Anda di halaman 1dari 6

Materi tambahan Kelompok 8 PAI 1i D-III Pajak

1. Ridho dan Ikhlas


Ridho
Pengertian Ridho
Secara etimologi
Ridho berasal dari kata radhiya-yardha, berarti menerima suatu perkara dengan
lapang dada tanpa merasa kecewa ataupun tertekan.
Secara terminologi
Ridho adalah menerima semua kejadian yang menimpa dirinya dengan lapang dada,
menghadapinya dengan tabah, tidak merasa kesal dan tidak berputus asa ridho
berkaitan dengan perkara keimanan yang terbagi menjadi dua macam, yaitu :
a. ridho Allah kepada hamba-Nya, berupa :
tambahan kenikmatan, pahala, dan ditinggikan derajat kemuliaannya.
b. ridho hamba kepada Allah (Al-Mausuah Al-Islamiyyah Al-Ammah: 698),
berupa :
menerima dengan sepenuh hati aturan dan ketetapan Allah dengan melaksanakan
segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya serta bersyukur ketika
mendapatkan nikmat dan bersabar ketika ditimpa musibah.
Sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firman-Nya,
Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho kepada-Nya. (QS 98: 8).
Dari definisi ridho tersebut terkandung isyarat bahwa ridho bukan berarti
menerima begitu saja segala hal yang menimpa kita tanpa ada usaha sedikit pun untuk
mengubahnya. Ridho tidak sama dengan pasrah. Ketika sesuatu yang tidak diinginkan
datang menimpa, kita dituntut untuk ridho. Dalam artian kita meyakini bahwa apa yang
telah menimpa kita itu adalah takdir yang telah Allah tetapkan, namun kita tetap dituntut
untuk berusaha. Allah berfirman,
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS 13: 11).
Hal ini berarti ridho menuntut adanya usaha aktif. Berbeda dengan sikap pasrah
yang menerima kenyataan begitu saja tanpa ada usaha untuk mengubahnya. Walaupun di
dalam ridho terdapat makna yang hampir sama dengan pasrah yaitu menerima dengan
lapang dada suatu perkara, namun di sana dituntut adanya usaha untuk mencapai suatu
target yang diinginkan atau mengubah kondisi yang ada sekiranya itu perkara yang pahit.
Karena ridho terhadap aturan Allah seperti perintah mengeluarkan zakat, misalnya, bukan

berarti hanya mengakui itu adalah aturan Allah melainkan disertai dengan usaha untuk
menunaikannya.
Begitu juga ridho terhadap takdir Allah yang buruk seperti sakit adalah dengan
berusaha mencari takdir Allah yang lain, yaitu berobat. Seperti yang dilakukan Khalifah
Umar bin Khathab ketika ia lari mencari tempat berteduh dari hujan deras yang turun
ketika itu. Ia ditanya,
Mengapa engkau lari dari takdir Allah, wahai Umar? Umar menjawab, Saya lari dari
takdir Allah yang satu ke takdir Allah yang lain.
Dengan demikian, tampaklah perbedaan antara makna ridho dan pasrah, yang
kebanyakan orang belum mengetahuinya. Dan itu bisa mengakibatkan salah persepsi
maupun aplikasi terhadap makna ayat- ayat yang memerintahkan untuk bersikap ridho
terhadap segala yang Allah tetapkan. Dengan kata lain pasrah akan melahirkan sikap
fatalisme. Sedangkan ridho justru mengajak orang untuk optimistis.
-

Perbedaan Antara Ridho Dan Ikhlas


Terkadang ridho disama artikan dengan ikhlas. Namun sebenarnya ridho dan
) berarti suka, rela, senang, yang
ikhlas adalah dua hal yang berbeda. Ridho (
berhubungan dengan takdir (qodha dan qodar) dari Allah. Ridho adalah mempercayai
sesungguh-sungguhnya bahwa apa yang menimpa kepada kita, baik suka maupun duka
adalah terbaik menurut Allah. Dan apapun yang digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya
pastilah akan berdampak baik pula bagi hamba-Nya. Perilaku yang ditampakkan oleh
seorang hamba yang ridho adalah ia tidak membenci apa yang terjadi menimpa dirinya,
sehingga terjadi atau tidak terjadi adalah sama saja baginya.sementara Ikhlas adalah
melakukan amal perbuatan syariat yang ditujukan hanya kepada Allah secara murni atau
tidak mengharapkan imbalan dari orang lain.
Bahkan bila tingkatan ridho seorang hamba sudah mencapai tingkat tertinggi, ia
akan selalu memuji Allah apapun yang Allah berikan kepada dirinya baik nikmat maupun
bencana, karena ia percaya apa yang menimpanya semata-mata untuk kebaikan dirinya.
Sang hamba secara suka rela dan senang menerima apapun yang diberikan Allah kepadaNya baik berupa nikmat maupun musibah berupa bencana.

Tiga Macam Ridho


Menurut Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ridho terhadap takdir Allah terbagi
menjadi tiga macam :
a. Wajib direlakan, yaitu kewajiban syariat yang harus dijalankan oleh umat Islam dan
segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya. Seluruh perintah-Nya haruslah mutlak
dilaksanakan dan seluruh larangan-Nya haruslah dijauhkan tanpa ada perasaan
bimbang sedikitpun. Yakinlah bahwa seluruhnya adalah untuk kepentingan kita
sebagai umat-Nya.

b. Disunnahkan untuk direlakan, yaitu musibah berupa bencana. Para ulama mengatakan
ridho kepada musibah berupa bencana tidak wajib untuk direlakan namun jauh lebih
baik untuk direlakan, sesuai dengan tingkan keridhoan seorang hamba. Namun rela
atau tidak, mereka wajib bersabar karenanya. Manusia bisa saja tidak rela terhadap
sebuah musibah buruk yang terjadi, tapi wajib bersabar agar tidak menyalahi syariat.
Perbuatan putus asa, hingga marah kepada Yang Maha Pencipta adalah hal-hal yang
sangat diharamkan oleh syariat.
c. Haram direlakan, yaitu perbuatan maksiat. Sekalipun hal tersebut terjadi atas qodha
Allah, namun perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib untuk dihilangkan.
Sebagaimana para nabi terdahulu berjuang menghilangkan kemaksiatan dan
kemungkaran di muka bumi.

Manfaat Ridho:
Dengan ridho umat manusia akan menimbulkan rasa optimis yang kuat dalam
menjalani dan menatap kehidupan di masa depan dengan mengambil hikmah dari
kehidupan masa lampau.
Orang yang berhati ridho atas keputusan-keputusan Allah SWT, hatinya menjadi
lapang, dan jauh dari sifat iri hati, dengki hasat dan bahkan tamak atau rakus.
Ridho akan menumbuhkan sikap husnazzann, terhadap ketentuan-ketentuan Allah,
sehingga manusia tetap teguh iman dan amal shalehahnya.
Dengan ridho setiap kesulitan yang kita hadapi akan ada jalan keluarnya, di tiap satu
kesulitan ada dua kemudahan.
Dengan ridho akan menumbuhkan rasa cinta kasih terhadap sesama makhluk Allah
SWT, dan akan lebih dekat dengan Allah SWT.

Ikhlas
Pengertian Ikhlas
Secara etimologi
Ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka
orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah
saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak
riya dalam beramal.
Secara terminologi
Ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukanNya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.

Arti Makna Ikhlas

Berhati-hatilah bila dalam beramal dalam hati kita menginginkan sesuatu dari
tujuan-tujuan duniawi. Karena hal tersebut bisa menjadi pertanda kebinasaan karena
Allah tidak akan menerima amal tersebut dan hanya menjadikannya seperti debu yang
berterbangan sebagaimana firman Allah
"Dan kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan lalu kami jadikan amal
itu seperti debu yang berterbangan". (QS Al-Furqan: 23)
Ikhlas memang tidak mudah. Akan tetapi kita harus belajar dan mempraktekkan
keihlasan itu sendiri. Demikian pula seperti yang tercantum dalam hadits qudsi yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda:
"Sesunggunhnya Allah telah berfirman: Aku sangat tidak butuh kepada sekutu,
barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang dia menyekutukanKu di dalamnya
maka akan Aku tinggalkan dia dan sekutunya" (HR. Muslim).
-

Beberapa Hal Yang Dapat Merusak Keikhlasan Seseorang


a. Riya. Pengertian riya adalah seseorang menampakan amalnya dengan tujuan orang
lain melihatnya dan memujinya. Dan hal inilah yang termasuk pembatal ikhlas dalam
islam. Sehingga kita harus berhati-hati terhadap ikhlas dan menanyakan pada diri kita
sendiri Sudah Ikhlaskah Kita ?. Dan ini termasuk dalam perbuatan syirik dan
dikategorikan syirik kecil.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya hal yang
paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil, maka para sahabat bertanya :
Apakah syirik kecil itu wahai Rasulullah?. Beliaupun bersabda: Syirik kecil itu
adalah riya. Pada hari kiamat ketika manusia dibalas dengan amal perbuatannya
Allah akan berkata kepada orang-orang yang berbuat riya, Pergilah kalian kepada
apa-apa yang membuat kalian berbuat riya, maka lihatlah apakah kalian mandapat
balasan dari mereka"(HR. Ahmad ).
b. Ujub. Yang dimaksud dengan pengertian ujub adalah adalah seseorang berbangga diri
dengan amal-amalnya. Para ulama menerangkan bahwa ujub merupakan sebab
terhapusnya pahala seseorang, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
menyebutkan bahwa ujub sebagai hal-hal yang membinasakan. Beliau bersabda yang
artinya: "Hal-hal yang membinasakan ada tiga yaitu: berbangganya seseorang dengan
dirinya, kikir yang dituruti, dan hawa nafsu yang diikuti"(HR. Al-Bazzar ).
c. Sumah. Pengertian sumah adalah adalah seseorang beramal dengan tujuan agar
orang lain mendengar amalnya tersebut lalu memujinya. Maka bahaya sumah sama
dengan bahaya riya dan pelakunya terancam tidak akan mendapatkan balasan dari
Allah, bahkan Allah akan membuka semua keburukannya di hadapan manusia.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda yang artinya : "Barangsiapa

yang memperdengarkan amalannya maka Allah akan memperdengarkan kejelekan


niatnya dan barang siapa yang beramal karena riya maka Allah akan membuka
niatnya di hadapan manusia"(HR. Bukhari dan Muslim).
-

Ciri Orang Ikhlas


a. Hidupnya jarang sekali merasa kecewa
b. Tidak tergantung / berharap pada makhluk
c. Tidak pernah membedakan antara amal besar dan amal kecil
d. Banyak Amal Kebaikan Yang Rahasia
e. Tidak membedakan antara bendera, golongan, suku (kroni) atau organisasi

Manfaat dan Keutamaan Ikhlas


a. Bisa memaafkan orang lain tanpa memiliki dendam di hati.
b. Mengalah untuk menghargai orang lain.
c. Mempasrahkan, percaya tuhan tau yang terbaik.
d. Positif dalam berpikir
e. Berusaha untuk menjadi lebih baik
f. Rendah diri
g. Bersikap bijaksana dalam menentukan pilihan
h. Lebih dekat dengan tuhan
i. Lapang dada dalam menghadapi ujian dari tuhan
j. Bisa mengerti prasaan oranglain

2. Sikap Manusia dalam Memahami Takdir Ilahi


Ahlus sunnah beriman bahwa Allah telah menetapkan seluruh takdir sejak
azali, dan Allah mengetahui takdir yang akan terjadi pada waktunya dan bagaimana
bentuk takdir tersebut, semuanya terjadi sesuai dengan takdir yang telah Allah tetapkan.
Adapun orang-orang yang menyelisihi al Quran dan sunnah mereka bersikap
berlebih-lebihan. Yang satu terlalu meremahkan dan yang lain melampaui batas.
Kelompok Qodariyyah mengingkari adanya takdir. Mereka mengatakan bahwa Allah
tidak menakdirkan perbuatan hamba. Menurut mereka perbuatan hamba bukan makhluk
Allah, namun hamba sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Mereka mengingkari
penciptaan Allah terhadap amal hamba. Kelompok yang lain adalah yang terlalu
melampaui batas dalam menetapkan takdir. Mereka dikenal dengan kelompok Jabariyyah.
Mereka berlebihan dalam menetapkan takdir dan menafikan adanya kehendak hamba
dalam perbuatannya. Mereka mengingkari adanya perbuatan hamba dan menisbatkan
semua perbuatan hamba kepada Allah. Jadi seolah-olah hamba dipaksa dalam
perbuatannya.

Kedua kelompok di atas telah salah dalam memahami takdir sebagaimana


ditunjukkan dalam dalil yang banyak. Di antaranya firman Allah Azza wa Jalla
(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.
Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki
Allah, Tuhan semesta alam. (QS. At Takwiir:28-29)
Pada ayat (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menenmpuh jalan yang
lurus merupakan bantahan untuk Jabariyyah karena pada ayat ini Allah menetapkan
adanya kehendak bagi hamba. Hal ini bertentangan dengan keyakinan mereka yang
mengatakan bahwa hamba dipaksa tanpa memiliki kehendak. Kemudian Allah berfirman
Dan kamu tidak dapat menghendaki (menenmpuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki
oleh Allah, Tuhan semesta alam. Dalam ayat ini terdapat bantahan untuk Qodariyah
yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh hamba
tanpa sesuai dengan kehendak Allah karena pada ayat ini Allah mengaitkan kehendak
hamba dengan kehendak-Nya.

Sumber
Ghazali, Imam, 2003. Rahasia Ketajaman Mata Hati, Bintang Usaha Jaya, Surabaya.
abufarras.blogspot.com
efrialdy.wordpress.com
mutiaradibalikmusibah.blogspot.com
http://astriphilia.blogspot.com/2012/09/perjalanan-melalui-pembelajaran-panjang.html
https://suntree87.wordpress.com/artikel-2/terbaru/kedudukan-ikhlas/
https://www.islampos.com/mengetahui-ciri-ciri-orang-ikhlas-147780/

Anda mungkin juga menyukai