Anda di halaman 1dari 31

1.

Cara pemeriksaan protein urin :


a. Persiapan Pasien
Urin merupakan hasil metabolisme tubuh yang dikeluarkan melalui ginjal
oleh karena itu perlu diperhatikan beberapa hal yang dapat mengganggu
pemeriksaan urin. Untuk pemeriksaan glukosa sebaiknya tidak dianjurkan untuk
makan zat yang dapat mereduksi seperti vitamin C, penisilin, streptomisin, kloral
hidrat, dan salisilat yang dapat menganggu hasil pemeriksaan. Obat yang
memberikan warna pada urin dapat mengganggu pembacaan hasil tes seperti
piridium yang akan menyebabkan warna merah pada urin dan dapat mengganggu
pembacaan bilirubin. Urin yang dikumpulkan hendaknya dihindari dari
kotaminasi sekret vagina, sperma, rambut pubis, bedak, minyak, lotion dan bahan
yang berasal dari luar. Pada pasien anak, urin sebaiknya tidak diambil dari
diaspers. Sebelum pengambilan urin sebaiknya pasien diberitahu untuk mencuci
tangan dengan bersih kemudian diberi penampung. Penampung urin terdiri dari
terdiri dari berbagai macam tipe dan bahan, saat ini yang lazim digunakan adalah
wadah yang terbuat dari plastik. Wadah harus bermulut lebar, bersih, kering dan
bertutup. Wadah steril hanya diperlukan untuk pemeriksaan biakan urin. Untuk
bayi tersedia katong plastik polyethylene bag dengan perekat. Wadah penampung
urin hanya digunakan sekali pakai.
b. Persiapan Sampel
Hal pertama yang harus diperhatikan pada pengambilan sampel urin
adalah identitas penderita yaitu nama, nomor rekam medis, tanggal dan jam
pengambilan bahan. Identitas ini ditulis diwadah urin dan harus sesuai dengan
nomor permintaan. Pada formulir permintaan dicantumkan nama, nomor rekam
medis dan tanggal. Sebelum mengerjakan tes, diteliti kembali jenis tes yang
diminta untuk diperiksa. Hal ini akan mengurangi kesalahan yang mungkin
terjadi. Bahan tes yang terbaik adalah urin segar kurang dari 1 jam setelah
dikeluarkan. Urin yang dibiarkan dalam waktu lama pada suhu kamar akan
menyebabkan perubahan pada urin. Apabila terpaksa menunda pemeriksaan, urin
harus disimpan dalam lemari es pada suhu 2-8 C dan penudaan tidak lebih dari 8

jam. Pada keadaan tertentu sehingga urin harus dikirim pada tempat yang jauh
danatau tidak ada lemari es, bisa gunakan pengawet.
c. Cara Pengumpulan Sampel
Metode yang sering digunakan adalah pengumpulan seluruh urin ketika
berkemih pada suatu saat.
Kateterisasi, dapat dilakukan untuk:
- Pasien yang sukar kencing.
- Pasien wanita, untuk menghindari kontaminasi discharge vagina terutama saat
menstruasi. Namun penggunaan kateter ini bukan merupakan prosedur
pengumpulan yang rutin, karena dapat menimbulkan risiko infeksi.
Punksi suprapubik, dapat dilakukan untuk :
- Menghindari kontaminasi uretral dan vaginal.
- Pasien bayi dan anak kecil.
- Studi sitologi.
Clean Catch atau Clean Voided Midstream adalah merupakan metode terpilih,
dapat dilakukan untuk:
- Tes bakteriologi. Cara memperolehnya: genitalia eksterna dicuci terlebih dahulu
dengan larutan antiseptik khusus. Aliran urin pertama dibuang, lalu diambil aliran
urin tengah atau midstream urine yang ditampung dalam wadah steril. Aliran urin
akhir juga dibuang.
- Tes urin rutin. Langsung diambil midstream urine (urin aliran tengah) yang
ditampung dalam wadah bersih dan kering.
d. Jenis Sampel
Sampel urin yang dipakai untuk urinalisis :

Urin sewaktu adalah urin yang dikeluarkan pada satu waktu yang tidak
ditentukan secara khusus.
Urin pagi adalah urin yang pertama dikeluarkan pada pagi hari setelah bangun
tidur. Baik untuk pemeriksaan sedimen, berat jenis (Bj), protein dan untuk tes
kehamilan berdasarkan adanya hormon human chorionic gonadotropin (HCG).
Urin post prandial : Pasien disuruh berkemih sebelum makan pagi hari, porsi
tersebut dibuang kemudian urin ditampung setelah 2 jam makan. Porsi urin kedua
ini digunakan untuk memeriksa glukosa dan pemantauan pengobatan insulin pada
penderita diabetes melitus.
Timed specimen atau sampel terjadwal :
-

Urin 24 jam, contohnya : urin yang dikeluarkan jam 7 pagi dibuang.


Seluruh urin yang dikeluarkan kemudian termasuk urin jam 7 pagi esok

harinya ditampung. Urin 24 jam biasanya memerlukan pengawet.


Urin siang 12 jam, contohnya : urin yang dikumpulkan dari jam 7 pagi

sampai jam 7 malam.


Urin malam 12 jam contohnya : urin yang dikumpulkan dari jam 7 malam
sampai jam 7 pagi esok harinya

Urin 3 gelas dan urin 2 gelas : berguna untuk memberikan gambaran letak
radang atau lesi yang terdapat pada saluran kemih pria.
e. Pengawet
Untuk melindungi sampel urin 24 jam dari dekomposisi dan kontaminasi
maka urin diberi bahan pengawet. Macam-macam pengawet urin antara lain
sebagai berikut :
Toluen : menghambat perombakan urin oleh kuman. Digunakan 2 5 ml toluen
untuk mengawetkan urin 24 jam. Dipakai sebagai pengawet glukosa, aseton, dan
asam aseto asetat.

Timol : sebutir timol mempunyai daya pengawet seperti toluen. Dipakai sebagai
pengawet sedimen.
Formaldehid dan kloroform : digunakan 1 2 ml larutan forma
ldehid 40% (formalin) atau 50 tetes larutan kloroform untuk mengawetkan urin
24 jam. Dipakai untuk mengawetkan sedimen.
Asam sulfat pekat : sebagai pengawet untuk penetapan kuantitatif kalsium,
nitrogen (N) dan zat anorganik lainnya. Diberikan dalam jumlah tertentu sehingga
pH urin tetap < 4,5 yang dikontrol dengan kertas nitrazin. Reaksi asam mencegah
terlepasnya unsur N dalam bentuk amoniak dan mencegah terjadinya endapan
kalsium fosfat.
Natrium karbonat : digunakan 5 g Natrium karbonat bersama beberapa ml
toluen. Khusus untuk mengawetkan urobilinogen.
Asam hidroklorida 10 ml atau asam borat 50 g digunakan sebagai pengawet urin
24 jam untuk mencegah dekomposisi bahan/zat pada medium alkali.
Macam-macam metode pemeriksaan protein :
1. Cara Kualitatif (pembacaan hasil berdasarkan positif dan negatif) :
- Bang
- Osgood
- Reaksi Heller
- Hoopkins cold
- Boedeker
2. Cara semi kualitatif (pembacaan berdasarkan positif/negatif dan disertai
kadar secara kasar) :
- Sulfosalisil 20%
- Asam Asetat 6%
3. Cara kualitatif (pembacaan hasil berdasarkan kadar/jumlah protein di dalam
urine) :
- Esbach
- Modifikasi Tsuchiya
- Asam Sulosalisil 3%
Metode Bang

Prinsip : Protein dalam suasana asam lemah dan pemanasan, akan


mengalami denaturasi yang kemudian terjadi kekeruhan hingga endapan.
Tujuan : untuk mengetahui ada tidaknya protein di dalam urin.
Alat dan reagensia :
- Tabung reaksi
- Becker glass 250 cc
- Gelas ukur
- Penjepit tabung
- Pipet tetes
- Pembakar spiritus
- Pipet ukur
- Sentrifuge dan tabung sentrifuge
- Reagen Bang :
Cara Kerja :
- Masukkan urine ke dalam becker glass 250 cc
- Sentrifuge selama 5 menit pada 1500 rpm
- Tuang ke dalam tabung reaksi sebanyak 3 ml
- Tambahkan 4 tetes reagen Bang dan dipanaskan dengan nyala api spiritus
sampai mendidih (jangan sampai meluap)
- Dinginkan dan baca hasilnya
Nilai normal : negatif
Interpretasi Hasil :
- Negatif : jernih, ada kekeruhan yang sangat sedikit (<10mg/dl)
- + : ada kekeruhan dengan latar belakang tulisan masih terbaca (50-200
- ++ : Kekeruhan jelas dengan latar belakang tulisan tidak terbaca (50-200
mg/dl)
+++ : kekeruhan berkeping-keping yang nyata (200-500mg/dl)
++++ : endapan menggumpal besar dan membeku.
a) Positif palsu dapat terjadi pada urine apabila urin mengandung protease,
-

tolbutamine dan sulfonat


b) Adanya protein dalam jumlah sedikit tidak selalu menunjukkan kelainan
patollogis. Misal : pada latihan fisik yang berat, berdiri laaa (postural
albuminuria)
c) Hasil positif ditemukan pada kerusakan ginjal, kehamilan dengan
preeklamsia, febris, infeksi saluran kemih dan ginjal, sindrom nefrotik dan
lain-lain
d) Apabila tidak memiliki reagen Bang, maka cukup dengan asam cuka 6% atau
asam cuka makanan pasaran
Jumlah Protein Kuantitatif

Dilakukan dengan cara Esbach memakai alat albuminometer Esbach serta


sampel urin 24 jam atau 12 jam. Hasilnya dibaca setelah 18 24 jam dan
dilaporkan dalam gram protein per liter urin. Nilai rujukannya <0,5 g / liter.
Cara Kerja Tes Protein Kuantitatif cara Esbach :
1. Urin harus bereaksi asam. Jika perlu tambahkan beberapa tetes asam asetat
glasial ke dalam urin hingga reaksinya asam.
2. Isi tabung Esbach dengan sampel urin sampai garis bertanda U.
3. Tambahkan reagen Esbach pada sampel tersebut hingga garis bertanda R
4. Sumbat tabung lalu bolak-balikkan tabung 12 kali ( jangan dikocok).
5. Letakkan tabung dalam posisi tegak dan biarkan selama 18 24 jam.
6. Tinggi kekeruhan dibaca dan menunjukkan banyaknya gram protein per liter
urin.

2. Perbedaan JNC 7 dan JNC 8 :


Topik
Metodologi

JNC 7
Literatur

review

yang

JNC 8
tidak Critical questions dan review criteria

sistematis dari para ahli (expert didefiniskan

oleh

para

ahli

dari

committee) termasuk batasan dari berbagai instansi penelitian (expert


desain penelitiannya.

panel) dan digabungkan oleh team


metodologi.
Tinjauan sistematis awal dilakukan
oleh ahli metodologi terbatas pada
RCT evidance
Peninjauan kembali dari RCT evidance
dan rekomendasi dari setiap panel akan

disesuaikan dengan protokol standart


Definisi

yang berlaku.
Menetapkan hipertensi ke dalam Tidak menetapkan prehipertensi dan
kriteria

pre-hipertensi

dan hipertensi namun lebih menetapkan

hipertensi
Tujuan terapi

thresholds

pemberian

terapi

farmakologi
Menetapkan tujuan terapi secara Menetapkan tujuan terapi yang sama
terpisah

yaitu

untuk

terapi untuk semua populasi kecuali jika

hipertensi tanpa komplikasi dan terdapat


hipertensi

disertai

bukti

yang

kuat

untuk

dengan menerapkan terapi yang berbeda pada

Rekomendasi

penyakit komorbid
Rekomendasi yang

subpopulasi tertentu
diberikan Rekomendasi
yang

Gaya Hidup

berdasarkan literature review dan berdasarkan pada rekomendasi yang


pendapat ahli

telah

didukung

diberikan

sejumlah

bukti

Terapi

penelitian dari Lifestyle Work Group


Merekomendasikan 5 kelas obat Rekomendasi berupa pilihan obat yang

farmakologi

yang

dapat

dipertimbangkan terdiri dari 4 kelas obat antihipertensi

dalam terapi awal tetapi terapi spesifik (ACEI atau ARB, CCB atau
yang paling direkomendasikan diuretik), dan dosis obat berdasarkan
untuk hipertensi tanpa komplikasi penelitian RCT.
adalah thiazide-obat type diuretik Rekomendasi obat untuk kondisi ras
dibandingkan kelas obat yang tertentu, CKD dan DM berdasarkan
lain.

bukti penelitian RCT

Beberapa terapi hipertensi yang Panel terapi obat yang dibuat dalam
spesifik di indikasikan khusus tabel merupakan hasil dari clinical trial
pada

hipertensi

dengan pada penderita hipertensi dan sudah

komplikasi seperti DM, CKD, terbuti


gagal

jantung,

infraction,
tinggi

stroke,

memiliki

myocardial efektivitasnya
dan

resiko

CVD(termasuk

tabel

komprehensif yang terdiri dari


nama obat dan ukuran dosis obat

efikasi

dan

Ruang

yang biasa digunakan)


lingkup Menunjukan kepada

berbagai Ulasan bukti RCT ditujukan untuk

topic yang dibahas masalah yaitu metode pengukuran menjawab beberapa pertanyaan yang
tekanan

darah,

komponen menjadi perioritas utama panel

evaluasi

pasien,

hipertensi

sekunder,

kepatuhan

terhadap

regimen, resistent hipertensi, dan


hipertensi pada populasi khusus,
berdasarkan literature review dan
pendapat ahli.
Proses

ulasan Di ulas oleh National High Blood Diulas oleh para ahli yang terdiri

sampai

Pressure

Education

Program profesional, masyarakat, dan lembaga

terpublikasi

Coordinating Committee, sebuah federal dan tidak memiliki sponsor.


koalisi dari 39 orang profesional,
masyarakat,

dan

organisasi

sukarela dan 7 lembaga federal


3. Obat-obat hipertensi dari JNC 8 dan mekanisme kerjanya :
Menagemen Hipertensi JNC 8
1. Rekomendasi 1
Pada usia 60 tahun, inisiasi terapi farmakologi untuk menurunkan tekanan
darah (TD) pada systolic blood pressure (SBP) 150 mmHg, atau diastolic
blood pressure (DBP) 90 mmHg dan diturunkan sampai SBP 150 mmHg
dan DBP 90 mmHg. (Rekomendasi Kuat-Grade A)
2. Corollary Recommendation
Pada populasi umum usia 60 tahun, jika terapi farmakologi ternyata
menurunkan tekanan darah SBP lebih rendah dari target (SBP 140 mmHg)
dan terapi dapat ditoleransi tanpa ada efek samping yang menganggu maka
terapi tidak perlu penyusuaian ( Pendapat Ahli-Grade E)
3. Rekomendasi 2
Pada populasi umum dengan usia < 60 tahun, inisiasi terapi farmakologi untuk
menurunkan TD pada DBP 90 mmHg dan diturunkan sampai tekanan DBP

90 mmHg. (untuk usia 30-59 tahun, Rekomendasi Kuat- Grade A; untuk


usia 18-29 tahun, pendapat ahli-Grade E)
4. Rekomendasi 3
Pada populasi umum dengan usia < 60 tahun, inisiasi terapi farmakologi untuk
menurukan TD pada SBP 140 mmHg dan diturunkan sampai tekanan SBP <
140 mmHg. (Pendapat Ahli-Grade E)
5. Rekomendasi 4
Pada populasi umum usia 18 tahun dengan Chronic Kidney Disease (CKD),
inisiasi terapi farmakologi untuk menurunkan TD pada SBP 140 mmHg atau
DBP 90 mmHg dan target menurunkan sampai SBP < 140 mmHg dan DBP
< 90 mmHg.(Pendapat Ahli-Grade E)
6. Rekomendasi 5
Pada populasi umum usia 18 tahun dengan diabetes, inisiasi terapi
farmakologi untuk menurunkan TD pada SBP 140 mmHg atau DBP 90
mmHg dan target menurunkan sampai SBP < 140 mmHg dan DBP < 90
mmHg.(Pendapat Ahli-Grade E)
7. Rekomendasi 6
Pada populasi bukan kulit hitam, termasuk dengan penyakit diabetes, inisiasi
terapi farmakologi harus mencakup, diuretik tipe thiazide, calcium channel
blocker (CCB), angiostensin-converting enzym inhibitor (ACEI) atau
angiostensin receptor blocker (ARB). (Rekomendasi : Sedang-Grade B)
8. Rekomendasi 7
Pada populasi kulit hitam, termasuk orang-orang dengan diabetes, initiasi
terapi farmakologi antihipertensi harus mencakup diuretik tipe thiazide,
calcium channel blocker (CCB) (Untuk orang kulit hitam rekomendasi
sedang-grade B; untuk orang kulit hitam dengan diabetes rekomendasi lemah
grade C)
9. Rekomendasi 8
Pada populasi umum usia 18 tahun dengan CKD, inisiasi terapi farmakologi
antihipertensi harus mencakup obat ACEI atau ARB untuk meningkatkan
fungsi ginjal (Rekomendasi Sedang-Grade B)
10. Rekomendasi 9
Tujuan objektif dari terapi hipertensi adalah untuk mencapai dan
mempertahankan tekanan darah sesuai target terapi. Jika tekanan darah tidak
dapat mencapai target terapi yang diinginkan dalam waktu 1 bulan terapi
tekanan darah, dapat dilakukan peningkatan dosis obat atau menambah

golongan obat kedua dari salah satu golongan obat pada rekomendasi 6
(diuretik tipe thiazide, CCB, ACEI atau ARB). Dokter harus terus menilai
perkembangan TD dan menyesuaikan regimen obat antihipertensi sampai TD
yang diinginkan dapat dicapai. Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai
dengan pengunaan 2 jenis golongan obat antihipertensi, dapat dilakukan
penambahan dan titrasi obat ke 3 dari daftar yang telah tersedia. Jangan pernah
mengunakan obat ACEI dan ARB secara bersamaan pada 1 orang pasien. Jika
target tekanan darah tetap tidak dapat dicapai mengunakan terapi obat pada
rekomendasi 6 karena ada kontraindikasi obat atau membutuhkan lebih dari 3
jenis obat, maka obat dari golongan antihipertensi lainnya dapat digunakan.
Rujukan ke spesialis perlu dilakukan jika pasien tidak dapat mencapai target
tekanan darah mengunakan strategi yang di atas atau perlu dilakukan
managemen komplikasi pada pasien.
Dosis obat hipertensi JNC 8
Obat Antihipertensi

Inisial

Dosis Target

Jumlah

Dosis Harian, mg

RCT, mg

Obat / Hari

ACE inhibitors
1. Captopril
50
2. Enalapril
5
3. Lisinopril
10
Angiotensi receptor blockers (ARB)
1. Eprosartan
400
2. Candesartan
4
3. Losartan
50
4. Valsartan
40-80
5. Irbesartan
75
-Blockers
1. Atenolol
25-50
2. Metoprolol
50
Calcium Channel Blockers
1. Amlodipine
2,5
2. Diltiazem
extended 120-180
release
3. Nitredipine
Thiazide-type diuretics
1. Bendroflumethiazide
2. Chlorthalidone
3. Hydrochlorothiazide

150-200
20
40

2
1-2
1

600-800
12-32
100
160-320
300

1-2
1
1-2
1
1

100
100-200

1
1-2

10
360

1
1

10

20

1-2

5
12,5
12,5-25

10
12,5-25
25-100

1
1
1-2

4. Indapamide

1,25

1,25-2,5

Mekanisme kerja obat anti hipertensi berdasarkan JNC 8 adalah :


1. ACE (Angiotensin Converting Enzyme) -Inhibitor
ACE inhibitor menghambat perubahan Angiotensin I menjadi Angiotensi
II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Selain itu,
degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah
meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-inhibitor. Vasodilatasi
secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya
aldosteron akan menyebabkan eksresi air dan natrium dan retensi kalium.
Obat-obatan yang termasuk dalam ACE inhibitor tersebut bekerja dengan
menghambat efek angiotensin II yang bersifat sebagai vasokonstriktor.
Selanjutnya ACE menyebabkan degradasi bradikinin menjadi peptida inaktif
atau dalam pengertian bradikinin tidak diubah. Dengan demikian peranan
ACE pada hipertensi yaitu meningkatkan kadar bradikinin yang memberikan
kontribusi sebagai vasodilatator untuk ACE-inhibitor. Akibat vasodilatasi
maka menurunkan tahanan pembuluh peripheral, preload dan afterload pada
jantung sehingga tekanan darah dapat diturunkan.

Gambar 1. Peranan ACE dalam menurunkan tekanan darah


2. ARB (Angiotensin Receptor Blockers)
Angiotensinogen II dihasilkan dengan melibatkan dua jalur
enzim: RAAS (Renin Angiotensin Aldosterone System) yang
melibatkan ACE, dan jalan alternatif yang menggunakan enzim
lain

seperti

chymase.

ACEI

hanya

menghambat

efek

angiotensinogen yang dihasilkan melalui RAAS, dimana ARB


menghambat angiotensinogen II dari semua jalan. Oleh karena
perbedaan ini, ACEI hanya menghambat sebagian dari efek
angiotensinogen II. ARB menghambat secara langsung reseptor
angiotensinogen

II

tipe

(AT1)

yang

memediasi

efek

angiotensinogen II yang sudah diketahui pada manusia :


vasokonstriksi,

pelepasan

aldosteron,

aktivasi

simpatetik,

pelepasan hormon antidiuretik dan konstriksi arteriol efferen


dari glomerulus.
ARB tidak memblok reseptor angiotensinogen tipe 2 (AT2).
Jadi efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti
vasodilatasi,

perbaikan

jaringan,

dan

penghambatan

pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan ARB. Studi


menunjukkan kalau ARB mengurangi berlanjutnya kerusakan
organ

target

jangka

panjang

pada

pasien-pasien

dengan

hipertensi dan indikasi khusus lainnya.


Tujuh ARB telah di pasarkan untuk mengobati hipertensi;
semua obat ini efektif menurunkan

tekanan

darah.

ARB

mempunyai kurva dosis-respon yang datar, berarti menaikkan


dosis diatas dosis rendah atau sedang tidak akan menurunkan
tekanan darah yang drastis. Penambahan diuretik dosis rendah
akan meningkatkan efikasi antihipertensi dari ARB. Seperti ACEI,
kebanyakan ARB mempunyai waktu paruh cukup panjang untuk
pemberian

x/hari.

Tetapi

kandesartan,

eprosartan,

dan

losartan mempunyai waktu paruh paling pendek dan diperlukan


dosis pemberian 2x/hari agar efektif menurunkan tekanan
darah.
ARB mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan
dengan obat antihipertensi lainnya. Karena tidak mempengaruhi
bradikinin, ARB tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEI.
Sama halnya dengan ACEI, ARB dapat menyebabkan insufisiensi
ginjal, hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik. Hal-hal yang harus
diperhatikan lainnya sama dengan pada penggunaan ACEI.

Kejadian batuk sangat jarang, demikian juga angiedema; tetapi


cross-reactivity telah dilaporkan. ARB tidak boleh digunakan
pada perempuan hamil.
3. B-Blockers
Penyekat beta telah digunakan pada banyak studi besar
untuk hipertensi. Sebelumnya penyekat beta disarankan sebagi
obat lini pertama bersama diuretik. Tetapi, pada kebanyakan
trial ini, diuretik adalah obat utamanya, dan penyekat beta
ditambahkan untuk menurunkan tekanan darah. Beberapa studi
telah menunjukkan berkurangnya resiko kardiovaskular apabila
penyekat beta digunakan pasca infark miokard, pada sindroma
koroner akut, atau pada angina stabil kronis. Walaupun pernah
dikontraindikasikan pada penyakit gagal jantung, banyak studi
telah menunjukkan kalau karvedilol dan metoprolol suksinat
menurunkan mortalitas pada pasien dengan gagal jantung
sistolik yang sedang diobati dengan diuretik dan ACEI. Atenolol
digunakan pada DM tipe 2 pada studi UKPDS dan menunjukkan
efek

yang

sebanding,

menurunkan

resiko

walaupun

tidak

kardiovaskular

lebih

baik

dibandingkan

dalam
dengan

captopril.
Ada perbedaan farmakodinamik dan farmakokinetik diantara
penyekat beta yang ada, tetapi menurunkan tekanan darah
hampir sama.

Ada tiga karakteristik

farmakodinamik

dari

penyekat beta yang membedakan golongan ini yaitu efek :


Kardioselektif (cardioselektivity)
ISA (intrinsic sympathomimetic activity)
Mestabilkan membrane (membran-stabilizing)
Penyekat beta yang mempunyai afinitas yang lebih besar
terhadap reseptor beta-1 dari pada reseptor beta-2 adalah
kardioselektif. Adrenoreseptor beta-1 dan beta-2 terdistribusi di
seluruh tubuh, tetapi terkosentrasi pada organ-organ dan
jaringan tertentu. Beta-1 reseptor lebih banyak pada jantung

dan ginjal, dan beta-2 reseptor lebih banyak ditemukan pada


paru-paru, liver, pankreas, dan otot halus arteri. Perangsangan
reseptor beta-1 menaikkan denyut jantung, kontraktilitas, dan
pelepasan rennin. Perangsangan reseptor beta-2 menghasilkan
bronchodilatatasi
kardioselektif

dan

kecil

vasodilatasi.

Penyekat

kemungkinannya

untuk

beta

yang

mencetuskan

spasme bronkus dan vasokonstriksi. Juga, sekresi insulin dan


glikogenolisis secara adrenergik dimediasi oleh reseptor beta-2.
Penghambatan reseptor beta-2 dapat menurunkan proses ini
dan menyebabkan hiperglikemi atau menimbulkan perbaikan
hipoglikemi. Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol
adalah penyekat beta yang kardioselektif; jadi lebih aman
daripada penyekat beta yang nonselektif pada pasien asma,
PPOK, penyakit arteri perifer, dan diabetes yang karena alasan
khusus harus diberi penyekat beta. Tetapi, kardio selektifitas
adalah fenomena yang tergantung dosis. Pada dosis yang lebih
tinggi, penyekat beta yang kardioselektif kehilangan selektifitas
relatifnya untuk reseptor beta-1 dan akan memblok reseptor
beta-2 seefektif memblok reseptor beta-1. Pada dosis berapa
kardioselektifitas hilang tergantung dari pasien ke pasien. Pada
umumnya, penyekat beta yang kardioselektif lebih disukai bila
digunakan untuk mengobati hipertensi.
Beberapa

penyekat

beta

mempunyai

aktivitas

simpatomimetik intrinsic (ISA). Acebutolol, carteolol, penbutolol,


dan pindolol adalah penyekat beta ISA yang bekerja secara
agonis beta reseptor parsial. Tetapi penyekat beta ISA ini tidak
menurunkan
penyekat

kejadian

beta

yang

kardiovaskular
lain.

Malahan,

dibanding
obat-obat

dengan
ini

dapat

meningkatkan resiko pasca infark miokard atau pada pasien


dengan resiko penyakit koroner yang tinggi. Jadi, ISA jarang
diperlukan. Akhirnya, semua penyekat beta mempengaruhi aksi
menstabilkan membrane (membrane-stabilising action) pada sel

jantung bila dosis cukup besar digunakan. Aktifitas ini diperlukan


bila karakteristik antiaritmik dari penyekat beta diperlukan.
Perbadaan

farmakokinetik

diantara

penyekat

beta

berhubungan dengan first pass metabolisme, waktu paruh,


derajat kelarutan dalam lemak (lipophilicity), dan rute eliminasi.
Propranolol dan metoprolol mengalami first-pass metabolism,
jadi dosis yang diperlukan untuk memblok reseptor beta akan
bervariasi

dari

pasien

ke

pasien.

Atenolol

dan

nadolol

mempunyai waktu paruh panjang dan di ekskresi lewat ginjal.


Walaupun waktu paruh dari penyekat beta lainnya jauh lebih
singkat, pemberian 1x/hari efektif karena waktu paruh dalam
serum tidak berhubungan dengan lama keja hipotensinya.
Penyekat

beta

bervariasi

dalam

sifat

lipofiliknya

atau

penetrasinya ke susunan saraf pusat. Semua penyekat beta


melewati sawar darah-otak, tetapi agen lipofilik berpenetrasi
lebih jauh dibanding yang hidrofilik. Propranolol yang paling
lipofilik dan atenolol yang sedikit lipofiliknya. Jadi kosentrasi
propranolol di otak lebih tinggi dibanding atenolol bila dosis
yang ekivalen diberikan. Hal ini mengakibatnya efek samping
sistim saraf pusat (seperti pusing dan mengantuk) dengan agen
lipofilik seperti propranolol. Tetapi, sifat lipofilik ini memberikan
efek

yang

migraine,

lebih

untuk

mencegah

kondisi

sakit

nonkardiovaskular

kepala,

tremor

seperti

essensial,

dan

tirotoksikosis.
Pemberian penyekat beta tiba-tiba dapat menyebabkan
angina tidak stabil, infark miokard, dan bahkan kematian pada
pasien-pasien

dengan

resiko

tinggi

penyakit

koroner.

Pemberhentian tiba-tiba juga dapat menyebabkan rebound


hypertension (naiknya tekanan darah melebihi tekanan darah
sebelum pengobatan). Untuk mencegah ini, penyekat beta
harus diturunkan dosis dan diberhentikan secara perlahan-lahan
selama 1-2 minggu.

Seperti diuretik, penyekat beta menaikkan serum kolesterol


dan glukosa, tetapi efek ini transien dan secara klinis bermakna
sedikit. Penyekat beta dapat menaikkan serum trigliserida dan
menurunkan kolesterol HDL sedikit. Penyekat beta dengan
karakteristik memblok penyekat alfa (karvedilol dan labatalol)
tidak mempengaruhi kadar lemak.
4. CCB (Calcium Channel Blockers)

CCB bukanlah agen lini pertama tetapi merupakan obat antihipertensi


yang efektif, terutama pada ras kulit hitam. CCB mempunyai indikasi khusus
untuk yang beresiko tinggi penyakit koroner dan diabetes, tetapi sebagai obat
tambahan atau pengganti. Data menunjukkan kalau dihidropiridine tidak
memberikan perlindungan terhadap kejadian jantung (cardiac events)
dibandingkan dengan terapi konvensional (diuretik dan penyekat beta) atau
ACEI pada pasien tanpa komplikasi. Pada pasien dengan hipertensi dan
diabetes, ACEI terlihat lebih kardioprotektif dibanding dihidropiridin. Studi
dengan CCB nondihidropiridin diltiazem dan verapamil terbatas, tetapi studi
NORDIL menemukan diltiazem ekivalen dengan diuretik dan penyekat beta
dalam menurunkan kejadian kardiovaskular. CCB dihidropiridin sangat
efektif pada lansia dengan hipertensi sistolik terisolasi (isolated systolic
hypertension).

Bagaimanapun,

CCB dihidropiridin

long-acting

dapat

digunakan sebagai terapi tambahan bila diuretik tiazid tidak dapat mengontrol
tekanan darah, terutama pada pasien lansia dengan tekanan darah sistolik
meningkat.
CCB bekerja dengan menghambat influx kalsium sepanjang membran
sel. Ada dua tipe voltage gated calcium channel: high voltage channel (tipe L)
dan low voltage channel (tipe T). CCB yang ada hanya menghambat channel
tipe L, yang menyebabkan vasodilatasi koroner dan perifer. Ada dua subkelas
CCB, dihidropiridin dan nondihidropiridine. Keduanya sangat berbeda satu
sama lain. Efektifitas antihipertensinya hampir sama, tetapi ada perbedaan
pada efek farmakodinamik yang lain. Nondihidropiridin (verapamil dan
diltiazem) menurunkan denyut jantung dan memperlambat konduksi nodal

atriventrikular. Verapamil

menghasilkan

efek

negatif

inotropik

dan

kronotropik yang bertanggung jawab terhadap kecenderungannya untuk


memperparah atau menyebabkan gagal jantung pada pasien resiko tinggi.
Diltiazem juga mempunyai efek ini tetapi tidak sebesar verapamil. Nifedipin
yang bekerja cepat (immediate-release) telah dikaitkan dengan meningkatnya
insiden efek samping kardiovaskular dan tidak disetujui untuk pengobatan
hipertensi. Efek samping yang lain dari dihidropiridin adalah pusing,
flushing, sakit kepala, gingival hyperplasia, edema perifer, mood changes,
dan gangguan gastrointestinal. Efek samping pusing, flushing, sakit kepala,
dan edema perifer lebih jarang terjadi pada nondihidropiridin verapamil dan
diltiazem karena vasodilatasinya tidak sekuat dihidropiridin. Diltiazem dan
verapamil dapat menyebabkan anorexia, nausea, edema perifer, dan hipotensi.
Verapamil menyebabkan konstipasi pada 7% pasien. Efek samping ini terjadi
juga dengan diltiazem tetapi lebih sedikit. Verapamil dan juga diltiazem (lebih
sedikit)

dapat

menyebabkan

interaksi

obat

karena

kemampuannya

menghambat sistem isoenzim sitokrom P450 3A4 isoenzim. Akibatnya dapat


meningkatkan serum konsentrasi obat-obat lain yang di metabolisme oleh
sistem isoenzim ini seperti siklosporin, digoksin, lovastatin, simvastatin,
takrolimus, dan teofilin. Verapamil dan diltiazem harus diberikan secara hatihati dengan penyekat beta untuk mengobati hipertensi karena meningkatkan
resiko heart block dengan kombinasi ini. Bila CCB perlu di kombinasi
dengan penyekat beta, dihidropirine harus dipilih karena tidak akan
meningkatkan resiko heart block.
5. Diuretik
Diuretik, terutama golongan tiazid, adalah obat lini pertama untuk
kebanyakan pasien dengan hipertensi.2 Bila terapi kombinasi diperlukan
untuk

mengontrol

tekanan

darah,

diuretik

salah

satu

obat

yang

direkomendasikan. Empat subkelas diuretik digunakan untuk mengobati


hipertensi: tiazid, loop, agen penahan kalium, dan antagonis aldosteron.
Diuretik penahan kalium adalah obat antihipertensi yang lemah bila

digunakan sendiri tetapi memberikan efek aditif bila dikombinasi dengan


golongan tiazid atau loop. Selanjutnya diuretik ini dapat menggantikan
kalium dan magnesium yang hilang akibat pemakaian diuretik lain. Antagonis
aldosteron (spironolakton) dapat dianggap lebih poten dengan mula kerja
yang lambat (s/d 6 minggu untuk spironolakton). Tetapi, JNC 7 melihatnya
sebagai kelas yang independen karena bukti mendukung indikasi khusus.
Pada pasien dengan fungsi ginjal cukup ( GFR> 30 ml/menit), tiazid
paling efektif untuk menurunkan tekanan darah. Bila fungsi ginjal berkurang,
diuretik yang lebih kuat diperlukan untuk mengatasi peningkatan retensi
sodium dan air. Furosemid 2x/hari dapat digunakan. Jadwal minum diuretik
harus pagi hari untuk yang 1x/hari, pagi dan sore untuk yang 2x/hari untuk
meminimalkan diuresis pada malam hari. Dengan penggunaan secara kronis,
diuretik tiazide, diuretik penahan kalium, dan antagonis aldosteron jarang
menyebabkan diuresis yang nyata. Perbedaan farmakokinetik yang penting
dalam golongan tiazid adalah waktu paruh dan lama efek diuretiknya.
Hubungan perbedaan ini secara klinis tidak diketahui karena waktu paruh dari
kebanyakan obat antihipertensi tidak berhubungan dengan lama kerja
hipotensinya. Lagi pula, diuretik dapat menurunkan tekanan darah terutama
dengan mekanisme extrarenal. Diuretik sangat efektif menurunkan tekanan
darah bila dikombinasi dengan kebanyakan obat antihipertensif lain.
Kebanyakan obat antihipertensi menimbulkan retensi natrium dan air;
masalah ini diatasi dengan pemberian diuretik bersamaan.
Efek samping diuretik tiazid termasuk hipokalemia, hipomagnesia,
hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglisemia, hiperlipidemia, dan disfungsi
seksual. Diuretik loop dapat menyebabkan efek samping yang sama, walau
efek pada lemak serum dan glukosa tidak begitu bermakna, dan kadangkadang dapat terjadi hipokalsemia. Studi jangka pendek menunjukkan kalau
indapamide tidak mempengaruhi lemak atau glukosa atau disfungsi seksual.
Semua efek samping diatas berhubungan dengan dosis. Kebanyakan efek
samping ini teridentifikasi dengan pemberian tiazid dosis tinggi (misalnya
HCT 100mg/hari). Guideline sekarang menyarankan dosis HCT atau

klortalidone 12.5 25 mg/hari, dimana efek samping metabolik akan sangat


berkurang. Diuretik penahan kalium dapat menyebabkan hiperkalemia,
terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis atau diabetes dan pada
pasien yang menerima ACEI, ARB, NSAID, atau supplemen kalium.
Hiperkalemia sangat bermasalah terutama dengan eplerenone, antagonis
aldosteron yang terbaru. Karena sangat selektif antagonis aldosteron,
kemampuannya menyebabkan hiperkalemia melebihi diuretik penahan
kalium lainnya, bahkan spironolakton. Eplerenone dikontraindikasikan untuk
pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau diabetes tipe 2 dengan proteinuria.
Kalau spironolakton menyebabkan gynecomastia pada 10% pasien, dengan
eplerenon gynecomastia jarang terjadi.
4. Perbedaan aterosklerosis dan arteriosklerosis :
Aterosklerosis atau penebalan arteri dimana terbentuknya plak di dalam
arteri. Plak tersebut terbuat dari kolesterol, substansi lemak, produk buangan
lemak, kalsium dan fibrin. Aterosklerosis adalah salah satu tipe dari
arteriosklerosis. Arteriosklerosis adalah keseluruhan jenis dan kondisi penebalan
dan pengerasan yang terjadi di dalam arteri. Arteriosklerosis tidak hanya
penebalan pada dinding arteri tetapi juga menyebabkan kekakuan dan kurangnya
elastisitas pembuluh darah. Pada akhirnya, arteri mengeras dan perlahan merusak
pembuluh darah dengan terjadinya peningkatan pembuluh darah. Arteriosklerosis
bisa terjadi di seluruh pembuluh darah arteri di dalam tubuh, tetapi penyakit ini
lebih mengkhatirkan ketika terjadi di arteri koroner dan menyebabkan serangan
jantung (AHA, 2014).
Pasien dengan arteriosklerosis (pengerasan pada arteri) mungkin tidak
memiliki aterosklerosis (plak), tetapi pasien dengan aterosklerosis pasti memiliki
arteriosklerosis. Pasien mungkin sering mengalami kedua hal tersebut yang dapat
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke dalam otot jantung (NIH, 2009).
5. Patogenesis penderita Diabetes Melitus menjadi penderita PJK

Penyebab kematian dan kesakitan utama pada penderita DM (baik DM tipe


1 maupun DM tipe 2) adalah Penyakit Jantung Koroner, yang merupakan salah
satu penyulit makrovaskular pada diabetes melitus. Penyulit makrovaskular ini
bermanifestasi sebagai aterosklerosis dini yang dapat mengenai organ-organ vital
seperti jantung dan otak. Penyebab aterosklerosis pada penderita DM tipe 2
bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi kompleks dari berbagai keadaan
seperti hiperglikemi, hiperlipidemi, stres oksidatif, penuaan dini, hiperinsulinemi
dan/atau hiperproinsulinemi serta perubahan-perubahan dalam proses koagulasi
dan fibrinolisis. Pada penderita DM, risiko payah jantung kongestif meningkat 4
sampai 8 kali. Peningkatan risiko ini tidak hanya disebabkan karena penyakit
jantung iskemik. Dalam beberapa tahun terakhir ini diketahui bahwa DM dapat
pula mempengaruhi otot jantung secara independen. Selain melalui keterlibatan
aterosklerosis dini arteri koroner yang menyebabkan penyakit jantung iskemik
juga dapat terjadi perubahan-perubahan berupa fibrosis interstisial, pembentukan
kolagen dan hipertrofi sel-sel otot jantung. Pada tingkat seluler terjadi gangguan
pengeluaran kalsium dari sitoplasma, perubahan struktur troponin T dan
peningkatan aktivitas Pyruvate Kinase. Perubahan ini akan menyebabkan
gangguan kontraksi dan relaksasi otot jantung dan peningkatan tekanan enddiastolic sehingga dapat menimbulkan kardiomiopati restriktif.
Patofisiologi :
Dasar

terjadinya

peningkatan

risiko

Penyakit

Jantung

Koroner

pada penderita DM belum diketahui secara pasti. Dari hasil penelitian


didapatkankenyataan bahwa :
1. Angka kejadian aterosklerosis lebih tinggi pada penderita DM dibanding
populasi non DM.
2. Penderita DM mempunyai risiko tinggi untuk mengalamitrombosis,
penurunan fibrinolisis dan peningkatan respons inflamasi.
3. Pada penderita DM terjadi glikosilasi protein yang akan mempengaruhi
integritas dinding pembuluh darah. Haffner dkk, membuktikan bahwa
aterosklerosis pada penderita DM mulai terjadi sebelum timbul onset klinis DM.
Studi epidemiologik juga menunjukkan terjadinya peningkatan risiko payah

jantung pada penderita DM dibandingkan populasi non DM, yang ternyata


disebabkan karena kontrol gula darah yang buruk dalam waktu yang lama.
Disamping itu berbagai faktor turut pula memperberat risiko terjadinya payah
jantung dan stroke pada penderita DM, antara lain hipertensi, resistensi insulin,
hiperinsulinemi, hiperamilinemi, dislipidemi, dan gangguan sistem koagulasi serta
hiperhomosisteinemi. Semua faktor risiko ini kadang-kadang dapat terjadi pada
satu individudan merupakan suatu kumpulan gejala yang dikenal dengan istilah
sindrom resistensi insulin atau sindrom metabolik.
Lesi aterosklerosis pada penderita DM dapat terjadi akibat :
1. Hiperglikemi :
Hiperglikemi kronik menyebabkan disfungsi endotel melalui berbagai
mekanisme antara lain :
i. Hiperglikemi kronik menyebabkan glikosilasi non enzimatik dari protein
dan makromolekul seperti DNA, yang akan mengakibatkan perubahan sifat
antigenik dari protein dan DNA. Keadaan ini akan menyebabkan perubahan
tekanan intravaskular akibat gangguan keseimbangan Nitrat Oksida (NO)
dan prostaglandin.
ii. Hiperglikemi meningkatkan aktivasi protein kinase C (PKC)intraseluler
sehingga akan menyebabkan gangguan NADPH pool yang akan menghambat
produksi NO.
iii. Overekspresi growth factors : meningkatkan proliferasi selendotel dan
otot polos pembuluh darah sehingga akan terjadi neovaskularisasi.
iv. Hiperglikemi akan meningkatkan sintesis diacylglyerol (DAG) melalui
jalur glikolitik. Peningkatan kadar DAG akanmeningkatkan aktivitas protein
kinase C (PKC). Baik DAG maupun PKC berperan dalam memodulasi terjadinya
vasokonstriksi.
v. Sel endotel sangat peka terhadap pengaruh stres oksidatif. Keadaan
hiperglikemi akan meningkatkan tendensi untuk terjadinya stres oksidatif dan
peningkatan oxidized lipoprotein, terutama small dense LDL-cholesterol
(oxidized LDL) yang lebih bersifat aterogenik. Disamping itu peningkatan kadar
asam lemak bebas dan keadaan hiperglikemi dapat meningkatkan oksidasi

fosfolipid dan protein. Hiperglikemi akan disertai dengan tendensi protrombotik


dan aggregasi platelet. Keadaan ini berhubungan dengan beberapa faktor antara
lain penurunan

produksi

akibat peningkatan

kadar

terjadi peningkatan

aktivitas

NO

dan

PAI-1.

penurunan

Disamping

koagulasi

akibat

itu

aktivitas
pada

pengaruh

fibrinolitik

DM
berbagai

tipe

faktor

seperti pembentukan advanced glycosylation end products (AGEs) dan penurunan


sintesis heparan sulfat. Walaupun tidak ada hubungan langsung antara aktivasi
koagulasi dengan disfungsi endotel, namun aktivasi koagulasi yang berulang
dapat menyebabkan over stimulasi dari sel-sel endotel sehingga akan terjadi
disfungsi endotel.
2. Resistensi insulin dan hiperinsulinemi :
Jialal dan kawan-kawan menemukan adanya reseptor terhadap insulin yaitu
IGF-I dan IGF-II pada sel-sel dari pembuluh darah besar dan kecil dengan
karakteristik ikatan yang sama dengan yang ada pada sel-sel lain. Peneliti ini
menyatakan bahwa reseptor IGF-I dan IGF-II pada sel endotel terbukti berperan
secara fisiologik dalam proses terjadinya komplikasi vaskular pada penderita DM.
Defisiensi insulin dan hiperglikemi kronik dapat meningkatkan kadar total
protein kinase C (PKC) dan diacylglycerol (DAG) yang berperan dalam
memodulasi terjadinya vasokonstriksi. Insulin juga mempunyai efek langsung
terhadap jaringan pembuluh darah. Pada penelitian terhadap jaringan pembuluh
darah dari obese Zucker rat didapatkan adanya resistensi terhadap sinyal PI3kinase. Temuan ini membuktikan bahwa resistensi insulin akan menimbulkan
gangguan langsung pada fungsi pembuluh darah.
King dkk dalam penelitiannya menggunakan kadar insulin fisiologis
mendapatkan bahwa hormon ini dapat meningkatkan kadar dan aktivitas mRNA
dari eNOS sebesar 2 kali lipat setelah 2-8 jam inkubasi sel endotel. Peneliti ini
menyimpulkan

bahwa

insulin

tidak

hanya

memiliki

efek

vasodilatasi

akutmelainkan juga memodulasi tonus pembuluh darah. Toksisitas insulin


(hiperinsulinemi/hiperproinsulinemi) dapat menyertai keadaan resistensi insulin/
sindrom metabolik dan stadium awal dari DM tipe 2. Insulin meningkatkan

jumlah reseptor AT-1 dan mengaktifkan Renin Angiotensin Aldosterone System


(RAAS). Akhir-akhir ini telah dapat diidentifikasi adanya reseptor AT-1 didalam
sel-sel beta pankreas dan didalam sel-sel endotel kapiler pulau Langerhans
pankreas. Jadi, hiperinsulinemi mempunyai hubungan dengan Ang-II dengan
akibat akan terjadi peningkatan stres oksidatif didalam pulau Langerhans pankreas
akibat peningkatan kadar insulin, proinsulin dan amilin.
3. Hiperamilinemi
Amilin atau disebut juga Islet Amyloid Polypeptide (IAPP) merupakan
polipeptida yang mempunyai 37 gugus asam amino, disintesis dan disekresi oleh
sel-sel beta pankreas bersama-sama dengan insulin. Jadi keadaan hiperinsulinemi
akan disertai dengan hiperamilinemi dan sebaliknya bila terjadi penurunan kadar
insulin akan disertai pula dengan hipoamilinemi. Hiperinsulinemi dan
hiperamilinemi dapat menyertai keadaan resistensi insulin/sindrom metabolik dan
DM tipe 2. Terjadinya amiloidosis (penumpukan endapan amilin) didalam islet
diduga berhubungan dengan lama dan beratnya resistensi insulin dan DM tipe 2.
Sebaliknya, penumpukan endapan amilin didalam sel-sel beta pankreasakan
menurunkan fungsinya dalam mensekresi insulin. Sakuraba dkk dalam
penelitiannya mendapatkan bahwa pada penderita DM tipe 2, peningkatan stres
oksidatif berhubungan dengan peningkatan pembentukan IAPP di dalam sel-sel
beta pankreas. Dalam keadaan ini terjadi penurunan ekspresi enzim Super Oxide
Dismutase (SOD) yang menyertai pembentukan IAPP dan penurunan massa sel
beta. Temuan ini menunjukkan adanya hubungan antara terjadinya stres oksidatif
dan pembentukan IAPP serta penurunan massa dan densitas sel-sel beta pankreas.
Amilin juga dapat merangsang lipolisis dan merupakan salah satu mediator
terjadinyaresistensi insulin. Baru-baru ini ditemukan pula amylin binding site
didalam korteks ginjal, dimana amilin dapat mengaktivasi RAAS denganakibat
terjadinya peningkatan kadar rennin dan aldosteron. Janson dankawan-kawan
mendapatkan adanya partikel amiloid (intermediate sized toxic amyloid particles
= ISTAPs) yang bersifat sitotoksik terhadap sel-sel beta pankreas, dapat
mengakibatkan apoptosis dengan cara merusak membran sel beta pankreas.

4. Inflamasi
Dalam beberapa tahun terakhir, terbukti bahwa inflamasi tidak hanya
menimbulkan

komplikasi

merupakan penyebab

Sindrom

utama

dalam

Koroner

proses

Akut,

terjadinya

tetapi

dan

juga

progresivitas

aterosklerosis. Berbagai pertanda inflamasi telah ditemukan didalam lesi


aterosklerosis, antara lain sitokin dan growth factors yang dilepaskan oleh
makrofag dan T cells. Sitokin akan meningkatkan sintesis Platelet Activating
Factor (PAF), merangsang lipolisis, ekspresi molekul-molekul adhesi dan
upregulasi sintesis serta ekspresi aktivitas prokoagulan didalam sel-sel endotel.
Jadi sitokin memainkan peran penting tidak hanya dalam proses awal
terbentuknya lesi aterosklerosis, melainkan juga progresivitasnya.
Pelepasan sitokin lebih banyak terjadi pada penderita DM, karena
peningkatan dari berbagai proses yang mengaktivasi makrofag (dan pelepasan
sitokin) , antara lain oksidasi dan glikoksidasi protein dan lipid. Pelepasan sitokin
yang dipicu oleh terbentuknya Advanced Glycosylation Endproducts (AGEs) akan
disertaidengan over produksi berbagai growth factors seperti :
-

PDGF (Platelet Derived Growth Factor)


IGF I (Insulin Like Growth Factor I)
GMCSF (Granulocyte/Monocyte Colony Stimulating Factor)
TGF- (Transforming Growth Factor-)
Semua faktor ini mempunyai pengaruh besar terhadap fungsi sel-

sel pembuluh darah. Disamping itu terjadi pula peningkatan pembentukan


kompleks

imun

yang

mengandung

modified

lipoprotein.

Tingginya

kadar kompleks imun yang mengandung modified LDL, akan meningkatkan


risiko komplikasi makrovaskular pada penderita DM baik DM tipe 1 maupun DM
tipe 2. Kompleks imun ini tidak hanya merangsang pelepasan sejumlah besar
sitokin tetapi juga merangsang ekspresi dan pelepasan matrix metalloproteinase-1
(MMP-1) tanpa merangsang sintesis inhibitornya. Aktivasi makrofag oleh
kompleks imun tersebut akanmerangsang pelepasan Tumor Necrosis Factor
(TNF-), yang menyebabkan up regulasi sintesis C-reactive protein. Baru-baru ini

telah ditemukan C-reactive protein dengan kadar yang cukup tinggi pada
penderita dengan resistensi insulin.
Peningkatan kadar kompleks imun pada penderita DM tidak hanya
menyebabkan timbulnya aterosklerosis dan progresivitasnya, melainkan juga
berperan dalam proses rupturnya plak aterosklerotik dan komplikasi Jantung
Koroner selanjutnya. Kandungan makrofag didalam lesi aterosklerosis pada
penderita DM mengalami peningkatan, sebagai akibat dari peningkatan rekrutmen
makrofag ke dalam dinding pembuluh darah karena pengaruh tingginya kadar
sitokin. Peningkatan oxidized LDL pada penderita DM akan meningkatkan
aktivasisel T yang akan meningkatkan pelepasan interferon . Pelepasan interferon
akan menyebabkan gangguan homeostasis sel-sel pembuluh darah. Aktivasisel T
juga akan menghambat proliferasi sel-sel otot polos pembuluh darah dan
biosintesis kolagen, yang akan menimbulkan vulnerable plaque, sehingga
menimbulkan komplikasi Sindrom Koroner Akut.
Sampai

sekarang

masih

terdapat

kontroversi

tentang

mengapa

pada pemeriksaan patologi anatomi, plak pada DM tipe 1 bersifat lebih fibrous
dan

calcified,

sedangkan

pada

DM

tipe

lebih

seluler

dan

lebih

banyak mengandung lipid. Dalam suatu seri pemeriksaan arteri koroner


pada penderita DM tipe 2 setelah sudden death, didapatkan area nekrosis,
kalsifikasi dan ruptur plak yang luas. Sedangkan pada penderita DM tipe 1
ditemukan peningkatan kandungan jaringan ikat dengan sedikit foam cells
didalam plak yang memungkinkan lesi aterosklerosisnya relatif lebih stabil.
5. Trombosis/Fibrinolisis
Diabetes

Melitus

akan

disertai

dengan

keadaan

protrombotik

yaitu perubahan-perubahan proses trombosis dan fibrinolisis. Kelainan ini


disebabkan karena adanya resistensi insulin terutama yang terjadi pada penderita
DM tipe 2. Walaupun demikian dapat pula ditemukan pada penderita DM tipe 1.
Peningkatan fibrinogen serta aktivitas faktor VII dan PAI-1 baik di dalam plasma
maupun didalam plak aterosklerotik akan menyebabkan penurunan urokinase dan
meningkatkan aggregasi platelet.

Penyebab peningkatan fibrinogen diduga karena meningkatnya aktivitas


faktor VII yang berhubungan dengan terjadinya hiperlipidemi post prandial. Over
ekspresi PAI-1 diduga terjadi akibat pengaruh langsung dari insulin dan pro
insulin. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penurunan kadar PAI-1 setelah
pengobatan DM tipe 2 dengan thiazolidinediones menyokong hipotesis adanya
peranan resistensi insulin dalam proses terjadinya over ekspresi PAI-1.
Peningkatan PAI-1 baik didalam plasma maupun didalam plak aterosklerotik tidak
hanya menghambat migrasi sel otot polos pembuluh darah, melainkan juga
disertai penurunan ekspresi urokinase di dalam dinding pembuluh darah dan plak
aterosklerotik. Terjadinya proteolisis pada daerah fibrous cap dari plak yang
menunjukkan peningkatan aktivasi sel T dan makrofag akan memicu terjadinya
ruptur plak dengan akibat terjadinya Sindrom Koroner Akut.
Mekanisme yang mendasari terjadinya keadaan hiperkoagulasi pada
penderita DM dan resistensi insulin, masih dalam penelitian lebih lanjut.
6. Dislipidemia
Dislipidemia yang akan menimbulkan stres oksidatif umum terjadi pada
keadaan resistensi insulin/sindrom metabolik dan DM tipe 2. Keadaan ini terjadi
akibat gangguan metabolisme lipoprotein yang sering disebut sebagai "lipid
triad", meliputi :
a. Peningkatan kadar VLDL atau trigliserida
b. Penurunan kadar HDL cholesterol
c. Terbentuknya small dense LDL yang lebih bersifat aterogenik.
Ketiganya disebabkan oleh trigliserid dalam jaringan lemak (adipose)
maupun dalam darah (yaitu VLDL dan IDL) akan mengalami hidrolisis menjadi
asam lemak bebas dan gliserol. Proses hidrolisis ini terjadi oleh karena adanya
enzim trigliserid lipase. Terdapat dua jenis enzim trigliserid lipase yaitu
lipoprotein lipase (LPL) yang terdapat pada endothelium vaskular dan berfungsi
memecah trigliserid dari lipoprotein kaya trigliserid dalam plasma yaitu VLDL
dan IDL. Enzim trigliserid lipase kedua terdapat dalam jaringan lemak oleh
karena itu disebut trigliserid lipase intravaskuler adiposity (lipoprotein lipase
intraseluler) yang juga disebut hormon esensitive lipase dan berfungsi memecah

simpanan trigliserid dalam jaringan bila diperlukan sebagai sumber energi. Kerja
kedua enzim tersebut sangat tergantung dari kadar insulin plasma dengan
pengertian kadar insulin plasma yang normal akan memacu kerja lipoprotein
lipase dan menghambatkerja lipoprotein lipase intraseluler.
Pada keadaan resistensi insulin, hormon sensitive lipase di jaringan
adipose akan menjadi aktif sehingga lipolisis trigliserid di jaringan adipose
semakin meningkat, kerja enzim lipoprotein lipase intraseluler akan menjadi aktif
sehingga terjadi lipolisis trigliserid intraseluler. Keadaan ini akan menghasilkan
asam lemak bebas (=FFA=NEFA) yang berlebihan. Asam lemak bebas akan
memasuki aliran darah, sebagian akan digunakan sebagai sumber energi dan
sebagian akan dibawa ke hati sebagai bahan baku pembentukan trigliserid. Di hati
asam lemak bebas akan menjadi trigliserid kembali dan menjadi bagian dari
VLDL. Oleh karena itu VLDL yang dibentuk akan sangat kaya trigliserid disebut
juga VLDL kaya trigliserid atau VLDL besar (enriched trigliseride VLDL=large
VLDL). Dalam sirkulasi trigliserid yang banyak di VLDL akan bertukar dengan
kolesterolester dari LDL kolestrol. Hal mana akan menghasilkan LDL yang kaya
akan trigliserid tetapi kurang kolesterol ester (cholesterol ester depleted LDL).
Trigliserid yang dikandung oleh LDL akan dihidrolisis oleh enzim lipase hati yang
biasanya meningkat pada resistensi insulin sehingga menghasilkan LDL yang
kecil padat (small dense LDL). Partikel LDL kecil padat inimudah teroksidasi dan
sangat aterogenik.
7. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor dalam resistensi insulin/sindrom
metabolik dan sering menyertai DM tipe 2. Sedangkan pada penderita DM tipe 1,
hipertensi dapat terjadi bila sudah ditemukan tanda-tanda gangguan fungsi ginjal
yang ditandai dengan mikroalbuminuri. Adanya hipertensi akan memperberat
disfungsi endotel dan meningkatkan risiko Penyakit Jantung Koroner. Hipertensi
disertai dengan peningkatan stres oksidatif dan aktivitas Spesies Oksigen Radikal,
yang selanjutnya akan memediasi terjadinya kerusakan pembuluh darah akibat

aktivasi Ang II dan penurunan aktivitas enzim SOD. Sebaliknya glukotoksisitas


akan menyebabkan peningkatan aktivitas RAAS sehingga akan meningkatkan
risiko terjadinya hipertensi. Penelitian terbaru mendapatkan adanya peningkatan
kadar amilin (hiperamilinemi) pada individu yang mempunyai riwayat keluarga
hipertensi dan dengan resistensi insulin.

8. Hiperhomosisteinemi
Pada

penderita

DM

baik

DM

tipe

maupun

DM

tipe

ditemukan polimorfisme gen dari enzim methylene tetrahydrofolate reductase


yangdapat menyebabkan hiperhomosisteinemi. Polimorfisme gen ini terutama
terjadi pada penderita yang kekurangan asam folat di dalam dietnya.
Hiperhomosisteinemi dapat diperbaiki

dengan suplementasi

asam folat.

Homosistein terutama mengalami peningkatan bila terjadi gangguan fungsi ginjal.


Peningkatan kadar homosistein biasanya menyertai penurunan laju filtrasi
glomerulus. Hiperhomosisteinemi dapat menyebabkan inaktivasi nitrat oksida
melalui hambatannya terhadap ekspresi glutathione peroxidase (GPx).

DAFTAR PUSTAKA
Ginsberg HN. 2006. Diabetic dislipidemia: basic mechanism underlying
thecommon hypertriglyceridemia and low HDL cholesterol levels.
Diabetes.45(Suppl 3): S27-S30.
Shepherd J, Cobbe SM, Ford I, et al, for the West of Scotland CoronaryPrevention
Study Group. Pathogenesis of Atherogenic Dyslipidemia. ClinInvest. 1999;
29(Suppl 2):12-16.www.medscape.com/viewarticle/412684_2.
Kemenkes RI. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi. Direktorat
Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan 2006.
McGuire, KD. Diabetes and The Cardiovascular System. Braunwalds Heart
Disease, 9th ed, Elsevier, Philadelphia. 2012.
Wirawan R, Pemeriksaan dan Pelaporan Sedimen Urin MetodeSemikuantitatif
dan Kuantitatif, Buku Kumpulan Makalah Lokakarya AspekPraktis
Urinalisis,editor Marzuki S. Pendidikan BerkesinambunganPatologi Klinik
2004,9-21.
AHA

(American
Heart
Association).
2014.
Atherosclerosis.
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/Cholesterol/WhyCholesterol
Matters/Atherosclerosis_UCM_305564_Article.jsp

NIH (National Institutes of Health), NHLBI (National Heart, Lung and Blood
Institutes).
2009.
What
is
Atherosclerosis.
http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/atherosclerosis
JAMA (The Journal of The American Medical Association). 2014. 2014
Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in
AdultsReport From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint
National Committee (JNC 8). http://jama.jamanetwork.com/article.aspx?
articleid=1791497
Farkouh, ME. 2011. Diabetes and Cardiovascular Disease. Hursts The Heart, 13 th
ed, McGraw-Hill, New York.

Anda mungkin juga menyukai