Anda di halaman 1dari 36

I.

PEMBAHASAN
A. Identitas.
Nama
: Ny. R
TTL
: Cirebon, 13/06/1992
Umur
: 23 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Jakarta Utara
Masuk RS tanggal
: 14/08/2015
B. Anamnesis
Keluhan Utama: muntah muntah sejak 5 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang:
1 tahun SMRS Os di diagnosis sakit Diabetes. Berat badan os menurun
10kg. Namun nafsu makan os meningkat, sering terbangun ketika malam
untuk pipis, dan sering minum.
5 jam SMRS Os mual disetai muntah 20 kali beberapa jam SMRS.
Muntah setiap kali diisi makanan dan minuman. Mulutnya terasa pahit.
Disertai dengan nyeri pada uluhati, Lemas dan banyak pipis .

Os juga

mengeluh sakit kepala. Terakhir kali mkn saat pagi hari (bihun dan gorengan).
Suntik insulin terakhir saat pagi hari. Demam disangkal. Bab cair disangkal.
Saat masuk RS Os tidak sadarkan diri dan setelah masuk keruangan os
demam. GDS: 758
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : somnolen
K. Umum : Tampak Sakit Berat
TTV :
a. TD : 120/70 mmHg
b. Suhu : 37,5oC
c. Napas : 28 x/ menit, napas cepat dan dalam, cuping hidung (+)
d. Nadi : 115 x/ menit
-

Kepala
o Normocephal, wajah tampak pucat , Anemis -/-, ikterik -/-, pupil
isokor 3 mm, Pernapasan cuping hidung (+), Telinga dalam batas
normal, Bibir tampak kering, lidah tidak kotor, gigi-geligi baik,
faring tidak hiperemis, T1-T1

Leher

o Thyroid (-), KGB tidak teraba, JVP tidak meningkat


Toraks
o Normo cest, nyeri tekan (-), masa (-), Vokal Fremitus +/+ simetris
o Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-, Wheezing -/o Cor : ictus cordis teraba pada ICS 4 linea midclavikula, BJ 1 dan 2
normal, reguler
Abdomen
o Tampak cembung, Nyeri Tekan Epigastrium (+), Hepatomegali (-).
Splenomegali (-), Turgor kulit (+) lama kembali, Bising Usus (+)

normal
Ekstremitas
o Akral dingin, tangan dan kaki lembab, sianosis (-), Odem (-), RCT

<2
C. Pemeriksaan Penunjang
14-08-2015

Resume
Perempuan, 28 tahun datang dengan keluhan vomittus sejak pagi SMRS.
vomitus 20 kali dalam sehari. Muntah berisi makanan. Mulutnya terasa pahit.
Disertai dengan nyeri epigastrium, malaise, chepalgia dan poliuri. Makan terakhir dan
menyuntik insulin saat pagi hari. Riwayat Dm sejak 1 tahun lalu dan sudah ada
penurunan berat badan sebanyak kurang lebih 10 kg.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan TD 120/70, nadi 115x/menit, RR


28x/menit (nafas cepat dan dalam), Suhu 36,80C. IMT underweight. Pada
pemeriksaan fisik mata cekung, mukosa bibir kering, nyeri tekan abdomen, turgor
kulit kembali lamban.
Pada pemeriksaan laboratorium Tgl 14-8-15 leukosit 37.41, trombosit 528,
GDS 756, Na 131, K 5.7, Cl 94, aseton +, pH 7.137, pCO2 15.6, pO2 170.8, saturasi
O2 98.90, total CO2 5.80, gliko Hb ( HbA1c) 13.0
Daftar masalah
-Ketoasidosis diabetikum
Assessment
Ketoasidosis diabetikum
S

: vomittus sejak pagi SMRS. vomitus 20 kali dalam sehari. Muntah berisi

makanan. Mulutnya terasa pahit.

Disertai dengan nyeri epigastrium, malaise,

chepalgia dan poliuri. Makan terakhir dan menyuntik insulin saat pagi hari. Riwayat
Dm sejak 1 tahun lalu dan sudah ada penurunan berat badan sebanyak kurang lebih
10 kg.
O

:Pada pemeriksaan fisik ditemukan TD 120/70, nadi 115x/menit, RR

28x/menit (nafas cepat dan dalam), Suhu 36,80C. IMT underweight. Pada
pemeriksaan fisik mata cekung, mukosa bibir kering, nyeri tekan abdomen, turgor
kulit kembali lamban.
Pada pemeriksaan lab: 14-8-15 leukosit 37.41, trombosit 528, GDS 756, Na 131, K
5.7, Cl 94, aseton +, pH 7.137, pCO2 15.6, pO2 170.8, saturasi O2 98.90, total CO2
5.80, gliko Hb ( HbA1c) 13.0, keton 2+
A:

ketoasidosis diabetikum
hiperosmoral non ketotik

P:
Terapi

Rencana diagnosis: GDS, HCO3, elektrolit, EKG

REHIDRASI NaCl 0,9% atau RL 2L loading 2 jam pertama 80 tpm

selama 4 jam lalu 30-50 tpm selama 18 jam (4-6L/24jam)


INSULIN 4-8 U/jam sampai GDR 250 mg/dl atau reduksi minimal
Infus K K+ 5.7 beri 25mEq/L (Masukkan dalam NaCl 500cc/24 jam)
Infus Bicarbonat Berikan 44-132 mEq dalam 500cc NaCl 0.9%, 30-80
tpm

Pemberian Bicnat = [ 25 HCO3 terukur ] x BB x 0.4


-

Antibiotik dosis tinggi

Pancreatitis
S: muntah +, mual +, nyeri pada uluhati +, penurunan berat badan +, riwayat
maag +, demam +
O: pada pemeriksaan fisik: s: 37,5 c, mukosa bibir kering+,

nyeri tekan

epigastrium +. Pada pemeriksaan laboratorium: Luekosit: 37.41, GDS: 758,


Limpase darah:162, Amylase pancreatic:95
A: pankreatitis
gastritis
P: rencana diagnosis: USG, endoskopi
terapi
-

Puasa

Pengeluaran isi lambung

Analgetik

Antibiotik

Antasida

II. TINJAUAN PUSTAKA


PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik, ditandai
oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin
atau keduanya.1
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes
melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030.
WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah

penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah
penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita
diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di
Indonesia menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita
melakukan pemeriksaan secara teratur. 2
Peningkatan insidensi diabetes melitus di Indonesia tentu akan diikuti oleh
meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Berbagai
penelitian prospektif menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh
darah, baik mikrovaskular seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskular seperti
penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah tungkai bawah. Dengan
demikian, pengetahuan mengenai diabetes dan komplikasi vaskularnya menjadi penting
untuk diketahui dan dimengerti 3

Latar belakang

American Diabetes Association (ADA) mendefinisikan KAD sebagai suatu trias yang
terdiri dari ketonemia, hiperglikemia dan asidosis. American Diabetes Association
menyarankan penggunaan pendekatan yang lebih pragmatis, yakni KAD dicirikan dengan
asidosis metabolik (pH <7,3), bikarbonat plasma <15 mmol/L, glukosa plasma >250 mg/dL
dan hasil carik celup plasma ( +) atau urin (++).

1,2,3

Patut diperhatikan bahwa masing-

masing dari komponen penyebab KAD dapat disebabkan oleh karena kelainan metabolik
yang lain, sehingga memperluas diagnosis bandingnya. 2,3

Data komunitas di Amerika serikat, Rochester menunjukkan bahwa insidens KAD


sebesar 8 per 1000 pasien, sedangkan untuk kelompok usia di bawah 30 tahun sebesar 13,4
per 1000 pasien DM per tahun. Walaupun data komunitas di Indonesia tidak sebanyak di
negara barat, mengingat prevalensi DM tipe I yang rendah. Laporan insidens KAD di
Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit, terutama pada pasien DM tipe II.
Penanganan pasien penderita ketoasidosis diabetikum adalah dengan memperoleh
riwayat menyeluruh dan tepat serta melaksanakan pemeriksaan fisik sebagai upaya untuk
mengidentifikasi kemungkinan faktor faktor pemicu. Pengobatan utama terhadap kondisi ini
adalah rehidrasi awal (dengan menggunakan isotonic saline) dengan pergantian potassium
serta terapi insulin dosis rendah. Penggunaan bikarbonate tidak direkomendasikan pada
kebanyakan pasien. Cerebral edema, sebagai salah satu dari komplikasi ketoasidosis
diabetikum yang paling langsung, lebih umum terjadi pada anak anak dan anak remaja
dibandingkan pada orang dewasa. Follow-up pasien secara kontinu dengan menggunakan
algoritma pengobatan dan flow sheets dapat membantu meminimumkan akibat sebaliknya.
Tindakan tindakan preventif adalah pendidikan pasien serta instruksi kepada pasien untuk
segera menghubungi dokter sejak dini selama terjadinya penyakit

BAB I I

TI NJ AU AN PUS TAK A

KETOASIDOSIS DIABETIKUM
DEFINISI
Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik
yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif. 1 KAD dan koma hipoglikemia akibat OHO merupakan
komplikasi akut diabetes melitus (DM) yang serius yang membutuhkan pengelolaan gawat
darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat
menyebabkan syok.3

Pada umumnya keton serum negatif dengan pemeriksaan metoda nitroprusid


pada dilusi 1:2, bikarbonat serum > 20 mEq/L, dan pH arterial > 7,3. Hiperglikemia
pada SHH biasanya lebih berat dari pada KAD; kadar glucosa darah > 600 mg/dL
biasanya dipakai sebagai kriteria diagnostik. SHH lebih sering terjadi pada usia tua
atau pada mereka yang baru didiagnosis sebagai diabetes dengan onset lambat. 4

ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Infeksi tetap merupakan faktor pencetus paling sering untuk KAD dan KHH, namun
beberapa penelitian terbaru menunjukkan penghentian atau kurangnya dosis insulin
dapat menjadi faktor pencetus penting. Patut diperhatikan bahwa terdapat sekitar 1022% pasien yang datang dengan diabetes awitan baru. Pada populasi orang Amerika
keturunan Afrika, KAD semakin sering diketemukan pada pasien dengan DM tipe 2,
sehingga konsep lama yang menyebutkan KAD jarang timbul pada DM tipe 2 kini
dinyatakan salah. 1,3
Infeksi yang paling sering diketemukan adalah pneumonia dan infeksi saluran kemih
yang mencakup antara 30% sampai 50% kasus. Penyakit medis lainnya yang dapat
mencetuskan KAD adalah penyalahgunaan alkohol, trauma, emboli pulmonal dan
infark miokard. Beberapa obat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat juga
dapat

menyebabkan

KAD

atau

KHH,

diantaranya

adalah:

kortikosteroid,

pentamidine, zat simpatomimetik, penyekat alpha dan beta serta penggunaan diuretik
berlebihan pada pasien lansia. 3
Peningkatan penggunaan pompa insulin yang menggunakan injeksi insulin kerja
pendek dalam jumlah kecil dan sering telah dikaitkan dengan peningkatan insidens
KAD secara signifikan bila dibandingkan dengan metode suntikan insulin
konvensional. Studi Diabetes Control and Complications Trial menunjukkan insidens
KAD meningkat kurang lebih dua kali lipat bila dibandingkan dengan kelompok
injeksi konvensional. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh penggunaan insulin kerja
pendek yang bila terganggu tidak meninggalkan cadangan untuk kontrol gula darah.3
Pada pasien-pasien muda dengan diabetes tipe 1, permasalahan psikologis yang
disertai dengan gangguan pola makan dapat menjadi pemicu keadaan KAD pada

kurang lebih 20% kasus. Faktor- faktor yang dapat menyebabkan pasien
menghentikan penggunaan insulin seperti ketakutan peningkatan berat badan,
ketakutan hipoglikemia, pemberontakan dari otoritas dan stres akibat penyakit kronik
juga dapat menjadi pemicu kejadian KAD. 2

EPIDEMIOLOGI
Insidensi KAD berdasarkan suatu penelitian population-based adalah antara
4.6 sampai 8 kejadian per 1,000 pasien diabetes. Adapun angka kejadian SHH < 1%.
(2) Pada penelitian retrospektif oleh Wachtel dan kawan-kawan ditemukan bahwa
dari 613 pasien yang diteliti, 22% adalah pasien KAD, 45% SHH dan 33%
merupakan campuran dari kedua keadaan tersebut. Pada penelitian tersebut ternyata
sepertiga dari mereka yang presentasi kliniknya campuran KAD dan SHH, adalah
mereka yang berusia lebih dari 60 tahun.5
Tingkat kematian pasien dengan ketoasidosis (KAD) adalah < 5% pada
sentrum yang berpengalaman, sedangkan tingkat kematian pasien dengan
hiperglikemia hiperosmoler (SHH) masih tinggi yaitu 15%. Prognosis keduanya lebih
buruk pada usia ekstrim yang disertai koma dan hipotensi.4,6
Bila mortalitas akibat KAD distratifikasi berdasarkan usia maka mortalitas
pada kelompok usia 60-69 tahun adalah 8%, kelompok usia 70-79 tahun 27%, dan
33% pada kelompok usia > 79 tahun. Untuk kasus SHH mortalitas berkisar antara
10% pada mereka yang berusia < 75 tahun, 19% untuk mereka yang berusia 75-84
tahun, dan 35% pada mereka yang berusia >84 tahun.5

PATOGENESIS
Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya adalah defisiensi
insulin, relatif ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin yang meningkat.
Kadar insulin tidak adekuat untuk mempertahankan kadar glukosa serum yang
normal dan untuk mensupresi ketogenesis. Hiperglikemia sendiri selanjutnya dapat
melemahkan kapasitas sekresi insulin dan menambah berat resistensi insulin sehingga
membentuk lingkaran setan dimana hiperglikemia bertambah berat dan produksi
insulin makin kurang.5

patogenesis DKA 13
Pada KAD, disamping kurangnya insulin yang efektif dalam darah, terjadi
juga peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon, katekholamin, kortisol,
dan hormon pertumbuhan. Hormon-hormon ini menyebabkan peningkatan produksi
glukosa oleh ginjal dan hepar dan gangguan utilisasi glukosa dijaringan, yang
mengakibatkan hiperglikemia dan perubahan osmolaritas extraseluler.4

Kombinasi

kekurangan

hormon

insulin

dan

meningkatnya

hormon

kontrainsulin pada KAD juga mengakibatkan penglepasan/release asam lemak bebas


dari jaringan adipose (lipolysis) ke dalam aliran darah dan oksidasi asam lemak hepar
menjadi benda keton (- hydroxybutyrate [-OHB] dan acetoacetate) tak terkendali,
sehingga mengakibatkan ketonemia dan asidosis metabolik. KAD dan SHH berkaitan
dengan glikosuria, yang menyebabkan diuresis osmotik, sehingga air, natrium,
kalium, dan elektrolit lain di ekskresikan lebih banyak.7

patofisiology DKA 14

FAKTOR PENCETUS
Krisis hiperglikemia pada diabetes tipe 2 biasanya terjadi karena ada keadaan
yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara lain :

Infeksi : meliputi 20 55% dari kasus krisis hiperglikemia dicetuskan oleh


Infeksi. Infeksinya dapat berupa : Pneumonia, Infeksi traktus urinarius, Abses,
Sepsis, dll.

Penyakit vaskular akut: Penyakit serebrovaskuler, Infark miokard akut ,


Emboli paru, Thrombosis V.Mesenterika

Trauma, luka bakar, hematom subdural.

Heat stroke

Kelainan gastrointestinal: Pankreatitis akut, Kholesistitis akut, Obstruksi


intestinal

Obat-obatan, dimana mengganggu metabolisme karbohidrat : Diuretika ( high


dose

thiazide

),

Steroid

(glucocorticoids),

sympathomimetic

agents

( dobutamine dan tarbutaline ) danLain-lain


Pada diabetes tipe 1, krisis hiperglikemia sering terjadi karena yang
bersangkutan menghentikan suntikan insulin ataupun pengobatannya tidak adekuat.
Keadaan ini terjadi pada 20-40% kasus KAD. Pada pasien muda dengan DM tipe 1,
Permasalahan psikologis yang diperumit dengan gangguan makan berperan sebesar
20% dari seluruh faktor yang mencetuskan ketoasidosis. Faktor yang bisa mendorong
penghentian suntikan insulin pada pasien muda meliputi ketakutan akan naiknya berat
badan pada keadaan kontrol metabolisme yang baik, ketakutan akan jatuh dalam
hypoglikemia, pemberontakan terhadap otoritas, dan stres akibat penyakit kronis.5,12

MANIFESTASI KLINIS

Keadaan dekompensasi metabolik akut biasanya didahului oleh gejala


diabetes yang tidak terkontrol. Gejala-gejalanya antara lain lemah badan, pandangan
kabur, poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan muncul beberapa hari sebelum
masuk rumah sakit.6
KAD berkembang dengan cepat dalam waktu beberapa jam, sedangkan SHH
cenderung berkembang dalam beberapa hari yang mengakibatkan hiperosmolalitas.
Dehidrasi akan bertambah berat bila disertai pemakaian diurtika. Gejala tipikal
untuk dehidrasi adalah membran mukosa yang kering, turgor kulit menurun, hipotensi
dan takhikardia.Pada pasien tua mungkin sulit untuk menilai turgor kulit. Demikian
juga pasien dengan neuropati yang lama mungkin menunjukkan respons yang
berbeda terhadap keadaan dehidrasi. Status mental dapat bervariasi dari sadar penuh ,
letargi, sampai koma.6
Bau nafas seperti buah mengindikasikan adanya aseton yang dibentuk dengan
ketogenesis. Mungkin terjadi pernafasan Kussmaul sebagai mekanisme kompensasi
terhadap asidosis metabolik. Pada pasien-pasien SHH tertentu, gejala neurologi fokal
atau kejang mungkin merupakan gejala klinik yang dominant.4,6
Walaupun infeksi adalah faktor presipitasi yang sering untuk DKA dan SHH,
pasien dapat normotermik atau bahkan hipotermik terutama oleh karena vasodilatasi
perifer. Hipotermia, jika ada, adalah suatu petanda buruknya prognosis.8
Nyeri abdomen sering terjadi pada KAD. Diperlukan perhatian khusus untuk
pasien yang mengeluh nyeri abdomen, sebab gejala ini bisa merupakan akibat
ataupun faktor penyebab (terutama pada pasien muda) DKA Evaluasi lebih lanjut

harus dilakukan jika keluhan ini tidak berkurang dengan perbaikan dehidrasi dan
asidosis metabolik.5

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Evaluasi Laboratorium awal pasien dengan kecurigaan KAD atau SHH meliputi
penentuan kadar glukosa plasma, urea nitrogen/kreatinin serum, keton, elektrolit atau anion
gap (perbedaan anion-kation yang tinggi), osmolaritas, analisa urine, benda keton urin dengan
dipstik, analisa gas darah pemeriksaan sel darah lengkap dengan hitung jenis, dan
elektrokardiogram. Kultur bakteri dari air seni, darah, dan tenggorokan dan lain-lain harus
dilakukan dan antibiotik yang sesuai harus diberikan jika dicurigai ada infeksi.6
HbA1c mungkin bermanfaat untuk menentukan apakah episode akut ini adalah
akumulasi dari suatu proses evolusiner yang tidak didiagnosis atau DM yang tidak
terkontrol ,atau suatu episode akut pada pasien yang terkendali dengan baik. Foto thorax
harus dikerjakan jika ada indikasi.9
Konsentrasi natrium serum pada umumnya berkurang oleh karena perubahan osmotik
yang terjadi terus menerus dari intrasellular ke extracellular dalam keadaan hiperglikemia.
Konsentrasi kalium serum mungkin meningkat oleh karena pergeseran kalium extracellular
yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin, hypertonisitas, dan asidemia. Pasien
dengan konsentrasi kalium serum rendah atau low- normal pada saat masuk, mungkin akan
kekurangan kalium yang berat pada saat perawatan sehingga perlu diberi kalium dan perlu
monitoring jantung yang ketat, sebab terapi krisis hiperglikemia akan menurunkan kalium
lebih lanjut dan dapat menimbulkan disritmia jantung.4
Adanya stupor atau koma pada pasien DM tanpa peningkatan osmolalitas efektif ( >
320 mOsm/kg) perlu pertimbangan kemungkinan lain penyebab perubahan status mental.
Pada mayoritas pasien DKA kadar amilase meningkat, tetapi ini mungkin berkaitan dengan
sumber nonpankreatik. Serum lipase bermanfaat untuk menentukan diagnosa banding dengan
pankreatitis. Nyeri abdominal dan peningkatan kadar amilase dan enzim hati lebih sering
terjadi pada DKA dibandingkan dengan SHH.6

21

Kriteria diagnosis KAD:3


a.kadar glukosa > 250 mg/dl
b.pH < 7,35
c.HCO3- rendah
d.Anion gap yang tinggi
e.Keton serum positif

DIAGNOSIS BANDING
Tidak semua pasien dengan ketoasidosis adalah KAD. Ketosis karena kelaparan
(starvation) dan ketoasidosis alkoholik (KAA) dibedakan dengan anamnesis dan konsentrasi
glukosa plasma yang terentang dari sedikit meningkat (jarang > 250 mg/dl) sampai
hipoglikemia. Sebagai tambahan, walaupun KAA dapat mengakibatkan asidosis, konsentrasi
bikarbonat serum pada keadaan ketosis kelaparan biasanya lebih dari 18 mEq/l.4
KAD harus pula dibedakan dari penyebab lain terjadinya asidosis metabolik yang
tinggi anion gap seperti acidosis laktat, minum obat-obatan seperti salicylate, metanol,
ethylene glycol, dan paraldehyde, dan gagal ginjal kronis ( dimana lebih khas asidosis
hiperkhloremia daripada high-anion gap acidosis). Riwayat intoksikasi obat atau
menggunakan metformin harus dicari.6

PENATALAKSANAAN
Kebehasilan pengobatan KAD membutuhkan koreksi dehidrasi, hiperglikemia dan
gangguan keseimbangan elektrolit; identifikasi komorbid yang merupakan faktor presipitasi;
dan yang sangat penting adalah perlu dilakukan monitoring pasien yang ketat. Faktor

22

presipitasi diobati, serta langkah-langkah pencegahan rekurensi perlu dilaksanakan dengan


baik.5,6

TERAPI CAIRAN
Prinsip-prinsip pengelolaan KAD ialah :
1)

Penggantian cairan dan garam yang hilang

2)

Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoeogenesis sel hati dengan pemberian

insulin
3)

Mengatasi stres sebagai pncetus KAD

4)

Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya pemantauan serta

penyesuaian pengobatan.
Pasien dewasa
Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki volume intravascular dan
extravascular dan mempertahankan perfusi ginjal. Terapi cairan juga akan menurunkan kadar
glukosa darah tanpa bergantung pada insulin, dan menurunkan kadar hormon kontra insulin
(dengan demikian dapat memperbaiki sensitivitas terhadap insulin).6

23

24

Pada keadaan tanpa kelainan jantung, NaCl 0.9% diberikan sebanyak 1520 ml/kg
berat badan/jam atau lebih besar pada jam pertama (11.5 l untuk rata-rata orang dewasa).
Pilihan yang berikut untuk mengganti cairan tergantung pada status hidrasi, kadar elektrolit
darah, dan banyaknya urin. Secara umum, NaCl 0.45% diberikan sebanyak 414 ml/kg/jam
jika natrium serum meningkat atau normal; NaCl 0.9% diberikan dengan jumlah yang sama
jika Na serum rendah. Selama fungsi ginjal diyakini baik, maka perlu ditambahkan 2030
mEq/l kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai pasien stabil dan dapat diberikan secara oral.4
Keberhasilan penggantian cairan dapat dilihat dengan pemantauan hemodinamik
(perbaikan dalam tekanan darah), pengukuran input/output cairan, dan pemeriksaan fisik.
Penggantian cairan diharapkan dapat mengkoreksi defisit dalam 24 jam pertama. Perbaikan
osmolaritas serum mestinya tidak melebihi 3 mOsm. Pada pasien dengan gangguan ginjal
atau jantung, pemantauan osmolaritas serum dan penilaian jantung, ginjal, dan status mental
harus sering dilakukan selama pemberian cairan untuk menghindari overload yang iatrogenic.
7,9

Pasien berusia < 20 tahun


Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki volume intravascular dan
extravascular ,dan mempertahankan perfusi ginjal. Kebutuhan untuk mempertahankan

25

volume vaskuler harus disesuaikan untuk menghindari risiko edema cerebral karena
pemberian cairan yang terlalu cepat. Dalam 1 jam pertama cairan yang bersifat isotonik
(NaCl 0.9%) sebanyak 1020 ml/kgbb/jam. Pada pasien dengan dehidrasi berat, pemberian
ini perlu diulang, tetapi awal pemberian kembali mestinya tidak melebihi 50 ml/kg pada 4
jam pertama therapy. Terapi Cairan selanjutnya untuk menggantikan defisit cairan dilakukan
dalam 48 jam. Secara umum NaCl, 0.450.9% ( tergantung pada kadar sodium serum)
diberikan dengan kecepatan 1.5 kali dari kebutuhan pemeliharaan selama 24 jam ( 5
ml/kg/jam) akan mencukupi kebutuhan rehidrasi, dengan penurunan osmolaritas tidak
melebihi 3 mOsm kg-1 H2O h-1. Sekali lagi jika fungsi ginjal diyakini baik dan kalium
serum diketahui, maka perlu diberikan 2040 mEq/l kalium (2/3 KCl atau potassium-acetate
dan 1/3 KPO4). Jika glukosa serum mencapai 250 mg/dl, cairan harus diubah menjadi
dextrose 5% dan NaCl 0.450.75%, dengan kalium seperti diuraikan di atas.6
Pengelolaan juga meliputi pemantauan status mental agar dapat dengan cepat
mengidentifikasi perubahan apabila terjadi overload yang iatrogenik, yang dapat
mengakibatkan edema cerebral.8

TERAPI INSULIN
Pada keadaan KAD ringan (gambar 8), insulin reguler diberikan dengan infus
intravena secara kontinu adalah terapi pilihan. Pada pasien dewasa, jika tidak ada
hipokalemia ( K+ < 3.3 mEq/l, maka pemberian insulin intravena secara bolus dengan dosis
0.15 unit/kg bb, diikuti pemberian insulin reguler secara infus intravena yang kontinu dengan
dosis 0.1 unit kgBB/jam (57 unit/jam pada orang dewasa). Pemberian insulin secara bolus
tidak dianjurkan pada pasien pediatrik; pemberian insulin reguler dengan infus intravena
secara kontinu dengan dosis 0.1 unit kgBB/hr dapat diberikan pada pasien- pasien tersebut.

26

Dosis insulin rendah ini pada umumnya dapat menurunkan konsentrasi glukosa plasma
sebanyak 5075 mg/dl sebanding dengan pemberian insulin dosis tinggi.4,7
Jika plasma glukosa tidak turun sebanyak 50 mg/dl dari awal pada jam pertama,
periksa dulu status hidrasi; jika baik, infus insulin dapat digandakan tiap jam sampai tercapai
penurunan glukosa yang stabil antara 50 dan 75 mg/jam dicapai.7
Ketika glukosa plasma mencapai 250 mg/dl untuk KAD atau 300 mg/dl untuk SHH,
mungkin dosis insulin perlu diturunkan menjadi 0.050.1 unit kgBB/jam ( 36 units/jam),
dan dextrose ( 510%) ditambahkan pada cairan intravena. Sesudah itu, dosis insulin atau
konsentrasi dextrose perlu disesuaikan untuk memelihara rata-rata kadar glukosa sampai
asidosis pada KAD atau status mental dan hyperosmolaritas pada SHH membaik.7

Gambar 8 Tabel panduan penggunaan insulin pada KAD15

Ketonemia biasanya lebih lama hilang dibandingkan dengan hiperglikemia.


Pengukuran -OHB dalam darah secara langsung adalah metoda yang lebih disukai untuk
pemantauan KAD. Metoda Nitroprusside hanya mengukur aseton dan asam acetoacetic.
Bagaimanapun, -OHB, asam yang paling banyak dan paling kuat pada KAD, tidaklah
27

terukur dengan metoda nitroprusside. Selama therapy, -OHB dikonversi ke asam


asetoacetik, yang membuat para klinisi percaya bahwa ketosis memperburuk keadaan. Oleh
karena itu, penilaian benda keton dari urin atau serum dengan metoda nitroprusside tidak
digunakan sebagai suatu indikator terapi. Selama terapi untuk KAD atau SHH, darah harus
diperiksa tiap 24 jam untuk memeriksa elektrolit serum, glukosa, urea-N, creatinine,
osmolaritas, dan pH vena (untuk DKA). Biasanya, analisa gas darah tidak perlu dilakukan
berulang-ulang ; pH vena (pada umumnya 0.03 unit lebih rendah dari pH arteri) dan gap
anion dapat diikuti, untuk memonitor resolusi asidosis.9
Pada KAD yang ringan, insulin reguler baik secara subkutan maupun intramuskular
tiap jam adalah sama efektif seperti pemberian intravena dalam menurunkan glukosa darah
dan benda keton . Pertama-tama diberikan dosis dasar sebanyak 0.40.6 units/kg bb, separuh
sebagai suntikan bolus intravena, dan setengah secara subkutan atau intramuskular . Sesudah
itu, 0.1 unit kgBB/jam insulin reguler diberi secara subkutan atau intramuscular.6,7
Kriteria untuk resolusi KAD meliputi kadar glukosa < 200 mg/dl, bikarbonat serum >
18 mEq/l, dan pH vena > 7.3. Bila KAD membaik, dan pasien masih NPO (Nothing Per
Oral), insulin intravena yang kontinyu dan penggantian cairan dilanjutkan dan ditambah
dengan suplemen insulin subcutan sesuai kebutuhan tiap 4 jam.4
Ketika pasien sudah bisa makan, jadwal multiple-dose harus dimulai menggunakan
kombinasi insulin kerja pendek/singkat dengan insulin kerja menengah atau lama untuk
mengendalikan glukosa plasma. Pemberian insulin intravena tetap diberikan untuk 12 jam
setelah regimen campuran insulin dimulai untuk memastikan hormon insulin plasma cukup.
Suatu penghentian mendadak insulin intravena dengan penundaan insulin subcutan akan
memperburuk keadaan; oleh karena itu, perlu diberikan insulin intravena dan inisiasi
subkutan secara bersamaan.4

28

Pasien yang telah diketahui menderita diabetes dapat diberikan insulin dengan dosis
seperti sebelum mereka terkena serangan KAD atau SHH dan jika dibutuhkan dilakukan
penyesuaian. Pada pasien diabetes yang baru, total insulin awal mungkin berkisar antara 0.5
1.0 unit kgBB/jam dibagi menjadi sedikitnya dua dosis dalam bentuk campuran insulin kerja
pendek dan panjang sampai mencapai suatu dosis optimal yang diinginkan.Akan tetapi perlu
diingat bahwa dosis insulin ini sangat individual. Pada akhirnya, ada penderita-penderita DM
tipe 2 yang bisa diberi obat anti hiperglikemia oral dan pengaturan diet.9
KALIUM
Untuk mencegah hipokalemia, penambahan kalium diindikasikan pada saat kadar
dalam darah dibawah 5.5 mEq/l, dengan catatan output urin cukup. Biasanya, 2030 mEq
kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada setiap liter cairan infus cukup untuk mempertahankan
konsentrasi kalium serum antara 45 mEq/l. Penderita dengan KAD jarang menunjukkan
keadaan hipokalemia yang berat. Pada kasus-kasus demikian, kalium penggantian harus
dimulai bersamaan dengan cairan infus, dan terapi insulin harus ditunda sampai konsentrasi
kalium > 3.3 mEq/l untuk menghindari aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot
pernapasan.6
Di samping kekurangan kalium dalam tubuh, hiperkalemia ringan sampai sedang
sering terjadi pada penderita dengan krisis hiperglikemia. Terapi insulin, koreksi asidosis, dan
penambahan volume cairan akan menurunkan konsentrasi kalium serum.5,6
BIKARBONAT
Penggunaan larutan bikarbonat pada KAD masih merupakan kontroversi. Pada pH >
7.0, aktifitas insulin memblok lipolysis dan ketoacidosis dapat

hilang tanpa penambahan

bikarbonat. Beberapa penelitian prospektif gagal membuktikan adanya keuntungan atau


perbaikan pada angka morbiditas dan mortalitas dengan pemberian bikarbonat pada penderita
KAD dengan pH antara 6.9 dan 7.1.5

29

Tidak ada laporan randomized study mengenai penggunaan bikarbonat pada KAD
dengan pH < 6.9. Asidosis yang berat menyebabkan efek vaskuler yang kurang baik, jadi
sangat bijaksana pada pasien orang dewasa dengan pH < 6.9, diberikan sodium bikarbonat.
Tidak perlu tambahan bikarbonat jika pH > 7.0.
Pemberian insulin, seperti halnya bikarbonat, menurunkan kalium serum; oleh karena
itu supplemen Kalium harus diberikan dalam cairan infus seperti diuraikan di atas dan harus
dimonitor dengan ketat. Sesudah itu, pH aliran darah vena harus diukur tiap 2 jam sampai pH
mencapai 7.0, dan terapi bikarbonat harus diulangi tiap 2 jam jika perlu.4,5,6
FOSFAT
Pada KAD serum fosfat biasanya normal atau meningkat. Konsentrasi fosfat
berkurang dengan pemberian terapi insulin. Beberapa penelitian prospektif gagal
membuktikan adanya keuntungan dengan penggantian fosfat pada KAD.4,5
Pemberian fosfat yang berlebihan dapat menyebabkan hypocalcemia yang berat tanpa
adanya gejala tetani. Bagaimanapun, untuk menghindari kelainan jantung dan kelemahan otot
dan depresi pernapasan oleh karena hipofosfatemia, penggantian fosfat kadang- kadang
diindikasikan pada pasien dengan kelainan jantung, anemia, atau depresi pernapasan dan
pada mereka dengan konsentrasi fosfat serum < 1.0 mg/dl. Blia diperlukan, 2030 mEq/l
kalium fosfat dapat ditambahkan ke larutan pengganti. Tidak ada studi mengenai penggunaan
fosfat dalam SSH.4,5

30

Penangan KAD 13
KOMPLIKASI
Komplikasi pada krisis hiperglikemik dapat terjadi akibat KAD/SHH dan komplikasi
akibat pengobatan:
Penyulit KAD dan SHH yang paling sering adalah hipoglikemia dalam kaitan dengan
pemberian insulin yang berlebihan, hipokalemia dalam kaitan dengan pemberian insulin dan
terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia sekunder akibat penghentian insulin
intravena setelah perbaikan tanpa pemenuhan yang cukup dengan insulin subkutan. Biasanya,
pasien yang sembuh dari KAD menjadi hyperkhloremi disebabkan oleh penggunaan larutan
saline berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan asidosis metabolik non-anion
gap yang sementara dimana khlorida dari cairan intravena menggantikan anion yang hilang
dalam bentuk sodium dan garam-kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokimia ini
adalah sementara dan secara klinik tidak penting kecuali jika terjadi gagal ginjal akut atau
oliguria yang ekstrim.9

31

Edema cerebral adalah suatu kejadian yang jarang tetapi merupakan komplikasi KAD
yang fatal, dan terjadi 0.71.0% pada anak-anak dengan DKA. Umumnya terjadi pada anakanak dengan DM yang baru didiagnosis, tetapi juga dilaporkan pada anak-anak yang telah
diketahui DM dan pada orang-orang umur duapuluhan.5,8
Kasus yang fatal dari edema cerebral ini telah pula dilaporkan pada SHH. Secara
klinis, edema cerebral ditandai oleh perubahan tingkat kesadaran, dengan letargi, dan sakit
kepala. Gangguan neurologi mungkin terjadi secara cepat, dengan kejang, inkontinensia,
perubahan pupil, bradycardia, dan gagal nafas. Gejala ini makin menghebat jika terjadi
herniasi batang otak. Perburukan ini terjadi sangat cepat walaupun papilledema tidak
ditemukan Bila terjadi gejala klinis selain dari kelesuan dan perubahan tingkah laku , angka
kematian tinggi (> 70%), dengan hanya 714% pasien yang sembuh tanpa kelainan yang
permanen. Walaupun mekanisme dari edema cerebral tidak diketahui diduga diakibatkan oleh
perubahan osmolaritas dari air pada sistem saraf pusat dimana terjadi penurunan osmolaritas
dengan cepat pada terapi KAD atau SHH.9
Kurangnya informasi yang berhubungan dengan angka morbiditas edema cerebral
pada pasien orang dewasa; oleh karena itu, rekomendasi penilaian untuk pasien orang dewasa
lebih secara klinis, daripada bukti ilmiah. Pencegahan yang mungkin dapat mengurangi
resiko edema cerebral pada pasien dengan resiko tinggi adalah dengan penggantian defisit air
dan natrium berangsur- angsur dengan perlahan pada pasien yang hyperosmolar (maksimal
pengurangan osmolaritas 3 mOsm. dan penambahan dextrose dalam larutan hidrasi saat
glukosa darah mencapai 250 mg/dl. Pada SHH, kadar glukosa darah harus dipertahankan
antara 250-300 mg/dl sampai keadaan hiperosmoler dan status mental perbaikan, dan pasien
menjadi stabil.8
Hypoxemia dan edema paru-paru yang nonkardiogenik dapat terjadi saat terapi KAD.
Hypoxemia disebabkan oleh suatu pengurangan dalam tekanan osmotik koloid yang

32

mengakibatkan penambahan cairan dalam paru-paru dan penurunan compliance paru-paru.


Pasien dengan KAD yang mempunyai suatu gradien oksigen alveolo- arteriolar yng lebar
pada saat pengukuran analisa gas darah awal atau ditemukannya ronkhi saat pemeriksaan
fisik berisiko lebih tinggi untuk terjadinya edema paru.8
Peningkatan kadar amilase dan lipase yang non spesifik dapat terjadi pada KAD
maupun SHH. Pada penelitian Yadav dan kawan-kawan, peningkatan amilase dan lipase
terjadi pada 16 25% kasus KAD. Kadar amilase dan lipase dapat meingkat sampai lebih
dari 3 kali nilai normal tanpa bukti klinik dan CT-scan pankreatitis. Walaupun demikian,
pankreatitis akut dapat juga terjadi pada 10 15% kasus KAD.9
Dilatasi gaster akut akibat gastroparesis yang diinduksi oleh keadaan hipertonisitas
merupakan komplikasi yang jarang terjadi tetapi dapat fatal. Pada keadaan ini risiko untuk
terjadinya perdarahan gastrointestinal lebih besar. Mungkin diperlukan dekompresi dengan
naso-gastric tube dan pemberian agen-agen penurun asam lambung

sebagai tindakan

profilaksis.5

PENCEGAHAN
Banyak kasus KAD dapat dicegah dengan perawatan medik yang baik, edukasi yang
sesuai, dan komunikasi efektif dari tenaga kesehatan selama belum timbulnya penyakit. Sickday management harus mendapat perhatian. Hal ini meliputi informasi spesifik pada
1

kapan menghubungi sarana pelayanan kesehatan

target glukosa darah dan penggunaan short-acting insulin selama penyakit

mengobati demam dan infeksi

inisiasi dari suatu diet cairan yang mudah dicerna yang mengandung karbohidrat dan
garam. Yang paling penting, pasien harus dinasehatkan untuk tidak pernah
menghentikan insulin dan untuk mencari dokter saat mulai sakit .

33

Sick-Day Management yang berhasil tergantung pada keterlibatan pasien dan anggota
keluarganya. Pasien atau anggota keluarganya harus mampu dengan teliti mengukur dan
mencatat kadar glukosa darah, benda keton pada urin atau darah ketika glukosa darah > 300
mg/dl, dosis insulin, suhu badan, frekuensi pernafasan dan denyut nadi permenit, dan berat
badan. Pengawasan yang cukup dan sangat membantu dari staff atau keluarga dapat
mencegah terjadinya SHH dalam kaitan dengan keadaan dehidrasi pada individu tua yang
tidak mampu untuk mengenali atau menghindari kondisi ini. Edukasi yang baik harus
diberikan sehingga pasien mengenai tanda dan gejala new- onset diabetes; kondisi-kondisi,
prosedur, dan obat-obatan yang memperburuk kendali kencing manis; dan monitoring
glukosa dapat mengurangi kejadian dan beratnya SHH.6,5

DAFTAR PUSTAKA
1

Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya, Diagnosis, dan Strategi


Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam
FKUI; 2006; hal. 1920

Murray, Robert K. Harpers biochemistry, Ed. 25, Appleton and Lange, 2000:603-609.

Allan Graw, et.al, Clinical Biochemistry, Churchill Livingstone, Toronto, 1999; 56-63.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid III. Ed. IV, cet. ke-2- dkk. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2007.

Kitabchi AE, Fisher JN, Murphy MB , Rumbak MJ : Diabetic ketoacidosis and the
hyperglycemic hyperosmolar nonketotic state. In Joslins Diabetes Mellitus. 13th ed.
Kahn CR, Weir GC, Eds. Philadelphia, Lea & Febiger, 1994, p. 738770

34

Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ . Acute hyperglycemic crisis in elderly. Med


Cli N Am 88: 1063-1084, 2004.

Hyperglycemic crises in patients with diabetes mellitus.American Diabetes


Association. Diabetes Care vol27 supplement1 2004, S94-S102.

Ennis ED, Stahl EJ, Kreisberg RA : Diabetic ketoacidosis. In Diabetes Mellitus


:Theory and practice. 5th ed.Porte D Jr, Sherwin RS, Ed. Amsterdam, Elsevier,1997,
827-844.

Rosenbloom AL : Intracerebral crises during treatment of diabetic ketoacidosis.


Diabetes Care 13: 22-23, 1990 .

10 Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar ilmu penyakit
dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit
FKUI, 2006; 1857.
11 Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia
2011. Jakarta : PERKENI, 2011.
12 Diabetic ketoacidosis and hyperosmolar hyperglycemic state in adults: Clinical features,
evaluation,

and

diagnosis.Abbas

Kitabchi,

PhD,

MD,

FACP,.http://www.uptodate.com/contents/diabetic-ketoacidosis-and-hyperosmolarhyperglycemic-state-in-adults-clinical-features-evaluation-and-diagnosis. Jan 2015. | this


topic last update: Jul 02, 2014.
13 Dyanne western, Diabetic Ketoacidosis;Evaluation and Treatment. Cooper Medical School of
Rowan

University,

Camden,

New

JerseyAmFamPhysician. 2013 Mar 1;87(5):337-

346.http://www.aafp.org/afp/2013/0301/p337.html. sited, 20 februari 2015.


14 Dr Adrian Scott, Sheffield Teaching Hospitals NHS Foundation Trust Anne Claydon, Barts
Health NHS Trust . The management of the hyperosmolar hyperglycaemic state (HHS) in
adults with diabetes, Joint British Diabetes Societies Inpatient Care Group. August 2012
http://www.diabetologists-abcd.org.uk/JBDS/JBDS_IP_HHS_Adults.pdf, sited; 20 februari
2015.
15 Van den Berghe G, Wouters P, Weekers F, et al. Intensive insulin therapy in critically ill
patients. N Engl J Med 345: 1359-1367, 2001.
16 1. Hyperglycaemic crises and lactic acidosis in diabetes mellitus. English, P and Williams, G.
Liverpool : s.n., October 2003, Postgrad Med, Vol. 80, pp. 253-261.
17 2. Hyperglycemic Crises in Diabetes. Kitabchi, AE, et al. Suplement 1, January 1, 2004,
Diabetes Care, Vol. 27, pp. S94-S102.
18 3. Management of hyperglycemic crises in patients with diabetes. Kitabchi, AE, et al. 1,
January 1, 2001, Vol. 24, pp. 131-153.

35

19 4. Centers for Disease Control, Division of Diabetes Translations. Diabetes Surveillance


2001. Centers for Disease Control Website. [Online] January 18,2005. [Cited: May 22, 2009.]
http://www.cdc.gov/diabetes/statistics/.
20 5. Diabetic ketoacidosis in type 1 and type 2 diabetes mellitus: Clinical and biochemical
differences. Newton, Christopher A and Raskin, Phillip. September 27, 2004, Archive of
Internal Medicine, Vol. 164, pp. 1925-1931.

36

Anda mungkin juga menyukai