Anda di halaman 1dari 1

Pointers untuk “Diskusi Publik”

“Mencari Semangat Kerakyatan Dalam Kepemimpinan Nasional”


PPSDMS Nurul Fikri
13 Maret 2010
Fakultas Kedokteran UGM

• Istilah “rakyat” (people) sebenarnya tidak dikenal dalam studi ilmu sosial atau politik
sebagai sebuah unit analisis. Yang ada adalah “individu” atau “kelas”. Yang pertama
lebih merupakan hakekat yang harus dipelajari menurut paradigma liberal sedangkan
yang disebut terakhir merupakan basis analisis menurut paradigma kiri.
• Artinya, “rakyat” pada dasarnya lebih merupakan bagian dari slogan, baik untuk
kampanye politik maupun propaganda oleh suatu kelompok, bukan istilah akademik
yang sering kita pelajari.
• Berpihak pada “rakyat” harus jelas, tidak bisa abstrak seperti itu. Apakah mau
membela individu i.e. para pemodal (karena dalam hukum rimba pasar bebas,
individu yang paling kuat-lah yang menang) atau kelas tertindas (baik itu buruh,
petani, atau kelas lainnya).
• Kepemimpinan nasional di Indonesia menarik untuk dikaji ketika pada zaman pra-
Orba, terutama masa pasca kemerdekaan, masing-masing elit berdebat dan berbeda
pendapat dengan basis sosialnya yang jelas (Sjahrir, Tan Malaka, Natsir, Soekarno,
Hatta, dll).
• Sejak Orba hingga sekarang, pemimpin nasional (Soeharto hingga SBY) lebih banyak
merefleksikan kepentingan dua basis sosial mereka saja: kalau tidak militer ya
pemodal. Dua kelompok ini bahkan berkelindan untuk membuat “axis of evils” yang
mendominasi segala kebijakan negara.
• Pesan Soekarno soal “jasmerah” sebenarnya menyimpan makna ideologis yang
sangat dalam: sejarah adalah METODOLOGI untuk melakukan sebuah pembelajaran
dalam mengamati perkembangan sosial politik suatu bangsa.
• Rejim neolib oleh SBY dewasa ini bukan sekedar karena ada fenomena kontemporer
globalisasi atau sebab lainnya, tetapi sebenarnya sudah historis dalam kisah
kepemimpinan nasional sejak tempo doeloe. Ingat cerita Amangkurat-amangkurat di
jaman kolonial? Rejim SBY yang neolib bisa menjadi contoh rejim amangkurat yang
komprador itu.
• Sedikit catatan tentang wacana pluralisme agama dan Islam yang nirkekerasan. Kalau
membaca buku-buku tentang wacana tersebut, yang sebagian diproduksi oleh
kelompok-kelompok studi Islam dan didanai oleh lembaga-lembaga asing seperti
Ford/Asia Foundation, para aktivis Islam bisa jadi merasa kehilangan semangat
berjuang. Kedua wacana itu seakan menumpulkan Islam yang berdaya kritis terhadap
kemapanan, mengaburkan keberpihakannya terhadap kaum mustadh’afin, dan
menjauh dari ajaran Nabi.
• Aktivis muslim harus mewujudkan, meminjam istilah almarhum Antonio Gramsci,
historic bloc yang isinya adalah sinergi sistem nilai dan perilaku alternatif Islam
terhadap gerakan-gerakan intelektual penumpulan Islam yang sejatinya kritis.
• Mulailah dari apa yang diketahui rakyat, belajarlah bersama rakyat, bergeraklah
bersama rakyat!

Anda mungkin juga menyukai