Anda di halaman 1dari 4

PENDAHULUAN

Setiap Agama didunia ini diyakini oleh umatnya sebagai kebenaran yang hakiki, bersumber dari Yang Maha Kuasa dan disabdakan
atau diwahyukan melalui para suci ( Nabi, Maharsi, Rasul, Avatar ) untuk menuntun umat manusia ke jalan yang benar.
Ajaran Agama pada umumnya mengandung filsafat dan ritual serta nilai - nilai spiritual, moral dan etika kehidupan. Dengan menghayati
dan mengamalkan nilai - nilai luhur tersebut secara benar maka manusia dapat mengarungi samudera kehidupan ini dengan selamat
ke pantai tujuan, yaitu kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan serta kedamaian abadi di akhirat.
Agama Hindu mengajarkan nilai - nilai kebenaran yang luhur itu dengan tujuan yang sama pula, walaupun cara pengamalan atau
prakteknya berbeda - beda. Namun demikian ajaran yang bersifat absolut ( theologis ) yang berkaitan dengan keimanan ( Sraddha ) tak
pernah ditinggalkan, sedangkan cara dalam pencarian Yang Absolut itu tidak selalu sama ( relatif ) bergantung dari bakat sifat kelahiran
manusia itu sendiri. Oleh karena itu Agama Hindu mengajarkan empat jalan menuju Tuhan ( Brahman, Sanghyang Widhi Wasa ) yaitu :
a. Bhakti Margha ialah jalan mencapai kebenaran sejati melalui penyerahan diri yang dilandasi cinta - kasih yang murni kepada Tuhan
dan memancar kepada sesama ciptaan-Nya.
b. Karma Margha ialah jalan mencapai kebenaran sejati melalui amal perbuatan tanpa pamrih dan segala akibat/hasilnya terserah
kepada Sang Penakdir.
c. Jnana Margha ialah jalan mencapai kebenaran sejati melalui olah - pikir atau jalan filsafat sampai terwujud suatu kesadaran bahwa
Sang Pencipta itu absolut ( ens a se ), sedangkan eksistensi ciptaan-Nya bersifat maya, ilusi, relatif ( ens ab alio ). Namun demikian
disadari bahwa inti kehidupan bukanlah relatif, melainkan absolut pula.
d. Raja Yoga Margha ialah jalan mencapai kebenaran sejati melalui disiplin spiritual dengan cara bertapa dan selalu menghubungkan
sang Diri dengan sang Pencipta, antara Atman ( Jiwa Sejati ) dengan BrahmanYang Esa.
Keempat jalan tersebut barangkali secara implisit terdapat juga dalam Agama yang lain walaupun istilahnya berbeda. Dengan adanya
empat jalan tersebut diharapkan agar keanekaragaman atau kebhinekaan tidak akan mengarah menjadi pertentangan atau konflik,
namun dapat menumbuhkan simpati dan kerjasama dalam membangun kehidupan sosial yang harmonis, rukun dan damai
( Jagadhita ), sedangkan secara individual dapat membebaskan jiwanya dari belenggu duniawi yang bersifat maya serta mencapai
kebahagiaan sejati ( Moksa ).
Walaupun ajaran Agama selalu menunjukkan jalan yang benar, mengapa pertentangan / konflik sosial maupun internal tetap terjadi ?
Untuk itulah kita harus mencari akar penyebabnya dan menemukan jalan keluarnya melalui revitalisasi dan reaktualisasi ajaran Agama
sehingga mampu membangun kembali peradaban manusia yang dilandasi cinta - kasih menuju damai dan sejahtera.
EKSKLUSIFISME SEBAGAI PENYEBAB KONFLIK
Arus globalisasi dengan teknologi informasinya yang canggih telah mengubah pola hidup manusia baik yang berkaitan dengan masalah
politik, ekonomi, maupun sosial - budaya ( Dana : 1997 ). Sifat dan sikap hidup individualistik, materialistik, hedonistik dan sekuler
makin menonjol sehingga eksklusifitas kelompok semakin kental dan pluralisme yang menjadi ciri kehidupan sosial diabaikan.
Solidaritas kelompok seringkali disalahgunakan untuk kepentingan solidaritas yang bersifat emosional terhadap suatu aktifitas
kelompok lain. Hal ini berkembang dalam bentuk kepatuhan yang kaku kepada pemimpinnya walaupun bertentangan dengan nilai atau
norma agama yang bersifat universal, yang menghendaki terwujudnya kehidupan yang saling asih, saling asah dan saling asuh.
Eksklusifitas kelompok juga berkembang ke dalam bentuk dilema prasangka sebagai akibat dari ketertutupan diri dari pengaruh luar
dan demi pemurnian paham atau agama kelompoknya. Mereka lupa bahwa keberadaan manusia di dunia tidak dapat terpisah dari
dunia itu sendiri karena manusia adalah suatu " etre au monde ", suatu yang ada di dunia ( maya ). Bahkan di dalam Agama Hindu
disebut sebagai " manusyah sarva bhutesu " manusia diantara semua makhluk. Sering kali terjadi kasus SARA yang sebenarnya
berawal dari munculnya prasangka, kemudian merebak menjadi " issue " seperti Islamisasi, Kristenisasi, Jawanisasi dan sebagainya.
Munculnya suatu kelompok SARA yang berlainan dengan mayoritas penduduk setempat sebenarnya berkaitan dengan gejala
urbanisasi, transmigrasi, bahkan globalisasi.
Pada era modern dan reformasi dewasa ini tidaklah mungkin ada masyarakat yang homogen, kecuali pada masyarakat yang masih
primitif. Bila kini ada orang yang bukan Islam di Aceh dan Sumatera Barat, bukan Kristiani di Timor dan Irian, bukan Hindu di Bali,
bukan orang Dayak di Sampit, bukan orang Bugis di Makasar dan sebagainya, adalah merupakan hal yang wajar. Oleh karena itu
harus disadari pula bahwa pendatang baru itu tentu membawa tradisi daerahnya dan memerlukan sarana peribadatan disertai simbol simbol yang dapat mempersatukan mereka secara tradisional serta dapat menjalankan ajaran agamanya dengan baik dan benar. Akan
tetapi disisi lain penggunaan simbol - simbol secara berlebihan dan penerapan tradisi secara kaku, tentu dapat menimbulkan buruk
sangka, bahkan berkembang menjadi konflik dan berubah menjadi kerusuhan sosial yang dapat mengancam integritas bangsa.
Suatu hal yang sangat mendasar dan bersifat rohani yang mengakibatkan terjadinya eksklusifisme dan disharmoni adalah kerancuan
pemahaman antara absolutisme dan relativisme. Mereka tidak menyadari bahwa dirinya bukanlah badan belaka, melainkan merasa
bahwa dirinya adalah badan yang harus disayangi serta dipelihara dengan kemewahan duniawi. Mereka merasa bahwa hidup dalam
kemewahan, kekuasaan dan kebebasan ( relatif ) akan membawa kebahagiaan abadi. Mereka membanggakan kekuasaan dan
kebebasan serta menggunakannya untuk membangun dunia yang gelap dalam kebutaan rohani, dimana nafsu serakah dan kebencian
dibiarkan berkeliaran tanpa batas. Mereka tidak sadar bahwa sesungguhnya jiwanya terbelenggu di dalam penjara yang diciptakannya
sendiri. Hal seperti ini sungguh menyedihkan dan dapat menimbulkan persepsi bahwa Agama tidak berhasil mencapai maknanya yang
paling hakiki, yaitu kasih dan kedamaian sejati.
Demikianlah beberapa penyebab konflik sosial yang dapat diidentifikasi dari berbagai fenomena kehidupan bangsa dewasa ini. Untuk
mengatasi dan mencegah pengembangannya ke arah disintegrasi sangat diperlukan konsep pemecahannya, terutama yang bersumber
dari ajaran agama, baik yang berkaitan dengan keimanan ( absolutisme ) maupun pengamalannya dalam interaksi sosial - budaya yang
bersifat relatif.
KONSEP AJARAN HINDU
Dalam rangka mengeleminasi segala permasalahan yang mengarah kepada disharmonisasi dan disintegrasi, kiranya diperlukan

revitalisasi terhadap tafsir ajaran Agama agar tetap eksis dan bermakna di tengah - tengah kehidupan global dewasa ini, selanjutnya
diaktualisasikan dalam kehidupan nyata sehari - hari secara proporsional, paling tidak menyangkut dua hal yaitu :
1. Keimanan kepada yang Absolut dengan segala sifat keabsolutan-Nya ( terkait dengan nilai - nilai spiritual yang harus dan wajib
diamalkan ).
2. Pengamalan nilai - nilai yang bersifat " munden ", keduniawian untuk mengatur kehidupan bersama, menyangkut masalah moral dan
etik.
Berkaitan dengan keimanan , Agama Hindu mengajarkan " Panca Sraddha " ( Puniatmaja : 1971 ) yaitu lima dasar keyakinan yang
meliputi keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa ( Brahman ), keyakinan pada Jiwa Sejati ( Atman ), keyakinan pada hukum karma
( Karmaphala ), keyakinan pada penjelmaan kembali ( Punarbhava ), dan keyakinan pada pembebasan dari penjelmaan ( Moksa ).
Konsep Hindu tentang Tuhan, lebih jauh dijelaskan oleh Visvanathan (2000 : 28 ) yang didasarkan pada Veda adalah bahwa :
1. Semua datang dari " Satu Itu " yang tidak dapat didefinisikan disebut Brahman yang kekal abadi ( monisme ).
2. Segala sesuatu datang dari " Itu ", maka semua eksistensi adalah baik dan suci ( pantheisme ).
3. Hanya ada satu Tuhan, " Ekam Sat " ( monotheisme ).
4. Semua dari kita adalah Dewa - Dewa, Jivi sebagai pancaran sinar suci immanen ( dvaita ).
5. Mencari Tuhan adalah seperti sesendok garam mencari dasar samudera. Pada saat garam itu menyentuh permukaan samudera
maka ia menjadi bagian yang tak terpisahkan ( Visistadvaita ).
Konsep tentang Atman sampai dengan Moksa dapat dijelaskan sebagai berikut :
Atman adalah penyebab segala sesuatu itu hidup. Ia adalah sinar Brahman Yang Esa. Ia berada didalam setiap makhluk dan juga
berada di luar " Tat Tvam Asi " ( Itu adalah Engkau, Dia adalah Kamu ). Ketika berada didalam tubuh dia disebut Jivi atau Jiwa. Ketika
tubuh ini ditinggalkan maka tubuh ini mati dan menjadi hancur, namun Atman tetap kekal ( Katha Upanisad I.2.18 dan II.2.4 ). Sang
Jiwa yang terbungkus dalam Roh pergi membawa kesan karma / perbuatan selama ia berada dalam tubuh yang tidak kekal. Segala
bentuk perbuatan atau karmanya selama menghuni tubuh, akan memperoleh pahala yang setimpal dan sang Jiwa/Roh yang masih
terikat oleh dunia maya akan mencari badan yang baru atau lahir kembali yang disebut Punarbhava. Tetapi apabila Sang Jiwa selama
menghuni badan terbebas dari belenggu dunia maya, ia melihat semua makhluk ada pada dirinya dan dirinya berada pada semua
makhluk serta tiada lagi rahasia yang tersembunyi ( Isa Upanisad 6 ), maka Sang Jiwa mencapai identitas Atman yang suci,
menemukan kesadaran yang tak terbatas dan menyatu dengan Brahman. Bagaikan lampu yang memperlihatkan sinar yang dapat
pergi jauh diluar batas materialnya dan memproklamirkan hubungan persaudaraannya dengan matahari. Itulah cita - cita akhir dari
kehidupan, mencapai " ananda rupam ", wujud kebahagiaan kekal, terbebas dari suka - duka yang disebut Moksa.
Demikian ajaran Panca Sraddha merupakan nilai, norma, bahkan sebagai hukum yang absolut karena berasal dari Brahman Yang Esa
dan Abadi.
Untuk menetapi Sraddha tersebut umat Hindu mengamalkannya berdasarkan petunjuk Atharva Veda XII.1.1 yaitu dengan
memantapkan keyakinan pada kebenaran Tuhan ( Satyam ), mentaati hukum suci-Nya ( Rtam ), melakukan penyucian diri ( Diksa ),
pengendalian diri terhadap nafsu duniawi ( Tapa ), selalu berdoa memohon pencerahan ( Brahma ) dan melakukan korban suci untuk
keselamatan dan kebahagiaan makhluk ( Yajna ). Aktualisasi pengamalannya bersifat relatif, sesuai desa - kala - patra ( tempat - waktu
- kondisi ) sehingga tidak mengakibatkan terjadinya benturan / disharmoni, baik dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat yang
heterogen ( bhineka ) ini.
Agar pengamalannya tidak menyimpang ( sesat ) dari ajaran Veda maka perlu dipedomani ajaran " Dharma Siddhyartha " sebagai
mana tercantum di dalam Veda Smrti VII.10 yang memuat lima aspek yang dijadikan dasar pertimbangan dalam menuangkan konsep
ataupun bentuk amalan yang akan dilakukan, yaitu:
1. Iksa adalah hakikat tujuan dari suatu kegiatan yang akan dilaksanakan.
2. Sakti adalah kesadaran kemampuan fikir dan fisik materiil untuk mendukung suatu kegiatan.
3. Desa adalah tempat kegiatan atau lingkungan kondusif yang dapat memperlancar suatu kegiatan.
4. Kala adalah waktu atau masa di dalam melaksanakan suatu kegiatan.
5. Tattva adalah dasar keyakinan atau falsafah yang bersumber dari nilai suci Veda.
Keseluruhan ide pengamalan ajaran Agama Hindu baik absolutisme maupun relativisme, dapat dirumuskan dalam satu konsep yang
disebut " Tri Hita Karana ", yang mencakup hubungan manusia dengan Sang Pencipta dalam wujud bhakti yang murni; hubungan
manusia dengan Negara, dengan umat beragama, maupun dengan sesama manusia; hubungan manusia dengan lingkungan secara
harmoni.
1. Hubungan manusia dengan Tuhan hendaknya dilandasi oleh kesadaran bahwa " Tuhan adalah kebenaran pengetahuan yang tak
terbatas ( Sat Citta Ananda Brahman ) dan Ia adalah dari mana semua ini berasal ( Janmadhyasya yatah ) ", sebagaimana
diungkapkan didalam kitab Maha Nirvana Tantra dan Brahma Sutra I.1.2. Sehubungan dengan itu kitab suci Bhagawad Gita adhyaya XI
sloka 55 dan XVIII.65 menyatakan :

" Yang bekerja bagi-Ku, menjadikan Aku sebagai tujuan tertinggi,


berbakti kepada-Ku tanpa kepentingan pribadi,
tiada bermusuhan terhadap segala insani,
dialah yang datang kepada-Ku, oh Pandawa "
" Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbakti pada-Ku
bersujud pada-Ku, sembahlah Aku
engkau akan tiba pada-Ku, Aku berjanji
setulusnya padamu sebab engkau Ku-kasihi "

2. Hubungan manusia / warganegara dengan Negara, dan sesama umat beragama, maupun dengan sesama manusia hendaknya
mengarah pada kerukunan, motivasi juang, persatuan dan kesatuan, baik dalam cita - cita, pikiran maupun sikap, guna menghadapi
masalah bangsa dan negara menuju kebahagiaan serta perdamaian yang kekal.
a. Tentang hubungan warganegara terhadap Negara dijelaskan dalam kitab suci Yajur Veda IX.22 dan 23, Atharva Veda XII.1.2 serta
Veda Smrti VII.13, 14 dan 18 yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut :
" Kami menghormati Ibu Pertiwi. ( Yaj.V. IX.22 )
Semoga kami waspada menjaga dan melindungi bangsa dan negara kami. ( Yaj.V. IX.23 )
Semoga kami dapat berkorban untuk kemuliaan bangsa dan negara kami " ( Ath.V. XII.1.2 )
" Karena itu hendaknya jangan seorangpun melanggar undang - undang yang dikeluarkan oleh pimpinan negara, baik karena
menguntungkan seseorang maupun yang merugikan pihak yang tidak menghendakinya "
( V.Smrti. VII.13 )

" Demi untuk itu, Tuhan telah menciptakan Dharma, pelindung semua makhluk, penjelmaannya dalam wujud undang - undang
merupakan bentuk kejayaan Brahman Yang Esa" ( V.Smrti VII.14 ).
" Sangsi hukum itu memerintah semua makhluk, hukum itu yang melindungi mereka, hukum yang berjaga selagi orang tidur, orang orang bijaksana menyamakannya dengan Dharma " ( V.Smrti VII.18 ).
b. Hubungan dengan sesama umat beragama, umat Hindu hendaknya percaya bahwa setiap agama mengandung nilai suci dan jalan
menuju Kebenaran Tuhan ,sebagaimana disuratkan dalam Kitab suci Pancamo Veda IV.11 dan VII.21, 22 yang terjemahannya berbunyi
sebagai berikut :
" Jalan manapun ditempuh manusia kearah-Ku semuanya Ku-terima, dari mana - mana semua mereka menuju jalan-Ku, oh Parta "
" Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama, supaya tetap
teguh dan sejahtera "
" Berpegang teguh pada kepercayaan itu, mereka berbakti pada kepercayaan itu pula dan dari baktinya itu mereka memperoleh pahala
keuntungan yang sebenarnya dikabulkan oleh-Ku "
c. Hubungan manusia dengan sesama warga bangsa bahkan seluruh manusia dijelaskan dalam Kitab suci Rg Veda X.191.2,3 yang
terjemahannya berbunyi sebagai berikut :
" Wahai manusia, berjalanlah kamu seiring, berbicara bersama dan berfikirlah kearah yang sama, seperti para Deva dahulu membagi
tugas mereka, begitulah mestinya engkau menggunakan hakmu."
" Berkumpullah bersama, berfikir kearah satu tujuan yang sama, seperti yang telah Aku gariskan. Samakan hatimu dan satukan
pikiranmu, agar engkau dapat mencapai tujuan hidup bersama dan bahagia. "
3. Selanjutnya mengenai hubungan manusia dengan alam lingkungan hidupnya ( alam semesta ini ) hendaknya dilandasi oleh
kesadaran bahwa seluruh alam ini berasal dari Tuhan dan diberi makan oleh Tuhan Yang Maha Sempurna sebagaimana dinyatakan
dalam Atharwa Veda X.8.29 dengan kalimat : " Purnat purnam udacati purnanena vasisyate ". Demikianlah manusia harus menyadari
bahwa dirinya merupakan suatu kesatuan dengan alam semesta ini didalam Tuhan. Kitab suci Isa Upanisad sloka 6 menyatakan :
" Yas tu sarvani bhutani atmanyevanupa?yati
sarva bhutesu catmanam tato na vijugupsate."
Artinya:
" Dia yang melihat semua mahluk pada dirinya (Atman) dan dirinya (Atman) sendiri pada semua mahluk, Dia tidak lagi melihat adanya
sesuatu perbedaaan dengan yang lain."
Kebenaran Tuhan akan dimunculkan kepadanya bila dia mengerti kebenaran pada mahluk lain sesuai entitasnya, sehingga dengan
kesadaran itu dia siap mengorbankan dirinya sendiri melalui cinta kasih yang tulus. Bila manusia telah diliputi sinar cinta kasih maka
aspek negatif dari keterpisahan dirinya dengan orang ataupun mahluk lain, bukan lagi merupakan persaingan dan konflik tetapi
mengarah kepada simpati dan kerjasama yang harmonis. Simpati dan kerjasama yang harmonis akan mewujudkan kerukunan sejati
dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di tengah alam semesta yang maha luas ini.
PENUTUP
Sebagai penutup kami mengajak kita semua untuk merenungkan satu sloka dari Atharva Veda XII.1.45 yang berbunyi demikian :
" Janam bibhrati bahudha mimasacam
Nana dharmanam prthivi yatokasam
Sahastram dhana dravinasya me duham
Dhruveva dhenur anapaspuranti ".

Artinya :
" Bekerjalah untuk tanah air dan bangsamu dengan berbagai cara. Hormatilah cita-cita bangsamu. Ibu Pertiwi sebagai sumber,
mengalirkan sungai kemakmuran dengan ratusan cabang. Hormatilah tanah airmu seperti kamu memuja Tuhan. Dari jaman abadi Ibu
Pertiwi memberikan kehidupan kepadamu semua, karena itu engkau berhutang kepada-Nya ".
Mari kita pedomani ajaran suci agama sebagai sumber inspirasi yang tak pernah kering dan setiap umat harus bangkit untuk menjalin
persahabatan dinamis yang dilandasi kesadaran cinta - kasih, menjadi kekuatan untuk membangun kejayaan bangsa dan negara serta
perdamaian dunia yang abadi. Semoga!
Jakarta, 9 Nopember 2001

( Kolonel. Inf. Drs. I Nengah Dana, S.Ag )


AKTUALISASI AJARAN AGAMA
ANTARA ABSOLUTISME DAN RELATIVISME
DITENGAH PERSAINGAN DAN KONFLIK SOSIAL
( TINJAUAN DARI SEGI AGAMA HINDU )

Anda mungkin juga menyukai