Anda di halaman 1dari 3

Menggagas PAN, Partai Anti Neolib

Oleh: Ahmad Hanafi Rais


Dosen Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL, UGM

Secara umum, Partai Amanat Nasional (PAN) identik dengan reformasi. Di


samping lahir sebagai hasil dari reformasi 11 tahun yang lalu, PAN selama dua
periode juga dipimpin oleh tokoh kunci reformasi, Amien Rais. Hasilnya, brand PAN
sebagai partai reformis pun melekat kuat sejak berdirinya partai berlambang
matahari putih ini. Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah label reformis
tersebut masih bisa dikelola dengan baik oleh PAN? Apakah label tersebut selama
ini menjadi berkah, atau malah beban bagi PAN?
Antitesis Orde Baru
Kemunculan reformasi 1998 merupakan kulminasi dari segala bentuk protes
sosial terhadap Orde Baru. Gerakan perlawanan terhadap rejim Soeharto yang
tersusun oleh beragam elemen social berhasil membuat tuntuntan tunggal, yaitu
turunkan Soeharto.
Pada titik inilah, reformasi diartikan dengan sangat gamblang bahwa rejim
Orde Baru harus dihentikan. Amien Rais menyatakan dengan tegas bahwa
“reformasi itu artinya Soeharto turun” dan tidak untuk didialogkan. Makna reformasi
menjadi radikal karena hanya dengan menurunkan Soeharto itulah maka segala
tuntutan oleh berbagai elemen social tadi bisa diwujudkan.
Tidak mengherankan jika sebagian besar kelompok intelektual dan aktivis
yang kritis terhadap Orde Baru pada akhirnya ikut melahirkan PAN. Oleh sebagian
kalangan, PAN lantas dikenal sebagai partainya orang pinter dan kritis. Ekspektasi
publik pun tinggi. PAN harus selalu kritis terhadap kekuasaan, mewujudkan cita-cita
reformasi, dan tetap idealis dalam berpolitik.
Dalam beberapa hal, PAN berhasil mengkapitalisasi kondisi sosial di atas
menjadi lumbung suaranya. Kebijakan Orde Baru yang lebih memihak kelas pemilik
modal besar, pribumi maupun Cina, telah meminggirkan kelas menengah ke bawah
yang sebagian besar adalah pedagang, guru, dan kelompok profesional. Krisis
moneter 1997 menjadi bukti nyata bahwa para konglomerat hitam tersebut lebih
diistimewakan oleh rejim Soeharto dengan diberi kucuran kredit ratusan triliun,
sementara usaha kecil menengah dan sektor riil dibiarkan terhempas oleh krisis.
Kelompok sosial terakhir itulah yang kemudian lebih tertarik dengan
gagasan-gagasan reformasi, termasuk yang diusung dalam platform dan jargon
politik PAN seperti anti-KKN atau adili Soeharto. Konteks sosial ini pulalah yang
menjelaskan mengapa mayoritas warga Muhammadiyah, yang sebagian besar
bermata pencaharian sebagai pedagang, guru serta tinggal di wilayah perkotaan,
memilih PAN di pemilu 1999, di samping para aktivis dan intelektual kampus.
Namun, nasib reformasi semakin tidak menentu. Di bawah pemerintahan Gus
Dur dan Megawati, Indonesia mengalami masa transisi yang sulit dikendalikan:
konflik etnis dan gerakan separatisme Aceh-Papua mengancam stabilitas keamanan
nasional; harga bahan pokok dan BBM semakin tinggi. Cak Nun mengatakan bahwa
reformasi telah berubah menjadi “repot nasi”. Reformasi justru dianggap lebih
menyengsarakan rakyat dibanding masa Soeharto. Publik bahkan mulai merindukan
untuk kembalinya Orde Baru karena terbukti lebih terkendali dan pasti.
Berhadapan dengan memori publik yang pendek tersebut, PAN terkena
imbasnya. Reformasi dianggap gagal dan label partai reformis pun menjadi luntur
karena dianggap tidak berhasil men-deliver reformasi itu sendiri. Jika ditilik lebih
cermat, PAN sebenarnya berhasil menuntaskan satu agenda reformasi yaitu
amandemen UUD 1945 ketika posisi ketua MPR dipegang oleh Amien Rais selaku
ketua umum partai.
Tetapi tampaknya bukan itu yang dilihat oleh publik karena persoalan
kemiskinan, pengangguran, dan kelaparan tetap saja menggelayuti kehidupan
mereka. Terlebih lagi, beberapa kader PAN yang memperoleh kursi di kabinet
sebagai menteri keuangan dan menteri pendidikan tampil under-performed
sehingga gagal melengkapi cerita sukses amandemen UUD 1945.

Makna Baru Reformasi


Kongres III PAN di Batam, Kepri tanggal 7-10 Januari 2010 ini harus mencari
makna baru atas reformasi yang sudah terlanjur melekat pada dirinya. Bagaimana
seharusnya PAN memaknai reformasi dalam konteks kekinian? Untuk menjawab
persoalan ini, PAN harus melihat keberadaannya dalam konteks sosial yang lebih
luas.
Selama dua kali pemilu terakhir ini (2004 dan 2009), PAN telah berhasil
memperluas basis sosialnya dari perkotaan ke pedesaan. PAN telah menggarap
konstituen baru seperti petani, nelayan, buruh, dan kelompok sosial lain yang
tinggal di desa-desa, termasuk lingkungan pesantren. PAN sudah selayaknya
berterimakasih kepada kelompok sosial ini karena mereka-lah yang telah
mengkompensasi banyak suara yang berpindah ke partai lain, terutama yang
berada di perkotaan. Dukungan warga persyarikatan Muhammadiyah, serta
tambahan dukungan dari kelompok sosial lainnya kepada PAN, harus diletakkan
dalam kerangka baru perjuangan partai.
Dalam beberapa tahun ke depan, basis-basis sosial PAN tersebut di atas bisa
jadi akan mengalami tantangan yang cukup berat. Contohnya, perdagangan bebas
Cina-ASEAN (CAFTA) yang baru saja dimulai awal tahun ini. Sebagian besar
pedagang, usaha kecil dan menengah, dan industri lokal tidak akan bisa bersaing
dengan barang-barang impor dari Cina tersebut. Pemerintah telah lalai untuk
menyusun strategi besar menghadapi perdagangan bebas itu. Alhasil, mereka yang
selama ini mendukung PAN, termasuk warga Muhammadiyah yang berdagang, akan
kesulitan untuk mempertahankan usahanya.
Selain itu, implementasi General Agreement on Trade in Services (GATS)
yang disahkan oleh pemerintahan Yudhoyono periode pertama juga bisa menjadi
ancaman eksistensial bagi pendidikan lokal. Amal usaha pendidikan oleh
Muhammadiyah akan bersaing keras dengan lembaga pendidikan asing.
GATS dan CAFTA bisa jadi rasional dan menguntungkan. Tetapi melihat
pengalaman kawasan lain, skema perdagangan baru dalam kerangka
neoliberalisme tersebut merupakan bagian dari instrumen ideologis kelompok
pemodal internasional untuk memelihara ketergantungan kita terhadap mereka.
Sayangnya, pemerintah nasional justru melempangkan jalan neoliberal ini.
Dalam konteks baru inilah, reformasi harus dibaca sebagai platform baru
untuk melakukan perlawanan terhadap gurita neoliberalisme, seperti dalam CAFTA
dan GATS. PAN, khususnya ketua umum terpilih dalam kongres nanti, harus bisa
memaknai reformasi dalam kerangka baru perjuangannya melawan neoliberalisme
ini. Hanya dengan posisi perjuangan yang seperti itulah PAN bisa memperjelas
keberpihakannya dan terus peduli kepada konstituennya yang sedang terancam
oleh neoliberalisme. Selamat berkongres!

Anda mungkin juga menyukai