Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
Mata merah merupakan salah satu keluhan utama yang sering muncul pada pasien dengan
penyakit mata. Mata akan tampak merah bila sklera yang ditutup konjungtiva menjadi merah.
Penyebabnya dapat berupa melebarnya pembuluh darah konjungtiva, pembendungan pembuluh
darah atau karena pecahnya pembuluh darah yang menyebabkan darah dapat tertimbun di bawah
jaringan konjungtiva.1 Pelebaran pembuluh darah terbagi menjadi tiga yaitu injeksi konjungtiva
(dapat disebabkan karena adanya pengaruh mekanis, asap, benda asing atau dapat pula karena
alergi, mata kering atau kurang tidur), injeksi siliar/perikorneal (dapat terjadi akibat radang,
tuaka kornea, benda asing pada kornea, uveitis, glaukoma, endoftalmitis atau panoftalmitis), dan
injeksi episkleral.1 Ketiganya dapat dibedakan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Untuk memudahkan penentuan diagnosis penyakit penyebab mata merah, maka keluhan
mata merah dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu mata merah dengan visus normal dan mata
merah dengan visus menurun. Kemudian, mata merah dengan visus menurun terbagi lagi
menjadi dua yaitu merah tidak merata dan merah merata. Mata merah tidak merata dengan visus
normal dapat disebabkan oleh episkleritis, skleritis, perdarahan subkonjungtiva, pterigium,
pseudopterigium, konjungtivitis fliktenularis dan pinguiculitis iritans. Mata merah merata dengan
visus normal dapat disebabkan oleh konjungtivitis bakterial,viral ataupun alergi. Ketiga jenis
konjungtivitis tersebut dapat dibedakan dari hasil anamnesis. Sedangkan penyebab mata merah
dengan visus menurun antara lain, keratitis, iridosiklitis akut, glaukoma akut, ulkus kornea dan
endoftalmitis. Dalam menentukan diagnosis diperlukan data mengenai adanya faktor resiko pada
pasien, gejala lain yang menyertai dan tanda objektif pada pemeriksaan seperti ditemukannya
jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga dengan puncak di kornea yang mengarah pada penyakit
pterigium.

BAB II
LAPORAN KASUS

Sesi 1
Seorang pria bernama Tn. A berumur 35 tahun bekerja sebagai tukang ojek datang ke poli
mata dengan keluhan mata merah.
Kedua mata merah sejak 1 hari yang lalu. Merah tampak hanya sebagian. Disertai rasa
mengganjal dan mata berair. Penglihatan buram disangkal, nyeri disangkal, fotofobia disangkal.
Sebelumnya mata pasien sering merah terutama jika terkena debu, hilang timbul selama 4 tahun.
Riwayat operasi mata disangkal. Riwayat trauma disangkal.
Sesi 2
Hasil pemeriksaan didapatkan :
STATUS GENERALIS : dalam batas normal
STATUS OFTALMOLOGIS :
Visus

OD

OS

6/10 C- 0,75 aksis 135o 6/6

6/6

(Normal ke segala arah)


n/p (normal palpasi)

(Normal ke segala arah)


n/p (normal palpasi)

Normal

Normal

Gerak bola mata

TIO
Palpebra
Konjungtiva bulbi

Massa/jaringan fibrovaskular Massa/jaringan fibrovaskular


(bagian

nasal)

berbentuk (bagian nasal) berbentuk

segitiga dengan puncak di segitiga dengan puncak di


Kornea
COA

kornea, hiperemis
Jernih

kornea, hiperemis
Jernih

Dalam

Dalam

Iris/pupil

Normal

Normal

Lensa

Jernih

Jernih

Vitreus

Jernih

Jernih

Fundus

Normal

Normal

Status lokalis :
OD

OS

BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan kasus, didapatkan informasi mengenai pasien, sebagai berikut:
3.1 Identitas pasien
Nama lengkap

: Tn. A

Pekerjaan

: Tukang ojek

Jenis kelamin

: Pria

Agama

:-

Umur

: 35 tahun

Pendidikan

:-

Alamat

:-

Status pernikahan

:-

Bangsa/suku

:-

3.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama
Datang ke poli mata dengan keluhan mata merah.
b. Keluhan tambahan
Mata terasa mengganjal dan berair, hilang timbul sejak 4 tahun lalu, mata merah
terutama bila terkena debu
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan mata merah.
Kedua mata merah sejak 1 hari yang lalu. Merah tampak hanya sebagian. Keluhan
mata merah timbul akibat terjadinya perubahan warna bola mata yang sebelumnya
berwarna putih menjadi merah. Mata merah dapat terjadi akibat pelebaran pembuluh
darah konjunctiva atau episklera, berkurangnya pengeluaran darah seperti pada
pembendungan pembuluh darah, maupun akibat pecahnya salah satu dari pembuluh
darah konjunctiva dan episklera. Merah tampak hanya sebagian menunjukkan bahwa
proses/kelainan yang terjadi bersifat setempat.
Pasien seorang pria berusia 35 tahun dan bekerja sebagai tukang ojek
Jenis kelamin, usia dan pekerjaan Tn.A dapat menjadi factor resiko. Pekerjaannya
sebagai tukang ojek merupakan factor resiko untuk terpaparnya sinar uv, debu, dan udara
panas yang kemungkinan besar merupakan pemicu penyakit yang dialaminya.
Pasien mengeluh mata terasa mengganjal dan berair

Rasa mengganjal dapat terjadi akibat adanya peradangan, pertumbuhan jaringan


baru, atau adanya benda asing dalam mata. Mata berair dapat terjadi akibat penurunan
kualitas airmata berupa penurunan jumlah lipid yang diproduksi oleh kelenjar meibom,
yang mengakibatkan air mata cepat menguap.
Tidak terdapat penglihatan buram, nyeri, dan fotofobia
Penglihatan tidak buram menunjukkan tidak adanya gangguan pada media
penglihatan yaitu kornea, lensa, badan kaca dan retina. Akan tetapi pada pasien ini tetap
diperlukan pemeriksaan visus untuk mendeteksi gangguan visus yang mungkin tidak
disadari pasien. Tidak adanya nyeri dapat menyingkirkan kemungkinan penyakit lain
yang juga termasuk klasifikasi mata merah sebagian dengan visus normal seperti
konjungtivitis flikten, episkleritis dan skleritis. Sedangkan tidak adanya fotofobia
menunjukkan tidak ada gangguan pada iris yang berfungsi mengatur banyaknya cahaya
yang masuk.
Untuk mengetahui keluhan lain yang

terjadi pada pasien, maka pada riwayat

penyakit sekarang perlu pertanyaan tambahan sebagai berikut:

Apakah merah di kedua mata timbul bersamaan?

Apakah merah pada mata bersifat progresif?

Apakah mata terasa gatal?

Apakah mata mengeluarkan sekret? Bila ya bagaimana warna dan konsistensinya?

Apakah terdapat keluhan lain yang menyertai?

Apakah keluhan tersebut mengganggu pekerjaan atau aktivitas?

Apakah terdapat faktor yang meringankan keluhan tersebut?

Apakah sebelumnya terdapat kontak dengan seseorang yang mengalami keluhan


serupa?

d. Riwayat Penyakit Dahulu:


Sebelumnya mata pasien sering merah terutama jika terkena debu, hilang timbul
selama 4 tahun
Keluhan pasien ini berhubungan dengan pekerjaannya sebagai tukang ojek yang
sering terpapar debu, sinar matahari, dan udara panas. Hal-hal tersebut kemungkinan
besar menyebabkan iritasi kronis pada mata pasien hingga menimbulkan keluhan yang
5

terjadi saat ini.


Operasi dan riwayat trauma disangkal
Keterangan tersebut memperkuat kemungkinan paparan debu, sinar matahari dan
udara panas sebagai penyebab keluhan pasien. Tidak adanya riwayat trauma juga dapat
menyingkirkan adanya kemungkinan perdarahan subkonjungtiva yang biasanya
disebabkan trauma langsung atau tidak langsung.
Untuk melengkapi keterangan mengenai riwayat penyakit dahulu, maka perlu
ditanyakan hal-hal sebagai berikut:

Apakah pernah mengalami penyakit mata yang lain?

Apakah terdapat riwayat DM, hipertensi atau penyakit sistemik lainnya?

Apakah memiliki riwayat alergi? Bila ya apa alergennya?

Apakah terdapat riwayat perawatan di rumah sakit?

e. Riwayat Penyakit Keluarga

Apakah ada anggota keluarga atau orang sekitar yang mengalami keluhan yang
sama?

Apakah terdapat riwayat DM dan hipertensi pada keluarga?

Apakah memiliki riwayat penyakit herediter seperti leukemia, buta warna atau
glaukoma?

Apakah ada anggota keluarga yang terinfeksi TB atau HIV?

e. Riwayat Pengobatan

Apakah sebelumnya keluhan tersebut sudah diobati oleh dokter? Bila ya, apa obat
atau terapi yang dilakukan?

Apakah terdapat alergi terhadap obat-obatan tertentu?

f. Riwayat Nutrisi

Bagaimana asupan nutrisi pasien selama ini? Apakah dalam jumlah yang cukup?

Apakah kebutuhan vitamin pasien terpenuhi terutama vitamin A dan C terpenuhi?

3.3 Pemeriksaan Fisik


Pada kasus ini telah dilakukan pemeriksaan fisik, dimana interpretasinya adalah sebagai
berikut:
6

Hasil Pemeriksaan
Dalam batas normal

STATUS GENERALIS
Interpretasi
Status generalis dalam batas normal menunjukkan bahwa penyakit
yang terjadi bersifat terlokalisasi pada mata. Selain itu menunjukkan
bahwa pasien tidak mengalami demam, tidak mengalami pembesaran
kelenjar periaurikular (bisa menyingkirkan hipotesis mata merah
karena konjungtivitis), dan kemungkinan tidak memiliki penyakit
sistemik seperti hipertensi, dibetes melitus yang apabila mengnai mata

Hasil Pemeriksaan
Visus

juga bisa menimbulkan keluhan mata merah.


STATUS OFTALMOLOGIS
Interpretasi
OD: Visus 6/10 menunjukkan bahwa pasien hanya dapat membaca

OD: 6/10 C-0,75 aksis huruf pada jarak 6 meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat
1350 6/6

dibaca pada jarak 10 meter. Pada pasien, visus 6/6 diperoleh jika

OS: 6/6

menggunakan lensa C-0,75 aksis 1350. Hal ini menunjukkan bahwa


pasien

menderita

astigmatisma

pada

mata

kanannya.

Pada

astigmatisma, sinar sejajar tidak membentuk satu titik fokus sinar. 2


Astigamatisma terjadi akibat adanya kelainan refraksi pada permukaan
kornea mata. Astigmatisma dapat terjadi pada pterygium yang telah
mengenai media refraksi (kornea).
OS: Visus 6/6 menunjukkan visus pada mata kiri pasien masih dalam
keadaan normal. Hal ini didukung oleh hasil pemeriksaan pada status
lokalis dimana penyakit yang diderita pasien baru mengenai limbus,
Gerak bola mata

tidak menutupi kornea.


Pemeriksaan gerakan bola mata dilakukan dengan meminta pasien

OD: Normal ke segala untuk mengikuti gerakan obyek misalnya ujung jari atau pensil yang
arah

digerakkan ke 8 arah utama tanpa menggerakkan kepala (melirik saja).

OS: Normal ke segala Hasil normal pada gerakan bola mata menunjukkan bahwa tidak
arah

terdapat gangguan pada otot mata atau pada saraf yang mempersarafi
otot tersebut. Pada status, hasil normal ditulis dengan 1 tanda panah

TIO
OD: n/p

( ).
Pemeriksaan tekanan bola mata dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
1. Digital (palpasi)
7

(normal/palpasi)

2. Kontak: Tonometer

OS: n/p

3. Non kontak: Air puff

(normal/palpasi)

Pemeriksaan tekanan bola mata dengan palpasi dilakukan oleh


pemeriksa yang berpengalaman. TIO yang normal menunjukkan pasien

Palpebra

tidak menderita glaucoma. 3


Palpebra berfungsi untuk melindungi bola mata dan sekresi kelenjar air

OD: Normal

mata. Palpebra normal menunjukkan pasien tidak menderita kelainan /

OS: Normal
Konjungtiva bulbi

penyakit pada palpebra.


Hasil pemeriksaan ini memperkuat hipotesis pterygium. Pterygium

OD: Massa/ jaringan merupakan suatu pertumbuhan fibrovascular konjunctiva yang bersifat
fibrovascular
nasal)

(bagian degenerative dan invasive.4 Pterygium berbentuk segitiga dengan


berbentuk puncak di bagian central atau di daerah kornea. Pterygium mudah

segitiga dengan puncak meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan
di kornea, hiperemis

berwarna merah (hiperemis). Pterygium dapat mengenai kedua mata.

OS: Massa/ jaringan


fibrovascular
nasal)

(bagian
berbentuk

segitiga dengan puncak


di kornea, hiperemis
Kornea

Kornea atau selaput bening merupakan jendela paling depan,

OD: Jernih

berbentuk melengkung (cembung), membiaskan atau memfokuskan

OS: Jernih

sinar yang masuk sebanyak 80 %. Kornea jernih menunjukkan kornea


masih dalam keadaan normal. Walaupun pterygium pada mata kanan
pasien telah mengenai kornea dan menyebabkan astigamatisma, tetapi
tidak menimbulkan perubahan warna pada kornea, sehingga kornea

COA

tetap tampak jernih.


Camera oculi anterior terletak antara kornea dan iris. Pemeriksaan

OD: Dalam

kedalaman COA dilakukan dengan menggunakan senter 1800 sejajar

OS: Dalam

iris. COA yang dalam akan memperlihatkan semua iris terang pada

Iris/pupil

pemeriksaan ini. Hal ini menunjukkan COA dalam keadaan normal.


Iris atau selaput pelangi berfungsi untuk mengatur jumlah sinar masuk

OD: Normal

ke dalam mata dengan besarnya pupil.

OS: Normal

Pupil yang berwarna hitam pekat pada sentral iris berfungsi untuk
8

mengatur jumlah sinar masuk ke dalam bola mata.


Iris yang normal warnanya homogen, hal ini menunjukkan pasien tidak
memiliki gangguan pada iris/ pupil yang biasanya ditandai dengan
Lensa

adanya fotofobia.
Lensa membiaskan sinar 20 %. Peranan lensa terutama adalah pada

OD: Jernih

saat melihat dekat atau berakomodasi. Lensa yang jernih menunjukkan

OS: Jernih
Vitreus

bahwa lensa pada mata pasien masih dalam keadaan normal.


Vitreus / badan kaca merupakan suatu jaringan seperti kaca bening

OD: Jernih

yang terletak antara lensa dengan retina. Bersifat semi cair dan

OS: Jernih

mengandung 90 % air sehingga tidak dapat lagi menyerap air. Fungsi


vitreus sama dengan cairan mata yaitu untuk mempertahankan bola
mata agar tetap bulat. Peranannya mengisi ruang untuk meneruskan
sinar dari lensa ke retina. Tidak terdapatnya kekeruhan (jernih) pada
vitreus akan memudahkan melihat bagian retina pada pemeriksaan

Fundus

oftalmoskopi.
Oftalmoskop merupakan alat yang mempunyai sumber cahaya untuk

OD: Normal

melihat fundus okuli. Pemeriksaan ini dilakukan pada keadaan gelap.

OS: Normal

Gambaran fundus yang normal adalah:

Reflex fundus: normal orange (+)

Papil: warna, batas tegas, bentuk bulat cup/disc = 0,3

Arteri/ Vena = 2/3

Retina

Makula: reflex fovea (+)


STATUS LOKALIS
OD: didapatkan gambaran pterygium yang melewati kornea dan mencapai tepi pupil. Keadaan
ini dapat menyebabkan terganggunya fungsi penglihatan. Hal ini terbukti dengan adanya
astigmatisma pada pasien, astigmatisma terjadi akibat adanya kelainan pada media refraksi pada
permukaan kornea mata. Pada astigmatisma, bola mata tidak berbentuk bulat sehingga sinar
sejajar tidak membentuk satu titik fokus sinar. Pterygium pada OD pasien adalah derajat 3.
OS: didapatkan gambaran pterygium yang baru mencapai limbus, sehingga visus pada mata kiri
pasien masih dalam batas normal yaitu 6/6. Pterygium pada OS pasien adalah derajat 2.
9

3.4

Daftar Masalah
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan, didapatkan daftar

masalah Ny. Y sebagai berikut:


Daftar masalah
Dasar masalah
Kedua mata merah Anamnesis:

Hipotesis
- Mata merah karena pelebaran atau pecahnya

sebagian disertai rasa Keluhan tersebut sejak

pembuluh darah dapat disebabkan oleh

mengganjal dan berair 1 hari yang lalu

adanya

episkleritis,

subkonjunctiva,
pterygium,

perdarahan

pterygium,

konjungtivitis

pseudo

flikten

atau

pinguekula iritans. 1
- Rasa mengganjal karena adanya benda asing
atau massa (seperti pada pterigium)
- Berair karena sensasi benda asing, kualitas
air mata yang menurun (kurangnya lipid
Laki-laki, berusia 35 Anamnesis

pencegah air mata cepat menguap)


Lapangan pekerjaan pasien merupakan faktor

tahun, tukang ojek

resiko terpapar debu, udara panas dan sinar


UV pterigium, perdarahan subkonjungtiva,
pseudo pterygium dan konjungtivitis flikten.
Selain itu usia antara 20-49 tahun merupakan
usia dimana insidensi pterigium mencapai

Tidak ada penglihatan Anamnesis

puncaknya.
Pada pterigium,

buram,

terdapat kelainan media penglihatan, tidak

nyeri

dan

fotofobia

pseudopterigium,

tidak

terdapat gangguan iris dan pupil sehingga


tidak ada keluhan seperti buram, nyeri,

Sebelumnya

ataupun fotofobia.
Iritasi akibat debu, dan inflamasi rekuren

sering Anamnesis

merah terutama jika

merupakan salah satu faktor resiko terbesar

terkena debu, hilang

untuk menderita pterigium.

timbul selama 4 tahun


Tidak ada riwayat Anamnesis

Hipotesis
10

kami

semakin

mengarah

ke

trauma dan operasi

pterigium, dan bisa membantu menyingkirkan


hipotesis perdarahan subkonjungtiva yang

Astigmatisma

biasanya diakibatkan karena adanya trauma.


Astigmatisma ireguler akibat pterigium pada

oculi Pemeriksaan visus:

dextra

6/10 C- 0,75 aksis 135o oculi dextra.

Massa/jaringan

6/6
Pemeriksaan

fibrovaskular
bagian

nasal

dextra sinistra

Gambaran pterigium (terjadi peradangan

di oftalmologis:

pterigium)

oculi - OS berbentuk segitiga


dengan

puncak

di

kornea, hiperemis
- OD berbentuk segitiga
dengan puncak di tepi
pupil
3.5 Diagnosis
Tn. A datang ke poliklinik mata dengan keluhan mata merah tampak sebagian, disertai
rasa mengganjal dan mata berair. Dari pemeriksaan status generalis dalam batas normal,
menyingkirkan berbagai hipotesis penyakit mata yang diakibatkan karena penyakit sistemik
seperti

perdarahan subkonjungtiva ataupun radang seperti konjungtivitis yang biasanya

menimbulkan demam. Dari pemeriksaan oftalmologis didapatkan Tn. A mempunyai kelainan


astigmatisma pada mata kanannya dan gambaran khas pterigium pada kedua matanya.
Astigmatisma pada Tn. A ini berkaitan dengan keadaan pterigium karena jaringan fibrovaskular
pada mata kanan pasien di prediksikan telah mencapai kornea sehingga terjadi tarikan pada
kornea yang menyebabkan gangguan astigmatisma tersebut. Pada mata kiri Tn. A tidak
mengalami gangguan visus diprediksikan karena jaringan fibrovaskular belum mencapai kornea.
Derajat pertumbuhan pterygium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh
pertumbuhan pterygium, dimana dapat dibagi menjadi 4, yaitu :

Derajat 1 : Jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea

Derajat 2 : Jika pterygium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea

11

Derajat 3 : Jika pterygium sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil
mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4
mm)

Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu


penglihatan. 5
Pterigium terbagi menjadi 3 tipe, yaitu:

o Tipe 1 : Pterigium kecil


Lesi terbatas limbus menginvasi kornea di tepi dan masih bersifat asimptomatis.
Terdapat inflamasi ringan.
o Tipe 2 : Primer advance
Kapiler tampak membesar dan lesi menutup kornea sampai 4mm. Terdapat
o

astigmatisma.
Tipe 3 : Recurrent dengan keterlibatan zona optik
Lesi mengenai kornea >4 mm mengganggu aksis visual dan sering menimbulkan
fibrosis konjungtiva dan gangguan bola mata.
Berdasarkan keluhan utama, anamnesis, dan pemeriksaan yang didapat kelompok kami

mendiagnosis Pterigium derajat 3 tipe 2 dengan astigmatisma oculi dextra dan pterigium
derajat 1 tipe 1 oculi sinistra.
Pada kasus ini diagnosis bandingnya adalah pseudopterigium. Pseudopterigium
merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi
pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Letak
pseudopterigium ini pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan proses kornea sebelumnya.
Akan tetapi terdapat perbedaan diantara keduanya,yaitu:
Perbedaan
Letak

Pterigium
Konjungtiva yang terpapar

Pseudopterigium
Tidak harus pada konjungtiva yang

Pemeriksaan

Tidak terdapat celah. Sonde (-)

terpapar, bisa di dalam palpebra


Terdapat celah, dapat diselipkan

Anamnesis

sonde. Sonde (+)


Tidak ada riwayat kelainan kornea Adanya kelainan kornea sebelumnya,
sebelumnya

seperti tukak kornea.

3.6 Patofisiologi Kasus


Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan fisik lokal dalam
status oftalmologis, telah ditentukan diagnosis pasien ini yaitu pterigium okuli dekstra derajat 3
12

dan sinistra derajat 1 disertai astigmatisma okuli dekstra. Pterygium merupakan suatu
pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva (perilimbal) yang bersifat degeneratif dan invasif.
Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal
konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.
Pterygium terjadi pada permukaan yang terekspos udara luar serta mendapat paparan
sinar dan iritsn fisik lainnya. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau
di daerah komea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium
akan berwama merah. 6
Pada pasien ini, ada beberapa faktor resiko yang berkontribusi besar pada pterygium yang
dialami.
1. Paparan sinar UV (ultraviolet) dari matahari secara langsung.
Pekerjaan pasien adalah seorang tukang ojek. Lapangan pekerjaan seorang tukang ojek
adalah di luar ruangan yang terpapar sinar matahari secara langsung. Apabila pasien tidak
menggunakan bahan/ material yang baik seperti helm, topi, kacamata untuk proteksi sinar
UV, maka pterygium sangat mudah terjadi pada pasien mengingat Inodonesia juga
merupakan negara yang beriklim tropis.

Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan

konjuctiva menghasilkan kerusakan sel serta proliferasi sel yang menjadi dasar
patogenesis pterygium.
2. Paparan debu serta bahan iritan lain di ruang terbuka yang menyebabkan iritasi kronis.
Paparan debu sangat mungkin terjadi pada pasien perihal pekerjaanya sebagai tukang
ojek. Debu merupakan salah satu bentuk penyebab trauma fisik yang dapat menyebabkan
iritasi kronis (akibat paparan terus menerus) akibat cedera sel yang ditimbulkannya.
Adanya iritasi kronik pada daerah limbus dan atau kornea merupakan salah satu dasar
patogenesis terjadinya pterygium.
Patogenesis Pterygium
Pterygium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari yang
mengandung sinar ultarviolet UV-A dan UV-B (paling signifikan), dan udara yang panas. Selain
itu, proses herediter juga diduga berperan dalam patogenesis pterygium. Proses dasarnya tidak
diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neopalasma, radang, dan degenerasi.
Penyakit ini lebih sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu
13

gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah
angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan
konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru.
Pernyataan tersebut masih merupakan salah satu teori.
Dalam jurnal yang dinyatakan dalam current opinion in ophtalmology, pterygium
merupakan lesi yang aktif, infasiv, proses inflmasi dan merupakan salah satu kelainan utama
limbus fokal (setempat). Proses pterygium merupakan proses degeneratif yang terjadi pada
stroma konjungtiva. Degenerasi tersebut menyebabkan penebalan serta penggantian jaringan
oleh jaringan serat elastoic. Fibroblas yang teraktivasi dalam tepi-tepi pterygium pada
tahapannya akan menginvasi membran Bowman pada kornea didekatnya, tidak jarang juga
menginvasi

lapisan

stroma

kornea.

Ada

beberapa

tahapan

conjunctivilizaion

(pengkonjungtivaan) pada kornea. Hal ini menjelaskan pengertian pterygium yang menyatakan
bahwa pterygium tumbuh dengan puncaknya pada kornea.

Tahapan terjadinuya pterygium

antara lain peradangan kronis yang luas, proliferasi sel, remodeling jaringan ikat dan
angiogenesis. Adanya limfosit T yang ditemukan dalam epitel pterygium menunjukkan adanya
proses peradangan yang diperantarai respon sel imun. 7
Penjelasan proses proliferasi sel yang berperan pada pembentukan pterygium dijelaskan
dalam biologi molekuler kanker. Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada
limbal basal stemcell. Tanpa apoptosis yang distimulasi oleh tumor supressor gene, growth
factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase
(pemecahan jaringan kolagen) meningkat. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan
terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik
proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian menembus kornea.
Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan
jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi ringan. Limbal stem cell adalah sumber
regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell terjadi pembentukan jaringan
konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan
konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda
ini juga ditemukan pada pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan

14

bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Selain
itu, terdapat kemungkinan bahwa akibat sinar ultraviolet, terjadi kerusakan limbal stem cell.
Predileksi dari pterygium sesungguhnya dapat terjadi pada kedua sisi mata yaitu temporal
dan nasal. Namun, tipikal pterygium sering kali terdapat di nasal dari kornea. Hal ini tidak dapat
diterangkan secara pasti, namun dilihat dari anatomi, daerah temporal kornea lebih mendapat
perlindungan dari bulu mara, kelengkungan palpebra yang lebih tajam pada temporal serta alis.

Mata merah sebagian


Mata merah sebagian semenjak satu hari lalu pada pasien ini merupakan manifestasi
klinis dari injeksi pembuluh darah konjungtiva akibat respon peradangan akut iritan fisik
setempat di sekitar pterygium. Merah sebagian pada pasien ini menunjukkan peradangan
setempat di sekitar pterygium yang memang mudah meradang akibat paparan iritan fisik.
Pada mata normal sklera terlihat berwarna putih karena sklera dapat terlihat melalui
bagian konjungtiva dan kapsul Tenon yang tipis dan tembus sinar. Hiperemia konjungtiva terjadi
akibat bertambahnya asupan pembuluh darah ataupun berkurangnya pengeluaran darah seperti
pada pernbendungan pembuluh darah. Bila terjadi perlebaran pembuluh darah konjungtiva, maka
akan terlihat warna merah pada mata yang sebelumnya berwarna putih. Mata terlihat merah
akibat melebarnya pembuluh darah konjungtiva yang terjadi pada peradangan mata akut, yaitu
konjuctivitis akibat bahan irirtan pada kasus ini. Mata merah atau juga dapat disebur hiperemia
adalah tanda klinis konjungtivitis akut yang paling menyolok pada kasus kali ini. Kemerahan
paling jelas di forniks dan makin berkurang ke arah limbus karena dilatasi pembuluh-pembuluh
konjungtiva posterior. Hiperemia pada pasien ini merupakan mata merah tanpa infiltrasi sel
mengesankan iritasi oleh penyebab fisik seperti angin, matahari, asap, debu, dll. 1
Mekanisme dasar terjadinya suatu mata merah terkait dengan dasar patogenesis
peradangan akut pada konjungtiva atau konjunctivitis akibat iritan fisik. Peradangan akut
merupakan respons langsung tubuh terhadap cedera atau kematian sel. Akibat adanya cedera sel,
maka tubuh merespon secara neurologis maupun kimiawi (respon imum) yaitu dengan pelepasan
histamin dengan vasodilatasi pembuluh darah serta menambah pasokan darah ke tempat
terjadinya kerusakan sel. Tujuan peningkatan vaskularisasi ke daerah cedera adalah untuk
mengirimkan berbagai perantara imun seperti leukosit serta sitokin yang berfungsi memusnahkan
berbagai bahan penyebab cedera (dalam kasus ini iritan fisik berupa debu, asap kendaraan
15

bermotor, dll. mengingat pekerjaan pasien aalah tukang ojek). Seiring dengan dimulainya reaksi
peradangan, arteriol yang memasok daerah tersebut berdilatasi sehingga memungkinkan lebih
banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong,
atau mungkin hanya sebagian meregang, secara cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini,
disebut hiperemia atau kongesti, menyebabkan kemerahan lokal pada peradangan akut. 6
Mata berair
Mata berair pada pasien ini termasuk dalam kategori mata berair mendadak akibat adanya
iritan ataupun respon peradangan. Mata berair (epifora) sering kali menyolok pada konjungtivitis. Sekresi air mata diakibatkan oleh adanya sensasi benda asing. Transudasi ringan juga
timbul dari pembuluh-pembuluh yang hiperemik dan menambah jumlah air mata tersebut. Selain
itu, pterygium yang terdapat pada pasien ini merupakan proses patologi pada konjungtiva bulbi
yang menimbulkan penurunan kualitas air mata. Pada konjungtiva bulbi, terdapat sel goblet yang
berfungsi untuk menghasilkan musin yang berfungsi untuk mengikat epitel kornea dengan film
air mata. Apabila terjadi suatu peradangan pada konjungtiva, terjadi penurunan fungsi sel goblet
dalam menghasilkan musin yang mengakibatkan air mata tidak bisa menempel dalam waktu
yang cukup pada kornea ataupun konjungtiva untuk memberikan nutrisi. Glandula lakrimalis
merespon keadaan ini sebagai kekeringan air mata, sehingga glandula lakrimalis memproduksi
terus menerus air mata yang menyebabkan mata pasien ini berair.
Mata terasa mengganjal
Mata terasa mengganjal merupakan salah satu keluhan pada penyakit mata secara umum.
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular yang padat. Rasa mengganjal dirasakan pada
pasien akibat sensasi solid pertumbuhan jaringan abnormal pada konjungtiva ini pada permukaan
mata dan akan semakin terasa pada saat pasien baru saja mengedipkan matanya.
Astigmatisme

16

Pada status oftalmologi didapatkan kelainan refraksi yaitu visus OD: 6/10 C-0,75 aksis
1350 6/6. Hal ini menunjukkan bahwa pasien
menderita astigmatisma pada mata kanannya.
Pada

astigmatisma,

sinar

sejajar

membentuk satu titik fokus sinar.

tidak

Penyebab

umum astigmatisme adalah kelainan bentuk


kornea. Astigmatisma terjadi akibat adanya
kelainan refraksi pada permukaan kornea mata.
Astigmatisma dapat terjadi pada pterygium yang
telah mengenai media refraksi (kornea). Timbul
astigmatisme pada pterygium akibat kornea
tertarik oleh pertumbuhan pterygium tersebut, biasanya astigmatisme yang terjadi adalah
astigmatisme

irreguler

sehingga

mengganggu

penglihatan.

Pada

astigmatisme,

mata

menghasilkan suatu bayangan dengan titik atau garis fokus multipel. Bentuk astigmatisme ini,
meredian - meredian utama bolamatanya tidak saling tegak lurus. Astigmatisme yang demikian
bisa disebabkan oleh ketidakberaturan kontur permukaan kornea. 2

17

3.7 Penatalaksanaan
Pada kasus ini terapinya terbagi 2, yaitu medikamentosa dan non medikamentosa.
1) Non medikamentosa
Meliputi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) sebagai tindakan konservatif sebab
biasanya pengobatan tidak diperlukan karena pterigium bersifat rekuren terutama pada usia
muda.
-

Meminimalkan paparan sinar UV, debu dan udara panas di luar ruangan dengan
menggunakan topi dan kacamata pelindung

Menginformasikan pada pasien bahwa pekerjaannya sebagai tukang ojek merupakan


faktor resiko, sehingga perlu modifikasi saat bekerja yaitu dengan menggunakan helm
sesuai standar yang menutupi seluruh wajah

Menginformasikan bahwa pterigium dapat timbul kembali setelah dioperasi, terutama


pada orang yang memiliki faktor resiko seperti sering terpapar debu dan sinar UV.

Bila pasien tidak bersedia untuk dioperasi maka perlu diberitahukan bahwa pterigium
tersebut harus terus diawasi karena dapat teritasi disertai keratitis pungtata dan dellen
18

(penipisan kornea akibat kering) dan menutupi media penglihatan. Sehingga pasien harus
segera berobat ke dokter bila terdapat tanda-tanda progresivitas dari pterigiumnya.
2) Medikamentosa
Airmata buatan, diberikan sebab pada pasien terdapat tanda radang (kedua mata tampak
merah). Pemberiannya secara topikal (genteal eye drop) 3-6 kali per hari, 2 tetes.
Apabila terdapat dellen yaitu lekukan kornea, maka airmata buatan diberikan dalam
bentuk salep, akan tetapi pada pasien ini tidak terdapat dellen sehingga pemberiannya
cukup dalam bentuk tetes.
Steroid atau dekongestan tetes mata, hanya diberikan bila tanda radang tidak mereda
dengan airmata buatan. Contohnya flamergy eye drop 6 kali/hari, 2 tetes. Pemberiannya
dilakukan secara berhati-hati karena dapat meningkatkan tekanan intraokular.
Kacamata koreksi, diberikan bila pasien menolak dilakukan operasi agar visus oculi
dextra pasien saat menggunakan kacamata tersebut mencapai 6/6. Berdasarkan hasil
pemeriksaan visus, kacamata yang dapat diberikan adalah kacamata dengan lensa C- 0,75
pada mata kanannya.
Operasi, terdapat beberapa indikasi perlu dilakukannya operasi pterigium yaitu:
-

Gangguan penglihatan dapat diakibatkan oleh astigmatisma ireguler atau


pterigium yang telah menutupi media penglihatan. 9

Inflamasi rekuren pterigium dapat disertai dengan keratitis yaitu infiltrasi sel
radang pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh, dimana kornea
yang keruh tersebut dapat menyebabkan visus menurun.

Hambatan gerak bola mata dapat mengganggu penglihatan serta menimbulkan


diplopia

Gangguan kosmetik dapat disebabkan karena pterigium yang tumbuh bersifat


invasif
Pada kasus ini, pasien sudah memenuhi indikasi operasi sebab dari hasil anamnesis

didapat keterangan bahwa mata pasien sering merah hilang timbul sejak 4 tahun lalu, hal
ini menunjukkan adanya inflamasi rekuren. Operasi ini diperlukan terutama untuk mata
kanan sebab telah ditemukan adanya gangguan penglihatan pada oculi dextra berupa
astigmatisma. Berdasarkan studi disebutkan bahwa kebanyakan pra operasi astigmatisma
19

berkurang setelah dilakukan operasi pterigium, dimana semakin tinggi derajat astigmatisma
pra operasi maka akan semakin besar perbedaannya saat sebelum dan setelah operasi.

10

Akan tetapi, perlu diinformasikan sebelumnya bahwa setelah operasi, pterigiumnya dapat
muncul kembali, sehingga perlu meminimalkan paparan debu dan sinar UV.
3.8 Komplikasi
Komplikasi pterigium dapat berupa:
-

Iritasi dan mata merah


Pterigium mudah meradang dan akan berwarna merah bila terjadi iritasi.

Gangguan penglihatan sentral


Karena pertumbuhan jaringan fibrovaskular pada pterigium bersifat invasif dan
degeneratif, bila jaringan tersebut telah melewati limbus maka dapat menutupi media
penglihatan. Selain itu, jaringan fibrovaskular tersebut dapat menarik kornea sehingga
timbul astigmatisma. Komplikasi gangguan penglihatan merupakan salah satu indikasi
dilakukannya pembedahan.

Jaringan parut kronis pada konjungtiva dan kornea


Pada kornea, dapat terjadi pergantian lapisan membrana Bowman oleh hialin dan
jaringan elastin. Dengan demikian pterigium dapat menimbulkan kerusakan sampai
membrana

Bowman

yang

kemungkinan

bila

kerusakannya

luas

dan

besar

penyembuhannya dapat meninggalkan jaringan parut pada kornea.


-

Terbatasnya gerakan bola mata dan diplopia


Dapat timbul akibat keterlibatan yang luas otot ekstraokular . Diplopia terutama
disebabkan karena scarring pada M. Rectus media. Pada pasien dengan pterigium yang
sudah diangkat, dapat terjadi pengeringan focal kornea mata akan tetapi hal ini sangat
jarang terjadi.
Adapun komplikasi yang timbul pasca operasi pterigium antara lain:

> Infeksi dan reaksi bahan jahitan


> Diplopia
> Jaringan parut pada kornea
> Ectasia pada kornea dan atau sklera
20

Komplikasi berupa penipisan sklera dan atau kornea tersebut dapat terjadi beberapa
tahun atau dekade setelah dilakukan operasi pengangkatan pterigium.
> Rekurensi pasca operasi
Merupakan komplikasi tersering pasca operasi, terutama pada pembedahan dengan
teknik eksisi sederhana dimana tingkat rekurensi dapat mencapai 50-80%. Angka
rekurensi tersebut rata-rata berkurang 5-15% dengan penggunaan konjungtival/limbal
autografts atau transplantasi membran amniotik pada saat eksisi. 11
3.9 Prognosis
Ad Vitam: Bonam
Kami menentukan prognosis ad vitam bonam karena pterigium yang diderita
pasien bersifat lokal (bukan sistemis). Hal ini juga ditunjang oleh hasil pemeriksaan
status generalis yang dalam batas normal, menunjukkan tidak adanya penyakit sistemik
yang mengancam jiwa pasien.
Ad Functionam: Dubia ad Bonam
Akibat pterigium, pada oculi dextra terdapat gangguan penglihatan berupa
astigmatisma tetapi dengan koreksi lensa C-0,75 masih dapat dicapai visus normal. Selain
itu, pada oculi sinistra tidak ditemukan kelainan visus, gerakan kedua mata tidak
terhambat ke segala arah dan hasil pemeriksaan media penglihatan masih dalam batas
normal.
Ad Sanationam: Dubia ad Malam

Meskipun telah dilakukan operasi, kemungkinan rekurensi pterigium pada pasien


ini masih ada. Sebab, pekerjaan pasien merupakan faktor resiko untuk terpapar debu,
sinar UV dan udara panas yang merupakan penyebab dari pterigium tersebut.
Ad visam: dubia ad bonam
Pterigium pada mata kanan yang diderita pasien apabila dilakukan tindakan
operasi akan mengembalikan fungsi penglihatan pasien meskipun tidak sebaik yang
normal. Pada mata kiri pasien ini belum mengenai kornea sehingga tidak mempengaruhi
fungsi penglihatan pasien.

21

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi
1.1 Konjungtiva
Konjungtiva
membran

merupakan

mukosa

tipis

yangmembatasi permukaan dalam


dari kelopak mata dan melipat
ke belakang

membungkus

permukaan depan dari bola mata,


kecuali bagian jernih di tengahtengah mata (kornea). Membran
ini berisi banyak pembuluh darah
dan berubah merah saat terjadi
inflamasi. Konjungtiva terdiri dari
tiga bagian:
1. Konjungtiva palpebralis, menutupi permukaan posterior dari palpebra
2. Konjungtiva bulbaris, menutupi sebagian permukaananterior bola mata
22

3. Forniks, bagian transisi yang membentuk hubunganantara bagian posterior palpebra dan bola
mata
Meskipun konjungtiva agak tebal, konjungtiva bulbar sangat tipis. Konjungtiva bulbar
juga bersifat dapat digerakkan, mudah melipat ke belakang dan ke depan. Pembuluh darah
dengan mudah dapat dilihat di bawahnya.Di dalam konjungtiva bulbar terdapat sel goblet yang
mensekresi musin, suatu komponen penting lapisan air mata pre-kornea yang memproteksi dan
memberi nutrisi bagi kornea.
Perdarahan konjungtiva meliputi:
- Arteri konjungtiva posterior memperdarahi konjungtiva bulbi
- Arteri siliar anterior (episklera) percabangannya yaitu A. episklera (masuk ke dalam bola
mata, bergabung dengan A. siliar posterior membentuk pleksus/ arteri sirkular
mayor untuk memperdarahi iris dan badan siliar, sedangkan bagian A. episklera
yang terletak diatas sklera memperdarahi bola mata) dan A. perikornea
(memperdarahi kornea). 1
Pelebaran dari arteri-arteri di atas dapat menyebabkan mata merah. 1
Asal

Injeksi konjungtiva I. siliar (perikorneal)


I. episkleral
A.
konjungtiva A. siliar longus
A. siliar

Memperdarahi

posterior
Konjungtiva bulbi

Kornea

Warna
Arah aliran
Konjungtiva

Merah
Ke perifer
Ikut bergerak

anterior
Ungu
Ke sentral
Tidak bergerak

Merah gelap
Ke perifer
Tidak bergerak

digerakkan
Dengan efinefrin
Kelainan

Menciut
Konjungtiva

Tidak menciut
Kornea/iris

Tidak menciut
Glaukoma,

Sekret
Penglihatan

+
Norm al

Menurun

endoftalmitis
Sangat turun

segmen Intraokular

1.2 Kornea
Kornea adalah selaput bening mata yang
dapat
23

menembus

cahaya,

dan

merupakan

jaringan penutup bola mata bagian anterior. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris
terutama berasal dari saraf siliar longus dan saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus
berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman
melepaskan selubung schwannya. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong didaerah limbus
terjadi dalam waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan
sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea.
Kornea merupakan tempat pembiasan sinar terkuat, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan
sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.
1.3 Apparatus lakrimalis
Terdiri dari glandula dan ductus lakrimalis, yang
berfungsi menjaga permukaan mata dengan air mata.
Glandula lakrimalis terletak di superolateral bola mata.
Aliran air mata adalah sebagi berikut, membasahi
permukaan anterior bola mata punktum lakrimale
kanalikuli lakrimalis sakus lakrimalis duktus
nasolakrimalis meatus inferior.

2. Histologi
2.1 Konjungtiva
Lapisan epitel konjungtiva
terdiri dari dua hingga lima
lapisan

sel

epitel

silinder

bertingkat, superficial dan basal.


Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula, dan di
dekat persambungan mukokutan
pada tepi kelopak mata terdiri dari
sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel
epitel superficial mengandung sel24

sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan
diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal
berwarna lebih pekat daripada sel-sel superficial dan di dekat linbus dapatmengandung pigmen.
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan satu lapisan
fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan dibeberapa tempat dapat
mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak
berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa
konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian
menjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambungyang melekat pada
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan
fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar air mata asesori (kelenjar krause dan wolfring),
yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar
kelenjar krause berada di forniks atas, dan sedikit ada diforniks bawah. Kelenjar wolfring
terletak ditepi atas tarsus atas.
2.2 Kornea
Merupakan 1/6 bagian anterior bola mata,
jernih, transparan, permukaannya halus, di
tengah tebalnya 0,7-0,8 mm, sedangkan di tepi
1,1 mm, sedikit lebih tebal daripada sklera.
Secara histologis terbagi menjadi 5 lapisan
yaitu:
Epitel kornea, epitel berlapis gepeng tanpa
lapisan tanduk. Terdiri atas 5-6 lapis sel-sel yang
mempunyai daya regenerasi sanagat baik.
Stratum basale tampak gambaran mitosis, sel
mengalami pergantian sekitar 7 hari. Epitel kornea mendapat ujung bebas saraf sensoris N.V
terbanyak dibanding bagian mata lain sehingga sangat sensitif.
Membrana Bowman, lapisan homogen pucat. Terdiri atas fibrin kolagen halus dan tidak
terdapat sel atau serat elastin. Berfungsi memberi stabilitas dan kekuatan kornea, tidak terdapat
di limbus.
25

Stroma, merupakan 90 % tebal kornea, transparan, tersusun atas serat kolagen sejajar yang
saling menyilang. Sel dan seratnya terbenam dalam substansi amorf glikoprotein yang bersifat
metakromasi.
Membrana Descemet, strukturnya homogen terdiri atas serat kolagen halus tersusun seperti jala.
Endotel kornea, epitel selapis gepeng membatasi permukaan dalam kornea. Terdapat organel
yang dapat bertranspor aktif dan sisntesis protein untuk sekresi.
Limbus kornea merupakan peralihan antara kornea dan sklera, lebarnya sekitar 1mm.
terdapat pembuluh darah dan limfe. Epitelnya tebal terdapat 10 lapis atau lebih dan menjadi
kontinu dengan konjungtiva. 12,13
2.3 Lakrime
Dihasilkan oleh glandula lakrimalis dan
glandula lakrimalis pelengkap (kelenjar krause dan
wolfring). Mengandung lisozim dan laktoferin yang
bersifat bakterisid, membentuk film air mata
prekorneal yang terdiri dari 3 lapisan:
- Lapisan luar terdiri dari lipid. Disekresi oleh
Gl. Meibom dan Zeiss. Berfungsi
mencegah penguapan air mata.
- Lapisan tengah dari air. Disekresi oleh Gl.
Lakrimalis, Krause dan Wolfring. Berfungsi untuk suplai oksigen dan antibakteri.
- Lapisan dalam dari musin. Disekresi oleh sel goblet, kriptus Henle, dan kelenjar Manz.
Berfungsi mengubah permukaan epitel kornea dari hidrofobik menjadi hidrofilik.
3. Fisiologi
Sinar masuk ke dalam mata melalui pupil yang diatur oleh iris. Kemudian cahaya akan
difokuskan ke sel-sel batang dan kerucut, sel fotoreseptor retina.fotoreseptor kemudian
mengubah energy cahaya menjadi sinyal listrik untuk disalurkan ke SSP. Bagian retina yang
mengandung fotoreseptor sebenarnya adalah perluasan dari SSP. Cahaya harus melewati lapisan
ganglion dan bipolar sebelum mencapai fotoreseptor di semua daerah retina, kecuali fovea.
Gelombang cahaya mengalami divergensi (memancar ke luar) ke semua arah dari setiap
titik sumber cahaya. Berkas cahaya divergen yang mencapai mata harus dibelokkan kea rah
26

dalam untuk di fokuskan kembali ke sebuah titik peka-cahaya di retina agar dihasilkan suatu
bayangan akurat. Pada permukaan yang melengkung seperti lensa, semakin besar kelengkungan,
semakin besar derajat pembiasan, dan semakin kuat lensa. Suatu lensa dengan permukaan
cembung (conveks), menyebabkan konvergensi (penyatuan) berkas-berkas cahaya, yaitu
persyaratan untuk membawa suatu bayangan ke titik focus.

14

Dengan demikian, permukaan

refraktif mata bersifat konveks.


Tiap-tiap saraf optikus keluar dari retina membawa informasi dari kedua belahan retina
yang dipersarafi. Informasi ini dipisahkan sewaktu kedua saraf optikus tersebut bertemu di
chiasma optikum (persilangan yang terletak di bawah hipotalamus). Di dalam kiasma optikus,
serat-serat dari separuh medial kedua retina bersilangan ke sisi yang berlawanan,tetapi serat-serat
yang dari separuh lateral tetap di sisi yang sama. Berkas-berkas yang telah di reorganisasi dan
meninggalkan kiasma optikus dikenal sebagai traktus optikus. Tiap-tiap traktus optikus
membawa informasi dari separuh lateral salah satu retina dan separuh medial dari retina yang
lain. Dengan demikian, persilangan parsial menyatukan serat-serat dari kedua mata yang
membawa informasi dari separuh lapang pandang yang sama.
Penghentian pertama di otak untuk informasi dalam jalur penglihatan adalah nucleus
genikulatus lateralis di thalamus. Nucleus ini memisahkan informasi yang diterima dari mata dan
memancarkannya melalui berkas serat yang dikenal sebagai radiasi optikus ke bagian korteks
yang masing-masing mengolah aspek rangsangan penglihatan yang berbeda-beda (misalnya:
warna, bentuk, kedalaman). Di dalam korteks, informasi penglihatan mula-mula diolah di
korteks penglihatan primer, kemudian diproyeksikan ke daerah-daerah penglihatan yang lebih
tinggi untuk pengolahan yang lebih kompleks dan abstraksi.
4. Pterigium
a. Definisi
Merupakan massa yang letaknya superfisial dari bola mata,
biasanya terbentuk konjungtiva perilimbal dan meluas ke permukaan
kornea. Besarnya dapat bervariasi, dapat tumbuh secara invasif
hingga menimbulkan perubahan topografi dari kornea dan dalam
kasus-kasus lanjutan dapat mengaburkan pusat optik kornea.
Penyebabnya

belum
27

diketahui

secara

pasti,

namun

diduga

berhubungan dengan adanya iritasi kronis dari debu, sinar matahari dan udara panas. Sehingga
faktor resiko dari pterigium adalah tingginya paparan sinar UV dan pekerjaan yang banyak
dilakukan di luar ruangan. 11
b. Epidemiologi
Pterigium lebih banyak ditemukan pada pria, hal tersebut kemungkinan berhubungan
dengan aktivitas yang lebih banyak di luar ruangan sehingga lebih mudah terpapar debu dan
sinar UV. Jumlahnya dua kali lebih banyak dibanding wanita. Insiden tertinggi pterigium adalah
pada usia 20-40 tahun. Sedangkan prevalensi tertingginya pada usia di atas 40 tahun. 11
c. Gejala klinik
Gejala pterigium sangat bervariasi, pterigium dapat tidak bergejala atau sebaliknya yaitu
menunjukkan gejala yang signifikan seperti mata merah, gatal, iritasi dan penglihatan yang
kabur. Munculnya gejala gangguan penglihatan tersebut berhubungan dengan lesi yang telah
menginvasi kornea yang dapat mengenai satu atau kedua mata. Akibat penarikan kornea oleh lesi
pterigium, penderita dapat mengalami astigmatisma, yang biasanya tipe astigmatisma ireguler. 11
Pada pemeriksaan fisik biasanya didapatkan adanya perubahan fibrovaskular pada
permukaan konjungtiva dan kornea saat dilakukan inspeksi. Kebanyakan lesi pterigium terdapat
di bagian nasal, meskipun pterigium dapat pula terdapat di bagian temporal. Manifestasi klinis
dari pterigium dapat dibagi dua, yaitu:

Proliferasi minimal disertai gambaran yang relatif atrofik, pterigium tipe ini akan lebih
mendatar dan pertumbuhannya lebih lambat serta memiliki insiden rekurensi
yang lebih rendah pasca operasi.

Proliferasi secara cepat, biasanya menimbulkan gejala yang lebih signifikan dan
memiliki kekambuhan yang tinggi setelah dilakukan operasi pengangkatan
pterigium.

d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan topografi kornea dapat berguna untuk menentukan derajat astigmatisma
ireguler yang disebabkan oleh pertumbuhan invasif pterigium. Sedangkan pemeriksaan external
photography dapat membantu untuk mengobservasi progresifitas dari pterigium tersebut. 11
e. Patofisiologi
Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastik kolagen dan proliferasi
fibrovaskular. Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastik menunjukkan
28

basophilia dengan hematoxylin dan pewarnaan eosin. Jaringan tersebut dapat diwarnai oleh
pewarnaan jaringan elastis, akan tetapi jaringan tersebut bukan merupakan jaringan elastis sejati
dan tidak dapat dicerna oleh elastase. 11
f. Penatalaksanaan
Pasien dengan pterigium tidak harus melakukan operasi, sebab tingkat kekambuhannya
tinggi terutama pada pasien-pasien dengan faktor resiko. Akan tetapi, perlu dilakukan observasi
secara berkelanjutan sebab lesi pterigium mudah teriritasi dan dapat terus tumbuh sehingga dapat
menutupi media penglihatan, akibatnya visus dapat menurun. Apabila terjadi iritasi dapat steroid
atau tetes mata dekongestan.
Penatalaksanaan pterigium yang terpenting adalah melindungi mata dengan pterigium
dari sinar ultraviolet misalnya dengan memakai kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang
dapat diberikan air mata buatan dan bila perlu diberikan steroid.
Operasi pengangkatan pterigium dilakukan bila telah menimbulkan astigmatisma atau
menutup media penglihatan, dibawah anestesi topikal atau lokal dan ditambah sedasi bila
diperlukan. Terdapat 3 teknik operasi pterigium, yaitu bare sklera (hanya meliputi pengangkatan
lesi pterigium), teknik subkonjungtiva (lesi diangkat kemudian sisanya di selipkan di bawah
konjungtiva bulbi, tujuannya agar jika residif pterigium tidak akan menginvasi kornea), dan
teknik graft (pterigium setelah diangkat lalu digraft dari amnion atau selaput mukosa
mulut/konjungtiva forniks). Setelah operasi, biasanya mata pasien merekat pada malam hari,
perawatannya dengan memakai obat tetes mata atau salep mata antibiotika/antiinflamasi.
Medikamentosa yang dapat diberikan pada pterigium antara lain:
- Air mata artifisial untuk membasahi permukaan okular dan untuk mengisi kerusakan pada
lapisan mata. Dapat diberikan 1 ggt

4x/hari. Kontraindikasinya adalah

hipersensitivitas.
- Obat tetes mata antiinflamasi untuk mengurangi inflamasi pada permukaan mata dan
jaringan okular lainnya. Dapat membantu mengurangi pembengkakan jaringan
yang inflamasi pada permukaan okular. Contoh obatnya adalah prednisolon asetat
(Pred Fo 1% merupakan suatu suspensi kortikosteroid yang pemakaiannya
dibatasi untuk inflamasi berat yang tidak dapat disembuhkan dengan pelumas
topikal lain. 11
g. Prognosis
29

Prognosis pterigium secara visual dan kosmetik baik. Pada hari pertama pasca operasi,
sebagian besar pasien dapat melanjutkan aktivitas penuh. Pasien-pasien yang kembali terkena
pterigium, dimana rekurensi adalah komplikasi utama dari pterigium, maka dapat dilakukan
operasi eksisi kembali dengan conjunctival/limbal autograft atau transplantasi membran amniotik
pada pasien tertentu. 11
5. Astigmatisma
Pada astigmat berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam pada retina,
akan tetapi pada dua garis titik api yang saling tegak lurus yang terjadi akibat kelainan
kelengkungan permukaan kornea.
Bayi yang baru lahir biasnaya mempunyai kornea yang bulat atau sferis yang didalam
perkembangannya terjadi keadaan apa yang disebut sebagai astigmatisma withdrawal (astigmat
lazim) yang berarti kelengkungan kornea pada bidang vertikal bertambah atau lebih kuat atau
jari-jarinya lebih pendek dibanding jari-jari kelengkungan kornea dibidang horizontal. Pada
keadaan astigmat lazim ini diperlukan lensa silinder negatif dengan sumbu 180 derajat untuk
memperbaiki kelaianan refraksi yang terjadi.
Pada usia pertengahan kornea menjadi lebih sferis kembali sehingga astigmat menjadi
agains the rule (astigmat tidak lazim).
Astigmat tidak lazim
Merupakan suatu keadaan kelaina

refraksi astigmat dimana koreksi dengan silinder

negatif dilakukan dengan sumbu tegak lurus (60-120 derajat) atau dengan silinder positif sumbu
horizintal 30-150 deraja. Keadaan ini terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian
horizontal lebih kuat dibandingkan kelengkungan kornea vertikal. Hal ini sering ditemukan pada
usia lanut.
Bentuk astigmat:
-

Astigmat reguler: astigmat yang memperlihatkan kekuatan pembiasan bertambah atau


berkurang perlahan-lahan secara teratur dari 1 meridian ke meridian berikutnya.
Bayangan yang terjadi pada astigmat reguler dengan bentuk yang teratur dapat
berbntuk garis, lonjong atau lingkaran.

Astigmat ireguler: astigmat yang terjadi tidak mempunyai 2 meridan saling tegak
lurus. Astigmat ierguler dapat terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian yang
30

sama berbeda sehingga bayangan menjadi ireguler. Astigmatisma ini terjadi akibat
infeksi kornea, trauma dan disttrofi atau akibat kelainan pembiasana pada meridian
lensa yang berbeda.
Pengoabtan dengan lenda kontak keras bila epitel tidak rapuh atau lensa kontak lembek
bila disebabkan infeksi, trauma dan distrofi untuk memberikan efek permukaan yang ireguler.
Pada pasien plasedoskopi terdapat gambaran yang ireguler. Koreksi dan pemeriksaan astigmat,
pemeriksaan mata dengan sentris pada permukaan kornea.
Dengan

alat

ini

dapat

dilihat

kelengkungan

kornea

yang

reguler

(konsentris),

ireguler

kornea

dana

adanya astigmatisme kornea. 1


Seseorang dengan astigmatisma
akan memberikan keluhan : melihat jauh
kabur sedang melihat dekat lebih baik,
melihat ganda dengan satu atau kedua
mata, melihat benda yang bulat menjadi
lonjong, penglihatan akan kabur untuk
jauh ataupun dekat, bentuk benda yang dilihat berubah, mengecilkan celah kelopak, sakit kepala,
mata tegang dan pegal, mata dan fisik lelah. 15
Kelainan ini dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa silindris. 16
Hubungan astigmatisma dan pterigium
Astigmatisma dapat terjadi pada pterygium yang telah mengenai media refraksi (kornea). Timbul
astigmatisme pada pterygium akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium tersebut,
biasanya astigmatisme yang terjadi adalah astigmatisme irreguler sehingga mengganggu
penglihatan pasien. Dan hal ini biasanya dijadikan indikasi operasi eksisi pterigium.

31

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan opthalmologi, dan status lokalis
dapat disimpulkan bahwa Tn. A menderita pterigium derajat 3 tipe 2 okuli dextra dengan
astigmatisme dan pteriugium derajat 1 tipe 1 okulis sinistra. Pterigium pada kedua mata Tn A
sudah memenuhi indikasi operasi terutama mata kanan sebab telah terjadi gangguan penglihatan
berupa astigmatisma akibat penarikan kornea oleh pterigium. Akan tetapi karena pterigium
memiliki tingkat rekurensi yang cukup tinggi terutama pada pasien dengan factor resiko seperti
tuan A maka apabila Tn. A menolak melakukan operasi bisa diberikan alternatif lain seperti
pemberian kacamata koreksi dan air mata buatan, serta dilakukan follow up agar dapat diambil
tindakan segera apabila terjadi peningkatan progresivitas terhadap fungsi penglihatan Tn.A. yang
terpenting adalah mengurangi factor resiko dengan cara melindungi mata dari paparan sinar UV,
debu, angin, dll dengan menggunakan kacamata pelindung terutama saat bekerja.
Saran:
1.

Perlu ditekankan penggunaan alat pelindung diri selama bekerja

2.

Perlu ditegakkan perilaku bekerja yang aman

3.

Pekerjaan tukang ojek merupakan pekerjaan individu atau berkelompok, oleh karenanya
untuk upaya pelayanan kesehatan dan keselamatan kerja dapat dilakukan pemeriksaan
kesehatan oleh puskesmas di area terdekat

4.

Sebaiknya melakukan upaya promosi kesehatan dan peningkatan kesadaran pekerja untuk
berperilaku hidup sehat

32

DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Mata merah.

Ilmu Penyakit Mata 3rd Ed. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI.2009.p.109
2. Ilyas S. Tajam Penglihatan dan Kelainan Refraksi Penglihatan Warna. Ilmu Penyakit
Mata 3rd Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2009.p.109
3. Zieve

D.

Tonometry

(updated:3

agustus

2010

).available

at:

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003447.htm. acessed: 10 march 2012


4. Bustos.

Pterygium

(updated:2008

).

Available

at:

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001011.htm. acessed: 10 maret 2012


5. Informasi umum nmengenai penyakit mata dan gejalanya. Available at: http://www.matafkui-rscm.org/?page=content.view&alias=edukasi_pasien. Acessed: 10 maret 2012
6. Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Konjungtiva. In: Riordon-Eva P, Whitcher JP; editors,
Vaughan arid Asbury's General Ophthalmology. 16th ed. New York: McGraW'Hill
Companies; 2004.p. 119
7. Coroneo MT, Girolamo N, Wakefield D. The pathogenesis of pterygia. Available at:
http://journals.lww.com/coophthalmology/Abstract/1999/08000/The_pathogenesis_of_pterygia.11.aspx.

Accessed

on: 10 March 2012.


8. Pterygium

Patophisiology.

Aveilable

at:

practice/monograph/963/basics/pathophysiology.html.

http://bestpractice.bmj.com/best(Upadated

30

Juni

2011).

Accessed on: 10 March 2012.


9. Maheswari S. Pterygium-induced corneal refractive changes. Indian j ophtalmol.
2007;55:383-386
10. (Soriano JM, et all. Effect of Pterygium Operation on Preoperative Astigmatism.
Prospective Study. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/8124034/
Accesed: Thursday March 8, 2012)

33

11. Pterygium.

Available

at:

Medscape.pterygium.availble

at:http://emedicine.medscape.com/article/1192527-treatment#showall. Acessed: 10 maret


2012
12. Junqueira LC, Carneiro. Sistem Fotoreseptor dan Audioreseptor. In Dany F editor.
Histologi Dasar Teks dan Atlas. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.p.451-3
13. Gunawijaya FA, Kartawiguna E. Penuntun Praktikum Kumpulan Foto Mikroskopik
Histologi. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti; 2007.p.198-200
14. Sherwood L. system saraf perifer: divisi saraf aferen; indra. In: Santoso BI, editor.
Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 2 ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2001. p 163-72.
15. Subramanian M. Astigmatism [Online]. Updated 28 July 2008. Available at :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001015.htm. Accessed 22 June 2010.
16. Sirbernagl S. Sistem neuromuskular dan sensorik. In: Silbernagl S, Lang F. Teks Atlas
berwarna patofisiologi. Jkarta: EGC; 2006.p.322-4

34

Anda mungkin juga menyukai