Anda di halaman 1dari 15

NYERI NEUROPATIK

I. PENDAHULUAN
Pengertian nyeri neuropatik menurut International Association for The
Study of Pain (IASP) adalah nyeri yang dipicu atau disebabkan oleh lesi primer
atau disfungsi dari sistem saraf dan dapat disebabkan oleh kompresi atau
infiltrasi dari nervus oleh suatu tumor, tergantung di mana lesi atau disfungsi
terjadi.
Nyeri neuropatik pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua yaitu
berdasarkan asalnya yaitu perifer dan sentral, juga berdasarkan waktunya, yakni
nyeri neuropatik akut dan kronik. Ada beberapa masalah dalam bidang kedokteran
paliatif yang menyulitkan dalam mendiagnosis dan menangani nyeri neuropatik,
dan tak ada satupun hasil yang memuaskan yang dapat menyebabkan hilangnya
nyeri. Dalam membuat suatu diagnosa adanya nyeri neuropatik diperlukan
anamnesis yang tepat tentang apa yang sedang dirasakan pasien, baik tipenya
maupun derajat dari nyeri tersebut. 1, 2
II. EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi nyeri neuropatik belum cukup banyak dipelajari, sebagian
besar karena keragaman dari kondisi nyeri ini. Estimasi saat ini, nyeri neuropatik
mungkin menyerang 3% dari populasi umum. Dari 6000 sampel keluarga yang
tinggal di tiga kota di Inggris, didapatkan prevalensi nyeri kronis adalah 48% dan
prevalensi nyeri neuropatik adalah 8%. Responden dengan nyeri neuropatik kronis
lebih banyak perempuan, dengan usia yang cukup tua, belum menikah, tidak
memiliki kualifikasi pendidikan, dan merupakan perokok. 3, 4
III. ETIOLOGI
Nyeri neuropatik dapat terjadi akibat lesi di susunan saraf pusat (nyeri
sentral) atau kerusakan saraf perifer (nyeri perifer). Nyeri neuropatik berasal dari
saraf perifer di sepanjang perjalanannya atau dari SSP karena gangguan fungsi,
tanpa melibatkan eksitasi reseptor nyeri spesifik (nosiseptor). Gangguan ini dapat
disebabkan oleh kompresi, transeksi, infiltrasi, iskemik, dan gangguan metabolik
pada badan sel neuron. 5, 6

Nyeri sentral neuropatik adalah suatu konsep yang berkembang akibat


bertambahnya bukti bahwa kerusakan ujung-ujung saraf nosiseptif perifer di
jaringan lunak, pleksus saraf, dan saraf itu sendiri juga dapat menyebabkan nyeri
sentral nosiseptif melalui proses sensitasi. Sindrom nyeri thalamus adalah salah
satu nyeri neuropatik sentral. Nyeri sentral neuropatik juga dapat ditemukan pada
pasien post-strok, multiple sklerosis, spinal cord injury, dan penyakit Parkinson. 5,
6, 7

Nyeri neuropatik perifer terjadi akibat kerusakan saraf perifer. Kerusakan


yang berasal dari perifer menyebabkan tidak saja pelepasan muatan spontan serat
saraf perifer yang terkena tetapi juga lepasnya muatan spontan sel-sel ganglion
akar dorsal saraf yang rusak. Contoh-contoh sindrom yang mungkin dijumpai
adalah neuralgia pascaherpes, neuropati diabetes, neuralgia trigeminus, kausalgi,
phantom-limb pain, kompresi akibat tumor, dan post operasi. 5, 7
Penyebab Tersering Nyeri Neuropatik
Nyeri Neuropatik Sentral
Mielopati kompresif dengan
stenosis spinalis

Nyeri Neuropatik Perifer


Poliradikuloneuropati demielinasi
inflamasi akut dan kronik

Mielopati HIV

Polineuropati alkoholik

Multiple sclerosis

Polineuropati

Penyakit Parkinson

Sindrom nyeri regional kompleks


(complex regional pain syndrome)

Mielopati post radiasi

Neuropati

Nyeri post stroke


post

spinalis
Siringomielia

trauma

karena

kemoterapi

Mielopati post iskemik

Nyeri

oleh

korda

jebakan

(misalnya,

carpal tunnel syndrome)


Neuropati sensoris oleh karena
HIV
Neuralgia iatrogenik (misalnya,
nyeri post mastektomi atau nyeri
post thorakotomi)
Neuropati sensoris idiopatik
Kompresi atau infiltrasi saraf oleh
2

tumor
Neuropati oleh karena defisiensi
nutrisional
Neuropati diabetik
Phantom limb pain
Neuralgia post herpetic
Pleksopati post radiasi
Radikulopati (servikal, thorakal,
atau lumbosakral)
Neuropatik oleh karena paparan
toksik
Neuralgia

trigeminus

(Tic

Doulorex)
Neuralgia post trauma
(Tabel 1: Dikutip dari kepustakaan 8)
Nyeri neuropatik juga dapat dihubungkan dengan penyakit infeksi, yang
paling sering adalah HIV. Cytomegalovirus, yang sering ada pada penderita HIV,
juga dapat menyebabkan low back pain, radicular pain, dan mielopati. Nyeri
neuropatik adalah hal yang paling sering dan penting dalam morbiditas pasien
kanker. Nyeri pada pasien kanker dapat timbul dari kompresi tumor pada jaringan
saraf atau kerusakan sistem saraf karena radiasi atau kemoterapi. 8
IV. PATOMEKANISME
Impuls nyeri yang berasal dari nosiseptor (reseptor nyeri) disalurkan
melalui salah satu dari dua jenis serat aferen. Sinyal-sinyal yang berasal dari
nosiseptor mekanis dan termal disalurkan melalui serat A-delta yang berukuran
besar dan bermielin dengan kecepatan sampai 30 meter/detik (jalur nyeri cepat).
Impuls dari nosiseptor polimodal (kimia) diangkut oleh serat C yang kecil dan
tidak bermielin dengan kecepatan yang jauh lebih lambat sekitar 12 meter/detik
(jalur nyeri lambat). Secara teori, nyeri neuropati terutama (jika tidak disertai
3

penyakit lain) disebabkan oleh gangguan fungsi dari akson yang tidak bermielin
(serat C) dan akson yang bermielin tipis (serat A-delta). 9, 10
Ketika terdapat kerusakan pada jalur saraf yang mengirimkan informasi
nyeri, sensasi nyeri yang dirasakan akan berkurang. Hal ini menunjukkan terjadi
peningkatan dari ambang batas nyeri dan penurunan intensitas rasa pada stimulus
noksius (stimulus yang merusak jaringan). Akan tetapi, pada beberapa kasus
kerusakan jalur sensori, terjadi hal yang berbeda. Pada pasien nyeri neuropati,
akibat kerusakan sensibilitas pada stimulus noksius, juga terdapat spontaneous
pain (nyeri spontan). Nyeri yang mungkin dirasakan oleh pasien, timbul pada area
yang anastesi. Nyeri ini sering kali dirasakan berat dan sulit untuk diobati.11
Penjelasan yang sederhana untuk nyeri pada cedera saraf yaitu : cedera
menyebabkan deafferentation (penghalangan serabut saraf sensori) pada transmisi
nyeri di saraf spinalis dan penghalangan ini menyebabkan peningkatan aktifitas
saraf tersebut. Meskipun berlawanan, konsep ini bukan tanpa dasar ilmiah.
Faktanya, aktifitas yang berlebihan dari SSP dari penghilangan saraf telah diuji
cobakan. Hal ini dengan sangat jelas terlihat pada pasien dengan cedera pleksus
brachialis. Nyeri berat yang menetap sering ditemukan, terutama pada robekan
total pleksus brakhialis (brachial plexus avulsion).11

Gambar 1
Cedera menyebabkan deafferentation (penghalangan serabut saraf sensori) pada transmisi nyeri di
saraf spinalis (Dikutip dari Kepustakaan 11)

Nyeri yang dirasakan pada robekan pleksus brakhialis sering digambarkan


seperti terbakar, dan disertai sensasi tertusuk peniti dan jarum atau sengatan
listrik. Beberapa sensasi abnormal, disebut paresthesiae atau jika rasa sangat
tidak enak, dysesthesiae biasanya dengan cedera jalur sensori terdapat pada salah
satu dari sistem saraf tepi atau SSP. 11
Pada binatang percobaan, kornu posterior yang merupakan tempat
penjalaran nyeri pada segmen yang telah hilang (deafferentation) menjadi
hiperaktif. Bukti yang sesuai dengan konsep bahwa aktifitas yang berlebih kornu
posterior berperan di penjalaran nyeri akibat deafferentation dihasilkan dari
prosedur bedah untuk meringankan nyeri akibat robekan pleksus brakhialis.
Nashold dan Osthdahl melaporkan bahwa apabila aktifitas yang spontan dari
kornu posterior yang menyebabkan nyeri pada robekan pleksus brakhialis, maka
pengangkatan dari saraf ini seharusnya menghilangkan rasa nyeri tersebut.
Operasi ini dikembangkan dan diberi nama dorsal root entry zone (DREZ) dan
dilaporkan bahwa operasi ini efektif.11
Untuk nyeri spontan, pasien dengn cedera saraf melaporkan variasi
gangguan sensori lain, yaitu terdapat hyperalgesia (respon yang berlebih pada
stimulus noksius) dan allodynia (rasa nyeri yang dihasilkan oleh stimulus yang
non-noksius). Ketika intensitas yang sama pada stimulus noksius dan berulang
kali pada area kulit yang dipersarafi oleh saraf yang rusak, intensitas dari nyeri
meningkat dengan stimulus yang beruturut-turut (summation) dan nyeri akan
menetap setelah stimulus dihentikan (after-reaction). Summation dan afterreaction didapatkan pada beberapa cedera yang luas di kulit dengan persarafan
normal, tetapi berlebihan pada pasien dengan nyeri akibat cedera saraf. 11

Serat aferen bermielin yang primer, termasuk nosiseptor A-delta dan Aalfa mekanoreseptor, menghambat penjalaran nyeri saraf kornu posterior spinalis
yang diaktivasi oleh nosiseptor yang tidak bermielin. Jadi ketika serat bermielin
mengalami kerusakan, aktivitas di serat tidak bermielin menghasilkan pelepasan
yang lebih besar pada sel kornu posterior. Agaknya, peningkatan pelepasan pada
sel kornu posterior akan dirasakan sebagai nyeri hebat.11

Gambar 2
Penjalaran nyeri pada sel T (Dikutip dari kepustakaan 11)

Berdasarkan teori ini, interaksi antara masukan serat bermielin dan tidak
bermielin ke korda spinalis terjadi pada dua tempat : penghambatan interneuron di
substansia gelatinosa (lamina II) dan penjalaran nyeri saraf kornu posterior. Kedua
serat aferen primer bermielin dan tidak bermielin dimaksudkan memberikan aksi
rangsangan pada penjalaran nyeri (sel T). Sel substansia gelatinosa dimaksudkan
untuk menghambat penjalaran dari kedua kelas aferen primer, jadi presinaps
menghambat semua masukan ke sel penjalaran nyeri. Aferen yang bermielin
memberikan rangsangan ke saraf inhibisi substansia gelatinosa, dengan cara
demikian, menurunkan masukan ke sel T dan sebagai akibatnya menghambat rasa
nyeri. Hal ini didukung oleh pengamatan klinik yang menyatakan beberapa
stimulasi pada serat myelin yang berdiameter besar dapat menghasilkan analgesik.
Secara berbeda, aktifitas pada nosiseptor yang tidak bermielin menghambat

inhibisi dari sel substansia gelatinosa, menyebabkan peninggian penjalaran dari


aferen primer ke sel T dan akibatnya meningkatkan intensitas rasa nyeri. Dengan
begitu, aferen yang tidak bermielin memiliki dua efek rangsangan yaitu penjalaran
nyeri pada kornu posterior (rangsangan secara langsung) dan hambatan pada
inhibitory sel substansia gelatinosa (rangsangan secara tidak langsung).11
Penelitian pada percobaan cedera saraf perifer telah mengindikasikan
bagaimana kerusakan aferen primer yang tidak bermielin dapat menyebabkan rasa
nyeri. Ketika akson saraf perifer mengalami kerusakan maka akson yang rusak ini
akan menumbuhkan tunas-tunas baru (serat) yang tumbuh di sekitar struktur saraf
tepi yang tadinya dipersarafi. Apabila tempat masuk saraf pada jaringan yang
menyambung tadi masih intak atau dekat pada bagian saraf distal, akson akan
masuk dan melanjutkan pertumbuhan tunasnya ke jaringan tersebut. Jika tempat
masuk tersebut rusak, maka pertumbuhan tunas akson akhirnya tidak terkendali
dan seperti bola kusut yang disebut neuroma. Secara histologi tampak tunas dari
akson yang memasuki neuroma yang berbeda dengan akson yang normal pada
saraf perifer. Kebanyakan memiliki diameter sangat kecil (<0,5 mikrometer) dan
berasal dari akson yang tidak bermielin, sekitar 80 persen dari akson aferen primer
yang tidak bermielin dan sisanya adalah eferen postganglion simpatis.11

Gambar 3
A. Pembentukan neuroma. C. Impuls ektopik dihasilkan dari bagian akson yang tidak
bermielin (Dikutip dari kepustakaan 11)

Sifat fisiologi dari regenerasi aferen primer ini juga berbeda dari aferen
yang normal di beberapa segi. Pertama, area dari pertumbuhan tunas menjadi
lebih sensitif terhadap stimulasi mekanik langsung. Ini mungkin juga dirasakan
sebagai shooting pain yang biasanya timbul akibat pergerakan yang menekan
saraf. Kedua, yaitu spontaneous activity (aktifitas yang spontan). Pelepasan yang
spontan dan peningkatan sensitifitas terhadap mekanik.
Kerusakan aferen didapatkan paling sedikit pada dua tempat yang berbeda:
regenerasi tunas yang dekat dengan lokasi cedera, dan dekat dengan cell body
pada dorsal root ganglion (DRG). Sensitifitas mekanik pada bagian yang dekat
dengan DRG mungkin memperbesar penjalaran nyeri yang dihasilkan pada
dermatom ketika bagian saraf (nerve roots) tertekan oleh penonjolan diskus
intervertebralis (nyeri radikuler pada sciatica).11
Pada tempat pertumbuhan tunas dan daerah DRG, impuls ektopik dapat
juga dihasilkan dari bagian yang rusak (tidak bermielin) pada akson bermielin.
Jika akson yang tidak bermielin adalah nosiseptor, maka rangsangan hebat
mungkin menghasilkan nyeri tusukan yang pendek. Seperti mekanisme yang
temukan pada syndrome of tic douloureux. Yang memeliki karateristik nyeri
pendek hebat yang berulang-ulang. Pasien dengan multiple sclerosis, penyakit ini
terdapat akson rusak yang tidak bermielin sampai SSP.11

V. DIAGNOSIS
a. Kriteria diagnostik

Penatalaksanaan yang sistematik bergantung kepada diagnosis yang tepat.


Diagnosis dari nyeri neuropatik mengutamakan anamnesis riwayat penyakit yang
tepat dan pemeriksaan fisis yang sesuai alat diagnostik seperti DN4 atau LANSS
scoring mungkin berguna, karakteristik dari nyeri neuropatik dapat dimasukkan
dalam beberapa kriteria yakni:
1. Spontan (stimulus yang tidak berrgantung faktor dari luar)
a.
b.
c.
d.

Sensasi terbakar
Intermiten
Nyeri seperti disengat listrik
Hipostesia atau anastesia (Kurang atau tidak dapat merasakan terhadap

rangsang normal
e. Disestesia (Abnormal dan sensasi tidak menyenangkan)
f. Parastesia (Abnormal dan bukan sensasi yang tidak menyenangkan)
2. Nyeri yang dipicu oleh rangsang dari luar
a.
b.

c.
d.
e.

Hiperalgesia (Respon yang meningkat untuk rangsang nyeri yang normal)


Allodinia (Nyeri terhadap rangsang yang pada orang normal tidak
menimbulkan nyeri)
Dinamis yang dipicu oleh sentuhan
Statis yang dipicu oleh tekanan
Allodinia dingin (nyeri yang dipicu oleh rangsang yang dingin)12,13
Neuropati, hal yang mendasar pada nyeri neuropatik perifer, dapat bersifat

fokal, multifokal atau distribusi yang difuse, yang bersifat fokal dapat berasal dari
saraf, akar saraf atau kadang-kadang dari plexus. Adakalanya, nyeri neuropatik
sentral (medula spinalis maupun otak) juga dapat menyebabkan nyeri yang
bersifat fokal. Di negara berkembang, kebanyakan kasus yang dijumpai adalah
demyelisasi. Neuralgia atau yang berasal dari radiks saraf cenderung untuk
mengikuti distribusi dari dermatom dan memiliki ciri tertentu dari distribusinya,
distribusi nyeri bagaimanapun juga, tidak selalu merupakan indikator dalam
menunjukkan asal dari nyeri tersebut. Distribusi dari parestesia dapat menjadi
indikator yang efektif dalam menunjukkan asal dari suatu lesi nyeri neuropatik13
VI. DIAGNOSIS BANDING
1. Diabetic Peripheral Neuropathy (DPN) diklasifikasikan sebagai akut
atau kronik, DPN akut merupakan kondisi yang jarang dan dapat mempengaruhi
9

tungkai bagian bawah dan penyakit ini menyusahkan dan adakalanya


menyebabkan ketidakmampuan pada penderita. Kondisi akut ini terjadi oleh
karena kontrol glukosa darah yang kurang baik atau perbaikan kontrol yang
cepat. DPN kronik didefinisikan sebagai gejala yang telah tejadi minimal 6 bulan.8
DPN telah digunakan untuk menggambarkan besarnya penyebaran dan
sindrom neuropatik fokal yang menyebabkan kerusakan dari serat saraf autonom
dan somatik perifer. Sindrom ini temasuk bagian distal, polineuropatik
sensorimotorik yang simetris, neuropatik autonom, neuropatik motorik tungkai
bagian proksimal yang simetris (amyotrophy), neuropatik kranial, radikulopatik,
neuropatik entrapment, dan neuropatik motorik tungkai yang asimetris. Gejala
pada pasien dengan polineuropatik sensorimotorik simetris mungkin digambarkan
sebagai salah satu yang negatif ( kehilangan rasa) atau positif (rasa nyeri terbakar
atau kelemahan otot). Kehilangan serat kecil yang tak bermielin pada pasien ini
mungkin mempengaruhi untuk terjadinya cedera atau ulkus pada kaki. Pasien
dengan DPN mungkin juga mengalami carpal tunnel syndrome atau meralgia
paresthetica dan atau rasa nyeri yang tersebar pada saraf lateral femoral cutaneus.
Gejala dari DPN mungkin akan memburuk pada malam hari, dan akan
menggangu tidur pasien yang menyebabkan rasa lelah, mudah marah, dan
disfungsi otot wajah.8
Diagnosis klinik pada DPN, terutama sekali pada pasien dengan
polineuropatik sensorimotorik mungkin akan sulit, karena gejala yang ada sangat
bervariasi, mulai dari nyeri yang tidak ada dengan penyakit yang mungkin
digambarkan hanya oleh ulkus kaki yang tidak berasa sampai nyeri yang sangat
berat. Tanda dan gejala sensori dari DPN sering kali muncul daripada gejala
motorik. Akan tetapi belakangan terakhir mungkin terdapat penurunan refleks
pergelangan kaki (Achilles) dan atau sedikit kelemahan otot bagian distal.8
2. Post Herpetic Neuralgia merupakan nyeri yang menetap untuk jangka
waktu yang lama setelah muncul ruam pada penyakit herpes zoster. Meskipun
definisi yang ada bervariasi, American Academy of Neurology memberikan
definisi PHN adalah rasa nyeri yang menetap lebih dari 3 bulan setelah
penyembuhan ruam pada penyakit herpes zoster. Etiologi dari PHN belum
10

diketahui secara pasti, akan tetapi, pada pasien dengan PHN telah mengalami
kerusakan dari saraf sensori, dorsal root ganglia (DRG), dan kornu posterior
spinalis. Diperkirakan telah terjadi penyebaran partikel-partikel dari virus di
tempat-tempat ini setelah tereaktivasi dan ini disertai oleh inflamasi, repon imun,
perdarahan, dan kerusakan pada saraf sensori perifer dan prosesnya. Diketahui
juga bahwa infeksi VZV ini dapat menyerang korda spinalis dan SSP disertai
pembuluh darah menyebabkan gejala neurologik yang meluas.8
Gejala akut herpes zoster secara khas timbul dengan gejala prodromal
selama 3-4 hari dan mungkin terdapat hyperesthesia, paresthesias, dan atau
burning dysesthesias dan gatal sepanjang dermatom yang terinfeksi. Rasa nyeri
merupakan alasan tersering yang dirasakan pasien hingga mencari pengobatan.
Rasa nyeri ini seringkali digambarkan seperti rasa terbakar atau rasa tersengat dan
umumnya berat. Dermatom yang seringkali terkena adalah bagian toraks, tetapi
dapat juga terjadi pada dermatom lain. Nervus trigeminus bagian ophtalmicus
adalah saraf kranialis yang sering terkena pada pasien infeksi ini. Pada
kebanyakan pasien, gejala akut ini akan membaik sendiri setelah ruam yang
timbul mengalami penyembuhan. Tetapi sebagian kecil pasien (terutama pada usia
lanjut), berkembang menjadi gejala-gejala PHN. 8
Pasien dengan PHN mungkin datang dengan gejala yang mirip nyeri
neuropatik. Gejala ini dirasakan sebagai nyeri yang terus menerus yang muncul
dengan adanya stimulus dari luar, dimana pasien mungkin merasakannya sering
kali pada malam hari atau ketika perhatian pasien tidak terfokus pada suatu
aktivitas. Pasien dengan PHN juga merasakan nyeri pada sentuhan yang ringan,
walaupun hanya dengan pakaian (allodynia). Beberapa pasien dengan PHN
mungkin juga mengeluhkan nyeri lancinating (nyeri hebat karena sentakan yang
cepat). Gejala motorik dan autonom jarang ditemukan PHN, tetapi ada kalanya
pada pasien dapat muncul nyeri tulang atau nyeri pleura atau neurogenic bladder
or rectum setelah infeksi herpes zoster. 8
VIII. PENATALAKSANAAN

11

Banyak jenis obat obat yang telah digunakan dalam mengobati nyeri
neuropatik, termasuk diantaranya antiepilepsi spektrum luas (AEDs), misalnya
karbamazepin, fenitoin, okskarbazepin, gabapentin, pregabalin, lamotrigin,
penobarbital, fenitoin, topiramate, dan valproic bekerja dengan mengurangi
loncatan listrik pada neuron melalui blokade dari voltage dependent sodium dan
kalsium channel. Obat lainnya (mis, penobarbital, tiagabine, topiramate,
vigabatrine, valproat) bekerja dengan meningkatkan inhibisi neurotransmitter atau
secara langsung turut campur dalam transmisi eksitatorik.14
Duloxetine
Duloxetine diindikasikan untuk penanganan nyeri neuropatik
yang berhubungan dengan dpn, walaupun mekanisme kerjanya dalam
mengurangi nyeri belum sepenuhnya dipahami. Hal ini mungkin
berhubungan dengan kemampuannya untuk meningkatkan aktivitas
norepinephrin dan 5-HT pada sistem saraf pusat, duloxetine umumnya
dapat ditoleransi dengan baik, dosis yang dianjurkan yaitu duloxetine
diberikan sekali sehari dengan dosis 60 mg, walaupun pada dosis 120
mg/hari menunjukkan keamanan dan keefektifannya, tapi tidak ada
bukti yang nyata bahwa dosis yang lebih dari 60 mg/hari memiliki
keuntungan yang signifikan, dan pada dosis yang lebih tinggi kurang
dapat ditoleransi dengan baik
Gabapentin
Gabapentine diindikasikan untuk penanganan PHN pada orang
dewasa,

molekulnya

secara

struktural

berhubungan

dengan

neurotransmitter gamma-amino butyric acid, namun gabapentin tidak


berinteraksi secara signifikan dengan neurotransmitter yang lainnya,
walaupun mekanisme kerja gabapentin dalam mengurangi nyeri pada
PHN belum dipahami dengan baik, namun salah satu sumber
menyebutkan bahwa gabapentin mengikat reseptor 2 subunit dari
voltage-activated calsium channels, pengikatan ini menyebabkan
pengurangan influks ca2+ ke dalam ujung saraf dan mengurangi
pelepasan neurotransmitter, termasuk glutamat dan norepinephrin. 14

12

Pada orang dewasa yang menderita PHN, terapi gabapentin


dimulai dengan dosis tunggal 300 mg pada hari pertama, 600 mg pada
hari kedua (dibagi dalam dua dosis), dan 900 mg pada hari yang
ketiga(dibagi dalam 3 dosis). Dosis ini dapat dititrasi sesuai kebutuhan
untuk mengurangi nyeri sampai dosis maksimum 1800 hingga 3600
mg(dibagi dalam 3 dosis). Pada penderita gangguan fungsi ginjal dan
usia lanjut dosisnya dikurangi.14
Pregabalin
Pregabalin diindikasikan pada penanganan nyeri neuropatik
untuk DPN dan juga PHN. Mekanisme kerja dari pregabalin sejauh ini
belum

dimengerti,

namun

diyakini

sama

dengan

gabapentin.

Pregabalin mengikat reseptor 2 subunits dari voltage activated


calsium channels, memblok ca2+ masuk pada ujung saraf dan
mengurangi pelepasan neurotransmitter. Pada penderita DPN yang
nyeri, dosis maksimum yang direkomendasikan dari pregabalin adalah
100 mg tiga kali sehari (300mg/hari). Pada pasien dengan creatinin
clearance 60 ml/min, dosis seharusnya mulai pada 50 mg tiga kali
sehari (150mg/hari) dan dapat ditingkatkan hingga 300mg/hari dalam
1 minggu berdasarkan keampuhan dan daya toleransi dari penderita.
Dosis pregabalin sebaiknya diatur pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal. Pada penderita PHN, dosis yang direkomendasikan dari
pregabalin adalah 75 hingga 150 mg 2 kali sehari atau 50 hingga 100
mg 3 kali sehari (150-300 mg/hari). Pada pasien dengan creatinin
clearance 60 ml/min, dosis mulai pada 75 mg 2 kali sehari, atau 50
mg 3 kali sehari (150 mg/hari) dan dapat ditingkatkan hingga 300
mg/hari dalam 1 minggu berdasarkan keampuhan dan daya toleransi
penderita, jika nyerinya tidak berkurang pada dosis 300 mg/hari,
pregabalin dapat ditingkatkan hingga 600 mg/hari. 14

IX. SIMPULAN

13

Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang dipicu atau disebabkan oleh lesi
primer atau disfungsi dari sistem saraf. Nyeri neuropatik pada dasarnya dapat
dibagi menjadi dua yaitu berdasarkan asalnya yaitu perifer dan sentral, juga
berdasarkan waktunya, yakni nyeri neuropatik akut dan kronik.
Nyeri neuropatik dapat terjadi akibat lesi di susunan saraf pusat (nyeri
sentral) atau kerusakan saraf perifer (nyeri perifer). Nyeri neuropatik berasal dari
saraf perifer di sepanjang perjalanannya atau dari SSP karena gangguan fungsi,
tanpa melibatkan eksitasi reseptor nyeri spesifik (nosiseptor). Gangguan ini dapat
disebabkan oleh kompresi, transeksi, infiltrasi, iskemik, dan gangguan metabolik
pada badan sel neuron. Nyeri neuropatik juga dapat dihubungkan dengan penyakit
infeksi, yang paling sering adalah HIV. Nyeri pada pasien kanker dapat timbul
dari kompresi tumor pada jaringan saraf atau kerusakan sistem saraf karena radiasi
atau kemoterapi.
Penatalaksanaan yang sistematik bergantung kepada diagnosis yang tepat.
Diagnosis dari nyeri neuropatik mengutamakan anamnesis riwayat penyakit yang
tepat dan pemeriksaan fisis yang sesuai alat diagnostik seperti DN4 atau LANSS
scoring mungkin berguna. Banyak jenis obat obat yang telah digunakan dalam
mengobati neuropatik pain, termasuk diantaranya antiepilepsi spektrum luas
(AEDs), opioid dan antidepresant trisiklik. Pregabalin juga dianjurkan pada nyeri
neuropati sentral.

DAFTAR PUSTAKA

14

1. Lovel and Hassan. Clinicians Guide to Pain. New York: Oxford University;
1996.
2. Dwordkin RH. An Overview of Neuropathic Pain:Syndrom, Symptom, Sign
and Several Mechanism. The Clinical Jornal of Pain 2002; 18: p343-349.
3. Gilron I, Watson CPN, Cahill CM, Moulin DE. Neuropathic Pain: A Practical
Guide For The Clinician. CMAJ August 2006; 175: p.1-13.
4. Torrance N, Smith BH, Bannet MI, Lee AJ. The Epedimiology of Chronic
Pain of Predominantly Neuropathic Origin. J Pain April 2006; 7(4): 281-9.
5. Mary SH, Lorraine MW. Nyeri. In: Sylvia AP, Lorraine MW, editors.
Patofisiologi Volume 2. 6th edition. Jakarta: EGC; 2003. p.1063-1101.
6. Galuzzi KE. Management of Neuropathic Pain. JAOA September 2005; 105:
12-19.
7. Dupere D. Neuropathic Pain: An Option Overview. The Canadian Journal of
CME February 2006; 79: 90-92.
8. Nicholson B. Differential Diagnosis: Nociceptive and Neuropathic Pain. The
American Journal of Managed Care June 2006; 12: S256-S262.
9. Sherwood L. Fisiologi Manusia: Dari Sel Ke Sistem. 2nd edition. Jakarta:
EGC; 2001. p156-159
10. Ilsee, WK. Neuropathic: Mechanisms, Diagnosis, and Treatment. The
Canadian Journal of CME February 2002; 99-105
11. Fields HL. Pain. USA: McGraw-Hill; 1987.p133-145.
12. Chen H, et al. Contemporary Management of Neuropathic Pain. Mayo Clinic
Proc Desember 2004; 79(12): 1533-1545.
13. Vranken J.H et al. Pregabalin in Patients With Central Neuropathic Pain. J
Pain Juni 2007; 7(4): 281-9
14. Gidal B, Billington R. New and Emerging Treatment Option for Neuropatic
Pain. The American Journal of Managed Care Juni 2006; 12(9): S269-S278.

15

Anda mungkin juga menyukai