Anda di halaman 1dari 40

Makalah Tutorial

Kasus IV
(Demam Tyfoid dan Disentri)

Dosen : dr. Wahyu Karno


Disusun Oleh : TUTORIAL A2
Gesti Chairunisa
Gani Rahmani H
Imam Muhammad R
Hasna Ibadurrahmi
Fadel Abima
Maya Sari Lanita
M. Ikram Hikmatyar
Indah Putri Permata
Bagus Indah Wicaksana
Maharani Falerisya N
Sonia Basaria Sagala

1210211039
1210211058
1210211059
1210211065
1210211066
1210211082
1210211097
1210211140
1210211195
1210211203
1210211205

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
Tahun Ajaran 2015/2016

PAGE 1
Anda sedang bekerja shift malam di UGD sebuah RS. Datang 2 orang pasien
disaat yang hamper bersamaan. Pasien pertama Tn Dodo 24 tahun, datang dengan

keluhan demam sejak 8 hari yang lalu. Demam yang dirasakan naik turun. Naik pada sore
dan malam hari serta cenderung turun pada pagi hari. Demam tersebut makin lama makin
meninggi tanpa rasa menggigil. Keluhan juga disertai oleh sakit kepala. Selain demam
pasien mengeluh mual dan muntah yang berisi makanan yang baru dimakannya.
Sehingga pasien tidak nafsu makan. Pasien juga mengeluh nyeri di ulu hati dan perutnya
kembung. Semenjak sakit, BAB pasien mencret, konsistensi lembek dengan frekuensi 3x
sehari. Biasanya pasien BAB sekali sehari setiap hari. BAK normal. Pasien adalah
seorang mahasiswa yang kost dekat kampusnya. Setiap hari makan di warung sebelah
kost tempat tinggalnya tersebut.
Keluhan pasien tidak disertai bintik-bintik merah di badan maupun tangan dan
kaki. Riwayat luka tidak ada. Riwayat batuk, pilek, dan sakit tenggorokan tidak ada.
Keluhan sesak tidak ada. Keluhan penurunan kesadaran dan kejang tidak ada. Keluhan
bengkak dikedua tungkai bawah tidak ada. Pasien belum berobat ke dokter dan hanya
minum obat penurun panas serta obat maag yang dibelinya dari apotik.
7 mneit setelah pasien pertama datang pasien kedua yaitu Tn Asep mengeluh BAB
cair dengan frekuensi 8-10x/hari sejak 2 hari sebelum masuk RS. BAB cair tersebut
disertai darah dan lender, dengan jumlah feses cair lebih sedikit disbanding darah dan
lendirnya. Keluhan juga disertai mual dan muntah, dimana muntah 2x/hari berisi sisa
makanan. Selain kleuhan tersebut pasien merasakan nyeri perut terutama di bagian bawah
dan tenesmus. Keluhan BAB cair seperti air cucian beras disangkal. BAK pasien sedikit.
Keluhan batuk dan pilek sebelum diare disangkal. Pekerjaan pasien adalah tukang
penggangkut sampah dari rumah ke rumah. Pasien terbiasa makan tanpa menggunakan
sendok dan garpu. Terkadang lupa mencuci tangan sebelum makan. Pasien tidak makan
daging dan tidak minum susu. Pasien biasa minum air dari tempat minum yang
dibawakan oleh istrinya. Air tersebut dimasak dirumah hingga mendidih. Pasien tinggal
di sebuah rumah petak uuran 4x6 m2 bersama 6 orang anggota keluarganya. Dalam
keluarga salah seorang anaknya menderita penyakit yang sama. Untuk keluhannya
tersebut pasien belum pernah berobat ataupun mengobati sendiri peyakitnya.

PAGE 2
Tn Dodo
Pemeriksaan Fisik

Keadaaan umum: tampak sakit sedang, Kesadaran: Kompos mentis


BB: 59 TB:163cm
Tanda vital: T:110/80mmHg ; N:96x/menit regular equal isi cukup ; RR:20x/menit ; S:38
C
Kepala: konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
Leher: KGB tidak membesar
Faring dan tonsil DBN
Lidah: Coated tongue dengan tepi hiperemis dan tremor
Thorax: Pulmo, Cor DBN
Abdomen:

Datar,supel

Nyeri tekan (+) region epigastrium

Hepar teraba 2 jari bawah arcus costae dgn konsistensi kenyal, permukaan rata,
tepi tajam, nyeri tekan (-) ; Lien teraba di Schuffner I, nyeri tekan (-)

Bising usus (+) normal

Ekstremitas:

Petekie (-)

Edema -/- ; Sianosis -/- ; Akral hangat

Sedangkan pemeriksaan fisik pada Tn Asep didapatkan hasil:


Keadaan umum: Kesadaran CM, tampak sakit sedang
Tanda vital:

T:90/60 mmHg

N: 98x/menit

RR: 24x/menit

S:37,8 C

Kepala: Konjungtiva agk anemis, sclera tidak ikterik, mata agak sekung, mukosa mulut
dan lidah agak kering
Leher: KGB tidak teraba membesar
Thoraks: Bentuk dan gerak simetris, Pulmo dan Cor DBN
Abdomen:

Datar, lembut, NT (+) a/r umbilicalis et inguinal sinistra

Bising usus meningkat

Hepar dan lien tidak teraba

Turgor kulit kembali agak lambat

Ekstremitas : Akral hangat, CTR <2 detik

PAGE 3
Pemeriksaan Penunjang
Tn Dodo
HB: 14 gr%
Leukosit: 3500
Trombosit: 189.000
Hitung jenis: -/-/1/89/10/ LED: jam I 10mm/jam | Jam II 15mm/jam
GDS: 94
SGOT: 88

SGPT: 70

Ureum: 45

Kreatinin: 0,8

Urinalisa: DBN
Pemeriksaan Serologi Widal
Titer Aglutinin
Typhi
Parathypi A
Parathypi B
Parathypi C
Tubex TF (+)
Gal Culture (+)
Tn Asep
Darah:

Hb: 12,0 g/dl

Leukosit: 13.000 sel/mm3

Trombosit: 400.000

HT: 45%

Hitung Jenis: 0/5/20/53/21/1

Elektrolit:

Na : 128 mEq/L

K: 2,5 mEq/L

Cl: 95 mmol/l

HCO3: 25 mmol/L

O
1/640
(-)
(-)
(-)

H
1/640
(-)
(-)
(-)

Feses:

Warna: Kuning bercampur darah

Bau: indol skatol

Eritrosit (+)

Konsistensi cair

Leukosit: >5/LPB

Lendir (+)

Telur Cacing (-)

Darah (+)

Trofozoit (-)

DEMAM TIFOID
Penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan.
EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid muncul di seluruh dunia, khusunya di Negara berkembang dengan
sanitasi buruk.
Demam tifoid endemic di Asia, Africa, Amerika Latin, Kep. Carribean, dan
Oceania, tapi 80% kasus berasal dari Bangladesh, Cina, Indonesia, Laos, Nepal, Pakistan,
dan Vietnam.
Kasus terbanyak meliputi usia sekolah dan dewasa muda.
ETIOLOGI
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Dapat hidup sampai beberapa
minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Mati dengan pemanasan
(suhu 60OC) selama 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan, dan khlorinisasi. Salmonella
typhi mempunyai 3 macam antigen: Ag O (somatic), Ag H(flagel), Ag Vi (kapsul).
MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut,
batuk dan epistaksis.
Pada pemeriksaan fisik hanya di dapatkan suhu meningkat. Sifat demam adalah
meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam.
Pada minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia
relative (peningkatan suhu 1OC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit),
lidah berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegaly,
splenomegaly, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium,
atau psikosis.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Uji Widal
- Reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibody yang disebut
-

agglutinin.
Tujuannya adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum pasien

tersangka demam tifoid.


- Hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid.
Uji TUBEX
- Mendeteksi antibody anti-S.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara
menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex
-

walau tidak secara spesifik menunjuk pada S. typhi.


Uji Typhidot
- Dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein membrane
-

yang berwarna dengan lipopolisakarida.


Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup D

luar Salmonella typhi.


Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat

mengindetifikasi secara spesifik antibody IgM dan IgG terhadap antigen S. typhi.
Uji IgM Dipstick
- Mendeteksi secara khusus antibody IgM spesifik terhadap S. typhi pada specimen
serum atau whole blood.
Kultur Darah
- Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid.
- Kultur darah masih menjadi standar baku dalam penegakkan diagnostic.

KOMPLIKASI

Intestinal
- Perdarahan Intestinal
- Perforasi Usus
Ekstraintestinal
- Komplikasi hematologi
- Hepatitis tifosa
- Pankreatitis tifosa
- Miokarditis
- Manifestasi neuropsikiatrik/Tifoid Toksik

PENATALAKSANAAN

Istirahat dan perawatan


- Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah komplikasi.
Diet dan terapi penunjang
Pemberian antimikroba
- Kloramfenikol. Dosis 4x500 mg/hari diberikan secara per oral atau intravena
selama 7 hari bebas panas.

Tiamfenikol. Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama
dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi anemia aplastic lebih rendah

dibandingkan dengan kloramfenikol.


Klotrimoksazol. Efektivitas obat ini hamper sama dengan kloramfenikol. Dosis
untuk orang dewasa adalah 2x2 tablet (1 tab mengandung sulfametoksazol 400

selama jam perinfus sekali sehari, diberikan selam 3-5 hari.


- Azitromisin . Dosis 2x500 mg
Kombinasi Obat Antimikroba
- Lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja antara lain toksik tifoid,
-

mg dan 80 mg trimethoprim) diberikan selama 2 minggu.


Ampisilin dan amoksisilin. Dosis 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu.
Sefalosporin Generasi Ketiga. Dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan

peritonitis atau perforasi, serta syok septik.


Kortikosteroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang

mengalami syok septik. Dosis 3x5 mg.


Pengobatan Demam Tifoid pada Wanita Hamil
- Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson.

PENCEGAHAN DEMAM TIFOID

Preventif dan control penularan


- Identifikasi dan eradikasi S. typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karies, dan akut.
- Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S. typhi akut maupun
karier.
- Proteksi pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi.
Vaksinasi

DISENTRI
Definisi
Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron (usus),
yang berarti radang usus yang menimbulkan gejala meluas dengan gejala buang air
besar dengan tinja berdarah, diare encer dengan volume sedikit, buang air besar dengan
tinja bercampur lender (mucus) dan nyeri saat buang air besar (tenesmus).
Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit perut
dan buang air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang bercampur lendir dan
darah.
Disentri merupakan suatu infeksi yang menimbulkan luka yang menyebabkan
tukak terbatas di colon yang ditandai dengan gejala khas yang disebut sebagai sindroma
disentri, yakni: 1) sakit di perut yang sering disertai dengan tenesmus, 2) berak-berak,

dan 3) tinja mengandung darah dan lendir.

Epidemiologi
Di Amerika Serikat, insidensi penyakit ini rendah. Setiap tahunnya kurang dari 500.000
kasus yang dilaporkan ke Centers for Disease Control (CDC). Di Bagian Penyakit
Dalam RSUP Palembang selama 3 tahun (1990-1992) tercatat di catatan medis, dari
748 kasus yang dirawat karena diare ada 16 kasus yang disebabkan oleh disentri
basiler. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit di Indonesia
dari Juni 1998 sampai dengan Nopember 1999, dari 3848 orang penderita diare berat,
ditemukan 5% shigella.
Prevalensi amebiasis sangat bervariasi, diperkirakan 10 persen populasi terinfeksi.
Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia merupakan host dan reservoir
utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja ke makanan dan minuman, dengan
perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal, atau lewat hubungan seksual anal-oral.
Sanitasi lingkungan yang jelek, penduduk yang padat dan kurangnya sanitasi individual
mempermudah penularannya

Etiologi
Etiologi dari disentri ada 2, yaitu :
Disentri basiler, disebabkan oleh Shigella,sp.
Shigella adalah basil non motil, gram negatif, famili enterobacteriaceae. Ada 4 spesies
Shigella, yaitu S.dysentriae, S.flexneri, S.bondii dan S.sonnei. Terdapat 43 serotipe O
dari shigella. S.sonnei adalah satu-satunya yang mempunyai serotipe tunggal. Karena
kekebalan tubuh yang didapat bersifat serotipe spesifik, maka seseorang dapat terinfeksi
beberapa kali oleh tipe yang berbeda. Genus ini memiliki kemampuan menginvasi sel
epitel intestinal dan menyebabkan infeksi dalam jumlah 102-103 organisme. Penyakit
ini kadang-kadang bersifat ringan dan kadang-kadang berat. Suatu keadaan lingkungan
yang jelek akan

menyebabkan

mudahnya

penularan

penyakit.

Secara

klinis

mempunyai tanda-tanda berupa diare, adanya lendir dan darah dalam tinja, perut terasa
sakit dan tenesmus.
Amoeba (Disentri amoeba), disebabkan Entamoeba hystolitica.
E.histolytica merupakan protozoa usus, sering hidup sebagai mikroorganisme
komensal (apatogen) di usus besar manusia. Apabila kondisi mengijinkan dapat berubah
menjadi patogen dengan cara membentuk koloni di dinding usus dan menembus dinding
usus sehingga menimbulkan ulserasi. Siklus hidup amoeba ada 2 bentuk, yaitu bentuk
trofozoit yang dapat bergerak dan bentuk kista.
Bentuk trofozoit ada 2 macam, yaitu trofozoit komensal (berukuran < 10 mm)
dan trofozoit patogen (berukuran > 10 mm). Trofozoit komensal dapat dijumpai di
lumen usus tanpa menyebabkan gejala penyakit. Bila pasien mengalami diare, maka
trofozoit akan keluar bersama tinja. Sementara trofozoit patogen yang dapat dijumpai di
lumen dan dinding usus (intraintestinal) maupun luar usus (ekstraintestinal) dapat
mengakibatkan gejala disentri. Diameternya lebih besar dari trofozoit komensal (dapat
sampai 50 mm) dan mengandung beberapa eritrosit di dalamnya. Hal ini dikarenakan
trofozoit patogen sering menelan eritrosit (haematophagous trophozoite). Bentuk
trofozoit ini bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala penyakit namun cepat mati
apabila berada di luar tubuh manusia.

Bentuk kista juga ada 2 macam, yaitu kista muda dan kista dewasa. Bentuk kista
hanya dijumpai di lumen usus. Bentuk kista bertanggung jawab terhadap terjadinya
penularan penyakit dan dapat hidup lama di luar tubuh manusia serta tahan terhadap
asam lambung dan kadar klor standard di dalam sistem air minum. Diduga kekeringan
akibat penyerapan air di sepanjang usus besar menyebabkan trofozoit berubah menjadi
kista.
Patogenesis dan Patofisiologi
a. Disentri basiler
Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu
keadaan yang ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak,
disertai eksudat inflamasi yang mengandung leukosit polymorfonuclear (PMN)
dan darah.
Kuman Shigella secara genetik bertahan terhadap pH yang rendah, maka
dapat melewati barrier asam lambung. Ditularkan secara oral melalui air,
makanan, dan lalat yang tercemar oleh ekskreta pasien. Setelah melewati
lambung dan usus halus, kuman ini menginvasi sel epitel mukosa kolon dan
berkembang biak didalamnya.
Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum
terminalis dapat juga terserang. Kelainan yang terberat biasanya di daerah
sigmoid, sedang pada ilium hanya hiperemik saja. Pada keadaan akut dan fatal
ditemukan mukosa usus hiperemik, lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi
biasanya tanpa ulkus. Pada keadaan subakut terbentuk ulkus pada daerah folikel
limfoid, dan pada selaput lendir lipatan transversum didapatkan ulkus yang
dangkal dan kecil, tepi ulkus menebal dan infiltrat tetapi tidak berbentuk ulkus
bergaung.

S.dysentriae, S.flexeneri, dan S.sonei menghasilkan eksotoksin antara


lain ShET1, ShET2, dan toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik,
sitotoksik, dan neurotoksik. Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor
virulen sehingga kuman lebih mampu menginvasi sel eptitel mukosa kolon dan
menyebabkan kelainan pada selaput lendir yang mempunyai warna hijau yang
khas. Pada infeksi yang menahun akan terbentuk selaput yang tebalnya sampai
1,5 cm sehingga dinding usus menjadi kaku, tidak rata dan lumen usus
mengecil. Dapat terjadi perlekatan dengan peritoneum.
b. Disentri Amuba
Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di lumen usus besar
dapat berubah menjadi patogen sehingga dapat menembus mukosa usus dan
menimbulkan ulkus. Akan tetapi faktor yang menyebabkan perubahan ini
sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Diduga baik faktor kerentanan
tubuh pasien, sifat keganasan (virulensi) amoeba, maupun lingkungannya
mempunyai peran.
Amoeba yang ganas dapat memproduksi enzim fosfoglukomutase dan
lisozim yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding usus.
Bentuk ulkus amoeba sangat khas yaitu di lapisan mukosa berbentuk kecil, tetapi
di lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung). Akibatnya terjadi
ulkus di permukaan mukosa usus menonjol dan hanya terjadi reaksi radang yang
minimal. Mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal. Ulkus dapat terjadi di
semua bagian usus besar, tetapi berdasarkan frekuensi dan urut-urutan tempatnya
adalah sekum, kolon asenden, rektum, sigmoid, apendiks dan ileum terminalis.

Gejala Klinis
a. Disentri Basiler
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Lama gejala rerata 7
hari sampai 4 minggu. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, diare
disertai demam yang mencapai 400C. Selanjutnya diare berkurang tetapi tinja
masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun.
Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang sampai
yang berat. Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti
pengeluaran tinja sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Bentuk yang
berat (fulminating cases) biasanya disebabkan oleh S. dysentriae. Gejalanya
timbul mendadak dan berat, berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air dengan
lendir dan darah, muntah-muntah, suhu badan subnormal, cepat terjadi
dehidrasi, renjatan septik dan dapat meninggal bila tidak cepat ditolong.
Akibatnya timbul rasa haus, kulit kering dan dingin, turgor kulit berkurang
karena dehidrasi. Muka menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas dingin dan
viskositas darah meningkat (hemokonsentrasi). Kadang-kadang gejalanya tidak
khas, dapat berupa seperti gejala kolera atau keracunan makanan.
Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria dan
koma uremik. Angka kematian bergantung pada keadaan dan tindakan
pengobatan. Angka ini bertambah pada keadaan malnutrisi dan keadaan darurat
misalnya kelaparan. Perkembangan penyakit ini selanjutnya dapat membaik
secara perlahan-lahan tetapi memerlukan waktu penyembuhan yang lama.
Pada kasus yang sedang keluhan dan gejalanya bervariasi, tinja

biasanya

lebih berbentuk, mungkin dapat mengandung sedikit darah/lendir. Sedangkan


pada kasus yang ringan, keluhan/gejala tersebut di atas lebih ringan. Berbeda
dengan kasus yang menahun, terdapat serangan seperti kasus akut secara
menahun. Kejadian ini jarang sekali bila mendapat pengobatan yang baik.

b. Disentri Amuba
Carrier (Cyst Passer)
Pasien ini tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini
disebabkan karena amoeba yang berada dalam lumen usus besar tidak
mengadakan invasi ke dinding usus.
Disentri amoeba ringan
Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. Penderita biasanya
mengeluh perut kembung, kadang nyeri perut ringan yang bersifat kejang.
Dapat timbul diare ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau busuk. Kadang
juga tinja bercampur darah dan lendir. Terdapat sedikit nyeri tekan di daerah
sigmoid, jarang nyeri di daerah epigastrium. Keadaan tersebut bergantung pada
lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya baik, tanpa atau sedikit
demam ringan (subfebris). Kadang dijumpai hepatomegali yang tidak atau
sedikit nyeri tekan.
Disentri amoeba sedang
Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berta dibanding disentri ringan, tetapi
pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Tinja biasanya disertai lendir
dan darah. Pasien mengeluh perut kram, demam dan lemah badan disertai
hepatomegali yang nyeri ringan.
Disentri amoeba berat
Keluhan dan gejala klinis lebih berta lagi. Penderita mengalami diare
disertai darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari. Demam tinggi (40 0C40,50C) disertai mual dan anemia.

Disentri amoeba kronik


Gejalanya menyerupai disentri amoeba ringan, serangan-serangan diare
diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat berjalan
berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala
neurastenia. Serangan diare yang terjadi biasanya dikarenakan kelelahan, demam
atau makanan yang sulit dicerna.

Pemeriksaan Penunjang
Disentri

amoeba

Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja ini merupakan pemeriksaan laboratorium yang sangat
penting. Biasanya tinja berbau busuk, bercampur darah dan lendir. Untuk
pemeriksaan mikroskopik diperlukan tinja yang segar. Kadang diperlukan
pemeriksaan berulang-ulang, minimal 3 kali seminggu dan sebaiknya dilakukan
sebelum pasien mendapat pengobatan.
Pada pemeriksaan tinja yang berbentuk (pasien tidak diare), perlu dicari
bentuk kista karena bentuk trofozoit tidak akan dapat ditemukan. Dengan
sediaan langsung tampak kista berbentuk bulat dan berkilau seperti mutiara. Di
dalamnya terdapat badan-badan kromatoid yang berbentuk batang dengan ujung
tumpul, sedangkan inti tidak tampak. Untuk dapat melihat intinya, dapat
digunakan larutan lugol. Akan tetapi dengan larutan lugol ini badan-badan
kromatoid tidak tampak. Bila jumlah kista sedikit, dapat dilakukan pemeriksaan
menggunakan metode konsentrasi dengan larutan seng sulfat dan eterformalin.
Dengan larutan seng sulfat kista akan terapung di permukaan sedangkan dengan
larutan eterformalin kista akan mengendap.

Dalam tinja pasien juga dapat ditemukan trofozoit. Untuk itu diperlukan
tinja yang masih segar dan sebaiknya diambil bahan dari bagian tinja yang
mengandung darah dan lendir. Pada sediaan langsung dapat dilihat trofozoit yang
masih bergerak aktif seperti keong dengan menggunakan pseudopodinya yang
seperti kaca. Jika tinja berdarah, akan tampak amoeba dengan eritrosit di
dalamnya. Bentik inti akan nampak jelas bila dibuat sediaan dengan larutan eosin.
Pemeriksaan uji serologi
Uji serologi banyak digunakan sebagai uji bantu diagnosis abses hati
amebik dan epidemiologis. Uji serologis positif bila amoeba menembus
jaringan (invasif). Oleh karena itu uji ini akan positif pada pasien abses hati dan
disentri amoeba dan negatif pada carrier. Hasil uji serologis positif belum tentu
menderita amebiasis aktif, tetapi bila negatif pasti bukan amebiasis.
Disentri basiler
Pemeriksaan tinja. Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman
penyebab serta biakan hapusan (rectal swab). Untuk menemukan carrier
diperlukan pemeriksaan biakan tinja yang seksama dan teliti karena basil
shigela mudah mati . Untuk itu diperlukan tinja yang baru.
Polymerase Chain Reaction (PCR). Pemeriksaan ini spesifik dan sensitif,
tetapi belum dipakai secara luas.
Enzim immunoassay. Hal ini dapat mendeteksi toksin di tinja pada sebagian
besar penderita yang terinfeksi S.dysentriae tipe 1 atau toksin yang
dihasilkan E.coli.
Sigmoidoskopi. Sebelum pemeriksaan sitologi ini, dilakukan pengerokan
daerah sigmoid. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada stadium lanjut.
Aglutinasi. Hal ini terjadi karena aglutinin terbentuk pada hari kedua,
maksimum pada hari keenam. Pada S.dysentriae aglutinasi dinyatakan positif
pada pengenceran 1/50 dan pada S.flexneri aglutinasi antibodi sangat
kompleks, dan oleh karena adanya banyak strain maka jarang dipakai.

Gambaran endoskopi memperlihatkan mukosa hemoragik yang


terlepas dan ulserasi. Kadang-kadang tertutup dengan eksudat. Sebagian
besar lesi berada di bagian distal kolon dan secara progresif berkurang di
segmen proksimal usus besar.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk diare darah adalah :
Disentri amuba
Timbulnya penyakit biasanya perlahan-lahan, diare awal tidak ada/jarang.
Toksemia ringan dapat terjadi, tenesmus jarang dan sakit berbatas. Tinja biasanya besar,
terus menerus, asam, berdarah, bila berbentuk biasanya tercampur lendir. Lokasi
tersering daerah sekum dan kolon asendens, jarang mengenai ileum. Ulkus yang
ditimbulkan dengan gaung yang khas seperti botol.
Disentri basiler
Penyakit ini biasanya timbul secara akut, sering disertai adanya toksemia,
tenesmus akan tetapi sakit biasanya sifatnya umum. Tinja biasanya kecil-kecil, banyak,
tak berbau, alkalis, berlendir, nanah dan berdarah, bila tinja berbentuk dilapisi lendir.
Daerah yang terserang biasanya sigmoid dan dapat juga menyerang ileum. Biasanya
daerah yang terserang akan mengalami hiperemia superfisial ulseratif dan selaput lendir
akan menebal.

Eschericiae coli
Escherichia coli Enteroinvasive (EIEC)
Patogenesisnya seperti Shigelosis yaitu melekat dan menginvasi epitel usus
sehingga menyebabkan kematian sel dan respon radang cepat (secara klinis dikenal
sebagai kolitis). Serogroup ini menyebabkan lesi seperti disentri basiller, ulserasi atau
perdarahan dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear dengan khas edem mukosa dan
submukosa. Manifestasi klinis berupa demam, toksisitas sistemik, nyeri kejang
abdomen, tenesmus, dan diare cair atau darah.
Escherichia coli Enterohemoragik (EHEC)
Manifestasi klinis dari EHEC dapat menyebabkan penyakit diare sendiri atau
dengan nyeri abdomen. Diare pada mulanya cair tapi beberapa hari menjadi berdarah
(kolitis hemoragik). Meskipun gambarannya sama dengan Shigelosis yang membedakan
adalah terjadinya demam yang merupakan manifestasi yang tidak lazim. Beberapa
infeksi disertai dengan sindrom hemolitik uremik.

Diagnosis
Disentri basiler
Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan keluhan nyeri
abdomen bawah, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik tinja menunjukkan adanya
eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan diagnosis dilakukan kultur dari bahan
tinja segar atau hapus rektal. Pada fase akut infeksi Shigella, tes serologi tidak
bermanfaat.
Pada disentri subakut gejala klinisnya serupa dengan kolitis ulserosa. Perbedaan
utama

adalah

kultur

Shigella

yang

positif dan perbaikan klinis yang bermakna

setelah pengobatan dengan antibiotik yang adekuat.

Disentri amuba
Pemeriksaan tinja sangat penting di mana tinja penderita amebiasis tidak banyak
mengandung leukosit tetapi banyak mengandung bakteri. Diagnosis pasti baru dapat
ditegakkan bila ditemukan amoeba (trofozoit). Akan tetapi ditemukannya amoeba bukan
berarti meyingkirkan kemungkinan penyakit lain karena amebiasis dapat terjadi
bersamaan dengan penyakit lain. Oleh karena itu, apabila penderita amebiasis yang telah
menjalani pengobatan spesifik masih tetap mengeluh nyeri perut, perlu dilakukan
pemeriksaan lain, misalnya endoskopi, foto kolon dengan barium enema atau biakan
tinja.
Abses hati ameba sukar dibedakan dengan abses piogenik dan neoplasma.
Pemeriksaan ultrasonografi dapat membedakannya dengan neoplasma, sedang
ditemukannya echinococcus dapat membedakannya dengan abses piogenik. Salah satu
caranya yaitu dengan dilakukannya pungsi abses.

Komplikasi
Disentri amoeba
Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri amoeba, baik berat maupun ringan.
Berdasarkan lokasinya, komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi :
Komplikasi intestinal
Perdarahan usus. Terjadi apabila amoeba mengadakan invasi ke dinding usus
besar dan merusak pembuluh darah.
Perforasi usus. Hal ini dapat terjadi bila abses menembus lapisan muskular
dinding usus besar. Sering mengakibatkan peritonitis yang mortalitasnya tinggi.
Peritonitis juga dapat disebabkan akibat pecahnya abses hati amoeba.
Ameboma. Peristiwa ini terjadi akibat infeksi kronis yang mengakibatkan reaksi
terbentuknya massa jaringan granulasi. Biasanya terjadi di daerah sekum dan
rektosigmoid. Sering mengakibatkan ileus obstruktif atau penyempitan usus.
Intususepsi. Sering terjadi di daerah sekum (caeca-colic) yang memerlukan
tindakan operasi segera.

Penyempitan usus (striktura). Dapat terjadi pada disentri kronik akibat


terbentuknya jaringan ikat atau akibat ameboma.
Komplikasi ekstraintestinal
Amebiasis hati. Abses hati merupakan komplikasi ekstraintestinal yang paling
sering terjadi. Abses dapat timbul dari beberapa minggu, bulan atau tahun
sesudah infeksi amoeba sebelumnya. Infeksi di hati terjadi akibat embolisasi
ameba dan dinding usus besar lewat vena porta, jarang lewat pembuluh getah
bening.
Mula-mula terjadi hepatitis ameba yang merupakan stadium dini abses hati
kemudian timbul nekrosis fokal kecil-kecil (mikro abses), yang akan bergabung
menjadi satu, membentuk abses tunggal yang besar. Sesuai dengan aliran darah
vena porta, maka abses hati ameba terutama banyak terdapat di lobus kanan.
Abses

berisi

nanah

kental

yang

steril,

tidak

berbau,

berwarna

kecoklatan (chocolate paste) yang terdiri atas jaringan sel hati yang rusak
bercampur darah. Kadang-kadang dapat berwarna kuning kehijauan karena
bercampur dengan cairan empedu.
Abses pleuropulmonal. Abses ini dapat terjadi akibat ekspansi langsung abses
hati. Kurang lebih 10-20% abses hati ameba dapat mengakibatkan penyulit ini.
Abses paru juga dapat terjadi akibat embolisasi ameba langsung dari dinding
usus besar. Dapat pula terjadi hiliran (fistel) hepatobronkhial sehingga penderita
batuk- batuk dengan sputum berwarna kecoklatan yang rasanya seperti hati.
Abses otak, limpa dan organ lain. Keadaan ini dapat terjadi akibat embolisasi
ameba langsung dari dinding usus besar maupun dari abses hati walaupun
sangat jarang terjadi.
Amebiasis kulit. Terjadi akibat invasi ameba langsung dari dinding usus besar
dengan membentuk hiliran (fistel). Sering terjadi di daerah perianal atau dinding
perut. Dapat pula terjadi di daerah vulvovaginal akibat invasi ameba yang berasal
dari anus.

Disentri basiler
Beberapa komplikasi ekstra intestinal disentri basiler terjadi pada pasien
yang berada di negara yang masih berkembang dan seringnya kejadian ini
dihubungkan dengan infeksi S.dysentriae tipe 1 dan S.flexneri pada pasien
dengan status gizi buruk. Komplikasi lain akibat infeksi S.dysentriae tipe 1
adalah haemolytic

uremic syndrome (HUS). SHU diduga akibat adanya

penyerapan enterotoksin yang diproduksi oleh Shigella. Biasanya HUS ini


timbul pada akhir minggu pertama disentri basiler, yaitu pada saat disentri
basiler mulai

membaik. Tanda- tanda HUS dapat berupa oliguria, penurunan

hematokrit (sampai 10% dalam 24 jam) dan secara progresif timbul anuria dan
gagal ginjal atau anemia berat dengan gagal jantung. Dapat pula terjadi reaksi
leukemoid (leukosit lebih dari 50.000/mikro liter), trombositopenia (30.000100.000/mikro liter), hiponatremia, hipoglikemia berat bahkan gejala susunan
saraf pusat seperti ensefalopati, perubahan kesadaran dan sikap yang aneh.
Artritis juga dapat terjadi akibat infeksi S.flexneri yang biasanya muncul
pada masa penyembuhan dan mengenai sendi-sendi besar terutama lutut. Hal ini
dapat terjadi pada kasus yang ringan dimana cairan sinovial sendi mengandung
leukosit polimorfonuklear. Penyembuhan dapat sempurna, akan tetapi keluhan
artsitis dapat berlangsung selama berbulan-bulan. Bersamaan dengan artritis
dapat pula terjadi iritis atau iridosiklitis. Sedangkan stenosis terjadi bila ulkus
sirkular pada usus menyembuh, bahkan dapat pula terjadi obstruksi usus,
walaupun hal ini jarang terjadi. Neuritis perifer dapat terjadi setelah serangan
S.dysentriae yang toksik namun hal ini jarang sekali terjadi.
Komplikasi intestinal seperti toksik megakolon, prolaps rectal dan
perforasi juga dapat muncul. Akan tetapi peritonitis karena perforasi jarang
terjadi. Kalaupun terjadi biasanya pada stadium akhir atau setelah serangan
berat. Peritonitis dengan perlekatan yang terbatas mungkin pula terjadi pada
beberapa tempat yang mempunyai angka kematian tinggi. Komplikasi lain yang
dapat timbul adalah bisul dan hemoroid.

Pengobatan
Disentri basiler
Prinsip dalam melakukan tindakan pengobatan adalah istirahat, mencegah atau
memperbaiki dehidrasi dan pada kasus yang berat diberikan antibiotika.
Cairan dan elektrolit
Dehidrasi ringan sampai sedang dapat dikoreksi dengan cairan rehidrasi
oral. Jika frekuensi buang air besar terlalu sering, dehidrasi akan terjadi dan
berat badan penderita turun. Dalam keadaan ini perlu diberikan cairan melalui
infus untuk menggantikan cairan yang hilang. Akan tetapi jika penderita tidak
muntah, cairan dapat diberikan melalui minuman atau pemberian air kaldu atau
oralit. Bila penderita berangsur sembuh, susu tanpa gula mulai dapat diberikan.
Diet
Diberikan makanan lunak sampai frekuensi berak kurang dari 5 kali/hari,
kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan.
Pengobatan spesifik
Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigelosis pasien diobati dengan
antibiotika. Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan perbaikan, terapi diteruskan
selama 5 hari. Bila tidak ada perbaikan, antibiotika diganti dengan jenis yang lain.
Resistensi terhadap sulfonamid, streptomisin, kloramfenikol dan tetrasiklin
hampir universal terjadi. Kuman Shigella biasanya resisten terhadap ampisilin, namun
apabila ternyata dalam uji resistensi kuman terhadap ampisilin masih peka, maka
masih dapat digunakan dengan dosis 4 x 500 mg/hari selama 5 hari. Begitu pula dengan
trimetoprim- sulfametoksazol, dosis yang diberikan 2 x 960 mg/hari selama 3-5 hari.
Amoksisilin tidak dianjurkan dalam pengobatan disentri basiler karena tidak efektif.
Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal fluorokuinolon seperti
siprofloksasin atau makrolide azithromisin ternyata berhasil baik untuk pengobatan
disentri basiler. Dosis siprofloksasin yang dipakai adalah 2 x 500 mg/hari selama 3 hari
sedangkan azithromisin diberikan 1 gram dosis tunggal dan sefiksim 400 mg/hari selama
5 hari. Pemberian siprofloksasin merupakan kontraindikasi terhadap anak-anak dan
wanita hamil.

Di negara-negara berkembang di mana terdapat kuman S.dysentriae tipe 1 yang


multiresisten terhadap obat-obat, diberikan asam nalidiksik dengan dosis 3 x 1 gram/hari
selama 5 hari. Tidak ada antibiotika yang dianjurkan dalam pengobatan stadium carrier
disentri basiler.
Disentri amuba
Asimtomatik atau carrier : Iodoquinol (diidohydroxiquin) 650 mg tiga kali perhari
selama 20 hari.
Amebiasis intestinal ringan atau sedang : tetrasiklin 500 mg empat kali selama 5
hari.
Amebiasis intestinal berat, menggunakan 3 obat : Metronidazol 750 mg tiga kali
sehari selama 5-10 hari, tetrasiklin 500 mg empat kali selama 5 hari, dan emetin 1
mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari.
Amebiasis ektraintestinal, menggunakan 3 obat : Metonidazol 750 mg tiga kali
sehari selama 5-10 hari, kloroquin fosfat 1 gram perhari selama 2 hari dilanjutkan 500
mg/hari selama 4 minggu, dan emetin 1 mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari.
Prognosis
Prognosis ditentukan dari berat ringannya penyakit, diagnosis dan pengobatan
dini yang tepat serta kepekaan ameba terhadap obat yang diberikan. Pada umumnya
prognosis amebiasis adalah baik terutama pada kasus tanpa komplikasi. Prognosis yang
kurang baik adalah abses otak ameba.
Pada bentuk yang berat, angka kematian tinggi kecuali bila mendapatkan
pengobatan dini. Tetapi pada bentuk yang sedang, biasanya angka kematian rendah;
bentuk dysentriae biasanya berat dan masa penyembuhan lama meskipun dalam bentuk
yang ringan. Bentuk flexneri mempunyai angka kematian yang rendah.

Pencegahan
Disentri amoeba
Makanan, minuman dan keadaan lingkungan hidup yang memenuhi syarat
kesehatan merupakan sarana pencegahan penyakit yang sangat penting. Air

minum

sebaiknya dimasak dahulu karena kista akan binasa bila air dipanaskan 500C selama 5
menit.
Penting sekali adanya jamban keluarga, isolasi dan pengobatan carrier. Carrier
dilarang bekerja sebagai juru masak atau segala pekerjaan yang berhubungan dengan
makanan. Sampai saat ini belum ada vaksin khusus untuk pencegahan. Pemberian
kemoprofilaksis bagi wisatawan yang akan mengunjungi daerah endemis tidak
dianjurkan.
Disentri basiler
Belum ada rekomendasi pemakaian vaksin untuk Shigella. Penularan disentri
basiler dapat dicegah dan dikurangi dengan kondisi lingkungan dan diri yang bersih
seperti membersihkan tangan dengan sabun, suplai air yang tidak terkontaminasi,
penggunaan jamban yang bersih.

Anda mungkin juga menyukai