Anda di halaman 1dari 23

Kusta Saat Ini: Epidemiologi, Kemajuan, Tantangan, dan

Kesenjangan Penelitian
Kusta terus menjadi tantangan kesehatan di seluruh dunia, dengan sekitar 250.000 kasus
baru yang terdeteksi tiap tahunnya. Meskipun penerapan terapi multi-obat sudah cukup
luas, namun kusta belum bisa dihapuskan. Sepertiga dari kasus baru yang terdiagnosis,
pasien sudah dalam tahap mengalami kerusakan saraf dan mungkin sudah mengalami
proses kecacatan, meskipun proporsinya bervariasi sesuai dengan beberapa faktor,
termasuk tingkat perawatan diri. Pada wanita yang menderita kusta biasanya mengalami
kerugian tersendiri karena terlambat didiagnosis dan mengalami kecacatan. Kusta bukan
termasuk suatu penyakit yang spesifik didalam Milennium Development Goals, tetapi
perbaikan pada tingkat pendidikan dan tingkat kemiskinan akan membantu menolong
pasien kusta. Kita melihat kembali data dan membuat rekomendasi untuk penelitian
dalam diagnosis, tatalaksana, dan pencegahan, termasuk analisis molekular dari gen
Mycobacterium leprae, pelaksanaan vaksinasi BCG, dan administrasi kemoprofilaksis
untuk kontak rumah tangga. Kami juga menyarankan untuk pembuatan alat bantu
diagnosis dini dan deteksi dari infeksi serta kerusakan saraf, perumusan dan strategi
untuk mengelola komplikasi kronik dari kusta, seperti reaksi immune-mediated dan
neuropati.

Pendahuluan
Kusta adalah suatu penyakit infeksi yang tersering menyebabkan
kecacatan.1 Angka kejadian kusta telah mengalami penurunan selama 50 tahun
terakhir ini,2 namun transmisi kusta masih berlanjut dan kusta masih merupakan
masalah dalam kesehatan masyarakat.3 Masih terdapat berbagai halangan
kedepannya untuk mengurangi angka kejadian kusta. Transmisi penyebaran
kusta masih belum diketahui benar, meskipun penularannya dapat dianggap
terjadi dari nasal droplets.4 Banyak orang yang terinfeksi memiliki pengembangan
klinik penyakit dan belum diketahui apakah itu merupakan reaktivasi dari infeksi
terdahulu. Meskipun membuat diagnosis klinik itu mudah, namun sulit untuk
mengonfirmasinya. Keterlambatan diagnosis akan berdampak negatif, contohnya
dapat meningkatkan risiko kerusakan saraf. Banyak faktor yang menyebabkan
terlambatnya suatu penegakkan diagnosis, salah satunya adalah stigma yang

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

timbul dalam masyarakat.5 Selain itu, kekebalan respon tubuh dan mekanisme
yang terlibat dalam kerusakan saraf masih belum diketahui, tidak ada prediksis
tes untuk menguji tingkat kerusakan saraf dan belum ada bukti pengobatan yang
terbaik. Reaksi kekebalan tubuh tipe 1 dan tipe 2 masih menjadi komplikasi
utama, dan mempengaruhi 30% dari penderita kusta.
WHO telah menetapkan target untuk mengurangi jumlah kasus dengan
kecacatan kelas 2 pada

diagnosis, tetapi studi kelayakan dari pelaporan

kecacatan ini perlu dikaji. Integrasi pelayanan kusta ke pelayanan kesehatan


umum telah menyebabkan hilangnya keterampilan dalam diagnosis dan
pengelolaan penyakit kusta. WHO merekomendasikan penggunaan multidrug
terapi selama 6 bulan untuk pasien dengan kusta tipe paucibacillary (1-5 lesi
pada kulit) dan selama 12 bulan untuk pasien dengan kusta tipe multibacillary
(lesi lebih dari 5).3 Regimen ini mungkin kurang untuk pasien kusta dengan
bakterial indeks yang tinggi, namun sampai saat ini belum ada obat alternatif
lainnya yang direkomendasikan.6 Resistensi obat menjadi salah satu masalah
dalam mutlidrug terapi,7 oleh karena itu diperlukan monitoring yang baik.
Berbagai bidang penelitian menjadi prioritas dalam manajemen penyakit
kusta di seluruh dunia. Kontak langsung dengan penderitan kusta dapat
meningkatkan risiko penularan infeksi,8 sedangkan kemoprofilaksis dan vaksinasi
BCG dapat menurunkan risiko terinfeksi namun ketersediaan, etik, dan biaya
menjadi masalah tersendiri. Diperlukan penelitian untuk membuat suatu
kebijakan kedepannya. Jalur-jalur baru untuk ilmu pengetahuan dasar dan
penelitian

klinis

telah

dibuka

oleh

rangkaian

Mycobacterium leprae dan analisis kasus kusta.

9-11

tahapan

genom-genom

Data genom mungkin berguna

dalam pengembangan obat-obatan dan vaksin terhadap penyakit kusta. Fitur


kesehatan yang memerlukan penelitian adalah dengan bagaimana memastikan
kesetaraan akses fasilitas untuk diagnosis dini dan layanan rehabilitasi, dan cara
untuk mengurangi stigma di masyarakat.
Dalam kajian ini kita membahas epidemiologi kusta dan kemajuan dalam
dan tantangan untuk mengontrol, dan membuat rekomendasi untuk penelitian.
Artikel ini didasarkan pada kajian refrensi untuk kelompok penyakit spesik
tuberkulosis, kusta dan ulkus buruli (satu dari sepuluh refrensi kelompok ahli
yang disponsori oleh program khusus untuk penelitian dan pelatihan dalam

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

penyakit-penyakit tropis untuk menilai bukti global penelitian pada penyakit


menular yang disebabkan oleh kemiskinan). Kita juga memperhitungkan strategi
WHO di seluruh dunia untuk mengurangi beban penyakit yang berhubungan
dengan kusta,3 keputusan kelompok penasihat teknis pada kontrol kusta, 6 dan
penelitian kusta dari tahun 2002-2009 bersama Federation International
Federation of Anti-Leprosy Organitations Technical Commission.5
Sejarah Kusta dan Kontrol dari Kusta
Anaslisis DNA dari Mycobacterium leprae menunjukkan bahwa bakteri ini
berasal dari Afrika dan menyebar ke Asia dan Amerika Selatan. 9 Monoterapi
menggunakan Dapsone cukup efektif dan sudah dilakukan sejak tahun 1940an.
Pendataan diperlukan, pada tahun 1960an dilaporkan terjadi resistensi.12 Pada
tahun 1981, WHO merekomendasikan untuk semua pasien kusta mengonsumsi
multidrug terapi yang terdiri dari Rifampicin dan Dapsone, atau Rifampicin,
Dapsone, dan Clofazimine untuk pasien dengan tipe multibaccilary. Tahun 1995,
resolusi disahkan untuk memberikan pengobatan multidrug gratis untuk semua
kusta pasien di seluruh dunia.13
The World Health Assembly mengeluarkan sebuah resolusi pada tahun
1991 memberantas Kusta sebagai masalah kesehatan dunia pada tahun 2000,
dalam arti lain mengurangi angka kejadian kusta yakni kurang dari 1 kasus dalam
setiap 10000 penduduk.14 Usaha yang menyertai resolusi ini diantaranya
penggunaan terapi multidrug dan reclassication dari semua kasus dengan
penghapusan selesai pengobatan, ketika pengobatan seumur hidup. Tindakan ini
telah didata, penggunaan vaksinasi BCG luas, dapat untuk melindungi terhadap
penyakit tuberkulosis dan juga dapat melindungi terhadap kusta, ini ditandai
dengan pengurangan angka kejadian.2 Meskipun demikian, kusta belum bisa
dihapuskan dan penularannya masih terus berlangsung. Karena menggunakan
kata penghapusan dalam resolusi, menyebabkan persepsi bahwa kusta akan
menghilang, dan menghasilkan sumber daya untuk penelitian penyakit kusta dan
kontrol dikurangi.

3,8,12,15

ketika rencana strategis WHO untuk memberantas kusta

diperbarui, kalimat penghapusan diganti dengan kalimat mengurangi beban


penyakit kusta, istilah ini meliputi beban langsung dari penyakit dan beban terkait
kecacatan.1

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

Tujuan Pembangunan Milenium Global yang disetujui Majelis PBB pada


tahun 2000, dan komitmen negara-negara di dunia untuk proyek pembangunan
global yang dirangkum dalam delapan tujuan, yakni: memberantas kemiskinan
ekstrim dan kelaparan; mencapai pendidikan dasar universal; mempromosikan
persamaan untuk kedua jenis kelamin dan memberdayakan perempuan;
mengurangi angka kematian anak; meningkatkan kesehatan ibu; memerangi
HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya; menjamin kelestarian lingkungan; dan
membangun kemitraan global untuk pembangunan. 16 Kusta tidak tercantum
secara eksplisit dalam salah satu dari delapan tujuan yang ada pada
Pembangunan Milenium Global, tetapi berkaitan dengan kemiskinan, pendidikan
dasar, dan membangun kemitraan global yang relevan untuk mengontrol kusta.
Cacat juga tidak secara eksplisit termasuk dalam tujuan, tetapi berbagai cara
untuk mengintegrasikan telah diusulkan.1 Pada tahun 2008, PBB memberlakukan
perjanjian yang berisikan tentang hak-hak orang-orang yang memiliki kekurangan
fisik17, dan Dewan Hak Asasi Manusia PBB lewat sebuah resolusi tentang
penghapusan diskriminasi terhadap orang-orang yang terkena dampak oleh
kusta dan anggota keluarga mereka.18 Ada kekhawatiran bahwa tujuan
pembangunan milenium yang mungkin menyebabkan ketidakseimbangan dalam
agenda pembangunan, dan terutama yang fokus pada HIV/AIDS dan malaria
mungkin dapat mengabaikan penyakit lainnya, termasuk penyakit kusta. 19 Kusta
adalah penyakit yang identik dengan kemiskinan. Menjamin akses yang sama
terhadap diagnostik dan fasilitas rehabilitasi dan untuk perawatan, serta
pencegahan kecacatan, itu penting.
Epidemiologi
Tingkat deteksi kasus baru untuk kusta tetap tinggi, dengan sekitar
250.000 kasus baru yang terdaftar setiap tahun. Sekitar 15 juta orang telah
diobati dengan terapi multi-obat, dan diperkirakan 2 juta orang telah dicegah dari
kecacatan.12 Meskipun nilai prevalensi kusta jatuh mencolok dari 620,638 kasus
pada tahun 2002, menjadi 213,036 kasus pada tahun 2009,20,21 penurunan ini
disebabkan sebagian untuk nilai-nilai prevalensi berkurang setengahnya oleh
durasi pengobatan yang dikurangi dari 24 bulan sampai 12 bulan. Prevalensi juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor operasional, seperti tingkat penemuan kasus,
aktivitas, dan integrasi layanan kusta ke pelayanan perawatan kesehatan primer

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

di beberapa negara sehingga target eliminasi kusta akan tercapai. Data untuk
prevalensi dan insiden untuk India dan Brazil yang ditampilkan dalam gambar 1.
Data ini menjelaskan pentingnya menggunakan tingkat deteksi kasus baru
sebagai penanda penularan kusta. Tingginya jumlah kasus baru terus dideteksi
hingga 249 000 dilaporkan pada tahun 2008, yang 94% dari kasus ini berada di
17 negara yang telah melaporkan mendeteksi lebih dari 1.000 kasus baru pada
tahun itu.20,24 Seperti ditunjukkan dalam Gambar, tingkat deteksi kasus baru di
Brasil terus menjadi tinggi. Data ini menunjukkan transmisi berkelanjutan kusta.
Sebuah survei yang dilakukan di Maharashtra, India, menunjukkan tingkat 3-9
kasus per 10.000 penduduk, dan bahwa 30% dari kasus-kasus ini baru
didiagnosa berada pada anak-anak.

Number of Cases per 10.000 Population


45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008
Prevalence

Incidence

Gambar 1. Jumlah prevalensi dan insiden kasus per 10.000 jiwa di India
selama 1984-2008

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

25

20

15

10

0
1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007
Prevalence

Incidence

Gambar 2. Jumlah prevalensi dan insiden kasus per 10.000 jiwa di Brazil
selama 1979-2007

Sebuah konsensus telah dicapai oleh WHO bahwa pengawasan ketat


pada penyakit untuk kusta diperlukan, dan empat indikator telah diusulkan:
jumlah kasus baru, tarif baru deteksi kasus, tingkat penyelesaian pengobatan
(atau, jika memungkinkan, tingkat penyembuhan dan tingkat kasus baru dengan
kecacatan kelas 2.3 Target baru diperkenalkan bahwa jumlah kasus baru dengan
kecacatan kelas 2 pada 2015 harus 35% lebih rendah dari tahun 2010.
Pemantauan tingkat kasus baru dengan cacat akan menimbulkan tantangan,
mengingat ketidakpastian tentang keandalan data yang diperoleh. Dengan
demikian, alat untuk melakukan praktik komparasi tingkat yang akurat diperlukan.
Berbagai instrumen untuk mengukur cacat sudah tersedia, namun penerapannya
untuk kusta perlu diuji. Laporan WHO Technical Advisory Group tahun 2009
merekomendasikan untuk mengadakan kelompok kerja peninjauan praktek saat
ini untuk pengumpulan data, pelaporan, dan analisis untuk memastikan bahwa
target dapat digunakan atau dengan kata lain, valid.6
Transmisi
Kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Kebanyakan orang yang
terinfeksi dengan organisme ini dianggap tidak menjadi penyakit klinis, meskipun

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

tidak ada alat untuk mendiagnosis infeksi subklinis. Mycobacterium leprae


tumbuh lambat dan masa inkubasi kusta cukup panjang yaitu 2-12 tahun. Modus
penularan masih belum terbukti secara meyakinkan, meskipun penyebaran
melalui tetesan hidung diyakini menjadi rute utama.4
Manusia merupakan reservoir utama infeksi, kecuali di Amerika, di mana
armadillo juga menjadi reservoir.26 Proporsi kasus yang disebabkan armadillo
tidak diketahui, tetapi kemajuan penelitian sedang dibuat yang mengestimasikan
dua-pertiga dari kasus yang diperoleh di Amerika Serikat bagian selatan adalah
strain Mycobacterium leprae yang ada dari armadillo.27 Kebanyakan orang yang
terjangkit

penyakit

kusta

tetap

dalam

keadaan

tidak

infeksius

karena

mycobacterium yang tetap ada pada intraseluler. Pasien kusta jenis lepromatosa
mengeluarkan Mycobacterium leprae dari mukosa hidung dan kulit28 dan sangat
infeksius sebelum memulai pengobatan dengan terapi multi-obat. Kontak dengan
pasien ini, meningkatkan risiko terkena penyakit kusta.7 Besarnya risiko ini
tergantung pada kedekatan kontak,7 dengan kontak rumah tangga yang dekat
berada di risiko tertinggi. Risiko penyakit di kontak juga terkait dengan jumlah
bakteri dari kasus utama, dengan risiko yang dua kali lebih tinggi dalam kontak
kasus multibacillary daripada kasus paucibacillary.
Tidak ditemukan adanya kejelasan kecenderungan genetik memiliki peran
dalam penyakit kusta.7 Kandidat gen untuk kerentanan terhadap infeksi kusta
telah dilaporkan, namun temuan tersebut sulit untuk direplikasi. Sebuah studi
asosiasi berbagai macam genom pasien kusta dan kontrol sehat telah
mengidentifikasi varian gen dalam jalur sinyal NOD2-mediated, yang mengatur
respon imun bawaan, dan menentukan risiko serta bentuk penyakit.7
Urutan genom dari Mycobacterium leprae telah tersedia sejak tahun
2001.29 Pengembangan penelitian pada tipe strain dari Mycobacterium leprae
telah digunakan baik pada metode pembuatan genotipe polimorfisme nukleotida
tunggal atau variable number tandem repeat. Penelitian awal dengan
polimorfisme

nukleotida

tunggal

telah

menghasilkan

empat

subtipe

Mycobacterium leprae dan mendalilkan rute penyebaran di seluruh dunia. 9 Karya


ini telah diperpanjang setelah empat urutan seluruh genom dari Brasil, India,
Thailand, dan Amerika Serikat dianalisis, yang ditemukan 201 polimorfisme

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

nukleotida tunggal dan 14 sisipan dasar single atau penghapusan yang


diidentifikasi.9 Analisis ini mengidentifikasi 16 single-nucleotide polymorphism
subtipe pada 400 isolasi.9 Tingkat rendah polimorfisme yang timbul dari empat
strain, dimana genom yang 99-99,5% identik, menunjukkan bahwa ada sedikit
variasi dalam Mycobacterium leprae.
Cara tersebut sudah mengklasifikasikan strain Mycobacterium leprae di
beberapa negara.11 Keterbatasan potensi metode ini adalah bahwa banyak lokus
harus dianalisis untuk mengklasifikasikan strain. Salah satu analisis yang
digunakan genotipe dari 475 strain M.leprae dan enam negara berbeda, pada
temuan tersebut menyimpulkan bahwa kebanyakan Mycobacterium leprae strain
membentuk kluster bersama-sama di negara-negara yang spesifik, dan bahwa
kehadiran temuan isolatif untuk kluster yang berbeda merupakan konsekuensi
dari adanya migrasi.11 Beberapa temuan itu sangat mengejutkan bahwa strain
India tampaknya berasal dari strain Filipina. Variable number tandem repeat dan
metode genotip polimorfisme nukleotida tunggal adalah cara yang terbaik untuk
menemukan temuan penelitian semacam ini. Analisis polimorfisme nukleotida
tunggal bisa menjadi lambat dan metode Variable number tandem repeat banyak
menemukan perbedaan-perbedaan dan sulit untuk digunakan sebagai analisis
epidemiologi selain menunjukkan adanya transmisi rantai pendek dalam
keluarga. Relapse langka terjadi pada kusta, terjadi dalam waktu kurang dari 1%
dari pasien dan sering muncul setelah 10 tahun atau lebih setelah pengobatan.
Alat penelitian berbasis molekuler ini tidak praktis untuk menilai apakah reaktivasi
infeksi atau infeksi baru terjadi. Meskipun begitu, cara ini bisa digunakan untuk
menyelidiki apakah hasil klinis, seperti eritema nodosum leprosum, berhubungan
dengan strain yang berbeda dan apakah strain Mycobacterium leprae
menginfeksi armadillo adalah sama seperti yang menginfeksi manusia.26,27 Teknik
molekuler mungkin juga memperjelas mekanisme di balik kelangsungan hidup,
ketahanan, dan patogenisitas Mycobacterium leprae.9,30-32
Penyakit Klinis
Infeksi M.leprae menyebabkan peradangan granulomatous kronis di kulit
dan saraf perifer. Jenis kusta pasien ditentukan oleh respon imun cell-mediated
mereka terhadap infeksi. Jenis penyakitnya dapat dikategorikan menurut

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

klasifikasi Ridley-Jopling,33 yang didasarkan pada jenis lesi kulit dan jumlah
bakteri dalam tubuh. Pasien dengan penyakit tuberkuloid memiliki respon imun
cell-mediated yang baik dan hanya ditemukan beberapa lesi tanpa mycobakteria
yang terdeteksi. Pasien dengan kusta lepromatosa memiliki sifat anergik
terhadap M.leprae dan ditemukan beberapa lesi dengan adanya mycobacteria.
Diantara dua klasifikasi ini adalah jenis kusta borderline, di mana pasien memiliki
beberapa sel respon imun cell-mediated, lesi multipel, dan kekebalan yang tidak
stabil.
WHO

telah

memperkenalkan

klasifikasi

yang

disederhanakan

menggunakan jumlah lesi kulit untuk mengklasifikasikan penyakit sebagai


paucibacillary (hingga sampai lima lesi) atau multibasiler (lebih dari lima lesi
kulit). Klasifikasi ini secara luas digunakan untuk membantu pengambilan
keputusan pengobatan. Perbandingan dari dua sistem klasifikasi ini menunjukkan
bahwa di India hingga 60% dari pasien dengan tuberkuloid borderline (pada
klasifikasi Ridley-Jopling) masuk dalam kelompok multibasiler WHO memiliki
hasil tes skin smear yang negatif. Pasien dengan karakter ini pada akhirnya
mendapat pengobatan yang berlebihan.34 Pentingnya menggunakan klasifikasi
yang lebih ketat di pusat-pusat rujukan dan untuk studi penelitian telah
ditekankan.35
Kerusakan saraf dapat terjadi sebelum, selama, dan setelah perawatan
dan dapat mengakibatkan cacat dan jangka panjang yang berhubungan dengan
stigma.36 Sebuah penelitian kohort di Ethiopia menunjukkan bahwa 47% dari 594
kasus baru ditemukan adanya gangguan fungsi saraf saat diagnosis dan 8%
memiliki kerusakan saraf baru-baru ini. Selain itu, 12% berkembang adanya
kerusakan saraf setelah dimulainya pengobatan, dan hanya 33% tidak memiliki
bukti klinis keterlibatan saraf kapanpun.37 Derajat kerusakan saraf pada diagnosis
menggambarkan penundaan antara timbulnya gejala dan diagnosis. Penundaan
seringkali berjangka tahunan, dan selama waktu ini neuropati dapat berkembang
hampir tanpa diketahui. Banyak saraf saat diagnosis sudah terjadi kecacatan dan
menjadi menetap.34,38,39
Peradangan terjadi dalam saraf disebabkan oleh antigen mikobakterium
yang mengaktifkan sifat merusak dari respon kekebalan tubuh yang dimediasi

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

oleh sel-sel CD4+ dan makrofag, dengan keterlibatan beberapa sitokin proinflamasi, seperti TNF-. Penanda perkembangan kerusakan neurologis belum
bias identifikasi.40 Pemahaman yang lebih baik dari respon imun pada kerusakan
saraf dapat mengidentifikasi pasien berisiko tinggi untuk pemantauan lebih ketat
dan intervensi dini dengan terapi yang ada, dan mengarahkan intervensi yang
diperlukan.38
Reaksi imun tipe 1 dan tipe 2 terjadi pada sekitar 30% pasien dengan
penyakit multibasiler selama dan setelah terapi multi-obat.41 Steroid adalah
pengobatan yang utama, tetapi pada kajian sistematis ditemukan hanya tiga uji
coba yang menunjukkan adanya kualitas yang memadai yang mendukung
strategi ini.42 Kajian berdasarkan bukti yang dilakukan oleh Federasi Internasional
Organisasi Anti-Kusta menemukan bahwa durasi optimal pengobatan steroid
tidak diketahui, meskipun beberapa data menunjukkan bahwa program yang
lebih lama menghasilkan hasil yang lebih baik, Terbukti bahwa pengobatan
selama 20 minggu menghasilkan hasil yang lebih baik daripada 12 minggu
pengobatan di salah satu studi.43 Tidak ada studi yang menggunakan pemberian
dosis per berat badan. Tingkat kekambuhan setelah terapi steroid adalah 2050%.44 Standarisasi alat diperlukan untuk mengukur hasil dan perbandingan studi
temuan. Obat lini kedua untuk pengobatan pasien yang tidak merespon
prednisolon juga diperlukan.45
Reaksi leprosum eritema nodosum terjadi di sekitar 50% dari pasien
dengan lepromatous leprosy.46 Episode peradangan sistemik ini mempengaruhi
kulit, saraf, mata, dan testis susah untuk dikendalikan.47 Reaksi dapat kambuh
selama beberapa tahun. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menyelidiki
patogenesis dan pengobatan eritema nodosum leprosum. Pada sebuah kajian
dijelaskan hanya ada tiga penelitian yang diterbitkan dalam 20 tahun.47
Perawatan saat ini termasuk steroid dan thalidomide, tetapi penelitian dilakukan
dengan divalidasi secara internasional dengan skala keparahan yang diperlukan
untuk mengidentifikasi regimen pengobatan terbaik.48 Di banyak negara
thalidomide tidak tersedia karena kekhawatiran yang berkaitan dengan potensi
teratogenik. Adanya sebuah jaringan penelitian internasional untuk memfasilitasi
studi tentang patogenesis dan peningkatan perawatan di pusat-pusat terkait akan

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

sangat diperlukan. Identifikasi terapi pengobatan efektif untuk wanita pasca


melahirkan ini sangat penting, karena mereka berada di sangat berisiko tinggi
reaksi, tetapi sering kurang terwakili pada studi.48
Adanya kesamaan antara TB dan kusta, di awal epidemic HIV-1
dikhawatirkan bahwa Infeksi HIV-1 akan meningkatkan risiko mengembangkan
kusta, terutama jenis kusta lepromatosa, atau pada orang yang terinfeksi
keduanya akan memiliki kusta yang sangat berat atau dengan prognosis buruk.
Meskipun data pada pasien terinfeksi HIV dan kusta jarang, tidak satupun ada
kekhawatiran yang telah dilaporkan.49 Dua studi Brasil memiliki menunjukkan
bahwa pasien yang menerima terapi antiretroviral lebih mungkin untuk
mengembangkan kusta tuberkuloid borderline daripada jenis lepra lainnya.50,51
Pada pasien yang terinfeksi HIV-1 yang memulai ART, kusta sudah dilaporkan
sebagai sindroma peradangan pemulihan kekebalan.52,53 Dalam review pada
kasus yang telah diterbitkan pada kusta yang menjadi sindroma ini, presentasi
penyakit dikelompokkan menurut waktunya baik sebagai unmasking atau sebagai
paradoks klinis memburuknya kusta yang ada sebelumnya : 12 (58%) yang
unmasking, dua (9%) adalah paradoks, dua (9%) yang terdiagnosis, dan lima
(24%) yang unmasking diikuti oleh pemulihan kekebalan.54
Pengobatan
WHO merekomendasikan terapi multi-obat dengan rifampisin dan dapson
untuk penyakit pausibasiler, atau dengan rifampisin, dapson, dan clofazimine
untuk pasien dengan penyakit multibasiler. Durasi yang direkomendasikan terapi
adalah 6 bulan untuk pasien dengan penyakit pausibasiler dan 12 bulan bagi
mereka dengan penyakit multibasiler, dan regimen ini akan secara efektif
memberantas M.leprae pada kebanyakan pasien. Laporan dari WHO Technical
Advisory Group on Leprosy Control pada tahun 2009 menyatakan dengan jelas
bahwa "dalam hal kesehatan masyarakat, adalah wajar untuk menyimpulkan
menjadi tidak menular setelah memulai terapi multidrug".6 Pengobatan yang lebih
lama mungkin diperlukan pada beberapa pasien dengan Indeks Bakteri yang
tinggi pada saat diagnosis untuk mencegah kambuh.6 Setidaknya satu uji coba
saat ini membandingkan jangka waktu pengobatan untuk lepra multibasiler.6

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

Orang dengan penyakit multibasiler lepromatosa merupakan sumber


utama dari M leprae, dan jika kambuh terjadi pada pasien ini transmisi penyakit
akan berlanjut. Bentuk penyakit ini sangat penting dari sudut pandang kesehatan
masyarakat. Tingkat kekambuhan setelah terapi multi-obat bervariasi, terutama
karena metode tindak lanjut dan definisi yang berbeda, tapi setidaknya di bawah
tiga kasus per 100 tahun, dan tampaknya sebagian besar lebih rendah dari dua
kasus per 100 orang-tahun. Faktor yang terkait dengan kekambuhan termasuk
penggunaan monoterapi, tidak memadai atau terapi yang tidak teratur, kurangnya
respon, kehadiran beberapa lesi kulit atau saraf menebal, dan tidak ada reaksi
terhadap test kulit lepromin.55
Diagnosis

yang

akurat

pada

kekambuhan

membutuhkan

klinis,

bakteriologis, dan bukti terapi; histopatologi dapat membantu tetapi sering tidak
secara rutin ada.55 Rekomendasi WHO saat ini adalah bahwa terapi mengulang
multi-obat dalam kasus terbukti kambuh.3 Kambuh dan reaksi kekebalan tubuh
tipe 1 bisa menyebabkan lesi kulit baru dan hilangnya fungsi saraf.
Resistensi obat belum menjadi masalah besar. Pasien yang diduga
menderita strain resisten dari M.leprae telah merespon kembali pengobatan
dengan rifampisin, dapson, dan clofazimine.3 Pengujian untuk ketahanan
melibatkan inokulasi pada telapak kaki tikus dengan jaringan pasien yang
diperoleh pada biopsi dan mengamati pertumbuhan M.leprae. Metode ini
sekarang dilengkapi dengan sekuensial DNA untuk mengidentifikasi mutasi gen
yang terkait dengan resistensi obat. Koding gen untuk ketahanan terhadap
rifampisin, ofloxacin, dan dapson telah teridentifikasi.6 Namun, kepentingan klinis
pada bakteri yang memiliki gen ketahanan tertentu masih belum diketahui.
Sebuah inisiatif pengawasan di seluruh dunia untuk menilai resistensi obat pada
kusta telah ditetapkan.6 WHO Technical Advisory Group telah mendorong
perluasan kerja di beberapa negara.6 Penelitian ini dan semacamnya perlu
didukung

dengan

baik,

karena

tidak

ada

obat

antibiotik

baru

dalam

pengembangan untuk mengobati kusta tetapi regimen pengobatan alternatif


diperlukan.

Peningkatan

kapasitas

untuk

skrining

obat,

kemoterapi

eksperimental, dan uji klinis juga diperlukan untuk mendapatkan kembali


pengetahuan pengobatan hilang dengan keberhasilan terapi multi-obat.

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

Diagnosis
Diagnosis yang terlambat, dapat memicu terjadinya penyebaran penyakit
dan kecacatan.15 Faktor-faktor yang memicu terjadinya diagnosis yang lambat
antara lain pasien menunda untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan
terambatnya penegakkan diagnosis oleh instansi pelayanan kesehatan. Alasan
dibalik penundaan pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sangatalah
beragam.56 Namun stigma negatif menjadi alasan an lazim terjadi di banyak
kasus.5 Di beberapa negara stigma ini dapat tumbh karena adanya perundangan
yang merugikan terhadap pasien kusta.5 Tindakan

lainnya juga berpengaruh

terhadap para penderita penyakit ini. Laporan dari Ethiopia dan Bangladesh,57,58
menunjukkan

bahwa

wanita

lebih

mengalami

keterlambatan

diagnosa

dibandingkan pria, sehingga pada wanita sering ditemukan kerusakan saraf dan
kecacatan yang lebih berat saat diagnosis ditegakkan.
Dengan desentralisasi dari pelayanan pengobatan dan monitoring serta
menurunnya

angka

kejadian,

mempertahankan

kompetensi

ahli

pada

penanganan terhadap kusta di daerah pinggiran merupakan tantangan yang


besar. Richardus dan Habbema59 berargumen bahwa untuk memusnahkan
penyakit menular, kita membutuhkan sebuah intervensi yang dapat menghambat
transmisis, alat diagnosis yang praktis engan sensitivitas dan spesifisitas yang
memadai, serta ketidakberdaannya resevoir. Dasar dari prinsip ini dapat dicapai
dengan penelitian yang mendalam di bidang epidemiologis dan mikrobiologis
untuk menemukan alat yang baik untuk mendeteksi infeksi, cara intervensi yang
baru seperti kemopofilaksis dan vaksinasi, semua hal ini haruslah segera
dikembangkan dan diimplementasikan.59
Tes serologis untuk mendeteksi infeksi dan memonitoring proses
pengobatan sudah menjadi fokus beberapa tahun terakhir. Tes sejenis, mungkin
juga berguna untuk mengidentifikasi kkontak, memonitor transmisi di komunitas
dan sebagai panduan dalam penanganan. Berbagai tes sudah tersedia,
meskipun tidak satupun yang cukup sensitif maupun spesifik untuk mendeteksi
kusta. Sekar60 mencatat bahwa telah terjadi peningkatan di beberapa tes
diagnosis imunologis. Pengembangan termasuk tes untuk antibodi ke PGL-1
(contoh, dipstik, ELISA, ML Flow Test); antigen tes kulit

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

yang baru, seperti

antigen M leprae suluble dan lipoarabinomannan, wall-associated proteins of M


leprae, serta fraksi-fraksinya. Tralnsalsi terhadap alat-alat yang berasal dari
penelitian dibidang diagosis imunologis terhadap tuberculosis, seperti protein
CFP-10 dan ESAT-6, serta M leprae antigen spesifik yang baru yang
teridentifikasi dari genome sequencing, termasuk overlap dari peptida pendek
yang berasal dariprotein rekombinan yang berbeda untuk mengidentifikasi sel B
spesifik dan sel T epitopes.60
Pencegahan
Kemoprofilaksis secara efektif mampu menurunkan angkan kejadian
kusta pada kontak di lingkungan rumah.61 Penggunaan cara ini secara umum
masih dalam tahap pembahasan. Dosis tunggal dari rifampicin mampu
mencegah perjalanan penyakit pada orang yang terinfeksi kusta, namun hanya
dalam pada kontak yang tridak dekat dengan jumlah bakteri yang sedikit. 61
Terdapat kekhawatian akan terjadinya resisten terhadap penggunaan terapi
tunggal, sehinga

pemberian

satu atau dua dosis dari rifampicin 600 mg,

ofloxacin 400 mg, dan minocyclne 100 mg haruslah dilakukan.5 Pemeberian


regimen ini sangat disarankan, namun akan memakan biaya yang jauh lebih
mahal. Tambahan pada kemoprofilaksis terhadap kontak dekat non-household
sangat sangatlah didukung oleh pendapat epidemiologis yang baik, namun
berbagai hambatan dapat menghalangi implementasi dari peraturan yang akan
ditegakkan. Sebagai contoh,

perhitungan terhadap indeks kasus kusta

membutuhkan identifikasi terhadap kontak, terutama di luar rumah, hal ini bisa
jadi tidak diinginkan oleh masyarakat maupun melanggar etik.61 Rekomendasi
terkini dari program Enhanced Global Strategy for Futher Reducing teh Disease
Burden due to Leprosy10 oleh WHO adalah untuk memeriksa kontak di rumah
pasien untuk mencari bukti dari kontak terhadap kusta, apabila tidak ditemukan
satupun bukti maka langkah selanjutnya adalah memberi tahu pasien akan
tanda-tanda awal dari kusta, serta harus mencari pelayanan kesehatan apabila
ditemukan tanda-tanda tersebut. Laporan terakhir dari Technical Advisory Group
on Leprosy Control6 oleh WHO merekomendasikan bahwa sebuah grup kerja
harus dibentuk untuk meninjau data-data mengenai kemoprofilaksis dan
memberikan pertimbangan-pertimbangan terhadap jalannya penelitian yang

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

menyasar pada pengembangan panduan yang sesuai untuk diimplementasikan


pada strategi pengendalian kusta di masa depan.
Vaksinasi BCG mampu memberi perlindungan terhadap berkembangnya
kusta pada orang dewasa, dan valsinasi BCG pada neonatus yang bertujuan
untuk mencegah tuberkulosis mungkin juga berkontribusi dalam penurunan
prevalensi kusta. BCG merupakan vaksin hidup sehingga pemberian terhapad
pasien dengan HIV harus sangat dihindari. Seperti halnya tuberkulosis, tingkatan
perlindungan oleh vaksinasi BCG terhadap perkembangan kusta berbeda di tiap
populasi, namun penyebeb dibalk variasi ini belum begitu dimengerti.2 Vaksinansi
BCG terhadap kontak terlihat bisa memberikan proteksi meskipun kontak telah
menerima vasinasi BCG pada saat neonatus.62,63 Waktu antara pemberian
vaksinasi dan kemoprofilaksis haruslah diperhitungakan dengan baik, karena
kemoprofilaksis dapat membunuh BCG.
Penelitian terhadap vaksin protein subunit yang moderen telah terfasilitasi
oleh sequencing dan M leprae, meskipun masih kurang maju dibandingkan
dengan vaksin tuberkulosis. Alasan utama dari proses penelitian yang lambat
adalah karena efisiensi biaya, dimana kasus kusta lebih jarang dari tuberkulosis
dan angka kejadiannya telah menururn. Sebagai tambahan, berbeda dengan
tuberkulosis, pada kusta tidak ditemukan adanya hewan coba yang sesuai,
dimana patogenesis dari tikus bersifat atipikal, dan penggunaan armadilos untuk
pengujian vaksin kurang praktis.64,65 Jika vaksin tuberkulosis yang lebih spesifik
bertujuan untuk mengganti BCG daripada memperkuatnya, maka proteksi
terhadap kusta yang diberikan oleh BCG akan hilang. Pengembangan terhadap
vaksi kusta yang telah terimprovisasi, ataupun eksplorasi terhadap kemungkinan
dari penambahan proteksi terhadap kusta pada berbagai vaksin tuberkulosis
yang baru dan lain sebagainya haruslah segera dilaksanakan. Penemuan selama
pengembangan dari vaksin anti tuberkulosis sedikit tidaknya menaruh harapan
pada mekanisme imunitas terhadap mycobacteria dan bisa membantu pencarian
terhadap vaksin kusta yang baru.64
Kesimpulan

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

Prioritas penelitian thadap kusta mampu mencakup area yang luas, mulai
dari sains dasar hingga pelayanan kesehatan. Pengertian yang lebih mendalam
sangat dibutuhkan baik dibidak epidemiologi, seperti transmisi penyakit, peranan
dari armadillo, dan kontribusi relatif dari transmisi dan reinfeksi hingga segala
permasalahan yang menyertai penyakit ini, serta patogenesis dari kerusakan
saraf. Alat yang efektif harus dikembangkan untuk deteksi dini pada infeksi,
point-of-contact diagnosis, memprediksi kerusakn saraf, dan menggolongkan
kecacatan. Regimen pengobatan baru terhadap kusta dan reaksi kusta harus
segera dikembangkan dan diuji. Akhirnya, metide efektif untuk monitoring
resistensi obat harus segera diimplementasikan. Untuk pencegahan dan
penelitian pada pelayanan kesehatan, pengembangan vaksin baru atau
penggabungan dari komponen kusta pada vaksin anti tuberkulosis yang baru
sangatlah krusial. Strategi pemberian kemoprofilaksis terhadapn kontak harus
ditinjau, terhambatnya diagnosis, diskriminasi, dan stigma harus segera
dikurangi.

Refrensi
1 United Nations Enable. The Millennium Development Goals (MDGs) and Disability.
2009. http://www.un.org/disabilities/ default.asp?id=1470 (accessed Jan 25, 2010).
2 Merle CS, Cunha SS, Rodrigues LC. BCG vaccination and leprosy protection: review of
current evidence and status of BCG in leprosy control. Expert Rev Vaccines 2010; 9:
20922.
3 WHO. Enhanced global strategy for further reducing the disease burden due to leprosy
(plan period: 20112015). New Delhi: World Health Organization Regional Oce for
South-East Asia, 2008.
4 Hatta M, van Beers SM, Madjid B, Djumadi A, de Wit MY, Klatser PR. Distribution and
persistence of Mycobacterium leprae nasal carriage among a population in which
leprosy is endemic in Indonesia. Trans R Soc Trop Med Hyg 1995; 89: 38185.
5

Senior K. Stigma, chemoprophylaxis, and leprosy control.

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

Lancet Infect Dis 2009; 9: 10.


6 WHO Technical Advisory Group on Leprosy Control. Report of the Tenth Meeting of the
WHO Technical Advisory Group on Leprosy Control. New Delhi: World Health
Organization Regional Oce for South-East Asia, 2009.
7 Arungiri S, et al. Detection of mutations in folp1, rpoB and gyrA genes of M. leprae by
PCR- direct sequencinga rapid tool for screening drug resistance in leprosy. Lepr Rev
(in press).
8 Moet FJ, Meima A, Oskam L, Richardus JH. Risk factors for the development of clinical
leprosy among contacts, and their relevance for targeted interventions. Lepr Rev 2004; 75:
31026.
9 Monot M, Honore N, Garnier T, et al. Comparative genomic and phylogeographic
analysis of Mycobacterium leprae. Nat Genet 2009; 41: 128289.
10 Zhang FR, Huang W, Chen SM, et al. Genomewide association study of leprosy. N Engl
J Med 2009; 361: 260918.
11 Gillis T, Vissa V, Matsuoka M, et al. Characterisation of short tandem repeats for
genotyping Mycobacterium leprae. Lepr Rev 2009; 80: 25060.
12 Scollard DM, Adams LB, Gillis TP, Krahenbuhl JL, Truman RW, Williams DL. The
continuing challenges of leprosy.Clin Microbiol Rev 2006; 19: 33881.
13 Feasey N, Wansbrough-Jones M, Mabey DC, Solomon AW. Neglected tropical diseases.
Br Med Bull 2010; 93: 179200.
14 World Health Assembly. World Health Assembly resolution 1991. http://www.who.int/lep
/strategy/wha/en/index.html (accessed Jan 25, 2010).
15 Burki T. Old problems still mar ght against ancient disease. Lancet 2009; 373: 28788.
16 UN. We can end poverty 2015: Millennium Development Goals. http://www.un.org
/millenniumgoals (accessed Jan 25, 2010)
17 UN Enable. Convention on the rights of persons with disabilities.http://www.un.
org/disabilities/default.asp?id=150 (accessed Jan 25, 2010).

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

18 Human Rights Council. Resolution 8/13: elimination of discrimination against persons


aected by leprosy and their family members.http://ap.ohchr.org/documents/
E/HRC/resolutions/A_ HRC_RES_8_13.pdf (accessed Jan 25, 2010).
19 The Leprosy Mission Ireland. The Millennium Development Goals (MDGs): unrealistic and
unattainable because MDG implementation policies advance the interests of the rich world at
the expense of the poor? http://www.leprosymission.ie/media/8986_
MDGreportPublishedAug09.pdf (accessed Jan 25, 2010).
20 Anon. Global leprosy situation, beginning of 2008. Wkly Epidemiol Rec 2008; 83: 293
300.
21 Anon. Global leprosy situation, 2009. Wkly Epidemiol Rec 2009; 84: 33340.
22 WHO. Weekly epidemiological record. http://www.who.int/wer/en/ (accessed April 12, 2011).
23 RIPSA. http://tabnet.datasus.gov.br/cgi/deftohtm.exe?idb2006/d09. def (accessed April 28,
2011).
24 Anon. Global leprosy situation, 2008 (additional information). Wkly Epidemiol Rec
2008; 83: 459.
25 Van Brakel WH, Ocer A. Approaches and tools for measuring disability in low and
middle-income countries. Lepr Rev 2008; 79: 5064.
26 Truman, RW, Singh P, Sharma R, et al. Probable zoonotic leprosy in the southern United
States. N Engl J Med 2011; 364: 162633.
27 Truman RW, Fine PEM. Environmental sources of Mycobacterium leprae: issues and
evidence. Lepr Rev 2010; 81: 8995.
28 Job CK, Jayakumar J, Kearney M, Gillis TP. Transmission of leprosy: a study of skin
and nasal secretions of household contacts of leprosy patients using PCR. Am J Trop
Med Hyg 2008; 78: 51821.
29 Cole ST, Supply P, Honore N. Repetitive sequences in Mycobacterium leprae and
their impact on genome plasticity. Lepr Rev 2001; 72: 44961.

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

30 Gomez-Valero L, Rocha EP, Latorre A, Silva FJ. Reconstructing the ancestor of


Mycobacterium leprae: the dynamics of gene loss and genome reduction. Genome
Res 2007; 17: 117885.
31

Katoch VM, Lavania M, Chauhan DS, Sharma R, Hirawati Katoch K. Recent


advances in molecular biology of leprosy. Indian J Lepr 2007; 79: 15166.

32 Matsuoka M, Gonzalez AV, Estrada I, Carreno-Martinez C, Fafutis-Morris M. Various


genotypes of Mycobacterium leprae from Mexico reveal distinct geographic distribution.
Lepr Rev 2009; 80: 32226.
33 Ridley DS, Jopling WH. A classication of leprosy for research purposes. Lepr Rev
1962; 33: 11928.
34

Van Brakel WH, Nicholls PG, Das L, et al. The INFIR Cohort Study: assessment of
sensory and motor neuropathy in leprosy at baseline. Lepr Rev 2005; 76: 27795.

35 Lockwood DN, Sarno E, Smith WC. Classifying leprosy patientssearching for the perfect
solution? Lepr Rev 2007; 78: 31720.
36 Boku N, Lockwood DN, Balagon MV, et al. Impacts of the diagnosis of leprosy and of
visible impairments amongst people aected by leprosy in Cebu, the Philippines. Lepr
Rev 2010; 81: 11120.
37 Saunderson P. The epidemiology of reactions and nerve damage.Lepr Rev 2000; 71:
S10610.
38 Khambati FA, Shetty VP, Ghate SD, Capadia GD. Sensitivity and specicity of nerve
palpation, monolament testing and voluntary muscle testing in detecting peripheral
nerve abnormality, using nerve conduction studies as gold standard; a study in 357
patients. Lepr Rev 2009; 80: 3450.
39 Smith WC, Nicholls PG, Das L, et al. Predicting neuropathy and reactions in leprosy at
diagnosis and before incident eventsresults from the INFIR cohort study. PLoS Negl
Trop Dis 2009; 3: e500.
40 The Lancet Neurology. Leprosy as a neurological disease. Lancet Neurol 2009; 8: 217.

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

41 Walker SL, Nicholls PG, Dhakal S, Hawksworth RA, Mahat K, Lockwood DNJ. A phase
two randomised controlled double blind trial of high dose intravenous methylprednisolone
and oral prednisolone versus intravenous Normal saline and oral prednisolone in
individuals with leprosy Type 1 reactions and/or nerve function impairment. PLOS Negl
Trop Dis 2011; 5: e1041.
42 Van Veen NH, Nicholls PG, Smith WC, Richardus JH. Corticosteroids for treating
nerve damage in leprosy. A Cochrane review. Lepr Rev 2008; 79: 36171.
43 Rao PS, Sugamaran DS, Richard J, Smith WC. Multi-centre, double blind, randomized
trial of three steroid regimens in the treatment of type-1 reactions in leprosy. Lepr Rev
2006; 77: 2533.
44 Van Brakel W, Cross H, Deepak S, et al; ILEP Technical Commission.Review of leprosy
research evidence (20022009) and implications for current policy and practice. Lepr Rev
2010; 81: 22875.
45 Van Brakel WH, Saunderson P, Shetty V, et al. International workshop on
neuropathology in leprosyconsensus report. Lepr Rev 2007; 78: 41633.
46 Pocaterra L, Jain S, Reddy R, et al. Clinical course of erythema nodosum leprosum:
an 11-year cohort study in Hyderabad, India. Am J Trop Med Hyg 2006; 74: 86879.
47 Van Veen NHJ, Lockwood DNJ, van Brakel WH, Ramirez JJ, Richardus JH.
Interventions for erythema nodosum leprosum. Cochrane Database Syst Rev 2009;
3: CD006949.
48 Walker SL, Waters MF, Lockwood DN. The role of thalidomide in the management of
erythema nodosum leprosum. Lepr Rev 2007; 78: 197215.
49 Ustianowski AP, Lawn SD, Lockwood DN. Interactions between HIV infection and
leprosy: a paradox. Lancet Infect Dis 2006; 6: 35060.
50 Sarno EN, Illarramendi X, Nery JA, et al. HIV-M. leprae interaction: can HAART
modify the course of leprosy? Public Health Rep 2008; 123: 20612.

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

51 Talhari C, Mira MT, Massone C, et al. Leprosy and HIV coinfection: a clinical,
pathological, immunological, and therapeutic study of a cohort from a Brazilian referral
center for infectious diseases. J Infect Dis 2010; 202: 34554.
52

Lawn SD, Wood C, Lockwood DN. Borderline tuberculoid leprosy: an immune


reconstitution phenomenon in a human immunodeciency virus-infected person. Clin
Infect Dis 2003; 36: e56.

53 Deps PD, Lockwood DN. Leprosy occurring as immune reconstitutionsyndrome.


Trans R Soc Trop Med Hyg 2008; 102: 96668.
54 Deps P, Lockwood DN. Leprosy presenting as immune reconstitution inammatory
syndrome: proposed denitions and classication. Lepr Rev 2010; 81: 5968.
55 Kaimal S, Thappa DM. Relapse in leprosy. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2009;
75: 12635.
56 Nicholls PG, Ross L, Smith WC. Promoting early detection in leprosya literature
review to identify proven and potential interventions addressing patient-related delay.
Lepr Rev 2006; 77: 298310.
57 Meima A, Saunderson PR, Gebre S, Desta K, van Oortmarssen GJ, Habbema JD.
Factors associated with impairments in new leprosy patients: the AMFES cohort. Lepr
Rev 1999; 70: 189203.
58 Richardus JH, Meima A, Croft RP, Habbema JD. Case detection, gender and disability
in leprosy in Bangladesh: a trend analysis. Lepr Rev 1999; 70: 16073.
59 Richardus JH, Habbema JD. The impact of leprosy control on the transmission of M.
leprae: is elimination being attained? Lepr Rev 2007; 78: 33037.
60 Sekar B. Recent advances in immunodiagnosis of leprosy.Indian J Lepr 2007; 79: 85106.
61 Moet FJ, Pahan D, Oskam L, Richardus JH. Eectiveness of single dose rifampicin in
preventing leprosy in close contacts of patients with newly diagnosed leprosy: cluster
randomised controlled trial. BMJ 2008; 336: 76164.

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

62 Schuring RP, Richardus JH, Pahan D, Oskam L. Protective eect of the combination
BCG vaccination and rifampicin prophylaxis in leprosy prevention. Vaccine 2009; 27:
712528.
63 Duppre NC, Camacho LA, da Cunha SS, et al. Eectiveness of BCG vaccination among
leprosy contacts: a cohort study. Trans R Soc Trop Med Hyg 2008; 102: 63138.
64 Gillis T. Is there a role for a vaccine in leprosy control? Lepr Rev 2007; 78: 33842.
65 Raman VS, ODonnell J, Bailor HR, et al. Vaccination with the ML0276 antigen reduces
local inammation but not bacterial burden during experimental Mycobacterium
leprae infection. Infect Immun 2009; 77: 562330.

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

Tugas Jurnal Kelompok:


Rizqi Amandra
Dewa Gede Sudiatmika

Arief Rachmansyah
Akbar Fitrahadi

Anda mungkin juga menyukai