Anda di halaman 1dari 4

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Bermain


a. Pengertian
Menurut Yuriastien & Prawitasari (2009), bermain adalah bentuk interaksi anak
dan lingkungannya. Interaksi ini membutuhkan kemampuan fisik, intelektual, emosional,
dan sosial. Beberapa permainan membutuhkan ketahanan fisik untuk menyelesaikan
permainan tersebut. Ada banyak permainan yang melatih kemampuan mengingat dan
menyusun. Ketika seorang anak bermain dengan anak yang lain, maka akan terbangun
suatu relasi sosial yang membutuhkan ikatan emosional antara anak yang satu dengan
anak yang lain. Dengan bermain, anak dapat belajar berkomunikasi, mengenal waktu,
jarak, serta suara, menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan mendapat stimulus
untuk melakukan apa yang dapat dia lakukan (Wong, 2013). Menurut Nursalam (2008),
bermain juga dapat menstimulasi perkembangan kognitif dan emosi. Melalui bermain,
anak dapat mempelajari hal baru dan mengontrol diri mengikuti aturan permainan. Dari
beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bermain adalah aktivitas penting
yang dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan anak dalam meningkatkan
kemampuan fisik, intelektual, emosional, dan sosial.
b. Fungsi Bermain
Fungsi utama bermain adalah merangsang perkembangan sensoris-motorik,
perkembangan

intelektual,

perkembangan

sosial,

perkembangan

kreativitas,

perkembangan kesadaran diri, perkembangan moral dan bermain sebagai terapi


(Supartini, 2005).
1. Perkembangan Sensorik Motorik
Alat permainan yang digunakan oleh bayi membantu bayi mengenali benda-benda
yang baru dikenalnya. Melalui rangsang sentuhan dan isapan, terjadi perkembangan
sensorik pada bayi. Alat permainan untuk usia toddler dan prasekolah banyak membantu
perkembangan aktivitas motorik baik motorik kasar maupun halus
2. Perkembangan Intelektual
Pada saat bermain, anak dituntut untuk memecahkan masalah. Kondisi ini melatih
perkembangan intelektual anak dalam berpikir dan menganalisa suatu masalah. Selain

itu, anak juga melakukan eksplorasi dan manipulasi, mengenal warna, bentuk, ukuran,
tekstur, dan membedakan objek permainan. Pada saat bermain tanah liat, anak
menggunakan daya imajinasinya untuk membuat suatu bentuk, pola, dan struktur yang
bermacam-macam.
3. Perkembangan Sosial
Kemampuan anak dalam berinteraksi dengan lingkungannya merupakan unsur
perkembangan sosial. Bermain dengan teman sebaya atau orang lain akan membangun
suatu relasi sosial. Melalui relasi sosial tersebut, anak belajar mengenal orang lain selain
keluarganya, belajar berkomunikasi, memahami bahasa lawan bicara, dan belajar nilai
sosial yang ada dalam kelompok bermainnya. Hal ini terjadi terutama pada anak usia
sekolah dan remaja. Meskipun demikian, anak usia toddler dan prasekolah adalah
tahapan awal bagi anak untuk meluaskan aktivitas sosialnya dilingkungan keluarga.
4. Perkembangan Kreativitas
Kemampuan menciptakan sesuatu dan mewujudkannya dalam bentuk objek atau
kegiatan merupakan bentuk reativitas. Melalui bermain, anak belajar mengembangkan
sumber daya yang ada di sekitarnya untuk dipakai menjadi alat permainan yang
dinginkan. Misalnya saja seorang anak membuat mobil-mobilan dari kulit jeruk, roda
karet, dan tongkat karena ketidatersediaan mobil-mobilan buatan pabrik.
5. Perkembangan Kesadaran Diri
Kesadaran diri terjadi ketika anak belajar mengenali respon perilaku teman
sepermainannya saat diberikan input tertentu. Seorang anak belajar bahwa memukul
temannya adalah hal yang tidak menyenangkan ketika respon teman sepermainannya
adalah marah atau menangis. Anak juga akan belajar mengenal kemampuannya dan
membandingkannya dengan orang lain dan menguji kemampuannya dengan mencoba
peran-peran baru dan mengetahui dampak tingkah lakunya terhadap orang lain. Peran
orang tua dalam menanamkan nilai moral dan etika sangat penting dalam perkembangan
ini.
6. Perkembangan Moral
Melalui kegiatan bermain, anak belajar membedakan mana yang benar dan salah.
Sama sepertii dengan perkembangan kesadaran diri, perkembangan moral juga
membutuhkan perna aktif orang tua dan lingkungan dalam menanamkan nilai moral dan
etika. Ketika anak sudah dapat membedakan yang mana benar dan salah tentang suatu

hal, maka anak juga mendapatkan kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut
sehingga dapat diterima di lingkungannya dan dapat menyesuaikan diri dengan aturanaturan kelompok yang ada dalam lingkungannya. Selain itu, anak juga belajar menerima
konsekuensi atas tindakan yang dilakukannya setelah mengetahui mana yang benar dan
salah.
7. Bermain Sebagai Terapi
Hospitalisasi bagi anak memberikan dampak yang tidak menyenangkan seperti
perasaan marah, takut, cemas, sedih, dan nyeri. Bermain dapat menjadi koping bagi stres
yang dialami anak akibat hospitalisasi. Permainan adalah media komunikasi antar anak
dengan orang lain, termasuk dengan perawat atau petugas kesehatan dirumah sakit.
Perawat dapat mengkaji perasaan dan pikiran anak melalui ekspresi nonverbal yang
ditunjukkan selama melakukan permainan atau melalui interaksi yang ditunjukkan anak
dengan orang tua dan teman kelompok bermainnya.
c. Kategori Bermain
Terdapat 2 kategori bermain:

Bermain Bebas
Anak bermain tanpa aturan dan tuntutan. Anak bisa mempertahankan minatnya dan
mengembangkan sendiri kegiatannya.

Bermain Terstruktur
Bermain terstruktur direncanakan dan dipandu oleh orang dewasa. Kategori ini
membatasi dan meminimalkan daya cipta anak.

B. Konsep Dasar Prasekolah


a. Anak usia Prasekolah ( >3 tahun sampai 6 tahun)
Anak usia prasekolah mempunyai kemampuan motorik kasar dan halus yang lebih
matang dari pada anak usia toddler. Anak sudah lebih aktif, kreatif dan imajinatif. Selain
itu, kemampuan berbicara dan berhubungan sosial dengan temannya juga semakin
meningkat. Oleh kerena itu jenis permainan yang sesuai adalah associative play,
dramatic play dan skill play. Anak sudah mampu memainkan peran orang tua tertentu
yang diidentifikasinya, seperti ayah, ibu dan bapak atau ibu gurunya. Anak juga sudah
mampu melakukan permainan bersama-sama dengan temannya dengan komunikasi yang
sesuai dengan kemampuan bahasanya. Anak usia prasekolah banyak memilih permainan
yang menggunakan kemampuan motorik.

b. Reaksi Hospitalisasi
1. Tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan
2. Sering bertanya
3. Kehilangan kontrol
4. Menangis perlahan
C. Konsep Dasar Usia Sekolah
a. Anak usia sekolah (> 6 tahun sampai 12 tahun)
Permainan pada anak usia sekolah tidak hanya bermanfaat untuk meningkatkan
keterampilan fisik atau intelektualnya, tetapi juga mengembangkan sensitivitasnya untuk
terlibat dalam kelompok dan bekerja sama dengan sesamanya. Kemampuan sosial lebih
dominan berkembang di kelompok usia sekolah. Anak belajar mengenal norma baik dan
buruk dari teman sepermainannya, bahkan cenderung mengikuti perilaku kelompok
permainannya. Hal ini dipengaruhi oleh keinginan anak untuk diterima dalam kelompok
bermainnya. Selain itu, anak juga belajar untuk berkompetisi dengan teman
sepermainannya. Sifat kompetitif ini memberikan dampak baik, yaitu anak memiliki
keinginan untuk mengembangkan dirinya.
Karakteristik permainan untuk anak usia sekolah dibedakan menurut jenis
kelaminnya. Anak laki-laki lebih tepat jika diberikan mainan jenis mekanik yang akan
menstimulasi kemampuan kreativitasnya dalam berkreasi sebagai seorang laki-laki,
misalnya mobil-mobilan. Anak perempuan lebih tepat diberikan permainan yang dapat
menstimulasinya untuk mengembangkan perasaan, pemikiran dan sikapnya dalam
menjalankan peran sebagai seorang perempuan, misalnya alat untuk memasak dan boneka.
b. Reaksi Hospitalisasi
Kecemasan timbul karena anak harus meninggalkan lingkungan tempat dia melakukan

rutinitas, dan harus tinggal di rumah sakit untuk beberapa waktu lamanya.
Perubahan peran dalam keluarga, kehilangan kelompok sosial, perasaan takut mati, dan

kelemahan fisik menyebabkan anak dapat kehilangan kontrol diri.


Reaksi nyeri baik verbal maupun nonverbal.

Anda mungkin juga menyukai