Anda di halaman 1dari 41

BAB I

P E N DA H U L U A N
1.1 Latar Belakang
Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih tergolong tinggi, jika
dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN. Berdasarkan Human
Development Report 2010, AKB di Indonesia mencapai 31 per 1.000 kelahiran.
"Angka itu, 5,2 kali lebih tinggi dibandingkan Malaysia. Juga, 1,2 kali lebih tinggi
dibandingkan Filipina dan 2,4 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan Thailand
(Ali, 2010).
Hasil sementara survey demografis dan kesehatan indonesia menunjukan
bahwa kematian neonatal tidak menurun dan stagnan di angka 19 kematian per
1000 kelahiran hidup. Sementara kematian post natal hanya turun dari
sebelumnya 15 di tahun 2007 ke angka 13 per 1000 kelahiran hidup.Indikator bayi
juga menunjukan penurunan yang sangat kecil yaitu di angka 32 per 1000
kelahiran hidup serta masih tingginya angka kematian balita yaitu 40 dari
sebelumnya yaitu 44 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2007 (Ali, 2010)
Tiga penyebab utama kematian bayi menurut Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) 1995 adalah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), komplikasi
perinatal, dan diare. Gabungan ketiga penyebab ini memberi andil bagi 75 persen
kematian bayi. Pada 2001 pola penyebab kematian bayi ini tidak banyak berubah
dari periode sebelumnya, yaitu karena sebab-sebab perinatal, kemudian diikuti
oleh infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), diare, tetanus neotarum, saluran
cerna, dan penyakit saraf. Pola penyebab utama kematian balita juga hampir sama

(penyakit saluran pernafasan, diare, penyakit syaraf termasuk meningitis dan


encephalitis dan tifus) (Anonim, 2005)
Setiap tahun diperkirakan 2,5 miliar kejadian diare pada anak balita, dan
hampir tidak ada perubahan dalam dua dekade terakhir. Diare pada balita tersebut
lebih dari separuhnya terjadi di Afrika dan Asia Selatan, dapat mengakibatkan
kematian atau keadaan berat lainnya. Insidens diare bervariasi menurut musim
dan umur. Anak-anak adalah kelompok usia rentan terhadap diare, insiden diare
tertinggi pada kelompok anak usia dibawah dua tahun, dan menurun dengan
bertambahnya usia anak (Agtini, 2011)
Di Indonesia berdasarkan data laporan Survei Terpadu Penyakit (STP) dan
Rumah Sakit (RS) secara keseluruhan angka insidens Diare selama kurun waktu
lima tahun dari tahun 2002 sampai tahun 2006 cenderung berfluktuasi dari 6,7 per
1000 pada tahun 2002 menjadi 9,6 per 1000 pada tahun 2006 ( angka insiden
bervariasi antara 4,5- 25,7 per 1000). Dari Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2001 penyakit diare menduduki urutan ke dua dari penyakit infeksi
dengan angka morbiditas sebesar 4,0% dan mortalitas 3,8%. Dilaporkan pula
bahwa penyakit Diare menempati urutan tertinggi penyebab kematian (9,4%) dari
seluruh kematian bayi (Agtini, 2011).
WHO melaporkan bahwa penyebab utama kematian pada balita adalah
Diare (post neonatal) 14% dan Pneumonia (post neo- natal) 14% kemudian
Malaria 8%, penyakit tidak menular (post neonatal) 4% injuri (post neonatal) 3%,
HIVAIDS 2%, campak 1% , dan lainnya 13%, dan kematian yang bayi <1 bulan
(newborns death) 41%. Kematian pada bayi umur <1 bulan akibat Diare yaitu

2%.16 Terlihat bahwa Diare sebagai salah satu penyebab utama tingginya angka
kematian anak di dunia (Agtini, 2011).
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih
tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen
Kesehatan dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan insidens naik.
Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan CFR yang
masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69 Kecamatan dengan jumlah kasus
8133 orang, kematian 239 orang (CFR 2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24
Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang, dengan kematian 100 orang (CFR
1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah
penderita 4204 dengan kematian 73 orang (CFR 1,74 %.) (Agtini, 2011).
Distribusi penyakit diare berdasarkan orang (umur) sekitar 80% kematian
diare tersebut terjadi pada anak di bawah usia 2 tahun. Data Tahun 2004
menunjukkan bahwa dari sekitar 125 juta anak usia 0-11 bulan, dan 450 juta anak
usia 1-4 tahun yang tinggal di negara berkembang, total episode diare pada balita
sekitar 1,4 milyar kali per tahun. Dari jumlah tersebut total episode diare pada
bayi usia di bawah 0-11 bulan sebanyak 475 juta dan anak usia 1-4 tahun sekitar
925 juta kali per tahun (Amiruddin, 2007).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang P2P Dinas Kesehatan Kota
Makassar tahun 2007 , jumlah penderita diare sebanyak 52.278 orang dan 14.493
atau sebesar 28 % diantaranya adalah balita. Secara keseluruhan dilaporkan 10
penderita diare meninggal dunia (Anonim, 2007).

Data yang diperoleh dari Bidang P2 Dinas kesehatan Kota Makassar


mengenai jumlah kasus penderita dan kematian akibat Diare dapat terlihat pada
grafik berikut :

Gambar. Jumlah Kasus Penderita dan Kematian akibat Diare di Kota Makassar
Tahun 2005 s/d 2007
Penyebab utama kematian akibat diare adalah tata laksana yang tidak tepat
baik di rumah maupun di sarana kesehatan. Untuk menurunkan kematian karena
diare perlu tata laksana yang cepat dan tepat. Salah satu langkah dalam
pencapaian target MDGs (Goal ke-4) adalah menurunkan kematian anak menjadi
2/3 bagian dari tahun 1990 sampai pada 2015. Berdasarkan Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT), Studi Mortalitas dan Riset Kesehatan Dasar dari tahun ke
tahun diketahui bahwa diare masih menjadi penyebab utama kematian balita di
Indonesia. (Agtini, 2011)

Pada era sekarang 80% bayi di Indonesia tidak lagi menyusu sejak 24 jam
pertama sejak mereka lahir, dimana seharusnya ibu memberikan ASI yang
merupakan makanan utama yang sangat diperlukan bayi. Berdasarkan hasil
penelitian Unicef di Indonesia setelah krisis ekonomi dilaporkan bahwa hanya
14% bayi yang disusui dalam 12 jam setelah kelahiran. Kolostrum dibuang oleh
kebanyakan ibu karena dianggap kotor dan tidak baik bagi bayi. Unicef juga
mencatat penurunan yang tajam dalam menyusui berdasarkan tingkat umur dari
pengamatannya diketahui bahwa 63% disusui hanya pada bulan pertama, 45%
bulan kedua, 30% bulan ketiga, 19% bulan keempat, 12% bulan kelima dan hanya
6% pada bulan keenam bahkan lebih dari 200.000 bayi atau 5% dari populasi bayi
di Indonesia saat itu tidak disusui sama sekali (Roesli, 2000).
Hasil penelitian terhadap 900 ibu di sekitar Jabotabek (1995) diperoleh
fakta bahwa yang dapat memberikan ASI eksklusif selama 4 bulan pertama
kelahiran bayi hanya sekitar 5%, padahal 98% ibu-ibu tersebut menyusui bayinya.
Dari penelitian tersebut juga didapatkan bahwa 37,9% ibu-ibu tidak pernah
mendengar informasi tentang ASI sedangkan 70,4% ibu-ibu tidak pernah
mendengar informasi tentang ASI eksklusif (Roesli, 2000).
Proses menyusui memerlukan pengetahuan dan latihan yang tepat, supaya
proses menyusui dapat berjalan dengan baik, namun sering kali proses menyusui
dilakukan tidak tepat, akhirnya ASI tidak keluar dan ibu tidak mau menyusui dan
bayinya pun tidak mau menyusu (Utami Roesli, 2000). Tidak heran bila hasil
survei membuktikan masih sedikit bayi yang menerima ASI eksklusif sampai bayi
berusia minimal 4 bulan. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010

menunjukkan pemberian ASI di Indonesia saat ini memprihatinkan, persentase


bayi yang menyusu eksklusif sampai dengan 6 bulan hanya 15,3 persen. Hal ini
disebabkan kesadaran masyarakat dalam mendorong peningkatan pemberian ASI
masih relatif rendah. Padahal kandungan ASI kaya akan karotenoid dan selenium,
sehingga ASI berperan dalam sistem pertahanan tubuh bayi untuk mencegah
berbagai penyakit. Setiap tetes ASI juga mengandung mineral dan enzim untuk
pencegahan penyakit dan antibodi yang lebih efektif dibandingkan dengan
kandungan yang terdapat dalam susu formula (Anonim, 2010)
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui perbedaan frekuensi diare antara bayi yang diberi ASI eksklusif
dengan bayi yang diberi susu formula di Puskesmas Kassi-kassi
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut
di atas maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai
berikut: apakah ada perbedaan frekuensi diare antara bayi yang
diberi ASI eksklusif dengan bayi yang diberi susu formula di
Puskesmas
1.3.Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penelitian ini adalah untuk dapat mengetahui adanya
perbedaan frekuensi kejadian diare antara bayi yang diberi ASI eksklusif dengan
bayi yang diberi susu formula.

1.3.2. Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui frekuensi kejadian diare pada bayi yang minum ASI
Eksklusif.
2. Untuk mengetahui frekuensi kejadian diare pada bayi yang minum susu
formula.
1.4.Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber
informasi dan bahan pertimbangan dalam mengatasi kejadian diare pada bayi
yang semakin meningkat
2. Manfaat Teoritis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi ilmu
pengetahuan di bidang kesehatan dan merupakan bahan acuan bagi penelitian
selanjutnya demi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan.
3. Manfaat bagi Peneliti
Dengan penelitian ini maka dapat di jadikan sebagai pengalaman langsung
dalam melakukan penelitian dan dapat menerapkan pengetahuan yang telah
diperoleh selama perkuliahan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Air Susu Ibu (ASI)
2.1.1. Pengertian ASI
Air susu ibu (ASI) merupakan makanan alamiah yang terbaik dan dapat
diberikan oleh seorang ibu kepada anak yang dilahirkannya, dimana komposisinya
sesuai untuk pertumbuhan bayi (Pudjiadi, 2005). Pemberian ASI merupakan cara
pemberian makanan alami dan terbaik bagi bayi dan anak bayi dua tahun, baik
dalam situasi normal terlebih dalam situasi darurat. Frekuensi pemberian ASI
dianjurkan setiap 2-3 jam sekali (Depkes, 2006).
Syahmien Moehji mengatakan bahwa ASI merupakan makanan yang
mutlak untuk bayi yaitu pada usia 4-6 bulan pertama kehidupannya. ASI
mengandung semua zat gizi yang diperlukan oleh bayi dengan komposisi yang
sesuai dengan kebutuhan bayi. Jika dibandingkan dengan susu sapi, Air Susu Ibu
(ASI) mempunyai kelebihan antara lain mampu mencegah penyakit infeksi, ASI
mudah didapat dan tidak perlu dipersiapkan terlebih dahulu. Melalui ASI dapat
dibina kasih sayang, ketenteraman jiwa bagi bayi yang sangat penting untuk
pertumbuhan dan perkembangan jiwa bayi. Dengan demikian ASI merupakan
makanan terbaik bagi bayi dan mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh
susu sapi (Moehji, 2002).
Oleh karena ASI harus diberikan pada bayi, sekalipun produksi ASI pada
hari-hari pertama baru sedikit, namun mencukupi kebutuhan bayi.

2.1.2. Komposisi ASI


ASI mengandung lebih dari 200 unsur-unsur pokok, antara lain zat putih
telur, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, faktor pertumbuhan, hormon, enzim,
zat kekebalan dan sel darah putih. Semua zat ini terdapat secara proporsional dan
seimbang satu dengan yang lainnya. Cairan hidup yang mempunyai keseimbangan
biokimia yang sangat tepat ini bagai suatu simfoni nutrisi bagi pertumbuhan bayi
sehingga tidak mungkin ditiru oleh buatan manusia (Roesli, 2008).
Zat-zat yang terkandung di dalam ASI adalah:
a. Lemak
Lemak merupakan sumber kalori utama dalam ASI dengan kadar yang cukup
tinggi yaitu seberat 50%. Salah satu keunggulan lemak ASI adalah lemak
esensial.
b. Protein
Protein adalah bahan baku untuk tumbuh. Kualitas protein sangat penting
selama tahun pertama kehidupan bayi, karena pertumbuhan bayi paling cepat
dan memerlukan ASI yang mengandung gizi untuk bayi.
c. Karbohidrat
Karbohidrat utama (kadar paling tinggi) dalam ASI adalah Laktosa yang
mempertinggi penyerapan kalsium yang dibutuhkan bayi.
d. Garam dan mineral

ASI merupakan susu dengan kadar garam dan mineral yang rendah sehingga
tidak merusak fungsi ginjal bayi. Berikut beberapa mineral yang dapat
terdapat dalam ASI :
1. Zat Besi
Jumlah zat besi dalam ASI termaksud sedikit dan mudah diserap oleh bayi.
2. Seng
Seng diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan dan imunisasi. Selain
itu juga diperlukan untuk mencegah penyakit kulit dan sistem pencernaan
yang fatal bagi bayi (Resy, 2010)
2.1.3.Pembagian ASI dalam Stadium Laktasi
Jenis air susu yang dikeluarkan oleh ibu memiliki 3 stadium dan memiliki
kandungan yang berbeda (Saleha, 2009) membagi stadium laktasi sebagai berikut:
1) Kolostrum
Kolostrum merupakan cairan yang pertama kali disekresi oleh kelenjar
mammae yang mengandung jaringan debris dan residual material yang terdapat
dalam alveoli dan duktus dari kelenjar mammae sebelum dan segera sesudah
melahirkan anak. Kolostrum ini berlangsung 3 sampai 4 hari setelah ASI pertama
keluar. Kolostrum mempunyai karakteristik yaitu:
a) Cairan ASI lebih kental dan berwarna lebih kuning dari pada ASI mature.
b) Kolostrum lebih banyak mengandung protein dimana protein umumnya adalah
gamma globulin.

c)

Lebih banyak mengandung antibodi dibandingkan dengan ASI mature dan


dapat memberikan perlindungan pada bayi sampai usia 6 bulan

d) Kadar karbohidrat dan lemaknya lebih rendah dari pada ASI mature
e) Lebih tinggi mengandung mineral terutama sodium dibandingkan ASI mature
PH lebih alkali
f) Kandungan vitamin yang larut lemak lebih banyak dibandingkan ASI mature,
sedangkan vitamin yang larut air dapat lebih tinggi atau lebih rendah
g) Lipidnya lebih banyak mengandung kolesterol dan lecitinin dibandingkan
dengan ASI mature.
h) Volume kolostrum berkisar 150-300 ml/24 jam (Fanny, 2010)
Peran kolostrum sampai hari ke-3 setelah persalinan selain sebagai
imunisasi pasif juga mempunyai fungsi sebagai pencahar untuk mengeluarkan
mekonium dari usus bayi. Oleh karenanya, bayi sering defekasi dan faces
berwarna hitam. Proses ini dapat membersihkan mekonium yang ada dalam
sistem pencernaan bayi, tetapi kondisi ini sering disalah artikan oleh para ibu.
Mereka mengira bayi tidak cocok untuk mendapatkan asi sehingga ibu takut untuk
menyusui dan memberinya susu buatan (formula). Hal ini tidak akan terjadi bila
pihak kesehatan menjelaskan kepada ibu tentang peran dan fungsi kolostrum yang
sangat bermanfaat bagi bayi. Ketika sistem pencernaan telah bersih, usus bayi siap
mencerna ASI (Purwanti, 2004)
2) ASI Peralihan (Prematur)

Air susu ibu (ASI) peralihan merupakan ASI peralihan dari kolostrum
sampai menjadi ASI mature. ASI peralihan berlangsung dari hari ke empat sampai
hari ke sepuluh dari masa laktasi. Beberapa karakteristik ASI peralihan meliputi
kadar protein lebih rendah, sedangkan kadar lemak dan karbohidrat lebih tinggi
dibandingkan kolostrum serta volume ASI peralihan ini lebih tinggi dibandingkan
dengan kolostrum (Fanny, 2010)

3) ASI Mature
Air Susu Ibu (ASI) mature adalah ASI yang diekskresikan pada hari ke
sepuluh atau setelah minggu ke tiga sampai minggu keempat dan seterusnya.
Komposisi ASI mature ini adalah:
1. Cairan berwarna kekuning-kuningan
2. Tidak menggumpal bila dipanaskan PH 6,6-6,9
3. Kadar air daam ASI mature 88 grm/100 ml
4. Volume ASI mature 300-850 ml/24 jam
5. Mengandung faktor anti mikrobakterial yaitu antibodi terhadap bakteri dan
virus, cell (phagocyle, granulocyle, macrophage, lymphocyle type T), enzim
(lysozime, lactoperosidese), protein (lactoferrin, B 12 ginding protein), dan
faktor resisten terhadap staphylococcus, complecment (C3 dan c4) (Fanny,
2010).
2.1.4. Imunitas Air Susu Ibu

ASI mengandung beberapa komponen antiinflamasi yaitu :


1. Imunoglobulin G.
IgG sudah terbentuk pada kehamilan bulan ketiga, dapat menembus plasenta
pada waktu bayi lahir kadarnya sudah sama dengan kadar IgG ibunya. Fungsi
dari pada IgG ini ialah anti bakteri, anti jamur, anti virus dan anti toksik.
2. Imunoglobulin M.
IgM mulai dibentuk pada kehamilan minggu ke-14 dan mencapai kadar seperti
orang dewasa pada umur 1-2 tahun. Fungsi dari pada IgM ini ialah untuk
aglutinasi.
3. Imunoglobulin A.
IgA sudah dibentuk pula oleh janin tetapi jumlahnya masih sangat sedikit. Ada
2 macam IgA ialah serum (di dalam darah) dan IgA sekresi (berasal dari sel
mokosa) yang selanjutnya disebut SIgA. IgA serum mencapai kadar seperti
pada orang dewasa pada usia 12 tahun, sedangkan SIgA sudah mencapai
puncaknya pada usia 1 tahun.
4. Imunoglobulin D.
IgD belum banyak diketahui, baik pembentukannya maupun fungsinya.
5. Imunoglobulin E.
IgE belum diketahui tetapi diduga berfungsi seperti anti alergik.
6. Perpindahan Immunoglobulin dari Ibu ke Bayi.
Selain imunoglobulin, ASI juga mengandung zat antivirus dan antibakteri
yang terkandung di dalam kolostrum seperti berikut ini:

1. Lysozyme, tugasnya menghancurkan dinding sel bakteri patogen, sekaligus


melindungi saluran pencernaan bayi.
2. Bifidobakteri, bertugas mengasamkan lambung sehingga bakteri patogen
dan parasit tidak mampu bertahan hidup.
3. Lactoferin, bertugas mengikat zat besi sehingga bakteri patogen yang
membutuhkan zat besi diboikot, tidak mendapatkan suplai zat besi hingga
mati.
4.

Lactoperoksida, bersama unsur lainnya berperang melawan bakteri


streptococus

(yang

dapat

menimbulkan

gejala

penyakit

paru),

Pseudomonas, dan Escheria coli.


5. Makrofage, berfungsi melindungi kelenjar susu ibu dan saluran
pencernaan bayi (Widjaja, 2008).
2.1.5. Hal-hal yang Dapat Mempengaruhi Kurangnya Pasokan ASI
Ramiah (2006), menuliskan beberapa faktor yang menjadi alasan kurangnya
pasokan ASI sebagai berikut:
1. Faktor menyusukan
a. Tidak segera mulai menyusukan setelah persalinan
b. Perlekatan yang salah dari bibir bayi ke payudara
c. Memberikan susu botol atau makanan tambahan lainnya
d. Tidak menyusukan secara teratur. Perlu menyusukan setidaknya lima atau
enam kali sehari

e. Tidak menyusukan di malam hari. Hal ini mengurangi pengeluaran


prolaktin dan produksi ASI sebagai akibatnya
f. Menyusukan pada waktu yang lebih singkat ketika sibuk
g. Bayi tidak menyusu selama waktu yang dibutuhkan jika ia merasa tidak
nyaman, mislanya merasa kepanasan
h. Memberi empeng atau dot pada bayi
2. Faktor ibu
a. Faktor internal:
1) Kurangnya kepercayaan diri ibu bahwa ia bisa memproduksi ASI yang
cukup
2) Khawatir, stress, tegang apapun alasannya pengeluaran ASI yang
kurang lancar, dan payudara bengkak sebagai akibatnya yang
kebanyakan menyebabkan rasa sakit dan infeksi
3) Tidak bersedia menyusukan apapun alasannya
4) Penolakan bayi jika ibu belum mendekatkan diri dengan baik pada
bayi
5) Kesehatan ibu yang buruk, keletihan dan kelelahan
6) Kekurangan gizi yang parah
7) Perkembangan payudara yang buruk
b. Faktor eksternal:

1) Kurangnya privasi atau tempat yang tenang untuk menyusukan bayi


2) Ibu meminum kontrasepsi oral yang mengandung estrogen
3) Konsumsi alkohol
4) Merokok
3. Kondisi bayi
a. Infeksi apapun, seperti infeksi saluran kencing atau cacat lahir seperti
kelainan jantung dan lain-lain
b. Ketidak mampuan untuk mengisap dengan baik karena masalah dalam
sistem saraf maupun keterbelakangan mental
2.1.6. Teknik Menyusui yang Benar
Menurut Ramaiah (2006) sangat penting untuk mengikuti teknik menyusukan
yang benar. Beberpa faktor kunci untuk menyusukan secara efektif adalah:

1. Waktu menyusukan
Menyusukan bayi sesuai kebutuhan. Artinya kita harus memberikan ASI
kepada bayi setiap kali ia lapar dan bukan berdasarkan interval yang teratur
2. Perlekatan
Adalah istilah yang digunakan untuk menyebut cara bayi menahan puting
dalam mulutnya. Ini adalah langkah paling penting dalam menyusukan bayi.
Ada dua cara untuk mengetahui apakah bayi melekat dengan benar atau tidak:

a. Jika bayi melekat dengan benar, bibir bawah akan terlipat ke bawah dan
dagu akan medekat ke payudara. Lidah seharusnya ada di bawah areola
dan puting melengket ke langit-langit mulut bayi
b. Seluruh areola dan puting berada dalam mulut bayi
3. Posisi
Berbagai cara menggendong bayi selama menyusukan bayi:
a. Menggendong dengan topangan menyilang
Posisi ini juga disebut gendongan transisi, gendongan seberang, atau
gendongan menyilang dan ideal untuk memantapkan menyusukan setelah
kehamilan pertama atau segera setelah persalinan. Karena posisi ini
memungkinkan ibu memegang kendali yang lebih besar terhadap bayi dan
payudaranya
b. Gendongan futbol
Cara ini disebut juga cara menjepit bola. Posisi ini ideal setelah persalinan
dengan operasi caecar agar bayi tidak berkontak dengan bekas operasi.
Gendongan ini juga ideal bagi wanita yang memiliki payudara yang besar
karena memberikan lebih banyak ruang bagi bayi untuk bernafas
c. Gendongan biasa
Posisi ini lebih cocok bagi bayi yang sudah lebih besar dan ketika
menyusukan di tempat yang ramai
d. Posisi terbaring miring

Posisi ini juga disebut posisi miring, paling cocok untuk menyusukan
pada malam hari dan setelah persalinan dengan operasi caecar
Menyusukan dengan teknik yang tidak benar dapat mengakibatkan puting susu
menjadi lecet, ASI tidak keluar optimal sehingga mempengaruhi produksi ASI
selanjutnya atau bayi enggan menyusu.
2.2. ASI Eksklusif
2.2.1. Pengertian Asi Ekslusif
Yang dimaksud dengan ASI eksklusif atau lebih tepat pemberian ASI
secara eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja tanpa tambahan cairan lain
seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan makanan
padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan tim. Pemberian
ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya selama 4
bulan, tetapi bila mungkin sampai 6 bulan. Setelah bayi berumur 6 bulan, ia harus
mulai diperkenalkan dengan makanan padat, sedangkan ASI dapat diberikan
sampai bayi berusia 2 tahun atau bahkan lebih dari 2 tahun. (Roesli, 2008).
Para ahli menemukan bahwa manfaat ASl akan sangat meningkat bila bayi
hanya diberi ASI saja selama 6 bulan pertama kehidupannya. Peningkatan ini
sesuai dengan lamanya pemberian ASI eksklusif serta lamanya pemberian ASI
bersama-sama dengan makanan padat setelah bayi berumur 6 bulan (Nur, 2008)
Berdasarkan hal-hal di atas, WHO/UNICEF membuat deklarasi yang
dikenal dengan Deklarasi Innocenti (Innocenti Declaration). Deklarasi yang
dilahirkan di Innocenti, Italia tahun 1990 ini bertujuan untuk melindungi,

mempromosikan, dan memberi dukungan pada pemberian ASI. Deklarasi yang


juga ditandatangani Indonesia ini memuat hal-hal berikut : Sebagai tujuan global
untuk meningkatkan kesehatan dan mutu makanan bayi secara optimal maka
semua ibu dapat memberikan ASI eksklusif dan semua bayi diberi ASI eksklusif
sejak lahir sampai berusia 4-6 bulan. Setelah berumur 4-6 bulan, bayi diberi
makanan pendamping/padat yang benar dan tepat, sedangkan ASI tetap diteruskan
sampai usia 2 tahun atau lebih. Pemberian makanan untuk bayi yang ideal seperti
ini dapat dicapai dengan cara menciptakan pengertian serta dukungan dan
lingkungan sehingga ibu-ibu dapat menyusui secara eksklusif. (USAID, 2004)
Pada tahun 1999, setelah pengalaman selama 9 tahun, UNICEF
memberikan klarifikasi tentang rekomendasi jangka waktu pemberian ASI
eksklusif. Rekomendasi terbaru UNICEF bersama World Health Assembly (WHA)
dan banyak negara lainnya adalah menetapkan jangka waktu pemberian ASI
eksklusif selama 6 bulan. Bayi sehat pada umumnya tidak memerlukan makanan
tambahan sampai usia 6 bulan. Pada keadaan-keadaan khusus dibenarkan untuk
mulai memberi makanan padat setelah bayi berumur 4 bulan tetapi belum
mencapai 6 bulan. Misalnya karena terjadi peningkatan berat badan bayi yang
kurang dari standar atau didapatkan tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa
pemberian ASI eksklusif tidak berjalan dengan baik. (Roesli, 2008)
Namun, sebelum diberi makanan tambahan, sebaiknya coba diperbaiki
dahulu cara menyusuinya. Cobalah hanya memberinya ASI saja tanpa memberi
minuman/makanan lain. Selain itu, bayi harus sering disusui, perhatikan posisi
menyusui, dan jangan diberi dot atau empeng. Secara umum usahakan dahulu

agar cara pemberian ASI dilakukan sebaik mungkin. Apabila setelah 1-2 minggu
ternyata upaya perbaikan di atas tidak menyebabkan peningkatan berat badan,
barulah dipikirkan pemberian makanan tambahan/padat bagi bayi berusia di atas 4
bulan tetapi belum mencapai 6 bulan. (Roesli, 2008)
Terlepas dan isi rekomendasi baru UNICEF tadi, masih ada pihak yang
tetap mengusulkan pemberian makanan padat mulai pada usia 4 bulan sesuai
dengan isi Deklarasi Innocenti (1990), yaitu Hanya diberi ASI sampai bayi
berusia 4-6 bulan. Namun, pengetahuan terakhir tentang efek negatif pemberian
makanan padat yang terlalu dini telah cukup menunjang pembaharuan definisi
ASI eksklusif menjadi, ASI saja sampai usia sekitar 6 bulan. (Kresnawan, 2006)
Pemberian makanan padat/tambahan yang terlalu dini dapat mengganggu
pemberian ASI eksklusif serta meningkatkan angka kesakitan pada bayi. Selain
itu, tidak ditemukan bukti yang menyokong bahwa pemberian makanan
padat/tambahan pada usia 4 atau 5 bulan lebih menguntungkan. Bahkan
sebaliknya, hal ini akan mempunyai dampak yang negatif terhadap kesehatan bayi
dan tidak ada dampak positif untuk perkembangan pertumbuhannya. (Roesli,
2008)
2.2.2. Manfaat ASI Ekslusif
1. ASI merupakan nutrisi dengan kualitas dan kwantitas yang terbaik.
ASI yang dihasilkan oleh seorang ibu yang melahirkan secara premature
komposisinya akan berbeda dengan ASI yang yang dihasilkan ibu yang
melahirkan cukup bulan. ASI adalah makanan bayi yang paling sempurna, baik
kualitas maupun kuantitasnya. Dengan melaksanakan manajemen laktasi secara

baik, ASI sebagai makanan tunggal akan mencukupi kebutuhan tumbuh bayi
hingga usia 6 bulan.
2. ASI dapat meningkatkan daya tahan tubuh
Bayi baru lahir secara alamiah mendapat imunoglobulin (zat kekebalan atau
daya tahan tubuh) dari ibunya melalui plasenta, tetapi kadar zat tersebut dengan
cepat akan menurun segera setelah kelahirannya. Badan bayi baru lahir akan
memproduksi sendiri immunoglobulin secara cukup saat mencapai usia sekitar
empat bulan. Pada saat kadar immunoglobulin dari ibu menurun dan yang
dibentuk sendiri oleh tubuh bayi belum mencukupi, terjadilah suatu periode
kesenjangan immunoglobulin pada bayi. Kesenjangan tersebut hanya dapat
dihilangkan atau dikurangi dengan pemberian ASI. Air Susu Ibu merupakan
cairan yang mengandung kekebalan atau daya tahan tubuh sehingga dapat menjadi
pelindung bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus dan jamur.
3. ASI Eksklusif Mengembangkan Kecerdasan
Perkembangan kecerdasan anak sangat berkaitan erat dengan pertumbuhan
otak. Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan otak anak adalah nutrisi
yang diterima saat pertumbuhan otak, terutama saat pertumbuhan otak cepat.
Lompatan pertumbuhan pertama atau growth sport sangat penting pada periode
inilah pertumbuhan otak sangat pesat.
4. ASI Jalinan Kasih Sayang
Bayi yang sering berada dalam dekapan ibunya karena menyusui dapat
merasakan kasih sayang ibu dan mendapatkan rasa aman, tenteram dan terlindung.
Perasaan terlindung dan disayang inilah yang menjadi dasar perkembangan emosi

anak, yang kemudian membentuk kepribadian anak menjadi baik dan penuh
percaya diri. e. ASI bebas dari segala penyakit Jika payudara terkena radang,
justru ASI langsung diminum secara mentah dan segar. Ini berarti semua zat hidrat
arang, zat putih telur dan lemak serta segala vitamin dan mineral tetap baik
mutunya. ASI mengandung semua zat yang dibutuhkan oleh bayi dalam
perbandingan yang tepat sehingga mudah dicerna dan diserap oleh usus. f. ASI
mengandung zat lactoferin yang mengikat unsur besi, sehingga selama di usus
tidak ada zat besi yang hilang. (Danuatmaja, 2006)
2.3. Susu Formula
2.3.1. Pengertian Susu formula
Susu formula adalah cairan yang berisi zat-zat didalamnya tidak
mengandung antibodi, sel darah putih, zat pembunuh bakteri, enzim, hormon dan
faktor pertumbuhan (Roesli, 2005). Susu formula adalah susu yang dibuat dari
susu sapi dengan mengubah susunannya hingga dapat diberikan pada bayi (Kj,
2007). Susu botol adalah susu komersial yang dijual di pasar atau di toko yang
terbuat dari susu sapi atau kedelai diperuntukkan khusus untuk bayi dan
komposisinya disesuaikan mendekati komposisi ASI, serta biasanya diberikan di
dalam botol (Husaini, 2001).
2.3.2. Komposisi Susu Formula
Komposisi zat gizi susu formula selalu sama untuk setiap kali minum
(sesuai aturan pakai), hanya sedikit mengandung imunoglobulin yang sebagian
besar merupakan jenis yang salah (tidak diperlukan oleh tubuh). Kandungan zat
gizi dalam susu formula diantaranya terdiri dari lemak, protein, karbohidrat dan

mineral lainnya. Akan tetapi di dalam susu formula tidak mengandung sel-sel
darah putih dan sel-sel lain dalam keadaan hidup.
2.3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemberian Susu Formula
Menurut Arifin (2004), ada beberapa faktor ibu mempengaruhi pemberian
susu formula pada bayi yaitu faktor pendidikan, pengetahuan, pekerjaan,
ekonomi, budaya, psikologis, informasi susu formula, kesehatan.
1. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan dan perkembangan manusia,
usaha mengatur pengetahuan semula yang ada pada seorang individu itu.
Pendidikan menjadi tolak ukur yang penting dan manfaat menentukan status
ekonomi, status sosial dan perubahan-perubahan positif (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Arifin (2004) seseorang berpendidikan tinggi dan berpengetahuan luas
akan lebih bisa menerima alasan untuk memberikan ASI eksklusif karena pola
pikirnya yang lebih realistis dibandingkan yang tingkat pendidikan rendah.
Kriteria pendidikan yaitu sebagai berikut (Soekanto, 2002) :SD/ sederajat, SMP/
sederajat, SMA/ sederajat,Perguruan Tinggi.
2. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang
terhadap objek malalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan
sebagainya) (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan atau kognitif merupakan hal yang
sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang, salah satunya kurang
memadainya pengetahuan ibu mengenai pentingnya ASI yang menjadikan
penyebab atau masalah dalam peningkatan pemberian ASI (Roesli, 2005). Ibu

yang memiliki pengetahuan kurang tentang pentingnya pemberian ASI ekslusif


cenderung memiliki prilaku yang kurang baik dalam pemberian ASI eksklusif
dan beranggapan makanan pengganti ASI (susu formula) dapat membantu ibu dan
bayinya, sehingga ibu tidak memberikan ASI secara ekslusif kepada bayinya
(Purwanti, 2004). Ketidaktahuan ibu tentang pentingnya ASI, cara menyusui
dengan benar, dan pemasaran yang dilancarkan secara agresif oleh para produsen
susu formula merupakan faktor penghambat terbentuknya kesadaran orang tua
dalam memberikan ASI eksklusif (Nuryati, 2007) dan kurangnya pengertian
perihal manfaat memberi ASI ekslusif, iklan produk susu dan makanan buatan
yang berlebihan sehingga menimbulkan pengertian yang tidak benar. Bahkan
menimbulkan pengertian bahwa susu formula lebih baik dibandingkan ASI
(Arifin, 2004).
3. Pekerjaan
Pekerjaan adalah sesuatu kegiatan yang dilakukan untuk menafkahi diri dan
keluarga. Ibu yang bekerja mempunyai lingkungan yang lebih luas dan informasi
yang didapatpun lebih banyak sehingga dapat merubah perilaku- perilaku
positif(Notoatmodjo, 2003). Menurut Arifin (2004) kesibukan sosial lain serta
kenaikan tingkat partisipasi wanita dalam angkatan kerja dan adanya emansipasi
dalam segala bidang kerja dan di kebutuhan masyarakat menyebabkan turunnya
kesediaan menyusui dan lamanya menyusui
4. Sosial ekonomi
Sosial ekonomi adalah tingkat kemampuan seseorang untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang semakin tinggi

juga pendidikan, dan semakin tinggi juga pengetahuan (Soekanto, 2002). Hal ini
memberikan hubungan antara pemberian ASI dengan ekonomi/ penghasilan ibu
dimana ibu yang mempunyai ekonomi rendah mempunyai peluang lebih memilih
untuk memberikan ASI dibanding ibu dengan sosial ekonomi tinggi.
5. Budaya
Meniru teman, tetangga atau orang terkemuka yang memberikan susu botol.
Persepsi masyarakat gaya hidup mewah membawa dampak menurutnya kesediaan
menyusui. Bahkan adanya pandangan bagi kalangan tertentu bahwa susu botol
sangat cocok buat bayi dan terbaik. Hal ini dipengaruhi oleh gaya hidup yang
selalu mau meniru orang lain. Merasa ketinggalan zaman jika menyusui bayinya.
Budaya modern dan perilaku masyarakat yang meniru negara barat mendesak para
ibu untuk segera menyapih anaknya dan memilih air susu buatan sebagai jalan
keluarnya (Arifin, 2004).
6. Psikologis
Takut kehilangan daya tarik sebagai seorang wanita. Adanya anggapan para
ibu bahwa menyusui akan merusak penampilan. Padahal setiap ibu yang
mempunyai bayi selalu mengalami perubahan payudara, walaupun menyusui atau
tidak menyusui (Arifin, 2004).
7.

Informasi susu formula


Peningkatan sarana komunikasi dan transportasi yang memudahkan

periklanan distribusi susu buatan menimbulkan tumbuhnya kesediaan menyusui


dan lamanya baik di Desa dan perkotaan. Distribusi, iklan dan promosi susu
buatan berlangsung terus dan bahkan meningkat titik hanya di televisi, radio dan

surat kabar melainkan juga ditempat-tempat praktek swasta dan klinik-klinik


kesehatan masyarakat (Arifin, 2004).
8.

Kesehatan
Masalah kesehatan seperti adanya penyakit yang diderita sehingga dilarang

oleh dokter untuk menyusui, yang dianggap baik untuk kepentingan ibu dan bayi
(seperti: gagal jantung, Hb rendah dan HIV-AIDS) (Arifin, 2004).
2.3.4.

Kekurangan dari susu formula


Berikut ini adalah beberapa kekurangan dari susu formula dibandingkan
dengan ASI, diantaranya adalah :
1.

Mudah menimbulkan alergi

2.

Bisa menimbulkan Diare pada bayi.

3.

Nutriennya tidak sesempurna ASI.

4.

Lebih mudah menimbulkan gigi berlubang.

5.

Kurang memiliki efek psikologis yang menguntungkan.

6.

Tidak merangsang involusi rahim.

7.

Tidak menjarangkan kehamilan.

8.

Tidak mengurangi kejadian kanker payudara.

9.

Tidak praktis dan ekonomis.


10. Kerugian bagi negara menambah beban anggaran yang harus dikeluarkan
untuk membeli susu formula, biaya perawatan ibu, dan anak.
2.4. Diare
2.4.1. Pengertian diare

Diare adalah penyakit yang ditandai bertambahnya frekuensi defekasi


lebih dari biasanya (> 3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi
cair), dengan atau tanpa darah atau lendir (Suraatmaja, 2007).
Menurut WHO (2008), diare didefinisikan sebagai berak cair tiga kali atau
lebih dalam sehari semalam. Berdasarkan waktu serangannya terbagi menjadi dua,
yaitu diare akut (<2 minggu) dan diare kronik ( 2 minggu) (Widoyono, 2008).
2.4.2. Klasifikasi diare
Menurut Depkes RI (2000), jenis diare dibagi menjadi empat yaitu:
a. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang
dari 7 hari). Akibat diare akut adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi
merupakan penyebab utama kematian bagi penderita diare.
b. Disentri, yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat disentri adalah
anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, kemungkinan terjadinya
komplikasi pada mukosa.
c. Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus
menerus. Akibat diare persisten adalah penurunan berat badan dan gangguan
metabolisme.
d. Diare dengan masalah lain, yaitu anak yang menderita diare (diare akut dan
diare persisten), mungkin juga disertai dengan penyakit lain, seperti demam,
gangguan gizi atau penyakit lainnya.
Menurut Suraatmaja (2007), jenis diare dibagi menjadi dua yaitu:
a. Diare akut, yaitu diare yang terjadi secara mendadak pada bayi dan anak yang
sebelumnya sehat.

b. Diare kronik, yaitu diare yang berlanjut sampai dua minggu atau lebih dengan
kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah selama masa diare
tersebut.
2.4.3. Etiologi diare
Menurut Widoyono (2008), penyebab diare dapat dikelompokan menjadi:
a. Virus: Rotavirus.
b. Bakteri: Escherichia coli, Shigella sp dan Vibrio cholerae.
c. Parasit: Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan Cryptosporidium.
d. Makanan (makanan yang tercemar, basi, beracun, terlalu banyak lemak,
sayuran mentah dan kurang matang).
e. Malabsorpsi: karbohidrat, lemak, dan protein.
f. Alergi: makanan, susu sapi.
g. Imunodefisiensi.
2.4.4. Gejala diare
Menurut Widjaja (2002), gejala diare pada balita yaitu:
a. Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah. Suhu badannya pun meninggi.
b. Tinja bayi encer, berlendir, atau berdarah.
c. Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu.
d. Anusnya lecet.
e. Gangguan gizi akibat asupan makanan yang kurang.
f. Muntah sebelum atau sesudah diare.
g. Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah).
h. Dehidrasi.

2.4.5. Epidemiologi diare


Epidemiologi penyakit diare, adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2005).
a. Penyebaran kuman yang menyebabkan diare biasanya menyebar melalui fecal
oral antara lain melalui makanan atau minuman yang tercemar tinja dan atau
kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa perilaku yang dapat
menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya
diare, antara lain tidak memberikan ASI (Air Susu Ibu) secara penuh 4/6 bulan
pada pertama kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan makanan
masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar, tidak
mencuci tangan dengan sabun sesudah buang air besar atau sesudah membuang
tinja anak atau sebelum makan atau menyuapi anak, dan tidak membuang tinja
dengan benar.
b. Faktor penjamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare. Beberapa faktor
pada penjamu yang dapat meningkatkan beberapa penyakit dan lamanya diare
yaitu tidak memberikan ASI sampai dua tahun, kurang gizi, campak,
immunodefisiensi, dan secara proporsional diare lebih banyak terjadi pada
golongan balita.
c. Faktor lingkungan dan perilaku. Penyakit diare merupakan salah satu penyakit
yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih
dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi dengan perilaku
manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare
serta berakumulasi dengan perilaku yang tidak sehat pula, yaitu melalui
makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian diare.

2.4.6. Penularan diare


Penyakit diare sebagian besar disebabkan oleh kuman seperti virus dan bakteri.
Penularan penyakit diare melalui jalur fekal oral yang terjadi karena:
a. Melalui air yang sudah tercemar, baik tercemar dari sumbernya, tercemar
selama perjalanan sampai ke rumah-rumah, atau tercemar pada saat disimpan
di rumah. Pencemaran ini terjadi bila tempat penyimpanan tidak tertutup atau
apabila tangan yang tercemar menyentuh air pada saat mengambil air dari
tempat penyimpanan.
b. Melalui tinja yang terinfeksi. Tinja yang sudah terinfeksi, mengandung virus
atau bakteri dalam jumlah besar. Bila tinja tersebut dihinggapi oleh binatang
dan kemudian binatang tersebut hinggap dimakanan, maka makanan itu dapat
menularkan diare ke orang yang memakannya (Widoyono, 2008). Sedangkan
menurut (Depkes RI, 2005) kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui
fecal oral antara lain melalui makanan atau minuman yang tercemar tinja dan
atau kontak langsung dengan tinja penderita.
2.4.7. Penanggulangan diare
Menurut Depkes RI (2005), penanggulangan diare antara lain:
a. Pengamatan intensif dan pelaksanaan SKD (Sistem Kewaspadaan Dini)
Pengamatan yang dilakukan untuk memperoleh data tentang jumlah penderita
dan kematian serta penderita baru yang belum dilaporkan dengan melakukan
pengumpulan data secara harian pada daerah fokus dan daerah sekitarnya yang
diperkirakan

mempunyai

risiko

tinggi

terjangkitnya

penyakit

diare.

Sedangakan pelaksanaan SKD merupakan salah satu kegiatan dari surveilance

epidemiologi yang kegunaanya untuk mewaspadai gejala akan timbulnya KLB


(Kejadian Luar Biasa) diare.
b. Penemuan kasus secara aktif
Tindakan untuk menghindari terjadinya kematian di lapangan karena diare pada
saat KLB di mana sebagian besar penderita berada di masyarakat.
c. Pembentukan pusat rehidrasi
Tempat untuk menampung penderita diare yang memerlukan perawatan dan
pengobatan pada keadaan tertentu misalnya lokasi KLB jauh dari puskesmas
atau rumah sakit.
d. Penyediaan logistik saat KLB
Tersedianya segala sesuatu yang dibutuhkan oleh penderita pada saat terjadinya
KLB diare.
e. Penyelidikan terjadinya KLB
Kegiatan yang bertujuan untuk pemutusan mata rantai penularan dan
pengamatan intensif baik terhadap penderita maupun terhadap faktor risiko.
f. Pemutusan rantai penularan penyebab KLB
Upaya pemutusan rantai penularan penyakit diare pada saat KLB diare meliputi
peningkatan kualitas kesehatan lingkungan dan penyuluhan kesehatan.
2.4.8. Pencegahan diare
Menurut Depkes RI (2000), penyakit diare dapat dicegah melalui promosi
kesehatan antara lain:
a. Meningkatkan penggunaan ASI (Air Susu Ibu).
b. Memperbaiki praktek pemberian makanan pendamping ASI.

c. Penggunaan air bersih yang cukup.


d. Kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah makan.
e. Penggunaan jamban yang benar.
f. Pembuangan kotoran yang tepat termasuk tinja anak-anak dan bayi yang benar.
g. Memberikan imunisasi campak

2.5. Kerangka Teori

Intoleransi Laktosa
Pemberian Susu Formula

Pemberian ASI ekslusifKekebalan Tubuh

Diare

Status gizi

Kebersihan

Penyakit lain

Gambar 2.5 Kerangka Teori

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Variabel Independen
(Variabel Bebas)

Pemberian ASI
Pemberian Susu
Formula
Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.2.Variabel Penelitian
3.2.1.Variabel bebas (X)

Variabel Dependen
(Variabel Terikat)

Diare

Variabel bebas dalam penelitian adalah pemberian ASI Eksklusif dan Susu
Formula.
Skala : Nominal
Kategori:
a. Bayi dengan diberi ASI eksklusif
b. Bayi dengan diberi Susu Formula.
3.2.2. Variabel terikat (Y)
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah diare.
Skala : Nominal
Kategori:
Bayi dengan diare dan bayi yang tidak diare

3.3. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori dan perumusan masalah maka hipotesis atau
dugaan sementara yang dapat diajukan yaitu:
Ha = Ada perbedaan frekuensi diare antara bayi yang diberi ASI secara
Eksklusif dengan bayi yang diberi Susu Formula.
H0 = Tidak Ada perbedaan frekuensi diare antara bayi yang diberi ASI
secara Eksklusif dengan bayi yang diberi Susu Formula.
3.4. Definisi Operasional
3.4.1. variabel bebas
1. Pemberian ASI eksklusif: bayi yang hanya diberikan ASI tanpa
tambahan makanan lain minimal sampai usia 6 bulan.

Hasil ukur : bayi hanya minum ASI sampai usia 6 bulan


2. Pemberian susu formula : bayi yang diberikan susu formula dengan
atau tanpa minum ASI sebelum usia 6 bulan.
Hasil ukur : bayi minum susu formula dengan atau tanpa ASI sebelum
usia 6 bulan.
3.4.2. Variabel terikat
1. Diare : adalah bayi yang pernah/ sedang mengalami diare (buang air
besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi
lebih dari 3 kali dalam sehari).
Hasil ukur : Diare atau tidak diare

BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional, dengan
pendekatan cross sectional, yaitu studi dimana pengukuran terhadap variabel
bebas dan terikat dilakukan pada titik waktu yang sama (Sastroasmoro, 2011)
4.2.

Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Minasa Upa, waktu penelitian akan di
laksanakan setelah seminar proposal

4.3. Populasi dan Sampel


4.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh bayi yang berusia 6-12 bulan di wilayah
kerja Puskesmas ------ yang berjumlah 120 bayi.
4.3.2. Sampel
Sampel adalah bayi yang diambil dari populasi yang memenuhi kriteria,
dengan cara purposif sampling. Menentukan jumlah sampel minimal dengan

120
120
N
92 n
2 n
1 0,3
1 120 x0,05
1 Ne 2

menggunakan

rumus

slovin

4.4. Metode Pemilihan Sampel


Sampel diambil dari data primer yaitu dengan menggunakan kuesioner yang
ditanyakan langsung kepada responden dengan teknik wawancara. Adapun
kriteria populasi yang memenuhi syarat menjadi sampel adalah sebagai
berikut:
Kriteria Inklusi
1. Bayi berumur 6-12 bulan
2. Status gizi bayi baik

3. Bayi dengan diare dan tidak diare


4. Orang tua bayi yang bersedia menjadi responden
Kriteria Eksklusi
1. Bayi dengan kelainan bawaan
4.5. Pengolahan Data
Langkah-langkah pengolahan data adalah sebagai berikut:
4.5.1.Editing
Editing bertujuan untuk meneliti kembali jawaban kuesioner menjadi
lengkap. Editing dilakukan di lapangan sehingga bila terjadi kekurangan atau
ketidaksengajaan

kesalahan

pengisian

dapat

segera

dilengkapi

atau

disempurnakan. Editing dilakukan dengan cara memeriksa kelengkapan data,


mamperjelas serta melakukan pengolahan terhadap data yang dikumpulkan.

4.5.2.Koding
Koding yaitu memberikan kode angka pada atribut variabel agar lebih mudah
dalam analisa data. Koding dilakukan dengan cara menyederhanakan data
yang terkumpul dengan cara memberi kode atau simbol tertentu.
4.5.3.Tabulasi data
Pada tahapan ini data dihitung, melakukan tabulasi untuk masing-masing
variabel. Dari data mentah dilakukan penyesuaian data yang merupakan

pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan mudah dapat dijumlah,


disusun dan ditata untuk disajikan dan dianalisis.
4.6. Analisis data
Semua data hasil penilitian ditabulasi dan disajikan dalam bentuk tabel dan
kemudian dianalisa menggunakan uji statistik chi square, Pengelolaan data
dan uji hipotesis dengan menggunakan program komputer, dengan tingkat
signifikansi 5% (0.05).
4.7. Uji statistik
Berdasarkan data variabel penelitian di atas menunjukkan data skala
kategorik maka uji statistik yang paling sesuai adalah uji Chi Square. Chi
square dilakukan untuk menguji hipotesis pada data kategorik (dua kategorik
atau lebih). Chi square bertujuan untuk mengetahui perbedaan proporsi suatu
kelompok berbeda (significantly different) dengan proporsi kelompok lain.

BAB V
HASIL PENELITIAN

DAFTAR PUSTAKA
Agtini, M. D. 2011 Morbiditas dan Mortalitas Diare pada Balita di Indonesia,
Tahun 2000-2007. Situasi Diare di Indonesia. Kementrian Kesehatan RI.
Ali, A. 2010. Angka Kematian Bayi Masih Tinggi. (Online), diakses Desember
2012).
Anonim 2005 Tujuan 4 menurunkan angka kematian anak.
Anonim 2007 Porfil Kesehatan Kota Makassar.
Anonim. 2010. Laporan Nasional Riskesdas. (Online),
(www.riskesdas.litbang.depkes.go.id/2010/, diakses 15 september 2012).

Roesli, Utami. 2000 Mengenal ASI Eksklusif, Jakarta, PT Elex Komputindo.


Departemen Kesehatan, 2006. Pedoman Umum Pemberian Makanan
Pendamping ASI (MP-ASI) Lokal. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat
Departemen Kesehatan RI.
Roesli, Utami. 2008. Inisiasi Menyusui Dini Plus ASI Eksklusif. Jakarta:
Pustaka Bunda
Saleha, Siti. 2009. Asuhan Kebidanaan pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba
Medika
Fanny Indriyani B, 2010. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Ibu-Ibu Tentang
ASI Eksklusif di Kelurahan Bara-baraya Kecamatan Makassar Kotamadya
Makassar. Skripsi, Fakultas Kedokteran, Univesitas Hasanuddin, Makassar.
Purwanti.HS. 2004. Konsep Penerapan ASI Eksklusif. Jakarta: ECG
Widjaja, M.C. 2002. Mengatasi Diare dan Keracunan pada Balita. Jakarta:
Kawan Pustaka,pp: 58-70
Ramiah, Safitri. 2006. Manfaat ASI dan Menyusui. Jakarta: PT Bhuana Ilmu
Pupuler
Nur Arifah. 2008. Gambarkan Prilaku Ibu Menyusui Tentang Prilaku ASI
Esklusif di Kecamatan Sibolga Kota Sibolga. Medan: Skripsi, Fakultas
Kesehatan Masyarakat USU.
USAID Linkages Project, 2004. Exclusive Breastfeeding: The Only Water
Source Young Infants Need - Frequently Asked Questions, Washington DC.
Kresnawan, dkk., 2006. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air
Susu Ibu (MP-ASI) Lokal Tahun 2006, Direktorat Bina Gizi Masyarakat
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Danuatmaja, Bonny. 2006. 40 Hari Pasca Persalinan . Jakarta : Puspa Swara.
Roesli, Utami, 2005. Mengenal Asi Esklusif. Jakarta; Trubus Agriwidya.
Kj. 2007. Pengganti Air Susu Ibu.
http://www.balita-anda.com/balita_Pengganti_Air_Susu_Ibu.htm (diakses tanggal
16 september 2011 ).
Husaini & Anwar. 2001. Makanan Bayi Bargizi. Yogyakarta : Gadjamada
University

Arifin 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No


450/SK/IV/2004. Jakarta: DepKes. RI
Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rajagrarindo
Persada
Notoatmojo,2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Nuryati, Siti. 2007. Susu Formula dan Angka Kematian Bayi.
Suraatmaja S. 2007. Kapita Selekta Gastroentrologi. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Surabaya: Erlangga.
Depkes RI. 2000. Buku Pedoman Pelaksanaan Program P2 Diare. Jakarta: Depkes
RI.
Depkes RI 2005. Buku Pedoman Pelaksanaan Program P2 Diare. Jakarta: Depkes
RI.
Widjaja MC. 2002. Mengatasi Diare dan Keracunan pada Balita. Jakarta: Kawan
Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai