Anda di halaman 1dari 6

Pembahasan

I.

Defenisi Audit Forensik

Audit Forensik terdiri dari dua kata, yaitu audit dan forensik. Audit
adalah tindakan untuk membandingkan kesesuaian antara kondisi dan
kriteria. Sementara forensik adalah segala hal yang bisa diperdebatkan di
muka hukum / pengadilan. . Yang paling sering kita dengar adalah dokter
forensik, yaitu dokter ahli patologi yang memeriksa jenazah untuk
menentukan penyebab dan waktu kematian. Banyak dari kita, yang telah
mengenal istilah laboratorium forensik (labfor) yang dimiliki oleh
kepolisian.
Dapat kami tarik kesimpulan bahwa, akuntansi forensik adalah
penggunaan keahlian di bidang audit dan akuntansi yang dipadu dengan
kemampuan investigatif untuk memecahkan suatu masalah/sengketa
keuangan ataupun hanya sebatas dugaan yang pada akhirnya akan
diputuskan oleh pengadilan/ arbitrase/ tempat penyelesaian perkara
lainnya.
Karena sifat dasar dari audit forensik yang berfungsi untuk
memberikan bukti di muka pengadilan, maka fungsi utama dari audit
forensik adalah untuk melakukan audit investigasi terhadap tindak
kriminal dan untuk memberikan keterangan saksi ahli (litigation support)
di pengadilan.
Audit Forensik dapat bersifat proaktif maupun reaktif. Proaktif artinya
audit forensik digunakan untuk mendeteksi kemungkinan-kemungkinan
risiko terjadinya fraud atau kecurangan. Sementara itu, reaktif artinya
audit akan dilakukan ketika ada indikasi (bukti) awal terjadinya fraud.
Dalam hal ini, audit forensik yang lebih mendalam dan investigatif akan
dilakukan.
Perbandingan
(Keuangan)

Waktu
Lingkup
Hasil

antara

Audit

Forensik

Audit Tradisional
Berulang
Laporan Keuangan secara
umum
Opini

Hubungan Non-Adversarial

dengan

Audit

Tradisional

Audit Forensik
Tidak berulang
permasalahannya
Membuktikan fraud
(kecurangan)
Adversarial (Perseteruan
1

Metodologi Teknik Audit


Praduga
Professional Scepticism

II.

hukum)
Eksaminasi
Bukti awal

Bagaimana dan Kapan Audit Forensik Digunakan.

Pada mulanya, di Amerika Serikat, akuntansi forensik digunakan


menentukan
pembagian
warisan
atau
mengungkapkan
pembunuhan.
Misalnya
pembunuhan
isteri
oleh
suami
mendapatkan hak waris atau klaim asuransi, atau pembunuhan
dagang untuk menguasai perusahaan.

untuk
motif
untuk
mitra

Bermula dari penerapan akuntansi untuk memecahkan hukum, maka


istilah yang dipakai adalah akuntansi (dan bukan audit) forensik.
Sekarangpun kadar akuntansinya masih terlihat, misalkan dalam
perhitungan ganti rugi, baik dalam konteks keuangan Negara, maupun di
antara pihak-pihak dalam sengketa perdata. Akuntansi forensik pada
awalnya adalah perpaduan yang paling sederhana untuk akuntansi dan
hukum. Contoh, penggunaan akuntan forensik dalam penggantian harta
gono gini. Disini terlihat unsur akuntansinya, unsur menghitung besarnya
harta yang akan diterima pihak (mantan) suami dan (mantan) isteri. Segi
hukumnya dapat diselesaikan di dalam atau di luar pengadilan, secara
litigasi atau non litigasi. Dalam kasus yang lebih pelik, ada satu bidang
tambahan, yaitu bidang audit.
Akuntansi forensik sebenarnya telah dipraktekkan di Indonesia. Praktek
ini tumbuh pesat, tak lama setelah terjadi krisis keuangan tahun 1977.
Akuntansi forensik dilaksanakan oleh berbagai lembaga seperti Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Bank Dunia (untuk proyek-proyek
pinjamannya), dan kantor-kantor akuntan publik (KAP) di Indonesia.

III.

Gambaran Proses Audit Forensik

Untuk dapat memecahkan suatu permasalahan dan mendapatkan hasil


konklusi akhir dalam praktik audit forensic, ada beberapa langkah dalam
pengerjaannya, yaitu :
1. Identifikasi masalah
2

Dalam tahap ini, auditor melakukan pemahaman awal terhadap kasus


yang hendak diungkap. Pemahaman awal ini berguna untuk mempertajam
analisa dan spesifikasi ruang lingkup sehingga audit bisa dilakukan secara
tepat sasaran.

2. Pembicaraan dengan klien


Dalam tahap ini, auditor akan melakukan pembahasan bersama klien
terkait lingkup, kriteria, metodologi audit, limitasi, jangka waktu, dan
sebagainya. Hal ini dilakukan untuk membangun kesepahaman antara
auditor dan klien terhadap penugasan audit.
3. Pemeriksaan pendahuluan
Dalam tahap ini, auditor melakukan pengumpulan data awal dan
menganalisanya. Hasil pemeriksaan pendahulusan bisa dituangkan
menggunakan matriks 5W + 2H (who, what, where, when, why, how, and
how much). Investigasi dilakukan apabila sudah terpenuhi minimal 4W +
1H (who, what, where, when, and how much). Intinya, dalam proses ini
auditor akan menentukan apakah investigasi lebih lanjut diperlukan atau
tidak.
4. Pengembangan rencana pemeriksaan
Dalam tahap ini, auditor akan menyusun dokumentasi kasus yang
dihadapi, tujuan audit, prosedur pelaksanaan audit, serta tugas setiap
individu dalam tim. Setelah diadministrasikan, maka akan dihasilkan
konsep temuan. Konsep temuan ini kemudian akan dikomunikasikan
bersama tim audit serta klien.
5. Pemeriksaan lanjutan
Dalam tahap ini, auditor akan melakukan pengumpulan bukti serta
melakukan analisa atasnya. Dalam tahap ini lah audit sebenarnya
dijalankan. Auditor akan menjalankan teknik-teknik auditnya guna
mengidentifikasi secara meyakinkan adanya fraud dan pelaku fraud
tersebut.
6. Penyusunan Laporan

Pada tahap akhir ini, auditor melakukan penyusunan laporan hasil audit
forensik. Dalam laporan ini setidaknya ada 3 poin yang harus
diungkapkan. Poin-poin tersebut antara lain adalah:

IV.

Kondisi, yaitu kondisi yang benar-benar terjadi di lapangan.


Kriteria, yaitu standar yang menjadi patokan dalam
pelaksanaan kegiatan. Oleh karena itu, jika kondisi tidak
sesuai dengan kriteria maka hal tersebut disebut sebagai
temuan.
Simpulan, yaitu berisi kesimpulan atas audit yang telah
dilakukan. Biasanya mencakup sebab fraud, kondisi fraud,
serta penjelasan detail mengenai fraud tersebut.

Implementasi Audit Forensik di Indonesia.

Dalam praktik di Indonesia, audit forensik hanya dilakukan oleh auditor


BPK, BPKP, dan KPK (yang merupakan lembaga pemerintah) yang
memiliki sertifikat CFE (Certified Fraud Examiners). Sebab, hingga saat ini
belum ada sertifikat legal untuk audit forensik dalam lingkungan publik.
Oleh karena itu, ilmu audit forensik dalam penerapannya di Indonesia
hanya digunakan untuk deteksi dan investigasi fraud, deteksi kerugian
keuangan, serta untuk menjadi saksi ahli di pengadilan. Sementara itu,
penggunaan ilmu audit forensik dalam mendeteksi risiko fraud dan uji
tuntas dalam perusahaan swasta, belum dipraktikan di Indonesia.
Penggunaan audit forensik oleh BPK maupun KPK ini ternyata terbukti
memberi hasil yang luar biasa positif. Terbukti banyaknya kasus korupsi
yang terungkap oleh BPK maupun KPK. Tentunya kita masih ingat kasus
BLBI yang diungkap BPK. BPK mampu mengungkap penyimpangan BLBI
sebesar Rp84,8 Trilyun atau 59% dari total BLBI sebesar Rp144,5 Trilyun.
Temuan tersebut berimbas pada diadilinya beberapa mantan petinggi
bank swasta nasional. Selain itu juga ada audit investigatif dan forensik
terhadap Bail out Bank Century yang dilakukan BPK meskipun
memberikan hasil yang kurang maksimal karena faktor politis yang
sedemikian kental dalam kasus tersebut.

Penutup
Benang merah konklusi atas uraian yang dapat disampaikan bahwa
kedepan peran auditor forensik maupun akuntan forensik sangat
dibutuhkan dalam rangka untuk mendeteksi dan membedah secara efektif
terjadinya kecurangan (fraud) yang dapat memberikan hasil audit berupa
alat bukti yang merupakan rekaman jejak kejadian perkara yang dapat
memenuhi syarat ketentuan hukum yang berlaku. Demikian halnya,
sekurang-kurangnya auditor forensik dan akuntan forensik harus mampu
untuk memberikan konstribusi pemberantasan tindak pidana korupsi atau
Korupsi-Kolusi-Nepotisme
melalui
pemberian
peran
pada
tahap
pencegahan akan terjadinya fraud melalui sosialisasi dan tahap
penindakan melalui audit investigatif.
Seberapa jauh kompatibilitas dan keandalan kita untuk melakukan
audit forensik dalam rangka mendapatkan alat bukti sesuai ketentuan
hukum yang berlaku dalam membedah fraud dan proses litigasi,
mengingat domain kita merupakan aparat pengawasan internal
kementerian yang notabene merupakan mata dan telinga dari manajemen
puncak. Tentunya kondisi demikian tidak dapat lepas dari etika organisasi
yaitu kebijakan dan keputusan manajemen puncak sangat menentukan
langkah selanjutnya. Selain itu, perlu pemahaman atas kewenangan
auditor hanya untuk mendapatkan bukti audit sesuai ketentuan, dan yang
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sedangkan penetapan
benar-tidaknya seseorang bersalah dan melanggar hukum acara
merupakan wewenang aparat penegak hukum (APH). Harapan yang besar
terhampar kedepan dengan dilakukannya audit forensik agar hasilnya
dapat memberikan kunci masuk yang tepat dalam rangka dapat
membedah fraud secara legal dengan alat bukti yang dapat diterima
sistem hukum pada litigasi di lembaga peradilan.

Daftar Pustaka
Tuanakotta. Theodorus, 2010, Akuntansi Forensik & Audit Investigatif, Jakarta:
Salemba Empat.
http://penerbitsalemba.com/v2/product/view/668
http://edratna.wordpress.com/2009/04/27/apa-bagaimana-dan-kapanakuntansi-forensik-digunakan/
http://faizahdoank34.blogspot.com/2011/12/akuntansi-forensik.html

http://panjikeris.wordpress.com/2012/04/24/audit-forensik/
http://itjen.deptan.go.id/index.php/component/content/article/44artikel/479-auditforensikmembedahfrauddanligitasi

Anda mungkin juga menyukai