Anda di halaman 1dari 6

Bab III

Sistem Peradilan Pidana

3.1 Kekuasaan Kehakiman di Indonesia


Berdasarkan perubahan UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang dimana telah
membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan Kekuasaan
Kehakiman . Di dalam UUD Negara Republik Indonesia secara jelas menegaskan bahwa
Indonesia adalah Negara Hukum yang memiliki prinsip prinsip seperti adanya hubungan erat
dengan prinsip negara hukum yang juga dimuat penjelasan tentang menyatakan Negara
Indonesia yang berdasar atau hukum (rechsstaat). Penjelasannya tersebut berupa Pemerintahan
berdasar atas dasar system konstitusi (hukum dasar) dan tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan
yang tidak terbatas). Dengan ketentuan baru ini prinsip- prinsip yang terkandung di dalam
Kekuasan Kehakiman di Indonesia mengandung makna bahwa adanya suatu pembagian
kekuasaan Negara dan pembatasan kekuasaan (tidak absolut dengan kekuasaan tidak terbatas)
yang dimana kekuasaan tersebut mempunyai sifat normatif yang bukan sekedar asas belaka.
Oleh karena itu dengan ketentuan tersebut , maka salah satu prinsip penting dalam Negara
hukum adalah Jaminan penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka , bebas dari
pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.
Di dalam rechtsstaat hakim merupakan corong undang undang , sedangkan dalam
dalam the rule of law lebih menekankan pada pentingnya hukum tak tertulis yaitu common law
demi tegaknya keadilan substansial , kebenaran dan keadilan hukum lebih berpijak tegaknya
keadilan substansial dari pada kebenaran formal procedural semata yang artinya Yang benar dn
adil itu belum tentu tercermin di dalam hukum tertulis , melainkan bisa yang tumbuh di dalam
sanubari dan hidup di dalam masyarakat dan karenanya hukum tertulis ( Undang Undang )
dapat dikesampingkan oleh hakim jika Undang Undangg itu tidak adil. Karena titik berat the
rule of law adalah keadilan maka dalam membuat suatu keputusan hakim tidak harus tunduk
pada bunyi hukum tertulis yang melainkan dapat membuat suatu keputusan sendiri dengan
menggali rasa dan nilai nilai keadilan di masyarakat.
1

Penegasan bahwa Indonesia itu merupakan Negara hukum , serta Kekuasaan Kehakiman
yang merupakan kekuasaan yang merdeka , mengandung spirit untuk tidak menjadikan hukum
sebagai alat kekuasaan , yang menegakkan prinsip persamaan di depan hukum dan beserta
melindungi sebagai campur tangan yang bersifat internal maupun eksternal te32rhadap
kekuasaan kehakiman dalam rangka mencegah dan menghindari kegagalan pencapaian
keadilan. .
Menurut Deny Indrayana ada empat syarat untuk menguatkan konsep Negara hukum yaitu :
1. Negara yang kehidupannya sejalan dengan konstitusi dan undang undang yang proses
pembuatannya dilakukan oleh parlemen ,anggota parlemen itu sendiri dipilih langsung
oleh rakyat.
2. Negara yang mengatur mekanisme pertanggungjawaban atas setiap kebijakan dan
tindakan yang dilakukan oleh elit Negara.
3. Negara menjamin Kekuasaan Kehakiman
4. Negara yang melindungi hak hak asasi manusia
Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa hasil amandemen UUD RI 1945
lebih memberikan dasar konstitusional bagi lahir dan tumbuhnya Negara hukum . Dalam usaha
memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdekan yang sesuai dengan tuntutan
reformasi di bidang hukum yang telah dilakukan perubahan terhadap UU No .14 Tahun 1970
tentang kekuasaan kehakiman dengan UU No 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas UU No 14
Tahun 1970 tentang ketentuan ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dan dimana sekang
dirubah kembali menjadi UU No 4 Tahun 2004 Tentang kekuaasaan kehakiman , sebagaimana di
revisi kembali dengan UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman . Melalui perubahan
tersebut telah diletakkan suatu kebijakan yang mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis
yudisial maupun urusan organisai , administrasi dan beserta finansial yang berada di bawah satu
atap di bawah kekuasaan MA .
Menurut para ahli Jimly Asshiddiqie menyatakan cabang Kekuasaan Kehakiman
dikembangkan sebgaia kesatuan system yang berpuncak pada MA dan MK sesuai dengan prinsip
pemisahan kekuasaan , fungsi fungsi legislative , eksekutif dan yudikatif dikembangkan
sebagai cabang cabang kekuasaan yang terpisah satu sama lain , jika kekuasaan legislative
berpuncak pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri atas dua kamar ,yaitu
2

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), cabang kekuasaan
yudikatif berpuncak pada kekuasaan kehakiman yang juga mempunyai dua pintu MA dan MK.
Menurut Wirjono Prodjodikoro menyatakan arti penting kekuasaan kehakiman adalah untuk
memutus sengketa hukum yang timbul antara anggota masyarakat satu sama lain dan antara
anggota masyarakat dengan pihak pemerintah .
Undang Undang Dasar yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 , yang menunjukan
ketentuan kearah badan kehakiman yang tertinggi adalah Pasal 24 dn 25 . Pasal 24 menyatakan :
Ayat 1 menyatakan : Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan lain
lain badan kehakiman menurut undang undang.
Ayat 2 menyatakan : Susunan dan Kekuasaan badan badan kehakiman itu diatur dengan
undang undang
Pasal 25 Menyatakan : Syarat syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim
ditetapkan dengan undang undang.
Berdasarkan Kedua Pasal diatas yang mengacu pada lembaga yang bertanggung jawab
menjalankan kekuasaan kehakiman ,yakni MA dan prasyarat orang orang yang ditetapkan
sebagai pelaku kekuasaan kehakiman.
Dalam perkembangannya , Negara Republik Indonesia menetapkan untuk kembali
kepada UUD N RI 1945 ,yang hal itu disesuaikan dengan Dekrit Presiden Republik Indonesia
tanggal 1959 tentang kembali UUD N RI 1945 yang berlakunya pada segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan tidak berlakunya lagi UUDS. Mengenai Pengadilan
Hubungan Industrial pana 14 Januari 2004 disahkan dan diundangkan UU No 2 Tahun
2004tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam Pasal 55 dari UU tersebut
memuat keberadaan Pengadilan Negeri dan secara bertahap pada MA bertugas berwenang
memeriksa mengadili dan memberikan putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.

Keberadaan PHI sebagai pengadilan khusus yang dibentuk berdasarkan UU No 2 Tahun


2004 jo UU No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sesuai dengan
3

hasil perubahan keempat Pasal 24 ayat 3 UUD N RI 1945 yang menyatakan Badan badan lain
yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman diatur dalam UU , Pasal 13 UU No14
Tahun 1970 yang menentukan Badan badan yang sudah ada hanya dapat diadakan dengan UU.
Setelah lahirnya UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mencabut dan
menggantikan UU No 1970 , dengan ketentuan itu diatu dalam Pasal 15 ayat (1) UU tersebut
,yang menyatakan pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
Peradilan ,sebagaiman dimaksud dalama Pasal 10 , yang diatur dengan UU.
Kompetensi absolut Pengadilan Hubungan Industrial diatur dalam Pasal 56 UU No. 2 Tahun
2004 menyatakan Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dam
memutus :
1.
2.
3.
4.

Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak


Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan.
Di tingkat pertama mengenai perselisihan hubungan kerja
Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antara serikat pekerja atau serikat
buruh dalam suatu perusahaan.
Di dalam Pasal 57 UU No 2 Tahun 2004 menyatakan Hukum acara yang berlaku pada

Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum , kecuali yang diatu dalam secara khusus dalam UU ini.
Mengenai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi , yang dimaksud tindak pidana koriupsi adalah
Suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UU No 31 Tahun 1999 tentang
Pemberabtasab Tindak Pidana Korupsi , sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Dasar pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ditentukan dalam Pasal 53 UU
No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi . Akan tetapi
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi , UU ini dinyatakan bertentangan dengan UU D N RI
1945, sehingga pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi perlu diatur kembali.
Berdasarkan pertimbangan itu terbentuknya UU No 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi. Dalam Pasal 2 UU No 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi bahwa Tindak Pidana Korupsi merupakan suatu Pengadilan Khusus yang berada di
4

lingkungan Peradilan Umum , sedangkan Pasal 3 dalam UU ini dinyatakan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibu kota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi
daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkuta.
Kewenangan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu satunya pengadilan yang
berwenang memeriksa , mengadili, dan memtus tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 5
UU No 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi . Pada Pasal 10 ayat (1) UU
No . 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi , dinyatakan : Dalam
memeriksa ,mengadili,dan memutus perkara tindak pidana korupsi , Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi , Pengadilan Tinggi , Mahkamah Agung terdiri atas Hakim Karier dan Hakim ad hoc,
sedangkan dalam (2) Hakim Karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan bedasarkan
keputusan Mahkamah Agung , selanjutnya dalam ayat (4) dinyatakan : Hakim ad hoc pada
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi , Pengadilan Tinggi , dan pada Mahkamah Agung
sebagaimana dimaksud padat aya (1) diangkat diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua
Mahkamah Agung.
Filosofi Tujuan Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bias dilihat dalam
konsideran huruf a bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang bertujuan
mewujudkan kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara yang tertib , sejahtera , dan berkeadilan
dalam rangka mencapai tujuan Negara sebagaiman diamanatkan dalam Pembukaan Undang
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan huruf b Tindakan Korupsi
telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat , bangsa dan Negara
sehingga upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan secara
terus menerus dan berkesinambungan yang menuntut peningkatan kepastian sumber daya baik
kelembagaan , sumber daya manusia maupun sumber daya lain serta mengembangkan
kesadaran , sikap dan perilaku masyarakat antikorupsi agar terlembaga dalam system hukum
nasional.

Anda mungkin juga menyukai