mengusun dan menganalisa data, dan menentukan rekomendasi akhir, sama dengan
versi pedoman 2009.
Anggota-anggota kelompok penulis dipilih oleh AHA untuk mewakili luasnya
bidang tenaga medis profesioinal yang harus menangani pasien seperti ini. Ahli dalam
setiap bidang diskining untuk mencakup bidang-bidang penting dan kemudian
bertemu via telepon untuk menentukan subkategori yang akan dievaluasi.
Subkategori ini mencakup insiden, faktor resiko, pencegahan, perjalanan penyakit
dan prognosis, diagnosis, pencegahan rebleeding, koreksi bedah dan endovaskular
ruptur aneurisma, sistem perawatan, manajeman anestesi selama koreksi, manajemen
vasospasme dan DCI, manajemen hidrosefalus, manajemen kejang, dan manajemen
komplikasi medis. Bersama, kategori-kategori ini diperkirakan akan memotong
semua bidang manajeman penyakit, termasuk pencehanan, diagnosis, dan terapi.
Setiap subkategori dipimpin oleh 1 penulis, dengan 1 atau 2 pembantu penulis
tambahan. Pencarian MEDLINE keseluruhan dikakukan secara terpisah oleh penulis
dan pembantu penulis dalam semua tulisan berbahasa inggris mengenai terapi
penyakit yang relevan. Daftar kesimpulan dan rekomendasi disebarkan ke semua
kelompok penulis untuk umpan balik. Sebuah konferensi diselenggarakan untuk
mendiskusikan hal-hal yang kontroversial. Setiap bagian direvisi dan digabungkan
oleh ketua kelompok penulis. Draft yang dihasilkan dikirim ke keseluruhan kelompok
penulis untuk dikomentari. Komentar dimasukkan ke dalam draft oleh ketua atau
wakil ketua kelompok penulis, dan seluruh kelompok penulis diminta untuk
menyetujui draft akhir. Ketua dan wakil ketua kelompok penulis merevisi dokumen
sebagai respon terhadap tinjauan sejawat, dan dokumen kembali dikirim ke seluruh
kelompok penulis untuk usulan tambahan dan persetujuan.
Rekomendasi
didasarkan
atas
metode
dewan
stroke
AHA
yang
mengklasifikasikan level kebenaran efek terapi dan kelas evidence (tabel 1 dan 2).
Semua rekomendasi kelas 1 dicantumkan dalam tabel 3. Semua rekomendasi baru
atau yang diperbarui dicantumkan dalam tabel 4.
melaporkan bahwa insiden pada wanita sekitar 1,24 (95% cinvidence interval, 1,09
1,42) lebih tinggi dibanding pria. Angka ini lebih rendah dibanding estimasi
sebelumnya yaitu 1,6 (95% cinvidence interval, 1,1 2,3) untuk tahun 1960 sampai
1994. Bukti efek umur dan jenis kelamin terhadap insiden aSAH muncul dalam
kumpulan data penelitian, dengan insiden yang lebih tinggi dilaporkan pada pria lebih
muda (25 45 tahun), wanita antara 55 dan 85 tahun dan pria > 85 tahun.
Nampaknya juga terdapat perbedaan dalam insiden aSAH berdasarkan ras dan etnis.
Ras kulit hitam dan hispanik nampaknya memiliki insiden aSAH yang lebih tinggi
dibanding dengan ras kulit putih Amerika.
Faktor Resiko dan Pencehagan aSAH
FFaktor resiko aSAH termasuk hipertensi, merokok, alkohol, dan penggunaan
obat-obat simpatomimetik (mis. kokain). Sebagai tambahan terhadap jenis kelamin
wanita (di atas), resiko aSAH ditingkatkan dengan adanya aneurisma serebral yang
tidak pecah (utamanya aneurisma yang simptomatik, berukuran besar, dan terletak di
arteri komunikan posterior atau sistem vertebrobasilar), riwayat aSAH sebelumnya
(dengan atau tanpa aneurisma residual tidak terkoreksi), riwayat dengan aneurisma
familial (setidaknya 1 anggota keluarga first-degree dengan aneurisma intrakranial,
dan khususnya bila 2 anggota keluarga first-degree yang terkena) dan riwayat
keluarga dengan aSAH, dan sindrom genetik tertentu, seperti penyakit polokistik
renalis autosom dominan dan sindrom Ehler-Danlos tipe IV. Penemuan baru yang
dilaporkan sejak publikasi versi pedoman sebelumnya termasuk sebagai berikut: (1)
aneurisma sirkulasi anterior nampaknya lebih mudah mengalami ruptur pada pasienpasien < 55 tahun, sementara pada ruptur aneurisma komunikans posterior lebih
sering pada pria, dan ruptur anurisma basilar dihubungkan dengan kurangnya
penggunaan alkohol. (2) ukuran, di mana ruptur aneurisma nampaknya lebih kecil
pada pasien-pasien dengan kombinasi hipertensi dan merokok dibandingkan dengan
mereka dengan salah satu faktor resiko tersebut saja. (3) faktor kehidupan yang
signifikan seperti finansial atau masalah-masalah legal lainnya dalam sebulan terakhir
dapat meningkatkan resiko aSAH. (4) ukuran aneurisma > 7 mm terbukti merupakan
faktor resiko ruptur. (5) nampaknya tidak terdapat peningkatan resiko aSAH dalam
kehamilan, persalinan dan masa nifas.
Inflamasi nampaknya memainkan peran penting dalam patogenesis dan
perkembangan aneurisma intrakranial. Mediator prominen/menonjol termasuk faktor
nuklear k-light-chain enhancer oleh sel B teraktivasi (NF-kB), tumor necrosis factor,
makrofag, dan reactive oxygen species. Meskipun tidak terdapat penelitian terkontrol
pada manusia, tetapi penghambat 3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A reductase
(statin) dan penghambat kanal kalsium dapat memperlambat pembentukan aneurisma
melalui inhibisi NF-kB dan jalur lainnya. Di antara faktor-faktor resiko aSAH, jelas
bahwa resiko yang berperan dan dapat dimodifikasi adalah indeks masa tubuh rendah,
merokok, dan konsumsi alkohol tinggi. Namun, meskipun dengan perkembangan
yang nyata dalam terapi hipertensi dan hiperlipidemia dan penurunan kuantitas
merokok seiring dengan waktu, insiden aSAH tidak mengalami perubahan yang
berarti dalam 30 tahun.
Mungkin, diet meningkatkan resiko stroke secara umum dan khususnya
aSAH. Dalam penelitian epidemiologis Finnish, perokok yang dipantau selama > 13
tahun, meningkatkan konsumsi yogurt (tetapi tidak semua produk susu) dihubungkan
dengan resiko aSAH yang lebih tinggi. Konsumsi sayuran yang lebih banyak
dihubungkan dengan resiko stroke dan aSAH yang lebih rendah. Konsumsi teh dan
kopi lebih tinggi dan konsumsi magnesium yang lebih tinggi dihubungkan dengan
penurunan resiko stroke secara keseluruhan tetapi tidak mempengaruhi resiko aSAH.
Prediksi perkembangan aneurisma intrakrianial individual dan potensinya
mengalami ruptur pada pasien tertentu masih menjadi masalah. Bila dipantau melalui
MRI, aneurisma yang lebih besar (berdiameter 8 mm) cenderung bertambah besar
seiring waktu, yang secara tidak langsung menyatakan resiko ruptur yang lebih besar.
Beberapa karakteristik morfologi aneurisma (seperti bentuk leher botol [bottleneck]
dan rasio ukuran aneurisma terhadap pembuluh darahnya) dihubungkan dengan status
ruptur, tetapi bagaimana hal ini dapat diaplikasikan terhadap individual-individual
pasien untuk memprediksi ruptur aneurisma di kemudian hari masih belum jelas.
Variabilitas pada setiap pasien kini masih belum dapat diprediksi, tetapi variabilitas
antar individu demikian secara nyata mengubah resiko deteksi dan ruptur aneurisma
dan dapat melemahkan keuntungan skrining rutin pada pasien resiko tinggi.
Meskipun dengan ketidak pastian demikian, tetapi usia muda, harapan hidup
yang lebih panjang, dan angka ruptur yang lebih tinggi, semuanya menyebabkan
terapi ruptur aneurisma lebih cenderung lebih efektif dalam pembiayaan dan
mengurangi morbiditas dan mortalitas. Dua penelitian observasional luas aneurisma
familial menunjukkan bahwa skrining pasien-pasien seperti ini juga dapat
mengefisiensikan pembiayaan dalam mencegah aSAH dan meningkatkan kualitas
hidup. Penelitian yang lebih kecil telah mengajukan bahwa krining pada mereka
dengan 1 anggota keluarga first-degree dengan aSAH juga dapat dianjurkan, tetapi
masih belum jelas apakah pasien dengan riwayat terapi aSAH sebelumnya juga harus
diskrining kini. Dalam penelitian Cerebral Aneurysm Rerupture After Treatment
(CARAT), aSAH rekuren diprediksi dengan eliminasi aneurisma yang inkomplit dan
muncul dalam rata-rata 3 tahun setelah terapi tetapi jarang setelah 1 tahun. Krining
noninvasif berulang kemudian mungkin tidak akan menghemat pembiayaan,
meningkatkan harapan hidup, atau meningkatkan kualitas hidup pada pasien acak.
Pasien dngan eliminasi aneurisma yang adekuat setelah aSAH memiliki resiko aSAH
rekuren yang lebih rendah untuk setidaknya 5 tahun, meskipun beberapa aneurisma
yang di-coiled masih membutuhkan terapi.
Faktor resiko dan pencegahan aSAH :
Rekomendasi
1. Terapi
tekanan
direkomendasikan
darah
untuk
tinggi
dengan
mencegah
medikasi
stroke
iskemik,
antihipertensi
perdarahan
intraserebral, dan cedera kardiak, renal, dan organ target lainnya (kelas
I; level bukti A).
2. Hipertensi harus diterapi, dan terapi tersebut dapat mengurangi resiko
aSAH (kelas I; level bukti B)
3. Penggunaan tembakau dan penyalahgunaan alkohol harus dihindari
untuk mengurangi resiko aSAH (kelas I; level bukti B).
4. Sebagai tambahan terhadap ukuran dan lokasi aneurisma dan umur dan
status kesehatan pasien, mungkin bijak untuk mempertimbangkan
karakteristik
morfologis
dan
hemodinamik
aneurisma
bila
1980an sampai dengan tahun 2002 dilaporkan berada si sekitar 26% sampai dengan
36%. Angka mortalitas bervariasi luas di antara penelitian-penelitian berbeda yang
didokumentasikan, berkisar dari 8% sampai dengan 67%. Variasi regional menjadi
jelas bila jumlah dari penelitian yang berbeda diperbandingkan. Reta-rata mortalitas
dalam penelitian epidemiologis dari Amerika Serikat adalah 32% vs 43% sampai
dengan 44% di Eropa dan 27% di Jepang. Jumlah ini didasarkan atas penelitian yang
tidak selalu memperhitungkan secara penuh kasus-kasus kematian sebelum sampai ke
rumah sakit. Ini merupakan pertimbangan yang penting terkait dengan perbaikan
survival pasien-pasien yang di rawat dengan aSAH di rumah sakit.
Usia rata-rata pasien yang datang dengan aSAH semakin meningkat, yang
mana telah diketahui memiliki dampak negatif dalam angka survival. Variasi jenis
kelamin dan ras juga dapat memainkan peran dalam berbagai tingkat, dengan
beberapa penelitian yang mengajukan mortalitas yang lebih tinggi pada wanita
dibanding pada pria, dan mortalitas yang lebih tinggi pada ras kulit hitam, Indian
Amerika/penduduk asli Alaska, dan Asia/Penduduk pulau Pasifik dibandingkan
dengan ras kulit putih.
Penelitian berbasis populasi yang tersedia menawarkan informasi yang lebih
sedikit mengenai prognosis fungsional pasien-pasien yang berhasil bertahan hidup.
Dilaporkan angka dependensi persisten antara
modifikasi Rankin Scale (skala Rankin). Meskipun tidak berdasarkan populasi, data
uji menunjukkan gambaran yang serupa, dengan 12% pasien pada International
Subarachnoid Aneurysm Trial (ISAT) menunjukkan batasan gaya hidup yang
signifikan (modifikasi skala Rankin 3) dan 6,5% dependen secara fungsional
(modifikasi skala Rankin skor 4 4) dalam 1 tahun setelah aSAH. Selanjutnya, skalaskala yang secara relatif tidak sensitif terhadap gangguan kognitif, perubahan prilaku,
penyesuaian sosial kembali, level energi dapat secara substansial merendahkan efek
aSAH terhadap fungsi dan kualitas hidup pasien-pasien yang bertahan hidup.
Penelitian multipel dengan menggunakan desain yang berbeda secara konsisten telah
pelayanan bedah dan endovaskular dapat dihubungkan dengan prognosis yang lebih
baik.
Perjalanan Klinis dan Prognosis aSAH:
Rekomendasi
1. Beratnya kondisi klinis awal aSAH harus ditentuka
dengan cepat
minggu sebelum terjadinya aSAH yang nyata. Nyeri yang berhubungan dengan
warning leak biasanya lebih ringan dibandingkan dengan yang berhubungan dengan
ruptur mayor, tetapi mungkin dapat menetap selama beberapa hari. Mual dan muntah
dapat terjadi, tetapi meningismus jarang ditemukan setelah perdarahan sentinel . di
antara 1752 pasien dengan ruptur aneurisma dari 3 seri, 340 (19,4%; kisaran 15% 37%) memiliki riwayat nyeri kepala berat yang tiba-tiba sebelum mengalami kejadian
yang menyebabkan pasien datang ke rumah sakit. Pentingnya mengenali warning
leak tidak boleh dilebih-lebihkan. Nyeri kepala merupakan keluhan utama yang
seringkali muncul pada unit gawat darurat, dan aSAH hanya menyubang 1% dari
keseluruhan nyeri kepala yang dievaluasi pada unit gawat darurat. Dengan demikian,
indeks kecurigaan tinggi dibenarkan, karena diagnosis warning leak atau perdarahan
sentinel sebelum ruptur yang besar mungkin dapat menyelamatkan jiwa. Kejang
dapat terjadi pada sampai dengan 20% pasien setelah aSAH, pada umumnya dalam
24 jam dan lebih sering terjadi pada aSAH yang berhubungan dengan perdarahan
intraserebral, hipertensi, dan aneurisma arteri serebri anterior dan arteri komunikans
anterior.
CT Scan tanpa kontras masih merupakan landasan diagnosis aSAH; sejak
publikasi pedoman-pedoman versi sebelumnya, hanya terdapat perubahan kecil dalam
teknologi radiografi untuk kondisi ini. Sensitivitas CT dalam 3 hari pertama setelah
aSAH masih tetap tinggi (hampir mencapai 100%), setelah itu akan menurun secara
moderat dalam beberapa hari berikutnya. Setelah 5 sampai 7 hari, nilai CT negatif
akan meningkat secara tajam, dan pungsi lumbal seringkali dibutuhkan untuk
menunjukkan xantokromia. Namun, perkembangan dalam MRI otak, utamanya
penggunan fluid-attenuated inversion recovery, proton density, diffusion-weight
imanging, dan gradient echo sequences, seringkali dapat memungkinkan diagnosis
aSAH ditegakkan ketika CT Scan kepala menunjukkan hasil yang negatif dan
terdapat kecurgaan klinis aSAH, dan kemungkinan dapat menghindarkan
dilakukannya pungsi lumbal. Peran MRI dalam aSAH peri-mesensefalic masih
basis kranii. Sebuah teknik baru CTA-MMBE (CTA potongan multipel yang
dikombinasikan dengan eliminasi apusan tulang yang bersesuaian), akurat dalam
mendeteksi aneurisma intrakranial dalam segala proyeksi tanpa gangguan gambaran
lapisan tulang. CTA-MBBE memiliki batasan sensitivitas dalam mendeteksi
aneurisma yang sangat kecil. Data menunjukkan bahwa DSA dan angiografi
rotasional 3 dimensi dapat difokuskan pada pembuluh darah yang menjadi pusat
ruptur aneurisma dengan menggunakan CTA. Teknik baru lainnya, dual-energy CTA,
memiliki kualitas gambar diagnostik dengan dosis radiasi yang lebih rendah
dibanding substraksi digital CTA dan akurasi diagnostik yang tinggi dibandingkan
dengan DSA 3 dimensi (tetapi tidak terhadap DSA 2 dimensi) dalam deteksi
aneurisma intrakranial.
Angiografi serebral masih digunakan secara luas dalam investigasi aSAH dan
kateterisasi ruptur aneurisma serebral. Meskipun CTA saja terkadang dianggap cukup
bila aneurisma akan diterapi dengan surgical clpping, masih terdapat kontroversi
yang substansial mengenai kemampuan CTA dalam menentukan apakah suatu
aneurisma memungkinkan untuk mendapatkan terapi endovaskular atau tidak. Dalam
1 seri penelitian, dengan 95,7% pasien dengan aSAH dirujuk untuk terapi dengan
dasar CTA. Pada 4,4% pasien, CTA tidak memberikan informasi yang cukup untuk
menentukan terapi yang terbaik, dan pasien-pasien tersebut membutuhkan DSA;
61,4% pasien dirujuk ke terapi endovaskular dengan dasar pemeriksaan CTA; dan
coiling yang berhasil dicapai pada 92,6% dari jumlah tersebut. Penulis menyimpulkan
bahwa CTA dengan scan 64 potongan merupakan alat yang akurat untuk
mendeteksi dan menggambarkan karakteristik aneurisma dalam aSAH akut dan
bahwa CTA bermanfaat dalam menentukan untuk memberikan terapi berupa coil atau
clip terhadap aneurisma. Partial volume averaging phenomena secara artifisial dapat
melebarkan leher aneurisma dan dapat mengarah pada kesimpulan bahwa suatu
aneurisma tidak dapat diterapi dengan endovascular coiling. Kontroversi ini
nampaknya disebabkan oleh spesifikasi teknologi yang berbeda (detektor 16 vs 64
potongan), ketebalan potongan, dan algoritma proses data berbagai sistem CT Scan,
yang memiliki resolusi spasial yang berbeda. Angiografi serebral 3 dimensional
lebih sensitif untuk mendeteksi aneurisma dibanding angiografi 2 dimensional.
Kombinasi angiografi serebral 2 dan 3 dimensional biasanya memberikan
penggambaran morfologik anatomi aneurisma yang terbaik dengan resolusi spasial
tinggi, dan tentu saja, selalu digunakan dalam persiapan terapi endovaskular.
Flat-panel volumetric CT merupakan perkembangan yang relatif baru yang
memungkinkan menghasilkan gambaran yang menyerupai CT dari suatu putaran
rotasional 3 dimensional kerangka x-ray pada ruang angiografi. Untuk saat ini,
teknik ini tidak memiliki peran substansional dalam diagnosis awal aSAH karena
kontras resolusi dan spasialnya yang tidak cukup tinggi, namun, teknologi ini dapat
digunakan
secara
intra-prosedural
selama
embolisasi
untuk
menyingkirkan
hidrosefalus. Akhir-akhir ini dosis radiasi telah mulai mencuat sebagai pertimbangan
penting pada pasien dengan aSAH. Kombinasi CT Scan kepala tanpa kontras untuk
diagnosis aSAH, konfirmasi penempatan ventrikulostomi, investigasi perubahanperubahan neurologis, CTA untuk diagnosis aneurisma, perfusi CTA dan CT untuk
mengenali vasospasme, dan kateter angiografi serebral intuk embolisasi aneurisma
dan kemudian untuk terapi endovaskular vasospasme dapat menyebabkan
terpaparnya dosis radiasi yang substansional pada kepala, dengan kemungkinan
resiko cedera radiasi, seperti eritema kulit kepala dan alopesia. Meskipun beberapa
atau semua pemeriksaan radiografik ini seringkali dibutuhkan, tetapi perlu dilakukan
upaya untuk mengurangi jumlah paparan radiasi pada pasien-pasien dengan aSAH
bilamana mungkin.
Manifestasi klinis dan diagnosis aSAH:
Rekomendasi:
1. aSAH merupakan seebuah kondisi emergensi yang seringkali salah
diadiagnosis. Kecurigaan pada aSAH harus ada pasien-pasien dengan
nyeri kepala onset akut yang sangat berat.
2. Penatalakasanaan diagnostic akut harus mengikutkan pemeriksaan CTScan kepala tanpa kontras, yang mana, jika jika tak bisa didiagnosis
dengan CT-Scan maka seharusnya dilaPkukan pemeriksaan punksi
lumbal lanjutan.
3. CTA dipertimbangkan pada pasien aSAH. Jika sebuah aneurisma
terdeteks dengan CTA, maka penelitian ini mungkin mampu membantu
dalam menentukan tipe perbaikan aneurisma, namun jika CTA tak bisa
mendeteksi aneurisma, maka DSA masih direkomendasikan (kecuali
pada kemungkinan tidak adanya gejala aSAH perimesensefalik klasik).
4. MRI mungkin beralasan untuk dilakukan sebagai sarana diagnosisi pada
pasien aSAH yang tak bisa didiagnosis dengan CT Scan, meskipun hasil
negative tidak menyingkirkan kebutuhan akan pemeriksaan analisis
cairan serebrospinal.
5. DSA dengan angiografi
kesadaran yang lebih dini, dan nyeri kepala sentinel sebelumnya (nyeri kepala yang
terjadi dalam 1 jam terakhir yang tidak mengarah pada diagnosis aSAH), ukuran
aneurisma yang lebih besar, dan kemungkinan tekanan darah sistolik lebih dari 160
mmHg. Factor genetic, meskipun berkaitan dengan aneurisma tidak meningkatkan
resiko terjadinya perdarahan kembali pasca aSAH. Pengobatan dini rupture
aneurisma dapat mengurangi resiko terjadinya perdarahan kembali. Di antara pasienpasien yang menunjukkan pola gejala yang terlambat selama vasospasme, hilangnya
aneurisma yang terlmbat dihubungkan dengan factor resiko perdarahan kembali yang
lebih besar jika dibandingkan dengan hilangnya aneurisma yang lebih awal. Telah
disepakatai secara umum bahwa tekanan darah harus dikendalikan pada pasien pasca
aSAHdan selama aneurisma belum menghilang, namun berapa ukuran tekanan darah
harus ditekan belum disepakati. Berbagai variasi pengobatan bisa digunakan.
Nicardipin mungkin memberikan hasil tekanan darah yang lebih baik jika
dibandingkan dengan labetalol dan sodium nitroprussid meskipun data menunjukkan
perbedaan hasil yang tak terlalu jauh. Meskipun tekanan perfusi ke otak yang lebih
rendah bisa menyebabkan iskemia otak, namun peneltian menunjukkan pasien yang
sakit berat secara neurologis tidak menunjukkan adanya hubungan antara penggunaan
nicardipin dengan penurunan tekanan oksigen ke otak. Klefidipin, sebuah obat
penyekat kanal kalsium kerja pendek, adalah pilihan lain untuk mengontrol hipertensi
akut, namun data penggunaannya pada pasien aSAH masih kurang. Terapi
antifibrinolitik menunjukkan berkurangnya kejadian perdarahan kembali aneurisma
ketika menghilangnya aneurisma terlambat. Sebuah pusat rujukan menganjurkan
pengggunaan asam aminokaproat untuk mencegah perdarahan kembali selama pasien
dirujuk. Obat ini menunjukkan pengurangan kejadian perdarahan kembali tanpa
meningkatkan resiko terjadinya DCI, tapi penggunaannya selama 3 bulan atau lebih
tidak menunjukkan manfaat. Ada peningkatan resiko kejadian thrombosis vena dalam
tapi tidak menyebabkan emboli paru, Asam aminokaproat maupun asam traneksamat
tidak disetujui penggunaannola FDA untuk mencegah aeurisma.
Langkah pencegahan perdarahan kembali pada pasien pasca-aSAH:
Rekomendasi:
1. Di antara selang waktu antara timbulnya gejala aneurisma dengan
tindakan penghilangan aneurisma, tekanan darah harus dikontrol untuk
mencegah resiko terjadinya stroke, perdarahan kembali, dan untuk
mengembalikan tekanan perfusi.
2. Rentang sampai batas berapa tekanan darah harus dikendalikan masih
belum diketahui, namun penurunan tekanan darah hingga di bawah
1600 mmHg adalah masuk akal.
3. Bagi pasien-pasien yang mengalami penundaan penghilangan aneurisma
yang tak dapat dihindari, memiliki resiko perdarahan kembali, dan tak
memiliki kontraindikasi,penggunaan asam traneksamat dan asam
aminokaproat sebagaia
beralasan.
Metode bedah dan Endovaskuler untuk terapi rupture aneurisma serebral
Metode
modalitas utama dalam pengobatan aneurisma sebelum pada tahun 1991, Guglielmi
menemukan penanganan oklusi yang terjadi pada pasien aneurisma dengan
pendekatan endovaskuler melalui gulungan elektrik yang bisa dilepaskan. Dengan
kemajuan ilmu tentang bedah mikro dan endovaskuler, algoritma penatalaksanaan,
tipe aneurisma mana yang cocok dengan masing-masing metode secara kontnyu
diperbaiki. Sebuah multisnter, melakukan uji perbandingan bedah mikro dengan
pendekatan endovaskuler pada pasien aSAH di 42 pusat pelayanan bedah saraf. Bagi
pasien yang memenuhi syarat penelitian, ahli bedah saraf dan intervensinoalis akan
membandingkan hasil terapi pada aneurisma yang ditangani dengan bedah mikro
dengan pasien yang ditangani dengan pendekatan endovaskuler. Hasil primer yang
dinilai adalah mortalitas pasca terapi, angka ketergantungan dan kecacatan,
sedangkan hasil sekunder yang dinilai adalah resiko terjadinya kejang, resiko
terjadinya perdarahan kembali. Pada 1 tahun pertama pasca pengobatan, penurunan
angka kematian dan kecacatan mencapai 31 % pada pasien yang ditangani dengan
bedah mikro, serta 24 % pada pasien yang ditangani dengan terapi endovaskuler.
Resiko kejadian kejang dan kemunduran fungsi kognitif yang signifikan berkurang
pada passion yang ditangani dengan metode endovaskuler, namun resiko untuk
terjadinya perdarahan kembali mencapai 2,9 % (pada pasien yang menjalani bedah
mikro hanya 0,9%). Hanya 58 % pasien yang menjalani terapi endovaskuler yang
mendapatkan penyembuhan aneurisma, sedangkan pada pasien pasien yang menjalani
bedah mikro angka keberhasilannya mencapai 81%. Sebuah studi analisis retrospektif
menemukan bahwa oklusi yang tidak sempurna dari aneurisma dan rekurrensi
aneurisma yang subsequent bergantung pada diameter leher dan ukuran lengkungan
puncak aneurisma. Menjadi sulit untuk menghilangkan aneurisma pada pembuluh
darah yang sangat kecil (<3 mm). sebuah penelitian menunjukkan kegagalan metode
coil pada 5% kasus, pengisian puncak atau sisa leher aneurisma pada 30% kasus,
serta komplikasi prosedural yang lebih tinggi pada aneurisma yang kecil. Meskipun
penyembuhan aneurisma bisa ditingkatkan dngan meningkatkan daya resap stent,
namun cara ini berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya komplikasi,
terutama pada pasien SAH, pada pasien dengan aneurisma yang besar, sebab
dibutuhkan terapi antiplatelet periprosedural untuk mencegah tromboemboli
pembuluh darah. Meskipun stent dengan daya serap arus yang rendah, dengan atau
tanpa coil merupakan pilihan yang lebih baik untuk banyak kasus SAH dengan
aneurisma
sakkular,
namun
stent
tersebut
masih
banyak
didiskusikan
penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan sebab daya tahannya yang masih butuh
perhatian yang signifikan.
Untuk memberikan keseimbangan antara keamanan dan daya tahan, ada banyak
usaha multiple untuk mengidentifikasi pasien-pasien yang lebih baik mendapatkan
pengobatan dengan metode endovaskuler atau metode bedah mikro. Meskipun datadata yang digunakan dalam penelitian tersebut masih sederhana, namun kebanyakan
percaya bahwa dengan teknologi endovaskuler sekarang, aneurisma pada arteri
serebral media mungkin sulit untuk diterapi dengan embolisasi coil, sehingga
pendekatan bedah cenderung memberikan hasil yang lebih baik. Meskipun banyak
penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan umur yang lebih tua lebih caik
mendapatkan terapi endovaskuler disbanding pendekatan bedah, namun data yang
digunakan dalam penelitian ini jarang dan masih diperdebatkan waktunya. Meskipun
pasien yang menunjukkan hematoma intraparenkim < 50 mL memiliki insidensi hasil
yang tidak bagus, namun evakuasi hematoma dalam 3,5 jam menunjukkan
peningkatan hasil dan memberikan alasan penggunaan metode bedah mikro pada
pasien-pasien dengan hematoma. Sebaliknya, pasien yang sedang vasospasme,
mungkin lebih baik dengan teknik endovaskuler, tergantung pada letak anatomi
aneurismadan hubungannya dengan spasme. Pasien dengan derajat keadaan klinis
yang buruk mungkin lebih baik mendapatkan terapi endovaskuler, terutama pada
pasien-pasien dengan usia tua, sebab seiring dengan peningkatan usia, daya tahan
pengobatan tidak menjadi terlalu penting. Penting bahwa pasien-pasien dengan
kondisi klinis yang buruk harus ditangani di pusat layanan yang memiliki kedua jenis
modalitas di atas.penangana denganmetode endovaskulerpada aneurisma sirkulasi
posterior telah diterima secara luas dalam berbagai penelitian. Sebuah penelitian
metaanalisis menunjukkan bahwa resiko mortalitas pada pasien yang mendapatkan
pengobatan dengan coiling pada aneurisma bifurkasio basilar adalah 0,9 % dan resiko
komplikasi permanennya mencapai 5,4 %. Penelitian yang lebih terkini menunjukkan
bahwa resiko mortalitas dan morbiditas pada pasien yang diterapi dengan
endovaskuler pada aneurisma sirkulasi posteriror sebesar 3,7 % dan 9,4 %. Data
tumpukan coil yang progresif merupakan penyulit yang sering ditemui pada
pengobatan endovaskuler pada aneurismaarteri basiler. Dalam sebuah penelitian pada
aneurisma sirkulasi posterior, ditemukan bahwa 85% pasien yang telah oklusi
lengkap, dalam 17 bulan, tidak satupun yang mengalami kompaksi. Sedangkan
pasien-pasien yang tidak mengalami oklusi lengkap, 47 % di antaranya mengalami
rekanalisasi. Berdasarkan temua tersebut, follow up dengan DSA rutin tetap
dibutuhkan pasien-pasien aneurisma sirkulasi posterior yang telah mendapatkan
terapi coiling. Khususnya bagi mereka yang tidak mengalami oklusi aneurisma
sempurna.
Pengobatan bedah dan Endovaskular pada rupture aneurisma serebral:
Rekomendasi:
1. Bedah clipping atau coiling endovaskuler pada pasien dengan rupture
aneurisma harus segera dilakukan sesegera mungkin pada sebagian
besar pasien, untuk mengurangi kejadian perdarahan kembali pasca
aSAH
2. Penutupan aneurisma lengkap disarankan jika memang mem ungkinkan
3. Keputusan untuk melakukan pennganan aneurisma, yang dinilai oleh
ahli bedah serebrovaskular dan ahli endovaskuler, sehrusnya merupakan
keputusan multidisiplin yang mempertimbangkan karakteristik pasien
dan jenis aneurismanya.
baik
bedah
maupun
endovascular,
maka
yang
metode
telah
penanganan bedah clipping. Dua factor yang berkaitan dengan hasil yang lebih baik
dalam penanganan aSAH di rumah sakit pendidikan
endovaskuler yang lebih banyak dan juga persentase pasien rujukan dari rumah sakit
lain yang lebih tinggi. Istitusi yang lebih sering menggunakan metode embolisasi coil
endovaskuler memiliki angka mortalitas yang lebih rendah. Sebagai tambahan, sekitar
16 % pengurangan resiko terjadinya kematian di rumah sakit yang menggunakan
terapi intervensi seperti balon angioplasty untuk mengobati vasospasme arteri.
Karena itu daya tamping rumah sakit dan ketersediaan saran pengobatan baik metode
bedah mikro maupun metode endovaskuler merupakan hal yang sangat menentukan
dalam meningkatkan hasil pengobatan aSAH. Sebagaia tambahan, butuh biaya
tambahan untuk memindahkan penanganan pasien dari rumah sakit yang lebih kecil
ke rumah sakit yang lebih besar. Meskipun, sebuah penelitian menunjukkan bahwa
perawatan yang diberikan di rumah sakit sama antara hari kerja dan akhir pecan,
namun penelitian lain menunjukkan bahwa penanganan ahli yang intensif serta
perawatan yang diberikan tidak konsisten., dan adanya perbedaan dalam praktek
tersebut tidaklah disebabkan oleh perbedaan data. Perbedaan penanganan yang
siginifikan dilaporkan oleh responden penelitian, antara yang berasal dari Amerika
Utara dengan Eropa , serta antara mereka yang dirawat di rumah sakit besar dengan
yang dirawat di rumah sakit kecil. Jadi, penelitian ini membuktikan bahwa metode
perawatan intensif yang diberikan oleh klinisi berbeda-beda, tergantung pada buktibukti yang ada.
Salah satu upaya terbaru untuk meningkatkan keseragaman penanganan aSAH adalah
pengembangan sebuah dewan akreditasi untuk menyelengggarkan program pelatihan
neuroradiologi bedah dan endovaskuler. Usaha yang lain adalah legislasi regulasi di
lebiih dari 10 negara untuk menentukan elemen penting di pusat layanan stroke serta
system perawatannya.kelompok serangan pada otak memasukkan manajemen
penatalaksanaan pada aSAH sebagai bagiannya.dalam perspektif endovaskuler
ekspertise ini mencakup kemampuan menangani pasien dengan aneurisma
intracranial,vasospasme yang dipicu SAH, malformasi pembuluh darah otak, dan
stroke iskemik. Elemen penting yang lain yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan
ahli bedah saraf dan vaskuler setiap hari.
Karakteristik Rumah Sakit dan Sistem Perawatan
Rekomendasi:
1. Rumah
Sakit
kecil
(<10
kasus
aSAH
per tahun)
seharusnya
aman, namun tidak member manfaat dalam menekan mortalitas dan penurunan fungsi
neurologis pada pasienaSAH yang lebih baik. Sebagai tambahan, hipotermi
intraoperatif tidak memiliki manfaat pada fungsi neurologis setelah SAH. Sebagai
catatan, kedua penelitian tersebut tidaklah mampu memberikan gambaran manfaat
metode hipotermi yang lebih sederhana, derta metode lain yang sering digunakan.
Clipping temporer seringkali digunakan untuk meningkatkan kondisi bedah pasien,
dan
perdarahan
akibat
rupture
aneurisma
intraoperatif
atau
untuk
mendekompresi aneurisma yang besar. Namun, penelitian pada pasien yang lebih tua
masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Hanya ada sedikit literature tentang manajemen anestesi pada pasien yang sedang
menjalani terapi endovaskuler rupture aneurisma serebral.secara umum, manajemen
anesrtesi yang digunakan pada tindakan pembedahan pada pasien rupture aneurisma
serebral juga digunakan pada terapi endovaskuler. Pilihan teknik anestesi berbedabeda tergantung dari institusi, dengan teknik yang paling banyak digunakan adalah
sedasi dan anestesi umum. Tak ada penelitian yang telah membandingkan kedua
teknik tersebut. Tujuan utama dari teknik anestei adalah mencegah pergerakan pasien
untuk mendapatkan gambaran vaskuler yang bagus yang digunakan selama terapi.
Karena itu, anestesi umum dengan intubasi endotrakeal sering digunakan dalam
prosedur.
Rupture aneurisma intraprosedur merupakan tantangan utama dalam terapi
endovaskuler.seringkali terjadi peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba dan massif
dengan atau tanpa bradikardi yang berperan dalam peningkatan tekanan intracranial.
pembuluh darah ini telah menjadi bahan penelitian secara luas, namun belum ada
terapi preventif yang efektif yang mampu dikembangkan. Penyebab dari kesulitan ini
ialah kenyataan bahwa vasospasme terjadi di level multiple dari dinding arteri hingga
dinding arteriola. Kerusakan dinding arteri yang besar hanya ditemukan secara
angiografis pada 50 % kasus penurunan kesadaran, dan meskipun ada hubungan
antara besarnya spasme arteri dengan gejala iskemia, namun ada beberapa pasien
dengan spasme arteri yang besar namun tidak menunjukkan gejala, sementara ada
pasien dengan spasme arteri yang sedang, namun justru bisa berkebang ke infark.
Banyak factor yang mungkin berkontribusi dalam perkembangan iskemia dan infark,
termasuk kegagalan mikrosirkulasi distal, anantomi kolateral yang buruk, dan variasi
genetic serta variasi fisiologis tubuh terhadap toleransi iskemik seluler.
DCI, khususnya yang behubungan dengan vasospasme arterial, menyisakan penyebab
utama kematian dan kecacatan pada pasien aSAH. Penatalaksanaan pasien aSAH
dengan vasospasme bersifat kompleks. Banyak kemajuan signifikan dalam
pengetahuan tentang aSAH yang menginduksi vasospasme dan DCI tlah dilakukan
sejak publikasi dari berbagai versi guideline yang berfokus pada pencegahan dengan
nimodipin oral, serta mempertahankan euvolemia, triple-H therapy, dan/atau terapi
endovaskuler dengan vasodilator dan ballon angiografi. Pertama, penggunaan
nimodipin beralasan kuat, dengan berbagai penelitian metaanalisis membuktikan hasil
neurologis yang lebih baik dengan mencegah penebalan pembuluh darah. Meskipun
hanya sedikit data penting yang berkaitan dengan manfaat profilaktik hipovolemia
jika dibandingkan mempertahankan euvolemia, namun data terbaru menunjukkan
baik metode angioplasti profilaktik maupun antiplatelet profilaktik tidak efektif dalam
mengurangi angka morbiditas. Sama halnya, satu-satunya penelitian tentang
penggunaan drainase lumbar berasal dari sebuah penelitian case-control. Meskipun
ada penelitian investigasi sedang dilakukan untuk menilai penggunaan intervensi ini
dalam mengurangi spasme arteri dan DCI, data penelitian menunjukkan penggunaan
trombolitik infuse intratekal lebih baik, meskippun dengan berbagai kekurangan
metodologis dalam penelitiannya.jugaa ada banyak penelitian penting lain tentang
Setelah DCI didiagnosis, maka terapi awal berupa induksi tambahana hemodinamik
harus segera dilakukan untuk meningkatkan perfusi serebral. Belum ada penelitian
memadai yang menunjukkan penggunaan metode ini, namun namun peningkatan
cepat kondisi pasien dengan penggunaannya serta perburukan kondisi pasien jika
terapi dihentikan menunjukkan manfaat yang bisa dipercaya. Mekanisme dari
manfaat ini masih belum jelas. Pada beberapa pasien, peningkatan tekanan arteri ratarata mungkin meningkatkan laju aliran darah serebral melalui disfungsi autoregulasi.
Selain itu, ada beberapa efek transluminal langsung yang menyebabkan dilatasi arteri.
Secara tradisional, peningkatan hemodinamik meliputi hemodilusi, hipervolemia, dan
terapi hipertensi. Kebanyakan literature telah memindahkan focus bahasan dari terapi
augmentasi ini ke terapi mempertahakan euvolemia dan terapi induksi hipertensi.
Sebuah penelitian augmentasi dengan alat ballon aorta telah dilakukan. Intervensi
endovaskuler sering digunakan pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan
dengan terapi augmentasi dan pada pasien dengan deficit neurologi fokal yang tibatiba, dan lesi fokal yang terlihat dari angiografi yang sesuai dengan gejala yang
terlihat. Intervensi secara umum terdiri dari balloon angioplasty pada lesi yangbisa
dijangkau dan pemberian infuse vasodilator pada pembuluh darah yang lebih distal.
Banyak obat vasodilator telah digunakan. Yang sceara umum digunakan adalah
calcium channel blocker, namun nitrat oxide telah banyak digunakan. Papaverin
jarang digunakan sebab bisa menyebabkan neurotoksisitas. Kekurangan utama
penggunaan vasodilator adalah manfaatnya yang relative jangka pendek. Seperti
halnya terapi augmentasi, belum ada penelitian teruji yang membuktikan baik secara
klinis maupun bukti angiografik manfaat dari penggunaan vasodilator ini.
Manajemen vasospasme serebral dan DCI Pasca aSAH
Rekomendasi:
1. Nimodipin oral harus diberikan pada semua pasien dengan aSAH (pelru
diingat bahwa telah terbukti meningkatkan hasil neurologis tapi tidak dengan
vasospasme serebral. Nilai dari penggunaan antagonis kalsium yang lain, baik
oral maupun intravena masih belum jelas)
provilaktik
atau
balloon
pada kenaikana tekanan darah yang tak bisa ditolerir oleh jantung
Angioplasty serebral dengan atau tanpa terapi vasodilator intra arteri
selektif beralasan untuk diberikan pada pasien dengan
vasospasme
lumbar, pada pasien dengan hipertensi intracranial harus dipertimbangkan metode apa
yang digunakan,khususnya pada pasien dengan yang mengalami hematoma intra
parenkim. Saat sebuah hidrosefalus obstrukitf ditemukan, maka prosedur EVD harus
segera dipersiapkan. Data-data sebelumnya menunjukkan bahwa drainage lumbar
terbukti menurunkan resiko terjadinya vasospasme serangkaian pungsi lumbar yang
dilakukan untuk menangani hidrosefalus akut pada aSAH telah disebutkan aman
untuk dilakukan namun metode ini hanya diteliti di penelitian retrospektif.
Hidrosefalus kronik yang berkaitan dengan aSAH diterapi dengan replacement
ventrikel shunt.
anti kejang pada pasien aSAH masih meragukan, nammun terapi antiepileptic
profilaktik kerja pendek masih digunakan secar umum pada pasien-pasien aSAH
dengan alasan bahwa kejang yang terjadi pada pasien yang sakit berat bisa
menyebabkan cedera bertambah berat atau perdarahan kembali pada aneurisma. Bukti
dari beberapa penelitian retrospektif pada beberapa pasien yang menjalani kranitomi
memperkuat pendapat ini. Namun manfaat dari penggunaan antikonvulsan rutin pada
pasien aSAH yang mendapatkan terapi bedah hingga sekarang masih belum diterima.
Sejumlah manfaat dari penggunaan anti kejang rutin pada pasien aSAH harus dibatasi
dengan mempertimbangkan resiko penggunaannya dalam jumlah besar. Dalam
sebuah penelitian, di mana obat anti kejang diberikan secara rutin, efek merugikan
obat terlihat pada 23 % pasien. Penelitian retrospektif lainnya menunjukkan bahwa
penggunaan fenitoin profilaktik secara independen justru berhubungan dengan
prognosis kognitif yang lebih buruk setelah 3 bulan. Data yang dikumpulkan dari
berbagai penelitian juga menunjukkan efek merugikan dari obat anti kejang termasuk
efek vasospasme, DCI, demam yang menunjukkan bahwa mungkin ada banyak
kecurigaan dalam penggunaan obat anti kejang. Meskipun ada penelitian yang
menunjukkan manfaat dari penggunaan anti kejang pada aSAH, namun penelitian
tersebut terlalu kecil dan terbatas (contoh: level antikonvulsan yang digunakan tidak
dimonitor secara rutin).
Manjemen Kejang yang disebabkan oleg aSAH
Rekomendasi:
1. Penggunaan antikonvulsan profilaktik mungkin perlu dipertimbangkan
pada periode posthemoragik
2. Penggunaan antikonvulsan
jangka
panjang
secar
rutin
tidak
namun
penelitian
masih
dibutuhkan
untuk