Makalah MTHT 1
Makalah MTHT 1
PENDAHULUAN
Mata merah merupakan salah satu keluhan utama yang sering muncul pada pasien dengan
penyakit mata. Mata akan tampak merah bila sklera yang ditutup konjungtiva menjadi merah.
Penyebabnya dapat berupa melebarnya pembuluh darah konjungtiva, pembendungan pembuluh
darah atau karena pecahnya pembuluh darah yang menyebabkan darah dapat tertimbun di bawah
jaringan konjungtiva.1 Pelebaran pembuluh darah terbagi menjadi tiga yaitu injeksi konjungtiva
(dapat disebabkan karena adanya pengaruh mekanis, asap, benda asing atau dapat pula karena
alergi, mata kering atau kurang tidur), injeksi siliar/perikorneal (dapat terjadi akibat radang,
tuaka kornea, benda asing pada kornea, uveitis, glaukoma, endoftalmitis atau panoftalmitis), dan
injeksi episkleral.1 Ketiganya dapat dibedakan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Untuk memudahkan penentuan diagnosis penyakit penyebab mata merah, maka keluhan
mata merah dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu mata merah dengan visus normal dan mata
merah dengan visus menurun. Kemudian, mata merah dengan visus menurun terbagi lagi
menjadi dua yaitu merah tidak merata dan merah merata. Mata merah tidak merata dengan visus
normal dapat disebabkan oleh episkleritis, skleritis, perdarahan subkonjungtiva, pterigium,
pseudopterigium, konjungtivitis fliktenularis dan pinguiculitis iritans. Mata merah merata dengan
visus normal dapat disebabkan oleh konjungtivitis bakterial,viral ataupun alergi. Ketiga jenis
konjungtivitis tersebut dapat dibedakan dari hasil anamnesis. Sedangkan penyebab mata merah
dengan visus menurun antara lain, keratitis, iridosiklitis akut, glaukoma akut, ulkus kornea dan
endoftalmitis. Dalam menentukan diagnosis diperlukan data mengenai adanya faktor resiko pada
pasien, gejala lain yang menyertai dan tanda objektif pada pemeriksaan seperti ditemukannya
jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga dengan puncak di kornea yang mengarah pada penyakit
pterigium.
BAB II
LAPORAN KASUS
Sesi 1
Seorang pria bernama Tn. A berumur 35 tahun bekerja sebagai tukang ojek datang ke poli
mata dengan keluhan mata merah.
Kedua mata merah sejak 1 hari yang lalu. Merah tampak hanya sebagian. Disertai rasa
mengganjal dan mata berair. Penglihatan buram disangkal, nyeri disangkal, fotofobia disangkal.
Sebelumnya mata pasien sering merah terutama jika terkena debu, hilang timbul selama 4 tahun.
Riwayat operasi mata disangkal. Riwayat trauma disangkal.
Sesi 2
Hasil pemeriksaan didapatkan :
STATUS GENERALIS : dalam batas normal
STATUS OFTALMOLOGIS :
Visus
OD
OS
6/6
Normal
Normal
TIO
Palpebra
Konjungtiva bulbi
nasal)
kornea, hiperemis
Jernih
kornea, hiperemis
Jernih
Dalam
Dalam
Iris/pupil
Normal
Normal
Lensa
Jernih
Jernih
Vitreus
Jernih
Jernih
Fundus
Normal
Normal
Status lokalis :
OD
OS
BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan kasus, didapatkan informasi mengenai pasien, sebagai berikut:
3.1 Identitas pasien
Nama lengkap
: Tn. A
Pekerjaan
: Tukang ojek
Jenis kelamin
: Pria
Agama
:-
Umur
: 35 tahun
Pendidikan
:-
Alamat
:-
Status pernikahan
:-
Bangsa/suku
:-
3.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama
Datang ke poli mata dengan keluhan mata merah.
b. Keluhan tambahan
Mata terasa mengganjal dan berair, hilang timbul sejak 4 tahun lalu, mata merah
terutama bila terkena debu
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan mata merah.
Kedua mata merah sejak 1 hari yang lalu. Merah tampak hanya sebagian. Keluhan
mata merah timbul akibat terjadinya perubahan warna bola mata yang sebelumnya
berwarna putih menjadi merah. Mata merah dapat terjadi akibat pelebaran pembuluh
darah konjunctiva atau episklera, berkurangnya pengeluaran darah seperti pada
pembendungan pembuluh darah, maupun akibat pecahnya salah satu dari pembuluh
darah konjunctiva dan episklera. Merah tampak hanya sebagian menunjukkan bahwa
proses/kelainan yang terjadi bersifat setempat.
Pasien seorang pria berusia 35 tahun dan bekerja sebagai tukang ojek
Jenis kelamin, usia dan pekerjaan Tn.A dapat menjadi factor resiko. Pekerjaannya
sebagai tukang ojek merupakan factor resiko untuk terpaparnya sinar uv, debu, dan udara
panas yang kemungkinan besar merupakan pemicu penyakit yang dialaminya.
Pasien mengeluh mata terasa mengganjal dan berair
Apakah ada anggota keluarga atau orang sekitar yang mengalami keluhan yang
sama?
Apakah memiliki riwayat penyakit herediter seperti leukemia, buta warna atau
glaukoma?
e. Riwayat Pengobatan
Apakah sebelumnya keluhan tersebut sudah diobati oleh dokter? Bila ya, apa obat
atau terapi yang dilakukan?
f. Riwayat Nutrisi
Bagaimana asupan nutrisi pasien selama ini? Apakah dalam jumlah yang cukup?
Hasil Pemeriksaan
Dalam batas normal
STATUS GENERALIS
Interpretasi
Status generalis dalam batas normal menunjukkan bahwa penyakit
yang terjadi bersifat terlokalisasi pada mata. Selain itu menunjukkan
bahwa pasien tidak mengalami demam, tidak mengalami pembesaran
kelenjar periaurikular (bisa menyingkirkan hipotesis mata merah
karena konjungtivitis), dan kemungkinan tidak memiliki penyakit
sistemik seperti hipertensi, dibetes melitus yang apabila mengnai mata
Hasil Pemeriksaan
Visus
OD: 6/10 C-0,75 aksis huruf pada jarak 6 meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat
1350 6/6
dibaca pada jarak 10 meter. Pada pasien, visus 6/6 diperoleh jika
OS: 6/6
menderita
astigmatisma
pada
mata
kanannya.
Pada
OD: Normal ke segala untuk mengikuti gerakan obyek misalnya ujung jari atau pensil yang
arah
OS: Normal ke segala Hasil normal pada gerakan bola mata menunjukkan bahwa tidak
arah
terdapat gangguan pada otot mata atau pada saraf yang mempersarafi
otot tersebut. Pada status, hasil normal ditulis dengan 1 tanda panah
TIO
OD: n/p
( ).
Pemeriksaan tekanan bola mata dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
1. Digital (palpasi)
7
(normal/palpasi)
2. Kontak: Tonometer
OS: n/p
(normal/palpasi)
Palpebra
OD: Normal
OS: Normal
Konjungtiva bulbi
OD: Massa/ jaringan merupakan suatu pertumbuhan fibrovascular konjunctiva yang bersifat
fibrovascular
nasal)
segitiga dengan puncak meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan
di kornea, hiperemis
(bagian
berbentuk
OD: Jernih
OS: Jernih
COA
OD: Dalam
OS: Dalam
iris. COA yang dalam akan memperlihatkan semua iris terang pada
Iris/pupil
OD: Normal
OS: Normal
Pupil yang berwarna hitam pekat pada sentral iris berfungsi untuk
8
adanya fotofobia.
Lensa membiaskan sinar 20 %. Peranan lensa terutama adalah pada
OD: Jernih
OS: Jernih
Vitreus
OD: Jernih
yang terletak antara lensa dengan retina. Bersifat semi cair dan
OS: Jernih
Fundus
oftalmoskopi.
Oftalmoskop merupakan alat yang mempunyai sumber cahaya untuk
OD: Normal
OS: Normal
Retina
3.4
Daftar Masalah
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan, didapatkan daftar
Hipotesis
- Mata merah karena pelebaran atau pecahnya
adanya
episkleritis,
subkonjunctiva,
pterygium,
perdarahan
pterygium,
konjungtivitis
pseudo
flikten
atau
pinguekula iritans. 1
- Rasa mengganjal karena adanya benda asing
atau massa (seperti pada pterigium)
- Berair karena sensasi benda asing, kualitas
air mata yang menurun (kurangnya lipid
Laki-laki, berusia 35 Anamnesis
puncaknya.
Pada pterigium,
buram,
nyeri
dan
fotofobia
pseudopterigium,
tidak
Sebelumnya
ataupun fotofobia.
Iritasi akibat debu, dan inflamasi rekuren
sering Anamnesis
Hipotesis
10
kami
semakin
mengarah
ke
Astigmatisma
dextra
Massa/jaringan
6/6
Pemeriksaan
fibrovaskular
bagian
nasal
dextra sinistra
di oftalmologis:
pterigium)
puncak
di
kornea, hiperemis
- OD berbentuk segitiga
dengan puncak di tepi
pupil
3.5 Diagnosis
Tn. A datang ke poliklinik mata dengan keluhan mata merah tampak sebagian, disertai
rasa mengganjal dan mata berair. Dari pemeriksaan status generalis dalam batas normal,
menyingkirkan berbagai hipotesis penyakit mata yang diakibatkan karena penyakit sistemik
seperti
Derajat 2 : Jika pterygium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea
11
Derajat 3 : Jika pterygium sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil
mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4
mm)
astigmatisma.
Tipe 3 : Recurrent dengan keterlibatan zona optik
Lesi mengenai kornea >4 mm mengganggu aksis visual dan sering menimbulkan
fibrosis konjungtiva dan gangguan bola mata.
Berdasarkan keluhan utama, anamnesis, dan pemeriksaan yang didapat kelompok kami
mendiagnosis Pterigium derajat 3 tipe 2 dengan astigmatisma oculi dextra dan pterigium
derajat 1 tipe 1 oculi sinistra.
Pada kasus ini diagnosis bandingnya adalah pseudopterigium. Pseudopterigium
merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi
pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Letak
pseudopterigium ini pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan proses kornea sebelumnya.
Akan tetapi terdapat perbedaan diantara keduanya,yaitu:
Perbedaan
Letak
Pterigium
Konjungtiva yang terpapar
Pseudopterigium
Tidak harus pada konjungtiva yang
Pemeriksaan
Anamnesis
dan sinistra derajat 1 disertai astigmatisma okuli dekstra. Pterygium merupakan suatu
pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva (perilimbal) yang bersifat degeneratif dan invasif.
Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal
konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.
Pterygium terjadi pada permukaan yang terekspos udara luar serta mendapat paparan
sinar dan iritsn fisik lainnya. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau
di daerah komea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium
akan berwama merah. 6
Pada pasien ini, ada beberapa faktor resiko yang berkontribusi besar pada pterygium yang
dialami.
1. Paparan sinar UV (ultraviolet) dari matahari secara langsung.
Pekerjaan pasien adalah seorang tukang ojek. Lapangan pekerjaan seorang tukang ojek
adalah di luar ruangan yang terpapar sinar matahari secara langsung. Apabila pasien tidak
menggunakan bahan/ material yang baik seperti helm, topi, kacamata untuk proteksi sinar
UV, maka pterygium sangat mudah terjadi pada pasien mengingat Inodonesia juga
merupakan negara yang beriklim tropis.
konjuctiva menghasilkan kerusakan sel serta proliferasi sel yang menjadi dasar
patogenesis pterygium.
2. Paparan debu serta bahan iritan lain di ruang terbuka yang menyebabkan iritasi kronis.
Paparan debu sangat mungkin terjadi pada pasien perihal pekerjaanya sebagai tukang
ojek. Debu merupakan salah satu bentuk penyebab trauma fisik yang dapat menyebabkan
iritasi kronis (akibat paparan terus menerus) akibat cedera sel yang ditimbulkannya.
Adanya iritasi kronik pada daerah limbus dan atau kornea merupakan salah satu dasar
patogenesis terjadinya pterygium.
Patogenesis Pterygium
Pterygium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari yang
mengandung sinar ultarviolet UV-A dan UV-B (paling signifikan), dan udara yang panas. Selain
itu, proses herediter juga diduga berperan dalam patogenesis pterygium. Proses dasarnya tidak
diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neopalasma, radang, dan degenerasi.
Penyakit ini lebih sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu
13
gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah
angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan
konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru.
Pernyataan tersebut masih merupakan salah satu teori.
Dalam jurnal yang dinyatakan dalam current opinion in ophtalmology, pterygium
merupakan lesi yang aktif, infasiv, proses inflmasi dan merupakan salah satu kelainan utama
limbus fokal (setempat). Proses pterygium merupakan proses degeneratif yang terjadi pada
stroma konjungtiva. Degenerasi tersebut menyebabkan penebalan serta penggantian jaringan
oleh jaringan serat elastoic. Fibroblas yang teraktivasi dalam tepi-tepi pterygium pada
tahapannya akan menginvasi membran Bowman pada kornea didekatnya, tidak jarang juga
menginvasi
lapisan
stroma
kornea.
Ada
beberapa
tahapan
conjunctivilizaion
(pengkonjungtivaan) pada kornea. Hal ini menjelaskan pengertian pterygium yang menyatakan
bahwa pterygium tumbuh dengan puncaknya pada kornea.
antara lain peradangan kronis yang luas, proliferasi sel, remodeling jaringan ikat dan
angiogenesis. Adanya limfosit T yang ditemukan dalam epitel pterygium menunjukkan adanya
proses peradangan yang diperantarai respon sel imun. 7
Penjelasan proses proliferasi sel yang berperan pada pembentukan pterygium dijelaskan
dalam biologi molekuler kanker. Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada
limbal basal stemcell. Tanpa apoptosis yang distimulasi oleh tumor supressor gene, growth
factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase
(pemecahan jaringan kolagen) meningkat. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan
terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik
proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian menembus kornea.
Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan
jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi ringan. Limbal stem cell adalah sumber
regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell terjadi pembentukan jaringan
konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan
konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda
ini juga ditemukan pada pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan
14
bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Selain
itu, terdapat kemungkinan bahwa akibat sinar ultraviolet, terjadi kerusakan limbal stem cell.
Predileksi dari pterygium sesungguhnya dapat terjadi pada kedua sisi mata yaitu temporal
dan nasal. Namun, tipikal pterygium sering kali terdapat di nasal dari kornea. Hal ini tidak dapat
diterangkan secara pasti, namun dilihat dari anatomi, daerah temporal kornea lebih mendapat
perlindungan dari bulu mara, kelengkungan palpebra yang lebih tajam pada temporal serta alis.
bermotor, dll. mengingat pekerjaan pasien aalah tukang ojek). Seiring dengan dimulainya reaksi
peradangan, arteriol yang memasok daerah tersebut berdilatasi sehingga memungkinkan lebih
banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong,
atau mungkin hanya sebagian meregang, secara cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini,
disebut hiperemia atau kongesti, menyebabkan kemerahan lokal pada peradangan akut. 6
Mata berair
Mata berair pada pasien ini termasuk dalam kategori mata berair mendadak akibat adanya
iritan ataupun respon peradangan. Mata berair (epifora) sering kali menyolok pada konjungtivitis. Sekresi air mata diakibatkan oleh adanya sensasi benda asing. Transudasi ringan juga
timbul dari pembuluh-pembuluh yang hiperemik dan menambah jumlah air mata tersebut. Selain
itu, pterygium yang terdapat pada pasien ini merupakan proses patologi pada konjungtiva bulbi
yang menimbulkan penurunan kualitas air mata. Pada konjungtiva bulbi, terdapat sel goblet yang
berfungsi untuk menghasilkan musin yang berfungsi untuk mengikat epitel kornea dengan film
air mata. Apabila terjadi suatu peradangan pada konjungtiva, terjadi penurunan fungsi sel goblet
dalam menghasilkan musin yang mengakibatkan air mata tidak bisa menempel dalam waktu
yang cukup pada kornea ataupun konjungtiva untuk memberikan nutrisi. Glandula lakrimalis
merespon keadaan ini sebagai kekeringan air mata, sehingga glandula lakrimalis memproduksi
terus menerus air mata yang menyebabkan mata pasien ini berair.
Mata terasa mengganjal
Mata terasa mengganjal merupakan salah satu keluhan pada penyakit mata secara umum.
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular yang padat. Rasa mengganjal dirasakan pada
pasien akibat sensasi solid pertumbuhan jaringan abnormal pada konjungtiva ini pada permukaan
mata dan akan semakin terasa pada saat pasien baru saja mengedipkan matanya.
Astigmatisme
16
Pada status oftalmologi didapatkan kelainan refraksi yaitu visus OD: 6/10 C-0,75 aksis
1350 6/6. Hal ini menunjukkan bahwa pasien
menderita astigmatisma pada mata kanannya.
Pada
astigmatisma,
sinar
sejajar
tidak
Penyebab
irreguler
sehingga
mengganggu
penglihatan.
Pada
astigmatisme,
mata
menghasilkan suatu bayangan dengan titik atau garis fokus multipel. Bentuk astigmatisme ini,
meredian - meredian utama bolamatanya tidak saling tegak lurus. Astigmatisme yang demikian
bisa disebabkan oleh ketidakberaturan kontur permukaan kornea. 2
17
3.7 Penatalaksanaan
Pada kasus ini terapinya terbagi 2, yaitu medikamentosa dan non medikamentosa.
1) Non medikamentosa
Meliputi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) sebagai tindakan konservatif sebab
biasanya pengobatan tidak diperlukan karena pterigium bersifat rekuren terutama pada usia
muda.
-
Meminimalkan paparan sinar UV, debu dan udara panas di luar ruangan dengan
menggunakan topi dan kacamata pelindung
Bila pasien tidak bersedia untuk dioperasi maka perlu diberitahukan bahwa pterigium
tersebut harus terus diawasi karena dapat teritasi disertai keratitis pungtata dan dellen
18
(penipisan kornea akibat kering) dan menutupi media penglihatan. Sehingga pasien harus
segera berobat ke dokter bila terdapat tanda-tanda progresivitas dari pterigiumnya.
2) Medikamentosa
Airmata buatan, diberikan sebab pada pasien terdapat tanda radang (kedua mata tampak
merah). Pemberiannya secara topikal (genteal eye drop) 3-6 kali per hari, 2 tetes.
Apabila terdapat dellen yaitu lekukan kornea, maka airmata buatan diberikan dalam
bentuk salep, akan tetapi pada pasien ini tidak terdapat dellen sehingga pemberiannya
cukup dalam bentuk tetes.
Steroid atau dekongestan tetes mata, hanya diberikan bila tanda radang tidak mereda
dengan airmata buatan. Contohnya flamergy eye drop 6 kali/hari, 2 tetes. Pemberiannya
dilakukan secara berhati-hati karena dapat meningkatkan tekanan intraokular.
Kacamata koreksi, diberikan bila pasien menolak dilakukan operasi agar visus oculi
dextra pasien saat menggunakan kacamata tersebut mencapai 6/6. Berdasarkan hasil
pemeriksaan visus, kacamata yang dapat diberikan adalah kacamata dengan lensa C- 0,75
pada mata kanannya.
Operasi, terdapat beberapa indikasi perlu dilakukannya operasi pterigium yaitu:
-
Inflamasi rekuren pterigium dapat disertai dengan keratitis yaitu infiltrasi sel
radang pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh, dimana kornea
yang keruh tersebut dapat menyebabkan visus menurun.
didapat keterangan bahwa mata pasien sering merah hilang timbul sejak 4 tahun lalu, hal
ini menunjukkan adanya inflamasi rekuren. Operasi ini diperlukan terutama untuk mata
kanan sebab telah ditemukan adanya gangguan penglihatan pada oculi dextra berupa
astigmatisma. Berdasarkan studi disebutkan bahwa kebanyakan pra operasi astigmatisma
19
berkurang setelah dilakukan operasi pterigium, dimana semakin tinggi derajat astigmatisma
pra operasi maka akan semakin besar perbedaannya saat sebelum dan setelah operasi.
10
Akan tetapi, perlu diinformasikan sebelumnya bahwa setelah operasi, pterigiumnya dapat
muncul kembali, sehingga perlu meminimalkan paparan debu dan sinar UV.
3.8 Komplikasi
Komplikasi pterigium dapat berupa:
-
Bowman
yang
kemungkinan
bila
kerusakannya
luas
dan
besar
Komplikasi berupa penipisan sklera dan atau kornea tersebut dapat terjadi beberapa
tahun atau dekade setelah dilakukan operasi pengangkatan pterigium.
> Rekurensi pasca operasi
Merupakan komplikasi tersering pasca operasi, terutama pada pembedahan dengan
teknik eksisi sederhana dimana tingkat rekurensi dapat mencapai 50-80%. Angka
rekurensi tersebut rata-rata berkurang 5-15% dengan penggunaan konjungtival/limbal
autografts atau transplantasi membran amniotik pada saat eksisi. 11
3.9 Prognosis
Ad Vitam: Bonam
Kami menentukan prognosis ad vitam bonam karena pterigium yang diderita
pasien bersifat lokal (bukan sistemis). Hal ini juga ditunjang oleh hasil pemeriksaan
status generalis yang dalam batas normal, menunjukkan tidak adanya penyakit sistemik
yang mengancam jiwa pasien.
Ad Functionam: Dubia ad Bonam
Akibat pterigium, pada oculi dextra terdapat gangguan penglihatan berupa
astigmatisma tetapi dengan koreksi lensa C-0,75 masih dapat dicapai visus normal. Selain
itu, pada oculi sinistra tidak ditemukan kelainan visus, gerakan kedua mata tidak
terhambat ke segala arah dan hasil pemeriksaan media penglihatan masih dalam batas
normal.
Ad Sanationam: Dubia ad Malam
21
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi
1.1 Konjungtiva
Konjungtiva
membran
merupakan
mukosa
tipis
membungkus
3. Forniks, bagian transisi yang membentuk hubunganantara bagian posterior palpebra dan bola
mata
Meskipun konjungtiva agak tebal, konjungtiva bulbar sangat tipis. Konjungtiva bulbar
juga bersifat dapat digerakkan, mudah melipat ke belakang dan ke depan. Pembuluh darah
dengan mudah dapat dilihat di bawahnya.Di dalam konjungtiva bulbar terdapat sel goblet yang
mensekresi musin, suatu komponen penting lapisan air mata pre-kornea yang memproteksi dan
memberi nutrisi bagi kornea.
Perdarahan konjungtiva meliputi:
- Arteri konjungtiva posterior memperdarahi konjungtiva bulbi
- Arteri siliar anterior (episklera) percabangannya yaitu A. episklera (masuk ke dalam bola
mata, bergabung dengan A. siliar posterior membentuk pleksus/ arteri sirkular
mayor untuk memperdarahi iris dan badan siliar, sedangkan bagian A. episklera
yang terletak diatas sklera memperdarahi bola mata) dan A. perikornea
(memperdarahi kornea). 1
Pelebaran dari arteri-arteri di atas dapat menyebabkan mata merah. 1
Asal
Memperdarahi
posterior
Konjungtiva bulbi
Kornea
Warna
Arah aliran
Konjungtiva
Merah
Ke perifer
Ikut bergerak
anterior
Ungu
Ke sentral
Tidak bergerak
Merah gelap
Ke perifer
Tidak bergerak
digerakkan
Dengan efinefrin
Kelainan
Menciut
Konjungtiva
Tidak menciut
Kornea/iris
Tidak menciut
Glaukoma,
Sekret
Penglihatan
+
Norm al
Menurun
endoftalmitis
Sangat turun
segmen Intraokular
1.2 Kornea
Kornea adalah selaput bening mata yang
dapat
23
menembus
cahaya,
dan
merupakan
jaringan penutup bola mata bagian anterior. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris
terutama berasal dari saraf siliar longus dan saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus
berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman
melepaskan selubung schwannya. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong didaerah limbus
terjadi dalam waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan
sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea.
Kornea merupakan tempat pembiasan sinar terkuat, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan
sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.
1.3 Apparatus lakrimalis
Terdiri dari glandula dan ductus lakrimalis, yang
berfungsi menjaga permukaan mata dengan air mata.
Glandula lakrimalis terletak di superolateral bola mata.
Aliran air mata adalah sebagi berikut, membasahi
permukaan anterior bola mata punktum lakrimale
kanalikuli lakrimalis sakus lakrimalis duktus
nasolakrimalis meatus inferior.
2. Histologi
2.1 Konjungtiva
Lapisan epitel konjungtiva
terdiri dari dua hingga lima
lapisan
sel
epitel
silinder
sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan
diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal
berwarna lebih pekat daripada sel-sel superficial dan di dekat linbus dapatmengandung pigmen.
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan satu lapisan
fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan dibeberapa tempat dapat
mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak
berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa
konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian
menjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambungyang melekat pada
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan
fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar air mata asesori (kelenjar krause dan wolfring),
yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar
kelenjar krause berada di forniks atas, dan sedikit ada diforniks bawah. Kelenjar wolfring
terletak ditepi atas tarsus atas.
2.2 Kornea
Merupakan 1/6 bagian anterior bola mata,
jernih, transparan, permukaannya halus, di
tengah tebalnya 0,7-0,8 mm, sedangkan di tepi
1,1 mm, sedikit lebih tebal daripada sklera.
Secara histologis terbagi menjadi 5 lapisan
yaitu:
Epitel kornea, epitel berlapis gepeng tanpa
lapisan tanduk. Terdiri atas 5-6 lapis sel-sel yang
mempunyai daya regenerasi sanagat baik.
Stratum basale tampak gambaran mitosis, sel
mengalami pergantian sekitar 7 hari. Epitel kornea mendapat ujung bebas saraf sensoris N.V
terbanyak dibanding bagian mata lain sehingga sangat sensitif.
Membrana Bowman, lapisan homogen pucat. Terdiri atas fibrin kolagen halus dan tidak
terdapat sel atau serat elastin. Berfungsi memberi stabilitas dan kekuatan kornea, tidak terdapat
di limbus.
25
Stroma, merupakan 90 % tebal kornea, transparan, tersusun atas serat kolagen sejajar yang
saling menyilang. Sel dan seratnya terbenam dalam substansi amorf glikoprotein yang bersifat
metakromasi.
Membrana Descemet, strukturnya homogen terdiri atas serat kolagen halus tersusun seperti jala.
Endotel kornea, epitel selapis gepeng membatasi permukaan dalam kornea. Terdapat organel
yang dapat bertranspor aktif dan sisntesis protein untuk sekresi.
Limbus kornea merupakan peralihan antara kornea dan sklera, lebarnya sekitar 1mm.
terdapat pembuluh darah dan limfe. Epitelnya tebal terdapat 10 lapis atau lebih dan menjadi
kontinu dengan konjungtiva. 12,13
2.3 Lakrime
Dihasilkan oleh glandula lakrimalis dan
glandula lakrimalis pelengkap (kelenjar krause dan
wolfring). Mengandung lisozim dan laktoferin yang
bersifat bakterisid, membentuk film air mata
prekorneal yang terdiri dari 3 lapisan:
- Lapisan luar terdiri dari lipid. Disekresi oleh
Gl. Meibom dan Zeiss. Berfungsi
mencegah penguapan air mata.
- Lapisan tengah dari air. Disekresi oleh Gl.
Lakrimalis, Krause dan Wolfring. Berfungsi untuk suplai oksigen dan antibakteri.
- Lapisan dalam dari musin. Disekresi oleh sel goblet, kriptus Henle, dan kelenjar Manz.
Berfungsi mengubah permukaan epitel kornea dari hidrofobik menjadi hidrofilik.
3. Fisiologi
Sinar masuk ke dalam mata melalui pupil yang diatur oleh iris. Kemudian cahaya akan
difokuskan ke sel-sel batang dan kerucut, sel fotoreseptor retina.fotoreseptor kemudian
mengubah energy cahaya menjadi sinyal listrik untuk disalurkan ke SSP. Bagian retina yang
mengandung fotoreseptor sebenarnya adalah perluasan dari SSP. Cahaya harus melewati lapisan
ganglion dan bipolar sebelum mencapai fotoreseptor di semua daerah retina, kecuali fovea.
Gelombang cahaya mengalami divergensi (memancar ke luar) ke semua arah dari setiap
titik sumber cahaya. Berkas cahaya divergen yang mencapai mata harus dibelokkan kea rah
26
dalam untuk di fokuskan kembali ke sebuah titik peka-cahaya di retina agar dihasilkan suatu
bayangan akurat. Pada permukaan yang melengkung seperti lensa, semakin besar kelengkungan,
semakin besar derajat pembiasan, dan semakin kuat lensa. Suatu lensa dengan permukaan
cembung (conveks), menyebabkan konvergensi (penyatuan) berkas-berkas cahaya, yaitu
persyaratan untuk membawa suatu bayangan ke titik focus.
14
belum
27
diketahui
secara
pasti,
namun
diduga
berhubungan dengan adanya iritasi kronis dari debu, sinar matahari dan udara panas. Sehingga
faktor resiko dari pterigium adalah tingginya paparan sinar UV dan pekerjaan yang banyak
dilakukan di luar ruangan. 11
b. Epidemiologi
Pterigium lebih banyak ditemukan pada pria, hal tersebut kemungkinan berhubungan
dengan aktivitas yang lebih banyak di luar ruangan sehingga lebih mudah terpapar debu dan
sinar UV. Jumlahnya dua kali lebih banyak dibanding wanita. Insiden tertinggi pterigium adalah
pada usia 20-40 tahun. Sedangkan prevalensi tertingginya pada usia di atas 40 tahun. 11
c. Gejala klinik
Gejala pterigium sangat bervariasi, pterigium dapat tidak bergejala atau sebaliknya yaitu
menunjukkan gejala yang signifikan seperti mata merah, gatal, iritasi dan penglihatan yang
kabur. Munculnya gejala gangguan penglihatan tersebut berhubungan dengan lesi yang telah
menginvasi kornea yang dapat mengenai satu atau kedua mata. Akibat penarikan kornea oleh lesi
pterigium, penderita dapat mengalami astigmatisma, yang biasanya tipe astigmatisma ireguler. 11
Pada pemeriksaan fisik biasanya didapatkan adanya perubahan fibrovaskular pada
permukaan konjungtiva dan kornea saat dilakukan inspeksi. Kebanyakan lesi pterigium terdapat
di bagian nasal, meskipun pterigium dapat pula terdapat di bagian temporal. Manifestasi klinis
dari pterigium dapat dibagi dua, yaitu:
Proliferasi minimal disertai gambaran yang relatif atrofik, pterigium tipe ini akan lebih
mendatar dan pertumbuhannya lebih lambat serta memiliki insiden rekurensi
yang lebih rendah pasca operasi.
Proliferasi secara cepat, biasanya menimbulkan gejala yang lebih signifikan dan
memiliki kekambuhan yang tinggi setelah dilakukan operasi pengangkatan
pterigium.
d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan topografi kornea dapat berguna untuk menentukan derajat astigmatisma
ireguler yang disebabkan oleh pertumbuhan invasif pterigium. Sedangkan pemeriksaan external
photography dapat membantu untuk mengobservasi progresifitas dari pterigium tersebut. 11
e. Patofisiologi
Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastik kolagen dan proliferasi
fibrovaskular. Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastik menunjukkan
28
basophilia dengan hematoxylin dan pewarnaan eosin. Jaringan tersebut dapat diwarnai oleh
pewarnaan jaringan elastis, akan tetapi jaringan tersebut bukan merupakan jaringan elastis sejati
dan tidak dapat dicerna oleh elastase. 11
f. Penatalaksanaan
Pasien dengan pterigium tidak harus melakukan operasi, sebab tingkat kekambuhannya
tinggi terutama pada pasien-pasien dengan faktor resiko. Akan tetapi, perlu dilakukan observasi
secara berkelanjutan sebab lesi pterigium mudah teriritasi dan dapat terus tumbuh sehingga dapat
menutupi media penglihatan, akibatnya visus dapat menurun. Apabila terjadi iritasi dapat steroid
atau tetes mata dekongestan.
Penatalaksanaan pterigium yang terpenting adalah melindungi mata dengan pterigium
dari sinar ultraviolet misalnya dengan memakai kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang
dapat diberikan air mata buatan dan bila perlu diberikan steroid.
Operasi pengangkatan pterigium dilakukan bila telah menimbulkan astigmatisma atau
menutup media penglihatan, dibawah anestesi topikal atau lokal dan ditambah sedasi bila
diperlukan. Terdapat 3 teknik operasi pterigium, yaitu bare sklera (hanya meliputi pengangkatan
lesi pterigium), teknik subkonjungtiva (lesi diangkat kemudian sisanya di selipkan di bawah
konjungtiva bulbi, tujuannya agar jika residif pterigium tidak akan menginvasi kornea), dan
teknik graft (pterigium setelah diangkat lalu digraft dari amnion atau selaput mukosa
mulut/konjungtiva forniks). Setelah operasi, biasanya mata pasien merekat pada malam hari,
perawatannya dengan memakai obat tetes mata atau salep mata antibiotika/antiinflamasi.
Medikamentosa yang dapat diberikan pada pterigium antara lain:
- Air mata artifisial untuk membasahi permukaan okular dan untuk mengisi kerusakan pada
lapisan mata. Dapat diberikan 1 ggt
hipersensitivitas.
- Obat tetes mata antiinflamasi untuk mengurangi inflamasi pada permukaan mata dan
jaringan okular lainnya. Dapat membantu mengurangi pembengkakan jaringan
yang inflamasi pada permukaan okular. Contoh obatnya adalah prednisolon asetat
(Pred Fo 1% merupakan suatu suspensi kortikosteroid yang pemakaiannya
dibatasi untuk inflamasi berat yang tidak dapat disembuhkan dengan pelumas
topikal lain. 11
g. Prognosis
29
Prognosis pterigium secara visual dan kosmetik baik. Pada hari pertama pasca operasi,
sebagian besar pasien dapat melanjutkan aktivitas penuh. Pasien-pasien yang kembali terkena
pterigium, dimana rekurensi adalah komplikasi utama dari pterigium, maka dapat dilakukan
operasi eksisi kembali dengan conjunctival/limbal autograft atau transplantasi membran amniotik
pada pasien tertentu. 11
5. Astigmatisma
Pada astigmat berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam pada retina,
akan tetapi pada dua garis titik api yang saling tegak lurus yang terjadi akibat kelainan
kelengkungan permukaan kornea.
Bayi yang baru lahir biasnaya mempunyai kornea yang bulat atau sferis yang didalam
perkembangannya terjadi keadaan apa yang disebut sebagai astigmatisma withdrawal (astigmat
lazim) yang berarti kelengkungan kornea pada bidang vertikal bertambah atau lebih kuat atau
jari-jarinya lebih pendek dibanding jari-jari kelengkungan kornea dibidang horizontal. Pada
keadaan astigmat lazim ini diperlukan lensa silinder negatif dengan sumbu 180 derajat untuk
memperbaiki kelaianan refraksi yang terjadi.
Pada usia pertengahan kornea menjadi lebih sferis kembali sehingga astigmat menjadi
agains the rule (astigmat tidak lazim).
Astigmat tidak lazim
Merupakan suatu keadaan kelaina
negatif dilakukan dengan sumbu tegak lurus (60-120 derajat) atau dengan silinder positif sumbu
horizintal 30-150 deraja. Keadaan ini terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian
horizontal lebih kuat dibandingkan kelengkungan kornea vertikal. Hal ini sering ditemukan pada
usia lanut.
Bentuk astigmat:
-
Astigmat ireguler: astigmat yang terjadi tidak mempunyai 2 meridan saling tegak
lurus. Astigmat ierguler dapat terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian yang
30
sama berbeda sehingga bayangan menjadi ireguler. Astigmatisma ini terjadi akibat
infeksi kornea, trauma dan disttrofi atau akibat kelainan pembiasana pada meridian
lensa yang berbeda.
Pengoabtan dengan lenda kontak keras bila epitel tidak rapuh atau lensa kontak lembek
bila disebabkan infeksi, trauma dan distrofi untuk memberikan efek permukaan yang ireguler.
Pada pasien plasedoskopi terdapat gambaran yang ireguler. Koreksi dan pemeriksaan astigmat,
pemeriksaan mata dengan sentris pada permukaan kornea.
Dengan
alat
ini
dapat
dilihat
kelengkungan
kornea
yang
reguler
(konsentris),
ireguler
kornea
dana
31
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan opthalmologi, dan status lokalis
dapat disimpulkan bahwa Tn. A menderita pterigium derajat 3 tipe 2 okuli dextra dengan
astigmatisme dan pteriugium derajat 1 tipe 1 okulis sinistra. Pterigium pada kedua mata Tn A
sudah memenuhi indikasi operasi terutama mata kanan sebab telah terjadi gangguan penglihatan
berupa astigmatisma akibat penarikan kornea oleh pterigium. Akan tetapi karena pterigium
memiliki tingkat rekurensi yang cukup tinggi terutama pada pasien dengan factor resiko seperti
tuan A maka apabila Tn. A menolak melakukan operasi bisa diberikan alternatif lain seperti
pemberian kacamata koreksi dan air mata buatan, serta dilakukan follow up agar dapat diambil
tindakan segera apabila terjadi peningkatan progresivitas terhadap fungsi penglihatan Tn.A. yang
terpenting adalah mengurangi factor resiko dengan cara melindungi mata dari paparan sinar UV,
debu, angin, dll dengan menggunakan kacamata pelindung terutama saat bekerja.
Saran:
1.
2.
3.
Pekerjaan tukang ojek merupakan pekerjaan individu atau berkelompok, oleh karenanya
untuk upaya pelayanan kesehatan dan keselamatan kerja dapat dilakukan pemeriksaan
kesehatan oleh puskesmas di area terdekat
4.
Sebaiknya melakukan upaya promosi kesehatan dan peningkatan kesadaran pekerja untuk
berperilaku hidup sehat
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Mata merah.
FKUI.2009.p.109
2. Ilyas S. Tajam Penglihatan dan Kelainan Refraksi Penglihatan Warna. Ilmu Penyakit
Mata 3rd Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2009.p.109
3. Zieve
D.
Tonometry
(updated:3
agustus
2010
).available
at:
Pterygium
(updated:2008
).
Available
at:
Accessed
Patophisiology.
Aveilable
at:
practice/monograph/963/basics/pathophysiology.html.
http://bestpractice.bmj.com/best(Upadated
30
Juni
2011).
33
11. Pterygium.
Available
at:
Medscape.pterygium.availble
34