima tanda radang akut
dan disertai gejala konstitusi, kemudian akan mengalami perlunakan yang serentak.
Limfogranuloma venereum disebut juga limfopatia venereum atau limfogranuloma
inguinale yang dilukiskan pertama kali oleh Nicolas, Durand, dan Favre pada tahun 1913,
karena itu juga disebut penyakit Durand-Nicholas-Favre.

Epidemiologi Limfogranuloma Venereum


Penyakit ini terutama terdapat di negara tropik dan sub tropik. LGV endemik pada
pada beberapa area, seperti Afrika, Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Carribean. Secara
epidemiologis angka kejadian LGV sangat rendah pada negara-negara industri sejak
pertengahan tahun 1960. Sejak tahun 2003 terjadi wabah LGV pada beberapa kota di Eropa,
terutama diantara kaum laki-laki dengan HIV positif yang berhubungan seksual dengan
sesama jenis (kaum homoseksual). Sejak tahun 2003 hingga 2008, total sebanyak 849 kasus
LGV terjadi di Negara Inggris, mayoritas terjadi pada kaum homoseksual, dan hanya lima
kasus yang terjadi pada kaum heteroseksual. Rata-rata usia pasien yang terdiagnosis LGV
adalah 37 tahun, berkisar antara 19 sampai 67 tahun dan sebagian besar dari mereka adalah
etnis kulit putih (89%). Mayoritas pasien memiliki coinfeksi HIV (75%) dan sebanyak 45%
terdiagnosis dengan penyakit menular seksual yang lain. Hampir seluruh kasus menunjukkan
gejala proktitis sebanyak 90%.
Penderita pria pada sindrom inguinal lebih banyak daripada wanita, hal ini disebabkan oleh
perbedaan patogenesis yang akan disebutkan kemudian.

Etiopatogenesis Limfogranuloma Venereum


Etiologi LGV adalah C.trachomatis sub tipe L1, L2 (L2a/L2b), dan L3. C.trachomatis
merupakan famili dari Chlamydiaceae, yang diklasifikasikan menjadi tiga, yakni
C.trachomatis, C.pneumoniae, dan C.psittaci. C.trachomatis dibagi menjadi 15 sub tipe
berdasarkan gen Omp 1 yang mengkode MOMP (major outer membrane protein). Setiap sub
tipe menyababkan penyakit yang berbeda satu sama lain, sub tipe A-C menyebabkan penyakit
trachoma atau kebutaan, sub tipe D-K menyebabkan infeksi pada mukosa saluran genitalia
dan mata, sedangkan sub tipe L (L1, L2, dan L3) berproliferasi di jaringan limfoid yang
menyebabkan penyakit LGV, sub tipe ini lebih invasif dibanding sub tipe yang lain.
Chlamydia tidak dapat menembus kulit, tapi dapat masuk melalui laserasi atau abrasi pada
kulit. Proses patofisiologis melalui trombolimfangitis dan perilimfangitis dengan penyebaran
proses inflamasi dari limfe nodus yang terinfeksi ke jaringan sekitar. Limfangitis ditandai
dengan adanya proliferasi sel endotel pada pembuluh limfe dan saluran limfe di dalam limfe
nodus.
Proses inflamasi berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Proses penyembuhan
melalui fibrosis, dimana struktur normal dari nodus limfe akan dirusak terjadi obstruksi
pembuluh limfe. Edema kronik dan fibrosis menyebabkan indurasi dan pembesaran daerah
yang terkena.Fibrosis juga mengganggu suplai darah ke kulit dan mukosa didaerah tersebut
sehingga terjadi ulkus.
LGV dapat mengenai satu atau dua limfe nodes, organisme menyebar secara
hematogen. Tapi penyebaran bergantung dari imunitas hospes.
Gejala Klinis Limfogranuloma Venereum
Gejala klinis LGV dibagi menjadi 3 stadium. Stadium primer terjadi pada tempat
inokulasi bakteri, stadium sekunder terjadi pada limfo nodi dan kadang pada anorektal, dan
stadium tersier merupakan manifestasi lanjut yang terjadi pada genital dan rektal.
1.

Stadium primer

Setelah masa inkubasi selama 3-30 hari, infeksi primer LGV memberikan gejala klinis berupa
erosi yang dangkal, vesikel, pustul, papul yang kecil atau ulkus yang tidak nyeri, muncul
pada tempat inokulasi bakteri (biasanya pada prepusium atau glans penis, uretra, vulva,
vagina, rektum, perineum, dan pada serviks). Lesi ekstra genital bisa terjadi pada kavum oris
(tonsil) dan ekstra genital limfo nodi. Lesi biasanya soliter dan cepat hilang tanpa
meninggalkan jaringan parut. Karena itu penderita biasanya tidak datang pada waktu timbul
stadium primer.
LGV: Lymfogranuloma venereum (klik op foto voor vergroting)

Gambar . Ulkus pada Prepusium Penis


2.

Stadium sekunder

Stadium sekunder terjadi 2-6 minggu setelah infeksi primer. Stadium ini berlangsung sistemik
dan menyerang limfo nodi inguinal, anus, dan rektum. Jika lesi primer terletak pada penis,
vulva, atau perianal, maka akan tampak limfadenopati inguinal atau femoral. Limfadenopati
ingunal lebih sering terjadi pada pria jika lesi primernya terletak pada genitalia eksterna.
Sedangkan pada wanita terjadi, jika lesi primernya terletak pada genitalia eksterna dan vagina
1/3 bawah. Itulah sebabnya limfadenopati lebih sering terdapat pada pria dari pada wanita,
karena pada umumnya lesi primer pada wanita terjadi pada tempat yg lebih dalam, yakni di
vagina 2/3 atas dan serviks. Jika lesi primernya pada tempat tersebut, maka yang mengalami
peradangan adalah kelenjar Gerota.

Pada stadium ini, yang terserang adalah kelenjar getah bening inguinal medial, karena
kelenjar tersebut merupakan kelenjar regional bagi genitalia eksterna. Kelenjar yang dikenal
adalah beberapa dan dapat diketahui karena permukaannya berbenjol-benjol. Kemudian akan
berkonfluensi. Karena LGV merupakan penyakit sub akut, maka akan tampak kelima tanda
radang, yakni dolor, rubor, kalor, tumor, dan fungsio lesa. Selain limfadenitis, terjadi pula
periadenitis yang menyebabkan perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Kemudian terjadi
perlunakan yang tidak serentak, yang mengakibatkan konsistensinya menjadi bermacammacam, yakni keras, kenyal, dan lunak (abses). Perlunakan biasanya di tengah, dan dapat
terjadi abses dan fistel yang multipel. Terbentuknya abses di dalam limfo nodi yang
meradang, disebut Bubo, yang dapat ruptur secara tiba-tiba atau membentuk sinus. Bubo
yang ruptur akan mengalirkan eksudat selama beberapa minggu dan menyembuh. Limfo nodi
yang tidak ruptur akan membentuk massa yang mengalami indurasi dan akan menyembuh
dalam satu bulan. Pada stadium lanjut terjadi penjalaran ke kelenjar limfo nodi di fosa iliaka
yang disebut Bubo bertingkat atau Etage Bubonen), kadang juga ke kelenjar femoralis.
Pada 2/3 kasus kelenjar yang diserang umumnya unilateral dan sangat nyeri. Jika tejadi
pembesaran kelenjar limfo nodi inguinal dan femoral secara bersamaan, keduanya akan
dipisahkan oleh ligamentum inguinale, sehingga tampak adenopati di atas dan di bawah

ligamentum inguinale. Keadaan ini disebut Groove Sign yang merupakan gambaran
patognomonik pada LGV (tampak pada 10-20% kasus).

Inokulasi ekstragenital menyebabkan limfadenopati di luar regio inguinal. Sebagai contoh,


adenopati servikal akibat LGV terjadi akibat inokulasi pada hubungan seksual secara oral.
Proktitis akibat LGV yang terjadi pada pria ataupun wanita yang melakukan
hubungan seksual secara anal, dan mungkin disebabkan oleh inokulasi secara langsung.
Keterlibatan anorektal lebih sering terjadi pada kaum homoseksual, yang memberikan gejala
klinis berupa proktitis hemoragik akut. Pada wanita dapat terjadi secara dua cara, pertama
jika hubungan seksual dilakukan secara genito-anal dan kedua jika lesi primer terjadi pada
vagina 2/3 atas atau serviks, sehingga terjadi penjalaran ke ke kelenjar perirektal (kelenjar
Gerota) yang terletak antara uterus dan rektum. Pembesaran kelenjar tersebut hanya dapat
diketahui dengan palpasi secara bimanual. Proses selanjutnya hampir sama dengan sindrom
inguinal, yakni limfadenitis dan periadenitis, lalu mengalami perlunakan hingga terbentuk
abses. Kemudian abses akan pecah sehingga menyebabkan gejala keluarnya pus pada waktu
defekasi, kemudian terbentuk fistel. Abses dan fistel dapat berlokasi di perianal dan
perirektal. Kelainan tersebut umumnya mengenai seluruh lingkaran rektum sepanjang 4-10
cm dan berlokasi 3-8 cm atau lebih di atas anus. Keluhannya ialah obstipasi, tinja kecil-kecil
disertai perdarahan saat defekasi. Akibat lain adalah tenesmus dan keluarnya darah dan pus
dari rektum. Pasien juga sering disertai gejala sistemik berupa demam, menggigil, dan
penurunan berat badan. Pada proktoskopi tampak proktitis granular atau ulseratif, menyerupai
kolitis ulseratif, yang terbatas pada 10 cm di bagian distal kanal anorektal.(1) Gejala yang
terjadi hampir sama dengan Inflammatory Bowel Disease dan sering salah diagnosis dengan
Crohn disease.
Pada stadium sekunder ini, gejala sistemik biasanya terjadi, seperti demam,
menggigil, berkeringat di malam hari, sakit kepala, malaise, dan mialgia. Leukositosis sedang
biasanya terjadi.

3.

Stadium tersier

Pada LGV kronik yang tidak diterapi, kelenjar limfo nodi akan mengalami fibrosis sehingga
aliran limfe terbendung yang menyebabkan terjadinya edema dan elefantiasis pada genitalia.
Elefantiasis tersebut dapat bersifat vegetatif, dapat terbentuk fistel-fistel dan ulkus-ulkus.
Pada pria, elefantiasis dapat terjadi di penis dan skrotum, sedangkan pada wanita di labia dan
klitoris, yang disebut Sindrom Esthiomen dengan genitalia eksterna yang mengalami
destruksi luas. Jika meluas akan terbentuk elefantiasis genito-anorektalis yang disebut
Sindrom Jersild.

Pada proktitis yang telah mengalami abses dan fistel, muara fistel selanjutnya akan meluas
menjadi ulkus yang kemudian menyembuh dan menjadi sikatriks. Akibatnya terjadi retraksi
yang menyebabkan striktura rekti.
Jika terbentuk infiltrat di uretra posterior, yang kemudian menjadi abses, lalu memecah dan
menjadi fistel, akibatnya akan terbentuk striktur hingga orifisium uretra eksternum berubah
bentuk seperti mulut ikan yang disebut Fish Mouth Urethra dan penis melengkung seperti
pedang turki.

Kelainan Lain pada Limfogranuloma Venereum


Kelainan tersebut lebih sering terdapat pada manifestasi dini daripada manifestasi lanjut, dan
jarang ditemukan. Pada kulit dapat timbul eksantema, berupa eritema nidosum dan eritema
multiformis. Fotosensitivitas dapat terjadipada 10-30% kasus pada bentuk dini dan 50% pada
bentuk lanjut.
Kelainan pada mata dapat berupa konjungtivitis, biasanya unilateral disertai edema dan ulkus
pada palpebra. Sering pula bersama-sama dengan pembesaran kelenjar getah bening regional
dan demam. Sindrom tersebut disebut Sindrom Okuloglandular PARINAUD. Selain itu
dapat pula menimbulkan kelainan pada fundus, berupa pelebaran pembuluh darah yang
berliku-liku dan disertai edema periapilar.
Susunan saraf pusat dapat pula mengalami kelainan berupa meningoensefalitis. Kelainan lain
ialah hepatosplenomegali, peritonitis, dan uretritis. Uretritis tersebut dapat disertai ulkusulkus pada mukosa, dapat pula bersama-sama dengan sistitis dan epididimitis.

Penegakan Diagnosis Limfogranuloma Venereum


Diagnosis LGV ditegakkan baik melalui gejala klinis ataupun melalui pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan penunjang berguna untuk menyingkirkan diagnosis banding dan
membedakan sub tipe C.trachomatis pada LGV dengan sub tipe lain diluar LGV. Terdapat
beberapa macam pemeriksaan penunjang, diantaranya adalah :
1.

Pemeriksaan Darah

Pada pemeriksaan darah tepi biasanya leukosit normal, sedangkan LED meningkat.
Peningkatan ini menunjukkan keaktifan penyakit, jadi tidak khas untuk LGV, namun lebih
berati untuk menilai proses penyembuhan, jika menyembuh LED akan menurun.
Sering terjadi hiperproteinemia beripa peningkatan globulin, sedangkan albumin normal atau
menurun, sehingga perbandingan albimin-globulin menjadi terbalik. Immunoglobulin yang
meningkat adalah IgA dan tetap meningkat selama penyakit masih aktif, sehingga bersamasama dengan LED menunjukkan keaktivan penyakit.

2.

Tes Frei

Pada tahun 1930-1970, LGV didiagnosis melalui tes kulit dengan tes Frei, sebuah tes yang
menunjukkan hipersensitifitas tipe lambat untuk antigen Chlamydia, mirip dengan tes
tuberkulin. Tes ini tidak sesensitif seperti tes serologi, dan kadang menunjukkan hasil false
positive karena infeksi bakteri Chlamydia sub tipe D-K. Saat ini antigen untuk tes Frei sudah
tidak tersedia lagi.
Melakukan tes Frei dengan antigen Frei. Frei memperolehnya dari pus penderita LGV yang
mengalami abses yang belum pecah, kemudian dilarutkan dalam garam faal dan dilakukan
pasteurisasi. Untuk mendapatkan antigen yang tidak terkontaminasi oleh bakteri, dapat
diperoleh dari otak tikus yang telah ditulari.
Cara melakukannya seperti pada tes tuberkulin, yakni 0,1 cc disuntikkan intrakutan pada
bagian anterior lengan bawah dan dibaca setelah 48 jam. Jika terdapat infiltrat berdiameter
0,5 cm atau lebih berati positif. Tes tersebut tidak khas karena penyakit yang segolongan juga
memberikan hasil positif. Kekurangan yang lain adalah tes tersebut baru memberi hasil
positif setelah 5-8 minggu dan jika positif hanya berati sedang atau pernah menderita LGV.
Pada tes Frei terbalik, antigen diambil dari penderita yang diduga menderita LGV, kemudian
disuntikkan pada penderita LGV. Jika positif berati penderita yang diduga menderita LGV.
3.

Swab Speciment

Pada pasien yang diduga menderita LGV, spesimen yang diambil dapat berasal dari swab
rektum (pada proktitis) atau ulkus kemudian dilakukan tes laboratorium. Spesimen swab dari
lesi rektum yang divisualisasikan dengan anoskopi memberikan hasil mikorobiologi yang
lebih baik dibanding swab rektum saja (blind). Pada pasien yang menderita proktitis berat,
harus dipertimbangkan adanya HSV, terutama pada pasien dengan HIV positif, swab rektum
untul kultur HSV atau tes PCR harus dilakukan.
4.

Tes serologis

Tes serologi untuk infeksi C.trachomatis terdiri dari dua tes, yaitu tes ikatan komplemen
(Complement Fixation (CF)) dan tes microimmunofluorescence (micro-IF). Tes CF
mengukur adanya antibodi yang melawan antigen LPS spesifik dari bakteri. Tes ini spesifik
untuk genus Chlamydia, oleh karena itu tidak mampu membedakan antara infeksi
C.trachomatis, C.psittaci, dan C.pnuemoniae. Karena C.trachomatis lebih invasif, maka pada
LGV titer antibodi dalam serum lebih tinggi dibanding C.trachomatis sub tipe D-K.
Berdasarkan CDC, kriteria diagnosis tes serologis untuk pasien LGV dengan gejala klinis
yang konsisten meliputi hasil positif tes serologis untuk C.trachomatis dengan titer antibodi
yang tinggi, yakni pada tes CF titer antibodi 1:64 dan pada tes micro-IF titer antibodi
1:256.
Tes micro-IF awalnya adalah tes untuk menentukan sub tipe dari spesies C.trachomatis,
kemudian berkembang untuk mengukur respon antibodi pada pasien yang terinfeksi
C.trachomatis. Tes micro-IF lebih bermanfaat dibandingkan tes CF, karena mampu

mendeteksi antibodi yang spesifik terhadap sub tipe C.trachomatis dan mampu mendeteksi
kelas imunoglobulin yang berbeda, serta lebih sensitif dibanding tes CF pada mayoritas
pasien.
5.

Kultur dan Metode Molekuler

Kultur Chlamydia menunjukkan bukti langsung adanya infeksi C.trachomatis. C.trachomatis


dapat diidentifikasi dari cairan bubo yang diaspirasi atau pada bahan-bahan ulkus. Berbeda
dengan ulkus mole, bubo ulkus mole terdiri atas pus yang berjumlah banyak, bubo LGV
terdiri atas sejumlah kecil cairan seperti susu yang encer, sehingga harus dilakukan injeksi 25 ml saline steril untuk mendapatkan sejumlah cairan dari aspirasi. C.trachomatis dapat
diisolasi pada kultur jaringan, menggunakan HeLa-229 atau sel McCoy, namun teknik ini
jarang tersedia. Alternatif lain C.trachomatis dapat diidentifikasi dengan fluorescent
microscopy secara langsung menggunakan antibodi monoklonal konjugasi yang tersedia
pada material bubo atau ulkus. Secara komersial tersedia EIA (Enzyme Immunoassay), yang
mampu mendeteksi antigen Chlamydia (LPS), biasanya digunakan untuk mendiagnosis
infeksi uretra dan serviks akibat C.trachomatis sub tipe D-K, namun tidak digunakan pada
LGV.
DNA amplification assay (NAAT), seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) atau Ligase
Chain Reaction (LCR), mampu mendeteksi genom yang spesifik Chlamydia dan plasmid
DNA, sehingga merupakan tes yang paling sensitif untuk mendiagnosis infeksi Chlamydia,
namun belum digunakan untuk mendiagnosis LGV.
6.

Pemeriksaan Khusus

Pasien dengan proktitis yang berat perlu dirujuk untuk mengevaluasi gastroenterologi, yakni
endoskopi bagian bawah. Temuan klinis LGV pada sigmoideskopi dan kolonoskopi
diantaranya adalah eksudat mukopurulen, eritema difus, mukosa rektal yang rapuh, ulkus
yang khas, dan massa yang mengalami inflamasi, meskipun hal ini bukan merupakan temuan
spesifik pada LGV.

Diagnosis Banding Limfogranuloma Venereum


Diagnosis banding LGV sangat bervariasi tergantung pada stadiumnya.
a)

Stadium Primer

1.

Ulkus durum

Lesi primer yang khas pada LGV berbeda dengan ulkus pada sifilis primer (ulkus durum).
Pada ulkus durum, ulkus bersih, indolen, tidak terdapat tanda radang akut, lesi lebih besar,
dengan tepinya yang mengalami indurasi, dan biasanya muncul dengan ulkus yang multiple.
Lesi pada LGV dan ulkus sifilis primer biasanya tidak nyeri, dan dapat diikuti oleh adenopati
unilateral atau bilateral.

2.

Ulkus Mole

Ulkus pada ulkus mole sangat khas, yakni ulkus kecil, lunak pada perabaan, tidak terdapat
indurasi, berbentuk cawan, pinggir tidak rata, sering bergaung, dan dikelilingi haloyang
eritematosa. Ulkus sering tertutup jaringan nekrotik, dasar ulkus berupa jaringan granulasi
yang mudah berdarah, dan pada perabaan terasa nyeri.
Pada LGV lesi primer tidak spesifik dan cepat hilang. Terjadi pembesaran kelejar getah
bening inguinal, yang perlunakannya tidak serentak.
b)

Stadium Sekunder

1.

Skrofuloderma

Antara LGV dan skrofuloderma yang mengenai daerah inguinal terdapat persamaan, yakni
keduanya terdapat limfadenitis pada beberapa kelenjar, periadenitis, perlunakan tidak
serentak akibatnya konsistensi kelenjar bermacam-macam, serta pembentukan abses dan
fistel yang multipel. Kecuali itu, LED meningkat pada keduanya, sedangkan leukosit
biasanya normal.
Perbedaannya ialah, pada LGV terdapat kelima tanda radang akut, sedangkan pada
skrofuloderma tidak terdapat kecuali tumor. Lokasinya juga berlainan, pada LGV di inguinal
medial, sedangkan pada skrofuloderma pada inguinal lateral dan femoral.
2.

Limfadenitis piogenik

Pada penyakit ini lesi primer masih tampak, misalnya dermatitis atau skabies pada genitalia
eksterna yang mengalami infeksi oleh piokokus, sedangkan pada LGV lesi primer umumnya
sudah tidak ada, karena cepat menghilang. Kelima tanda radang akut juga terdapat, tetapi
perlunakannya serentak, sehingga tidak membentuk abses dan fistel yang multipel seperti
pada LGV. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan leukosit.
3.

Limfadenitis karena ulkus mole

Ulkus mole kini jarang terdapat, jika menyebabkan limfadenitis, maka lesi primer masih
tampak. Kelima tanda radang juga terdapat, tetapi perlunakannya serentak.
4.

Limfoma maligna

Penyakit ini, jika masih dini tanpa disertai kelima tanda radang, kecuali tumor, biasanya
tidak melunak. Pada gambaran darah tepi terdapat kelainan dan gambaran histopatologisnya
meberi kelainan yang khas.
5.

Hernia inguinalis

Adakalanya hernia inguinalis atau femoralis disangka LGV dan sebaliknya. Pada hernia
tanda-tanda radang tidak ada kecuali tumor, dan saat pasien mengejan tumor akan membesar.

Penatalaksanaan Limfogranuloma Venereum


Pengobatan LGV dengan antibiotik dilakukan selama 21 hari. Antibiotik yang
direkomendasikan adalah doksisiklin oral 100 mg 2 kali sehari selama 21 hari, atau
eritromisin oral 500 mg 4 kali sehari selama 21 hari, atau alternatif lain adalah azitromisin
oral 1 gr 1 kali (single dose ) selama 21 hari. Doksiksiklin adalah pengobatan lini pertama
pada LGV, sedangkan eritromisin adalah pengobatan lini kedua. Eritromisin diberikan pada
wanita yang sedang hamil dan menyusui, karena doksisiklin dikontraindikasikan untuk
wanita hamil. Eritromisin efektif untuk mengobati baik LGV maupun ulkus mole, namun
penggunaan eritromisin yang lama tidak direkomendasika untuk LGV. Pasien LGV yang juga
menderita HIV positif mendapat pengobatan dengan regimen yang sama dengan pasien LGV
yang lain yang tidak terinfeksi HIV.
Seluruh pasien harus di follow up sampai gejala dan tanda klinis LGV menyembuh. Hal ini
mungkin berlangsung selama 3-6 minggu. Bubo yang fluktuatif harus diaspirasi karena tidak
akan pulih hanya dengan pengobatan antibiotik. Namun, tindakan insisi atau drainase atau
eksisi pada bubo tidak akan membantu dan akan meperlambat proses penyembuhan.
Komplikasi lanjut LGV, seperti striktur pada rektum akan membaik dengan terapi antibiotik,
namun tidak dapat mengoreksi kerusakan akibat fibrosis. Fistula rekto-vagina, obstruksi usus,
dan esthiomene membutuhkan tindakan bedah dan pengobatan antibiotik.
Penatalaksanaan LGV tidak hanya terbatas pada pasien saja, tetapi juga pada partner
hubungan seksual. Jika pasien telah didiagnosis LGV, maka partner hubungan seksual selama
30 hari terakhir juga harus dievaluasi, jika menunjukkan gejala klinis, maka harus diobati
seperti pasien yang telah didiagnosis LGV. Namun, jika partner hubungan seksual tidak
menunjukkan gejala atau asimtomatik, maka harus diobati dengan doksisiklin oral 100 mg 2
kali sehari selama 7 hari, atau dosis tunggal 1 gr azitromisin.

Komplikasi
Komplikasi dari LGV berupa stadium lanjut yang terdiri atas:

Sindrom anorektal

Sindrom anorektal merupakan manifestasi lanjut GV terutama pada wanita, karena


penyebaran langsung dari lesi primer di vagina ke kelenjar limfe perirectal.Gejala awal
berupa perdarahan anus yang diikuti duh anal yang purulent disertai febris, nyeri saat
defekasi, sakit perut bawah, konstipasi dan diare. Bila tidak diobati akan terjadi proktokolitis
berat yang gejalanya menyerupai colitis ulserosa, dengan tanda tanda fistel anal, abses
perirectal dan fistel rektovaginal atau rektovesikal. Gejala striktura rekti yang progresif sering
ditandai dengan secret dan perdarahan rectum, kolik dan obstipasi oleh karena obstruksi total
(pada pria gejala proktitis menunjukan kebiasaan melakukan hubungan seksual anogenital).

Sindrom genital (Eschiomene)

Sindrom genital berupa edem vulva yang terjadi sepanjang klitoris sampai anus (elephantiasis
labia) akibat peradangan kronis sehingga terjadi kerusakan kelenjar dan saluran limfe
sehingga timbul edem di daerah vulva.
Pada permukaan elephantiasis dapat terjadi tumor polipoid dan verukosa, dan karena tekanan
dari paha dapat menjadi pipih, disebut buchblatt condyloma.Dapat pula terjadi fistel kibat
ulserasi yang destruktif dan pecah ke vagina dan vesika urinaria.
Pada pria dapat terjadi proses yang sama tetapi jarang ditemukan. Klinisnya berupa
elephantiasis skrotum.Bila derajat kerusakan kelenjar dan pembuluh limfe berat atau luas,
dapat terjadi elephantiasis sati atau kedua tungkai.
Prognosis Limfogranuloma Venereum
Prognosis pasien dengan LGV adalah baik, jika infeksi dikenali secara tepat dan
diterapi secara cepat sebelum terbentuk inflamasi yang berat, seperti bubo dan pembentukan
fistula. Disamping terapi yang tepat, pasien dengan bubo juga harus di-follow up untuk
melakukan tindakan aspirasi. Secara umum, adanya jaringan parut yang terjadi akibat gejala
klinis yang lanjut, membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh.

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda A. 2015. Lymphogranuloma Venereum dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
Edisi kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai