Kesenjangan Penelitian
Kusta terus menjadi tantangan kesehatan di seluruh dunia, dengan sekitar 250.000 kasus
baru yang terdeteksi tiap tahunnya. Meskipun penerapan terapi multi-obat sudah cukup
luas, namun kusta belum bisa dihapuskan. Sepertiga dari kasus baru yang terdiagnosis,
pasien sudah dalam tahap mengalami kerusakan saraf dan mungkin sudah mengalami
proses kecacatan, meskipun proporsinya bervariasi sesuai dengan beberapa faktor,
termasuk tingkat perawatan diri. Pada wanita yang menderita kusta biasanya mengalami
kerugian tersendiri karena terlambat didiagnosis dan mengalami kecacatan. Kusta bukan
termasuk suatu penyakit yang spesifik didalam Milennium Development Goals, tetapi
perbaikan pada tingkat pendidikan dan tingkat kemiskinan akan membantu menolong
pasien kusta. Kita melihat kembali data dan membuat rekomendasi untuk penelitian
dalam diagnosis, tatalaksana, dan pencegahan, termasuk analisis molekular dari gen
Mycobacterium leprae, pelaksanaan vaksinasi BCG, dan administrasi kemoprofilaksis
untuk kontak rumah tangga. Kami juga menyarankan untuk pembuatan alat bantu
diagnosis dini dan deteksi dari infeksi serta kerusakan saraf, perumusan dan strategi
untuk mengelola komplikasi kronik dari kusta, seperti reaksi immune-mediated dan
neuropati.
Pendahuluan
Kusta adalah suatu penyakit infeksi yang tersering menyebabkan
kecacatan.1 Angka kejadian kusta telah mengalami penurunan selama 50 tahun
terakhir ini,2 namun transmisi kusta masih berlanjut dan kusta masih merupakan
masalah dalam kesehatan masyarakat.3 Masih terdapat berbagai halangan
kedepannya untuk mengurangi angka kejadian kusta. Transmisi penyebaran
kusta masih belum diketahui benar, meskipun penularannya dapat dianggap
terjadi dari nasal droplets.4 Banyak orang yang terinfeksi memiliki pengembangan
klinik penyakit dan belum diketahui apakah itu merupakan reaktivasi dari infeksi
terdahulu. Meskipun membuat diagnosis klinik itu mudah, namun sulit untuk
mengonfirmasinya. Keterlambatan diagnosis akan berdampak negatif, contohnya
dapat meningkatkan risiko kerusakan saraf. Banyak faktor yang menyebabkan
terlambatnya suatu penegakkan diagnosis, salah satunya adalah stigma yang
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
timbul dalam masyarakat.5 Selain itu, kekebalan respon tubuh dan mekanisme
yang terlibat dalam kerusakan saraf masih belum diketahui, tidak ada prediksis
tes untuk menguji tingkat kerusakan saraf dan belum ada bukti pengobatan yang
terbaik. Reaksi kekebalan tubuh tipe 1 dan tipe 2 masih menjadi komplikasi
utama, dan mempengaruhi 30% dari penderita kusta.
WHO telah menetapkan target untuk mengurangi jumlah kasus dengan
kecacatan kelas 2 pada
klinis
telah
dibuka
oleh
rangkaian
9-11
tahapan
genom-genom
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
3,8,12,15
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
di beberapa negara sehingga target eliminasi kusta akan tercapai. Data untuk
prevalensi dan insiden untuk India dan Brazil yang ditampilkan dalam gambar 1.
Data ini menjelaskan pentingnya menggunakan tingkat deteksi kasus baru
sebagai penanda penularan kusta. Tingginya jumlah kasus baru terus dideteksi
hingga 249 000 dilaporkan pada tahun 2008, yang 94% dari kasus ini berada di
17 negara yang telah melaporkan mendeteksi lebih dari 1.000 kasus baru pada
tahun itu.20,24 Seperti ditunjukkan dalam Gambar, tingkat deteksi kasus baru di
Brasil terus menjadi tinggi. Data ini menunjukkan transmisi berkelanjutan kusta.
Sebuah survei yang dilakukan di Maharashtra, India, menunjukkan tingkat 3-9
kasus per 10.000 penduduk, dan bahwa 30% dari kasus-kasus ini baru
didiagnosa berada pada anak-anak.
Incidence
Gambar 1. Jumlah prevalensi dan insiden kasus per 10.000 jiwa di India
selama 1984-2008
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
25
20
15
10
0
1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007
Prevalence
Incidence
Gambar 2. Jumlah prevalensi dan insiden kasus per 10.000 jiwa di Brazil
selama 1979-2007
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
penyakit
kusta
tetap
dalam
keadaan
tidak
infeksius
karena
mycobacterium yang tetap ada pada intraseluler. Pasien kusta jenis lepromatosa
mengeluarkan Mycobacterium leprae dari mukosa hidung dan kulit28 dan sangat
infeksius sebelum memulai pengobatan dengan terapi multi-obat. Kontak dengan
pasien ini, meningkatkan risiko terkena penyakit kusta.7 Besarnya risiko ini
tergantung pada kedekatan kontak,7 dengan kontak rumah tangga yang dekat
berada di risiko tertinggi. Risiko penyakit di kontak juga terkait dengan jumlah
bakteri dari kasus utama, dengan risiko yang dua kali lebih tinggi dalam kontak
kasus multibacillary daripada kasus paucibacillary.
Tidak ditemukan adanya kejelasan kecenderungan genetik memiliki peran
dalam penyakit kusta.7 Kandidat gen untuk kerentanan terhadap infeksi kusta
telah dilaporkan, namun temuan tersebut sulit untuk direplikasi. Sebuah studi
asosiasi berbagai macam genom pasien kusta dan kontrol sehat telah
mengidentifikasi varian gen dalam jalur sinyal NOD2-mediated, yang mengatur
respon imun bawaan, dan menentukan risiko serta bentuk penyakit.7
Urutan genom dari Mycobacterium leprae telah tersedia sejak tahun
2001.29 Pengembangan penelitian pada tipe strain dari Mycobacterium leprae
telah digunakan baik pada metode pembuatan genotipe polimorfisme nukleotida
tunggal atau variable number tandem repeat. Penelitian awal dengan
polimorfisme
nukleotida
tunggal
telah
menghasilkan
empat
subtipe
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
klasifikasi Ridley-Jopling,33 yang didasarkan pada jenis lesi kulit dan jumlah
bakteri dalam tubuh. Pasien dengan penyakit tuberkuloid memiliki respon imun
cell-mediated yang baik dan hanya ditemukan beberapa lesi tanpa mycobakteria
yang terdeteksi. Pasien dengan kusta lepromatosa memiliki sifat anergik
terhadap M.leprae dan ditemukan beberapa lesi dengan adanya mycobacteria.
Diantara dua klasifikasi ini adalah jenis kusta borderline, di mana pasien memiliki
beberapa sel respon imun cell-mediated, lesi multipel, dan kekebalan yang tidak
stabil.
WHO
telah
memperkenalkan
klasifikasi
yang
disederhanakan
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
oleh sel-sel CD4+ dan makrofag, dengan keterlibatan beberapa sitokin proinflamasi, seperti TNF-. Penanda perkembangan kerusakan neurologis belum
bias identifikasi.40 Pemahaman yang lebih baik dari respon imun pada kerusakan
saraf dapat mengidentifikasi pasien berisiko tinggi untuk pemantauan lebih ketat
dan intervensi dini dengan terapi yang ada, dan mengarahkan intervensi yang
diperlukan.38
Reaksi imun tipe 1 dan tipe 2 terjadi pada sekitar 30% pasien dengan
penyakit multibasiler selama dan setelah terapi multi-obat.41 Steroid adalah
pengobatan yang utama, tetapi pada kajian sistematis ditemukan hanya tiga uji
coba yang menunjukkan adanya kualitas yang memadai yang mendukung
strategi ini.42 Kajian berdasarkan bukti yang dilakukan oleh Federasi Internasional
Organisasi Anti-Kusta menemukan bahwa durasi optimal pengobatan steroid
tidak diketahui, meskipun beberapa data menunjukkan bahwa program yang
lebih lama menghasilkan hasil yang lebih baik, Terbukti bahwa pengobatan
selama 20 minggu menghasilkan hasil yang lebih baik daripada 12 minggu
pengobatan di salah satu studi.43 Tidak ada studi yang menggunakan pemberian
dosis per berat badan. Tingkat kekambuhan setelah terapi steroid adalah 2050%.44 Standarisasi alat diperlukan untuk mengukur hasil dan perbandingan studi
temuan. Obat lini kedua untuk pengobatan pasien yang tidak merespon
prednisolon juga diperlukan.45
Reaksi leprosum eritema nodosum terjadi di sekitar 50% dari pasien
dengan lepromatous leprosy.46 Episode peradangan sistemik ini mempengaruhi
kulit, saraf, mata, dan testis susah untuk dikendalikan.47 Reaksi dapat kambuh
selama beberapa tahun. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menyelidiki
patogenesis dan pengobatan eritema nodosum leprosum. Pada sebuah kajian
dijelaskan hanya ada tiga penelitian yang diterbitkan dalam 20 tahun.47
Perawatan saat ini termasuk steroid dan thalidomide, tetapi penelitian dilakukan
dengan divalidasi secara internasional dengan skala keparahan yang diperlukan
untuk mengidentifikasi regimen pengobatan terbaik.48 Di banyak negara
thalidomide tidak tersedia karena kekhawatiran yang berkaitan dengan potensi
teratogenik. Adanya sebuah jaringan penelitian internasional untuk memfasilitasi
studi tentang patogenesis dan peningkatan perawatan di pusat-pusat terkait akan
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
yang
akurat
pada
kekambuhan
membutuhkan
klinis,
bakteriologis, dan bukti terapi; histopatologi dapat membantu tetapi sering tidak
secara rutin ada.55 Rekomendasi WHO saat ini adalah bahwa terapi mengulang
multi-obat dalam kasus terbukti kambuh.3 Kambuh dan reaksi kekebalan tubuh
tipe 1 bisa menyebabkan lesi kulit baru dan hilangnya fungsi saraf.
Resistensi obat belum menjadi masalah besar. Pasien yang diduga
menderita strain resisten dari M.leprae telah merespon kembali pengobatan
dengan rifampisin, dapson, dan clofazimine.3 Pengujian untuk ketahanan
melibatkan inokulasi pada telapak kaki tikus dengan jaringan pasien yang
diperoleh pada biopsi dan mengamati pertumbuhan M.leprae. Metode ini
sekarang dilengkapi dengan sekuensial DNA untuk mengidentifikasi mutasi gen
yang terkait dengan resistensi obat. Koding gen untuk ketahanan terhadap
rifampisin, ofloxacin, dan dapson telah teridentifikasi.6 Namun, kepentingan klinis
pada bakteri yang memiliki gen ketahanan tertentu masih belum diketahui.
Sebuah inisiatif pengawasan di seluruh dunia untuk menilai resistensi obat pada
kusta telah ditetapkan.6 WHO Technical Advisory Group telah mendorong
perluasan kerja di beberapa negara.6 Penelitian ini dan semacamnya perlu
didukung
dengan
baik,
karena
tidak
ada
obat
antibiotik
baru
dalam
Peningkatan
kapasitas
untuk
skrining
obat,
kemoterapi
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
Diagnosis
Diagnosis yang terlambat, dapat memicu terjadinya penyebaran penyakit
dan kecacatan.15 Faktor-faktor yang memicu terjadinya diagnosis yang lambat
antara lain pasien menunda untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan
terambatnya penegakkan diagnosis oleh instansi pelayanan kesehatan. Alasan
dibalik penundaan pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sangatalah
beragam.56 Namun stigma negatif menjadi alasan an lazim terjadi di banyak
kasus.5 Di beberapa negara stigma ini dapat tumbh karena adanya perundangan
yang merugikan terhadap pasien kusta.5 Tindakan
terhadap para penderita penyakit ini. Laporan dari Ethiopia dan Bangladesh,57,58
menunjukkan
bahwa
wanita
lebih
mengalami
keterlambatan
diagnosa
dibandingkan pria, sehingga pada wanita sering ditemukan kerusakan saraf dan
kecacatan yang lebih berat saat diagnosis ditegakkan.
Dengan desentralisasi dari pelayanan pengobatan dan monitoring serta
menurunnya
angka
kejadian,
mempertahankan
kompetensi
ahli
pada
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
pemberian
membutuhkan identifikasi terhadap kontak, terutama di luar rumah, hal ini bisa
jadi tidak diinginkan oleh masyarakat maupun melanggar etik.61 Rekomendasi
terkini dari program Enhanced Global Strategy for Futher Reducing teh Disease
Burden due to Leprosy10 oleh WHO adalah untuk memeriksa kontak di rumah
pasien untuk mencari bukti dari kontak terhadap kusta, apabila tidak ditemukan
satupun bukti maka langkah selanjutnya adalah memberi tahu pasien akan
tanda-tanda awal dari kusta, serta harus mencari pelayanan kesehatan apabila
ditemukan tanda-tanda tersebut. Laporan terakhir dari Technical Advisory Group
on Leprosy Control6 oleh WHO merekomendasikan bahwa sebuah grup kerja
harus dibentuk untuk meninjau data-data mengenai kemoprofilaksis dan
memberikan pertimbangan-pertimbangan terhadap jalannya penelitian yang
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
Prioritas penelitian thadap kusta mampu mencakup area yang luas, mulai
dari sains dasar hingga pelayanan kesehatan. Pengertian yang lebih mendalam
sangat dibutuhkan baik dibidak epidemiologi, seperti transmisi penyakit, peranan
dari armadillo, dan kontribusi relatif dari transmisi dan reinfeksi hingga segala
permasalahan yang menyertai penyakit ini, serta patogenesis dari kerusakan
saraf. Alat yang efektif harus dikembangkan untuk deteksi dini pada infeksi,
point-of-contact diagnosis, memprediksi kerusakn saraf, dan menggolongkan
kecacatan. Regimen pengobatan baru terhadap kusta dan reaksi kusta harus
segera dikembangkan dan diuji. Akhirnya, metide efektif untuk monitoring
resistensi obat harus segera diimplementasikan. Untuk pencegahan dan
penelitian pada pelayanan kesehatan, pengembangan vaksin baru atau
penggabungan dari komponen kusta pada vaksin anti tuberkulosis yang baru
sangatlah krusial. Strategi pemberian kemoprofilaksis terhadapn kontak harus
ditinjau, terhambatnya diagnosis, diskriminasi, dan stigma harus segera
dikurangi.
Refrensi
1 United Nations Enable. The Millennium Development Goals (MDGs) and Disability.
2009. http://www.un.org/disabilities/ default.asp?id=1470 (accessed Jan 25, 2010).
2 Merle CS, Cunha SS, Rodrigues LC. BCG vaccination and leprosy protection: review of
current evidence and status of BCG in leprosy control. Expert Rev Vaccines 2010; 9:
20922.
3 WHO. Enhanced global strategy for further reducing the disease burden due to leprosy
(plan period: 20112015). New Delhi: World Health Organization Regional Oce for
South-East Asia, 2008.
4 Hatta M, van Beers SM, Madjid B, Djumadi A, de Wit MY, Klatser PR. Distribution and
persistence of Mycobacterium leprae nasal carriage among a population in which
leprosy is endemic in Indonesia. Trans R Soc Trop Med Hyg 1995; 89: 38185.
5
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
Van Brakel WH, Nicholls PG, Das L, et al. The INFIR Cohort Study: assessment of
sensory and motor neuropathy in leprosy at baseline. Lepr Rev 2005; 76: 27795.
35 Lockwood DN, Sarno E, Smith WC. Classifying leprosy patientssearching for the perfect
solution? Lepr Rev 2007; 78: 31720.
36 Boku N, Lockwood DN, Balagon MV, et al. Impacts of the diagnosis of leprosy and of
visible impairments amongst people aected by leprosy in Cebu, the Philippines. Lepr
Rev 2010; 81: 11120.
37 Saunderson P. The epidemiology of reactions and nerve damage.Lepr Rev 2000; 71:
S10610.
38 Khambati FA, Shetty VP, Ghate SD, Capadia GD. Sensitivity and specicity of nerve
palpation, monolament testing and voluntary muscle testing in detecting peripheral
nerve abnormality, using nerve conduction studies as gold standard; a study in 357
patients. Lepr Rev 2009; 80: 3450.
39 Smith WC, Nicholls PG, Das L, et al. Predicting neuropathy and reactions in leprosy at
diagnosis and before incident eventsresults from the INFIR cohort study. PLoS Negl
Trop Dis 2009; 3: e500.
40 The Lancet Neurology. Leprosy as a neurological disease. Lancet Neurol 2009; 8: 217.
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
41 Walker SL, Nicholls PG, Dhakal S, Hawksworth RA, Mahat K, Lockwood DNJ. A phase
two randomised controlled double blind trial of high dose intravenous methylprednisolone
and oral prednisolone versus intravenous Normal saline and oral prednisolone in
individuals with leprosy Type 1 reactions and/or nerve function impairment. PLOS Negl
Trop Dis 2011; 5: e1041.
42 Van Veen NH, Nicholls PG, Smith WC, Richardus JH. Corticosteroids for treating
nerve damage in leprosy. A Cochrane review. Lepr Rev 2008; 79: 36171.
43 Rao PS, Sugamaran DS, Richard J, Smith WC. Multi-centre, double blind, randomized
trial of three steroid regimens in the treatment of type-1 reactions in leprosy. Lepr Rev
2006; 77: 2533.
44 Van Brakel W, Cross H, Deepak S, et al; ILEP Technical Commission.Review of leprosy
research evidence (20022009) and implications for current policy and practice. Lepr Rev
2010; 81: 22875.
45 Van Brakel WH, Saunderson P, Shetty V, et al. International workshop on
neuropathology in leprosyconsensus report. Lepr Rev 2007; 78: 41633.
46 Pocaterra L, Jain S, Reddy R, et al. Clinical course of erythema nodosum leprosum:
an 11-year cohort study in Hyderabad, India. Am J Trop Med Hyg 2006; 74: 86879.
47 Van Veen NHJ, Lockwood DNJ, van Brakel WH, Ramirez JJ, Richardus JH.
Interventions for erythema nodosum leprosum. Cochrane Database Syst Rev 2009;
3: CD006949.
48 Walker SL, Waters MF, Lockwood DN. The role of thalidomide in the management of
erythema nodosum leprosum. Lepr Rev 2007; 78: 197215.
49 Ustianowski AP, Lawn SD, Lockwood DN. Interactions between HIV infection and
leprosy: a paradox. Lancet Infect Dis 2006; 6: 35060.
50 Sarno EN, Illarramendi X, Nery JA, et al. HIV-M. leprae interaction: can HAART
modify the course of leprosy? Public Health Rep 2008; 123: 20612.
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
51 Talhari C, Mira MT, Massone C, et al. Leprosy and HIV coinfection: a clinical,
pathological, immunological, and therapeutic study of a cohort from a Brazilian referral
center for infectious diseases. J Infect Dis 2010; 202: 34554.
52
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
62 Schuring RP, Richardus JH, Pahan D, Oskam L. Protective eect of the combination
BCG vaccination and rifampicin prophylaxis in leprosy prevention. Vaccine 2009; 27:
712528.
63 Duppre NC, Camacho LA, da Cunha SS, et al. Eectiveness of BCG vaccination among
leprosy contacts: a cohort study. Trans R Soc Trop Med Hyg 2008; 102: 63138.
64 Gillis T. Is there a role for a vaccine in leprosy control? Lepr Rev 2007; 78: 33842.
65 Raman VS, ODonnell J, Bailor HR, et al. Vaccination with the ML0276 antigen reduces
local inammation but not bacterial burden during experimental Mycobacterium
leprae infection. Infect Immun 2009; 77: 562330.
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi
Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi