Anda di halaman 1dari 17

1.

Anatomi
normal!

dan

histologi

anorektal

Usus besar atau colon berbentuk tabung muskular berongga dengan


panjang sekitar 1,5 m (5 kaki) yang terbentang dari caecum hingga canalis ani.
Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil, yaitu sekitar
6,5 cm (2,5 inci), tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil.
Usus besar terdiri dari 6 bagian, yaitu caecum, colon ascenden, colon
transversum, colon descenden, colon sigmoid dan rectum (Lihat Gambar. 1).
Berbeda dengan mukosa usus halus, pada mukosa colon tidak dijumpai vili dan
kelenjar biasanya lurus-lurus dan teratur. Permukaan mukosa terdiri dari pelapis
epitel tipe absorptif diselang-seling dengan sel goblet. Pada lamina propria dan
basis kripta secara sporadik terdapat nodul jaringan limfoid.

Struktur usus besar:


2.2.1. Caecum
Merupakan kantong yang terletak di bawah muara ileum pada usus besar.
Panjang dan lebarnya kurang lebih 6 cm dan 7,5 cm. Caecum terletak pada
fossa iliaca kanan di atas setengah bagian lateralis ligamentum inguinale.
Biasanya caecum seluruhnya dibungkus oleh peritoneum sehingga dapat
bergerak bebas, tetapi tidak mempunyai mesenterium; terdapat perlekatan ke
fossa iliaca di sebelah medial dan lateral melalui lipatan peritoneum yaitu plica
caecalis, menghasilkan suatu kantong peritoneum kecil, recessus retrocaecalis.
2.2.2. Colon ascenden
Bagian ini memanjang dari caecum ke fossa iliaca kanan sampai ke sebelah
kanan abdomen. Panjangnya 13 cm, terletak di bawah abdomen sebelah kanan,

dan di bawah hati membelok ke kiri. Lengkungan ini disebut fleksura hepatica
(fleksura coli dextra) dan dilanjutkan dengan colon transversum.
2.2.3. Colon Transversum
Merupakan bagian usus besar yang paling besar dan paling dapat bergerak
bebas karena tergantung pada mesocolon, yang ikut membentuk omentum
majus. Panjangnya antara 45-50 cm, berjalan menyilang abdomen dari fleksura
coli dekstra sinistra yang letaknya lebih tinggi dan lebih ke lateralis. Letaknya
tidak tepat melintang (transversal) tetapi sedikit melengkung ke bawah
sehingga terletak di regio umbilicalis.
2.2.4. Colon descenden
Panjangnya lebih kurang 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri, dari
atas ke bawah, dari depan fleksura lienalis sampai di depan ileum kiri,
bersambung dengan sigmoid, dan dibelakang peritoneum.
2.2.5. Colon sigmoid
Disebut juga colon pelvinum. Panjangnya kurang lebih 40 cm dan berbentuk
lengkungan huruf S. Terbentang mulai dari apertura pelvis superior (pelvic brim)
sampai peralihan menjadi rectum di depan vertebra S-3. Tempat peralihan ini
ditandai dengan berakhirnya ketiga teniae coli, dan terletak + 15 cm di atas
anus. Colon sigmoideum tergantung oleh mesocolon sigmoideum pada dinding
belakang pelvis sehingga dapat sedikit bergerak bebas (mobile).
2.2.6. Rectum
Bagian ini merupakan lanjutan dari usus besar, yaitu colon sigmoid dengan
panjang sekitar 15 cm. Rectum memiliki tiga kurva lateral serta kurva
dorsoventral. Mukosa dubur lebih halus dibandingkan dengan usus besar.
Rectum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior kiri.
2/3 bagian distal rectum terletak di rongga pelvic dan terfiksir, sedangkan 1/3
bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian
ini dipisahkan oleh peritoneum reflectum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari
usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal,
dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang
mengatur pasase isi rectum kedunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3
sling : atas, medial dan depan.
2.3. Fungsi Colon dan Rectum
Usus besar atau colon mengabsorbsi 80% sampai 90% air dan elektrolit dari
kimus yang tersisa dan mengubah kimus dari cairan menjadi massa semi padat.
Usus besar hanya memproduksi mucus. Sekresinya tidak mengandung enzim
atau hormon pencernaan. Sejumlah bakteri dalam colon mampu mencerna
sejumlah kecil selulosa dan memproduksi sedikit kalori nutrien bagi tubuh dalam
setiap hari. Bakteri juga memproduksi vitamin K, riboflavin, dan tiamin, dan
berbagai gas. Usus besar mengekskresi zat sisa dalam bentuk feses.
Fungsi utama dari rectum dan canalis anal ialah untuk mengeluarkan massa
feses yang terbentuk dan melakukan hal tersebut dengan cara yang terkontrol.
Fungsi rectum berhubungan dengan defekasi sebagai hasil refleks. Apabila feses
masuk ke dalam rectum, terjadi peregangan rectum sehingga menimbulkan
gelombang peristaltik pada colon descendens dan colon sigmoid mendorong
feses ke arah anus, sfingter ani internus dihambat dan sfingter ani internus
melemas sehingga terjadi defekasi. Feses tidak keluar secara terus menerus dan
sedikit demi sedikit dari anus berkat adanya kontraksi tonik otot sfingter ani
internus dan externus.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20869/4/Chapter%20II.pdf

2. Mengapa keluhan sudah 5 thun yg lalu,


tapi keluhan ini sering hilang sendiri dan
timbul lagi?
Kanker usus besar dan kanker rektum memiliki banyak kesamaan. Kanker usus
berkembang secara perlahan selama bertahun-tahun. Sebagian besar kanker
bermula sebagai polip usus. Polip adenoma ini dapat berkembang menjadi
kanker. Mengangkat polip sedini mungkin dapat melindungi Anda dari
kemungkinan terkena kanker.
Colorectal cancer http://cancerhelps.com
Pustaka:
http://www.oncologychannel.com/coloncancer/diagnosis.shtml
http://www.cancer.org/downloads/STT/500809web.pdf
http://cancer.about.com/od/coloncancer/p/colonsymptoms.htm
http://www.cancer.org/Cancer/ColonandRectumCancer/OverviewGuide/colorectal
-cancer-overview-treating-surgery
http://www.mayoclinic.org/colon-cancer/diagnosis.html
http://www.netwellness.org/healthtopics/coloncancer/targeted.cfm

3.

Mengapa di temukan tanda2 anemia?

Anemia merupakan salah satu gejala KKR. Anemia pada pasien keganasan
secara umum memang sering terjadi terkait dengan penyebab dan mekanisme
yang kompleks dan multifaktor.
Pada keganasan kolorektal sebagaimana keganasan saluran cerna yang
lain, anemia yang terjadi dikaitkan dengan perdarahan akut ataupun kronik
selain juga merupakan akibat reaksi sel kanker dengan sistem imun dan sistem
inflamasi. Insidensi anemia pada pasien KKR yang pernah diteliti berbeda-beda
mengingat kriteria anemia yang digunakan juga berbeda.
S. Sadahiro dkk melaporkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan kadar
Hb diantara pasien laki-laki dan perempuan (p=0.319), sebagaimana juga
ditemukan dalam penelitian ini (p=0.328). Dalam penelitian tersebut digunakan
kadar Hb<10 g/dl sebagai kriteria anemia baik untuk laki-laki maupun
perempuan yang pada penelitian ini merupakan cut-off point anemia ringan dan
anemia sedang-berat.
http://eprints.undip.ac.id/23410/1/Luluk.pdf
pustaka:
Kelompok kerja adenoma kolorektal Indonesia. Pengelolaan karsinoma
kolorektal: suatu panduan klinis nasional [homepage on the internet]. 2004
[updated 2004 November; cited 2010 January 23]. Available from:
www.hompedin.org.
Mayer RJ. Gastrointestinal Tract Cancer. In: Fauci AS, Kasper DL, editors.
Harrisons Principles of Internal Medicine 17th ed Vol I. New York: McGrawHill Medical, 2008; p.573-578.
American cancer society. What are the key statistics for colorectal cancer?
[homepage on the internet]. 2009 [updated 2009 May 18; cited 2010
January 9]. Available from: www.cancer.org.
Kar AS. Pengaruh anemia pada kanker terhadap kualitas hidup dan hasil
pengobatan [homepage on the internet]. 2006 [no date ; cited 2010
January 22]; Available from: digilib.usu.ac.id.
Saba H. I. Anemia in cancer patient. Moffitt cancer center [cited 2010 July
30]; Available from: www.moffitt.org.
Nahon S, et al. Predictive factors of GI lesions in 241 women with iron
deficiency anemia [homepage on the internet]. 2002 [updated 2001
September 27; cited 2010 March 8]. Available from: Wiley online library.

S. Sadahiro, et al. Anemia in patients with colorectal cancer. Journal of


gastroenterology [serial online]. 1998 [update 2004; cited 2010 January
May 31]; 33:488-494. Available from: Springer-Verlag.

4.

Mengapa BAB berdarah?

Roughly, cancer symptoms can be divided into three groups:

''Local symptoms'': unusual lumps or swelling (''tumor''), hemorrhage


(bleeding), pain and/or ulceration. Compression of surrounding tissues
may cause symptoms such as jaundice (yellowing the eyes and skin).
''Symptoms of metastasis (spreading)'': enlarged lymph nodes, cough
and hemoptysis, hepatomegaly (enlarged liver), bone pain, fracture of
affected bones and neurological symptoms. Although advanced cancer
may cause pain, it is often not the first symptom.
''Systemic symptoms'': weight loss, poor appetite, fatigue and cachexia
(wasting), excessive sweating (night sweats), anemia and specific
paraneoplastic phenomena, i.e. specific conditions that are due to an
active cancer, such as thrombosis or hormonal changes.

Every symptom in the above list can be caused by a variety of conditions (a list
of which is referred to as the differential diagnosis). Cancer may be a common
or uncommon cause of each item.
http://www.news-medical.net/health/Cancer-Symptoms.aspx

Masa keras yang menonjol ke dalam lumen, dengan permukaan yang noduler.
Pertumbuhan yang abnormal mengakibatkan tumor ini sering mengalami
ulserasi, dengan dasar ulkus yang nekrotik tepi yang menaik, mengalamai
indurasi dan noduler. Permukaan ulkus mengeluarkan pus dan darah.
Gastroenterologi, Sujono Hadi

PENDAHULUAN - Lower perdarahan gastrointestinal (LGIB) mengacu pada


kehilangan darah onset baru-baru ini berasal dari sebuah situs distal ligamentum
Treitz [1]. Hal ini biasanya dicurigai bila pasien mengeluh hematochezia (bagian
dari merah marun atau terang bekuan darah atau darah merah per rektum). Hal
ini berbeda dari presentasi klinis perdarahan GI atas, yang meliputi hematemesis
(muntah darah atau kopi-tanah seperti bahan) dan / atau melena (hitam, kotoran
berwarna). Meskipun membantu, pembedaan berdasarkan warna feses tidak
mutlak karena melena dapat dilihat dengan perdarahan gastrointestinal dari kolon
kanan (atau usus kecil), dan hematochezia dapat dilihat dengan perdarahan
gastrointestinal masif atas [2-4]. Sebuah tabung nasogastrik lavage yang
menghasilkan darah atau kopi-tanah seperti bahan menegaskan diagnosis
perdarahan GI atas, namun, lavage mungkin tidak positif jika perdarahan telah
berhenti atau timbul luar pilorus tertutup. (Lihat "Pendekatan perdarahan
gastrointestinal bagian atas akut pada orang dewasa".)
Kajian topik akan fokus pada penyebab utama LGIB, dan secara singkat
meringkas manajemen dari beberapa gangguan ini. Pendekatan diagnostik untuk
pasien tersebut dan mereka dengan perdarahan gastrointestinal okultisme

dibahas secara terpisah. (Lihat "Pendekatan untuk resusitasi dan diagnosis


perdarahan gastrointestinal lebih rendah pada pasien dewasa" dan "Evaluasi
perdarahan gastrointestinal okultisme".)
Etiologi - Penyebab LGIB dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori
(tabel
1):
a. Anatomi (divertikulosis)
b. Vaskular (angiodisplasia, iskemik, radiasi-induced)
c. Inflamasi (menular, idiopatik)
d. Neoplastik
Dalam seri yang paling, diverticulosis menyumbang sekitar 15 sampai 55
persen dan angiodisplasia selama 3 sampai 37 persen dari LGIB [5-8].
Angiodisplasia mungkin penyebab yang paling sering pada pasien di atas usia 65
[9,10], meskipun data yang lebih baru menunjukkan angiodisplasia yang mungkin
menjadi penyebab kurang umum dari LGIB dari sekali berpikir [8]. (Lihat
"Angiodisplasia dari saluran pencernaan".)
Wasir adalah penyebab paling umum dari perdarahan rektum pada pasien
di bawah usia 50 [11]. Namun, perdarahan hemoroid biasanya ringan dan dengan
demikian dibedakan dari LGIB. Demikian pula, diare berdarah karena penyebab
infeksi kadang-kadang dapat dibedakan dari penyebab lain dari LGIB karena
pengaturan klinis.
Dalam review beberapa penelitian besar yang mencakup 1559 pasien
dengan LGIB akut, sumber perdarahan berikut telah diidentifikasi [8]:
Diverticulosis - 5 sampai 42 persen
Iskemia - 6 sampai 18 persen
Anorektal (wasir, fisura anus, ulkus rektum) - 6 sampai 16 persen
Neoplasia (polip dan kanker) -3 sampai 11 persen
Angiodisplasia - 0 sampai 3 persen
Postpolypectomy - 0 menjadi 13 persen
Penyakit inflamasi usus - 2 sampai 4 persen
Radiasi kolitis - 1 sampai 3 persen
Lain kolitis (infeksi, terkait antibiotik, kolitis dari etiologi tidak jelas) - 3 ke
29 persen
Usus Kecil / perdarahan GI atas - 3 sampai 13 persen
Penyebab lain - 1 sampai 9 persen
Diketahui menyebabkan - 6 menjadi 23 persen
Diverticulosis - divertikulum adalah tonjolan kantung-seperti dinding
kolon. Prevalensi penyakit divertikular adalah umur-tergantung, meningkat
kurang dari 5 persen pada usia 40, sampai 30 persen pada usia 60, sampai
65 persen pada usia 85 [12,13]. (Lihat "Epidemiologi dan patofisiologi
penyakit divertikular kolon".)
Tingginya
prevalensi
penyakit
ini
menjelaskan
mengapa
divertikulosis adalah penyebab paling umum dari LGIB meskipun kurang
dari 15 persen pasien dengan diverticulosis mengembangkan pendarahan
divertikular signifikan. Pendarahan divertikular biasanya terjadi dalam
ketiadaan divertikulitis [14], dan risiko perdarahan tidak lebih meningkat
jika divertikulitis hadir [15].
Sebagai herniates divertikulum, kapal menembus bertanggung
jawab atas kelemahan dinding pada titik yang menjadi menutupi kubah
divertikulum, dipisahkan dari lumen usus hanya dengan mukosa (gambar
1) [14]. Seiring waktu, vasa recta terkena cedera bersama aspek luminal,
menyebabkan penebalan intima eksentrik dan penipisan media. Perubahan
ini dapat mengakibatkan kelemahan segmental arteri, predisposisi pecah
ke dalam lumen. (Lihat "pendarahan divertikular kolon".)
Di negara-negara Barat, 75 persen dari diverticula terjadi pada sisi
kiri usus besar dan, ketika sisi kanan divertikula memang terjadi, mereka
biasanya dikaitkan dengan sisi kiri divertikula [16]. Namun, usus besar

kanan adalah sumber perdarahan divertikular dalam 50 sampai 90 persen


dari pasien [6,14,17]. Hubungan anatomi antara divertikula vasa recta dan
serupa di kedua usus besar kanan dan kiri, namun sisi kanan divertikula
memiliki leher yang lebih luas dan kubah. Ini bisa mengekspos vasa recta
cedera lebih panjang lebih besar, yang dapat menjelaskan insiden yang
lebih tinggi dari sisi kanan perdarahan [14].
Pendarahan divertikular mungkin besar dan mengancam nyawa
sejak divertikula sering formulir di situs penetrasi pembuluh darah arteri.
Perdarahan biasanya tidak nyeri kecuali untuk ketidaknyamanan perut
yang ringan kram karena spasme usus dari darah intraluminal. Pendarahan
divertikular diri-terbatas dalam lebih dari 70 sampai 80 persen dari kasus.
Namun, tingkat perdarahan ulang pendekatan 25 persen setelah episode
perdarahan awal pada mereka yang tidak menjalani operasi [18].
Faktor risiko untuk perdarahan divertikular termasuk kurangnya
makanan, serat aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS)
digunakan, usia lanjut, dan sembelit [19-21]. Aspirin dan NSAID dapat
meningkatkan risiko LGIB oleh berbagai mekanisme, termasuk kerusakan
erosif topikal lokal dan disfungsi trombosit [22].
Pengelolaan pendarahan divertikular dibahas secara terpisah. (Lihat
"pendarahan divertikular kolon".)
Angiodisplasia - Angiodisplasia mengacu pada dilatasi pembuluh
submukosa berliku-liku. Dinding pembuluh darah terdiri dari sel-sel endotel
yang kekurangan otot polos (gambar 2 dan gambar 3). Angiodisplasia
muncul endoskopi sebagai perifer kapiler melebar memperluas dengan
asal sentral berukuran antara 0,1-1,0 cm (gambar 4). Mereka tidak
divisualisasikan dengan enema barium atau pada otopsi (karena volume
darah akan dihapus). (Lihat "Angiodisplasia dari saluran pencernaan".)
Angiodisplasia gastrointestinal lebih rendah jarang di populasi
umum. Sebuah studi dari 964 pasien tanpa gejala yang menjalani
screening colonoscopy menemukan bahwa kurang dari 1 persen telah
angiodisplasia [23]. Tidak ada kasus perdarahan yang diidentifikasi selama
tiga tahun masa tindak lanjut, menunjukkan bahwa pengobatan lesi
asimtomatik tidak perlu. Namun demikian, mirip dengan diverticulosis,
insiden meningkat angiodisplasia dengan usia dan risiko perdarahan
meningkat dengan waktu karena degenerasi dari dinding pembuluh darah.
Selain itu, beberapa kondisi telah dikaitkan dengan angiodisplasia [24],
termasuk stenosis aorta dan gagal ginjal kronis. (Lihat "Angiodisplasia dari
saluran pencernaan", bagian "Kondisi yang berhubungan dengan
angiodisplasia '.)
Angiodisplasia dapat terjadi sepanjang usus besar, meskipun
perdarahan paling sering berasal dari sekum atau kolon asendens. Mirip
dengan penyakit divertikular, perdarahan dari angiodisplasia cenderung
episodik dan self-terbatas. Kehilangan darah biasanya terbuka, menyajikan
dengan hematochezia menyakitkan atau melena. Namun, perdarahan
kronis dimanifestasikan oleh tinja positif Hemoccult dan anemia defisiensi
besi dapat terjadi. (Lihat "Evaluasi perdarahan gastrointestinal okultisme"
dan "Evaluasi perdarahan gastrointestinal kabur".)
Perdarahan dari vena dalam angiodisplasia adalah asal (berbeda
dengan perdarahan arteri dengan divertikula) dan karena itu cenderung
kurang masif dari pendarahan divertikular. Perdarahan ulang terjadi pada
sekitar 80 persen pasien dengan angiodisplasia diobati [25].
Endoskopi koagulasi (dengan probe probe bipolar atau pemanas),
sclerotherapy injeksi, dan argon laser yang koagulasi semua bisa mencapai
hemostasis definitif pada pasien dengan angiodisplasia [24]. Perdarahan
berulang setelah terapi lokal terjadi pada 30 persen pasien. Identifikasi
angiodisplasia usus pencernaan bagian atas atau kecil harus meminta
penyelidikan lesi tambahan dalam saluran pencernaan bawah. (Lihat
"Angiodisplasia dari saluran pencernaan".)

Ulcerative - kolitis Menular dan iskemik dan penyakit usus inflamasi


semua bisa hadir awalnya dengan hematochezia. Peradangan mukosa
(kolitis) adalah respons umum terhadap cedera akut, mengakibatkan
aktivasi sistem kekebalan tubuh dan kaskade inflamasi.
Presentasi klinis dan endoskopi penampilan dari berbagai jenis
kolitis dapat dibedakan. Pasien dapat hadir dengan nyeri perut,
hematochezia (dengan atau tanpa diare), demam, dan dehidrasi.
Endoskopi, kolitis muncul sebagai edema, kerapuhan, eritema, dan ulserasi
(gambar 5). Secara histologi, ada bukti peradangan akut dan kronis
nonspesifik, eksudat fibrin, abses crypt, dan ulserasi.
Membangun diagnosis spesifik adalah yang terpenting dalam
pengobatan kolitis akut karena terapi tergantung pada proses penyakit
yang mendasari. Diagnosis membutuhkan interpretasi temuan histologis
dan kasar dalam konteks klinis.
Kolitis Infeksi - Ada banyak penyebab infeksi kolitis. Sebuah budaya
feses rutin akan mengidentifikasi Salmonella, Campylobacter, Shigella dan,
tiga penyebab paling umum dari diare bakteri di Amerika Serikat. Seperti
disebutkan di atas, perdarahan akibat penyebab infeksi kadang-kadang
dapat dibedakan dari penyebab lain LGIB karena pengaturan klinis. (Lihat
"Pendekatan untuk dewasa dengan diare akut di negara-negara maju".)
Kolitis iskemik - pasien Lansia yang paling mungkin untuk
mengalami iskemia terkait kolitis karena hipotensi relatif, gagal jantung,
atau aritmia. Pasien klasik telah dikaitkan sakit perut, meskipun ketiadaan
tidak menghalangi diagnosis. Kolitis iskemik cenderung terus menerus, sisi
kiri (gambar 1), dan terkait dengan kerapuhan mukosa, temuan yang
menyerupai kolitis ulseratif (gambar 6). Rektum terhindar. Perdarahan diri
terbatas dan kambuh berhubungan dengan kemampuan untuk mengoreksi
penyebab yang mendasari. Terapi harus diarahkan pada mengoreksi
penyebab yang mendasari dan kepuasan volume. (Lihat "iskemia usus".)
Radang usus - penyakit usus inflamasi mengacu pada kedua
penyakit Crohn dan kolitis ulserativa. Hematochezia merupakan presentasi
awal lebih umum dengan yang kedua dan cenderung terjadi dalam
pengaturan peradangan aktif. (Lihat "manifestasi klinis, diagnosis dan
prognosis penyakit Crohn pada orang dewasa" dan "manifestasi klinis,
diagnosis, dan prognosis kolitis ulseratif pada orang dewasa".)
Membedakan penyakit Crohn dari kolitis ulserativa selama episode LGIB
akut adalah tidak penting karena akut manajemen yang sama untuk kedua
kondisi. (Lihat "Ikhtisar dari manajemen medis ringan sampai sedang
penyakit Crohn pada orang dewasa" dan "manajemen Kedokteran kolitis
ulserativa".) Namun, penting untuk tidak penyakit usus misdiagnosis
inflamasi sebagai kolitis iskemik atau menular karena terapi yang berbeda
[26 ]. Pada pasien lanjut usia pada khususnya, bisa sulit untuk
membedakan kolitis iskemik dari penyakit usus inflamasi [27].
Neoplasma - Kanker usus besar adalah penyebab yang relatif
kurang umum tapi serius hematochezia. Neoplasma bertanggung jawab
untuk sekitar 10 persen dari kasus-kasus perdarahan rektum pada pasien
di atas usia 50, tetapi jarang pada orang yang lebih muda [28]. Perdarahan
terjadi sebagai hasil dari erosi atau ulserasi atasnya. Perdarahan
cenderung kelas rendah dan berulang. Terang darah merah menunjukkan
sisi kiri lesi; kanan sisi lesi dapat hadir dengan darah merah marun atau
melena. (Lihat "manifestasi klinis, diagnosis, dan stadium kanker
kolorektal".)
Terapi Endoskopi kanker usus besar datang dengan perdarahan
rektum terbatas. Ada risiko yang signifikan merangsang perdarahan lebih
atau menyebabkan perforasi dengan terapi endoskopik karena kerapuhan
dan ukuran lesi. Endoscopist harus biopsi massa yang mencurigakan,
mencari lesi sinkron, dan mengecualikan penyebab tambahan perdarahan.
Gangguan anorektal Lain-lain - Wasir membesar vena submukosa
pada anus yang terletak di atas (internal) atau di bawah (eksternal) linea

dentata. Mereka biasanya tanpa gejala tetapi dapat hadir dengan


hematochezia, trombosis, pencekikan, atau pruritus. Hematochezia hasil
dari pecahnya wasir internal yang dipasok oleh arteri hemoroid unggul dan
menengah. Perdarahan hemoroid hampir selalu menyakitkan. Darah merah
terang biasanya melapisi tinja pada akhir buang air besar. Darah juga
dapat menetes ke toilet atau kertas toilet noda. Kadang-kadang,
perdarahan dapat berlebihan dan menyedihkan bagi pasien. Namun, yang
serius lebih rendah perdarahan GI (sebagaimana didefinisikan di atas) dari
wasir jarang. Risiko perdarahan yang serius meningkat pada pasien
dengan koagulopati seperti yang dengan sirosis yang telah lanjut. Wasir
harus dicurigai terutama pada pasien muda dengan hematochezia [11].
(Lihat "Sekilas wasir".)
Berbagai lesi lain dalam anorectum dapat berhubungan dengan
perdarahan. Ini termasuk ulkus rektum soliter, fisura anus, dan lesi
Dieulafoy itu. (Lihat ulasan topik yang tepat).
Radiasi telangiektasia atau proktitis - Terapi radiasi kanker perut dan
panggul (seperti karsinoma serviks atau prostat) dapat menyebabkan
perdarahan gastrointestinal yang lebih rendah baik sebagai komplikasi
awal atau akhir kerusakan radiasi. Faktor risiko radiasi-kerusakan yang
disebabkan termasuk imobilisasi usus di daerah rectosigmoid,
arteriosklerosis, dan kemoterapi secara bersamaan.
Waktu perdarahan dubur relatif terhadap administrasi terapi radiasi
dapat mempersempit diagnosis banding. Cedera radiasi akut terjadi dalam
waktu enam minggu terapi. Gejala termasuk diare dan urgensi dubur atau
tenesmus, dan, jarang, perdarahan. Proctosigmoiditis radiasi kronis
memiliki onset lebih tertunda. Tanda-tanda pertama sering terjadi pada
sekitar 9 sampai 14 bulan setelah pajanan radiasi, tetapi mungkin
berkembang setelah lebih dari dua tahun di beberapa pasien dan jarang
sampai 30 tahun setelah paparan. (Lihat "Diagnosa dan pengobatan
radiasi proktitis kronis".)
Ulserasi atau kanker kekambuhan juga dapat dilihat sebagai
komplikasi akhir setelah terapi radiasi. Entitas ini harus dikecualikan pada
pasien dengan perdarahan rektum.
Setelah biopsi atau polypectomy - Perdarahan berikut biopsi
endoskopik atau polypectomy biasanya diri terbatas, meskipun perdarahan
arteri aktif dapat terjadi akut [29]. Perdarahan akut adalah karena
keterlibatan arteri yang mendasari atau koagulasi memadai dari tangkai
polip. Perdarahan tertunda dapat terjadi sebagai akhir tujuh hari setelah
polypectomy endoskopi, mungkin karena peluruhan dari eschar
digumpalkan. (Lihat "Perdarahan setelah polypectomy kolon".)

1.
2.
3.
4.
5.
6.

http://uptodate.com
pustaka:
Zuccaro G Jr. Management of the adult patient with acute lower
gastrointestinal bleeding. American College of Gastroenterology. Practice
Parameters Committee. Am J Gastroenterol 1998; 93:1202.
Jensen DM, Machicado GA. Diagnosis and treatment of severe hematochezia.
The role of urgent colonoscopy after purge. Gastroenterology 1988; 95:1569.
Zuckerman GR, Trellis DR, Sherman TM, Clouse RE. An objective measure of
stool color for differentiating upper from lower gastrointestinal bleeding. Dig
Dis Sci 1995; 40:1614.
Wilcox CM, Alexander LN, Cotsonis G. A prospective characterization of
upper gastrointestinal hemorrhage presenting with hematochezia. Am J
Gastroenterol 1997; 92:231.
Browder W, Cerise EJ, Litwin MS. Impact of emergency angiography in
massive lower gastrointestinal bleeding. Ann Surg 1986; 204:530.
Gostout CJ, Wang KK, Ahlquist DA, et al. Acute gastrointestinal bleeding.
Experience of a specialized management team. J Clin Gastroenterol 1992;
14:260.

7. Zuckerman GR, Prakash C. Acute lower intestinal bleeding. Part II: etiology,
therapy, and outcomes. Gastrointest Endosc 1999; 49:228.
8. Strate LL. Lower GI bleeding: epidemiology and diagnosis. Gastroenterol Clin
North Am 2005; 34:643.
9. Boley SJ, Sammartano R, Adams A, et al. On the nature and etiology of
vascular ectasias of the colon. Degenerative lesions of aging.
Gastroenterology 1977; 72:650.
10. Boley SJ, DiBiase A, Brandt LJ, Sammartano RJ. Lower intestinal bleeding in
the elderly. Am J Surg 1979; 137:57.
11. Korkis AM, McDougall CJ. Rectal bleeding in patients less than 50 years of
age. Dig Dis Sci 1995; 40:1520.
12. Painter NS, Burkitt DP. Diverticular disease of the colon, a 20th century
problem. Clin Gastroenterol 1975; 4:3.
13. WELCH CE, ALLEN AW, DONALDSON GA. An appraisal of resection of the
colon for diverticulitis of the sigmoid. Ann Surg 1953; 138:332.
14. Meyers MA, Alonso DR, Gray GF, Baer JW. Pathogenesis of bleeding colonic
diverticulosis. Gastroenterology 1976; 71:577.
15. Ramanath HK, Hinshaw JR. Management and mismanagement of bleeding
colonic diverticula. Arch Surg 1971; 103:311.
16. Rege RV, Nahrwold DL. Diverticular disease. Curr Probl Surg 1989; 26:133.
17. Casarella WJ, Kanter IE, Seaman WB. Right-sided colonic diverticula as a
cause of acute rectal hemorrhage. N Engl J Med 1972; 286:450.
18. McGuire HH Jr. Bleeding colonic diverticula. A reappraisal of natural history
and management. Ann Surg 1994; 220:653.
19. Bjarnason I, Macpherson AJ. Intestinal toxicity of non-steroidal antiinflammatory drugs. Pharmacol Ther 1994; 62:145.
20. Wilcox CM, Alexander LN, Cotsonis GA, Clark WS. Nonsteroidal
antiinflammatory drugs are associated with both upper and lower
gastrointestinal bleeding. Dig Dis Sci 1997; 42:990.
21. Strate LL, Liu YL, Huang ES, et al. Use of aspirin or nonsteroidal antiinflammatory drugs increases risk for diverticulitis and diverticular bleeding.
Gastroenterology 2011; 140:1427.
22. Foutch PG. Diverticular bleeding: are nonsteroidal anti-inflammatory drugs
risk factors for hemorrhage and can colonoscopy predict outcome for
patients? Am J Gastroenterol 1995; 90:1779.
23. Foutch PG, Rex DK, Lieberman DA. Prevalence and natural history of colonic
angiodysplasia among healthy asymptomatic people. Am J Gastroenterol
1995; 90:564.
24. Foutch PG. Angiodysplasia of the gastrointestinal tract. Am J Gastroenterol
1993; 88:807.
25. Gupta N, Longo WE, Vernava AM 3rd. Angiodysplasia of the lower
gastrointestinal tract: an entity readily diagnosed by colonoscopy and
primarily managed nonoperatively. Dis Colon Rectum 1995; 38:979.
26. Dignan CR, Greenson JK. Can ischemic colitis be differentiated from C difficile
colitis in biopsy specimens? Am J Surg Pathol 1997; 21:706.
27. Fernndez E, Linares A, Alonso JL, et al. Colonoscopic findings in patients
with lower gastrointestinal bleeding send to a hospital for their study. Value
of clinical data in predicting normal or pathological findings. Rev Esp Enferm
Dig 1996; 88:16.
28. Macrae FA, St John DJ. Relationship between patterns of bleeding and
Hemoccult sensitivity in patients with colorectal cancers or adenomas.
Gastroenterology 1982; 82:891.
29. Rogers BH. Endoscopic diagnosis and therapy of mucosal vascular
abnormalities of the gastrointestinal tract occurring in elderly patients and
associated with cardiac, vascular, and pulmonary disease. Gastrointest
Endosc 1980; 26:134.

5. Mengapa
bergantian?

diare

dan

konstipasi

Konstipasi terjadi karena penderita tidak suka makan sayur. Terjadinya


perubahan pola defekasi oleh karena iritasi lokal pada tempat lesi yang akhirnya
terjadi diare, dan biasanya disertai kejang-kejang. Sel kanker yang membesar
bisa mengakibatkan konstipasi berat yang juga merupakan tanda obstruksi
inkomplet.
Gastroenterologi, Sujono Hadi

6. Mengapa nafsu makan berkurang n


badan semakin kurus?
Roughly, cancer symptoms can be divided into three groups:

''Local symptoms'': unusual lumps or swelling (''tumor''), hemorrhage


(bleeding), pain and/or ulceration. Compression of surrounding tissues
may cause symptoms such as jaundice (yellowing the eyes and skin).
''Symptoms of metastasis (spreading)'': enlarged lymph nodes, cough
and hemoptysis, hepatomegaly (enlarged liver), bone pain, fracture of
affected bones and neurological symptoms. Although advanced cancer
may cause pain, it is often not the first symptom.
''Systemic symptoms'': weight loss, poor appetite, fatigue and cachexia
(wasting), excessive sweating (night sweats), anemia and specific
paraneoplastic phenomena, i.e. specific conditions that are due to an
active cancer, such as thrombosis or hormonal changes.

Every symptom in the above list can be caused by a variety of conditions (a list
of which is referred to as the differential diagnosis). Cancer may be a common
or uncommon cause of each item.
http://www.news-medical.net/health/Cancer-Symptoms.aspx

7. Apa hub tidak


dengan keluhan?

suka

makan

sayur

Makanan mempunyai peranan penting pada kejadian kanker colorectal.


Mengkonsumsi serat sebanyak 30 gr/hari terbukti dapat menurunkan risiko
timbulnya kanker colorectal sebesar 40% dibandingkan orang yang hanya
mengkonsumsi serat 12 gr/hari. Orang yang banyak mengkonsumsi daging
merah (misal daging sapi, kambing) atau daging olahan lebih dari 160 gr/hari (2
porsi atau lebih) akan mengalami peningkatan risiko kanker colorectal sebesar
35% dibandingkan orang yang mengkonsumsi kurang dari 1 porsi per minggu.
Menurut Daldiyono et al. (1990), dikatakan bahwa serat makanan
terutama yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin sebagian besar tidak
dapat dihancurkan oleh enzim-enzim dan bakteri di dalam tractus digestivus.
Serat makanan ini akan menyerap air di dalam colon, sehingga volume feses
menjadi lebih besar dan akan merangsang syaraf pada rectum, sehingga
menimbulkan keinginan untuk defekasi. Dengan demikian tinja yang
mengandung serat akan lebih mudah dieliminir atau dengan kata lain transit
time yaitu kurun waktu antara masuknya makanan dan dikeluarkannya sebagai
sisa makanan yang tidak dibutuhkan tubuh menjadi lebih singkat. Waktu transit

yang pendek, menyebabkan kontak antara zat-zat iritatif dengan mukosa


colorectal menjadi singkat, sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit di
colon dan rectum. Di samping menyerap air, serat makanan juga menyerap
asam empedu sehingga hanya sedikit asam empedu yang dapat merangsang
mukosa colorectal, sehingga timbulnya karsinoma colorectal dapat dicegah.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20869/4/Chapter%20II.pdf

8. Mengapa pd RT ditemukan anoperineal


mukosa didapatkan berbenjol2 dan
rapuh?
Cancer is fundamentally a disease of regulation of tissue growth. In order for a
normal cell to transform into a cancer cell, genes which regulate cell growth and
differentiation must be altered.
Genetic changes can occur at many levels, from gain or loss of entire
chromosomes to a mutation affecting a single DNA nucleotide. There are two
broad categories of genes which are affected by these changes.
Oncogenes may be normal genes which are expressed at inappropriately high
levels, or altered genes which have novel properties. In either case, expression
of these genes promotes the malignant phenotype of cancer cells.
Tumor suppressor genes are genes which inhibit cell division, survival, or other
properties of cancer cells. Tumor suppressor genes are often disabled by cancerpromoting genetic changes. Typically, changes in many genes are required to
transform a normal cell into a cancer cell.
There is a diverse classification scheme for the various genomic changes which
may contribute to the generation of cancer cells. Most of these changes are
mutations, or changes in the nucleotide sequence of genomic DNA. Aneuploidy,
the presence of an abnormal number of chromosomes, is one genomic change
which is not a mutation, and may involve either gain or loss of one or more
chromosomes through errors in mitosis.
Large-scale mutations involve the deletion or gain of a portion of a chromosome.
Genomic amplification occurs when a cell gains many copies (often 20 or more)
of a small chromosomal locus, usually containing one or more oncogenes and
adjacent genetic material.
Translocation occurs when two separate chromosomal regions become
abnormally fused, often at a characteristic location. A well-known example of
this is the Philadelphia chromosome, or translocation of chromosomes 9 and 22,
which occurs in chronic myelogenous leukemia, and results in production of the
BCR-abl fusion protein, an oncogenic tyrosine kinase.
Small-scale mutations include point mutations, deletions, and insertions, which
may occur in the promoter of a gene and affect its expression, or may occur in
the gene's coding sequence and alter the function or stability of its protein
product.

Disruption of a single gene may also result from integration of genomic material
from a DNA virus or retrovirus, and such an event may also result in the
expression of viral oncogenes in the affected cell and its descendants.
http://www.news-medical.net/health/Cancer-Pathophysiology.aspx

Masa keras yang menonjol ke dalam lumen, dengan permukaan yang noduler.
Pertumbuhan yang abnormal mengakibatkan tumor ini sering mengalami
ulserasi, dengan dasar ulkus yang nekrotik tepi yang menaik, mengalamai
indurasi dan noduler. Permukaan ulkus mengeluarkan pus dan darah.
Gastroenterologi, Sujono Hadi

9. Mengapa ditemukan darah dan lendir


dan jar. nekrotik pada handscoon?
Sel kanker mengeluarkan bahan mukoid yang kaya protein dan kalium, sehingga
terjadi hipoproteinemia dan hipokalemia.
Patologi, Robin & Kumar jilid II

Masa keras yang menonjol ke dalam lumen, dengan permukaan yang noduler.
Pertumbuhan yang abnormal mengakibatkan tumor ini sering mengalami
ulserasi, dengan dasar ulkus yang nekrotik tepi yang menaik, mengalamai
indurasi dan noduler. Permukaan ulkus mengeluarkan pus dan darah.
Gastroenterologi, Sujono Hadi

10. DD
a.Hemorrhoid
Hemorrhoid atau wasir adalah dilatasi varikosus vena dari pleksus
hemorrhoidal inferior atau superior, akibat dari peningkatan tekanan vena
yang persisten. Keadaan ini merupakan masalah yang sangat umum
terjadi dan telah dilaporkan dari ratusan tahun yang lalu. Survey di negara
barat menyebutkan bahwa setengah dari populasi berumur diatas 40
tahun menderita penyakit ini dengan insidensi tertinggi antara 45 sampai
65 tahun dan ditemukan seimbang antara pria dan wanita.
Penyakit ini bisa disertai gejala mulai dari ringan hingga berat.
Walaupun penyakit ini tidak mengancam jiwa, tetapi dapat menyebabkan
perasaan yang sangat tidak nyaman dan diperlukan tindakan. Hemorrhoid
timbul akibat kongesti vena yang disebabkan gangguan aliran balik vena
hemoroidalis. Beberapa faktor risiko telah diajukan adalah faktor
kerusakan dari tonus sphincter atau defisiensi sphincter ani, hereditas,
obstruksi vena, kebiasaan defekasi dan akibat langsung prolaps dari
lapisan pembuluh darah. Yang mengakibatkan obstruksi vena yaitu
kehamilan, asites, tumor pelvis, sirosis hepatis dan hemorrhoid dengan
akibat langsung prolaps dari lapisan pembuluh darah dapat terjadi karena
factor endokrin, umur, kehamilan, konstipasi dan juga tegangan yang lama
saat defekasi.

Prevalensi penyakit ini rendah pada negara berkembang


dibandingkan negara maju. Beberapa pustaka menyebutkan bahawa salah
satu faktor yang mempengaruhi hal ini adalah pola makan yang berbeda,
yaitu diet tinggi serat di negara berkembang dan tinggi lemak pada negara
maju. Hal ini menjelaskan hubungan sebab akibat dimanapopulasi dengan
diet serat yang tinggi, maka angka kejadian hemorrhoidnya akan rendah.
http://eprints.undip.ac.id/22324/1/Melina.pdf
pustaka:
Kamus Kedokteran DORLAN. Jakarta: EGC
Dimmer C, Martin B, Reeves N, Sullivan F. Squatting for the Prevention
of Haemorrhoids?. (www.uow.edu.au/arts/sts/bmartin/pubs/96tldp.html)
Wilson LM, Lester LB. Usus Besar. In: Price SA, Wilson LM.
PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Williams NS. Haemorrhoidal disease. In: Keighley MRB, Williams NS.
Surgery of the anus, rectum and colon. London: WB Saunders, 1993: 295363
Goligher J. Surgery of the anus, rectum and colon. Ed 5. East Sussex:
Bailliere Tindal, 1984: 98-149
Gearhart SL, Bulkley G. Common Disease Of The Colon And Anorectum And
Mesenteric Vascular Insufficiency. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL,
Braunwald Eugene, Hauser SL, Jameson JL. Harrisons Principles of Internal
Medicine. Ed 16. New York: Mc Graw Hill, 2005: 1795-1803

b. Polip adenoma
Polip Adenoma sering dijumpai pada usus besar. Insiden terbanyak
pada umur sesudah dekade ketiga, namun dapat juga dijumpai pada semua
umur dan laki-laki lebih banyak dibanding dengan perempuan. Polip
adenomatosum lebih banyak pada colon sigmoid (60%), ukuran bervariasi
antara 1-3 cm, namun terbanyak berukuran 1 cm. Polip terdiri dari 3 bagian
yaitu puncak, badan dan tangkai. Polip dengan ukuran 1,2 cm atau lebih
dapat dicurigai adanya adenokarsinoma. Semakin besar diameter polip
semakin besar kecurigaan keganasan. Perubahan dimulai dibagian puncak
polip, baik pada epitel pelapis mukosa maupun pada epitel kelenjar, meluas
ke bagian badan dan tangkai serta basis polip. Risiko terjadinya kanker
meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran dan jumlah polip.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20869/4/Chapter%20II.pdf

c.Ca colon
Kanker colorectal berasal dari jaringan kolon (bagian terpanjang di
usus besar) atau jaringan rektum (beberapa inci terakhir di usus besar
sebelum anus). Sebagian besar kanker colorectal adalah adenocarcinoma
(kanker yang dimulai di sel-sel yang membuat serta melepaskan lendir dan
cairan lainnya).
Penelitian menemukan faktor-faktor risiko berikut ini untuk kanker
colorectal:
Polip di usus (Colorectal polyps): Polip adalah pertumbuhan pada
dinding dalam kolon atau rektum, dan sering terjadi pada orang
berusia 50 tahun ke atas. Sebagian besar polip bersifat jinak (bukan
kanker), tapi beberapa polip (adenoma) dapat menjadi kanker.

Colitis Ulcerativa atau penyakit Crohn: Orang dengan kondisi yang


menyebabkan peradangan pada kolon (misalnya colitis ulcerativa atau
penyakit Crohn) selama bertahun-tahun memiliki risiko yang lebih besar
Riwayat kanker pribadi: Orang yang sudah pernah terkena kanker
colorectal dapat terkena kanker colorectal untuk kedua kalinya. Selain itu,
wanita dengan riwayat kanker di indung telur, uterus (endometrium) atau
payudara mempunyai tingkat risiko yang lebih tinggi untuk terkena kanker
colorectal.
Riwayat kanker colorectal pada keluarga: Jika Anda mempunyai
riwayat kanker colorectal pada keluarga, maka kemungkinan Anda terkena
penyakit ini lebih besar, khususnya jika saudara Anda terkena kanker pada
usia muda.
Faktor gaya hidup: Orang yang merokok, atau menjalani pola makan
yang tinggi lemak dan sedikit buah-buahan dan sayuran memiliki tingkat
risiko yang lebih besar terkena kanker colorectal.

Usia di atas 50: Kanker colorectal lebih biasa terjadi pada usia manusia
yang semakin tua. Lebih dari 90 persen orang yang menderita penyakit ini
didiagnosis setelah usia 50 tahun ke atas.
1. Stadium 0: Kanker ditemukan hanya pada lapisan terdalam di kolon atau
rektum. Carcinoma in situ adalah nama lain untuk kanker colorectal
Stadium 0.
2. Stadium I: Tumor telah tumbuh ke dinding dalam kolon atau rektum.
Tumor belum tumbuh menembus dinding.
3. Stadium II: Tumor telah berkembang lebih dalam atau menembus dinding
kolon atau rektum. Kanker ini mungkin telah menyerang jaringan di
sekitarnya, tapi sel-sel kanker belum menyebar ke kelenjar getah bening.
4. Stadium III: Kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di
sekitarnya, tapi belum menyebar ke bagian tubuh yang lain.
5. Stadium IV: Kanker telah menyebar ke bagian tubuh yang lain, misalnya
hati atau paru-paru.

6. Kambuh: Kanker ini merupakan kanker yang sudah diobati tapi kambuh
kembali setelah periode tertentu, karena kanker itu tidak terdeteksi.
Penyakit ini dapat kambuh kembali dalam kolon atau rektum, atau di
bagian tubuh yang lain.
Tes skrining akan membantu dokter menemukan polip atau kanker sebelum ada
gejalanya. Deteksi dini kanker colorectal biasanya juga meningkatkan efektivitas
pengobatan kanker. Tes skrining berikut ini dapat digunakan untuk mendeteksi
polip, kanker, atau ketidaknormalan lainnya.
Tes darah samar pada feses/kotoran (Fecal occult blood test
-FOBT): Terkadang kanker atau polip mengeluarkan darah, dan FOBT
dapat mendeteksi jumlah darah yang sangat sedikit dalam kotoran. Karena
tes ini hanya mendeteksi darah, tes-tes lain dibutuhkan untuk menemukan
sumber darah tersebut. Kondisi jinak (seperti hemoroid), juga bisa
menyebabkan darah dalam kotoran.
Sigmoidoskopi: Dokter akan memeriksa rektum Anda dan bagian bawah
kolon dengan tabung cahaya (sigmoidoskop). Jika ditemukan polip
(pertumbuhan jinak yang dapat menjadi kanker), maka polip bisa diangkat.
Kolonoskopi: Dokter akan memeriksa rektum dan seluruh kolon dengan
menggunakan tabung panjang bercahaya (kolonoskop). Jika ditemukan
polip (pertumbuhan jinak yang dapat menjadi kanker), maka polip bisa
diangkat.

Enema barium kontras ganda (Double contrast barium enema):


Prosedur ini mencakup pengisian kolon dan rektum dengan bahan cair
putih (barium) untuk meningkatkan kualitas gambar sinar X. Dengan
demikian, ketidaknormalan (seperti polip) dapat terlihat dengan jelas.
Pemeriksaan rektal secara digital: Pemeriksaan rektal seringkali
menjadi
bagian
pemeriksaan
(check-up)
fisik
rutin.
Dokter
akanmemasukkan jari dengan sarung tangan yang telah dilumasi ke dalam
rektum, untuk merasakan ketidaknormalan.
Parkway Cancer Centre

Transformasi
Sel-sel kanker dibentuk dari sel-sel normal dalam suatu proses rumit yang
disebut transformasi, yang terdiri dari tahap inisiasi dan promosi.
1. Fase inisiasi

Pada tahap inisiasi terjadi suatu perubahan dalam bahan genetik sel yang
memancing sel menjadi ganas. Perubahan dalam bahan genetik sel ini
disebabkan oleh suatu agen yang disebut karsinogen, yang bisa berupa
bahan kimia, virus, radiasi (penyinaran) atau sinar matahari. Tetapi tidak
semua sel memiliki kepekaan yang sama terhadap suatu karsinogen.

Kelainan genetik dalam sel atau bahan lainnya yang disebut promotor,
menyebabkan sel lebih rentan terhadap suatu karsinogen. Bahkan gangguan
fisik menahunpun bisa membuat sel menjadi lebih peka untuk mengalami
suatu keganasan.
2. Fase promosi

Pada tahap promosi, suatu sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah
menjadi ganas. Sel yang belum melewati tahap inisiasi tidak akan
terpengaruh oleh promosi. Karena itu diperlukan beberapa faktor untuk
terjadinya keganasan (gabungan dari sel yang peka dan suatu karsinogen).
http://blogs.unpad.ac.id/kankerpayudara/materi/kanker-payudara-dimensifisiologi/

11. Px Penunjang yg disarankan?


a. Pemeriksaan laboratorium
Meliputi
pemeriksaan
tinja
apakah
ada
darah
secara
makroskopis/mikroskopis atau ada darah samar (occult blood) serta
pemeriksaan CEA (carcino embryonic antigen). Kadar yang dianggap
normal adalah 2,5-5 ngr/ml. Kadar CEA dapat meninggi pada tumor
epitelial dan mesenkimal, emfisema paru, sirhosis hepatis, hepatitis,
perlemakan hati, pankreatitis, colitis ulserosa, penyakit crohn, tukak
peptik, serta pada orang sehat yang merokok. Peranan penting dari CEA
adalah bila diagnosis karsinoma colorectal sudah ditegakkan dan ternyata
CEA meninggi yang kemudian menurun setelah operasi maka CEA penting
untuk tindak lanjut.
b. Double-contrast barium enema (DCBE)
Pemeriksaan dengan barium enema dapat dilakukan dengan Single
contras procedure (barium saja) atau Double contras procedure (udara dan
barium). Kombinasi udara dan barium menghasilkan visualisasi mukosa
yang lebih detail. Akan tetapi barium enema hanya bisa mendeteksi lesi
yang signifikan (lebih dari 1 cm).42 DCBE memiliki spesifisitas untuk
adenoma yang besar 96% dengan nilai prediksi negatif 98%. Metode ini
kurang efektif untuk mendeteksi polips di rectosigmoid-colon. Angka
kejadian perforasi pada DCBE 1/25.000 sedangkan pada Single Contras
Barium Enema (SCBE) 1/10.000.
c. Flexible Sigmoidoscopy
Flexible Sigmoidoscopy (FS) merupakan bagian dari endoskopi yang
dapat dilakukan pada rectum dan bagian bawah dari colon sampai jarak 60
cm (sigmoid) tanpa dilakukan sedasi. Prosedur ini sekaligus dapat
melakukan biopsi. Hasilnya terbukti dapat mengurangi mortalitas akibat
karsinoma colorectal hingga 60%-80%dan memiliki sensistivitas yang
hampir sama dengan colonoscopy 60%-70% untuk mendeteksi karsinoma
colorectal. Walaupun jarang, FS juga mengandung resiko terjadinya
perforasi 1/20.000 pemeriksaan.
Intepretasi hasil biopsi dapat menentukan apakah jaringan normal,
prekarsinoma, atau jaringan karsinoma. American Cancer Society (ACS)
merekomendasikan untuk dilakukan colonoscopy apabila ditemukan
jaringan adenoma pada pemeriksaan FS. Sedangkan hasil yang negatif
pada pemeriksaan FS, dilakukan pemeriksaan ulang setelah 5 tahun.
d. Endoscopy dan biopsi

Endoscopy dapat dikerjakan dengan rigid endoscope untuk


kelainan-kelainan sampai 25 cm 30 cm, dengan fibrescope untuk semua
kelainan dari rectum sampai caecum. Biopsi diperlukan untuk menentukan
secara patologis anatomis jenis tumor.
e. Colonoscopy
Colonoscopy adalah prosedur dengan menggunakan tabung
fleksibel yang panjang dengan tujuan memeriksa seluruh bagian rectum
dan usus besar. Colonoscopy umumnya dianggap lebih akurat daripada
barium enema, terutama dalam mendeteksi polip kecil. Jika ditemukan
polip pada usus besar, maka biasanya diangkat dengan menggunakan
colonoscope dan dikirim ke ahli patologi untuk kemudian diperiksa jenis
kankernya.
Tingkat
sensitivitas
colonoscopy
dalam
mendiagnosis
adenokarsinoma atau polip colorectal adalah 95%. Namun tingkat kualitas
dan kesempurnaan prosedur pemeriksaannya sangat tergantung pada
persiapan colon, sedasi, dan kompetensioperator. Colonoskopi memiliki
resiko dan komplikasi yang lebih besar dibandingkan FS. Angka kejadian
perforasi pada skrining karsinoma colorectal antara 3-61/10.000
pemeriksaan, dan angka kejadian perdarahan sebesar 2-3/1.000
pemeriksaan.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20869/4/Chapter
%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai