Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah Indonesia
membuat suatu kebijakan untuk daerah. Yaitu daerah tingkat I dan daerah
tingkat II diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan rumah
tangganya sendiri, dengan tujuan mensejahterakan masyarakat. Kebijakan ini
dikenal dengan Otonomi Daerah. Terbentuknya Otonomi Daerah memiliki
sejarah yang sangat panjang mulai dari jaman kolonial sampai dengan
sekarang. Dimulai dari jaman kolonial yang memberi peluang untuk daerah
dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Pada
jaman penjajahan Jepang semua daerah otonom disebukan memiliki sifat
bersifat misleading. Kemudian pada saat kemerdekaan dan pasca
kemerdekaan banyak sekali dikeluarkan undang-undang untuk mengatur
Otonomi Daerah.
Pada era ini Indonesia juga harus memikirkan hal yang strategis,
terutama pemerintah yang ada di pusat, dimana yang terjadi saat ini
pemerintah pusat yang memiliki urusan yang terlau banya sehingga tidak
satupun yang terselesaikan dengan baik, pusat mengurusa sampai pada
urusan yang bersifat tekhnis yang ada di daerah. Pemerintah seharusnya
memikirkan yang strategis dan terfokus. Dengan hal tersebut tujuan dapat
tercapai.
Hal yang sama sepertinya mulai terulang lembali, kalau kita
memperhatikan pengelolaan pemerintahan yang ada saat ini ada usaha untuk
sentarlisasi kembali meskipun dengan cara yang berbeda sentarlisasi yang
berbeda pada orde baru, menurut wawan masudi sentralisasi yang ada pada
saat ini berada pada sofwer, mencontohkan pada penganggaran. Disadari atau
tidak bahwa watak dasar pemerintah di indonesia adalah sentralistik,
sehingga upaya pengelolaan pemerintahan yang sentralistik bisa saja terjadi,
meskipun pada konsep otonomi daerah. Berdasarkan latar belakang di atas,
dalam makalah ini akan dibahas materi tentang otonomi daerah dan
hubungannya dengan konsep good governance.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari otonomi daerah?
2. Apa saja dasar hukum dari otonomi daerah?
3. Bagaimana pokok pikiran yang terkandung dalam otonomi daerah?
1

4. Bagaimana prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah?


5. Bagaimana masalah yang dihadapi dalam otonomi daerah?
6. Bagaimana perkembangan otonomi daerah di Indonesia?
7. Bagaimana pembagian wewenang untuk pemerintah pusat dan daerah?
8. Bagaimana Proses Pelaksanaan otonomi daerah?
9. Bagaimana kebijakan fiscal yang ada di tingkat daerah?
10. Bagaimana hubungan antara otonomi daerah dengan konsep good
governance?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk menjawab rumusan masalah di
atas dan untuk meningkatka pemahaman kita terhadap proses pelaksanaan
otonomi daerah.

BAB II
MATERI

2.1. OTONOMI DAERAH


Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau
"dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah"
atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah
"otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah
yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat
itu sendiri." Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan
pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan
wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan
pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan
ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan,
ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi.
Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik
luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama.
Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan
otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan
keanekaragaman.
Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa
dalam era otonomi daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela?
Sebagaimana dinyatakan Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia
mencakup lebih dari 70 juta jiwa. Lantas apakah berarti otonomi daerah
justru berkorelasi negatif terhadap kesejahteraan?
Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta
bahwa lahirnya otonomi daerah di Indonesia lebih karena perubahan kondisi
politik daripada alasan paradikmatik-empirik. Tahun 1998, masyarakat
Indonesia merasakan kemuakan atas pemerintahan yang sangat sentralistis
dan ingin menuju pola masyarakat yang lebih menjanjikan kebebasan.
Realitasnya, setelah masyarakat Indonesia berada dalam era otonomi daerah,
berbagai problem bermunculan dan implemenasi atas konsep otonomi itu
memunculkan banyak konflik baik vertikal maupun horizontal.
3

Dalam paparan singkat ini, penulis ingin memberikan catatan bahwa


pelaksanaan otonomi daerah pada faktanya telah menimbulkan empat
problem.
2.2. Dasar Hukum
Otonomi Daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni :
1. Undang-undang Dasar
Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan
landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18
UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan
daerah.
2. Ketetapan MPR-RI
Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah :
Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
berkeadilan, serta perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Undang-Undang
Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya
mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan
pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU
No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat,
mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi
bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat.
Tinggal permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat
tersebut pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara optimal.
2.3. Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah
Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 UUD 1945 beserta
penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan UU No. 22/1999 dengan
pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
1. Sistim ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip
pembagian kewenangan berdasarkan asas konsentrasi dan desentralisasi
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi
adalah daerah propinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi adalah daerah Kabupaten dan daerah Kota. Daerah yang
4

dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan


melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat.
3. Pembagian daerah diluar propinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom.
Dengan demikian, wilayah administrasi yang berada dalam daerah
Kabupaten dan daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus.
4. Kecamatan yang menurut Undang-undang Nomor 5 th 1974 sebagai
wilayah administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut UU No 22/99
kedudukanya diubah menjadi perangkat daerah Kabupaten atau daerah
Kota.
2.4. Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah
Berdasar pada UU No.22/1999 prinsip-prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah
adalah sebagai berikut :
1. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan
aspek-aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan
keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab
3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah
Kabupaten dan daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan
Otonomi Terbatas.
4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara
sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta
antar daerah.
5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian
Daerah Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota
tidak ada lagi wilayah administrasi.
6. Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti
Badan Otorita, Kawasan Pelabuhan, Kawasan Pertambangan, Kawasan
Kehutanan, Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya
berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom.
7. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan
fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi
pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah.

8. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam


kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk memelaksanakan
kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur
sebagai wakil Pemerintah.
9. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari
Pemerintah Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana
dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
2.5. Problem Otonomi Daerah
Pertama, pudarnya negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, pemimpin
negara adalah atasan para pemimpin di bawahnya. Namun di Indonesia,
apakah faktanya memang demikian? Kenyataannya sangat jauh dari itu.
Bagaimanapun para gubernur, bupati, dan walikota untuk terpilih butuh
dukungan partai-partai. Realitas ini membuat mereka lebih taat pada pimpinan
partai yang mendukung mereka. Undangan pertemuan pemerintah di atasnya
sering diabaikan, sementara undangan pimpinan partai ditanggapi segera,
bahkan cepat-cepat berangkat dengan memakai uang negara. Ini membuat
Indonesia seperti mempunyai banyak presiden. Walaupun para pimpinan
partai tidak memerintah, tapi mereka mengendalikan para gubernur dan kepala
daerah yang didukung partai mereka.
Kedua, lemahnya jalur komando. Dalam konsep otonomi daerah, para
gubernur bukan atasan bupati/walikota. Sementara pemerintah pusat
membawahi daerah yang jumlahnya lebih dari empat ratus buah. Di sisi lain,
gubernur juga merupakan jabatan politis yang untuk meraihnya membutuhkan
dukungan politik partai. Seringkali yang terjadi presiden, gubernur, dan
bupati/walikota berasal dari partai yang berbeda. Kiranya, adalah wajar kalau
dengan semua itu jalur komando dari pusat ke daerah menjadi terputus.
Kemampuan pusat hanyalah mengkoordinasikan seluruh pemerintahan di
bawahnya, itupun dalam tingkat koordinasi yang sangat lemah.
Ini mengakibatkan program-program pemerintah pusat tidak berjalan, padahal
banyak program yang sangat penting demi keselamatan rakyat. Alasan
Menkes Siti Fadilah Supari terkait kegagalam penanganan flu burung, dimana
instruksi dan dana dari departemen kesehatan tidak mengalir ke sasaran karena
para kepala daerah tidak mempedulikan (sehingga banyak korban berjatuhan),
kiranya cukup relevan sebagai contoh. Realitasnya NKRI sekarang telah tiada.
Yang ada hanyalah persekutuan ratusan kabupaten dan kota di Indonesia.
Ketiga, semakin kuatnya konglomeratokrasi. Putusnya jalur komando dalam
pemerintahan di Indonesia terasa sangat ironis jika melihat kekuatan komando
di partai dan perusahaan. Partai dan perusahaan umumnya bersifat sentralistis.
Pimpinan pusat bagaimanapun juga adalah atasan pimpinan di tingkat
provinsi. Dan pimpinan tingkat provinsi adalah atasan pimpinan tingkat
daerah. Ini membuat partai dan perusahaan di Indonesia jauh lebih solid
6

daripada pemerintah. Partai dan perusahaan lebih terasa sebagai suatu pihak.
Ini lain dengan pemerintah yang lebih terasa sebagai kumpulan atau bahkan
sekedar tempat persaingan. Dengan melihat bahwa pemerintahan di
Indonesia terpecah-pecah, pemimpin pemerintahan butuh dukungan partai,
dan partai butuh dana yang umumnya mengandalkan dukungan para
konglomerat, maka bisa disimpulkan bahwa konglomerat merupakan subjek
atas partai dan partai merupakan subjek atas pemerintah. Ini berarti yang
berkuasa di Indonesia adalah para konglomerat.
Realitas ini semakin terasa parahnya jika mengingat bahwa Indonesia sangat
tergantung modal asing dan bahwa kekuatan korporasi di dunia saat ini di atas
negara (sebagaimana dinyatakan Prof. Hertz, dari 100 pemegang kekayaan
terbesar di dunia sekarang 49-nya adalah negara, sementara 51-nya
perusahaan; kekayaan Warren Buffet, orang terkaya di dunia, di atas APBN
Indonesia). Bisa dibayangkan jika di jaman dulu puluhan kerajaan dengan
kondisi politiknya yang mungkin terpecah bisa dikuasai oleh VOC (sebuah
perusahaan dunia), bagaimana sekarang ratusan daerah yang umumnya secara
politis sudah terpecah menghadapi puluhan VOC baru yang kekuatannya di
atas negara? Dari fakta ini saja sangat bisa dipahami mengapa Indonesia
berada dalam cengkeraman korporatokrasi/konglomeratokrasi.
Keempat, terabaikannya urusan rakyat. Asumsi yang diberlakukan dalam
konsep otonomi daerah adalah rakyat bisa mengurus dirinya sendiri.
Pelaksanaan asumsi ini adalah bahwa para gubernur, bupati, dan walikota,
walaupun tidak dalam komando pemerintah pusat, tetapi dalam kontrol DPRD
setempat. Sayangnya, bagaimanapun juga DPRD mempunyai realitas yang
sama dengan para pimpinan pemerintahan dalam hubungannya dengan partai
dan korporasi/konglomerat. Ini berarti kekuasaan korporasi justru semakin
mengakar.
Realitas ini bisa dilihat dari fakta bahwa berbagai parameter keberhasilan
adalah ukuran korporasi, bukan ukuran kesejahteraan rakyat. Padahal,
seringkali hitungan korporasi tidak sesuai dengan hitungan kesejahteraan.
Dengan ukuran pendapatan per kapita (angka yang dibutuhkan korporasi),
banyak kabupaten di Indonesia mempunyai pendapatan per kapita di atas
Rp.18 juta per tahun (Rp. 1,5 juta/bulan atau Rp. 6 juta / keluarga). Itu berarti
banyak keluarga di Indonesia yang mempunyai penghasilan di atas keluarga
doktor. Kenyataannya, lebih 70 juta lebih rakyat miskin (angka kemiskinan
merupakan hitungan kesejahteraan). Indonesia memang negeri yang sangat
aneh. Berbagai bentuk iklan semakin megah dan meriah. Tapi jalan-jalan
semakin berlubang.
Kiranya, empat problem di atas sudah bisa menggambarkan bagaimana
hubungan antara otonomi daerah dengan munculnya berbagai problem di
Indonesia. Dengan otonomi, harapannya adalah suasana yang lebih bebas dan
desentrlistis. Kenyataannya, sentralisasi lama dipreteli kekuasaannya untuk
masuk sentralisasi baru, yaitu kekuasaan korporasi/konglomerasi
internasional.
7

2.6. Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia


Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan
konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam
perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai
perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik
kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah
dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan
konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada
saat it. Hal itu terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan
daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini :
1. UU No. 1 tahun 1945
Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada
dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan
pusat.
2. UU No. 22 tahun 1948
Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada
desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi
ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah
pusat.
3. UU No. 1 tahun 1957
Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana
kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat
pemerintah pusat.
4. Penetapan Presiden No.6 tahun 1959
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi.
Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama
dari kalangan pamong praja.
5. UU No. 18 tahun 1965
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi
dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan
dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja
6. UU No. 5 tahun 1974
Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam
pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan
dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan
8

tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru,
maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu
sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah
terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya
dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional.
7. UU No. 22 tahun 1999
Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah
sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab.
2.7. Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah
1. Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang
pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan bidang lain.
2. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang
perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara
makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan
lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber
daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi
yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
3. Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam
rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai
dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.
4. Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam
rangka dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan
kewenangan yang dilimpahkan tersebut.
5. Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan
dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota,
serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya.
6. Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga
kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota.
7. Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup
kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada
Gubernur selaku wakil Pemerintah.

8. Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di


wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Daerah di
wilayah laut meliputi:
o

Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut


sebatas wilayah laut tersebut;

Pengaturan kepentingan administratif;

Pengaturan tata ruang;

Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau


yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan

Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.

9. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut adalah


sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi. Pengaturan lebih lanjut
mengenai batas laut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10.Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua
kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan seperti
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang
mencakup kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian
pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan,
sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara,
pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan
sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan
standarisasi nasional.
11.Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mencakup
kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Propinsi.
Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten
dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan,
penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga
kerja.
12. Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam
rangka tugas pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana,
serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada Pemerintah.
Setiap penugasan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

10

Sumber-sumber Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi


meliputi:
1. PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
o

Hasil pajak daerah

Hasil restribusi daerah

Hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah


yang dipisahkan.

Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah,antara lain hasil penjualan


asset daerah dan jasa giro

2. DANA PERIMBANGAN
o

Dana Bagi Hasil

Dana Alokasi Umum (DAU)

Dana Alokasi Khusus

3. PINJAMAN DAERAH
o

Pinjaman Dalam Negeri

1. Pemerintah pusat
2. Lembaga keuangan bank
3. Lembaga keuangan bukan bank
4. Masyarakat (penerbitan obligasi daerah)
o

Pinjaman Luar Negeri

1. Pinjaman bilateral
2. Pinjaman multilateral
4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah;
o

hibah atau penerimaan dari daerah propinsi atau daerah Kabupaten/Kota


lainnya,

penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan


11

2.8. Proses Otonomi Daerah di Indonesia


Otonomi Daerah di Indonesia dimulai dengan bergulirnya UndangUndang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU
Nomor 25 Tahun 2005 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah yang secara praktis efektif dilaksanakan sejak 1 Januari
2001. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah kewenangan daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundangundangan.
Tahap ini merupakan fase pertama dari pelaksanaan Otonomi Daerah
di Indonesia. Fase kedua Otonomi Daerah ditandai dengan adanya reformasi
dalam kebijakan keuangan negara melalui penetapan tiga peraturan di bidang
keuangan negara. Ketiga peraturan tersebut adalah UU Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Telah lebih dari lima tahun reformasi sistem pemerintahan tersebut
berjalan dengan berbagai kendala yang mengiringinya serta pro dan kontra.
Berbagai usaha pun dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan
sistem tersebut. Salah satu upaya tersebut adalah dengan melakukan
amandemen UU Otonomi Daerah.
Proses ini merupakan awal dari fase ketiga dalam proses Otonomi
Daerah di Indonesia. UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun
1999 masing-masing digantikan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Otonomi
Daerah menurut UU ini adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
1.
2.
3.
4.
5.

Filosofi Otonomi Daerah dijabarkan sebagai berikut (Suwandi, 2005):


Eksistensi Pemerintah Daerah adalah untuk menciptakan
kesejahteraan secara demokratis
Setiap kewenangan yang diserahkan ke daerah harus mampu
menciptakan kesejahteraan dan demokrasi
Kesejahteraan dicapai melalui pelayanan publik
Pelayanan publik ada yang bersifat pelayanan dasar (basic
services) dan ada yang bersifat pengembangan sektor unggulan
(core competence)
Core competence merupakan sintesis dari Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB), tenaga kerja dan pemanfaatan lahan

2.9. Konsep Kebijakan Fiskal Daerah


Desentralisasi tidak hanya terkait dengan model pemerintahan, namun
juga menyangkut paradigma ekonomi yang disebut desentralisasi ekonomi.
Desentralisasi ekonomi mencakup aktivitas dan tanggung jawab ekonomi

12

yang diimplementasikan pada level daerah. Upaya desentralisasi ekonomi


antara lain liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi.
Berkaitan dengan hal tersebut, desentralisasi fiskal menjadi
komponen utama proses desentralisasi di Indonesia. Menurut Pakpahan
(2006), desentralisasi fiskal meliputi:
a. Pembiayaan mandiri (self financing) dan cost recovery dalam
bidang pelayanan publik
b. Peningkatan PAD
c. Bagi hasil pajak dan bukan pajak secara lebih tepat
d. Transfer dana ke daerah, utamanya melalui Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan lebih adil
e. Kewenangan daerah untuk melakukan pinjaman berdasarkan
kebutuhan daerah
Sebagai bagian yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan dengan
kebijakan fiskal nasional, kebijakan fiskal daerah juga harus
mempertimbangkan prinsip-prinsip penganggaran. Terdapat dua pendekatan
yang dapat digunakan dalam penyiapan anggaran, yaitu hard budget
constraint dan soft budget constraint.
Berdasarkan pendekatan hard budget constraint, daerah terlebih
dahulu mengidentifikasi pendapatan (revenues) baru kemudian menentukan
pengeluaran. Sebaliknya, berdasarkan soft budget constraint, pengeluaran
diestimasi lebih dahulu kemudian daerah mengusahakan pendapatan untuk
mendanai pengeluaran tersebut. Dalam pendekatan yang pertama, potensi
merupakan pertimbangan utama, sementara pada pendekatan kedua,
kebutuhanlah yang menjadi faktor dominan (Kadjatmiko, 2006). Untuk
menciptakan kesinambungan fiskal daerah, maka Kadjatmiko (2006)
berpendapat bahwa pendekatan hard budget constraint lebih tepat untuk
digunakan.
Pada dasarnya, Otonomi Daerah memiliki tujuh elemen dasar
(Suwandi, 2005). Elemen tersebut adalah kewenangan, kelembagaan,
personel, keuangan daerah, perwakilan, pelayanan publik, dan pengawasan.
Sarana untuk mewujudkan otonomi daerah adalah melalui good governance,
penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), reformasi sistem
pengelolaan keuangan daerah dan penerapan Standar Pelayanan Minimal
(SPM).
2.10. Otonomi Daerah dan Good Governance
Ketiga fase yang dijelaskan tersebut di atas bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kuantitas dan
kualitas pelayanan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam
meningkatkan daya saing daerah. Proses ini membutuhkan penerapan
prinsip-prinsip good governance yang menyeluruh dan terpadu. Adapun
prinsip-prinsip good governance adalah:
1. Partisipasi; mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam
menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang
menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang
13

2.

3.

4.

5.

diambil mencerminkan aspirasi masyarakat. Dalam rangka mengantisipasi


berbagai isu yang ada, Pemerintah Daerah menyediakan saluran komunikasi
agar masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini
meliputi pertemuan umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian
pendapat secara tertulis. Bentuk lain untuk merangsang keterlibatan
masyarakat adalah melalui perencanaan partisipatif untuk menyiapkan
agenda pembangunan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara
partisipatif dan mekanisme konsultasi untuk menyelesaikan isu sektoral.
Penegakan hukum; mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi
semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan
kewenangannya, Pemerintah Daerah harus mendukung tegaknya supremasi
hukum
dengan
melakukan
berbagai
penyuluhan
peraturan
perundangundangan dan menghidupkan kembali nilai-nilai dan normanorma yang berlaku di masyarakat. Di samping itu Pemerintah Daerah perlu
mengupayakan adanya peraturan daerah yang bijaksana dan efektif, serta
didukung penegakan hukum yang adil dan tepat. Pemerintah Daerah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun masyarakat perlu
menghilangkan kebiasaan yang dapat menimbulkan Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN).
Transparansi; menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan
masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam
memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Informasi adalah suatu
kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan
daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah perlu proaktif
memberikan informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang
disediakannya
kepada
masyarakat.
Pemerintah
Daerah
perlu
mendayagunakan berbagai jalur komunikasi seperti melalui brosur, leaflet,
pengumuman melalui koran, radio serta televisi lokal. Pemerintah Daerah
perlu menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi.
Kebijakan ini akan memperjelas bentuk informasi yang dapat diakses
masyarakat ataupun bentuk informasi yang bersifat rahasia, bagaimana cara
mendapatkan informasi, lama waktu mendapatkan informasi serta prosedur
pengaduan apabila informasi tidak sampai kepada masyarakat.
Kesetaraan; memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat
untuk meningkatkan kesejahteraannya. Tujuan dari prinsip ini adalah untuk
menjamin agar kepentingan pihak-pihak yang kurang beruntung, seperti
mereka yang miskin dan lemah, tetap terakomodasi dalam proses
pengambilan keputusan. Perhatian khusus perlu diberikan kepada kaum
minoritas agar mereka tidak tersingkir. Selanjutnya kebijakan khusus akan
disusun untuk menjamin adanya kesetaraan terhadap wanita dan kaum
minoritas baik dalam lembaga eksekutif dan legislatif.
Daya tanggap; meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan
terhadap aspirasi masyarakat, tanpa kecuali. Pemerintah Daerah perlu
membangun jalur komunikasi untuk menampung aspirasi masyarakat dalam
hal penyusunan kebijakan. Ini dapat berupa forum masyarakat, talk show,
layanan hotline, prosedur komplain. Sebagai fungsi pelayan masyarakat,

14

Pemerintah Daerah akan mengoptimalkan pendekatan kemasyarakatan dan


secara periodik mengumpulkan pendapat masyarakat.
6. Wawasan ke depan; membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang
jelas dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan,
sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap
kemajuan daerahnya. Tujuan penyusunan visi dan strategi adalah untuk
memberikan arah pembangunan secara umun sehingga dapat membantu
dalam penggunaan sumberdaya secara lebih efektif. Untuk menjadi visi
yang dapat diterima secara luas, visi tersebut perlu disusun secara terbuka
dan transparan, dengan didukung dengan partisipasi masyarakat, kelompokkelompok masyarakat yang peduli, serta kalangan dunia usaha. Pemerintah
Daerah perlu proaktif mempromosikan pembentukan forum konsultasi
masyarakat, serta membuat berbagai produk yang dapat digunakan oleh
masyarakat.
7. Akuntabilitas; meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam
segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Seluruh
pembuat kebijakan pada semua tingkatan harus memahami bahwa mereka
harus mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada masyarakat. Untuk
mengukur kinerja mereka secara obyektif perlu adanya indikator yang jelas.
Sistem pengawasan perlu diperkuat dan hasil audit harus dipublikasikan, dan
apabila terdapat kesalahan harus diberi sanksi.
8. Pengawasan; meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta
dan masyarakat luas. Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga berwenang
perlu memberi peluang bagi masyarakat dan organisasi masyarakat untuk
berpartisipasi aktif dalam pemantauan, evaluasi, dan pengawasan kerja,
sesuai bidangnya. Walaupun demikian tetap diperlukan adanya auditor
independen dari luar dan hasil audit perlu dipublikasikan kepada
masyarakat.
9. Efisiensi dan efektifitas; menjamin terselenggaranya pelayanan kepada
masyarakat dengan mengunakan sumber daya yang tersedia secara optimal
dan bertanggungjawab. Pelayanan masyarakat harus mengutamakan
kepuasan masyarakat, dan didukung mekanisme penganggaran serta
pengawasan yang rasional dan transparan. Lembagalembaga yang bergerak
di bidang jasa pelayanan umum harus menginformasikan tentang biaya dan
jenis pelayananya. Untuk menciptakan efisiensi harus digunakanteknik
manajemen modern untuk administrasi kecamatan dan perlu ada
desentralisasi kewenangan layanan masyarakat sampai tingkat
keluruhan/desa.
10. Profesionalisme; meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara
pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat
dengan biaya yang terjangkau. Tujuannya adalah menciptakan birokrasi
profesional yang dapat efektif memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini perlu
didukung dengan mekanisme penerimaan staf yang efektif, sistem
pengembangan karir dan pengembangan staf yang efektif, penilaian,
promosi, dan penggajian staf yang wajar. Penerapan Otonomi Daerah
dengan mengacu pada prinsip-prinsip good governance tersebut difasilitasi
oleh Pemerintah Pusat dengan meningkatkan alokasi Anggaran Penerimaan
15

dan Belanja Negara (APBN) yang disalurkan ke daerah. Secara umum,


sumber pendapatan daerah terutama berasal dari:
1. Dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi
Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) pajak dan sumber daya alam
2. Pendapatan Asli Daerah (PAD), terutama yang berasal dari pajak dan
retribusi daerah.
Dari kedua sumber pendapatan daerah tersebut masih didominasi oleh
Dana Perimbangan. Dana Perimbangan tersebut jumlahnya cenderung selalu
meningkat sejak digulirkan pada tahun 2001 baik dilihat dari nilai nominal
maupun dari persentasenya terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan
pendapatan domestik neto (PDN). Tabel 1 menunjukkan pekembangan Dana
Perimbangan tahun 2003-2006. DAU adalah komponen Dana Perimbangan
yang paling besar. DAU merupakan transfer dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah yang berbentuk block grant. DAU dihitung berdasarkan
formula kesenjangan fiskal (selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas
fiskal daerah). Sejak tahun 2001, formula DAU telah mengalami beberapa
kali perubahan. Formula DAU untuk tahun 2006 disusun berdasarkan UU
No. 33/2004 ditunjukkan oleh Gambar 1. DAU masih menjadi sumber
utama pembiayaan belanja daerah. Secara rata-rata, persentase DAU
terhadap APBD berkisar antara 70-80 persen.
Dana Perimbangan lainnya adalah Dana Alokasi Khusus (DAK).
DAK merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan
kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu daerah dalam
membiayai:
1. Kebutuhan khusus (UU No. 25 Tahun 2000 dan PP No. 104 Tahun 2000)
2. Kegiatan khusus (UU No. 33 Tahun 2004, PP No. 55 Tahun 2005, dan
Nota Keuangan dan RAPBN 2006)
DAK berbentuk specific grant. Kebutuhan dan kegiatan khusus yang
dapat dibiayai dari dana tersebut adalah segala urusan daerah yang sesuai
dengan prioritas nasional. Hal-hal yang termasuk kebutuhan khusus yaitu:
1. Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan menggunakan formula alokasi
umum dan/atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas
nasional
2. Kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh
daerah penghasil.

16

BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dasar hukum yang mengaturnya adalah Undang-undang Dasar,
Ketetapan MPR-RI, Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998, Undang-undang
N0.22/1999. Otonomi daerah memiliki peranan yang sangat besar terhadapt
perkembangan ekonomi daerah karena memberikan kewenangan bagi daerah
untuk mengelola potensi daerhanya masing-masing. Salah satu kunci
keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan adalah mengembangkan
otonomi daderah dan desentralisasi fiscal. Dengan demikian diharapkan
mekanisme perumusan kebijakan menjadi lebih akomodatif dan mampu
menciptakan system pemerintahan dengan konsep good governance.
5.2. Saran
1. Pemerintah hendaknya memperhatikan prinsip dan pedoman pelaksanaan
otonomi daerah agar berjalan sesuai yang diharapkan.
2. Semua pihak yang terlibat dalam otonomi daerah hendaknya saling
bersinergi dalam melaksanakan tugas agar terbentuk system pemerintahan
berkonsep good governance.

17

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Rusdi, 2007, Indikator Kinerja dengan Model Matriks Kinerja,


dipresentasikan dalam Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah, World
Bank Institute, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Fakultas Ekonomi
Universitas Gadjah Mada (PPE-FEUGM), dan Politik Lokal dan Otonomi
Daerah (PLOD), Yogyakarta, 26-27 Januari.
Asian Development Bank, 2005, Capacity Building to Support Decentralization
in Indonesia, Technical Assistance Performance Evaluation Report.
Benu, Fredrik, 2006, Anggaran Berbasis Kinerja, dipresentasikan dalam
Financial Management Training in Indonesia, Balikpapan, Departemen
Keuangan RI, Bundesministerium fr wirtschaftliche Zusammenarbeit und
Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM.
Campos, Jose Edgardo dan Joel S. Hellman, 2005, Governance Gone Local:
Does Decentalization Improve Accountability?, East Asia Decentralized,
Bank Dunia, Washington D.C.
Departemen Keuangan RI, 2006, Penjelasan Umum tentang Standar Biaya Tahun
2007, Disampaikan dalam Sosialisasi Standar Biaya Tahun 2007 kepada
Unit Eselon I Kementerian/Lembaga, Jakarta, 2 November.
Kadjatmiko, 2006, Local Fiscal Policy, Budget Performance: Capacity
Building for Effective Public Finance, Departemen Keuangan RI,
Bundesministerium fr wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung,
GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman
Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah
serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan
Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD.
Kristiadi, J.B., 2006, Preface, Budget Performance: Capacity Building for
Effective Public Finance, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium
fr wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan
PPE-FE-UGM.
Pakpahan, Arlen T., 2006, Local Financial and Business Climate, Budget
Accountability, Reporting, and Auditing, Departemen Keuangan RI,
Bundesministerium fr wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung,
GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM, 8-11 Mei 2006, Yogyakarta.
Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada, 2005,
Strengthening Core Local Government Competencies, Modul Pelatihan.

18

Anda mungkin juga menyukai