Latar Belakang
Limfogranuloma venereum (LGV) adalah penyakit menular seksual yang disebabkan
oleh bakteri obligat intraseluler Chlamydia trachomatis (C. trachomatis) sub tipe L1, L2, dan
L3. LGV terjadi di seluruh dunia dengan beberapa gejala klinis, gejala yang tersering berupa
papula atau ulkus dengan limfadenopati inguinal, diikuti dengan proktitis. Meskipun LGV
secara klasik merupakan proses infeksi yang sangat invasif, namun pasien kadang tidak
memiliki gejala klinis limfadenopati yang signifikan atau memiliki gejala kilinis yang sedang.
LGV endemik pada pada beberapa area, seperti Afrika, Asia Tenggara, Amerika
Selatan, dan Carribean. Secara historis angka kejadian LGV sangat rendah pada negaranegara industri sejak pertengahan tahun 1960. Sejak tahun 2003 terjadi wabah LGV pada
beberapa kota di Eropa, terutama diantara kaum laki-laki dengan HIV positif yang
berhubungan seksual dengan sesama jenis (kaum homoseksual). Mayoritas kasus (> 75%)
telah terdiagnosis positif HIV, dan beberapa pasien memiliki infeksi menular seksual yang
menyertai seperti gonore atau hepatitis C.
Pengalaman klinis menunjukkan bahwa LGV sangat responsif terhadap terapi
antibakterial golongan siklin seperti doksisklin atau tetrasiklin. Namun jika LGV tidak
diterapi, akan terjadi kerusakan jaringan yang luas yang berlanjut menjadi abses jaringan
yang dalam, kronik fisura, striktur, dan abdominal pain yang berat.
TINJAUAN PUSTAKA
Stadium primer
Setelah masa inkubasi selama 3-30 hari, infeksi primer LGV memberikan gejala klinis berupa
erosi yang dangkal, vesikel, pustul, papul yang kecil atau ulkus yang tidak nyeri, muncul
pada tempat inokulasi bakteri (biasanya pada prepusium atau glans penis, uretra, vulva,
vagina, rektum, perineum, dan pada serviks). Lesi ekstra genital bisa terjadi pada kavum oris
(tonsil) dan ekstra genital limfo nodi. Lesi biasanya soliter dan cepat hilang tanpa
meninggalkan jaringan parut. Karena itu penderita biasanya tidak datang pada waktu timbul
stadium primer.
LGV: Lymfogranuloma venereum (klik op foto voor vergroting)
Stadium sekunder
Stadium sekunder terjadi 2-6 minggu setelah infeksi primer. Stadium ini berlangsung sistemik
dan menyerang limfo nodi inguinal, anus, dan rektum. Jika lesi primer terletak pada penis,
vulva, atau perianal, maka akan tampak limfadenopati inguinal atau femoral. Limfadenopati
ingunal lebih sering terjadi pada pria jika lesi primernya terletak pada genitalia eksterna.
Sedangkan pada wanita terjadi, jika lesi primernya terletak pada genitalia eksterna dan vagina
1/3 bawah. Itulah sebabnya limfadenopati lebih sering terdapat pada pria dari pada wanita,
karena pada umumnya lesi primer pada wanita terjadi pada tempat yg lebih dalam, yakni di
vagina 2/3 atas dan serviks. Jika lesi primernya pada tempat tersebut, maka yang mengalami
peradangan adalah kelenjar Gerota.
Pada stadium ini, yang terserang adalah kelenjar getah bening inguinal medial, karena
kelenjar tersebut merupakan kelenjar regional bagi genitalia eksterna. Kelenjar yang dikenal
adalah beberapa dan dapat diketahui karena permukaannya berbenjol-benjol. Kemudian akan
berkonfluensi. Karena LGV merupakan penyakit sub akut, maka akan tampak kelima tanda
radang, yakni dolor, rubor, kalor, tumor, dan fungsio lesa. Selain limfadenitis, terjadi pula
periadenitis yang menyebabkan perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Kemudian terjadi
perlunakan yang tidak serentak, yang mengakibatkan konsistensinya menjadi bermacammacam, yakni keras, kenyal, dan lunak (abses). Perlunakan biasanya di tengah, dan dapat
terjadi abses dan fistel yang multipel. Terbentuknya abses di dalam limfo nodi yang
meradang, disebut Bubo, yang dapat ruptur secara tiba-tiba atau membentuk sinus. Bubo
yang ruptur akan mengalirkan eksudat selama beberapa minggu dan menyembuh. Limfo nodi
yang tidak ruptur akan membentuk massa yang mengalami indurasi dan akan menyembuh
dalam satu bulan. Pada stadium lanjut terjadi penjalaran ke kelenjar limfo nodi di fosa iliaka
yang disebut Bubo bertingkat atau Etage Bubonen), kadang juga ke kelenjar femoralis.
Pada 2/3 kasus kelenjar yang diserang umumnya unilateral dan sangat nyeri. Jika tejadi
pembesaran kelenjar limfo nodi inguinal dan femoral secara bersamaan, keduanya akan
dipisahkan oleh ligamentum inguinale, sehingga tampak adenopati di atas dan di bawah
ligamentum inguinale. Keadaan ini disebut Groove Sign yang merupakan gambaran
patognomonik pada LGV (tampak pada 10-20% kasus).
3.
Stadium tersier
Pada LGV kronik yang tidak diterapi, kelenjar limfo nodi akan mengalami fibrosis sehingga
aliran limfe terbendung yang menyebabkan terjadinya edema dan elefantiasis pada genitalia.
Elefantiasis tersebut dapat bersifat vegetatif, dapat terbentuk fistel-fistel dan ulkus-ulkus.
Pada pria, elefantiasis dapat terjadi di penis dan skrotum, sedangkan pada wanita di labia dan
klitoris, yang disebut Sindrom Esthiomen dengan genitalia eksterna yang mengalami
destruksi luas. Jika meluas akan terbentuk elefantiasis genito-anorektalis yang disebut
Sindrom Jersild.
Pada proktitis yang telah mengalami abses dan fistel, muara fistel selanjutnya akan meluas
menjadi ulkus yang kemudian menyembuh dan menjadi sikatriks. Akibatnya terjadi retraksi
yang menyebabkan striktura rekti.
Jika terbentuk infiltrat di uretra posterior, yang kemudian menjadi abses, lalu memecah dan
menjadi fistel, akibatnya akan terbentuk striktur hingga orifisium uretra eksternum berubah
bentuk seperti mulut ikan yang disebut Fish Mouth Urethra dan penis melengkung seperti
pedang turki.
Pemeriksaan Darah
Pada pemeriksaan darah tepi biasanya leukosit normal, sedangkan LED meningkat.
Peningkatan ini menunjukkan keaktifan penyakit, jadi tidak khas untuk LGV, namun lebih
berati untuk menilai proses penyembuhan, jika menyembuh LED akan menurun.
Sering terjadi hiperproteinemia beripa peningkatan globulin, sedangkan albumin normal atau
menurun, sehingga perbandingan albimin-globulin menjadi terbalik. Immunoglobulin yang
meningkat adalah IgA dan tetap meningkat selama penyakit masih aktif, sehingga bersamasama dengan LED menunjukkan keaktivan penyakit.
2.
Tes Frei
Pada tahun 1930-1970, LGV didiagnosis melalui tes kulit dengan tes Frei, sebuah tes yang
menunjukkan hipersensitifitas tipe lambat untuk antigen Chlamydia, mirip dengan tes
tuberkulin. Tes ini tidak sesensitif seperti tes serologi, dan kadang menunjukkan hasil false
positive karena infeksi bakteri Chlamydia sub tipe D-K. Saat ini antigen untuk tes Frei sudah
tidak tersedia lagi.
Melakukan tes Frei dengan antigen Frei. Frei memperolehnya dari pus penderita LGV yang
mengalami abses yang belum pecah, kemudian dilarutkan dalam garam faal dan dilakukan
pasteurisasi. Untuk mendapatkan antigen yang tidak terkontaminasi oleh bakteri, dapat
diperoleh dari otak tikus yang telah ditulari.
Cara melakukannya seperti pada tes tuberkulin, yakni 0,1 cc disuntikkan intrakutan pada
bagian anterior lengan bawah dan dibaca setelah 48 jam. Jika terdapat infiltrat berdiameter
0,5 cm atau lebih berati positif. Tes tersebut tidak khas karena penyakit yang segolongan juga
memberikan hasil positif. Kekurangan yang lain adalah tes tersebut baru memberi hasil
positif setelah 5-8 minggu dan jika positif hanya berati sedang atau pernah menderita LGV.
Pada tes Frei terbalik, antigen diambil dari penderita yang diduga menderita LGV, kemudian
disuntikkan pada penderita LGV. Jika positif berati penderita yang diduga menderita LGV.
3.
Swab Speciment
Pada pasien yang diduga menderita LGV, spesimen yang diambil dapat berasal dari swab
rektum (pada proktitis) atau ulkus kemudian dilakukan tes laboratorium. Spesimen swab dari
lesi rektum yang divisualisasikan dengan anoskopi memberikan hasil mikorobiologi yang
lebih baik dibanding swab rektum saja (blind). Pada pasien yang menderita proktitis berat,
harus dipertimbangkan adanya HSV, terutama pada pasien dengan HIV positif, swab rektum
untul kultur HSV atau tes PCR harus dilakukan.
4.
Tes serologis
Tes serologi untuk infeksi C.trachomatis terdiri dari dua tes, yaitu tes ikatan komplemen
(Complement Fixation (CF)) dan tes microimmunofluorescence (micro-IF). Tes CF
mengukur adanya antibodi yang melawan antigen LPS spesifik dari bakteri. Tes ini spesifik
untuk genus Chlamydia, oleh karena itu tidak mampu membedakan antara infeksi
C.trachomatis, C.psittaci, dan C.pnuemoniae. Karena C.trachomatis lebih invasif, maka pada
LGV titer antibodi dalam serum lebih tinggi dibanding C.trachomatis sub tipe D-K.
Berdasarkan CDC, kriteria diagnosis tes serologis untuk pasien LGV dengan gejala klinis
yang konsisten meliputi hasil positif tes serologis untuk C.trachomatis dengan titer antibodi
yang tinggi, yakni pada tes CF titer antibodi 1:64 dan pada tes micro-IF titer antibodi
1:256.
Tes micro-IF awalnya adalah tes untuk menentukan sub tipe dari spesies C.trachomatis,
kemudian berkembang untuk mengukur respon antibodi pada pasien yang terinfeksi
C.trachomatis. Tes micro-IF lebih bermanfaat dibandingkan tes CF, karena mampu
mendeteksi antibodi yang spesifik terhadap sub tipe C.trachomatis dan mampu mendeteksi
kelas imunoglobulin yang berbeda, serta lebih sensitif dibanding tes CF pada mayoritas
pasien.
5.
Pemeriksaan Khusus
Pasien dengan proktitis yang berat perlu dirujuk untuk mengevaluasi gastroenterologi, yakni
endoskopi bagian bawah. Temuan klinis LGV pada sigmoideskopi dan kolonoskopi
diantaranya adalah eksudat mukopurulen, eritema difus, mukosa rektal yang rapuh, ulkus
yang khas, dan massa yang mengalami inflamasi, meskipun hal ini bukan merupakan temuan
spesifik pada LGV.
Stadium Primer
1.
Ulkus durum
Lesi primer yang khas pada LGV berbeda dengan ulkus pada sifilis primer (ulkus durum).
Pada ulkus durum, ulkus bersih, indolen, tidak terdapat tanda radang akut, lesi lebih besar,
dengan tepinya yang mengalami indurasi, dan biasanya muncul dengan ulkus yang multiple.
Lesi pada LGV dan ulkus sifilis primer biasanya tidak nyeri, dan dapat diikuti oleh adenopati
unilateral atau bilateral.
2.
Ulkus Mole
Ulkus pada ulkus mole sangat khas, yakni ulkus kecil, lunak pada perabaan, tidak terdapat
indurasi, berbentuk cawan, pinggir tidak rata, sering bergaung, dan dikelilingi haloyang
eritematosa. Ulkus sering tertutup jaringan nekrotik, dasar ulkus berupa jaringan granulasi
yang mudah berdarah, dan pada perabaan terasa nyeri.
Pada LGV lesi primer tidak spesifik dan cepat hilang. Terjadi pembesaran kelejar getah
bening inguinal, yang perlunakannya tidak serentak.
b)
Stadium Sekunder
1.
Skrofuloderma
Antara LGV dan skrofuloderma yang mengenai daerah inguinal terdapat persamaan, yakni
keduanya terdapat limfadenitis pada beberapa kelenjar, periadenitis, perlunakan tidak
serentak akibatnya konsistensi kelenjar bermacam-macam, serta pembentukan abses dan
fistel yang multipel. Kecuali itu, LED meningkat pada keduanya, sedangkan leukosit
biasanya normal.
Perbedaannya ialah, pada LGV terdapat kelima tanda radang akut, sedangkan pada
skrofuloderma tidak terdapat kecuali tumor. Lokasinya juga berlainan, pada LGV di inguinal
medial, sedangkan pada skrofuloderma pada inguinal lateral dan femoral.
2.
Limfadenitis piogenik
Pada penyakit ini lesi primer masih tampak, misalnya dermatitis atau skabies pada genitalia
eksterna yang mengalami infeksi oleh piokokus, sedangkan pada LGV lesi primer umumnya
sudah tidak ada, karena cepat menghilang. Kelima tanda radang akut juga terdapat, tetapi
perlunakannya serentak, sehingga tidak membentuk abses dan fistel yang multipel seperti
pada LGV. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan leukosit.
3.
Ulkus mole kini jarang terdapat, jika menyebabkan limfadenitis, maka lesi primer masih
tampak. Kelima tanda radang juga terdapat, tetapi perlunakannya serentak.
4.
Limfoma maligna
Penyakit ini, jika masih dini tanpa disertai kelima tanda radang, kecuali tumor, biasanya
tidak melunak. Pada gambaran darah tepi terdapat kelainan dan gambaran histopatologisnya
meberi kelainan yang khas.
5.
Hernia inguinalis
Adakalanya hernia inguinalis atau femoralis disangka LGV dan sebaliknya. Pada hernia
tanda-tanda radang tidak ada kecuali tumor, dan saat pasien mengejan tumor akan membesar.
Komplikasi
Komplikasi dari LGV berupa stadium lanjut yang terdiri atas:
Sindrom anorektal
Sindrom genital berupa edem vulva yang terjadi sepanjang klitoris sampai anus (elephantiasis
labia) akibat peradangan kronis sehingga terjadi kerusakan kelenjar dan saluran limfe
sehingga timbul edem di daerah vulva.
Pada permukaan elephantiasis dapat terjadi tumor polipoid dan verukosa, dan karena tekanan
dari paha dapat menjadi pipih, disebut buchblatt condyloma.Dapat pula terjadi fistel kibat
ulserasi yang destruktif dan pecah ke vagina dan vesika urinaria.
Pada pria dapat terjadi proses yang sama tetapi jarang ditemukan. Klinisnya berupa
elephantiasis skrotum.Bila derajat kerusakan kelenjar dan pembuluh limfe berat atau luas,
dapat terjadi elephantiasis sati atau kedua tungkai.
Prognosis Limfogranuloma Venereum
Prognosis pasien dengan LGV adalah baik, jika infeksi dikenali secara tepat dan
diterapi secara cepat sebelum terbentuk inflamasi yang berat, seperti bubo dan pembentukan
fistula. Disamping terapi yang tepat, pasien dengan bubo juga harus di-follow up untuk
melakukan tindakan aspirasi. Secara umum, adanya jaringan parut yang terjadi akibat gejala
klinis yang lanjut, membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh.
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda A. 2015. Lymphogranuloma Venereum dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
Edisi kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.